Anda di halaman 1dari 15

BAB III

RIWAYAT SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI

A. BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

Syeikh Nawawi al-Bantani merupakan salah satu ulama besar Nusantara

yang banyak berjasa dalam perkembangan ajaran Islam melalui aktivitas dakwah

dan pemikirannya yang mendunia. Nawawi merupakan salah seorang ulama fiqih

bermadzab Syafi‟i yang sangat masyhur pada abad ke-19 M. Berkat karya tulis

dan kemasyhurannya mengantarkan Nawawi menjadi orang yang sangat

berpengaruh di dunia Islam, khususnya dalam bidang pendidikan.1 Terlahir

dengan nama asli Abu Abdullah al-Mu‟thi Muhammad Nawawi bin Umar,

Nawawi dilahirkan di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara

pada tahun 1230 H atau 1814 M.2 Nawawi merupakan sulung dari tujuh

bersaudara putra dari Syaikh Umar bin Arabi al-Bantani dan Zubaedah yang

merupakan salah satu keturunan dari Raja Pertama Banten, yakni Sultan Maulana

Hasanuddin, selain itu Syaikh Nawawi juga mempunyai silsilah berpengaruh

lainnya, yakni salah satu pejuang agama Islam di tanah Jawa yang tergabung

dalam “walisongo”, yakni Sunan Gunung Jati3, selain itu nashab Nawawi juga

bersambung hingga Rasulullah SAW melalui jalur Imam Ja‟far ash-Shadiq,

1
Shalahuddin Wahid, Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia,
(Jakarta: PT
Intimedia Cipta Nusantara, 2003), hal. 87.
2
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009), e-book, hal. 9
3
Samsul Munir Amin, “Syaikh Nawawi al-Bantani Tokoh Intelektual Pesantren”, jurnal
MANARUL QUR‟AN, hal. 139

38
39

Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husein dan

Fatimah az-Zahra.4

Terlahir di daerah yang memiliki spirit keagamaan yang tinggi, Syaikh

Nawawi al-Bantani semenjak berumur 5 tahun mendapatkan pendidikan

keislaman langsung dari ayahnya yang merupakan seorang ulama lokal di daerah

Banten tersebut. Jadi sebelum mendapatkan pendidikan dari orang lain, beliau

terlebih dahulu mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri. Setelah ditempa

oleh sang ayah, Syeikh Nawawi lantas berguru kepada KH. Sahal, seorang

Ulama‟ karismatik Banten, kemudian berguru kepada Ulama‟ besar dari

Purwakarta bernama Kyai Yusuf.5

Pada usia 15 tahun, bersama dengan saudara-saudaranya Nawawi

berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan ini digunakan

Nawawi untuk menyecap berbagai ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu kalam,

bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, ilmu tafsir, dan ilmu fiqih.6

Pertama kali, Syeikh Nawawi mendapat bimbingan dari Syekh Khatib

Sambas, yang merupakan seorang penggabung tarekat Qadiriyah dan

Naqsyabandiyah7 kemudian Nawawi berguru pada Sayyid Ahmad Nahrawi,

Sayyid Ahmad Dimyathi, Ahmad Zaini Dahlan, dan Muhammad Khatib al-

4
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008), hal. 189
5
Ibid. hal. 190
6
Ibid.
7
Ibid.
40

Hambali. Selesai pendidikan ke Makkah, Syeikh Nawawi kemudian melanjutkan

pengembaraan ilmunya ke negara Mesir dan Syiria.8

Setelah 30 tahun berada di negeri Arab atas restu dari guru-guru nya beliau

kembali ke Tanara untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang didapatnya di

