Anda di halaman 1dari 11

ILMU DAN METODE KRITIK MATAN DALAM HADITS

Oleh : Alvita Niamullah1 dan Safira Malia Hayati2

A. Pendahuluan

Nabi Muhammad merupakan utusan Allah yang terakhir sekaligus penutup


terutusnya para nabi dan rasul sebelumnya. Begitu pun syariat yang dibawa oleh nabi
Muhammad menjadi penyempurna bagi syariat-syariat yang telah ada sebelumnya.
Kepadanya, Allah menurunkan kitabullah Al-Quran melalui perantara malaikat Jibril
sebagai tuntunan kehidupan bagi umat manusia. Dengan adanya tuntunan Al-Quran,
kehidupan manusia akan menjadi lebih terarah dan harmonis.

Sebagai tuntunan, manusia – khususnya umat Islam – haruslah memahami dan


menyelami isi kandungan Al-Quran. Sebagian besar penjelasan ayat Al-Quran
dijelaskan oleh Nabi Muhammad melalui ayat Al-Quran yang lainnya. Namun tak
jarang pula dalam menjelaskan suatu ayat, Nabi Muhammad memberikan pandangan
dan pendapatnya. Oleh karena itulah, hadits Nabi Muhammad menjadi sumber kedua
pokok ajaran dalam Islam karena kedudukannya yang penting dalam menjelaskan isi
kandungan Al-Quran. Al-Quran dan hadits bersifat saling melengkapi satu sama lain,
baik hadits menjadi penjelas bagi Al-Quran maupun Al-Quran menjadi penguat bagi
hadits. Walaupun demikian, keduanya memiliki perbedaan yang mencolok, di mana
Al-Quran bersifat universal sedangkan hadits bersifat rinci, sehingga jumlah hadits
lebih banyak daripada ayat Al-Quran.

Semasa Nabi Muhammad hidup, penulisan hanya terjadi pada Al-Quran karena
Nabi melarang para sahabat untuk menulis perkataannya disebabkan khawatir
tercampur dengan bunyi ayat Al-Quran. Seiring berjalannya waktu setelah Nabi
wafat, terjadi konflik dalam tubuh umat Islam sehingga memicu perkataan-perkataan
yang mulai disandarkan kepada Nabi Muhammad yang ternyata perkataan tersebut
adapula yang tidak pernah dikatakan oleh Nabi. Hal ini menimbulkan keresahan di
kalangan umat Islam itu sendiri sehingga dimulailah proses penyeleksian hadits-hadits
yang kemudian terdapat hadits dengan kualitas shahih, hasan, dhaif hingga maudhu‟.

1
Mahasiswi Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir. NIM 20205032014.
2
Mahasiswi Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir. NIM 20205032013.
ILMU DAN METODE KRITIK MATAN DALAM HADITS

Alvita Niamullah, Safira Malia Hayati

Dalam proses penyeleksian tersebut, dibentuklah disiplin-disiplin ilmu untuk


menegaskan kualitas tiap haditsnya. Untuk meneliti sebuah hadits, maka terdiri dari
dua disiplin ilmu; ilmu kritik sanad dan ilmu kritik matan. Jika ilmu kritik sanad
terfokus pada penelitian para perawi, maka ilmu kritik matan terfokus pada isi hadits
yang dibawa oleh para perawi.

B. Definisi Kritik Matan

Istilah kritik matan hadits terdiri dari 2 kata, yakni kritik dan matan. Dalam
bahasa Arab, kata kritik distilahkan dengan “Naqd”. Dalam bahasa Arab populer,
kata “Naqd” mempunyai berbagai arti antara lain: penelitian, analisis, pengecekan
dan pembedaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata “kritik” seringkali diartikan
dengan tanggapan, analisa, pertimbangan dan penilaian atas sesuatu hal yang
mendalam. Semua pengertian ini berkonotasi pada upaya untuk membedakan antara
yang benar dan yang salah.3 Adapun matan secara bahasa ialah “keras”, “kuat”,
“yang asli” dan “yang tampak”. Sedangkan secara istilah, matan ialah “sesuatu yang
disebutkan setelah sanad”.4 Kesimpulannya, kritik matan ialah sebuah analisis,
tanggapan atau pertimbangan terhadap isi berita yang dibawa oleh para perawi yang
menyandarkan pesannya kepada Nabi Muhammad.

