Anda di halaman 1dari 18

PEMIKIRAN ULAMA NUSANTARA DI BIDANG TAFSIR SEBELUM ABAD KE 20:

NAWAWI AL-BANTANI DAN KYAI SALEH DARAT

Disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pemikiran Ulama Nusantara

DOSEN PENGAMPU

Dr. Abdul Fadhil, M. Ag.

Disusun Oleh:

Kelompok 3

Bima Joy Pradana 1404620028

Mutiah 1404620083

Sahila 1404620066

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2022
PENDAHULUAN

Proses awal masuknya Islam di Nusantara dibawa oleh para penyebarnya yang berasal
dari Gujarat, Persia dan Arab. Bersamaan dengan itu, kitab suci Al-Qur’an diperkenalkan para
juru dakwahnya kepada penduduk pribumi di Nusantara. Pengenalan awal terhadap Al-Qur’an
itu, bagi penyebar Islam tentu suatu hal yang penting, karena Al-Qur’an adalah kitab suci agama
Islam yang diimani sebagai pedoman hidup bagi orang yang telah memeluk Islam. Dalam tradisi
pemikiran Islam, al-Qur’an telah melahirkan sederetan teks turunan. Teks-teks turunan itu
merupakan teks kedua bila Al-Qur’an dipandang sebagai teks pertama- yang menjadi
pengungkap dan penjelas makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Teks kedua ini lalu dikenal sebagai literatur tafsir al-Qur’an, yang ditulis oleh para ulama
dengan kecenderungan dan karakteristik masing-masing, dengan corak dan model metode yang
dipakainya beragam dan berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia, tradisi penulisan bidang tafsir
al-Qur’an sebelum abad ke-20 masih terbilang sedikit. Walaupun demikian, penggunaan rujukan
ayat ayat al-Qur’an dalam dunia intelektual yang bisa dikatakan sebagai benih aktivitas
penafsiran, sudah berlangsung seiring dengan dinamika pemikiran yang lain.

Lahirnya literatur tafsir dan terjemahan Al-qur’an merupakan respon dan pengaruh dari
latar belakang sosio-budaya seorang mufassir. Hal ini dapat dipahami, karena tafsir Alquran
merupakan hasil konstruksi intelektual seorang mufassir dalam menjelaskan pesan-pesan yang
terkandung di dalam Alquran sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan
budaya yang sedang melingkupinya. Di Nusantara terdapat beberapa mufassir yang menuliskan
tafsir Alquran dalam berbagai bahasa dengan tujuan untuk mengisi kebutuhan literatur pada
zamannya. Salah satunya adalah Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Muhammad Shalih Ibnu
Umar al-Samarani atau dikenal dengan Kiai Shaleh Darat.

Syekh Nawawi al-Bantani dengan karyanya yaitu tafsir Marah Labid. Sekalipun tafsir ini
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya dan ditulis di luar Nusantara, yaitu
Mekkah, tetapi proses awalnya memang merupakan jawaban atas kebutuhan beberapa koleganya
di Indonesia, dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan studi tafsir di
Indonesia. Hal ini terbukti dengan keberadaannya sampai sekarang masih menjadi sumber
bacaan wajib dalam bidang tafsir di beberapa pesantren.
Sedangkan Kiai Shaleh Darat membuat penulisan Tafsir di Indonesia terus berkembang
dengan karya nya yaitu kitab tafsir Faid Al Rahman yang ditulis dalam bahasa Jawa (Arab
pegon) pada tahun 1894-1312 H. Selain itu, penafsiran beliau juga memuat unsur-unsur bercorak
sufistik atau tafsir isyary. Tafsir beliau memberikan kontribusi bagi para pembaca dari kalangan
penutur bahasa jawa

Terkait dari penjelasan di atas, maka penulis berusaha memaparkan tentang pemikiran
ulama nusantara yaitu Nawawi al-Bantani dan Kiai Shaleh Darat dalam bidang tafsir.
PEMBAHASAN

A. Syekh Nawawi Al-Bantani


1. Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Syaikh Nawawi al Bantani al Jawi mempunyai nama asli Nawawi bin Umar bin ‘Arabi. Ia lahir
di desa Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten (sekarang propinsi yang pisah dari Jawa Barat) pada
tahun 1230 H/1813 M. Beliau wafat pada hari Kamis 25 Syawal 1314 H/1897 M di Syi’ib Ali,
Mekkah dalam usia 84 tahun (Ghafur, 2003: 119). Ia dikubur di Pemakaman Ma’la yang
berdekatan dengan kuburan Ibnu Hajar alAsqalani (pakar hadis abad 9 H) dan Siti Asma’ binti
Abu Bakar al Shiddiq (Haryono, 2002: 85-86).

