Anda di halaman 1dari 21

Nuansa Sufistik Dalam Tafsir Marah Labid Perspektif Islah Gusmian

Safira Malia Hayati/ 20205032004

Abstrak

Kajian ini mengulas tentang nuansa sufistik yang terdapat dalam Tafsir Marah
Labid karya Syekh Nawawi al-Bantani. Hal yang menarik untuk dibahas di sini
adalah Syekh Nawawi selain berlatar belakang seorang mufasir beliau juga
seorang ahli sufi, teologi, bahkan ahli fikih yang menganut madzhab
Syafi‟iyyah. Kitab tasawufnya cukup populer di kalangan masyarakat yaitu
Kitab Salalim Fudlala Syarah Manzhumah Hidayat al-Adzkiya‟ ila Thariq al-
Auliya‟. Setidaknya ada dua yang menjadi penegasan penulis dalam tulisan ini;
Pertama, Bagaimana metodologi dari Tafsir Marah Labid ini, baik aspek teknik
penulisannya maupun aspek hermeneutiknya. Kedua, Bagaimana subjectivity
Syekh Nawawi dalam menafsirkan ayat yang berkaitan tentang sufisme tersebut.
Dalam kajian ini juga penulis menggunakan kajian tematik serta membedah
metodologinya menggunakan perspektif Islah Gusmian.

Kata Kunci: Sufistik, Tafsir Marah Labid, Islah Gusmian

Pendahuluan

Kajian al-Qur‟an di Nusantara terus mengalami geliat perkembangan yang


membanggakan. Munculnya karya-karya tafsir di bumi nusantara menegaskan bahwa kajian
al-Qur‟an di bumi nusantara terus mengalami perkembangan. Bukan hanya itu, tafsir al-
Qur‟an yang sering disajikan dengan budaya aslinya, yaitu kultur Arab, disajikan dengan
budaya para pembacanya, dalam hal ini adalah bumi Nusantara.1

Demikian juga sejarah perkembangan tafsir ini tidak lepas dari corak penafsiran yang
dihasilkan oleh setiap generasi dalam penggal sejarah tertentu, di mana dalam menyajikan
kandungan dan pesan-pesan Allah terdapat ekspresi dan karakter yang impresif.2 Salah satu
contoh produk tafsir Nusantara yang menarik untuk dikaji adalah Tafsir al-Munir li Ma‟alim
ant-Tanzil atau juga dikenal dengan Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi al-Bantani
(1813M - 1879M). Tafsir ini memiliki keunikan yaitu ditulis dalam bahasa arab sebagai
bahasa pengantar, dan ditulis di luar Nusantara, yaitu Makkah.3

Sehubungan dengan penelitian Tafsir Marah Labid ini, peneliti akan membahas
terkait dengan nilai-nilai sufisme yang terdapat pada kitab Tafsir karya Syekh Nawawi al-

1
Hasani Ahmad Said, Jaringan & Pembaharuan Ulama Tafsir Nusantara Abad XVI-XXI, (Bandung:
Manggu Makmur Tanjung Lestari, 2020), hlm. 16
2
Ibid, hlm. 90
3
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2013), hlm. 43

1
Bantani tersebut. Ini sangat menarik untuk diteliti karena melihat background seorang Syekh
Nawawi al-Bantani seorang sufi dan penganut tasawuf.

Dengan demikian, peneliti akan menjelaskan nilai-nilai tasawuf oleh Syekh Nawawi
al-Bantani lalu menghimpun beberapa ayat-ayat yang berkaitan dengan tema yang akan
dibahas serta bagaimana penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani terhadap ayat-ayat tersebut
dalam Tafsir Marah Labid? Apakah beliau nanti akan menafsirkan ayat-ayat tersebut ada
kaitannya dengan penafsiran di Tafsir Marah Labid?

Biografi Imam Nawawi al-Bantani

1. Sejarah Hidup Syekh Nawawi al-Bantani

Nama lengkap tokoh kita ini adalah Muhammad Nawawi ibn Umar ibn Arbi al-
Bantani al-Jawi. Lahir tahun 1230 H-1813 M di Tanara Serang Banten. Di kalangan
keluarganya beliau di kenal dengan nama Abu Abd al-Mu‟thi. Ayahnya KH. Umar ibn Arbi,
adalah salah seorang ulama terkemuka di daerah Tanara yang memimpin masjid dan
pendidikan Islam di Tanara.4 Dari garis keturunannya, Syekh Nawawi adalah yang ke-12
dari Maulana Syarif Hidayatullah, atau yang lebih dikenal Sunan Gunung Jati Cirebon.
Dengan demikian dari silsilah ayahnya, garis keturunan beliau sampai kepada nabi
Muhammad Saw melalui Imam Ja‟far as-Siddiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zain
al-Abidin, Sayyidina Husain RA, Sayyidah Fatimah Az-Zahrah.5 Sedangkan ibunya bernama
Zubaidah, berasal dari garis keturunan Muhammad Singaraja. Syekh Nawawi merupakan
anak pertama dari tujuh orang bersaudara. Ketujuh orang saudaranya adalah Ahmad
Syihabuddin, Tamim, Sa‟id, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah.6

Saat Syekh Nawawi lahir, kesultanan Banten sedang berada di ambang keruntuhan.
Raja yang memerintah saat itu Sultan Rafi‟ al-Din (1813 M), diturunkan secara paksa oleh
Gubernur Rafles untuk diserahkan kepada Sultan Mahmud Syafi‟ al-Din, dengan alasan
tidak dapat mengamankan negara. Pada tahun peralihan kesultanan tersebut (1816 H) di
Banten sudah terdapat Bupati yang di angkat oleh Pemerintah Belanda. Bupati pertama
bernama Aria Adisenta. Namun, setahun kemudian diadakan pula jabatan Residen yang
dijabat oleh orang belanda sendiri. Akibatnya, pada tahun 1832 M, Istana Banten

4
Hasani Ahmad Said, Jaringan & Pembaharuan...., hlm. 107
5
Ibid
6
Kholilurrohman, Sufisme Dalam Tafsir Nawawi, (diakses via Maktabah Digital https://z-lib.org/),
hlm. 5

2
dipindahkan ke Serang oleh Pemerintah Belanda. Inilah akhir kesultanan Banten yang
didirikan oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M. Kondisi sosial politik semacam inilah
yang melingkupi kehidupan Syekh Nawawi.7

Syekh Nawawi tumbuh dalam lingkungan agamis. Sejak umur 5 tahun,


Ayahnya, seorang tokoh ulama Tanara, yang langsung memberikan pelajaran-pelajaran
agama dasar kepada beliau. Di samping kecerdasan yang dimiliki, Syekh Nawawi sejak
kecil, juga dikenal sebagai sosok yang tekun dan rajin. Beliau juga dikenal sebagai orang
yang tawadhu‟, zuhud, bertaqwa kepada Allah, di samping keberanian dan ketegasannya.8

2. Kehidupan Intelektual Syekh Nawawi al-Bantani

Perjalanan intelektualnya Nawawi kecil memulai belajar langsung dari ayahnya yang
juga menjadi guru pertamanya. Setelah belajar dari ayahnya, Nawawi yang ketika itu baru
berumur 8 tahun memulai pengembaraannya untuk menuntut ilmu ke Jawa Timur. 3 tahun di
Jawa Timur anak pertama dari tujuh bersaudara ini melanjutkan pengembaraannya menuju
Cikampek, Jawa Barat.9