Makkah, Nawawi juga memimpin Pesantren peninggalan sang ayah. Selain

menyebarkan keilmuan Islam yang diperolehnya di Makkah, Nawawi pun

memberikan ceramah-ceramah yang diperuntukkan untuk kalangan masyarakat

di sekitar tempat tinggalnya.9

Ceramah yang Nawawi lakukan ini ternyata menyadarkan masyarakat

Banten untuk melawan kolonial penjajah pada waktu itu10 walaupun situasi

politik Banten pada saat itu belum juga berubah dari saat sebelum beliau

tinggalkan. Kondisi seperti itu, membuat pihak Belanda ketakutan dan terus-

menerus melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Syeikh

Nawawi. Bahkan untuk mengurangi pengaruh Syeikh Nawawi, ceramah Syeikh

Nawawi diberanguskan dan dibekukan oleh pihak Belanda.11

Karena situasi tanah air yang tidak kondusif, akhirnya Syaikh Nawawi pun

kembali ke Makkah untuk menimba ilmu. Kesempatan ini pun tidak disia-siakan

8
Ibid.
9
Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Marah Labid Nawawi al-Bantani”,
artikel dalam Jurnal Ulul Albab Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‟an, Vol. 16 No. 2 Tahun 2015,
hal. 179, pdf
10
Ibid.
11
Ma‟ruf Amin dan Muhammad Nashruddin Anshori, Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani,
(Jakarta: Pesantren, 1989), e-book, hal. 98
41

bahkan karena kecerdasan otaknya, Nawawi dikenal sebagai salah satu murid

terbaik di Masjidil Haram.12

Setelah memutuskan untuk kembali ke Makkah, sebagai seorang yang haus

akan ilmu pengetahuan, meskipun telah dianggap sebagai seseorang yang alim di

kalangan komunitas Jawa Makkah, Nawawi tetap saja ingin menambah

penguasaan ilmu tentang keagamaan sehingga seringkali melakukan rihlah

„ilmiah ke berbagai daerah di sekitar Makkah.13

Meninggalkan Nusantara, bukan berarti Syeikh Nawawi takut atau gentar

dalam menghadapi kolonial yang berkeliaran, akan tetapi melalui Mediator

Hijaz, malah membuatnya lebih leluasa mengkader santri-santri dari Nusantara

yang nantinya akan kembali ke Tanah Air.14

Melihat pengaruh kuat Syeikh Nawawi al-Bantani, pemerintah Hindia

Belanda pun mengirimkan seorang mata-mata, diutuslah Dr. Snouck Hurgronje

sebagai mata-mata dengan tujuan untuk memperdalam ajaran agama Islam

sekaligus menyelidiki kegiatan Ulama‟-Ulama‟ Nusantara15 yang ada di negeri

Hijaz. Untuk mempermudah kegiatannya, Snouck berpura-pura masuk Islam dan

mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar. Snouck menetap di Makkah selama

6 bulan dan kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama menetap di Makkah,

12
Ibid. hal. 99
13
Ibid.
14
Amirul Ulum, Syaikh Nawawi Al-Bantani: Penghulu Ulama‟ di Negeri Hijaz, (Yogyakara:
CV. Global Press, 2016), hal. x
15
Yunani Hasan, “Politik Christian Snouck Hurgronje Terhdaap perjuangan Rakyat Aceh",
artikel dalam Jurnal Criksetra: Jurnal Pendidikan dan Kajian Sejarah, Vol. 3 No. 4 Agustus 2013,
hal. 48, pdf
42