Sejak kecil Syekh Nawawi telah diarahkan ayahnya, K.H. Umar bin Arabi yang merupakan
seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid untuk menjadi seorang ulama. Kecerdasan
beliau sudah terlihat sejak kecil yang mana pada usia 5 tahun Syekh Nawawi dengan mudahnya
menerima pelajaran yang telah di berikan ayahnya. Melihat potensi yang ada pada diri anaknya,
K.H Umar menyerahkan putranya kepada K.H Sahal yang merupakan ulama terkenal di Banten.
Setelah belajar dengan K.H Sahal, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada K.H. Yusuf yang
merupakan ulama besar Purwakarta

Kecintaan Syekh Nawawi terhadap ilmu Agama membuat dirinya bersemangat untuk selalu
mempelajari berbagai macam jenis ilmu agama. Imam Nawawi kelihatanya sangat terpengaruh
dengan pernyataan Imam Safi’i dalam mendorong pencarian ilmu kepada murid-muridnya.
“Tidaklah layak bagi seseorang yang berakal dan berilmu beristirahat dalam mencari ilmu,
tinggalkan negerimu dan berkelanalah, kelak engkau akan menemukan pengganti orang yang kau
tinggalkan, bersusah payahlah, karena sesungguhnya ketinggian derajat kehidupan hanya bisa
dicapai dengan kesusahpayahan”.

Dalam usia 15 tahun, Nawawi al Bantani meninggalkan tanah air menuju Mekkah (al Rahman,
1996: 23-24). Di sanalah ia belajar dan berguru pada Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad
Dimyathi, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang semuanya itu berada di Mekkah (para Masyayikh
Masjid al Haram ketika itu) (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997: 23-24). Ia juga belajar
pada Muhammad Khathib al Hanbali, seorang ulama yang bermukim di Madinah, kemudia
beliau juga melanjutkan belajarnya ke Syam (sekarang Syiria) dan Mesir.
Setelah tiga puluh tahun di negeri Arab, beliau pulang ke Tanara, Banten atas restu guru-
gurunya, tepatnya pada tahun 1833. Sesampai di kampung halamannya, ia menyebarluaskan
ilmunya kepada santri-santri pesantren orang tuanya dengan harapan agar mereka mendapatkan
pengetahuan Islam dan disebarluaskannya. Selain mengajar para santri, ia juga memberikan
ceramah-ceramah umum di lingkungan masyarakat sekitarnya. Ceramah-ceramahnya ternyata
mampu menyedet masa dan menggairahkan kesadaran mereka untuk bangkit melawan para
kolonial yang membawa penindasan di bumi Nusantara ini.

Pada masa yang sama para Kolonial Belanda selalu terus-menerus melakukan pengawasan
terhadap kegiatan keagamaan tanpa terkecuali kegiatan-kegiatan Nawawi al Bantani. Melihat
kondisi sosial yang tidak nyaman bagi beliau dan karena keenggananya bekerjasama dengan
pemerintah kolonial, lantas beliau bertekad untuk kembali ke Hijaz.

Setelah kurang lebih tiga tahun berada di Banten, tepatnya 1855, ia pun berangkat ke Mekkah
untuk menimba ilmu (Anshari dkk., 1989: 98). Meskipun akhirnya menetap jauh di negeri
Mekkah sampai wafat, Nawawi al Bantani tetap mempunyai perhatian penuh terhadap persoalan-
persoalan bangsanya, melalui kontak dengan murid-muridnya yang berasal dari Nusantara.

2. Karya-karya Syekh Nawawi Al-Bantani

Nawawi terkenal sebagai salah seorang ulama besar di kalangan umat Islam internasional. Ia
dikenal melalui karya-karya tulisnya dan memeperoleh gelar kehormatan dari Arab Saudi, Mesir,
dan Suriah diberikan kepadanya. KH. Saefuddin Zuhri menyebutkan, kitab-kitab yang dikarang
atau ditulisnya lebih dari seratus buah karya, dan umumnya karya-karya itu membahas ilmu
fikih, ushuluddin, dan tafsir al Quran.

Beberapa karya Nawawi al Bantani cukup populer dan secara mayoritas seringkali dikonsumsi
orang-orang Islam yang belajar di pesantren Indonesia dikategorikan dalam tujuh rumpun bidang
ilmu sebagai berikut:

1. Bidang ahlak dan tasawuf; seperti Nashaih al ‘Ibad, al Adzkar, al Maraqi al ‘Ubudiyah,
Sulalim al Fudhala, Mishbah al Zhulam;
2. Bidang hadis; seperti AlArba’in alNawawi, Tanqih al Qaul;
3. Bidang fikih; seperti Nihayah alZain, Kasyifah alSaja, al Tsamar fi Riyadh alBadi’ah,
Sulam Munajat, ‘Uqud alLujain, a lTausyih ibn Qasim;
4. Bidang tauhid, akidah, ushuluddin; seperti Tijan al Darari, Qami’ Thugyan, Fath al
Majid;
5. Bidang sejarah; seperti al Ibriz al Dani fi Maulid Sayyidina Muhammad, Bughyah al
Awwam fi Maulid Sayyid al Anam;
6. Bidang gramatikal Arab (Nahwu, Sharaf, dan balaghah); seperti Fath al Ghafir al
Khatiyah ‘ala al Kawakib al Jaliyah fi Nazham al Ajrumiyah, al Fushush al Yaqutiyah
‘ala Raudhah al Bahiyah fi Abwab al Tashrifiyah, Lubab al Bayan fi al Isti’arah;
7. Bidang tafsir; seperti Marah Labid fi Kasyfi Ma’na al Quran al Majid.