Pada usia 15 tahun menjadi babak baru bagi Nawawi jelajah keilmuannya sudah
cukup jauh yakni ke Makkah. Adapun guru-guru Nawawi di Makkah antara lain adalah
Syekh Khatib Sambas (berasal dari Kalimantan Barat serta Penyatu Thariqat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Bima (berasal dari Bima NTB),
ulama asal Indonesia yang bermukim di sana, Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini
Dahlan (Mufti Madzhab syafi‟i di Makkah) yang keduanya di Makkah. Setelah menimba
ilmu di Makkah, al-Nawawi melanjutkan ke Madinah. Di Madinah ia berguru kepada Syekh
Muhammad Khatib al-Hambali. Kemudian pada tahun 1860 M. Nawawi mulai mengajar di
lingkungan Masjid al-Haram. Dari kepiawaian dalam keilmuan dan keulamaannya itu ia
dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Bantani yang bergelar ulama Hijaz (Master
of the teachers of the Hijaz), al-imam al-muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, a‟yan
Ulama al-Qurn al-Ram Asyar li al-Hijrah, Imam Ulama‟ al-Haramain. Selain itu, ia juga
temasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke-14 H/ 19 M.

7
Ibid, hlm 6
8
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam, Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia, (Jakarta: CV. Utama, 1979),
hlm. 88
9
Hasani Ahmad Said, Jaringan & Pembaharuan...., hlm. 107

3
Kesuksesan seorang guru akan diikuti oleh kesuksesan murid-muridnya.
Kesuksesannya itu ia tularkan ke murid-muridnya yang menjadi ulama kenamaan dan tokoh-
tokoh nasional Islam Indonesia, di antaranya adalah: Syekh Kholil Bangkalan dari Madura,
KH. Hasyim Asy‟ari dari Tebu Ireng Jombang (Pendiri Organisasi NU), KH. Asy‟ari dari
Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan. Pandeglang Banten, KH.
Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta, KH. Abdul Karim dari Banten, dan lain-lain. Syekh
Nawawi menghembuskan nafas terakhir pada usia 84 Tahun. Pada tanggal 25 Syawal 1314
H/ 1897 M. Kemudian ia dimakamkan di Ma‟la, dekat dengan makam siti Khadijah, istri
Nabi Saw.10 Maka tradisi di bulan itu pula, di Tanara, Banten hampir setiap tahunnya
diadakan acara haul yaitu memperingati meninggalnya Syekh Nawawi yang dihadiri oleh
ribuan jamaah, dari masyarakat lapisan bawah sampai pejabat tertinggi.11

3. Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani

Pemikiran adalah suatu proses, cara, dan perbuatan, atau aktifitas berpikir, atau juga
kegiatan memikir. Sebagai suatu perbuatan, berpikir atau memikir pasti itu dilakukan oleh
setiap manusia dalam pelbagai aktifitasnya. Hanya saja setiap pemikiran atau sesuatu yang
dipikirkan, masing-masing orang itu berbeda-beda alias tidak sama, karena apa yang
dipikirkan oleh akalnya berbeda-beda dan demikian penguasaan ilmu pun juga berbeda di
mana mulanya berangkat dari aktifitas tersebut. Dalam konteks ini, ide-ide pemikiran Syekh
Nawawi al-Bantani tertulis dalam karya-karya fikih, tauhid, tasawuf, tafsir, hadis, dan
sejarah. Karena itu, secara tipikal dan tipologis, Abd. Rahman meringkas pandangan Syekh
Nawawi al-Bantani ada pada empat bidang; tafsir, sufisme, hukum Islam, dan tauhid. Artinya,
menyangkut tasawuf atau sufisme, ia tidak menyuruh dan tidak pula melarang murid-
muridnya untuk memasuki tarekat, ia tampaknya berusaha bersikap netral, sekalipun diketahui
ia merupakan pengikut salah seorang gurunya Syaikh Khathib al-Sambasi, tokoh pendiri
tarekat Naqsyabandiyah wa Qadiriyah di Nusantara ini. Syekh Nawawi al-Bantani sendiri
menulis beberapa karya tentang tasawuf atau sufisme seperti disebutkan dalam karya-karya
ilmiahnya. Tasawuf yang diikutinya adalah tasawuf al Ghazali. Dalam bidang hukum Islam,
tidak heran ternyata kalau Sykeh Nawawi al-Bantani adalah mufassir dan musyarrih
(penafsir dan pengulas/penjelas) sekaligus pembela Madzhab Syafi‟i. Pada konteks ini, ia
juga menafsirkan dan memberikan penjelasan karya-karya Syafi‟iyah, seperti al-Ramli,
Zakaria al-Anshari, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Dalam bidang tauhid, Syekh

10
Chaidar, Sejarah ..., hlm. 51
11
Hasani Ahmad Said, Jaringan & Pembaharuan...., hlm. 108

4
Nawawi al-Bantani adalah tipikal Asy‟ariyah, sekalipun ia tetap menekankan pentingnya
penggunaan akal dalam memahami Tuhan khususnya, di samping wahyu al-Quran itu sendiri.12

Dengan demikian, pemikiran dan sikap Syekh Nawawi al-Bantani dapat dikatakan
sebagai ulama yang memegang prinsip dan keteguhan terhadap kebenaran, terutama sekali
kebenaran keyakinan agamanya. Yang tidak kalah pentingnya dalam hubungan sosi-politiknya
pada saat itu adalah open minded baik terhadap orang yang seakidah maupun mereka yang
tidak seakidah dengannya, mengakui adanya pluralitas manusia di dunia ini, tidak alergi
pada pembaharuan dan dalam menempuhnya orang Islam harus memiliki keahlian dan
keterampilan sehingga bisa sejajar dan sebanding dengan manusia lainnya.13

4. Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani

Karya-karya beliau dapat kita klasifikasi dalam masing- masing disiplin ilmu. Di
antaranya sebagai berikut: dalam bidang tafsir; Marah Labid Tafsir al-Nawawi. Dalam
bidang teologi dan Akhlaq: Kasyifah al-Saja Syarh Safinat al-Naja (1292 H), Bahjat al-
Wasa-il (1292 H), Fath al-Majid Syarh al-Durr al-Farid fi al-Tauhid (1298 H), Tijan al-
Durari (1301 H), Qami‟ al-Thughyan Syarh Manzhumah Syu‟ab al-iman, Nur al-Zhalam
Syarh Manzhumah „Aqidah al-„Awam, Nasha-ih al-„Ibad Syarh al-Munabbihat „Ala al-
Isti‟dad li Yawm al-Ma‟ad, Salalim al-Fudlala‟ Syarh Manzhumah Hidayah al-
Adzkiya‟, dan lain-lain. Dalam bidang Fiqh; Fath al-Mujib (1276 H), Mirqat Shu‟ud al-
Tashdiq Syarh Sullam al-Taufîq, Nihayah al-Zayn/ komentar dari kitab Qurratul a‟in (1297
H), Uqud al-Lujjayn Fi Bayan Huquq al-Zawjayn/ kitab yang berisi tuntunan membangun
rumah tangga (1297 H), dan lain-lain. Dalam bidang Ilmu Bahasa atau kesusastraan; Lubab
al-Bayan, Fath al- Gafir, al-Khatiyyah Syarh al-Kawkab al-Jaliyyah, Al-Fushush al-
Yaqutiyyah Syarh al-Rawdlah al-Bahiyyah fi al-Abwab al-Tashrifiyyah, dan lain-lain. Dalam
bidang Sejarah; Targhib al-Mustaqim (tentang Maulid Nabi), al-Ibriz al-Dani (Sejarah hidup
Rasulullah), Fath al-Shamad (tentang Maulid Nabi), Madarij al-Shu‟ud (komentar dari maulid
barzanji), dan lain-lain.14