Snouck memperoleh data-data penting dan strategis yang dapat digunakan

pemerintah Belanda untuk menghancurkan Islam dari dalam.16

Snouck Hurgronje menggambarkan bahwa Syeikh Nawawi merupakan

seseorang yang berbadan kecil, berbakat, dan berbicara dengan gaya bahasa yang

formal, dengan pemahaman bahasa Arab percakapan yang kurang baik.17 Ini

menggambarkan walaupun beliau berdomisili di Arab, beliau tetap lebih banyak

kontak sosial dengan Ulama‟-Ulama‟ Jawa yang ada disana.18

Syeikh Nawawi meninggal pada di Makkah pada usia 84 tahun pada

tanggal 25 Syawal 1314 H atau 1897 M dan dimakamkan di dekat makam Istri

Rasulullah SAW, Siti Khodijah. Nawawi wafat pada saat menyusun sebuah

tulisan yang menguraikan tentang kitab Minhajut Thalibin karya Yahya ibn

Syaraf ibn Mura ibn Hasan ibn Husain. Sebagai tokoh kebanggan umat Islam di

Jawa khususnya Banten, setiap akhir syawal pun masyarakat selalu memperingati

Haul19 sebagai bentuk cinta dan untuk mengenang Syeikh Nawawi.

B. KARYA-KARYA SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI

Sejak abad ke-16 Masehi, karya-karya Ulama‟ Nusantara mulai banyak

menghiasi dan meramaikan tradisi penulisan dalam disiplin ilmu Islam. para

Ulama‟ pun seakan-akan berlomba untuk menulis kitab, bahkan kebanyakan

ditulis dengan menggunakan bahasa Arab Melayu yang kemudian dapat di cetak

16
Kejahatan Snouck Snouck Hurgronje Terhadap Islam dan Aceh, hal. 1-2, pdf
17
Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
AR-RUZZ MEDIA, 2007), hal. 350
18
Ibid.
19
Metode Penentuan Arah Kiblat Kitab Maraqi al-Ubudiyah, hal. 65, pdf. Haul dalam bahasa
Arab berarti Tahun. Istilah ini seringkali digunakan dalam bab zakat. Namun dalam konteks
pembahasan ini haul dalam tradisi orang Jawa diartikan sebagai hari peringatan kematian seseorang
yang dilakukan setiap tahunnya.
43

di percetakan Timur Tengah.20 Diantara Ulama‟-Ulama‟ sebelum masa Syekh

Nawawi adalah: Syeikh Nuruddin ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkil,

dan Syeikh Muhammad Arsyad al-banjari.21

Mengikut apa yang dilakukan oleh Ulama‟ sebelumnya, selain aktif dalam

menyebarkan keilmuan, Syeikh Nawawi juga meluangkan waktunya untuk

menulis. Syeikh Nawawi dikenal sebagai salah satu penulis yang produktif.

Tulisannya berjumlah puluhan, dan bahkan ada yang menyebutkan ratusan yang

seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Karya-karya nya tersebut terdiri dari

berbagai disiplin keilmuan, diantaranya: ilmu tauhid, ilmu teologi, sejarah,

syariah, tafsir dan lain-lain22, bahkan beberapa karya nya pun diakui validitasnya

secara meluas. Diantara karya dari Syeikh Nawawi adalah sebagai berikut23:

1. Tafsir Marāh Labīd, Kitab ini adalah rujukan utama dari penelitian ini,

terutama kandungan Isrā‟īli āt di dalamnya. Kitab ini merupakan kitab

terbesar karya Syekh Nawawi yang terkenal di berbagai penjuru Makkah dan

di Indonesia seringkali dijadikan kajian kepustakaan Islam selain kitab

Jalalain. 24

2. Ad-Durar al-Bahiyah fi syarh Khashaish an-Nabawiyyah

20
Amin, Sa id Ulama‟ Hijaz…, hal. 49
21
Ibid. hal. 50
22
Ghofur, Profil…, hal. 192
23
Mhd. Kolba Siregar, “Metode Syaikh Nawawi al-Bantani Dalam Menafsirkan Al-Qur‟an”,
Skripsi, (Riau: UIN Sulthan Syarif Kasim, 2011), hal. 24-27 keterangan ini juga ada dalam
https://aslamattusi.wordpress.com/2010/05/31/karya-karya-syeikh-nawawi-al-bantani/ diakses pada 01
Maret 2017
24
Syeikh Nawawi al-Bantani, Tafsir Marah Labīd Likas f Ma‟na Qur‟ānil Majid terj. Bahrun
Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), jilid II, hal. v
44