Dalam ilmu sejarah, kritik matan atau naqdul matn dikenal dengan istilah kritik
intern, sedangkan kritik sanad atau naqdus sanad dikenal dengan istilah kritik ekstern.
Selain disebut naqdus sanad, kritik ekstern dikenal pula dengan istilah naqdul khariji
atau naqduz zahiri.5

C. Sejarah Kritik Matan

Sejak pada masa Nabi Muhammad masih hidup, kritik matan hadits sebenarnya
sudah terjadi namun sifatnya masih sangat sederhana. Hal ini karena para sahabat
yang berselisih dan mengkritisi hadits yang disampaikan oleh sahabat yang lain dapat
langsung mengonfirmasinya kepada Nabi Muhammad.6 Proses pengkritikan ini bukan
karena mereka mencurigai sahabat yang lain, melainkan lebih kepada menjaga

3
M. Suryadinata, Kritik Matan Hadits : Dari Klasik Hingga Kontemporer dalam Jurnal, h. 113.
4
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta: Amzah, 2012), h. 113.
5
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi cet. II (Jakarta: PT Bulan dan Bintang,
2007), h. 4.
6
Khabibi Muhammad Luthfi, “Kritik Matan Sebagai Metode Utama Dalam Kesahihan Haditst
Nabi,” dalam Jurnal Islamic Review, Vol. 2, no. 3 (2013): h.. 204.

2
ILMU DAN METODE KRITIK MATAN DALAM HADITS

Alvita Niamullah, Safira Malia Hayati

kebenaran yang bersumber dari Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, tidak heran apabila
kritik hadits pada zaman Nabi ini minim sekali dan juga masih sangat terbatas untuk
lingkupannya.

Kritikan terhadap hadits yang dibawa sahabat pada masa Nabi masih hidup
masih dikatakan mudah untuk dilakukan, sebab mereka dapat mengecek
kebenarannya langsung kepada Nabi. Namun berbeda dengan setelah Nabi
Muhammad wafat, kritik hadits yang dilakukan sahabat hanya bisa ditanyakan kepada
pihak-pihak yang turut mendengarkan ataupun menyaksikan hadits itu dari Nabi
Muhammad. Kritik matan yang terjadi pada masa ini lebih dikarenakan sikap kehati-
hatian dan ketelitian para sahabat terhadap suatu berita yang sampai kepada mereka
namun terdapat kejanggalan dalam hal penyampaiannya. Terlebih lagi saat mulai
bermunculannya hadits palsu yang mengatasnamakan Nabi, maka kritik hadits mulai
semarak dilakukan. Hal ini sekali lagi bukan karena meragukan hadits Nabi,
melainkan upaya menjaga keotentikan hadits yang bersumber dari Nabi Muhammad.7

Salah satu contoh kritik hadits ialah kritik yang dilakukan Aisyah binti Abu
Bakar terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a. Bunyi haditsnya sebagai
berikut :

‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو‬ ِ


‫ب‬ َ ِّ‫ «إِ َّن املَي‬:‫َو َسلَّ َم قَ َال‬
ُ ‫ت لَيُ َع َّذ‬ َّ ‫ت أ‬
َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َِّب‬ َ ‫ أ ََما َعل ْم‬:‫فَ َق َال عُ َم ُر‬....
»‫بِبُ َك ِاء احلَ ِّي‬
Artinya : …kemudian Umar berkata : “ Tidakkah kau tau bahwasanya Nabi
saw bersabda : “Sesungguhnya mayyit sungguh akan disiksa sebab tangisan
orang yang masih hidup” (H.R. Al-Bukhari)

