Abstrak
Tafsir Marah Labid merupakan karya tafsir mandiri pertama yang dihasilkan putra Indonesia.
Lewat karyanya tersebut, Nawawi al-Bantani berhasil mendobrak kevakuman dunia tafsir Indonesia, di
mana selama dua abad pasca Singkel, tidak ada satupun karya tafsir—baik dalam bentuk terjemah,
maupun tafsir mandiri—yang muncul. Metode dan langkah penafsirannya tidak berbeda dengan mufasir
pada umumnya. Madzhab tafsir yang dirujuknya bercorak Suni, sekalipun dalam beberapa hal juga
merujuk pada tafsir Mu’tazilah. Secara umum, lewat karya tafsirnya ini, Nawawi al-Bantani ingin
menanamkan keyakinan dan ketaataan pada ajaran-ajaran-Nya.
Kata kunci: tafsir marah labid, Nawawi al-Bantani, metode dan corak
tersebut besar jasanya sebagai pekerjaan berasal dari Banten. Ayahnya, Umar bin
perintis jalan.4 Arabi, adalah pejabat penghulu kecamatan
Perkembangan study Al-Qur’an di di Tanara, Banten. Adapun ibunya,
Indonesia pasca Singkel terus berlangsung Khadijah, adalah seorang wanita religius
karena kontak mereka dengan pusat Islam yang juga warga Tanara. Sebelum belajar
Haramain semakin intensif, sementara di kepada guru-guru ternama di Haramain,
Nusantara sendiri tumbuh lembaga-lembaga Nawawi al-Bantani bersama dua orang
pendidikan dan pengajaran Islam, seperti saudara kandungnya, Tamim dan Ahmad,
pesantren, surau (Sumbar), dayah dan telah membekali pengetahuan agama
zawiyah (Aceh), yang secara langsung dengan belajar ilmu kalam, nahwu, tafsir,
mempopulerkan pentingnya Al-Qur’an dan fiqh dari dari ayah mereka sendiri
disamping hadits bagi kaum muslim. (seorang ulama’ masyhur di Banten pada
Namun tidak ada karya tafsir yang populer saat itu), dan kemudian dari Raden Yusuf di
dari penulis muslim dunia Melayu setelah Purwakarta, Karawang, Jawa Barat.
itu kecuali karya Nawawi al-Bantani. Pada Pada usia 15 tahun, al-Bantani
tahun 1886 M, ia menyelesaikan karya berangkat menunaikan ibadah haji ke
monumentalnya mengenai tafsir dengan Mekkah dan menetap di sana selama 3
judul Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir tahun untuk belajar. Ia belajar pada Sayyid
dalam bahasa Arab sebanyak 985 halaman. Ahmad bin Sayyid Abdurrahman al-
Madzhab tafsir yang dirujuknya bercorak Nawawi, Sayyid Ahmad Dimyati, dan Sayyid
Suni sekalipun di beberapa bagian merujuk Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah, ia
pada karya tafsir dari kalangan Mu'tazilah, belajar pada Syekh M Khatib Sambas al-
terutama karya al-Zamakhsyari, Tafsir al- Hanbali. Selain itu, ia juga belajar pada guru
Kasysyaf. Ia juga dapat dikatakan seorang dari Mesir, yaitu Yusuf Sumulaweni,
neo klasik karena telah memberi tempat Nahrawi, dan Abdul Hamid Dagastani.
penting bagi karya-karya ulama’ abad Pada tahun 1833 ia kembali ke Banten dan
pertengahan, seperti Tafsir Ibn Katsir dan mengajar di Pesantren milik ayahnya.
Tafsir al-Jalalain, serta pada saat yang sama Namun pada tahun 1855 ia kembali lagi ke
merespons perkembangan-perkembangan Mekkah serta hidup dan meniti karir
kontemporer.5 Terlepas dari penilaian keilmuan di Haramain hingga akhir
sementara kalangan yang mengatakan hayatnya.
bahwa karya Nawawi banyak mengutip dari Ia termasuk seorang ulama’ Melayu
berbagai karya tafsir lain, yang jelas Marah Indonesia di Haramain yang aktif,
Labid telah berhasil menempatkan dirinya produktif, dan sangat dihormati, bukan
sebagai salah satu karya tafsir penting di hanya oleh kalangan komunitas Jawi sendiri,
Indonesia, sehingga sangat layak diapresiasi tetapi lebih dari itu oleh masyarakat ulama’
dengan mempelajari dan menelaah karya kosmopolitan Haramain secara keseluruhan.