12
Ansor Bahary, TAFSIR NUSANTARA: Studi Kritis terhadap Tafsir Marah Labid Nawawi al-
Bantani, Institute Perguruan Tinggi al-Qur‟an (IPTQ), Jurnal Ulul Albab Vol.16, No. 2 tahun 2015, hlm. 184
13
Ibid, hlm. 185
14
Kholilurrohman, Sufisme Dalam Tafsir Nawawi, (diakses via Maktabah Digital https://z-lib.org/),
hlm. 11, Ansor Bahary, TAFSIR NUSANTARA..., hlm. 10

5
Metodologi Tafsir Marah Labid Karya Syekh Nawawi al-Bantani

1. Profil dan Latar Belakang Penulisan Tafsir Marah Labid

Syaikh Nawawi al-Bantani termasuk ulama yang produktif dalam menulis karya
seputar keagamaan di berbagai bidang. Karya Tafsir al Munir li Ma‟alim al Tanzil al
Mufassiru „an Wujuh Mahasin al Ta‟wil yang populer juga dengan sebutan (al-Musamma)
Marah Labid li Kasyfi Ma‟na Qur an al-Majid sebagai salah satu wujudnya di bidang tafsir.
Bahkan boleh jadi karya tersebut merupakan magnum opus-nya di antara karya-karyanya
yang lain. Karenanya, sangat maklum apabila ia menjadi representasi ulama non-Arab yang
menulis karyanya secara baik.

Adapun kata al-Marah dan al-Labid merupakan kata benda, al-Marah berarti tempat
kepergian dan kepulangan suatu kaum, sedangkan al-Labid berarti kelompok makhluk
berakal atau lainnya yang tidak mau meninggalkan asalnya. Dengan demikian ungkapan
Marah Labid dalam judul tafsir ini bila dihubungkan dengan kondisi dunia Islam pada abad
ke-19 maka dapat dipahami bahwa Tafsir Marah Labid mencoba memberikan jalan keluar
bagi masyarakat Islam yang masih kuat mempertahankan Islam tradisional. 15

Steenbrink mengatakan bahwa “Kita tidak mendapatkan kepastian kenapa tafsir ini
memiliki dua nama yakni Marah Labid dan al-Munir. Akan tetapi Syekh Nawawi sendiri
dalam muqaddimahnya menyebut karyanya hanya Marah Labid seperti ungkapannya:

16
‫(ومسيته) مع املوافقة لتارخية مراح لبيد لكشف معىن قران جميد‬
(Dan saya beri nama tafsir ini Marah Labid Li Kashfi Ma‟na Qur‟an Majid sesuai
dengan konteks situasi masanya).
Adapun latar belakang penulisan Tafsir ini ditulis sebagai jawaban terhadap
permintaan beberapa koleganya agar ia menulis sebuah kitab tafsir sewaktu berada di
Makkah. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab dan diselesaikan pada periode terakhir masa
hidupnya tahun (1305 H/ 1884 H) dan pertama kali diterbitkan di Makkah setelah disodorkan
terlebih dahulu kepada ulama-ulama Makkah untuk diteliti pada tahun 1887.17

15
Asnawi Ahmad, Pemahaman Syaikh Nawawi Tentang Qadar dan Jabar pada tafsirnya Marah
Labid (Jakarta: Disertasi, IAIN Jakarta, 1989), hlm. 99
16
Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Lii Kasyfi al-ma‟na al-Qur‟an al-Majiid, (Kairo:
Dar Ihya‟ al-Kutub al-„Ilmiyyah,1417 H), hlm. 2
17
Didin hafiduddin, Tinjauan Atas Tafsir Munir Karya Imam Muhammad Nawawi Tanara” dalam
Warisan Intelektual Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 44

6
Seperti disebutkan sebelumnya, Tafsir Marah Labid ini ditulis menggunakan
berbahasa Arab, bukan bahasa Melayu seperti Tafsir Turjuman al Mustafid karya Abddurrauf
al-Sinkili yang juga ulama Nusantara dan kemunculannya lebih dahulu daripada Tafsir
Marah Labid. Bahkan di antara sekian tafsir karya Nusantara yang ada, boleh jadi hanya
Tafsir Marah Labid yang penulisannya menggunakan berbahasa Arab. Karena mayoritas
tafsir Nusantara yang ditulis dan selama ini ada menggunakan bahasa Nusantara, seperti
Melayu, Jawa, dan bahasa Nusantara itu sendiri (Indonesia). Terlepas dari sebagian
pandangan yang menganggap tafsir hanyalah untuk karya yang ditulis menggunakan
berbahasa Arab, dan di luar itu kurang dianggap sebagai tafsir atau bahkan sama sekali tidak
dianggap karya tafsir. Apalagi, mungkin hanya sekedar terjemahan dari tafsir-tafsir
sebelumnya tanpa berbuat lebih banyak dari terjemahan yang dilakukannya.18

Tafsir Marah Labid ditulis seperti al-Quran, berurutan, sistematis, dimulai dari surah
al-Fatihah hingga surah an-Nass. Sebelum dijelaskan panjang lebar, Syekh Nawawi al-
Bantani memberikan Muqaddimah yang kemudian dilanjutkan oleh pembahasan-pembahasan
lain. Di Muqaddimah, ia juga mengawalinya dengan basmalah, hamdalah, dan shalawat
layaknya seperti kitab-kitab tafsir lainnya. Dalam Muqaddimah, ia juga menyebutkan latar
belakang atau dasar penulisan tafsirnya seperti yang dijelaskan oleh penulis sebelumnya,
bahkan dengan kerendahan hatinya ia menyebutkan berbagai sumber atau referensi kitab-
kitab tafsir yang digunakan sebagai rujukannnya.19

Semuanya dikemas dalam penulisan naskah tafsir ditulis dalam dua jilid besar.
Kemasan formulasi kitab tafsir tersebut diselesaikan pada 5 Rabiul Akhir 1305 H, seperti
disebutkan oleh penulisnya sendiri dalam Muqaddimah. Sebagai karya tafsir yang berkualitas
yang dihasilkan oleh ulama non Timur Tengah dan tidak berkebangsaan sana, Tafsir Marah
Labid telah lulus uji kelayakan dan sebagai wujudnya ia telah mendapat persetujuan dari para
ulama yang berada di Makkah dan Kairo (Mesir) agar dicetak atau diterbitkan, kemudian
pada 1887 M baru untuk pertama kalinya dicetak atau diterbitkan dengan menyertakan di
bawah/di sampingnya (wa biha Masysyah), Kitab al Wajiz fi Tafsir al Quran al Aziz karya
Abu Hasan „Ali ibnu Ahmad al Wahidi (w. 468 H).