Saat Umar meninggal, Abdullah bin Abbas menyebutkan hadits tersebut yang
kemudian disanggah oleh Aisyah. Kejadian ini dapat dilihat melalui hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang berbunyi :

َ‫ك لِ َعائِ َشة‬ ِ ‫ ذَ َكر‬،‫اَّلل عْنو‬


َ ‫ت َذل‬ ِ
ُ ْ ُ َ َُّ ‫ات عُ َم ُر َرض َي‬ َ ‫ فَلَ َّما َم‬:‫اَّللُ َعْن ُه َما‬ َّ ‫اس َر ِض َي‬ ٍ َّ‫قَ َال ابْ ُن َعب‬
َِّ ‫ول‬
:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬َ ‫اَّلل‬ َ ‫اَّللِ َما َحد‬
ُ ‫َّث َر ُس‬ َّ ‫ َرِح َم‬:‫ت‬
َّ ‫ َو‬،‫اَّللُ عُ َمَر‬ َّ ‫َر ِض َي‬
ْ َ‫ فَ َقال‬،‫اَّللُ َعْن َها‬
:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َال‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ َ ‫ َولَ ِك َّن َر ُس‬،»‫ب امل ْؤِم َن بِبُ َك ِاء أ َْىلِ ِو َعلَْي ِو‬
ُ ‫اَّللَ لَيُ َع ِّذ‬
َّ ‫«إِ َّن‬
ُ
7
Diana Aulia Devi, “Studi Kritik Matan Hadits” dalam Jurnal Adz-Dzikra Vol. 14 No. 2 2020,
h. 296-297.

3
ILMU DAN METODE KRITIK MATAN DALAM HADITS

Alvita Niamullah, Safira Malia Hayati

ِ ِِ ِ ِ ُ ‫اَّلل لَي ِز‬


ٌ‫{والَ تَ ِزُر َوا ِزَرة‬ ْ َ‫ َوقَال‬،»‫يد ال َكافَر َع َذ ًاًب بِبُ َكاء أ َْىلو َعلَْيو‬
َ :‫ َح ْسبُ ُك ُم ال ُق ْرآ ُن‬:‫ت‬
ِ
َ ََّ ‫«إ َّن‬
]461 :‫ُخَرى} [األنعام‬ ْ ‫ِوْزَر أ‬
Artinya : “Ibnu Abbas r.a. berkata : “Ketika Umar r.a. meninggal, aku
mengatakan (hadits) tersebut kepada Aisyah r.a.. Aisyah kemudian berkata :
“Semoga Allah merahmati Umar. Demi Allah! Rasulullah tidak mengucapkan
bahwasanya Allah sungguh menyiksa orang mu‟min sebab tangisan
keluarganya”. Aisyah berkata : “Cukup bagi kalian bunyi Al-Quran “…dan
seseorang tidak memikul beban dosa orang lain (Q.S. Al-An‟am : 134)”. (H.R.
Al-Bukhari)

Al-Bukhari memasukkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar dan hadits yang
diceritakan Abdullah bin Abbas ke dalam kitab shahihnya. Ini menunjukkan bahwa
dari segi kualitas, kedua riwayat tersebut sama-sama shahih, namun terjadi perbedaan
pemahaman oleh Umar yang kemudian dikritik oleh Aisyah. Dengan demikian,
semasa sahabat hidup, tradisi kritik matan yang dilakukan adalah sebagai upaya
dalam meneliti isi hadits dengan cara mencocokkannya kembali apa yang pernah
didengar sendiri dari Nabi saw, lalu selanjutnya dibandingkan dengan al-Qur‟an.