dimaksud. Tulisan ini ingin melihat Posisi sosial keagamaan yang sangat
metode dan corak tafsir karya Nawawi terhormat ini memungkinkan Nawawi
tersebut. mengajar di berbagai halaqah Masjidil
Haram sejak 1860, khususnya di Ma’had
B. Biografi Singkat dan Karya-Karyanya Nashr al-Ma’arif al-Diniyah. Padahal syarat
Muhammad bin Umar al-Nawawi al- untuk mengajar di tempat ini sangat tidak
Bantani al-Jawi (1230 H/1813 M- 1314 mudah karena harus memiliki kapasitas
H/1897 M) atau yang lebih dikenal dengan keilmuan yang tiggi. Selain itu, ia juga
nama Syekh Nawawi al-Bantani adalah berhasil mencapai posisi keilmuan tertinggi
salahseorang ulama’ Melayu-Indonesia abad dengan memperoleh gelar “ Syeikh al-Hijaz”.
ke-19 yang paling masyhur dan menonjol. Murid Nawawi selama di Hijaz tidak
Dari namanya dapat diketahui bahwa ia kurang dari 200 orang setiap tahunnya.
demikian ia bisa diakses oleh masyarakat berikutnya, seakan-akan dua kelompok ayat
internasional. Namun di sisi lain, bagi tersebut tidak berhubungan. Begitu juga
masyarakat Indonesia tafsir ini menjadi korelasi antar surat. Setelah selesai
elitis, karena tidak semua masyarakat menafsirkan al-Syura, misalnya, ia langsung
Indonesia menguasai bahasa Arab. Didin beralih menafsirkan al-Zukhruf tanpa
Hafiduddin bahkan menilai bahwa menjelaskan korelasi antar kedua surat
konsumen kitab ini bukan sekedar mereka dimaksud.14
yang memiliki kemampuan berbahasa Arab, Miskin munasabah bisa disebut sebagai
tetapi sekaligus memiliki kemampuan salah satu kelemahan tafsir ini. Sekalipun
memahami kaidah-kaidah bahasa tersebut.12 pada bagian tertentu ia menyinggung-
Metode yang digunakan Nawawi nyinggung munasabah, tetapi sangat jarang
adalah metode tahlili, yakni metode sekali sehingga merupakan kesulitan
penafsiran yang berusaha menerangkan arti tersendiri menemukan contohnya. Salahsatu
ayat-ayat Al-Qur’an dengan meneliti semua diantara yang dijelaskan munasabah-nya oleh
aspeknya dan menyingkap seluruh Nawawi adalah Q.S. 2:6-7. Ayat tersebut (6)
maksudnya, dimulai dari uraian makna kosa menurut Nawawi menjelaskan sifat orang
kata, makna kalimat, maksud setiap kafir yang tidak mau beriman terhadap apa
ungkapan, munasabah, dengan bantuan yang dibawa Rasul berupa Al-Qur’an,
asbab nuzul, riwayat dari Rasul, sahabat, kemudian Allah menjelaskan penyebab
maupun tabi’in. Prosedur ini dilakukan mereka tidak beriman pada ayat berikutnya
dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per (ayat 7), yaitu karena Allah telah mengunci
ayat dan surat per surat. Metode ini hati, pendengaran dan penglihatan mereka.15
terkadang menyertakan pula perkembangan Nampaknya Nawawi termasuk salah satu
kebudayaan masa Nabi sampai tabi’in, dari sebagian besar mufassir yang disindir
terkadang pula diisi dengan uraian oleh al-Zarkasyi sebagai mufassir yang
kebahasaan dan materi khusus lainnya. Para ‘kurang punya perhatian’ terhadap persoalan
mufassir tidak seragam dalam munasabah, sekalipun munasabah merupakan
mengoperasionalkan metode ini. Ada yang salah satu bagian penting dalam tafsir.16
menguraikannya secara ringkas, ada pula Secara tehnis, penulisan tafsir Nawawi
yang menguraikannya secara rinci.13 dimulai dengan penulisan ayat demi ayat.
