Anda di halaman 1dari 8

Kemudian didukung oleh pendapat-pendapat para tokoh ulama terkemuka

Nusantara tentang kebesaran pengaruh dan kiprahnya dalam dakwah yang membuat
penulis semakin semangat dalam mendalami sosok Syekh Nawawi AlBantani.
Berikut adalah pendapat para tokoh-tokoh tentang sosok Syekh Nawawi Al-Bantani :
1. KH. Saifuddin Zuhri, mantan Menteri Agama RI dan tokoh Nahdahtul
Ulama, mengatakan : “Kiai Nawawi dikenal sebagai seorang ulama dan pengarang
yang sangat produktif. Hasil karya beliau kurang lebih ada 100 kitab dalam bidang
tauhid, fiqh, tafsir, hadits dan tasawuf. Semua kitab beliau ditulis dengan bahasa
Arab.”
2. Kiai Abdus Sattar ad-Dahlawi, salah satu seorang murid Syekh Nawawi
dari India, mengatakan : “Syekh Nawawi adalah seorang muslim yang betul-betul
bertakwa kepada Allah ‫ه‬-‫جل جالل‬, benar-benar zuhud dan rendah hati serta pecinta
damai.”
3. DR. Hamka mengatakan : “Syekh Nawawi adalah seorang guru besar
dalam madzhab Syafi’i. Muridnya, ratusan jumlahnya, datang setiap tahun untuk
belajar Islam kepadanya. Murid Syekh Nawawi terutama dari tanah Banten, Cirebon,
dan Sunda. Ada juga muridnya yang berasal dari tanah Melayu, Minangkabau,
Ternate dan lainnya. Syekh Nawawi banyak menulis buku pelajaran Islam, terutama
dalam bahasa Arab sehingga terkenalah nama Syekh Nawawi sampai ke Mesir,
Syam, Turki, dan Hindustan. Pernah Syekh Nawawi di undang ke Mesir dan
disambut oleh para ulama Mesir dengan sambutan yang mulia.”
4. Martin van Bruinessen, salah seorang pengamat Islam dari Belanda
mengatakan : “Syekh Nawawi dipandang merupakan penyambung mata rantai
intelektualisme klasik dari dunia Islam ke Nusantara. Karya-karya Syekh Nawawi
masih mendominasi pengajaran di pesantren, melebihi karya ulama lainnya.
Karenanya, karya Syekh Nawawi masih selalu tepat guna pada kondisi masyarakat
yang sudah semacam ini.”
Menurut saya catatan terbaik tentang kehidupan Mekkah sebelum berdirinya
Kerajaan Saudi Arabia yang sampai sekarang berkuasa adalah Mekka in The Later
Part of The 19 Century, karya etnografis Christiaan Snouck Hurgronje.
Buku ini adalah hasil catatan etnografis –zaman sekarang nyebutnya–dari
Christiaan Snouck Hurgronje, ahli ketimuran dan penasehat bidang agama dan
kebudayaan Belanda pada saat menjajah Indonesia. Catatan ini adalah catatan yang
sangat detail tentang Mekka karena menggambarnya bagaimana kehidupan Mekkah
pada masa Mekkah masih di bawah kekuasaan Usmani. Sudah barang tentu, empat
mazhab ada semua dan mazhab official adalah Hanafi pada saat itu. Dia melihat
agama di Mekkah ini sebagai fenomena sosial pada satu sisi dan ketakjuban dirinya
pada agama pada sisi lain.
Diceritakan dalam pengantar buku ini, dia tiba di Jeddah pada 28 Agustus
1884. Upaya untuk masuk ke kota Mekkah dipersiapkan secara detil. Dia membuat
kontak dengan orang-orang yang berhaji di Mekkah, terlibat dalam perusahaan
pelayanan haji, dlsb.
Hurgronje adalah seorang yang berbahasa Arab dengan fasih.
Raden Abu Bakar Djajadiningrat, seorang ningrat dari Banten, adalah orang
yang membantu Hurgronje di Mekkah karena dia sudah kerja 5 tahun lebih dahulu di
Konsulat Belanda di Jeddah.
Selama di Mekkah, nama Snouck adalah Abdul Gaffar.
Hal yang menarik adalah pergaulan dia dengan Jawah, orang-orang dari
Indonesia yang berhaji dan juga yang terpenting adalah belajar dan mengajar di
sekitar Mekkah.
Dalam bab Learning in Mekka dia menggambarkan bagaimana orang-orang
dari Indonesia (Jawa) hidup sehari-hari di Mekkah.