3. Karakter Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani

Pandangan Syekh Nawawi Al-Bantani menyangkut tasawuf atau sufisme, ia tidak menyuruh dan
tidak pula melarang murid-muridnya untuk memasuki tarekat, ia tampaknya berusaha bersikap
netral, sekalipun diketahui ia merupakan pengikut salah seorang gurunya Syaikh Khathib al
Sambasi, tokoh pendiri tarekat Naqsyabandiyah wa Qadiriyah di Nusantara ini. Dalam bidang
hukum Islam, tidak heran ternyata kalau Nawawi al Bantani adalah mufassir dan musyarrih
(penafsir dan pengulas/penjelas) sekaligus pembela Madzhab al Syafi’i. Pada konteks ini, ia juga
menafsirkan dan memberikan penjelasan karya-karya Syafi’iyah, seperti al Ramli, Zakaria al
Anshari, Ibnu Hajar al Asqalani dan sebagainya. Dalam bidang tauhid, Nawawi al Bantani
adalah tipikal Asy’ariyah, sekalipun ia tetap menekankan pentingnya penggunaan akal dalam
memahami Tuhan khususnya, di samping wahyu al Quran itu sendiri. Dalam bidang pendidikan,
pandangan Syekh Nawawi Al-Bantani tergambar dalam Tafsir Surat Al-Rahman Ayat 1-14 pada
kitab MarāḥLabīd, diantaranya:

1. Prinsip-Prinsip Aktivitas Pendidikan Islam

Hakikat pendidikan dan pengajaran dalam Islam menurut Syekh Nawawi mencakup ta’lim,
tarbiyahdan ta’dib. Pendidikan mencakup transfer of knowledge, transfer of value, transfer
of methodologydan transformasi. Pendidikan mencakup jasmani (praktik/amal), intelektual,
mental/spiritual dan berjalan sepanjang hidup dan integral. Sifat-sifat pendidikan yang
dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam termasuk Syekh Nawawi sangat ketat. Hal ini
karena peranan guru dalam Islam tidak sekadar ahli ilmu, nilai dan metode, tetapi juga
transformasi (membentuk kepribadian peserta didik). Di samping itu diyakini bahwa para
pendidik menempati posisi ulama sebagai pewaris para nabi, sehingga pendidik harus dapat
menjadi teladan bagi peserta didiknya.
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan dalam Islam menurut Syech Nawawi merupakan refleksi dari fungsi manusia
sebagai ubudiyah dan khalifa. Pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada
pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, yaitu mengarahkan manusia untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagaimana tercermin dari perkataannya tersebut,
maka tujuan pendidikan dalam Islam (memperoleh ilmu) menurut Syech Nawawi itu ada empat,
yakni: (a) Agar memperoleh Ridho (kerelaan) dari Allah (mardatillah) dan memperoleh
kebahagiaan hidup di akhirat, (b) Untuk menghilangkan kebodohan dari diri sendiri, orang
lain (peserta didik), dengan cara setelah mendapat ilmu ia harus mengajar orang lain untuk
menghilangkan kebodohan, (c) Menghidupkan agama dan mengabadikan Islam dengan sinaran
ilmu, (d) Untuk mensyukuri nikmat Allah, berupa pemberian akal dan kesehatan
badanm(Hidayat & Fasa, 2019).
Dari empat tujuan pendidikan dalam Islam yang digagas Nawawi, yaknimemperoleh ilmu
untuk mencari Ridhodari Allah dan mencapai persiapan kehidupan akhirat adalah merupakan
realitas dari fungsi manusia untuk ubudiyah, sedangkan tujuan lainnya berkaitan dengan fungsi
manusia sebagai khalifah. Maksud manusia untuk ubudiyahialah semua aktivitas manusia
harus dibingkai dengan nilai mardatilladan kebahagiaan akhirat. Sedangkan fungsi manusia
sebagai khalifah adalah bagaimana mengatur kehidupan dan mengolah alam semesta ini untuk
kemakmuran bagi manusia sekarang dan generasi mendatang, sekaligus juga ubudiyah.
3. Metode Pengajaran
Menurut SyechNawawi upaya pendidik untuk memilih metode pengajaran yang tepat dalam
mendidik peserta didik harus disesuaikan dengan tuntutan agama, yaitu seorang pendidik harus
mengusahakan agar pelajaran yang diberikannya mudah diterimadan dengan bahasa yang sesuai.
Pendekatan ini tidak cukup dengan bersikap lemah lembut saja, akan tetapi pendidik harus pula
memikirkan metode pengajaran yang cocok digunakan untuk peserta didik, seperti memilih
waktu yang tepat, materi yang cocok, pendekatan yang baik, efektivitas penggunaan metode dan
sebagainya(Suwarjin, 2017).
4. Penjenjangan Keilmuan
Syech Nawawi Al-Bantani saat menafsirkan Surat Al-Rahman ayat 1 s.d. 14 dalam kitab Tafsir
Marāḥ Labīd menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan adalah berjenjang baik dalam hal
pemerolehannya juga penyebarannyadan segala sumber ilmu adalah Allah SWT. Kita bisa
melihat bagaimana Syekh Nawawi menafsirkan Surat Al-Rahman ayat 1 s.d. 14 secara
berkesinambungan antara satu ayat dengan ayat berikutnya yang menggambarkan bahwa ilmu
pengetahuan disusun secara sistematis, logis, dan beralasan.