18
Ansor Bahary, TAFSIR NUSANTARA: Studi Kritis terhadap Tafsir Marah Labid Nawawi al-
Bantani, Institute Perguruan Tinggi al-Qur‟an (IPTQ), Jurnal Ulul Albab Vol.16, No. 2 tahun 2015, hlm. 183
19
Ibid, hlm. 184

7
2. Metodologi Tafsir Marah Labid Perspektif Islah Gusmian

Dalam bagian metodologi ini, penulis mencoba menjelaskan metodologi Tafsir Marah
Labid dengan perspektif Islah Gusmian20. Dalam pemetaan dan kerangkanya, beliau
membagi atas dua variabel; Pertama, variabel teknis penulisan tafsir yang meliputi;
sistematika penyajian tafsir, dalam bagian ini setidaknya ada dua bentuk dasar yang bisa
diurai, yaitu; sistem penyajian runtut sesuai mushhafi dan sistem penyajian tematik
berdasarkan tema tertentu. Bentuk penyajian tafsir, ada dua bagian penting yaitu bentuk
penyajian global dan rinci. Gaya bahasa penulisan tafsir, ada beberapa yaitu: gaya bahasa
ilmiah, gaya bahasa populer, gaya bahasa kolom, dan gaya bahasa reportase. Bentuk peulisan
tafsir, ada dua bentuk yaitu: Ilmiah dan Non Ilmiah. Sifat mufasir, yaitu: Individual dan
Kolektif/ Tim. Keilmuan mufasir meliputi disiplin ilmu tafsir, dan non tafsir. Asal usul
literatur tafsir, yaitu Akademi dan non akademik, dan sumber-sumber rujukan baik itu tasfir
klasik dan tafsir modern maupun buku non tafsir. Kedua, aspek “dalam” atau aspek
hermeneutik tafsir al-Qur‟an, setidaknya meliputi; Metode tafsir terdiri dari metode riwayat,
metode pemikiran, dan metode interteks. Nuansa penafsiran, misalnya nuansa fiqih, sufi,
bahasa, dan seterusnya. Pendekatan tafsir yang meliputi pendekatan tekstual, dan pendekatan
kontekstual.21

1. Aspek Teknis Penulisan Tafsir Marah Labid


a. Sistematika Penyajian Tafsir
Sistematika penyajian tafsir adalah rangkaian yang dipakai dalam penyajian tafsir.
Penyajian ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: Pertama, sistem penyajian runtut,
yaitu model sistematika penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu
pada urutan surat yang ada dalam model mushaf standar. Kedua, sistematika penyajian
tematik, yaitu model sistematika penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya
mengacu pada tema, ayat, surat, atau juz tertentu sesuai yang ditentukan penulis tafsir.22

Berdasarkan keterangan tersebut, Tafsir Marah Labid menggunakan sistem penyajian


runtut. Ini dibuktikan karena Tafsir Marah Labid menafsirkan runtut sesuai urutan mushaf
dari surat al-Fatiḥah hingga surat al-Naas. Dimulai dari halaman 2 sampai halaman 474.

20
Islah Gusmian, Khazanah...., hlm. 119
21
Ibid, hlm. 120-121
22
Islah Gusmian, Khazanah..., hlm. 123

8
b. Bentuk Penyajian Tafsir

Bentuk penyajian tafsir adalah bentuk uraian dalam penyajian tafsir yang ditempuh
mufasir dalam menafsirkan al-Quran. Bentuk penyajian tafsir ini dibagi atas dua bagian yaitu
bentuk penyajian global dan bentuk penyajian rinci. Bentuk penyajian global adalah suatu
bentuk uraian dalam penyajian tafsir menggunakan penjelasan yang singkat dan global.
Sedangkan bentuk penyajian rinci adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian tafsir
menggunakan penjelasan yang detail, mendalam, dan komprehensif.23

Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut, Tafsir Marah Labid menggunakan


bentuk penyajian global. Tafsir Marah Labid hanya memberikan penjelasan singkat dari
ayat yang ditafsirkan. Misalnya ketika menafsirkan QS. Al-Faatihah ayat 1 dalam

menjelaskan tafsir (‫العاملني‬ ‫)رب‬, yakni Yang menciptakan makhluk, Yang memberi mereka
rezki, dan Yang mengalihkan mereka dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain.24

Ini merupakan penafsiran yang sangat global sekali, beliau hanya sekedar
menjelaskan maksud secara umum saja, tidak sampai menjelaskan secara rinci, mendalam,
dan komprehensif, meskipun tidak mengecualikan beliau juga menggunakan metode tahlili.

c. Gaya Bahasa Penulisan Tafsir

Gaya bahasa penulisan tafsir ini dikategorikan menjadi beberapa gaya bahasa yaitu:
gaya bahasa penulisan kolom; gaya bahasa penulisan reportase; gaya bahasa penulisan
ilmiah; dan gaya bahasa penulisan populer. Gaya bahasa penulisan kolom adalah gaya bahasa
penulisan tafsir memakai kalimat pendek, lugas, dan tegas. Diksi-diksi yang dipakai dalam
bentuk ini dipilih secara serius dan akurat. Gaya bahasa penulisan reportase adalah gaya
penulisan tafsir memakai kalimat sederhana, elegan, komunikatif, dan lebih menekankan
pada hal yang bersifat pelaporan dan bersifat human interest. Bertujuan untuk memikat
emosi pembaca dan sekaligus mengajaknya masuk ke dalam tema yang dibahas. Gaya
bahasa penulisan ilmiah adalah gaya penulisan tafsir memakai kalimat yang formal dan
kering. Gaya bahasa populer adalah gaya penulisan tafsir memakai kalimat yang sederhana
dan mudah. Gaya bahasa ini menempatkan bahasa sebagai medium komunikasi dengan
karakter kebersahajaan.25

23
Islah Gusmian, Khazanah..., hlm. 153
24
Syekh Nawawi al-Jawi, Tafsir Marah Labid Juz I..., hlm 3
25
Islah Gusmian, Khazanah..., hlm. 174

9
Berdasarkan penjelasan tersebut, Tafsir Marah Labid menggunakan gaya bahasa
populer karena bahasanya yang sederhana dan mudah dipahami. Meski tafsir ini ditulis
dalam bahasa Arab akan tetapi beliau menggunakan kosa kata yang maknanya tidak jauh
dari makna kalimat yang ditafsirkan.

d. Bentuk Penulisan Tafsir

Bentuk penulisan tafsri dibagi atas dua kategori yaitu bentuk penulisan ilmiah dan
bentuk penulisan non ilmiah. Bentuk penulisan ilmiah adalah bentuk penulisan dengan
aturan yang ketat terkait darimana sumber literatur yang dirujuk. Bentuk penulisan ilmiah ini
harus menyertakan adanya catatan kaki atau catatan perut untuk menunjukkan darimana
sumber yang dirujuk. Sedangkan bentuk penulisan non ilmiah adalah bentuk penulisan yang
tidak menggunakan kaidah penulisan ilmiah.26

Berdasarkan penjelasan tersebut, Tafsir Marah Labid menggunakan bentuk penulisan


non ilmiah. Hal ini karena di dalam Tafsir Marah Labid meskipun mengutip hadits-hadits
atau suatu pengertian tertentu, tidak dicantumkan sumber rujukan. Hanya saja, hadits
terkadang dicantumkan mengenai kepada siapa riwayat tersebut disandarkan. Selain itu, juga
terkadang mengutip pendapat ulama dengan menyebutkan nama ulama tersebut, atau
menyebutkan suatu kitab tertentu tetapi tidak memberikan catatan kaki maupun catatan
perut.

