Anda di halaman 1dari 6

Pak Belalang

Pak Belalang, dengan tiga anaknya sangat miskin kehidupannya,hampir-hampir tiada apa
yang dimakan.Mengapa di sebut Pak belalang, sebab anak tertuanya bernama Belalang. Suatu
hari Ia bermaksud untuk memperoleh makanan.Disuruhnya anaknya menyembunyikan kerbau
orang yang sedang mengembala di kebun.Disuruhnya anaknya menyembunyikan kerbau
tersebut, Pada pemilik kerbau dikemukakan bahwa kalu ingin tahu dimana letak kerbau tersebut
disuruh bertanya pada ayahnya yang mengetahui tentang keberadaan kerbau tesebut.
Keberhasilan pak Belalang menebak tempat kerbau berada tersebut membuat Dia
mendapatkan imbalan beras, padi , tembakau, dan ikan sebagai hadiah. Maka masyurlah nama
Pak Belalang sebagai orang yang pandai bertenung ( meramal).Suatu peristiwa raja di dalam
negeri kehilangan tujuh biji peti yang berisi barang-barang berharga intan,emas,dan lain-lain.
Pak Belalang lalu dipanggil untuk meramal dimana harta tersebut,apabila tidak bisa menebak
maka Dia akan dibunuh.Sampai di rumah pak Belalang berbaring sambil menghitung roti yang
sedang dimasak istrinya di dapur. Dia mendengar bunyi roti kena minyak di dalam kuali, dan
berkata “satu”, sambil membilang roti.Dengan takdir Allah, pada ketika itu juga kepala pencuri
masuk di halaman pak Belalang.Tatkala Pak Belalang menghitung “Tujuh” ketujuh orang
pencuri semuanya sudah masuk ke halaman pak Belalang.Pencuri-pencuri itu ketakutan.Menurut
perkiraan pencuri tersebut, pak Belalang sudah tahu bahwa yang mencuri adalah mereka.Mereka
lalu masuk menjumpai pak Belalang dan mengaku salah. Dengan demikian Pak Belalang pun
lepas dari masalah pembunuhan atas dirinya.Atas keberhasilannya tersebut Pak Belalang
mendapat hadiah yang banyak sekali. Baginda juga menggelarinya Ahli Nujum.
Sekali lagi Pak Belalang diancam dengan ancaman bunuh, kalau dia tidak dapat menerka
apa yang digenggam baginda. Pak Belalang tidak dapat menerka.Pada perasaan hatinya, matilah
ia kali ini. Sambil menangis mengenang anaknya yang bernama di Belalang.Dia pun
berkata.Matilah aku, tinggallah,anakku,Belalang. ( yang digenggam Baginda itu kebetulan
adalah seekor belalang.)
Setelah itu pak Belalang ingin mengakhiri sandiwaranya, Pak Belalang pun pulang ke
rumahnya, dalam hatinya Ia berpikir, baiklah aku bakar rumah ini supaya dapat dilaporkan pada
Baginda bahwa surat-surat ilmunya terbakar serta supaya tenang hidupnya.Sehingga Baginda
tidak lagi mengejarnya dengan perttanyaan –pertanyaan lagi. Setelah rumahnya terbakar Pak
Belalang tidak bekerja lagi, dikaruniai oleh baginda belanja dengan secukupnya.
Dalam cerita ini Pak Belalang digambarkan sebagai orang yang cerdik, berkat