3. Al-„Aqd al-tsamin yang berisi ulasan atas kitab Manzumat al-Sittin

Mas‟alatan al-Musamma bila al- fath al-Mubin karya Syeikh Mustafa ibnu

„Usman al-Jawi al-Qaruti

4. Al-Fhusus al-Yaquti ah „ala Raudhat al-Mahiyah fi al-Abwab al-

Tashrifiyah yang membahas tentang ilmu sharf. Kitab ini merupakan ulasan

atas kitab Al-Raudhah al-Bahiyyah fi al-Abwab al-Tashrifiyyah

5. Al-Ibriz al-Dani yang berisi sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW

6. Al-Tausyih yang merupakan ulasan atas kitab fath al-Qarib al-Mujib karya

ibn Qasim al-Ghazi

7. Al-Tsimar al-Yaniat fi riyad al-Badi‟ah syarh atas kitab Al-Riyadl al-Badi‟ah

fi Ushul ad-Din wa Ba‟dhu furu‟us Sar‟i ah ‟ala Imam as -S afi‟i karya

Syekh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman.

8. An-Nahjah al-Jadidah

9. Bahjat al-Wasa‟il bi S arhil Masāil syarh atas kitab Ar-Rasail al-Jami‟ah

Baina Ushul ad-Din wal-Fiqh wat-Tasawuf karya Sayyid Ahmad ibn Zein

al-Habsyi.

10. Bughyat al-Awam fi syarh Muwlid Sayyid al-Anam SAW li ibn Jauzi

11. Dzari‟ah al- aqin „ala Umm al-Barahain. Kitab ini memberi ulasan pada

Umm al-barahain karya al-Sanusi.

