Anda di halaman 1dari 12

PENCETUT ISTILAH AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH

DAN SUMBER HUKUM ASWAJA

Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Metodologi Studi Islam

Dosen Pembina : Isna Nurfatwa Sos., M,pd

Disusun oleh:

Ardi Rizal Mubarok


Rizki Aulia
Fitri

INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG


FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN KPI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah meberikan kesempatan
untuk menyelesaikan makalah “PENCETUT ISTILAH AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH

DAN SUMBER HUKUM ASWAJA” ini tepat waktu.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses pembuatan makah ini. Tanpa dukungan dari berbagai pihak mungkin makalah ini tidak
dapat selesai tepat waktu. Kami menyadari makalah yang kami buat ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata
dari kami mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masala................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah..................................................................................................... 1
D. Batasan Masalah.................................................................................................... 2
E. Metode Penulisan.................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pencetut Istilah Aswaja......................................................................................... 2


B. Sumber Hukum Aswaja........................................................................................ 4

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................................ 8
B. Saran...................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 10


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

kemunculan istilah Aswaja merupakan respon atas kelompok-kelompok ekstrem pada waktu
itu. Aswaja dipelopori oleh para tabiín (generasi setelah sahabat atau murid-murid sahabat) seperti
Imam Hasan Al-Bashri, tabi’tabiín (generasi setelah tabiín atau murid-murid tabiín) seperti Imam-
imam mazhab empat, Imam Sufyan Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah.

Ditambah generasi sahabat, inilah yang disebut dengan periode salaf, sebagaimana disebut
oleh Rasulullah saw sebagai tiga generasi terbaik agama ini. Selepas tabi’ tabiínajaran Aswaja
diteruskan dan dikembangkan oleh murid-murid mereka dan dilanjutkan oleh generasi-generasi
berikutnya.Mulai dari Imam Abul Hasan Al-Asyári, Imam Abu Manshur Al-Maturidi, Imam Al-
Haromain, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, Imam Al-Ghazali dan seterusnya sampai Hadratussyekh
Hasyim Asyári.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka muncul beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Siapa pencetut istilah aswaja?


2. Apa saja sumber hukum aswaja?

C. Tujuan Masalah
1. Agar dapat mengetahui pencetut istilah aswaja.
2. Agar dapat mengetahui Apa saja sumber hukum aswaja.
BAB II PEMBAHASAN

1. PENCETUT AHLU SUNNAH WALJAMAAH

Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlussunnah wal Jama’ah hanya


merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan
Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab
Mu’tazilah pada abad ke II H. Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari
golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim, tempat mengembangkan
dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, bernama
Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.

Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu’min yang
melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya, apakah dia masih tetap mu’min atau
tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry mempergunakan
dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadits.

Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48

‫اء‬EEE‫ا (النس‬EEE‫ ِدا ْفتَ َرى اِ ْث ًما َع ِظ ْي ًم‬EEEَ‫ ِر ْك بِاهللِ فَق‬EEE‫ا ُء َو َم ْن ي ُْش‬EEE‫ك ِل َم ْن يَ َش‬ َ ‫ َر‬EEE‫ ُراَ ْن ي ُْش‬EEEِ‫ اِ َّن هللاَ الَيَ ْغف‬:.
َ EEEِ‫ا ُدوْ نَ ذل‬EEE‫ ِه َويَ ْغفِ ُر َم‬EEEِ‫ك ب‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, tetapi
Allah mengampuni dosa selian itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang
mempersekutukan Tuhan ia telah membuat dosa yang sangat besar.”

Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

‫اتَ ِم ْن اُ َّمتِى‬EE‫َأ ْخبَ َرنِى اَنَّهُ َم ْن َم‬Eَ‫بى ف‬


ِ ‫ت ِم ْن َر‬ٍ ‫انِى ا‬Eِ‫لَّ َم َأت‬E‫ ِه َو َس‬Eْ‫لىَاهللُ َعلَي‬E‫ص‬ َ ِ‫وْ ُل هللا‬E‫ضىَاهللُ َع ْنهُ قَا َل قَا َل َر ُس‬
ِ ‫ع َْن اَبِى َذ ٍر َر‬
‫ق رواه البخارى ومسلم‬ َ ‫زَنى َواِ ْن َس َر‬
َ ‫ال َواِ ْن‬ َ َ‫ ق‬.َ‫ َواِ ْن زَن َى َواِ ْن َش َرق‬:‫ت‬ ْ ْ
ُ ‫ قُل‬.َ‫ك بِاهللِ َد َخ َل ال َجنَّة‬
ُ ‫الَيُ ْش ِر‬.

“Dari shahabat Abu Dzarrin berkata; Rasulullah SAW bersabda: Datang kepadaku
pesuruh Allah menyampaikan kepadamu. Barang siapa yang mati dari umatku sedang ia tidak
mempersekutukan Allah maka ia akan masuk surga, lalu saya (Abu Dzarrin) berkata;
walaupun ia pernah berzina dan mencuri ? berkata (Rasul) : meskipun ia telah berzina dan
mencuri.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).

‫ رواه البخارى‬.ُ‫فَيَقُوْ ُل َو ِع َّزتِى َو َجلالَ لِى َو ِكب ِْريَانِى َو َعظَ َمتِى َُأل ْخ ِر َج َّن ِم ْنهَا َم ْن قَا َل الَاِلهَ اِالَّ هللا‬.

“Allah berfirman: Demi kegagahanku dan kebesaranku dan demi ketinggian serta
keagunganku, benar akan aku keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan; Tiada Tuhan
selain Allah.”

Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’.
Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi.
Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa
besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”
Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh
gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu
Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang
bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid. Selanjutnya,
mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata
dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang
mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam
ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-
tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu
ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan
akalnya. Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits
namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di
dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlussunnah wal
Jama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari
sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para
shahabatnya.

