Anda di halaman 1dari 5

Nawawi al-Bantani

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa

Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (bahasa Arab: , lahir di Tanara,


Serang, 1813 - meninggal di Mekkah, 1897) adalah seorang ulama Indonesia yang terkenal. Ia bergelar alBantani karena ia berasal dari Banten, Indonesia. Ia adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat
produktif menulis kitab, yang meliputi bidang-bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Jumlah
karyanya mencapai tidak kurang dari 115 kitab.

Kelahiran dan Pendidikan[sunting | sunting sumber]


Kelahiran[sunting | sunting sumber]
1230-1314 H / 1815- 1897 M Lahir dengan nama Ab Abdul Muti Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi.
Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung Tanara,
sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung
Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami Syaikh Nawawi Bantani) pada tahun 1230
H atau 1815 M ini bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon.
Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasab dia melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad
saw. Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas, yang makamnya hanya berjarak
500 meter dari bekas kediaman dia di Tanara, nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah dia
seorang Ulama Banten, Umar bin Arabi, ibunya bernama Zubaedah.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]


Semenjak kecil dia memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah
diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Pertanyaanpertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung.
Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya
keberbagai pesantren di Jawa. Dia mula-mula mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, kemudian
berguru kapada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta. [1]
Di usia dia yang belum lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai
kemudian karena karamahnya yang telah mengkilap sebelia itu, dia mencari tempat di pinggir pantai agar
lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak. Pada usia 15 tahun dia
menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah, seperti Syaikh Khtib alSambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad
Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali,
dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad
Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekah. Lewat ketiga
Syaikh inilah karakter dia terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah
alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar
di Medinah.

Nasionalisme dan Gelar-Gelar[sunting | sunting sumber]


Nasionalisme[sunting | sunting sumber]
Tiga tahun bermukim di Mekah, dia pulang ke Banten. Sampai di tanah air dia menyaksikan praktik-praktik
ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dariPemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu
semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat. Tak ayal, gelora jihadpun berkobar. Dia
keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi
gara-geriknya. Dia dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan dia dituduh sebagai
pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap
penjajahan Belanda (1825- 1830 M).
Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa
boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran
Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat
Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia. Begitulah pengakuan Snouck Hourgronje.
Begitu sampai di Mekah dia segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Dia tekun
belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 M. Ketika itu memang dia berketepatan hati untuk
mukim di tanah suci, satu dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda. Nama dia mulai
masyhur ketika menetap di Syi'ib Ali, Mekah. Dia mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya
cuma puluhan, tapi makin lama makin jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia.
Maka jadilah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama,
terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.

Nama dia semakin melejit ketika dia ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khtib alMinagkabawi. Sejak itulah dia dikenal dengan nama resmi Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Artinya
Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak hanya di kota Mekah
dan Medinah saja dia dikenal, bahkan di negeri Mesir nama dia masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas
kemerdekaan Indonesia.[2]
Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang
biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah dia menyampaikan perlawanannya lewat
pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal,
Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui dia.
Ketika Snouckyang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama Abdul Ghafr-bertanya:
Mengapa dia tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?.
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor
berbangsa Arab.
Lalu kata Snouck lagi:
Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?.
Syaikh Nawawi menjawab :
Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa".
Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan.
Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia
berkorban demi kepentingan agama dan bangsa. Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi
ulama, misalnya K.H. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad
Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie Purwakarta,
K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.
Konon, K.H. Hasyim Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika
membaca kitab fiqih Fath al-Qarb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu
amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asyari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath alQarib ia ajarkan pada santri-santrinya.
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan
dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubiah. Sang istri wafat mendahului dia. [3]

Gelar-Gelar[sunting | sunting sumber]


Berkat kepakarannya, dia mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck
Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga
menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang
sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid
al-Ulama al-Hijz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini
disebutSaudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning
Indonesia.

Karya-Karya dan Karamah[sunting | sunting sumber]


Karya-Karya[sunting | sunting sumber]
Kepakaran dia tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syaikh 'Umar 'Abdul Jabbr dalam kitabnya "alDurs min Mdhi al-Talm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harm (beberapa kajian masa lalu dan masa kini
tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif menulis
hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang
berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. al-Tsamr al-Yniah syarah al-Riydl al-Badah
2. al-Aqd al-Tsamn syarah Fath al-Mubn
3. Sullam al-Munjah syarah Safnah al-Shalh
4. Bajah al-Wasil syarah al-Rislah al-Jmiah bayn al-Usl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
5. al-Tausyh/ Quwt al-Habb al-Gharb syarah Fath al-Qarb al-Mujb