Tafsir ini termasuk menguraikan Penulisan ayat tidak menggunakan nomor
secara ringkas dan tidak semua prosedur atau pun tanda akhir ayat. Adapun
tahlili diikuti secara ketat. Prosedur pemisah antar surat ditandai dengan
munasabah, misalnya. Nawawi tidak selalu penulisan basmalah,-- kecuali antar surat al-
menyinggung korelasi antar ayat ataupun Anfal dan al-Tawbah--, disertai penjelasan
antar surah dalam tafsirnya. Misalnya pada tentang nama surat, kelompok
surat al-Syura ayat 49-50 yang berbicara Makkiyah/Madaniyah, dan jumlah ayat,
tentang kekuasaan Allah atas langit dan kalimat, serta huruf. Pada surat-surat
bumi serta kekuasaanNya menciptakan apa tertentu yang masih diperselisihkan
saja yang Dia kehendaki serta memberi Makkiyah/Madaniyah-nya, Nawawi selalu
anugrah berupa anak kepada siapa saja yang menuliskan “Makkiyah atau Madaniyah”,
Dia kehendaki, atau tidak memberinya seperti pada surat al-Fatihah. Pada surat-
kepada siapa saja yang Dia kehendaki, ‘tiba- surat tertentu, dimana sebagian ayatnya
tiba’ pada ayat 51 topik pembicaraan beralih termasuk kelompok yang berbeda, Nawawi
pada cara-cara wahyu turun kepada Rasul. juga memberikan penjelasan, sebagaimana
Namun Nawawi tidak menyinggung pada surat al-Tawbah dimana dua ayat
sedikitpun bagaimana korelasi dari kedua terakhirnya Makkiyah, sekalipun al-Tawbah
topik pembicaraan yang terkesan ‘meloncat’ termasuk kategori Madaniyah.17
tersebut. Ia langsung menafsirkan ayat-ayat
Penulisan ayat tidak mesti satu ayat dengan hadits. Misalnya pada Q.S. 6:84
langsung ditulis utuh, tetapi didasarkan pada ( ) ﻭﻜﺫﺍﻝﻙ ﻨﺠﺯﻯ ﺍﻝﻤﺤﺴﻨﻴﻥ. Nawawi
kalimat yang hendak ditafsiri. Q.S. 23:1 menjelaskan pengertian ihsan berdasarkan
adalah contoh ayat yang langsung ditulis hadits Nabi, yakni “beribadah kepada Allah
utuh dan dirangkaikan dengan tafsirnya, seakan-akan engkau melihatNya, kalaupun
yaitu ﻗﺩ ﺍﻓﻠﺢ ﺍﻝﻤﺅﻤﻨﻭﻥ.18 Sedangkan contoh engkau tidak melihatNya, maka
23
ayat yang tidak langsung ditulis utuh adalah sesungguhnya Ia melihatmu”. Namun
Q.S. 5:3. Pada pertengahan ayatnya, ditulis demikian, dalam menyebutkan hadits,
ام اآ دkemudian dijelaskan Nawawi tidak menyebutkan rangkaian
tafsirnya lalu dilanjutkan dengan rangkaian sanadnya, serta tidak pula mengemukakan
ayat berikutnya, yaitu وا, kualitas haditsnya.
dijelaskan tafsirnya, dan dilanjutkan dengan Ketiga; menafsirkan ayat dengan
rangkaian ayat berikutnya, ور ام pendapat sahabat dan atau tabi’in. Misalnya
د, kemudian dijelaskan tafsirnya.19 Q.S. 2:226 tentang sumpah ila’ (bersumpah
Kedua; pada ayat-ayat tertentu yang untuk tidak menyetubuhi isterinya).
memiliki perbedaan qira’at, setelah Berdasarkan pendapat Ibnu Abbas, Nawawi
penulisan ayat dilanjutkan dengan menafsirkan ayat tersebut dengan “jika
menjelaskan adanya perbedaan qira’at seseorang meng-ila’ isterinya, kemudian
sekaligus menisbatkan masing-masing menarik sumpahnya sebelum empat bulan,
bacaan kepada imamnya. Misalnya pada maka ia boleh menyetubuhi isterinya
Q.S. 4:94, yaitu ﻻ ﻴﺴﺘﻭﻯ ﺍﻝﻘﻌﺩﻭﻥ ﻤﻥ ﺍﻝﻤﺅﻤﻨﻴﻥ kembali dengan disertai membayar kaffarat,
ﻏﻴﺭ ﺍﻭﻝﻰ ﺍﻝﻀﺭﺭ. Disebutkan bahwa Ibn tetapi bila telah mencapai masa empat
Katsir, Abu Amr, Hamzah, dan Ashim bulan, maka otomatis jatuh talak satu.”24
membaca rafa’ pada lafadz ghair sebagai Terjadinya khilaf tidak selalu dikemukakan
badal dari lafadz qa’iduna, sementara Nafi’, oleh Nawawi sebagaimana contoh di atas.