Pada perkembangan selanjutnya, studi kritik terhadap matan hadits mulai


berkembang. Terlebih lagi pada dikarenakan mulai maraknya pemalsuan hadits
sehingga sangat diperlukan seleksi yang ketat untuk menjaga keotentikan hadits Nabi
Muhammad.8 Pada masa ini, para tabi‟in mengalami sikap dan semangat yang tinggi
untuk melakukan penelitian hadits yang luar biasa sampai mereka bersedia keluar
rumah hanya untuk melakukan penelitian terhadap hadits.9 Memang umat Islam pada
masa awal tidak memperhatikan siapa periwayat dan kualitas hadits yang
disampaikannya, namun setelah umat Islam diterpa dengan fitnah (ujian), maka
barulah timbul kesadaran mereka untuk mempertanyakan asal-usul periwayat agar
terhindar dari hadits palsu.10

D. Langkah Penelitian Matan

Tahapan meneliti matan dapat dilakukan setelah peneliti menyelesaikan


penelitian sanadnya. Muhammad Tahir Al-Jawabi di dalam kitabnya yang berjudul
Juhūd al-Muḥaddiṡīn Fī Naqd Matan al-Ḥadīṡ an-Nabawī asy-Syarīf menyatakan

8
Khabibi, “Kritik…” h. 204.
9
Mutmainnah, “Metodologi Ulama Hadits dalam Membentengi Hadits dari Segi Matan,” h. 79.
10
Khabibi, “Kritik…” h. 205-208.

4
ILMU DAN METODE KRITIK MATAN DALAM HADITS

Alvita Niamullah, Safira Malia Hayati

bahwa tahapan-tahapan yang penting dalam melakukan kritik hadits secara umum
sebagai berikut;

1. Mengumpulkan keterangan hadits


2. Mencari sanad hadits
3. Membuat pondasi ilmu jarh wa ta‟dil
4. Melakukan kritik perawi
5. Kehati-hatian dalam meriwayatkan hadits
6. Melakukan kritik bahasa hadits
7. Melakukan kritik makna hadits
8. Membahas „ilal al-hadits
9. Penelitian makna hadits untuk menolak perentangan hadits dan kemuskilan
10. Menjelaskan fiqih hadits (pemahaman hadits).11

Sedangkan menurut Salahuddin Al-Adlabi, metode kritik matan yakni; pertama,


tidak bertentangan dengan al-Qur‟an al-Karim. Kedua, tidak bertentangan dengan
hadits dan sirah nabawiyah yang shahih. Ketiga, tidak bertentangan dengan akal,
indera dan sejarah. Keempat, mirip dengan sabda kenabian. Pendapat Al-Adlabi ini
hasil ringkasan dari kriterian-kriteria keshahihan matan hadits menurut Ibn Qayyim
dan al-Bagdadi.12

Jika disimpulkan, secara garis besar dalam melakukan kritik matan hadits harus
melakukan tiga tahapan yaitu. Pertama, melakukan kritik atau seleksi matan hadits
(naqdu al-matan). kedua, menginterpretasi makna matan hadits (syarh al-matan).
Ketiga, melakukan tipologi atau klasifikasi matan hadits (qism al-matan).

Tujuan dari penelitian kritik matan hadits ialah bahwa matan hadits adalah
sesuatu yang penting untuk dijaga keotentitasnya. Alasan ini terkait dengan
pentingnya menjaga kemurnian agama dengan menjaga hadits sebagai warisan Nabi
yang dijadikan sebagai sumber kedua umat Islam. Selain itu, penelitian ini juga
dipengaruhi karena banyaknya periwayatan Bi al-ma‟na (periwatan dengan makna)

11
Muhammad Qomarullah, “Metode Kritik Matan Hadits Muhammad Tahir Al-Jawabi dalam
Kitab: Juhud al-Muhaddisin Fi Naqd Matan al-Hadits an-Nabawi asy-Syarif,” dalam Jurnal Studi Al-
Qur‟an dan Hadits, Vol. 2, no. 1 (2018): hlm. 52.
12
M. Taufiq Firdaus, M. Fatih Suryadilaga., “Integrasi Keilmuan dalam Kritik Matan Hadis”
dalam Jurnal Tajdid Vol. 18 No. 2 h. 162.