4. Cara penafsiran Syekh Nawawi Al-Bantani

Salah satu karya beliau yang paling masyhur adalah dalam bidang tafsir yaitu kitab marah labid.
Dari segi teknik penafsirannya, Marâh labîd termasuk dalam kategori tafsir yang menggunakan
metode Ijmali, di mana Nawawi berusaha untuk menafsirkan seringkas mungkin tetapi tetap
mencakup banyak hal dengan menggabungkan pendapat-pendapat dalam bahasa yang ringkas.

Tafsir MarāḥLabīdtelah lulus uji kelayakan dan sebagai wujudnya ia telah mendapat persetujuan
dari para ulama yang berada di Mekkah dan Kairo (Mesir) agar dicetak atau diterbitkan,
kemudian pada 1887 M. baru untuk pertama kalinya dicetak atau diterbitkan dengan
menyertakan di bawah/di sampingnya (wa biha Masysyah), Kitab al Wajiz fi Tafsir al Quran al
Azizkarya Abu Hasan ‘Ali ibnu Ahmad al Wahidi. Tafsir ini memiliki metode dan corak seperti
tafsir-tafsir yang muncul sebelumnya, karena di dalam penafsirannya tidak lepas dari kondisi
sosiopolitik yang dihadapi, keilmuan yang dimilikinya, dan sebagainya. Walau bagaimanapun
Tafsir Marāḥ Labīd merupakan tafsir yang terbaik pada kondisi dan zamannya baik dari
penulisan, metode maupun coraknya (Bahary, 2015).

Contoh Penafsiran

Berikut ini contoh penjelasannya kandungan Al-Fatihah yang cukupvisioner dalam penafsiran
Nawawi. Al-Bantani di saat kondisi yang tidak menguntungkan. Menurutnya, surat Al-Fatihah
secara global memiliki empatkandungan pokok(Bahary, 2015).

1)Tauhid atau ‘ilm al Ushul yang berisi tentang semua persoalanketuhanan.Hal ini terkandung
dalam ayat ke-1 (alhamdulillahi rabb al‘alamin) dan ayat ke-3 (al rahman al rahim). Selain
itu, berisi persoalankenabian, yang terkandung dalam ayat ke-7 (alladzina an’amta‘alaihim) dan
tentang hari akhir yang terkandung dalam ayat ke-4(maliki yaumiddin).

2)‘Ilm al Furu’. yang paling besarnya adalah persoalan ibadah-ibadah.Ibadah-ibadah tersebut


menyangkut baik harta maupun fisik,karena keduanya merupakan persoalan-persoalan
kehidupan sepertimuamalah, munakahat, dan hukum-hukum mengenai perintah dan larangan.
Aspek harta (dalam konteks sekarang ekonomi) dan fisik(kesehatan) yang cukup dominan,
karena akses kedua hal tersebutsangat sulit ketika dalam kondisi imperialisme saat itu.

3)‘Ilm Tahshil al Kamalatyang disebut ilmu akhlak seperti penekanan istikamah pada jalan yang
benar, terkandung dalam ayat ke-5 (iyyakana’budu wa iyyaka nasta’in), sedang yang
penekanannya pada syariat,semuanya yang terkandung dalam al shirat al mustaqimdengan tanpa
mengikutsertakan lafal ihdina.

4)Persoalan tentang kisah-kisah para nabi dan kaum yang beruntung masuk surga terdapat pada
alladzina ‘an ‘amta ‘alaihim, sedang kaumyang tidak beruntung seperti orang-orang kafir masuk
dalam ghayral maghdhubi ‘alaihim(Al-Bantani, 1997a) (Rachman, 1897).

B. Kyai Shaleh Darat

1. Biografi Kyai Shaleh Darat

Kyai Sholeh Darat memiliki nama lengkap Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani.
Kyai Sholeh Darat lahir di Desa Kedung Cendung Kabupaten Jepara Jawa Tengah tahun 1820
M/1236 H. Dan beliau wafat pada tanggal 18 Desember 1903/28 Ramadhan 1321 H. Mengenai
sematan “Darat” yang melekat pada namanya merupakan sebuah desa yang letaknya di pantai
utara Pulau Jawa, tepatnya di perkampungan Dipah Darat atau Darat Tirto, Kelurahan Dadapsari,
Kecamatan Semarang Utara, Jawa Tengah. Penambahan dibelakang namanya tersebut,
sepertinya sudah ada sejak Sholeh Darat masih hidup. Bahkan Sholeh Darat sendiri pernah
menyertakan nama Darat sebagai nama resminya di dalam salah satu surat yang berhuruf Arab
Jawa (pegon) yang dikirimkan kepada penghulu Tafsir Anom (Penghulu Kraton Surakarta).