Ibnu Amir, al-Kisa’i serta baqu al-qurra’ Namun, pada tempat lain, adanya khilaf
membaca nasab sebagai hal, sedangkan juga ditampilkan. Misalnya ketika
A’masy membacanya jar sebagai sifat dari menafsirkan shalat al wustha. Dijelaskan
lafadz mu’minin. 20 bahwa sebagian berpendapat bahwa shalat al
Ketiga; pada ayat yang memiliki sabab wustha adalah shalat shubuh. Pendapat ini
nuzul, sebelum dilakukan penafsiran, merupakan pendapat Ali, Umar, Ibn
disebutkan dulu sabab nuzul ayat dimaksud, Abbas, Jabir, Abi Umamah al-Bahili dari
misalnya pada Q.S 2:189. Disebutkan kalangan sahabat, serta Thawus, ‘Atha’,
bahwasanya ayat tersebut turun berkaitan Ikrimah, serta Mujahid dari kalangan Tabi’in
dengan adanya sekelompok sahabat dari dan merupakan pendapat madzhab Syafi’i.
suku Kinanah dan Khuza’ah. Mereka Pendapat lain mengatakan bahwa shalat al
memasuki rumah dari (pintu) belakang wustha adalah shalat ‘ashar. Pendapat ini
ketika dalam keadaan ihram sebagaimana diriwayatkan berasal dari Ali, Ibn Mas’ud,
biasa mereka lakukan pada masa jahiliyah, Ibn Abbas, serta Abu Hurairah yang
sehingga turunlah ayat ﻭﻝﻴﺱ ﺍﻝﺒﺭ ﺒﺎﻥ ﺜﺎﺀﺘﻭﺍ menyatakan bahwa shalat al wustha adalah
ﺍﻝﺒﻴﻭﺕ ﻤﻥ ﻅﻬﻭﺭﻫﺎ21 shalat antara shalat genap dan shalat ganjil.25
Keempat; menggunakan pendekatan
Langkah-langkah Nawawi dalam
ra’yu yang didasarkan pada analisis bahasa
menafsirkan Al-Qur’an tidak berbeda
serta kaidah-kaidahnya. Secara umum,
dengan mufassir pada umumnya. Pertama;
pendekatan inilah yang digunakan Nawawi
menafsirkan ayat dengan ayat. Misalnya,
dalam tafsirnya, sehingga tafsir ini lebih
pada Q.S 6:82. Lafadz dzulm pada ayat
tepat disebut sebagai tafsir bi al-ra’yi yang
tersebut ditafsirkan dengan syirk,
mahmud. Disebut mahmud karena ia
sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam
mengkombinasikan kaidah bahasa dengan
Q.S. 31:13.22 Kedua; Menafsirkan ayat
misalnya. Nawawi hanya mengatakan bahwa janganlah kalian mendekati (mengumpuli) mereka
ayat ketujuh adalah
اط ا ا sampai mereka suci, tetapi rangkaian ayat
….dst bagi yang berpendapat bahwa berikutnya menyatakan jika mereka telah
basmalah merupakan bagian dari al-fatihah, bersuci, maka datangilah (kumpuli) mereka.
sementara bagi ulama’ yang mengatakan Pernyataan kedua yaitu jika mereka telah
bahwa basmalah bukan merupakan bagian bersuci, menunjukkan bahwa bersuci tersebut
dari al-fatihah, maka ayat ketujuh adalah merupakan syarat untuk bisa melakukan
… ا بdst 35 hubungan suami isteri. Dengan pengertian
Namun demikian, pada bagian lain, ia demikian, berarti memadukan antara
memberikan penilaian terhadap pendapat pengertian pada kalimat pertama (janganlah
yang dinilainya lebih kuat, misalnya ketika kalian mendekati mereka sampai mereka suci)
menafsirkan Q.S. 5:6 tentang mengusap dengan kalimat kedua (jika mereka telah
kepala pada waktu wudlu’. Secara tegas bersuci, maka silahkan datangi mereka sesuai
Nawawi mendukung pendapat Syafi’i yang perintah Allah). Hal ini sebagaimana kalimat:
menafsirkan ayat tersebut dengan “Janganlah bicara dengan Fulan sampai ia
“mengusap sebagian kepala”. Ia masuk rumah. Jika perasaannya sudah
mengatakan bahwasanya ba’ pada lafadz bi senang setelah masuk rumah, maka
ru’usikum mengandung makna fi’il, yaitu bicaralah”. Kalimat tersebut menunjukkan
menempelkan (ilshaq), sehingga ayat bahwa kebolehan bicara dengan Fulan
tersebut memiliki arti “tempelkanlah usapan tergantung pada dua hal sekaligus, yaitu
pada kepala kalian”. Sementara masuk rumah dan hatinya senang.37
menempelkan usapan tidak harus Pendapat ini sejalan dengan pendapat
seluruhnya. Ia memberi contoh kalimat, Syafi’i.