5
ILMU DAN METODE KRITIK MATAN DALAM HADITS

Alvita Niamullah, Safira Malia Hayati

yang menimbulkan banyak interpretasi. Oleh karena itu, periwatan dengan makna
menuntut pemikiran lebih panjang terhadap makna hadits itu sendiri..13

E. Metode Kritik Matan


1. Meneliti Matan dengan Melihat Sanadnya

Besar pengaruh yang diberikan kualitas sanad terhadap kualitas matan. Oleh
karena itu, tahapan penelitian matan sangat berkaitan dengan penelitian sanad. Dalam
hal ini, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni;

a. Meneliti matan setelah meneliti sanad; hal ini harus dilakukan karena tidak
mungkin ada matan tanpa adanya sanad yang membawa informasi pesan
tersebut. Kedudukan matan dapat diakui apabila kualitas sanad telah
diketahui dengan jelas. Tanpa adanya sanad, maka matan tidak dapat diakui
bersumber dari Nabi Muhammad.
b. Kualitas matan ternyata tidak selalu sejalan dengan kualitas sanad; pada
umumnya, sanad dan matan seringnya berkualitas sama; sama-sama shahih
atau sama-sama dhaif. Namun pada banyak kasus juga ditemukan di mana
ada sanad yang shahih namun matannya dhaif, ataupun sebaliknya. Jika
ditemukan hadits dengan kasus kualitas sanad dan matan yang tidak sama,
maka tidak bisa langsung dikatakan shahih ataupun dhaif. Apabila terjadi
ketidaksinkronan antara sanad dan matan, maka hal tersebut bisa timbul
karena; 1). Terjadinya kesalahan saat meneliti matan, baik karena pendekatan
yang digunakan atau hal lainnya, 2). Terjadinya kesalahan saat meneliti
sanad, 3). Matannya mengalami periwayatan bil ma‟na yang menyebabkan
kesalahpahaman.
c. Kaidah kesahihan matan sebagai acuan; yakni matan harus terhindar dari
syuzuz (kejanggalan) dan „illah (cacat) sebagai acuan utama kesahihan
matan. Walaupun demikian, ulama tidak memberikan keharusan untuk
menerapkan syuzuz sebagai langkah pertama penelitian dan „illah sebagai
langkai kedua, ataupun sebaliknya. Para ulama hanya memberikan tolok ukur
terhadap kesahihan matan tersebut. Di antara tolok ukur yang menjadikan
matannya maqbul (diterima) ialah matan tidak bertentangan dengan akal,
tidak bertentangan dengan Al-Quran, tidak bertentangan dengan hadits
13
M. Taufiq, “Integrasi…, h. 163.

6
ILMU DAN METODE KRITIK MATAN DALAM HADITS

Alvita Niamullah, Safira Malia Hayati

mutawatir, tidak bertentangan dengan dalil yang pasti, dan beberapa alasan
lainnya.14
2. Meneliti Susunan Lafadz Matan yang Semakna

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam meneliti Matan ialah pada susunan
lafadz nya. pada bagian ini ada dua hal yang perlu diperhatikan;

a. Terjadinya perbedaan lafadz; ini terjadi karena adanya periwayatan hadits


menggunakan makna sehingga menyebabkan lafadz yang diriwayatkan
memiliki perbedaan redaksi. Perbedaan lafadz yang terjadi bukan hanya
karena perawi yang tidak tsiqah saja, tetapi bisa juga dilakukan oleh perawi
yang tsiqah namun ia sebagai manusia biasa tidak terlepas dari kesalahan dan
kekeliruan. Menurut ulama muhadditsin, selama kekeliruannya sangat sedikit
jumlahnya, maka kekeliruannya tidak mengganggu ke-tsiqoh-an perawi.
Apabila perawi sering melakukan kekeliruan, maka ia tidak dapat
dikategorikan perawi tsiqah. 15
b. Jika ditemukan perbedaan lafadz; maka bisa diteliti dengan metode
muqaranah (membandingkan satu redaksi dengan redaksi yang lain) atau
dengan mencari ziyadah (tambahan kata), idraj atau yang lain sebagainya
yang tersisipkan di dalam matan.16
3. Meneliti Kandungan Matan