Gambaran dan cerita terbaik tentang Syaikh Nawawi menurut bacaan saya
tetap berasal dari buku ini. Karena Snouck lah yang pertama mencatat cerita Syaikh
Nawawi al-Bantani. Tidak hanya tentang Syaikh Nawawi tapi juga tentang saudara-
saudaranya dan juga istri beliau. Dia bertemu dan berbicara dengan syaikh nawawi
secara intensif di Mekkah. Syaikh Nawawi belajar di Mekkah selama 30 tahun pada
Syaikh Khatib Sambas dan Abdul Gani Bima, namun guru utamanya adalah Yusuf
Sumbulaweni, Nahrawi dan Abdul Hamid Dagestani.
Saya kutipkan pengamatan Hurgronje:
Nawawi is a significant example of the difficulties which a Jawah must
overcome in oral use of the Arabic tongue.
Meskipun sudah 30 tahun, kata Snouck, Syaikh Nawawi jika berbahasa Arab
pasaran, separuh konstruksi bahasa Arabnya adalah konstruksi Jawah. Menurut
Snouck, ada empat huruf dimana Syaikh Nawawi yang dalam pengucapannya
menjadi masalah Hā, Khā, ʿAin and Qāf.
Kata Snouck, suata saat Syiakh Nawawi ingin menikah lagi, tapi niat ini
ditolak oleh istrinya. Kata Snouck, dia adalah satu-satunya istri Syaikh Nawawi.
Snouck bilang jika hal yang luar biasa bagi Syaikh Nawawi bukanlah
mulutnya (artinya kepandaian berbicara) tapi penanya. Syaikh Nawawi mengajar di
rumahnya sendiri, lantai dasar, soal tafsir.
Suatu saat Snouck bertanya kepada Syaikh Nawawi kenapa Beliau tidak
pernah mengajar di Masjidil Haram? Beliau menjawab, karena pakaian yang dipakai
itu jelek dan penampakan fisiknya itu tidak sesuai dengan penampilan para profesor
yang terhormat yang mengajar di Haram. Selain informasi tentang kehidupan Syaikh
Nawawi, buku ini juga merekam cerita tentang ulama dan orang Jawa lainnya di
Mekkah.
Christiaan Snouck Hurgonje adalah seorang orientalis VOC Belanda yang
ditugaskan mempelajari semua lini kehidupan masyarakat Indonesia demi
kepentingan kolonialisme. Dia menghabiskan waktu cukup lama di Aceh dan Jawa
untuk memberi informasi penting pada VOC. Bahkan dia sempat menyamar dengan
nama Abdul Ghaffar untuk meneliti tradisi penduduk Jawa (Nusantara) di Mekkah
(1885 M).
Di sana dia sempat mendokumentasikan temuannya dalam sebuah buku
berjudul Mecca (1889 M). Saya membaca versi terjemahnya ke dalam bahasa Arab.
Temuan-temuan ini bersifat barat-centris dan sudut pandang antropolog orientalis.
Jadi pembaca harus menjaga jarak secara kritis. Kelebihan penelitian orientalis
terdapat pada kedetailan data. Karena di mata orang asing, semua tradisi timur juga
bersifat asing dan menarik.
Proses Belajar
Saat mendeskripsikan rakyat Banten di Mekah, dia memulai:
Ada beberapa ulama Mekah yang berasal dari Banten. Pembesarnya adalah
seorang guru syariat bernama Nawawi Banten. Ayahnya seorang imam masjid di
kampung halamannya, Tanara. Dialah guru pertama Nawawi Banten dengan dua adik
kandungnya: Tamim dan Ahmad. Lantas ketiga bersaudara itu dikirim oleh ayahnya
ke Banten untuk melanjutkan studinya ke seorang ulama masyhur, Haji Sahl.
Kemudian berlanjut ke Purwakarta untuk belajar pada Raden Haji Yusuf yang di
masa itu menjadi tempat berteduh santri dari penjuru Jawa bagian barat. Ketiganya
dibawa melaksanakan haji dan Nawawi muda sempat tinggal selama 3 tahun untuk
mendalami ilmu agama di kota suci. Nawawi Banten pulang dengan membawa ilmu
di dadanya namun tetap menyimpan hasrat untuk kembali dan menetap di kota suci.