kecerdikannya ia mendapat keberuntungan Ia pun dapat terbebas dari kemiskinan.
Pak Lebai Malang
Pak Lebai adalah seorang guru agama yang tinggal ditepian sebuah sungai didaerah
Sumatra Barat. Suatu hari, ia mendapat undangan pesta dari dua orang yang sama-sama kaya.
Pak Lebai bingung, yang mana yang hendak didatanginya karena pesta itu berlangsung di waktu
yang sama, di tempat berjauhan.
Jika ia datang ke undangan yang pertama, yakni di hulu sungai, tuan rumah akan
memberinya 2 ekor kepala kerbau. Namun, masakan di sanan konon tidak enak. Lagipula, ia tak
terlalu kenal dengan tuan rumah tersebut. Jika ia datang ke undangan kedua, ia akan menerima
satu saja kepala kerbau. Namun masakannya enak. Di sana ia juga akan mendapatkan tambahan
kue-kue. Lagipula, ia kenal baik dengan tuan rumah tersebut.
Pak Lebai mulai mengayuh perahunya. Namun, ia masih belum juga bisa membuat
keputusan, undangan mana yang dipilihnya. Dengan ragu ia mulai mengayuh perahunya menuju
hulu sungai. Di tengah perjalanan, ia mengubah rencananya, lalu berbalik menuju hilir sungai.
Ketika hilir sungai sudah makin dekat, beberapa tamu terlihat sedang mengayuh perahu menuju
arah yang berlawanan. Mereka memberitahukan pada Pak Lebai.
“Kerbau yang disembelih di hilir sangat kurus, Pak Lebai!”
Pak Lebai kemudian berbalik lagi ke hulu, mengikuti orang-orang itu. Sesampai di hulu,
ah…. pesta ternyata sudah usai. Para tamu sudah tak ada. Makanan sudah habis. Pak Lebai lalu
segera mengayuh perahunya lagi menuju hilir. Di sana pun sama, pesta juga baru saja usai.
Sudah sepi, tak ada satu pun undangan yang terlihat. Pak Lebai pun lemas, juga karena
kelelahan mendayung ke hulu dan hilir. Ia mulai merasakan lapar, lalu memutuskan untuk
melakukan dua hal, yakni memancing dan berburu.
Ia lalu kembali ke rumahnya sebab untuk berburu ia perlu mengajak anjingnya. Ia juga
membawa bekal sebungkus nasi. Mulailah ia memancing. Setelah menunggu beberapa lama, ia
merasakan kailnya dimakan ikan. Pak Lebai merasa lega. Namun ketika ditarik, pancing itu
susah untuk diangkat ke atas. Pak Lebai berpikir, kail itu pasti tersangkut batu atau karang di
dasar sungai.
Kemudian ia terjun ke sungai untuk mengambil ikan itu. Berhasil. Ia keluarkan pancing
dan ikannya dari lekukan batu. Namun, ups! Begitu ia selesai melakukan hal itu, ikannya malah
terlepas. Pak Lebai merasa kecewa sekali. Ia lalu naik ke atas sungai. Sesampainya di atas air
Pak Lebai merasa lapar dan ingin memakan nasi bungkus yang dibawanya dari rumah.
Oh, ia juga mendapati nasinya sudah dimakan oleh anjignya! Benar-benar malang nasib
Pak Lebai. Kemalangan demi kemalangan didapatinya.
Sejak saat itu, ia mendapat julukan dari orang-orang sekitarnya Pak Lebai Malang.
Cerita Si Kabayan