12. Fath al-Ghafir al-Khattiyah yang berisi ulasan atas kitab Nuzum al-

Jurumiyah Al-Musamma bi al-Kaukah al-Jaliyah karya Imam Abdul salam

ibn Mujahid al-Nabrawi

13. Fath al-Majid, ulasan dari kitab Al-Durr al-Farid fi al-Tauhid


45

14. Fath al-Mujib yang merupakan ulasan ringkas atas kitab khatib al-Syarbani fi

al-Manasik

15. Fath al-Shamad yang berisi ulasan atas Kitab Maulid Al-Nabawi

16. Hilyat ash-Shibyan fi syarh Lubab al-Hadits li as-Suyuthi

17. Kasyifatus Saja syarh atas kitab Syafinah an-Najah karya Syekh Salim ibn

Sumair al-Hadrami

18. Lubab al-Bayan yang membahas ilmu balaghah dan merupakan ulasan atass

kitab Risalat al-Isti‟arat karya Al-Husain al-Nawawi al-maliki

19. Madarij al-Su‟ud ila Iktisa‟al-Bururud yang berisi ulasan atas kitab Maulid

al-Nabawi al-Syahir bi al-Barzanji karya Imam Sayyid Ja‟far

20. Marraqi ul ‟Ubudi at syarh atas kitab Bidayatul Hidayah karya Abu

hamid ibn Muhammad al-Ghazali

21. Minqat asy-S u‟ud at-Tasdiq syarh dari Sulam at-Taufiq karya Syeikh

Abdullah ibn Husain ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba‟lawi

22. Nashaih al-Ibad syarh atas kitab Masa‟il Abi Laits karya Imam Abi Laits

23. Nihayatuz Zain fi Irsyad al-Mubtadiin syarh atas kitab Qurratul ‟aini bi

muhimmati ad-din karya Zainuddin Abdul Aziz al-Maliburi

24. Nur al-Dhalam yang berisi ulasan atas kitab Manzumat bi Aqidah al-Awam

karya Syeikh Ahmad Marzuki al-Maliki

25. Qami‟ul Thugh an syarh atas S u‟ub al Iman karya Syekh Zainuddin ibn Ali

ibn Muhammad al-Malibari

26. Salalim al-Fudlala ringkasan/risalah terhadap kitab Hidayatul Azkiya ila

Thariqil Awliya karya Zainuddin ibn Ali al-Ma‟bari al-Malibari


46

27. Sulam al-Munajah syarh atas kitab Safinah ash-Shalah karya Abdullah ibn

Umar al-Hadrami

28. Syarh al-Jurumiyah yang berisi tentang tata bahasa Arab

29. Targhib al-Mustaqim yang berisi ulasan atas kitab Manzumat al-Sayid al-

Barzanji Zan al-„Abidin fi Mauli kar a Sa id al-Awlin

30. Tijan al-Darari merupakan ulasan atas kitab Al-„alim al-Allamah Syeikh

Ibrahim al-Bajuri fi al-Tauhid

31. Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain kitab fiqih mengenai hak dan

kewajiban suami-istri

C. RIWAYAT TAFSIR MARAH LABĪD

1. Latar Belakang Penulisan.

Pada abad 19 M ulama asal Indonesia, Syaikh Nawawi al-Bantani

menulis literatur tafsir yang diberi nama Tafsir Marāh Labīd li Kas fi Ma‟na

al-Quranil Madjid (atau kadangkala ada yang menyebutnya Tafsir Munir),

yang ditulis menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. 25 kitab ini

merupakan penafsiran tentang al-Quran secara keseluruhan yang terdiri dari

dua jilid, karya ini selesai ditulis pada 5 Rabiul Akhir 1305 H/ 1886, di

Makkah.

Faktor yang melatarbelakangi penulisan kitab ini, sebagaimana telah

dicantumkan dalam muqaddimah tafsirnya yaitu anjuran dari beberapa

Ulama‟ yang Nawawi hormati yang menyuruhnya untuk menulis sebuah

25
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, (Jakarta:
TERAJU, 2003), hal. 55
47

tafsir yang menerangkan tentang makna-makna yang ada di dalam al-

Quran.26 Walaupun pada awalnya merasa ragu untuk melangkah, hal ini

disebabkan sifat kehati-hatian yang beliau miliki dan ketakutannya akan

ancaman sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

27
.‫علم فليتبوأ نقعده نو انلار‬ ‫نو قال يف القرآن بغري‬
“Barangsiapa ang membicarakan al-Quran dengan pendapatnya
sendiri, hendaklah ia bersiap-siap untuk menempati kedudukannya di dalam
neraka.”
28
.‫نو قال يف القرآن برأيً فأصاب فقد أخطأ‬
“Barangsiapa yang membicarakan al-Quran dengan pendapatnya
sendiri, kendatipun benar, namun sesungguhn a dia tetap keliru.”

Pada akhirnya pun Nawawi memenuhi anjuran tersebut dikarenakan

mengikuti jejak para Ulama‟ salaf terdahulu dan agar dapat dimanfaatkan

generasi selanjutnya untuk membuka keilmuan yang ada. Dalam pembuatan

kitab tafsir ini, Syekh Nawawi merujuk kepada beberapa kitab, diantaranya:

Tafsir al-Futuhatul Ilahiyyah (syarh Tafsir Jalalain), Tafsir Mafatihul Ghaib,

As-Sirajul Munir, Tanwirul Miqbas, dan Tafsir Ibnu Mas‟ud.29

2. Metode Penafsiran

Dalam upaya untuk menyelami kandungan dan isi Al-Qur'an

diperlukan kemampuan untuk menggali dan menangkap isinya dengan cara

26
Nawawi, Tafsir Marah Labīd…, jilid I, muqaddimah, hal. 1
27
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah
al-Ma‟arif, t.t ), Hadits no. 2950, ‫ كتاب تفسيز القزان عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬, ‫باب ما جاء فى الذي يفسز القزان‬
‫بزأيه‬, hal. 659
28
Ibid. hal. 660
29
Nawawi, Marah Labīd …, hal. 2
48

menginterpretasikan pesan langit tersebut.30 Dalam upaya

menginterpretasikan tersebut dibutuhkan sebuah metode yang akan membuat

penafsiran tersebut menjadi akurat dan meminimalisir kesalahan dalam

penafsirannya.