Sekembalinya ke Mekah, Nawawi Banten muda melanjutkan belajar pada
ulama-ulama Nusantara seperti Syeikh Khatib Sambas (mursyid tarekat
Naqshabandiyah-Qadiriyah), Syeikh Abdul Ghani Bima. Namun keilmuannya benar-
benar ditempa di bawah bimbingan Syeikh Yusuf As-Sumbulawi, An-Nahrawi Al-
Mashri dan Abdul Hamid Ad-Daghistani. Nama terakhir adalah
guru mulazamah Nawawi Banten hingga wafatnya.
Syeikh Nawawi Banten di Majelisnya
Setelah 30an tahun membekali diri dengan ilmu, kini Syeikh Nawawi
Banten mulai mengajar di lantai dasar rumahnya sejak pagi jam 7:30 hingga jam 12
siang. Kuliah ilmiahnya dibagi menjadi 3 sesi: jam pertama untuk santri pemula yang
mendalami gramatika bahasa Arab dan sisanya untuk santri lanjutan. Saat malam
hari, Syeikh duduk menulis karya-karya ilmiahnya ditemani lentera kecil.
Syeikh Nawawi Banten adalah figur sempurna bagi pelajar Jawa (Nusantara).
Selain hafal Al-Qur’an, dia juga fasih berbahasa Arab selayaknya orang Arab.
Bahkan dia terlihat tidak fasih tatkala berbahasa Arab Amiyah (pasaran) atau
berbahasa Jawa. “Terkadang saat berbicara dengan bahasa Jawa atau Arab Amiyah
membuat penduduk Mekah tertawa,” kata Snouck.
Pergaulan Sosial Syeikh Nawawi Banten
Kekurangan Syeikh Nawawi Banten hanya satu: dia tidak perduli dengan
penampilan. Meski memang terlihat menjaga kebersihan baju
dan imamah (surban)nya. Bahkan tatkala menghadiri even-even penting. Orang yang
duduk dengannya dan tidak mengenalnya dari awal tak akan mengira bahwa pria
yang ada di sampingnya adalah ulama besar yang telah menulis 20an karya. Jumlah
ini berdasarkan laporan Snouck Hurgronje dekade 1885-1887 M. Setelahnya Syeikh
Nawawi semakin produktif hingga menulis 34 judul kitab.
“Saya pernah menanyakannya langsung,” kata Snouck, “Kenapa anda tidak
mengajar di Masjid Al-Haram?”
Syeikh menjawab, “Pakaianku lusuh dan saya merasa tak pantas duduk
bersama ulama Arab.”
“Tapi banyak ulama Jawa yang keilmuannya jauh di bawahmu yang mengajar
di Masjid Al-Haram,” kejar Snouck.
Syeikh hanya menjawab dengan enteng, “Oh iya? Betapa beruntungnya
mereka.”
Postur tubuh Syeikh Nawawi Banten kecil. Saat berjalan seakan-akan bumi
yang dia injak serupa dengan kertas yang sedang dibacanya. Artinya, dia selalu
berjalan menunduk tawadlu’. Dia memang sering berujar di majelisnya, “Saya tak
ada harganya dibanding debu yang menempel di kaki pencari ilmu.”
Namun kerendahan hati Syeikh Nawawi tak lantas menyurutkan niat
masyarakat Nusantara untuk mengirim surat dan meminta fatwa. Mereka juga
berebutan mencium tangan beliau dalam banyak kesempatan. Syeikh bukan tipikal
ulama-kiai berpengaruh secara sosial dan politik, selain aspek keilmuan dan
akhlaknya. Ini yang mengundang santri-santri dari Sunda, Jawa dan Melayu duduk
khidmat mendengarkan ceramah-ceramahnya. Dalam pergaulan sosial, Syeikh terlihat
irit bicara. Dia tipe ulama yang fasih secara tulisan namun tidak pandai berbasa-basi
secara lisan. Obrolan tak pernah membekas dalam dirinya karena fokus pikirannya
pada ilmu. Syeikh tak pernah memulai diskusi kecuali orang lain memulainya.
Politik Syeikh Nawawi Banten
Meski demikian, perlawanan rakyat Aceh (1873-1913 M) dalam pandangan
Snouck diilhami oleh Nawawi Banten. Dia menolak sistem pemerintahan kafir
Belanda. Dia juga sering menyinggung di majelisnya tentang pentingnya
menghidupkan kembali kesultanan Banten. Syeikh dianggap salah seorang ulama
yang menjadi “biang kerok” perlawanan rakyat Aceh pada kolonial Belanda.