Tersebutlah seorang lelaki di tanah Pasundan pada masa lampau. Si Kabayan


namanya. Ia lelaki yang pemalas namun memiliki banyak akal. Banyak akal pula dirinya
meski akalnya itu kerap digunakannya untuk mendukung kemalasannya. Si Kabayan
telah beristri. Nyi Iteung nama istrinya.
Pada suatu hari Si Kabayan disuruh mertuanya untuk mengambil siput-siput sawah.
Si Kabayan melakukannya dengan malas-malasan. Setibanya di sawah, ia tidak segera
mengambil siput-siput sawah yang banyak terdapat di sawah itu, melainkan hanya duduk-
duduk di pematang sawah.
Lama ditunggu tidak kembali, mertua Si Kabayan pun menyusul ke sawah.
Terperanjatlah ia mendapati Si Kabayan hanya duduk di pematang sawah. "Kabayan!
Apa yang engkau lakukan? Mengapa engkau tidak segera turun ke sawah dan mengambil
tutut-tutut (Siput) itu?"
"Abah-abah (Bapak), aku takut turun ke sawah karena sawah ini sangat dalam.
Lihatlah, Bah, begitu dalamnya sawah ini hingga langit pun terlihat di dalamnya," jawab
Si Kabayan.
Mertua Si Kabayan menjadi geram. Didorongnya tubuh Si Kabayan hingga
menantunya itu terjatuh ke sawah.
Si Kabayan hanya tersenyum-senyum sendiri seolah tidak bersalah. "Ternyata
sawah ini dangkal ya, Bah?" katanya dengan senyum menyebalkannya. Ia pun lantas
mengambil siput-siput sawah yang banyak terdapat di sawah itu.
Pada hari yang lain mertua Si Kabayan menyuruh Si Kabayan untuk memetik buah
nangka yang telah matang. Pohon nangka itu tumbuh di pinggir sungai dan batangnya
menjorok di atas sungai. Si Kabayan sesungguhnya malas untuk melakukannya. Hanya
setelah mertuanya terlihat marah, Si Kabayan akhirnya menurut. Ia memanjat batang
pohon. Dipetiknya satu buah nangka yang telah masak. Sayang, buah nangka itu terjatuh
ke sungai. Si Kabayan tidak buru-buru turun ke sungai untuk mengambil buah nangka
yang terjatuh. Dibiarkannya buah nangka itu hanyut.
Mertua Si Kabayan terheran-heran melihat Si Kabayan pulang tanpa membawa
buah nangka. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan raut wajah jengkel. "Mana buah
nangka yang kuperintahkan untuk dipetik?"
Dengan wajah polos seolah tanpa berdosa, Si Kabayan menukas, "Lho? Bukankah
buah nangka itu tadi telah kuminta untuk berjalan duluan? Apakah buah nangka itu
belum juga tiba?"
"Bagaimana maksudmu, Kabayan?"
"Waktu kupetik, buah nangka itu jatuh ke sungai. Rupanya ia ingin berjalan
sendirian. Maka, kubiarkan ia berjalan dan kusebutkan agar ia lekas pulang ke rumah.
Kuperingatkan pula agar ia segera membelok ke rumah ini. Dasar nangka tua tak tahu
diri, tidak menuruti perintahku pula!"
"Ah, itu hanya alasanmu yang mengada-ada saja, Kabayan!" mertua Si Kabayan
bersungut-sungut. "Bilang saja kalau kamu itu malas membawa nangka itu ke rumah!"
Si Kabayan hanya tertawa-tawa meski dimarahi mertuanya.
Pada waktu yang lain mertua Si Kabayan mengajak menantunya yang malas lagi
bodoh itu untuk memetik kacang koro di kebun. Mereka membawa karung untuk tempat
kacang koro yang mereka petik. Baru beberapa buah kacang koro yang dipetiknya, Si
Kabayan telah malas untuk melanjutkannya. Si Kabayan mengantuk. Ia pun lantas tidur
di dalam karung.
Ketika azan Dhuhur terdengar, mertua Si Kabayan menyelesaikan pekerjaannya. Ia
sangat keheranan karena tidak mendapati Si Kabayan bersamanya. "Dasar pemalas!"
gerutunya. "Ia tentu telah pulang duluan karena malas membawa karung berisi kacang
koro yang berat!"
Mertua Si Kabayan terpaksa menggotong karung berisi Si Kabayan itu kembali ke
rumah. Betapa terperanjatnya ia saat mengetahui isi karung yang dipanggulnya itu bukan
kacang koro, melainkan Si Kabayan!
"Karung ini bukan untuk manusia tapi untuk kacang koro!" omel mertua Si
Kabayan setelah mengetahui Si Kabayan lah yang dipanggulnya hingga tiba di rumah.
Keesokan harinya mertua Si Kabayan kembali mengajak menantunya itu untuk ke
kebun lagi guna memetik kacang-kacang koro. Mertua Si Kabayan masih jengkel dengan
kejadian kemarin. Ia ingin membalas dendam pada Si Kabayan. Ketika Si Kabayan
sedang memetik kacang koro, dengan diam-diam mertua Si Kabayan masuk ke dalam
karung dan tidur. Ia ingin Si Kabayan memanggulnya pulang seperti yang diperbuatnya
kemarin.