Dalam Ulumul Quran, banyak diperkenalkan berbagai metode yang

digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang tujuannya untuk

menangkap pesan langit yang tertuang dalam ayat-ayat al-Quran. Beberapa

metode yang lazim digunakan adalah metode tahlili, metode ijmali, tafsir

muqarran, dan metode maudhui.

Tafsir Marāh Labīd dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir

dengan metode ijmali (global). Dikatakan sebagai tafsir ijmali, dikarenakan

dalam menafsirkan sebuah ayat cenderung menjelaskan setiap ayat dengan

singkat dan padat sehingga mudah dipahami. Sistematika penulisannya pun

menurut susunan ayat dari mushaf, yakni diawali dari surat al-Fātiḥah dan

diakhiri dengan surat an-Nās.

Selain menggunakan metode penafsiran ijmali dan tahlili, dalam kitab

ini Syeikh Nawawi juga menggunakan metode muqarran (perbandingan), ini

dapat dilihat dari penafsirannya pada surat al-Fātiḥah ayat 4 yang

dibandingkan dengan surat al- Infiṭār ayat 19:

‫)ملك يوم ادليو) ياء ثبات اآللف عيد اعصم والمسايئ ويعقوب اى نترصف‬
‫يف اآلمر لكً يوم القيانة لها قال (يوم ال تهلك ىفس نلفس شئا واآلمر يونئذ‬

30
M. Yunan Yusuf, “Metode Penafsiran Al-Qur‟an Tinjauan atas Penafsiran Al-Qur‟an secara
Tematik” dalam Jurnal Syamil vol 2 no. 1 2014 , hal. 58, pdf
49

‫وعيد ابلاقني حبذف اآللف والعىن أى الهترصف يف أمر‬ (91 :‫)االىفطار‬ )‫اهلل‬
31
‫القيانة با آلمر وانلىه‬

Alif dibaca dengan menggunakan qirāah „Aṣim, Kisai, dan Ya‟qub,

yang artinya Dia-lah yang mengatur semua urusan pada hari kiamat sesuai

dengan firman Allah SWT pada surat al-Infiṭār ayat 19:

‫ّه‬ َۡ ۡ َ ۡ ّ ٞ َۡ ُ َۡ َ ََۡ
١٩ ِ ‫س ِنلَف ٖس شياو َوٱۡل ۡم ُر يَ ۡو َنئ ِ ٖذ ِهلل‬ ‫يوم ال تهل ِك نف‬
(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk
menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan
Allah.

Sedangkan menurut pendapat Ulama‟ qirāah lain, dibaca dengan

membuang Alif Māliki yang artinya yang merajai segala urusan pada hari

kiamat dengan segala perintah dan larangan-Nya.32

3. Corak penafsiran

Dalam literatur tafsir, kata corak biasanya digunakan sebagai

terjemahan dari kata al-laun, yang berarti warna.33 Jadi corak tafsir

merupakan nuansa atau sifat khusus yang mewarnai penafsiran al-Quran.