“saya mengusap tangan saya dengan sapu Nawawi tidak banyak menjelaskan
tangan”. Siapa pun akan memahami khilafiyah dalam persoalan kalam. Ia
bahwasanya pernyataan tersebut cenderung menyampaikannya secara
mengandung pengertian bahwasanya langsung tanpa menyebutkan pendapat dari
mengusap tangan dengan sebagian saja dari aliran atau madzhab apa. Ketika
saputangan tersebut sudah cukup. Berbeda menjelaskan Q.S.75:22-23 ia
dengan kalimat “saya mengusap sapu menafsirkannya dengan “wajah-wajah yang
tangan”. Pernyataan “saya mengusap sapu baik, yakni wajah orang mukmin pada hari
tangan (tanpa bi/dengan)” harus diartikan kiamat melihat Allah SWT dengan tanpa
mengusap sapu tangan secara hijab/penghalang apapun”.38 Pendapat ini
keseluruhan.36 sejalan dengan pendapat Asy’ari yang
Pada bagian lain, yakni Q.S. 2: 222 mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat oleh
manusia dengan mata kepala di akhirat
yaituﻭﻻ ﺗﻘﺮﺑﻮﻫﻦ ﺣﱴ ﻳﻄﻬﺮﻥ ﻓﺎﺫﺍ ﺗﻄﻬﺮﻥ nanti.39 Nawawi juga tidak segan-segan
ﻓﺎﺀﺗﻮﻫﻦ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺍﻣﺮﻛﻢ ﺍﷲsetelah melakukan takwil sebagaimana takwil yang
dilakukan Al-Maturidi dan Mu’tazilah dan
menjelaskan terjadinya perbedaan qiraat berbeda dengan versi Asy’ari. Ketika
pada lafadz yathhurna, Nawawi dengan tegas menafsirkan Q.S.51:47, ia menafsirkan
mengatakan bahwa wanita yang sedang lafadz aidin dengan kekuatan, sehingga ayat
haidh tidak boleh dikumpuli oleh suaminya tersebut bermakna bahwasanya “Allah
sampai darahnya berhenti dan mandi. membangun langit dengan kekuatan”.40
Ketegasannya sekaligus menepis pendapat Contoh lain adalah ketika ia menafsirkan
Hanafi yang memperbolehkan mengumpuli lafadz istiwa’ pada Q.S. 7:54. Nawawi
isteri begitu darah haidnya telah berhenti mengatakan bahwa lafadz tersebut adalah
sekalipun belum mandi sepanjang masa kinayah dan tidak boleh dipahami apa
haidnya mencapai sepuluh hari. Alasan adanya dengan arti “bersemayam”, sebab
Nawawi adalah sekalipun di awal disebutkan
Allah Maha Suci dari mengambil tempat “hendaknya setiap orang mengimani apa
atau pun arah tertentu. Secara panjang lebar yang disampaikan oleh Rasul dengan
ia menjelaskan bahwa lafadz ‘arsy adalah meninggalkan segala larangan dan
singgasana yang biasanya ditempati raja, memperbaiki amal perbuatannya sehingga
kemudian istilah tersebut—secara majazi-- akan selamat di dunia dan akhirat.”44
digunakan untuk pengertian kekuasaan, Barangkali tidak ada sesuatu yang
sehingga ketika ada pernyataan “telah terlalu istimewa yang ditawarkan oleh
hancur singgasana sang Raja”, maka artinya Nawawi lewat karya tafsirnya tersebut.