Setelah meneliti susunan lafadz, barulah kandungan matannya dapat dikaji lebih
lanjut. Pada bagian ini, ada dua hal yang harus diperhatikan;

a. Membandingkan kandungan matan yang sejalan (tidak bertentangan); jika


terdapat matan yang banyak periwayatannya namun bunyi lafadznya sama,
maka penelitian telah usai. Namun jika matannya memiliki lafadz yang
berbeda, maka perlu diteliti kandungan matannya. Hal ini bisa dilakukan
dengan cara pengumpulan hadits bil maudhu‟ (tematik) agar dapat terkumpul
hadits-hadits serupa yang bermakna sama, barulah setelah itu dilakukan
penelitian kandungan matan.

14
M. Syuhudi, Metodologi…, h. 114-118.
15
M. Syuhudi, Metodologi…, h. 123.
16
M. Syuhudi, Metodologi…, h. 125.

7
ILMU DAN METODE KRITIK MATAN DALAM HADITS

Alvita Niamullah, Safira Malia Hayati

b. Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan (bertentangan); jika


terdapat kandungan matan yang saling bertentangan – atau sering
dikategorikan ikhtilaful hadits – maka ulama muhadditsin bersepakat untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi namun berbeda pendapat terkait
sikap yang perlu dipakai. Setidaknya, ada 3 cara yang dapat digunakan untuk
menyikapi hal ini; al-jam‟u (mengkompromikan), nasikh-mansukh
(menghapus-dihapus); atau dengan tarjih (mengunggulkan).17
4. Menyimpulkan Hasil Penelitian Matan

Setelah melakukan tahap-tahap di atas, maka langkah terakhir yang harus


dilakukan peneliti ialah dengan menyimpulkan hasil penelitian matan hadits. Kualitas
matan hanya mengenal dua macam kategori saja; shahih atau dhaif. Apabila matannya
berkualitas shahih dengan sanad yang shahih, maka kualitas haditsnya shahih. Jika
matannya berkualitas dhaif dengan kualitas sanad dhaif, maka kualitas haditsnya
menjadi dhaif pula. Namun jika sanadnya shahih dan matannya dhaif, atau sebaliknya,
maka kesimpulan penelitian harus menyertakan penjelasan.

F. Contoh Penelitian Matan Hadits

Penelitian matan hadits yang tampak bertentangan dengan matan yang lain,
seperti hadits tentang larangan penulisan hadits yang berbunyi :

‫ َوَم ْن‬،‫ " َال تَكْتُبُوا َع ِّّن‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َال‬ ِ َ ‫َن رس‬ ٍ ِ‫عن أَِِب سع‬
َ ‫ول هللا‬ ُ َ َّ ‫ أ‬،‫ي‬ ِّ ‫اْلُ ْد ِر‬
ْ ‫يد‬ َ َْ
ِ
ُ‫ب َع ِّّن َغْي َر الْ ُق ْرآن فَ ْليَ ْم ُحو‬
َ َ‫َكت‬
Artinya : “Diceritakan dari Abu Sa‟id al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda
“Jangan kalian menulis (selain Al-Qur‟an) dariku. Barang siapa yang menulis
dariku selain Al-Qur‟an hendaknya ia menghapusnya” (HR Muslim).
Padahal, di sisi yang lain ada hadits yang menjelaskan anjuran menulis hadits Nabi
yang berbunyi :