Salah satu contoh ketika Syekh Nawawi dalam menafsirkan QS.Al-Baqarah ayat

276: (‫الصدقات‬ ‫)ويريب‬ yakni memberkati harta yang dikeluarkan sedekahnya, baik di dunia

maupun di akhirat.27 Di dalam sebuah hadits disebutkan:

ً‫أللهم يَّ ِّس ْر لِ ُك ِّل ُمْن ِفق َخلَفاً َولِ ُم ْم ِسك تَلَفا‬
َّ :‫ى ُك َّل يّ ْوم‬ ِ
ّ ‫ك يُناَد‬ َّ ‫أ‬
َ َ‫َن الْ َمل‬
Bahwa ada malaikat yang berseru setiap harinya, „Ya Allah, mudahkanlah bagi
setiap orang yang berinfak untuk mendapatkan gantinya dan bagi orang yang
menahan mendapatkan kerusakannya”
e. Sifat Mufasir

Sifat mufasir adalah informasi mengenai jumlah penusun suatu tafsir. Sifat mufasir
dibagi atas dua kategori yaitu mufasir individu dan mufasir kolektif. Mufasir individual

26
Islah Gusmian, Khazanah..., hlm. 182
27
Syekh Nawawi al-Jawi, Tafsir Marah Labid Juz I...., hlm 84

10
artinya kitab tafsir disusun oleh satu orang. Sedangkan mufsir kolektif artinya tafsir disusun
lebib dari satu orang. Sifat kolektif ini selanjutnya dibagi lagi menjadi dua kateogori yaitu
kolektif resmi dan kolektif tidak resmi. Kolektif resmi yaitu kitab tafsir disusun oleh
sekumpulan orang dalam bentuk tim atau panitia khusus pada sebuah lembaga tertentu.
Sedangkan kolektif tidak resmi yaitu kitab tafsir disusun oleh lebih dari satu orang tanpa
mengatasnamakan lembaga tertentu.28

Berdasarkan keterangan tersebut, Tafsir Marah Labid termasuk mufasir individual


karena hanya ditulis oleh Syekh Nawawi al-Bantani sendiri.

f. Keilmuan Mufasir

Dilihat dari keilmuan mufasir, Syekh Nawawi al-Bantani merupakan seorang ulama
yang dilahirkan dilingkungan yang sangat agamis. Ayahnya merupakan seorang ulama yang
memimpin masjid dan pendidikan Islam di Tanara, Ibunya bernama Zubaidah, berasal dari
garis keturunan Muhammad Singaraja. Syekh Nawawi diajarkan langsung oleh ayahnya dan
menjadi guru pertama baginya. Lalu beliau menuntut ilmu ke Jawa Timur dan mengenyam
selama 3 tahun. Kemudian, ia melanjutkan ke Cikampek, Jawa Barat. Pada usia 15 tahun
menjadi babak baru bagi Nawawi kecil jelajah keilmuannya sudah cukup jauh yakni ke
Makkah.29

g. Asal Usul Literatur Tafsir dan Sumber-sumber Rujukan

Adapun rujukan-rujukan yang digunakan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam


penulisan tafsirnya adalah al-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi, sebagaimana
diungkapkan oleh Syekh Nawawi sendiri dalam muqaddimah tafsirnya tersebut30. Beliau
berkata:

31
‫وأخذتو من املفتوحات االهلية ومن مفاتح الغيب ومن السراج املنري ومن تنوير املقباس ومن تفسري أيب السعود‬
“Dan aku telah mengambil sebagai rujukan tafsir ini dari al-Futûhât al- Ilâhiyyah,
Mafâtih al-Ghayb, al-Sirâj al-Munîr, Tanwîr al-Miqbâs, dan dari tafsir Abî al-Su‟ûd”
Kitab-kitab rujukan Syekh Nawawi ini adalah rujukan standar kitab-kitab tafsir
yang digunakan dan dijadikan kurikulum di al-Azhar Kairo Mesir. Nampaknya bukan
ketidaksengajaan Syekh Nawawi memilih referensi kitab-kitab tersebut untuk beliau

28
Islah Gusmian, Khazanah..., hlm. 187
29
Hasani Ahmad Said, ..., hlm. 107
30
Kholilurrohman, Sufisme ..., hlm. 92
31
Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid..., hlm. 3

11
rangkumkan dalam kitab Tafsir Marah Labid. Dan ternyata benar, di kemudian hari kitab
Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi ini menjadi salah satu rujukan bahkan kurikulum
di al-Azhar sendiri. Berikut pengenalan ringkas empat kitab tafsir yang disebut Syekh
Nawawi sebagai rujukan Tafsir Marah Labid: al-Futuhat al-Ilahiyyah. Kitab tafsir ini dikenal
juga dengan Tafsir al-Jamal. Tafsir ini merupakan hâsyiyah Tafsir al-Jalalayn yang
menggabungkan metode manqul dan ma‟qul. Mafatih Al-Ghaib. Tafsir Abi al-Su‟ud. Judul
asli kitab ini adalah Irsyâd al-Aql al- Salîm Ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, lebih dikenal
dengan Tafsir Abi al-Su‟ud. Tafsîr al-Sirâj al-Munîr. Tafsir ini ditulis oleh Syams al-Din ibn
Muhammad ibn Muhammad al-Syarbini. Salah seorang tokoh Mesir bermazhab Syafi‟i,
wafat tahun 977 H-1569 M.

Dalam merujuk kepada kitab tafsir-tafsir tersebut Syekh Nawawi al-Bantani


seringkali mengutip secara langsung dengan ungkapan “Qâla al-Râzi, Qâla Abû al-Su‟ûd…”
untuk kemudian dikutip dalam Tafsir Marah Labid. Dengan demikian sumber-sumber
referensi kutipan dalam kitab Tafsir Marah Labid dapat dilihat dengan jelas.

2. Aspek Hermeneutik Karya Tafsir Marah Labid


a. Metode Tafsir

Aspek hermeneutik yang pertama dalam pandangan Islah Gusmian adalah dengan
melihat bagaimana metode tafsir yang digunakan dalam kitab tafsir. Ada dua arah penting,
secara metodologi yang dipakai, yaitu tafsir riwayat (bil ma‟tsur), dan tafsir pemikiran (bil
ra‟yi).32
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, Syekh Nawawi mengatakan bahwa sebagian
ulama yang dihormati telah menganjurkan kepadaku agar aku menulis sebuah tafsir yang
menerangkan makna-makna al-Qur‟anul Majid. Pada mulanya beliau ragu untuk
melakukannya. Hal ini berlangsung cukup lama karena kekhawatiranku akan ancaman yang
terkandung di dalam sabda Nabi Saw yang mengatakan33:

ِِ ِ ِ
َ‫َخطَأ‬
ْ ‫اب فَ َق ْد أ‬ َ ‫ال ِ ِْف ال ُق ْرآن بَرأْيو فَأ‬
َ ‫َص‬ َ َ‫َم ْن ق‬
Barang siapa yang membicarakan al-Qur‟an dengan pendapatnya sendiri, kendati ia
benar, namun sesungguhnya dia keliru.