6. Niyah al-Zayyin syarah Qurrah al-Ain bi Muimmh al-Dn


7. Marqi al-Ubdiyyah syarah Matan Bidyah al-idyah
8. Nashih al-Ibd syarah al-Manbatu ala al-Istidd li yaum al-Mid
9. Sallim al-Fadhl syarah Mandhmah idyah al-Azkiy
10.Qmiu al-Thugyn syarah Mandhmah Syubu al-Imn
11. al-Tafsir al-Munr li al-Mulim al-Tanzl al-Mufassir an wuj mahsin al-Tawil musamm Murh
Labd li Kasyafi Man Quran Majd
12.Kasyf al-Marthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
13.Fath al-Ghfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musamm al-Kawkib al-Jaliyyah
14.Nur al-Dhalm ala Mandhmah al-Musammh bi Aqdah al-Awwm
15.Tanqh al-Qaul al-Hatsts syarah Lubb al-Hadts
16.Madrij al-Shud syarah Maulid al-Barzanji
17.Targhb al-Mustqn syarah Mandhmah Maulid al-Barzanj
18.Fath al-Shamad al lam syarah Maulid Syarif al-Anm
19.Fath al-Majd syarah al-Durr al-Fard
20.Tjn al-Darry syarah Matan al-Baijry
21.Fath al-Mujb syarah Mukhtashar al-Khathb
22.Murqah Shud al-Tashdq syarah Sulam al-Taufq
23.Ksyifah al-Saj syarah Safnah al-Naj
24.al-Futhh al-Madaniyyah syarah al-Syub al-mniyyah
25.Uqd al-Lujain fi Bayn Huqq al-Zaujain
26.Qathr al-Ghais syarah Masil Ab al-Laits
27.Naqwah al-Aqdah Mandhmah fi Tauhd
28.al-Najah al-Jayyidah syarah Naqwah al-Aqdah
29.Sulk al-Jdah syarah Lamah al-Mafdah fi bayn al-Jumuah wa almudah
30.Hilyah al-Shibyn syarah Fath al-Rahman
31.al-Fushsh al-Yqutiyyah ala al-Raudlah al-Bayyah fi Abwb al-Tashrfiyyah
32.al-Riydl al-Fauliyyah
33.Mishbh al-Dhalmala Minaj al-Atamma fi Tabwb al-Hukm
34.Dzariyyah al-Yaqn ala Umm al-Barn fi al-Tauhd
35.al-Ibrz al-Dniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnny
36.Baghyah al-Awwm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anm

37.al-Durrur al-Baiyyah fi syarah al-Khashish al-Nabawiyyah


38.Lubb al-bayyn fi Ilmi Bayyn.[4]
Karya tafsirnya, al-Munr, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsr Jallain,
karya Imm Jalluddn al-Suythi dan Imm Jalluddn al-Mahlli yang sangat terkenal itu. Sementara
Ksyifah al-Saj syarah merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safnah al-Naj, karya
Syaikh Slim bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya dia lebih praktis ketimbang matan yang
dikomentarinya. Karya-karya dia di bidang Ilmu Akidah misalnya Tjn al-Darry, Nr al-Dhalam, Fath alMajd. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya dia di bidang Ilmu Fiqih
yakni Sullam al-Munjah, Niyah al-Zain, Ksyifah al-Saj. Adapun Qmiu al-Thugyn, Nashih al-Ibd
dan Minhj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih karya dia yang sangat
terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa, yaitu Syarah Uqd al-Lujain fi Bayn Huqq alZaujain. Hampir semua pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di
Bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail. Hubungan antara
suami dan istri dijelaskan secara rinci. Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir
seabad. Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah.
Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi
syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya dia, tentulah tidak mengurangi kualitas
kepakaran dan intelektual dia.[5]

Karamah[sunting | sunting sumber]


Konon, pada suatu waktu pernah dia mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk dia sebagai lampu,
saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni rumah-rumahan di
punggung unta, yang dia diami, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi
kemudian berdoa memohon kepada Allah Taala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari
kanannya yang untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marqi al-Ubudiyyah syarah
Matan Bidyah al-Hidayah itu harus dibayar dia dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang
diberikan Allah pada jari telunjuk kiri dia itu membawa bekas yang tidak hilang. Karamah dia yang lain juga
diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang
dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid Utsmn bin Agl bin Yahya al-Alawi,
Ulama dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta),[6] itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang
menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmn sendiri.
Tak ayal , saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid
Utsmn. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmn tetap berpendirian kiblat
Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan.
Saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras,
Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmn. Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling
mendekat.

Lihatlah Sayyid!, itulah Kabah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Kabah itu
terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke
kanan agar tepat menghadap ke Kabah". Ujar Syaikh Nawawi remaja.