Karya-Karya Syekh Nawawi Banten
Minatnya memang minim terhadap isu politik. Fokus Syeikh adalah keilmuan.
Dia mencetak karya-karyanya di percetakan Mesir. Baru-baru ini, kata Snouck, dia
mencetak tafsir Al-Qur’annya (Marah Labid) di percetakan modern Mekah.
Selebihnya dia terbitkan di Kairo-Mesir: Syarah Ajrumiyah 1881 M, Lubab Al-
Bayan 1884 M, Dirayat Al-Yaqin 1886 M, Syarah Sanusiyah 1886 M, Fathu Al-
Mujib Ala Ad-Durr Al-Farid karya gurunya, An-Nahrawi 1881 M, dua komentarnya
atas Mawlid Al-Barzanji, Syarah Asma Al-Husna, dua kitab fikih (Tausyih
dan), Syarah Manasik Al-Hajj karya As-Syarbini 1880 M, Komentar atas dua Risalah
ulama Hadramaut 1883 M (Bahjat Al Wasa’il Syarah Risalah Jamiah), Sulam Al-
Munajat 1884 M.
Tasawuf Nawawi Banten
Dalam tasawuf, Nawawi Banten mengikuti manhaj Imam Al-Ghazali. Ini
dibuktikan dengan menulis dua kitab: komentar atas Bidayah Al-Hidayah Al-Ghazali
(1881 M) dan komentar atas nazam Kifayah Al-Atqiya’ karya Al-Malibari dengan
tajuk Salalim Al-Fudhala’ (1884 M). Begitu pula mayoritas ulama Haram masa itu
mengikuti manhaj Al-Ghazali. Dalam majelisnya dia membaca kitab-kitab tasawuf
akhlaki. Tak pernah menganjurkan murid-muridnya untuk bergabung dengan tarekat
sufi. Namun juga tak pernah melarangnya. Adik seayahnya, Al Marzuqi, penganut
tarekat Naqshabandiyah-Qadiriyah.
Dalam banya kesempatan obrolan kami, kata Snouck, terlihat Nawawi Banten
memaklumi tradisi masyarakat Nusantara yang sangat menggandrungi tasawuf.
Sehingga ketika Sayid Usman bin Yahya (mufti Batavia) mengeluarkan risalah
kritiknya pada penganut tarekat, Nawawi Banten semacam membenarkan pendapat
Sayid. Meski telah membaca risalah yang dikirim oleh Sayid. Syeikh tetap menolak
berkomentar pedas seperti Sayid. Syeikh Nawawi Banten lebih menyukai tasawuf
moderat ala Al-Ghazali.
Penghasilan Syeikh Nawawi
Menurut Snouck, selain mengajar, Syeikh juga bekerja
sebagai mutawwif (guide jemaah haji) yang kurang sesuai dengan reputasinya sebagai
ulama besar. Bagaimanapun, seorang intelektual seperti Syeikh biasanya memang
tidak pandai mencari uang. Meski sering mendapat hadiah dan oleh-oleh dari murid
dan pengagumnya, Nawawi Banten memilih hidup sederhana. Kelebihan harta sering
disedekahkan utamanya pada santri. Padahal hadiah yang datang, menurut Snouck,
seperti “hujan yang deras.”
Syeikh beristrikan seorang gadis Jawa yang posesif dan anti poligami. Namun
istrinya sangat telaten melayani semua kebutuhan Syeikh. Saat ada tamu datang, sang
istri menyiapkan semua jamuan selayaknya para istri di Jawa.

Lukman Hakim, Banten dalam Perjalanan Jurnalistik. Pandeglang: Divisi Publikasi


Banten Haeritage, 2006,
Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, ed. Umar Abdul Salam Tadmuri, Dar al-Kutub
al-‘Arab, 1990, juz 1, h. 11-16
Ibnu Sayyid An-Nas, Juz Orang-orang Islam, (TP,TT),hal. 49-53
Abu Muhammad Abd al-Malik Ibn Hisyam, Sirah an-Nabawiyah Ibn Hisyam, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2007, hal. 66-67
Ibnu Mandhur, Mukhtashar Tarikh Dimsyaqi, Jilid I, hal. 125 CD Maktabah Asy-Syamilah,TT
Ath-Thabari, Tarikh ar-Rasul wa al-Muluk, Jilid I, hal. 384. CD Maktabah Asy-Syamilah,TT
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah (Sejarah Hidup Nabi Muhammad), Jakarta:
Ummul Quro. Hal.,147

Anda mungkin juga menyukai