‫آن بَِرأْيِِو فَ ْليَتَبَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر‬


ِ ‫ال ِِف ال ُقر‬
ْ ْ َ َ‫َم ْن ق‬
32
Islah Gusmian, Khazanah...., hlm. 211
33
Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi, Tafsir Marah Labid...., hlm 2

12
Barang siapa yang membicarakan al-Qur‟an dengan pendapatnya sendiri,
hendaklah ia bersiap-siap untuk menempati kedudukannya di dalam neraka.
Namun dari beberapa literatur menyebutkan bahwa Tafsir Marah Labid ini
menggunakan pendekatan bil ma‟tsur.34 Mari kita cermati salah satu contoh Syekh Nawawi
sebagai berikut:

Dari penafsiran Syekh Nawawi di atas, gaya yang dilakukannya hampir sama dengan
Tafsir Jalalain, yaitu dengan menggunakan penafsiran yang singkat dan padat. Sebelum
masuk ke penafsiran, Syekh Nawawi mula-mula menjelaskan atau tepatnya menyebutkan
nama surat, kategori surat makkiyah dan madaniyyah, jumlah ayat, kalimat, serta huruf. Pada
surat di atas, Beliau menyebutkan “Surat Yusuf, Makkiyah, 113 ayat, 1976 kalimat, dan 7176
huruf”. Baru kemudian mengutip hadis yang melengkapi penafsirannya dengan menggunakan
asbabun nuzul.35

Namun, dari referensi yang digunakan tampak Tafsir Marah Labid sangat
beragam baik dari metode maupun coraknya dan demikian ini menjadi penanda penting bagi
sebuah karya tafsir. Seperti disebutkan di Muqaddimah, menyebutkan rujukan Tafsir Mafatih
al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi bisa dipastikan menggunakan aliran ra‟yi berarti kaya
berbagai corak di dalamnya yang menandai karakteristiknya, dan referensi-referensi lain yang
digunakan oleh Syekh Nawawi al-Bantani.36

b. Nuansa Tafsir

Aspek hermeneutik berikutnya dalam pandangan Islah Gusmian adalah dengan


melihat nuansa penafsiran dalam produk tafsir. Nuansa tafsir ini dapat dilihat dari sudut
pandang mana yang lebih dominan dalam tafsir. Dalam hal ini Islah membaginya ke dalam

34
Hasani Ahmad Said, ..., hlm. 112-113
35
Syekh Nawawi Al-Jawi, Tafsir Marah Labid...., hlm. 399
36
Ansor Bahary, TAFSIR NUSANTARA:...., hlm. 183

13
beberapa kategori nuansa tafsir di antaranya: Nuansa kebahasaan, nuansa sosial-
kemasyarakatan, nuansa teologis, nuansa sufistik, dan nuansa psikologis.37

Berdasarkan kelima kategori nuansa tafsir yang sebutkan oleh Islah Gusmian, bahwa
nuansa sufistik juga mendominasi dalam tafsirnya, selain ada juga yang menyebut bahwa
Syekh Nawawi termasuk penganut Ahl Sunnah wa al-Jama‟ah dalam bidang teologi, dan
Syafi‟iyyah dalam bidang fikih.38

c. Pendekatan Tafsir

Pendekatan tafsir di sini dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan dari proses tafsir.
Ada dua pendekatan: Pertama, berorientasi pada teks dalam dirinya yang kemudian disebut
pendekatan tekstual, dan kedua berorientasi pada konteks penafsir, yang kemudian disebut
pendekatan konstektual.39

Dari penjelasan ini, peneliti mengambil kesimpulan bahwa tafsir Marah Labid ini
menggunakan pendekatan yang tekstual. Hal ini dibuktikan dari penjelasan Syekh Nawawi
sendiri dalam muqaddimahnya yang mengatakan bahwa mengikuti para kaum salaf dan tidak
menambahkan sesuatu apapun (di karyanya) agar ilmu tetap berkesinambungan. Lalu
kemudian beliau menggarisbawahi bahwa setiap zaman menuntut adanya pembaharuan.

Nuansa Sufisme Dalam Tafsir Marah Labid

Selain seorang mufasir, Syekh Nawawi adalah seorang ahli sufi yang sangat terkenal.
Beliau menulis kitab Salalim Fudhala‟ yang merupakan kitab syarahan dari Manzhumah
Hidayat al-Adzkiya‟ ila Thariq al-Auliya‟. Dalam kalangan ahli sufi sangat terkenal adalah
maqamaat. Berikut ini, walau dengan pembahasan ringkas beberapa maqam dan pandangan
Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid, antara lain40:

1. Tauhid. Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskannya dalam QS. Al-Baqarah ayat 164
menuliskan tanda bukti keesaan Allah Swt bahwa Dia tidak ada keserupaan bagi-Nya,
terdapat delapan bukti. Yaitu: pertama; langit dan bumi dengan segala isinya, ke dua;
siang dan malam, ke tiga; perahu-perahu yang dapat berjalan di atas air, ke empat:
perahu-perahu tersebut yang dapat dijadikan alat-alat transportasi, ke lima; turun

37
Islah Gusmian, Khazanah...., hlm. 253
38
Asnawi Ahmad, Pemahaman..., hlm. 99
39
Islah Gusmian, Khazanah...., hlm.274
40
Kholilurrohman, Sufisme ..., hlm. 54

14
hujan dari langit, ke enam; berbagai macam binatang yang ada di bumi, ke tujuh;
angin, dan ke delapan; awan.
2. Al-Ma‟rifah Billah, yaitu mengetahui Allah dengan segala sifat-sifat yang wajib bagi-
Nya dan sifat-sifat yang mustahil atas-Nya. Penjelasan ini beliau jelaskan dalam
tasirnya pada beberapa tempat di antaranya, dalam QS. Al-Hasyr ayat 21-24
3. Al-Qana‟ah, yaitu sikap dalam keadaan yang tenang, ikhlas, dan ridha ketika
ketiadaaan atau kehilangan hal-hal yang menyenangkan (al-ma‟lufat). Gambaran
tentang Qana‟ah dituangkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsir QS. An-
Nahl ayat 112.
4. Al-Tawakkal, yaitu melepaskan diri dari sikap bahwa diri manusia ini memiliki daya
dan upaya. Penjelasan tentang tawakkal dituliskan oleh Syekh Nawawi dalam
beberapa tempat dalam kitab Tafsir Marah Labid, di antaranya dalam QS. Ali-Imran
ayat 162, QS. At-Taubah ayat 51, dan lain-lain.
5. Al-Syukur. Yaitu mempergunakan segala kenikmatan yang dikaruniakan dalam jalan
syari‟at dan menjaga kenikmatan-kenikmatan tersebut dari sesuatu yang diharamkan.
Penjelasan tentang syukur dituliskan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam beberapa
tempat dalam tafsirnya, di antaranya dalam QS. Ibrahim ayat 7.
6. Al-Yaqin, yaitu keadaan di mana seseorang merasakan hilangnya perkara-perkara
yang merintangi. Beliau menjelaskan ini dalam tafsirnya pada beberapa tempat, di
antaranya: QS. At-Takatsur ayat 1-8, QS. Al-Waqi‟ah ayat 95, dan QS. Al-Mudatsir
ayat 47
7. Al-Shabr, yaitu menjaga nafsu dan mengekangnya terhadap sesuatu yang dibenci
(yaitu musibah) yang menimpanya atau atas sesuatu yang disenangi (yaitu nikmat)
yang terpisah darinya. Beliau menjelaskan dalam QS. Ali-Imran ayat 200, dan QS.
Maryam ayat 65.
8. al-„Ubudiyyah. Yaitu melaksanakan segala ketaatan kepada Allah dengan
segala ketundukan kepada-Nya. Pengertian ketaatan kepada Allah ialah
melaksanakan segala perkara yang Dia perintahkan dan menjauhi segala
perkara yang Dia larangnya. Penjelasan tentang al-„Ubudiyyah dituliskan oleh
Syekh Nawawi dalam beberapa tempat dalam kitab tafsirnya di antaranya
dalam QS. Al-Baqarah ayat 21.
9. al-Iradah. Yaitu meninggalkan segala kebiasaan yang umumnya
dilakukan oleh manusia. Penjelasan tentang al-Iradah, yaitu dalam bahasan