Sayyid Utsmn termangu. Kabah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang
terlihat jelas. Sayyid Utsmn merasa takjub dan menyadari , remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini
telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun dia berada
Kabah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmn langsung memeluk tubuh kecil dia. Sampai
saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya. [7]
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun
kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang
belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur
yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini
dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin,
sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya
genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang
terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti
biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet
atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan
penutup jasad dia tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.
Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang
digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang
membongkar makam tersebut. Jasad dia lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang
makam dia tetap berada di Mala, Mekah.

Demikianlah karamah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya
sedikitpun tidak merusak jasad dia. Kasih sayang Allah Taala berlimpah pada dia. Karamah Syaikh
Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi lembar Tafsr Munr yang dia
karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami Firman Allah swt.
Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Ksyifah al-Saj, yang menerangkan syariat. Begitu pula
ratusan hikmah di dalam kitab Nashih al-Ibd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami
umat dengan cahaya abadi dari buah tangan dia. [8]

Wafat[sunting | sunting sumber]


Masa selama 69 tahun mengabdikan dirinya sebagai guru Umat Islam telah memberikan pandanganpandangan cemerlang atas berbagai masalah umat Islam. Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25
syawal 1314 H/ 1897 M. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M.
Makamnya terletak di pekuburan Ma'la diMekah. Makam dia bersebelahan dengan makam anak
perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma binti Ab Bakar al-Siddq.[9]

Referensi[sunting | sunting sumber]


1.

^ Nurul Huda, Sekilas tentang: Kiai Muhammad Nawawi al-Bantani, Alkisah, No.4, 14 September
2003 M, h. 2.

2.

^ Salmah, dkk, Perjalanan 3 Wanita, (Jakarta: Trans TV, pukul 06:30-07:00), Selasa, 10 Juli 2007 M.

3.

^ Kisah Wali, Alkisah, No.3, 02-15 februari 2004 M, h. 100.

4.

5.
6.

^ Kiai Muhammad Syafii Hadzami, Majmuah Tsaltsa Kutub Mufdah, (Jakarta, Maktabah alArbain, 2006 M/1427 H), h. J.
^ Nurul Huda, Sekilas tentang, h. 7.
^ Habib Utsman bin Aqil bin Umar bin Yahya dilahirkan di Pekojan, Jakarta pada tanggal 17 Rabiul
Awwal 1238 H/ 1822 M. Ibunya bernama Aminah binti Syaikh Abdurrahman bin Ahmad al-Mishri, putri
seorang ulama dari Mesir. Habib Utsman bermukim di Makkah selama 7 tahun. Guru-guru dia di antaranya
ayahnya sendiri, Habib Abdullah bin Aqil bin Yahya dan seorang Mufti Syafiiyyah di Makkah, Sayyid Ahmad
Zaini Dahlan. Pada tahun 1848 dia berangkat ke Hadramaut menuntut ilmu kepada sayyid Alwi bin Saggaf
al-Jufri dan Sayyid Hasan bin Shaleh al-Bahr. Dari Hadramaut berangkat lagi ke Mesir dan belajar di Kairo
selama 8 bulan. Perjalanan menuntut ilmu dilanjutkan lagi ke Tunis, Aljazair, Istanbul, Persia dan Syria.
Setelah itu dia kembali lagi ke Hadramaut. Habib Utsman adalah pengarang kitab yang sangat produktif. Hal
ini dikemukakan oleh L.W.C Van Den Berg (1845-1927) di dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia dengan judul Hadramaut dan koloni Arab di Indonesia (1989). Ia telah mencatat
bahwa Habib Utsman memiliki 38 karya, 11 buah karyanya ditulis dalam Bahasa Arab, sedang sisanya
disusun dalam Bahasa Melayu. Buku tersebut diterbitkan di Betawi pada tahun 1886 M, ketika itu Habib
Utsman masih hidup dan masih terus menghasilkan karya-karyanya. Dia pada tahun 1862 M/ 1279 H
selepas dari hadramaut pulang ke Betawi dan menetap di Pekojan. Kemudian diangkat menjadi Mufti Betawi
menggantikan Syaikh Abdul Ghani. Hingga wafat pada tahun 1331 H/ 1913 M. Sekilas tentan Habib
Utsman, Alkisah, No. 3, 02-15 februari 2004 M, h. 108.

7.

^ Kisah Wali, Alkisah, h. 103.

8.

^ Syekh Nawawi Bantani: Mulianya jasad sang wali, Alkisah, No. 3, 02-15 Februari 2004 M, h. 105.

9.

^ Nurul Huda, Sekilas tentang, h. 5.

Anda mungkin juga menyukai