Dongeng Si Kabayan Cerita Rakyat Sunda Jawa Barat


Adzan Dhuhur terdengar dari surau di kejauhan. Si Kabayan menghentikan
pekerjaannya. Dilihatnya mertuanya tidak bersamanya. Ketika ia melihat ke dalam
karung, ia melihat mertuanya itu tengah tertidur. Tanpa banyak bicara, Si Kabayan
lantas mengikat karung itu dan menyeretnya.
Terperanjatlah mertua Si Kabayan mendapati dirinya diseret Si Kabayan. Ia pun
berteriak-teriak dari dalam karung, "Kabayan! Ini Abah! Jangan engkau seret Abah
seperti ini!"
Namun, Si Kabayan tetap saja menyeret karung berisi mertuanya itu hingga tiba di
rumah. Katanya seraya menyeret, "Karung ini untuk tempat kacang koro, bukan untuk
manusia.”
Karena kejadian itu mertua Si Kabayan sangat marah kepada Si Kabayan. Ia
mendiamkan Si Kabayan. Tidak mau mengajaknya berbicara dan bahkan melengoskan
wajah jika Si Kabayan menyapa atau mengajaknya bicara. Ia terlihat sangat benci dengan
menantunya yang malas lagi banyak alasan itu.
Si Kabayan menyadari kebencian mertuanya itu kepadanya. Bagaimanapun juga ia
merasa tidak enak diperlakukan seperti itu. Ia lantas mencari cara agar mertuanya tidak
lagi membenci dirinya. Ditemukannya cara itu. Ia pun bertanya pada istrinya perihal
nama asli mertuanya.
"Mengetahui nama asli mertua itu pantangan, Akang!" kata Nyi Iteung
memperingatkan. "Bukankah Akang sudah tahu masalah ini?"
Si Kabayan berusaha membujuk. Disebutkannya jika ia hendak mendoakan
mertuanya itu agar panjang umur, selalu sehat, murah rejeki, dan jauh dari segala mara
bahaya. "Jika aku tidak mengetahui nama Abah, bagaimana nanti jika doaku tidak
tertuju kepada Abah dan malah tertuju kepada orang lain?"
Nyi Iteung akhirnya bersedia memberitahu jika suaminya itu berjanji untuk tidak
menyebarkan rahasia itu. katanya, "Nama Abah yang asli itu Ki Nolednad. Ingat, jangan
sekali-kali engkau sebutkan nama Abah itu kepada siapa pun!"
Setelah mengetahui nama ash mertuanya, Si Kabayan lantas mencari air enau yang
masih mengental. Diambilnya pula kapuk dalam jumlah yang banyak. Si Kabayan
menuju lubuk, tempat mertuanya itu biasa mandi. Ia lantas membasahi seluruh tubuhnya
dengan air enau yang kental dan menempelkan kapuk di sekujur tubuhnya. Si Kabayan
kemudian memanjat pohon dan duduk di dahan pohon seraya menunggu kedatangan
mertuanya yang akan mandi.
Ketika mertuanya sedang asyik mandi, Si Kabayan lantas berseru dengan suara
yang dibuatnya terdengar lebih berat, "Nolednad! Nolednad!"
Mertua Si Kabayan sangat terperanjat mendengar namanya dipanggil. Seketika ia
menatap arah sumber suara pemanggilnya, kian terperanjatlah ia ketika melihat ada
makhluk putih yang sangat menyeramkan pada pandangannya. "Si siapa engk ... engkau
itu?" tanyanya terbata-bata.
"Nolednad, aku ini Kakek penunggu lubuk ini." kata Si Kabayan. "Aku peringatkan
kepadamu Nolednad, hendaklah engkau menyayangi Kabayan karena ia cucu
kesayanganku. Jangan berani-berani engkau menyia-nyiakannya. Urus dia baik-baik.
Urus sandang dan pangannya. Jika engkau tidak melakukan pesanku ini, niscaya engkau
tidak akan selamat!"
Mertua Si Kabayan sangat takut mendengar ucapan 'Kakek penunggu lubuk' itu.Ia
pun berjanji untuk melaksanakan pesan 'Kakek penunggu lubuk' itu.
Sejak saat itu mertua Si Kabayan tidak lagi membenci Si Kabayan. Disayanginya
menantunya itu. Dicukupinya kebutuhan sandang dan pangan Si Kabayan. Bahkan,
dibuatkannya pula rumah, meski kecil, untuk tempat tinggal menantunya tersebut.
Setelah mendapatkan perlakuan yang sangat baik dari mertuanya, Si Kabayan juga
sadar akan sikap buruknya selama itu. Ia pun mengubah sikap dan perilakunya. Ia tidak
lagi malas-malasan untuk bekerja. Ia pun bekerja sebagai buruh. Kehidupannya bersama
istrinya membaik yang membuat istrinya itu bertambah sayang kepadanya. Si Kabayan
juga bertambah sayang kepada Nyi Iteung seperti sayangnya kepada mertuanya yang
tetap baik perlakuan terhadapnya. Mertuanya tetap menyangka Si Kabayan sebagai cucu
'Kakek penunggu lubuk'. Ki Nolednad sangat takut untuk memusuhi atau menyia-
nyiakan Si Kabayan karena takut tidak akan selamat dalam hidupnya seperti yang telah
dipesankan 'Kakek penunggu lubuk'!

Anda mungkin juga menyukai