15
tunduk kepada ajakan-ajakan syahwat dituliskan oleh Syekh Nawawi dalam
beberapa tempat dalam kitab tafsirnya, di antaranya dalam QS. Maryam ayat
59.
10. al-Istiqamah. Yaitu sikap konsisten dalam melaksanakan ketaatan kepada
Allah dan menghidari ajakan-ajakan hawa nafsu. Penjelasan tentang
istiqamah dituliskan oleh Syekh Nawawi dalam beberapa tempat dalam kitab
tafsirnya , di antaranya dalam QS. Fushilat ayat 30.41
11. al-Ikhlash. Yaitu mengkhususkan tujuan hanya karena Allah saja dalam
melaksanakan segala ketaatan. Artinya seseorang dalam melaksanakan
berbagai bentuk ketaatan atau kebaikan hanya bertujua taqarrub kepada
Allah, tanpa mencampurkan niat tersebut dengan nial-niat yang lain.
Penjelasan tentang ikhlas telah dituliskan oleh Syekh Nawawi dalam kitab
tafsirnya dalam penjelasan QS. al-Kahfi ayat 110.
12. al-Shidq. Yaitu mengucapkan kebenaran walau dalam keadaan sangat
pahit sekalipun. Sebagian ulama menyatakan bahwa al-Shidq adalah
keselarasan antara apa yang terlintas di dalam batin dengan apa yang
dikerjakan secara zahir. Penjelasan tentang sifat al-shidq dituliskan oleh
Syekh Nawawi dalam dalam tafsir QS. al-Taubah ayat 119.
13. al-Haya‟. Yaitu “menciutnya” hati yang karena merasakan keagungan
Allah. Penjelasan tentang al-Haya‟ telah dituliskan oleh Syekh Nawawi
dalam kitab tafsirnya dalam penjelasan QS. al-Ahzab ayat 53.
14. al-Dzikr. Yaitu selalu mengingat Allah dalam setiap situasi dan kondisi.
Penjelasan tentang dzikir dituliskan oleh Syekh Nawawi dalam beberapa
tempat dalam kitab Marâh Labîd, di antaranya dalam QS. al-Ahzab ayat 41.
15. al-Faqr. Artinya kefakiran. Kefakiran tidak mutlak sesuatu yang tercela,
bahkan dalam kondisi tertentu merupakan sesuatu yang terpuji dalam ajaran
Islam. Seorang yang fakir yang dapat mempertahankan agamanya jauh lebih
baik dari seorang yang kaya yang disibukkan oleh kekayaannya. Pernyataan
sebagian orang bahwa “kefakiran sangat dekat dengan kekufuran” adalah
pernyataan yang tidak berdasar sama sekali dan bukan hadits. Justru

41
Ibid, hlm. 56-63

16
sebaliknya, kefakiran dapat membantu seseorang dalam meningkatkan
nilai takwanya. Karena itu mayoritas penduduk surga adalah orang-orang fakir.
Penjelasan tentang kefakiran dituliskan oleh Syekh Nawawi dalam beberapa
tempat dalam kitab tafsirnya, di antaranya dalam QS. Fathir ayat 15.
16. al-Syawq. Yaitu perasaan rindu. Al-Qusyairi menyebutkan yang dimaksud
dengan al-Syawq adalah getaran hati karena rasa rindu terhadap yang dicintai.
Besarnya kadar al-Syawq tergantung kepada seberapa besar rasa cinta (al-
mahabbah), karena al-Syawq adalah buah dari al-mahabbah. Penjelasan
tentang al- Syawq, yaitu dalam bahasan rasa takut kepada Allah, dituliskan
oleh Syekh Nawawi dalam beberapa tempat dalam kitab tafsirnya, di antaranya
dalam QS. al-Anfal ayat 2.42
17. al-Mujâhadah. Adalah melawan hawa nafsu agar istiqamah dalam
melaksanakan ketaatan kepada Allah. Penjelasan tentang al-Mujâhadah,
yaitu dalam bahasan tunduk kepada ajakan-ajakan syahwat, dituliskan oleh
Syekh Nawawi dalam beberapa tempat dalam kitab Marah Labidnya, di
antaranya dalam QS. Maryam ayat 59.
18. al-Khalwah dan al-„Uzlah. Yaitu memutuskan diri dari makhluk dan
mengasingkan diri dari mereka. Di antara ketentuan sebelum masuk al-
khalwah dan al-„uzlah ini seseorang hendaklah terlebih dahulu telah
menghasilkan ilmu pokok-pokok agama yang dapat meluruskan tauhidnya dan
membenarkan keyakinannya, hingga ia tidak ditipu oleh setan. Juga agar ia
dapat melaksanakan kewajiban- kewajibannya di atas tuntunan syari‟at.
Penjelasan tentang al-Khalwah dan al-„Uzlah, yaitu dalam bahasan tunduk
kepada ajakan-ajakan syahwat dan kesenangan-kesenangan duniawi,
dituliskan oleh Syekh Nawawi dalam beberapa tempat dalam kitab Marah
Labid, di antaranya dalam QS. Maryam: 59 dan QS. al-Hadid: 27 dalam
pembahasan makna rahbâniyyah.
19. al-Wara‟. Yaitu meninggalkan segala hal yang syubhat. Sikap wara‟ ini dapat
tercermin dalam berbagai keadaan; dalam perbuatan, dalam perkataan, dalam
niat di hati, hingga dalam masalah makanan, cara berpakaian, dan lainnya.