Tafsir merupakan sebuah bentuk ekspresi intelektual sang mufassir ketika ia

menjelaskan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan keanekaragaman

disiplin ilm yang berkembang saat itu. Di sisi lain, ilmu yang berkembang

31
Nawawi, Tafsir Marah Labīd li Kas fi Ma‟na Qur‟anil Madjid, (Beirut: Darul Kutub
„Ilmiah: t.t), hal. 7-8, pdf
32
Ibid. hal. 5
33
Adib Bisri dan Munawwir A. Fattah, Kamus al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999),
hal. 400
50

pada abad itu bersentuhan langsung dengan keIslaman. Dalam buku yang

berjudul Ulumul Quran, disebutkan ada 5 jenis corak dalam penafsiran:

a. Corak Fiqhi

Corak fiqhi atau kadangkala disebut dengan corak hukum. Ini

dikarenakan pada penafsiran ini memusatkan perhatiannya kepada

persoalan hukum agama Islam.34

b. Corak Sufi

Corak sufi merupakan penafsiran al-Quran yang berlainan dengan

makna dzahirnya karena adanya petunjuk yang tersirat. Corak sufi ini

terbagi menjadi dua, yang pertama corak sufi isyari yaitu penafsiran

ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan dzahirnya. Hal ini dikarenakan

pemahaman tersebut hanya dapat dipahami oleh sebagian Ulama‟

maupun orang-orang yang mengenal Allah SWT. Seperti halnya ilmu

yang dimiliki oleh Nabi Khidir tanpa melalui proses belajar.35 Sedangkan

yang kedua, corak sufi nadhary, yakni tafsir yang dibangun untuk

mempromosikan teori mistik yang dianut oleh Mufassir tertentu sehingga

kadangkala penafsirannya jauh dari tujuan utamanya sebagai petunjuk

bagi umat manusia.36

34
Gufron dan Rahmawati, Ulumul…, hal. 189
35
Ibid. hal. 190-191
36
Ninin Tri Wahyuni, Tafsir Corak Sufi, dalam
http://ninwahyuni.blogspot.com/2016/12/makalah-madzahibut-tafsir-tafsir-corak.html?m=1 diakses
pada 22 Maret 2018 pukul 10.23 WIB
51

c. Corak „Ilmi

Corak penafsiran yang menggunakan istilah ilmiah dalam rangka

memahami kandungan isi al-Quran. Dalam hal ini al-Quran mendorong

umat Islam untuk memerdekakan akan dari belenggu keraguan untuk

mengamati fenomena yang ada di alam sekitar.37 Corak penafsiran

semacam ini memberikan kesempatan kepada para Mufassir untuk

mengembangkan keilmuan yang ada dalam al-Quran.38

d. Corak Adab Ijtima‟i

Corak Adab Ijtima‟i merupakan corak penafsiran yang

menerangkan makna-makna yang ada dalam al-Quran dengan sistem

sosial kemasyarakatan. Tujuannya adalah agar al-Quran dapat

difungsikan pada kehidupan manusia sehingga mampu memecahkan

persoalan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.39

e. Corak Falsafi

Corak falsafi merupakan corak penafsiran al-Quran berdasarkan

logika atau pemikiran filsafat yang rasional.40 Namun walaupun begitu,

beberapa Ulama‟ menolak penafsiran dengan corak falsafi ini dengan

alasan bahwa penafsirannya terlalu dipaksakan ke wilayah yang mereka

kehendaki.41

37
Rosihon Anwar dan Asep Muharom, Ilmu Tafsir, (Bandung, Pustaka Setia, 2015), hal. 172-
173
38
Gufron dan Rahmawati, Ulumul…, hal. 195
39
Ibid., hal. 198
40
Ibid. hal. 197
41
Ibid.
52

Tafsir Marāh Labīd dapat dikategorikan dalam tafsir bil ma‟tsur. hal

ini dapat dipahami dari muqaddimah beliau yang khawatir melakukan

penafsiran secara murni. Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya kutipan

hadits-hadits Rasulullah SAW, pendapat dari sahabat dan tabi‟in serta tokoh-

tokoh dalam menjelaskan suatu ayat.

Tafsir ini lebih condong pada corak sufi, ini dilihat dari latar belakang

Syekh Nawawi yang merupakan pemimpin tarekat yang besar di Nusantara,

akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan bahwa tafsir ini juga

menggunakan corak fiqhi di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai