Anda di halaman 1dari 2

BERKAT DO’A IBUNDA SYEKH NAWAWI JADI ULAMA

Oleh: Kholid Ma’mun*

Jum’at, 6 Syawal 1441 H yang bertepatan dengan tanggal 28 Mei 2020 saya bersilaturrahim kepada salah satu seorang keturunan
Sultan Maulana Hasanuddin (ke-9), di tengah asiknya obrolan, beliau banyak bercerita tentang sejarah Banten, para tokoh dan
ulama-ulamanya.

Dalam salah satu obrolan saat itu, beliau sampaikan tentang riwayat keberkahan ilmu Syekh Nawawi Al-Bantani, kata beliau:
“Keulamaan Syekh Nawawi yang begitu hebat, tak lepas dari do’a seorang ibu yang salehah, ibu Zubaedah namanya. Dulu ketika
ibu Syekh Nawawi mengandung 7 bulan ada sebuah keajaiban. Suatu ketika sang ibunda ingin menunaikan salat asar, namun di
saat yang sama nasi untuk makan malam keluarga habis, maka wanita mulia itu bergegas untuk mengambil air wudhu, setelah itu
mengambil beras kemudian dibersihkan, setelah dibersihkan beras ditinggal di dalam panci, kemudian sang ibu mengerjakan salat
asar.

Dus, setelah selesai shalat, zikir dan do’a sang ibu teringat bahwa beras belum dimasak. Tak diduga keajaiban terjadi saat itu,
beras yang sudah dibersihkan dan ingin dimasak berubah menjadi berlian yang berkilau, betapa kagetnya beliau melihat
peristiwa itu.

Kezuhudan sang ibunda tidak menggoyahkan bujuk rayu dan gemerlapnya dunia, wanita mulia itu berucap dalam do’a: “Ya Allah
ya Rabb..bukan berlian yang berkilauan ini yang aku inginkan, tapi cukup engkau jadikan putra dalam kandunganku ini menjadi
seorang yang alim dan ilmunya mampu menerangi dunia dari ujung barat sampai ujung timur bagaikan bintang yang bersinar di
malam hari

Subhanallah, do’a sang ibunda nan salehah tersebut dikabulkan Allah, sehingga anak yang di dalam kandungannya kelak menjadi
seorang ulama besar yang ilmunya mampu menerangi dunia, anak dalam kandungan itu adalah beliau sang alim dari tanah
Tanara kabupaten Serang Provinsi Banten yang tersohor dengan karya-karnya kitabnya, beliau adalah Syekh Muhammad Nawawi
bin Umar Al Jawi.

Syekh Nawawi Kecil

Ulama-ulama terdahulu mewariskan kepada kita ilmu pengetahuan yang sangat lengkap dengan menulis berbagai kitab dalam
berbagai bidang kedisiplinan ilmu dan itu semua dipelajari di pesantren-pesantren selama berabad-abad. Kita tetap bisa belajar
agama dan mewarisi pengetahuan ulama, karena mereka tidak meninggalkan harta atau materi yang lain, tetapi mereka
mewariskan ilmu kepada kita melalui kitab-kitab yang mereka tulis.

Dalam sejarah pencapaian prestasi ulama-ulama nusantara, ada beberapa nama ulama yang dikenal sengat produktif dalam karya
tulis, diantaranya Syekh Nawawi Al-Bantani (w 1896), menurut satu sumber, bahwa beliau menulis lebih dari 34 kitab.

Syaikh Nawawi bernama Muhammad Nawawi bin Umar, seorang ulama yang lahir di Tanara pada 1230 H/ 1813 M, terlahir dari
keluarga yang berpendidikan, sehingga oleh abahnya sejak usia 5 tahun ia sudah di didik dan diajari mengaji ilmu-ilmu agama.

Di usia 8 tahun, ia dipesantrenkan di Jawa Timur, selesai mondok dari Jawa Timur ia melanjutkan belajar dengan nyantri kepada
ulama-alama kenamaan di Banten, diantaranya Kiai Sahal dan Kiai Yusuf. Pada usia 15 tahun atau 2 tahun setelah sepeninggal
abahnya Nawawi muda memutuskan berangkat ke Mekkah. Misi ke Mekkah adalah untuk menunaikan ibadah haji, namaun
karena semangat keilmuan yang tinggi mengubah niatnya untuk tidak pulang ke tanah air, akan tetapi ia berkeinginan untuk
mukim (tetap tinggal di Mekkah), untuk mencari dan memperdalam ilmu di tanah haram tersebut.
Guru-guru Syekh Nawawi

Diantara masyaikh yang ia temui untuk dijadikan guru adalah Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Dimyathi, Syekh
Muhammad Khatib Hambali, Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Yusuf Sumublawini, Syekh Abdul Hamid Daghastani, Syekh Ahmad
Bima dan lain-lain. Adapun murid-murid beliau yang kelak menjadi ulama-ulama terkemuka di bumi pertiwi adalah KH. Kholil
Bangkalan Madura, KH. Asnawai Caringin Banten, KH. Hasyim Asy’ari Jombang, serta KH. Arsyad Thawil Tubagus Bakri dari Banten
dan lain-lain.