Pendidikan beliau bermula dari ayahnya sendiri dengan mempelajari Al Quran dan dasar
dasar agama. Kemudian beliau melanjutkan belajar ke pesantren pesantren di Jawa, seperti Kyai
Syahid, Kyai Muhammad Saleh Asnawi, Kyai Muhammad Ishaq Damaran, Kyai Muhammad
Ba‟alwi, dan seorang mufti Semarang yakni Kyai Abu Abdillah Muhammad Hudi Banguni.
Setelah belajar di Jawa, beliau lalu pergi ke Mekkah bersama ayahnya untuk melaksanakan
ibadah haji dan sempat singgah beberapa saat di Singapura. Beberapa lama kemudian ayahnya
wafat di Mekkah sehingga beliau memutuskan untuk tinggal dan belajar di Mekkah. Ketika di
mekkah beliau belajar dengan beberap guru diantaranya Syeikh Muhammad Al Murqi, Syaikh
Muhammad Sulaiman Hasbullah, Syeikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Muhammad
Yusuf Al Misri, dan Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Ketika di Mekkah beliau sempat belajar
bersama Syaikh Nawawi Al Bantani Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, dan Kyai Kholil
Bangkalan.

Kyai Sholeh Darat juga di percaya untuk mengajar di Mekkah oleh gurunya. Di sanalah
beliau menjadi guru para calon ulama besar dari nusnatara yakni Kyai Dalhar Watucongol
Magelang, Kyai Dimyati Termas Pacitan, Kyai Dahlan Termas Pacitan, Kyai Kholil Harun
Kaisngan, dan Kyai Asnawi Kudus. Setelah pulang dari Mekkah Kyai Sholeh Darat mendirikan
pondok pesantren di Desa Darat Semarang. Karya Kyai Sholeh Darat kurang lebih ada 90 kitab
yang pernah ditulisnya. Meliputi terjemahan, saduran, dan karya asli. Diantara contoh karya
karya beliau yaitu terjemah kitab Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari, terjemah kitab
Bidayah Al Hidayah karya Imam Ghazali, terjemah shalawat Burdah karya Al Bushiri, tafsir al
quran juz amma, kitab munjiyat (saduran dari salah satu bagian kitab ihya’ Al Ghazali), kitab
Majmu’ah al Syariah al Kifayah Al Awam (fasholatan), mursyid al wajiz, dan faid al rahman
(tafsir).

2. Karakter Pemikiran Kyai Sholeh Darat

Dalam pemikiran kalam atau teologi, Sholeh Darat menganut ahl alsunnah wa al-jama’ah.
Bermadzhab Syafi’i dalam bidang fikih, serta dalam bidang tasawuf menganut tarekat
qadiriyah.. Sebagai seorang ulama berpengaruh, tentunya Sholeh Darat memiliki karakter khas
dalam segi pemikiran. Bila diamati, karakter tersebut tertuang dalam karya-karya dan paradigma
para santrinya. Berikut adalah beberapa karakter pemikiran Sholeh Darat:

1. Anti puritanisme

Pada dasarnya puritanisme dalam Islam merupakan pemurnian ajaran Islam dari
segala unsur yang berasal dari luar, yang mungkin mencampuri atau memengaruhi ajaran
Islam yang kebenarannya dijamin oleh Tuhan. Paham puritan ini kemudian menjadi
pemisah antara ranah budaya dan ranah wahyu. Puritanisme ingin mensterilkan Islam dari
segala unsur budaya atau sejarah manusia yang hal tersebut bagi mereka berupa tahayyul,
bid’ah, dan khurafat. Paham puritanisme ini, kebanyakan berada di kawasan Timur
Tengah sekitar abad ke-19 dan abad ke-20 yang dilakukan oleh pemikir pembaharu
Islam. Meski begitu, Sholeh Darat yang hidup dan menimba ilmu di Makkah,
pemikirannya tidak cenderung ke sana atau tidak terpengaruh. Sebaliknya, pemikiran
Sholeh Darat adalah sintesa yang berasal dari percampuran Islam dan tradisi budaya,
sebagaimana khas para ulama Nusantara. Meskipun Sholeh Darat menetap begitu lama di
Makkah, ia sama sekali tidak mengadopsi paham puritanisme yang menyebar luas di
Timur Tengah pada waktu itu. Justru karakter pemikiran Sholeh Darat begitu kental
dengan tradisi masyarakat Nusantara, begitu dekat dengan tradisi spiritual dan khazanah
batin yang tumbuh dan berkembang di mayarakat.

2. Cenderung Sufistik dan Dekat dengan kearifan lokal

Sholeh Darat merupakan figur ulama yang terkenal sufistik dan akomodatif dengan
budaya-budaya lokal. Khazanah sufisme yang dimiliki Sholeh Darat inilah yang
kemudian memunculkan pemikiran dan sifat toleran terhadap berbagai tradisi masyarakat
pada saat itu, khususnya masyarakat Jawa. Keluasan ilmu yang dimilikinya, membuat
Sholeh Darat mampu membaca fenomena yang berada di sekitarnya dan tahu bagaimana
cara menyikapi fenomena tersebut. Sholeh Darat melihat budaya, tradisi, dan adat istiadat
yang ada pada masyarakat sudah melekat dan dipraktikkan bertahun-tahun serta sudah
menjadi kebiasaan turun-temurun sehingga akan sulit untuk digantikan dengan syariat
Islam. Karena hal tersebut, dalam berdakwah, Sholeh Darat tidak menghapus atau
mengubah tradisi dan adat istiadat yang sudah ada dan berkembang di masyarakat,
melinkan meluruskan berbagai adat dan tradisi tersebut agar tidak menyimpang dari
ranah syariat. Sholeh Darat berusaha mengimplementasikan semangat nilai-nilai Islam ke
dalam tradisi lokal yang menjadikan Islam sebagai unsur komplementer dari unsur yang
memang sudah ada.

3. Integrasi Fikih dan Tasawuf


Sholeh Darat tidak meninggalkan fikih demi tasawuf dan tidak pula melupakan
tasawuf demi fikih. Keduanya diinetgrasikan oleh Sholeh Darat sehingga terbentuklah
pemahaman yang utuh dan serasi. Dalam membahas persoalan fikih, Sholeh Darat
mengikut sertakan tasawuf. Dan ketika membahas tasawuf, ia tidak meninggalkan fikih.
Dalam pandangan Sholeh Darat, kehidupan mempuanyai dua sisi, yaitu dzahir dan batin.
Dalam hal ini, Sholeh Darat melihat fikih dan tasawuf seperti kapal dan samudera.
Pandangan ini diduga terilhami dari Imam Al-Ghazali yang terkenal sebagai peletak
dasar-dasar tasawuf yang beriringan dengan fikih. Menurut Sholeh Darat, fikih (syariat)
berperan sebagai kapal yang merupakan syarat untuk mengarungi tasawuf sebagai
samudera demi mendapatkan ilmu hakikat sebagai mutiara. Dengan demikian, fikih dan
tasawuf merupakan media untuk mencapai sebuah tujuan, yaitu ilmu hakikat yang
diibaratkan dengan mutiara. Sholeh Darat adalah seorang yang tidak bisa hanya
mendalami salah satu dari fikih dan tasawuf. Menurutnya, kedua ilmu tersebut saling
berkaitan dalam upaya menjadi muslim yang sempurna. Karena itulah Sholeh Darat

3. Cara Penafsiran Kyai Sholeh Darat

Dalam menjelaskan sebuah ayat terkadang KH. Sholeh Darat mengaitkan ayat al Quran,
hadist, akal, kitab kitab tafsir klasik, serta beberapa pendapat kaum sufi berdasarkan aspek
kandungan isinya.

a. Al Quran

Model penafsiran Kiai Sholeh Darat selalu mengaitkan dengan al quran. Salah
satu contohnya yakni penafsiran Q.S Al fatihah ayat enam. Bahwa yang dimaksud
hidayah Al Kash yakni hidayah yang diberikan kaum muslim yang mengantarkannya
menuju jalan surga.

b. Al hadis

Penafsiran Kyai Sholeh Darat banyak merujuk pada hadis hadis Nabi saw.
Contohnya tafsir Q.S Al Fatihah ayat 6 tentang maqam maqam hidayah yang beliau
ambil dari keterangan Imam Ghazali. Nabi telah bersabda: “Demi Allah, jika bukan
karena Allah, sungguh tidak akan mendapat hidayah”
c. Akal

Kyai Sholeh Darat tidak menafsirkan al quran dengan pendapatnya sendiri. Hal
ini sudah disinggung dalam muqoddimahnya bahwasannya beliau menghindari
penafsiran terhadap ijtihadnya sendiri. Kyai Sholeh Darat mengangap bahwa akal
merupakan karunia Alllah yang harus digunakan mengetahui keagungan Tuhan dan
menjalankan syariat islam. Maka dari itu, akal dalam penafsiran penafsiran beliau lebih
pada penafsiran akal secara baik yang mengacu pada al quran dan hadis.

d. Kitab kitab tafsir klasik

Kyai Sholeh Darat banyak menukil pendapat dari para muafassir klasik seperti
AL Razi (Tafsir Mafatih Al Ghaib), Imam Jalaludin (Tafsir Jalalain), Imam Al Khazin
( Lubab Al Ta wil ‟ Fi Ma‟ani Al Tanzil). Contoh tafsir yang sering dijadikan rujukan
beliau yaitu Tafsir Madarik Al Tanzil karya Al Nasafi dan Anwar Al Tanzil Wa Asrar Al
Ta‟wil karya Al Baidhawi. Salah satu contoh penafsiran beliau yang merujuk pada tafsir
klasik yakni penafsiran Q.S Al Baqarah ayat 25. “Imam Al Nasafi berkata: ayat ini
memberikan pengertian bahwa iman dan amal itu berbeda. Bersambungnya athaf lafadz
aamanu dan „amiluu yang menunjukkan perbedaan, karena setiap penyambung berbeda
dengan yang disambung. Iman tidak akan sempurna jika tanpa amal, begitu juga
sebaliknya. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat ini ialah berkumpulnya iman dan amal
secara muthlak. Adapun jika iman tanpa amal akan terhenti menunggu ampunan. Jika
diampuni maka akan masuk surga, namun jika tidak maka akan masuk neraka terlebih
dahulu baru kemudian masuk surga.”