َِّ ‫ول‬ ِ ‫َْسَعو ِمن رس‬ ٍ َِّ ‫عن عب ِد‬


ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫اَّلل‬ ُ َ ْ ُ ُ ْ ‫ب ُك َّل َش ْيء أ‬ ُ ُ‫ت أَ ْكت‬ ُ ‫ ُكْن‬:‫ قَ َال‬،‫اَّلل بْ ِن َع ْم ٍرو‬ َْ ْ َ
َِّ ‫ول‬
‫اَّلل‬ ُ ‫ب ُك َّل َش ْي ٍء تَ ْس َمعُوُ َوَر ُس‬ ُ ُ‫ أَتَكْت‬:‫ش َوقَالُوا‬ٌ ْ‫ فَنَ َهْت ِّن قَُري‬،ُ‫يد ح ْفظَو‬
ِ ُ ‫علَي ِو وسلَّم أُ ِر‬
َ ََ َْ
‫ت‬ ِ َ‫ْت َع ِن الْ ِكت‬
ُ ‫ فَ َذ َك ْر‬،‫اب‬ ُ ‫ فَأ َْم َسك‬،‫ضا‬ ِّ ‫ َو‬،‫ب‬
َ ‫الر‬ ِ‫ض‬ ِ
َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَْيو َو َسلَّ َم بَ َشٌر يَتَ َكلَّ ُم ِِف الْغ‬
َ
17
M. Syuhudi, Metodologi…, h. 135.

8
ILMU DAN METODE KRITIK MATAN DALAM HADITS

Alvita Niamullah, Safira Malia Hayati

‫ب فَ َوالَّ ِذي‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ فَأَومأَ ِِب‬،‫اَّللِ صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم‬


ْ ُ‫ ا ْكت‬:‫ فَ َق َال‬،‫ُصبُعو إ ََل فيو‬
ْ َْ َ َ َ ْ َ ُ ِ ِ َ ِ‫ذَل‬
َ َّ ‫ك لَر ُسول‬
‫نَ ْف ِسي بِيَ ِدهِ َما ََيُْر ُج ِمْنوُ إَِّال َحق‬
Artinya : “Diceritakan dari Abdullah bin „Amr, beliau berkata “Dahulu aku
menulis seluruh yang aku dengar dari Rasulullah, aku ingin menghafalkannya,
maka kaum Quraisy mencegahku. Mereka (kaum Quraisy) mengatakan
“Apakah engkau menulis seluruh hadits yang engkau dengar (dari Rasulullah),
padahal Rasulullah adalah manusia yang terkadang bersabda dalam keadaan
marah terkadang dalam keadaan senang?” Maka aku menahan diri dari
menulis (hadits Nabi). Kemudian, aku menceritakan hal tersebut kepada
Rasulullah, maka Rasulullah memberikan isyarat dengan jarinya kepada
mulutnya, Rasulullah bersabda “Tulislah (hadits), demi Allah dzat yang jiwaku
berada dalam genggaman-Nya tidaklah keluar darinya (mulutku) kecuali
kebenaran” (HR Abu Dawud).
Dalam upaya menyelesaikan kandungan matan hadits yang tampak
bertentangan itu, ulama berbeda pendapat. Ibn Hajar al-'Asqalani telah menghimpun
pendapat-pendapat itu menjadi lima macam,

a. Pengkompromian (al-jam'u), dalam hal ini hadits yang mengandung larangan


menulis hadits dipahami sebagai berstatus khusus (khass) untuk saat ayat Al-
Quran turun dan keizinan menulis hadits berlaku di luar waktu tersebut.
Kebijaksanaan Nabi saat itu dilatarbelakangi kekhawatiran terjadinya kerancuan
dalam mencatat Al-Quran dengan selain Al-Quran.
b. Pengkompromian (al-jam‟u), dalam hal ini larangan penulisan dipahami sebagai
berstatus khusus (khass) bagi yang mencampuradukkan catatan Al-Quran dan
hadits Nabi pada satu himpunan catatan, sedangkan bagi sahabat yang dapat
memisahkan catatan Al-Quran dan hadits, maka ia mendapatkan izin menulis
hadits.
c. Penerapan an-nasikh wal-mansukh, yakni hadits yang berisi larangan menulis
hadits merupakan kebijaksanaan Nabi yang datangnya lebih dahulu, sedangkan
perizinan menulis hadits merupakan kebijaksanaan yang terakhir karena tidak
adanya lagi kekhawatiran tercampurnya ayat Al-Quran dengan hadits.
d. Pengkompromian (al-jam'u), dalam hal ini larangan berstatus khusus (khass)
bagi orang yang kuat hafalannya yang dikhawatirkan dia lalu hanya
menyandarkan pengetahuan haditsnya kepada catatan saja, sedang keizinan
menulis hadits diberikan kepada yang tidak kuat hafalannya.