Setelah merasa cukup mendapatkan ilmu dari masyaikh, Nawawi muda merencanakan untuk pulang ke kampong halamannya
dan menyebarkan ilmu yang telah dipelajarinya, namun sesampainya di tempat kelahiran tekad yang kuat untuk menyebarkan
ilmu keislaman yang telah didapat selama mukim di Mekkah terhambat. Hal tersebut dikarenakan penjajah Belanda yang saat it
uterus mengintai gerak langkahnya, sehingga akhirnya karena merasa terganggu dengan ulah penjajah tersebut, Nawawi
memutuskan untuk kembali ke Mekkah, berjihad melalui ilmu dan pendidikan sampai wafat pada tahun 1898 M

Syekh Nawawi Ulama Produktif

Syekh Nawawi terkenal sebagai penulis produkif, menurut catatan Derectory Arabic Printed Book yang ditulis oleh Yusuf Aliyas
Sarkis disebutkan karangannya mencapai 34 buah kitab, bahkan ada sumber lain yang mengatakan sampai 115 karya tulis, rata-
rata karangan beliau berupa syarh (komentar) atas berbagai kitab yang ditulis oleh ulama lain. Seperti Maraqil Ubudiyah Syarh
dari kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali, Nashaihul Ibad syarh dari kitab Al-Munabbihat ‘alaa al-isti’dad li Yaum Al-
Ma’ad karya syekh Syihabuddin Ahmad bin Hajar Al-Asqalani, dan syarh-syarh lainnya, dari semua karya tulis Syekh Nawawi yang
paling monumental adalah Tafsir Marah Labid atau yang terkenal dengan Tafsir Munir.

Diantara gaya penulisan Syekh Nawawi, adalah megutip hadis-hadis Nabi dan kisah-kisah menarik yang terkadang ada kesan
aneh, Karena sulit untuk dicerna akal. Cerita-cerita yang dimaksud adalah yang biasa disebut dengan Israiliyyat (cerita-cerita yang
ditulis oleh orang-orang Yahudi) dalam menginterpretasi kitab sucinya.

Hadis-hadis dan kisah yang disamapaikan oleh Syekh Nawawi dalam kitab-kitabnya jarang yang diberi keterangan derajat
keshahihan dan kedhaifannya, demikian juga jarang ditemukan dalam kitab-kitab beliau mencantumkan catatan kaki atau
referensi, gaya penulisan yang tidak mencantumkan catatan kaki seperti itu memang sesuatu yang lazim dilakukan oleh ulama-
ulama yang hidup sezaman dengan beliau.

Secara garis besar, buah ilmu karya Syekh Nawawi menjadi bahan utama dan sering dikaji di pesantren-pesantren seluruh
Indonesia, menurut seorang peneliti berkebangsaan Belanda, Prof. Martin Van Bruinisen di antara kitab karya Syekh Nawawi yang
sering dikaji di pesantren adalah Kasyiafah Asy-Syaja, Sullam Al-Munajjat, Uqud Al-Lujain, At-Tsimar Al-Yaniah fi Riyad Al-Badiah,
Fath Al-Majid, Tijan Durari dan Nur Ad-Dzalam.

Kehadiran seorang ulama dari tanah Banten dengan kitab-kitab hasil karyanya tersebut memerikan andil yang sangat besar bagi
kaum muslimin Indonesia, khususnya masyarakat tradisional (pesantren) di tanah Jawa, inilah yang menjadi sebab mengapa
sampai hari ini masyarakat pesanteren sering di identikkan dengan kaum tradisional dan penghormatan mereka kepada Syekh
Nawawi hingga saat ini masih sangat luar biasa, meskipun sudah ratusan tahun berlalu, tak lain ini karena pengaruh dari goresan
tinta beliau yang dituangkan dalam kitab-kitab hasil karnyanya.

Semoga tulisan yang sederhana ini mampu menghadirkan semangat dan motivasi kepada kita, terkhusus kepada kaum santri dan
masyarakat pesantren serta warga Banten pada umumnya di era millennium yang serba canggih ini, yang terkadang banyak
menyita waktu, karena sibuk dengan hal-hal yang sepele di media sosial, semoga kita mampu menghasilkan karya tulis yang
berkualitas sebagaimana apa yang telah dipersembahkan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani sejak beberapa ratus tahun yang lalu.
Amiin

Anda mungkin juga menyukai