adalah “telah hancur kekuasaannya”. Namun siapa pun tidak ada yang bisa
Karena itu ayat tersebut tidak boleh membantah bahwa ia telah memberikan
dipahami menurut pengertian dzahirnya. sumbangan cukup besar bagi Islam dan
Menurutnya maksud ayat di atas adalah masyarakat muslim lewat karyanya itu.
terlaksananya kekuasaan dan berjalannya Pemberian gelar Syeikh al- Hijaz oleh ulama’
kehendak Allah (nafadz al-qudrat wa jarayan Mesir karena menilai bahwa karyanya
al-masyi’ah). Dalam hal ini kita tidak perlu tersebut merupakan sebuah karya cemerlang
melakukan takwil secara rinci dan tentu cukup menjadi bukti bagi kita bahwa
menyerahkan sepenuhnya pengertiaannya ia telah memberikan sumbangan besar bagi
kepada Allah.41 dunia intelektual Islam. Persoalan tafsir
Nawawi juga menyoroti fenomena tersebut banyak “mengutip” berbagai karya
yang terjadi di tengah masyarakat akan tafsir lain, tentu tidak bisa dijadikan sebagai
adanya sikap saling klaim kebenaran. Hal ini alasan untuk tidak mengapresiasinya.
terlihat ketika ia menafsirkan Q.S. 3:105 Bukankah hampir tidak ada satu pun karya
Dengan mengutip pendapat Al-Razi, tafsir yang tidak mengutip tafsir lain ?
Nawawi mengecam sikap sebagian besar Bagi dunia tafsir di Indonesia, tafsir
ulama’ saat ini yang tidak bisa menghargai ini menjadi lebih istimewa karena ia
perbedaan pendapat. Mereka memilih saling merupakan karya tafsir pertama yang ditulis
bertikai dan bersengketa dengan secara utuh oleh putera Indonesia. Lewat
mengklaim bahwa dirinya yang benar, karyanya tersebut Nawawi memberikan
sementara yang berbeda dengannya salah. inspirasi yang teramat besar bagi putera
Sikap ini dinilainya tidak sejalan dengan bangsa lainnya untuk mengikuti jejaknya. Ia
pesan Al-Qur’an.42 juga telah berjasa mendobrak kevakuman
Keinginan Nawawi untuk dalam dunia tafsir di Indonesia dimana
menanamkan ketaatan umat Islam terhadap selama dua abad pasca Singkel tidak ada
ajaran agamanya lewat tafsirnya ini sangat satu pun karya tafsir (lengkap 30 juz) yang
terlihat, seperti ketika ia menafsirkan Q.S. dihasilkan putera Indonesia.
7:51. Pada akhir tafsirnya Nawawi
menggarisbawahi ayat tersebut E. Penutup
menunjukkan bahwasanya mencintai dunia Lewat karya tafsirnya Nawawi telah
(hubb al-dun-ya) merupakan awal dari segala memperkaya khazanah tafsir di Indonesia
bencana yang akan mengantarkan seseorang khususnya, serta di dunia Islam pada
kepada kesesatan dan kekufuran. Karena itu umumnya, walaupun—mungkin—ia tidak
Allah menurunkan Al-Qur’an untuk banyak menawarkan sesuatu yang baru.
dijadikan pedoman yang akan Dengan metode tahlili, serta menggunakan
menyelamatkan manusia dari pendekatan kebahasaan, ia berhasil
43
kesesatan. Pada Q.S. 7:33-35 setelah melahirkan sebuah karya tafsir yang sangat
menjelaskan tentang 5 pokok jinayah yang layak diapresiasi oleh siapa saja yang
meliputi kejahatan terhadap nasab, akal, memiliki perhatian terhadap tafsir—
jiwa, harta dan kehormatan, serta kejahatan terutama karya-karya tafsir yang dihasilkan
terhadap agama, Nawawi mengatakan, oleh bangsa Indonesia-- serta ingin
secara komperehensif, tentu saja al-Mufassirun, Juz I, (t.t:, t.p., 1976), p. 170.
34 Didin, :”Tafsir”, p. 55.
dibutuhkan tafsir yang lain yang juga lebih
35 Ibid., p. 2.
komperehensif.45 36 Ibid., p. 192.
37 Ibid., p. 60.
38 Nawawi, Marah, vol. 2, p. 415.
39 Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI
•
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Press, 1986), p. 139.
Surabaya. 40 Nawawi, Marah, vol. 2, p. 325.
1 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 41 Nawawi, Marah, vol. 1, p. 282.