e. Kaum sufi

Yang menjadi ciri khas dalam tafsir ini ialah mengambil rujukan rujukan dari
pendapat imam sufi. Kyai Sholeh Darat mengemukakan bahwa beliau menyandarkan
penafsirannya pada Imam Ghazali. Namun, ada juga beberapa penafsiran beliau yang
menyandarkan dari penafsiran Ibnu Arabi. Pengaruh Kyai Sholeh Darat pada Imam
Ghazali begitu besar. Dibuktikan dengan karya beliau yang berjudul “Munjiyat Metik
Saking Ihya Ulum Al Din Al Ghazali” (Munjiyat Mengambil dari Ihya Ulum Al Din
Imam Al Ghazali). Selain dengan Imam Ghazali beliau juga berkaitan dengan Ibnu Arabi.
Walaupun tidak ada kitab khusus yang berkaitan dengan Ibnu Arabi. Dalam beberapa
tafsirnya,beliau mengutip pendapat dari Ibnu Arabi, misalnya Q.S Ali Imran ayat 19. Di
dalamnya kitab beliau dijelaskan, “ Syaikh Al Kabir Ibnu Arabi menjelaskan (agama
yang diridhoi Allah) Allah yang dimaksud disini ialah satu (tauhid) yang berkehendak
dengan dirinya sendiri. Sedangkan yang dimaksud gama ialah agama islam yang berarti
ikhlas, seperti pernyataan Nabi Ibrahim (Saya mencari ridho Allah), maksudnya dengan
keseluruhannya, melepaskan diri sehingga menyatu didalamNya.

4. Karya dan Contoh Penafsiran Kyai Sholeh Darat

a.) Karya Tafsir Kyai Sholeh Darat

Kitab tafsir dengan judul tafsir Faid Al Rahman Fi tarjamah kalam Malik Al Dayan.
Tafsir tersebut merupakan karangan dari KH. Sholeh darat al-samarani yang mana memiliki
nuansa sufistik arab pegon. Jadi tafsir ini kaya dengan lokalitas Jawanya, hal ini terlihat di
penafsirannya yang menggunakan tulisan Jawa (Arab pegon).Tujuan Kyai Haji Soleh darat
melakukan penafsiran dengan cara menerjemahkan Al-Quran dengan bahasa Jawa, agar orang-
orang Awam pada waktu itu bisa dengan mudah mempelajari Al-Quran karena pada waktu itu
semua orang tidak bisa berbahasa Arab. Selain itu, orang-orang awam tidak mau memikirkan
atau menelaah maksud kandungan Al Qur'an.

Dalam penafsiran Alquran ke dalam bahasa Jawa ini, memiliki tiga aspek nuansa budaya
Jawa yang menjadi ciri khas penafsiran yaitu tata krama bahasa krama ungkapan tradisional
Jawa dan gambaran alam Jawa. Pertama, tatakrama bahasa atau yang dikenal dalam Jawa
dengan unggah-ungguh basa (tingkatan bahasa) dalam bahasa Jawa memiliki perbedaan dalam
hal usia kedudukan, pangkat dan tingkatan keakraban sesuai situasi yang diajak bicara. Kedua,
ungkapan tradisional Jawa itu seperti ungkapan dan peribahasa di mana menjadi ciri khas dalam
tafsir jawa yang menunjukkan prinsip hidup orang Jawa dalam memberikan nasehat dan
bertingkah laku baik. Ketiga, gambaran alam Jawa dimaksudkan sebagai ciri khas tafsir jawa
yang menggambarkan pandangan hidup Jawa. Sehingga penafsiran ini tidak hanya
mendeskripsikan atau menggambarkan suasana kultural sosialnya saja, akan tetapi juga
menggambarkan diri seorang penafsir yang memiliki kesesuaian dengan batin dan pemikiran
pembacanya. Jadi tafsir ini kaya dengan lokalitas Jawanya, hal ini terlihat di penafsirannya yang
menggunakan tulisan Jawa (Arab pegon).