9
ILMU DAN METODE KRITIK MATAN DALAM HADITS

Alvita Niamullah, Safira Malia Hayati

e. Menurut al-Bukhari dan lain-lain, hadits yang mengandung larangan menulis


hadits, yakni riwayat Abu Said al-Khudri tersebut berstatus mauquf (hadits yang
disandarkan kepada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi); hal itu menjadikan
hadits yang bersangkutan mengandung „illat (cacat) dan karenanya tidak dapat
dijadikan hujjah.18
G. Kesimpulan

Istilah kritik matan (kritik intern) dalam bahasa Arab ialah naqdul matn.
Definisi dari kritik matan sendiri ialah sebuah analisis, tanggapan atau pertimbangan
terhadap isi berita yang dibawa oleh para perawi yang menyandarkan pesannya
kepada Nabi Muhammad. Upaya kritik matan pertama kali dilakukan sejak zaman
Nabi Muhammad masih hidup saat seorang sahabat mempertanyakan hadits yang
dibawakan oleh sahabat yang lain. Pada masa ini, upaya kritik matan masih sedrhana,
terlebih lagi para sahabat bisa langsung mengonfirmasi ke Nabi Muhammad. Tradisi
ini kemudian berlanjut di masa sahabat dan Nabi Muhammad telah wafat. Perlahan-
lahan umat Islam menaruh perhatian lebih pada disiplin ilmu ini. Kritik matan ini
kemudian menjadi disiplin ilmu pada masa Tabi‟in.

Jika disimpulkan, secara garis besar dalam melakukan kritik matan hadits harus
melakukan tiga tahapan. Pertama, melakukan kritik atau seleksi matan hadits (naqdu
al-matan). Kedua, menginterpretasi makna matan hadits (syarh al-matan). Ketiga,
melakukan tipologi atau klasifikasi matan hadits (qism al-matan).

18
M. Syuhudi, Metodologi…, h.138-141.

10
ILMU DAN METODE KRITIK MATAN DALAM HADITS

Alvita Niamullah, Safira Malia Hayati

Daftar Pustaka

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta: Amzah, 2012)


Diana Aulia Devi, “Studi Kritik Matan Hadits” dalam Jurnal Adz-Dzikra Vol. 14 No.
2 2020
Khabibi Muhammad Luthfi, “Kritik Matan Sebagai Metode Utama Dalam Kesahihan
Haditst Nabi,” dalam Jurnal Islamic Review, Vol. 2, no. 3 (2013)
Mutmainnah, “Metodologi Ulama Hadits dalam Membentengi Hadits dari Segi
Matan,”
Muhammad Qomarullah, “Metode Kritik Matan Hadits Muhammad Tahir Al-Jawabi
dalam Kitab: Juhud al-Muhaddisin Fi Naqd Matan al-Hadits an-Nabawi asy-
Syarif,” dalam Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Hadits, Vol. 2, no. 1 (2018)
M. Suryadinata, Kritik Matan Hadits : Dari Klasik Hingga Kontemporer dalam Jurnal
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi cet. II (Jakarta: PT Bulan dan
Bintang, 2007)
M. Taufiq Firdaus, M. Fatih Suryadilaga., “Integrasi Keilmuan dalam Kritik Matan
Hadis” dalam Jurnal Tajdid Vol. 18 No. 2.

11

Anda mungkin juga menyukai