Nama dia semakin melejit ketika dia ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khtib alMinagkabawi. Sejak itulah dia dikenal dengan nama resmi Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Artinya
Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak hanya di kota Mekah
dan Medinah saja dia dikenal, bahkan di negeri Mesir nama dia masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas
kemerdekaan Indonesia.[2]
Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang
biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah dia menyampaikan perlawanannya lewat
pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal,
Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui dia.
Ketika Snouckyang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama Abdul Ghafr-bertanya:
Mengapa dia tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?.
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor
berbangsa Arab.
Lalu kata Snouck lagi:
Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?.
Syaikh Nawawi menjawab :
Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa".
Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan.
Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia
berkorban demi kepentingan agama dan bangsa. Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi
ulama, misalnya K.H. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad
Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie Purwakarta,
K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.
Konon, K.H. Hasyim Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika
membaca kitab fiqih Fath al-Qarb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu
amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asyari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath alQarib ia ajarkan pada santri-santrinya.
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan
dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubiah. Sang istri wafat mendahului dia. [3]
Lihatlah Sayyid!, itulah Kabah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Kabah itu
terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke
kanan agar tepat menghadap ke Kabah". Ujar Syaikh Nawawi remaja.
Sayyid Utsmn termangu. Kabah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang
terlihat jelas. Sayyid Utsmn merasa takjub dan menyadari , remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini
telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun dia berada
Kabah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmn langsung memeluk tubuh kecil dia. Sampai
saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya. [7]
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun
kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang
belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur
yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini
dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin,
sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya
genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang
terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti
biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet
atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan
penutup jasad dia tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.
Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang
digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang
membongkar makam tersebut. Jasad dia lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang
makam dia tetap berada di Mala, Mekah.
Demikianlah karamah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya
sedikitpun tidak merusak jasad dia. Kasih sayang Allah Taala berlimpah pada dia. Karamah Syaikh
Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi lembar Tafsr Munr yang dia
karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami Firman Allah swt.
Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Ksyifah al-Saj, yang menerangkan syariat. Begitu pula
ratusan hikmah di dalam kitab Nashih al-Ibd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami
umat dengan cahaya abadi dari buah tangan dia. [8]
^ Nurul Huda, Sekilas tentang: Kiai Muhammad Nawawi al-Bantani, Alkisah, No.4, 14 September
2003 M, h. 2.
2.
^ Salmah, dkk, Perjalanan 3 Wanita, (Jakarta: Trans TV, pukul 06:30-07:00), Selasa, 10 Juli 2007 M.
3.
4.
5.
6.
^ Kiai Muhammad Syafii Hadzami, Majmuah Tsaltsa Kutub Mufdah, (Jakarta, Maktabah alArbain, 2006 M/1427 H), h. J.
^ Nurul Huda, Sekilas tentang, h. 7.
^ Habib Utsman bin Aqil bin Umar bin Yahya dilahirkan di Pekojan, Jakarta pada tanggal 17 Rabiul
Awwal 1238 H/ 1822 M. Ibunya bernama Aminah binti Syaikh Abdurrahman bin Ahmad al-Mishri, putri
seorang ulama dari Mesir. Habib Utsman bermukim di Makkah selama 7 tahun. Guru-guru dia di antaranya
ayahnya sendiri, Habib Abdullah bin Aqil bin Yahya dan seorang Mufti Syafiiyyah di Makkah, Sayyid Ahmad
Zaini Dahlan. Pada tahun 1848 dia berangkat ke Hadramaut menuntut ilmu kepada sayyid Alwi bin Saggaf
al-Jufri dan Sayyid Hasan bin Shaleh al-Bahr. Dari Hadramaut berangkat lagi ke Mesir dan belajar di Kairo
selama 8 bulan. Perjalanan menuntut ilmu dilanjutkan lagi ke Tunis, Aljazair, Istanbul, Persia dan Syria.
Setelah itu dia kembali lagi ke Hadramaut. Habib Utsman adalah pengarang kitab yang sangat produktif. Hal
ini dikemukakan oleh L.W.C Van Den Berg (1845-1927) di dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia dengan judul Hadramaut dan koloni Arab di Indonesia (1989). Ia telah mencatat
bahwa Habib Utsman memiliki 38 karya, 11 buah karyanya ditulis dalam Bahasa Arab, sedang sisanya
disusun dalam Bahasa Melayu. Buku tersebut diterbitkan di Betawi pada tahun 1886 M, ketika itu Habib
Utsman masih hidup dan masih terus menghasilkan karya-karyanya. Dia pada tahun 1862 M/ 1279 H
selepas dari hadramaut pulang ke Betawi dan menetap di Pekojan. Kemudian diangkat menjadi Mufti Betawi
menggantikan Syaikh Abdul Ghani. Hingga wafat pada tahun 1331 H/ 1913 M. Sekilas tentan Habib
Utsman, Alkisah, No. 3, 02-15 februari 2004 M, h. 108.
7.
8.
^ Syekh Nawawi Bantani: Mulianya jasad sang wali, Alkisah, No. 3, 02-15 Februari 2004 M, h. 105.
9.