42
Kholilurrohman, Sufisme ..., hlm. 63-70

17
Penjelasan tentang sifat al-wara‟ dituliskan oleh Syekh Nawawi dalam
beberapa tempat dalam kitab Marah Labid, di antaranya dalam QS. al-
Baqarah: 172
20. al-Shamt. Yaitu memperbanyak diam dari bicara. Menahan lidah dari kata-
kata yang tidak berguna sangat membantu dalam menuai keselamatan, baik
keselamatan di dunia maupun akhirat. Penjelasan tentang sifat al-wara‟
dituliskan oleh Syekh Nawawi dalam beberapa tempat dalam kitab Marâh
Labîd, di antaranya dalam QS. al-Ma‟idah: 101
21. al-Khauf. Yaitu merasa takut dari ancaman Allah dan siksa- Nya, baik siksa
di dunia maupun siksa di akhirat. Sebagian kaum sufi berkata bahwa rasa takut
adalah lentera bagi hati, karena dengannya seseorang dapat melihat dan
mempertimbangkan antara perkara yang baik dan yang buruk.
22. al-Ju‟ Wa Tark al-Syahwah. Artinya lapar dan meninggalkan syahwat. Di
antara sifal-sifat kaum sufi adalah membiasakan diri untuk lapar. Bahkan hal
ini termasuk rukun di antara rukun-rukun mujahadah. Banyak sumber-
sumber hikmah yang tidak dapat diraih kecuali dengan jalan mengosongkan
perut. Di antara faedah besar al-Ju‟ Wa Tark al-Syahwah adalah dapat
menggerakkan seseorang untuk selalu tafakur dan giat untuk melakukan
ketaatan.43

Contoh Penafsiran Syekh Nawawi

Adapun contoh penafsiran unsur tasawuf dalam Marah Labid kemungkinan


lebih terasa dalam pembahasan al-Faqr. Walaupun penafsiran ini juga tidak lebih
hanya sekedar untuk memahamkan makna ayat. Yaitu pada QS. al-Baqarah ayat
273, yakni:

43
Kholilurrohman, Sufisme ..., hlm. 76

18
          

           

        

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah;
mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka
orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan
melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa
saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Mengatahui.
Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan yakni nafkah yang dianjurkan ini ditujukan
kepada orang-orang kafir yang mengikat dirinya dalam jihad membela agama Allah Swt.
Hal itu disebabkan pada saat itu jihad merupakan hal yang diwajibkan. Beliau menceritakan
orang-orang fakir dari kaum Muhajirin. Di saat itu kewajiban jihad berlaku atas
siapapun, baik orang kaya maupun miskin. Orang-orang faqir dari kaum Quraisy
yang berjumlah sekitar empat ratus orang tersebut, mewaqafkan jiwa-jiwa mereka
untuk berperang di jalan Allah. Mereka dikenal dengan Ashab al-Shuffah, kaum
yang tidak memiliki tempat tinggal dan sanak famili. Hidup mereka tidak jauh
dari masjid Nabawi, selalu membaca al-Qur‟an, berpuasa, dan tentunya berperang
di jalan Allah. Mereka tidak dapat berusaha untuk mencari penghidupan atau materi,
karena keterikatan jiwa-jiwa mereka. Namun demikian mereka adalah orang-orang
yang pantang meminta-minta, hingga seorang yang tidak mengetahui hakekat mereka
akan menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya. Mereka memiliki
keistimewaan, jiwa mereka penuh dengan akhlak mulia pengaruh dari shalat mereka
yang khusyu‟. Siapa yang melihat akan tunduk karena wibawa (haybah) yang mereka
miliki. Diriwayatkan, bahwa bila malam tiba mereka hidupkan dengan shalat
yang banyak, sementara di siang hari mereka mencari kayu bakar untuk menghindari
sikap minta-minta. Ayat di atas adalah gambaran orang-orang fakir Quraisy dari
kaum Muhajirin, memberitahukan bahwa orang-orang semacam merekalah yang
berhak untuk mendapatkan infaq dan sedekah. Walau sebenarnya infaq dan sedekah

19
bukan harapan mereka, karena kekuatan tawakkal mereka yang hanya kepada
Allah.44

Simpulan

Berdasarkan beberapa pemaparan di atas bahwa Studi Kajian Kitab Tafsir Marah
Labid Karya Syekh Nawawi al-Bantani, dapat disimpulkan bahwa dilihat dari aspek teknis
penulisan tafsir Marah Labid menggunakan sistem penyajian runtut. Hal ini karena tafsir
Marah Labid menafsirkan runtut sesuai urutan mushaf dari surat al-Fatiḥah hingga surat al-
Naas. Dimulai dari halaman 2 sampai halaman 474. Tafsir Marah Labid juga menggunakan
bentuk penyajian global/ umum, meskipun tidak mengecualikan metode tahlili, dari segi
bahasa beliau menggunakan bahasa Arab dengan gaya bahasa populer karena hanya sekedar
memberikan penjelasan kata tersebut. Tafsir Marah Labid menggunakan bentuk penulisan
non ilmiah. Hal ini karena di dalam tafsir Marah Labid meskipun mengutip hadis atau suatu
pengertian tertentu, tidak dicantumkan sumber rujukannya tetapi hanya menjelaskan sanad
saja. Tafsir Marah Labid termasuk mufasir individu karena ditulis oleh Syekh Nawawi al-
Bantani sendiri.

Dilihat dari aspek hermenutik, dari segi metode tafsir lebih dominan menggunakan
riwayah, sedangkan dari nuansa tafsirny yaitu nuansa sufistik, teologis, dan fikihnya, dan
dilihat dari pendekatanya tafsir Marah Labid lebih banyak menggunakan pendekatan
tekstualis.

Tafsir Marah Labid ini merupakan karya Syekh Nawawi al-Bantani yang sangat
dikenal oleh seluruh masyarakat bukan hanya di Indonesia saja, bahkan di luar Indonesia bisa
mengetahui karya tersebut karena ditulis dengan bahasa Arab sehingga bisa diakses oleh
banyak kalangan. Ini merupakan keistimewaan dari Tafsir Marah Labid.

Tafsir ini bukanlah sepenuhnya murni tafsir tasawuf, tetapi beliau hanya menafsirkan
sedikit banyaknya dengan pandangan tersebut. Salah satu karya Syekh Nawawi al-Bantani
dalam bidang sufistik adalah kitab Salalim Fudhala Syarah Manzhumah Hidayat al-Adzkiya‟
ila Thariq al-Auliya‟. Di sana beliau menjelaskan tentang tasawuf/ sufi secara detail.

44
Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Juz I..., hlm. 80

20
Daftar Kepustakaan

Ahmad, Asnawi, Pemahaman Syaikh Nawawi Tentang Qadar dan Jabar pada tafsirnya
Marah Labid, Jakarta: Disertasi, IAIN Jakarta, 1989
Bahary, Ansor, TAFSIR NUSANTARA: Studi Kritis terhadap Tafsir Marah Labid Nawawi al-
Bantani, Institute Perguruan Tinggi al-Qur‟an (IPTQ), Jurnal Ulul Albab Vol.16, No. 2
tahun 2015
Baidan Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016
________________, Erawati Aziz, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an di Asia Tenggara,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam, Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia, Jakarta: CV.
Utama, 1979
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi,
Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2013
Hafiduddin, Didin, Tinjauan Atas Tafsir Munir Karya Imam Muhammad Nawawi Tanara”
dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1987
Kholilurrohman, Sufisme Dalam Tafsir Nawawi, (diakses via Maktabah Digital https://z-
lib.org/)
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2010
Said, Hasani Ahmad, Jaringan & Pembaharuan Ulama Tafsir Nusantara Abad XVI-XXI,
(Bandung: Manggu Makmur Tanjung Lestari, 2020
Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Lii Kasyfi al-ma‟na al-Qur‟an al-Majiid,
Kairo: Dar Ihya‟ al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1417 H

21

Anda mungkin juga menyukai