Tujuan Kyai Haji Soleh darat melakukan penafsiran dengan cara menerjemahkan Al-
Quran dengan bahasa Jawa, agar orang-orang Awam pada waktu itu bisa dengan mudah
mempelajari Al-Quran karena pada waktu itu semua orang tidak bisa berbahasa Arab. Selain itu,
orang-orang awam tidak mau memikirkan atau menelaah maksud kandungan Al Qur'an. Serta
menjawab kegelisahan RA Kartini pada waktu masa penjajahan Belanda, karena tidak ada ulama
yang berani menafsirkan Alquran dan menerjemahkannya ke dalam bahasa apapun.

b.) Contoh penafsiran Kyai Sholeh Darat

1. Q.S Al Baqarah: 172

Kyai Sholeh Darat mulai menafsirkan ayat ini dengan memberikan makna
leksikal. Selian itu, beliau juga memberikan tafsiran singkat di sela sela terjemahannya.
Beliau menafsirkan “halal”dari “kebaikan yang Kami (Allah) berikan”, dan menafsirkan
“menjalani ketaatan kepada Allah dan menjauhi maksiat kepadaNya” sebagai bentuk
ungkapan dari rasaya“syukur”. Di akhir penafsirannya, Kyai Sholeh Darat juga
menambahkan keterangan suatu hadis terkait dengan penjelasan pahala makan seorang
mukmin. Namun kulaitas hadis tersebut tidak diketahui. Beliau juga menyertakan
keterangan ringkas terkait arti halal dan tayyib. Di akhir keterangan, beliau menerangkan
munsabah antara ayat 172 dengan ayat setelahnya.

2. Q.S Al Baqarah: 173

Setelah penjelasan tentang perintah makan makanan halal pada ayat setelahnya,
lalu kemudian Kyai Sholeh Darat menjelaskan tentang makanan yang haram dalam Q.S
Al Baqarah ayat 173. Kyai Sholeh Darat juga menjelaskan makna konkrit. Dalam kata
“haram menyembelih dengan menyebut selain nama Allah. Sedangkan keterangan Kyai
Sholeh Darat mengenai kebolehan memakan bangkai bagi orang yang terpaksa karena
tidak ada makanan lain, meskipun tidak ada sumbernya, dimungkinkan beliau menukil
dari pendapat Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Selama tidak dalam dengan cara
merampok, keluar dari ketaatan terhadap pemimpin, atau maksiat kepada Allah, maka
seseornag yang terjebak dalam keadaan terpaksa, maka akan mendapat keringanan yakni
kebolehan memakan bangkai.

PENUTUP
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Syekh Nawawi Al-Bantani dan Kiai
Shaleh Darat merupakan ulama tafsir yang terkenal yang berasal dari Indonesia. Meskipun kedua
nya memiliki corak penafsiran yang berbeda, tujuan mereka tetap sama. Seperti contoh nya kiai
shaleh darat yang menafsirkan ke dalam bahasa jawa agar masyarakat setempat pada saat itu bisa
memahami apa yang beliau tulis. Sementara syekh nawawi al-bantani dalam karya nya, marah
labid menggunakan bahasa arab karena beliau pada saat itu menetap disana dan isi nya
menyesuaikan kondisi social-politik pada masa itu.

Contoh penafsiran syekh nawawi al-bantani salah satu nya pada surah al-fatihah. Beliau
menafsirkan surah al-fatihah dengan cara per-ayat dan mengelompokan nya dalam beberapa hal
pokok. Seperti tentang ‘Ilm Tahshil al Kamalatyang disebut ilmu akhlak seperti penekanan
istikamah pada jalan yang benar, terkandung dalam ayat ke-5 (iyyakana’budu wa iyyaka
nasta’in), sedang yang penekanannya pada syariat,semuanya yang terkandung dalam al shirat al
mustaqim dengan tanpa mengikutsertakan lafal ihdina. Contoh penafsiran kiai shleh darat salah
satu nya pada surah al-baqarah ayat 172. Kyai Sholeh Darat mulai menafsirkan ayat ini dengan
memberikan makna leksikal. Selian itu, beliau juga memberikan tafsiran singkat di sela sela
terjemahannya. Beliau menafsirkan “halal”dari “kebaikan yang Kami (Allah) berikan”, dan
menafsirkan “menjalani ketaatan kepada Allah dan menjauhi maksiat kepadaNya” sebagai
bentuk ungkapan dari rasaya“syukur”. Di akhir penafsirannya, Kyai Sholeh Darat juga
menambahkan keterangan suatu hadis terkait dengan penjelasan pahala makan seorang mukmin.
Namun kulaitas hadis tersebut tidak diketahui. Beliau juga menyertakan keterangan ringkas
terkait arti halal dan tayyib. Di akhir keterangan, beliau menerangkan munsabah antara ayat 172
dengan ayat setelahnya.

DAFTAR PUSTAKA
NOER HAMIDAH, 2021, Telaah korelasi penafsiran sholeh darat dalam tafsir faidh al-rahman.
http://digilib.uinsby.ac.id/50862/2/Noer%20Hamidah_E93217083.pdf

ANSOR BAHARY, 2015, TAFSIR NUSANTARA: Studi Kritis terhadap Marah Labid Nawawi al
Bantani

WAHYU HIDAYAT A, IQBAL FASA M, 2019, Syekh Nawawi Al-Bantani Dan Pemikirannya
Dalam Pengembangan Pendidikan Islam

KHAERONI, 2021, Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani Tentang Pendidikan Dalam Kitab
Tafsir Marāḥ Labīd

Anda mungkin juga menyukai