2. 4 Sumber Hukum dalam Aswaja

Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber
kepada empat pokok;

Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.

Secara singkat, paparannya sebagai berikut;

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-
Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan
diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah
ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 : َ‫ْب فِ ْي ِه هُدًى لِ ْل ُمتَّقِ ْين‬ َ ‫َب الَ َري‬ َ ‫ك ْال ِكت‬َ ِ‫“ >< ذل‬Kitab (Al-Qur’an) ini
tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2) ‫َو َم ْن لَ ْم‬
َ‫“ يَحْ ُك ْم بِ َما َأ ْن َز َل هللاُ فَُأوْ لِئكَ هُ ُم ْالكفِرُوْ ن‬Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”. Tentu dalam hal
ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu; َ‫ك هُ ُم الظّلِ ُموْ ن‬ َ ‫زَل هللاُ فَُأوْ لِئ‬
َ ‫“ َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما َأ ْن‬Dan barang
siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka
adalah orang-orang yang dhalim”. Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak
sesama manusia ‫قُوْ ن‬EEE‫لفس‬ ِ ‫ك هُ ُم ْا‬ َ ‫ َز َل هللاُ فَُأوْ لِئ‬EEE‫ا َأ ْن‬EEE‫“ َ َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َم‬Dan barang siapa yang tidak
memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan
orang-orang fasik”. Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan
Allah.

2. Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena
Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah
menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl
ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;

َ‫اس َمانُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ ‫َواَ ْن َز ْلنَا اِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِذ ْك َر لِتُبَيِنَ لِلن‬
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”.

(An-Nahl : 44)

ِ ‫ اِ َّن هللاَ َش ِد ْيد ُْا ِلعقَا‬,َ‫َو َما َءاتَ ُك ُم ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َمانَه ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهَوْ ا َواتَّقُوْ اهللا‬
‫ب‬

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras
sikapnya”.(Al-Hasyr: 7)

Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua
setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.

3. Al-Ijma’

Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya
Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh
persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan
kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.

Kemudian ijma’ ada 2 macam :

1. Ijma’ Bayani (‫ ) االجماع البياني‬ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik
berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.

2. Ijma’ Sukuti (‫ )االجماع السكوتي‬ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya


dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau
malu.

Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan
sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib
bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati. Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk
orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-
Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum (‫اولىاالمر منكم‬  )

Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59

‫ياَأيُّهَاالَّ ِذ ْينَ َأ َمنُوْ اَأ ِط ْيعُوْ اهللاَ َوَأ ِط ْيعُوْ اال َّرسُوْ َل َوُأوْ لِى اَْأل ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬

“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara
kamu”.
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada
dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat
Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah
beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan
Termidzi Juz IV hal 466.

‫ َويَ ُدهللاِ َم َع ْالَ َجما َع ِة‬,‫ضالَ لَ ٍة‬ ِ ‫اِ َّن هللاَ الَ يَجْ َم ُع اُ َّم‬
َ ‫تى عَل َى‬

“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah
beserta orang banyak.

Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431

َ ‫اختِالَ فًا فَ َعلَ ْي ُك ْم بِالس ََّوا ِد ْا َأل ْع‬


‫ظ ِم‬ ْ ‫ضالَ لَ ٍة فَا ِء َذا َرَأ ْيتُ ُم‬ ِ ‫اِ َّن اُ َّم‬.  
َ ‫تى الَتَجْ تَ ِم ُع عَل َى‬

“Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat
perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak”.

4, Al-Qiyas

Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata
Qasa (‫قا س‬  ). Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam
hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.

Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh
penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang
pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-
Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya
karena makanan pokok. Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya,
sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun,
dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-
duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat
Islam. Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman :

‫ار‬ َ ‫فَا ْعتَبِرُوْ ا يُأوْ لِى اَْألي‬


ِ ‫ْص‬
“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai
pandangan”. (Al-Hasyr : 2)

‫ى‬E‫ض‬ ِ ‫ا َل اَ ْق‬EEَ‫ا ٌء ؟ ق‬E‫ض‬


َ َ‫ض ق‬َ ‫ َر‬E‫ضى اِ َذا َع‬ ِ ‫ َك ْيفَ تَ ْق‬:‫ لَ َما بَ َعثَهُ النَّبِ ُّى صلى هللا عليه وسلم اِل َى ْاليَ َمنِى قَا َل‬: ‫ع َْن ُم َعا ٍذ قَا َل‬
َ Eَ‫ب هللاِ ؟ ق‬
‫ال‬E ِ َ‫ قَا َل فَا ِء ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِى ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل هللاِ َوال‬,ِ‫ب هللاِ ؟ قَا َل فَبِ ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل هللا‬
ِ ‫ا‬EEَ‫فى ِكت‬ ِ ‫ب هللاِ قَا َل فَا ِء ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِى ِكتَا‬
ِ ‫بِ َكتَا‬
‫ا‬E‫وْ ِل هللاِ لِ َم‬E‫وْ َل َر ُس‬E‫ق َر ُس‬ َّ َّ ْ
َ ‫ ُد هللِ ال ِذى َوف‬E‫ال ال َح ْم‬Eَ ْ
َ ‫د َرهُ َوق‬E‫ص‬ َ ‫لم‬E‫ه وس‬E‫لى هللا علي‬E‫ب َرسُوْ ُل هللاِ ص‬ َ ‫ض َر‬ َ ُ َ ‫ْأ‬
َ ‫اَجْ تَ ِه ُد بِ َر يِى َوال الوْ قا َل ف‬
َ
‫ رواه أحمد وابو داود والترمذى‬.ِ‫ضاهُ َرسُوْ ُل هللا‬ َ ْ‫يَر‬.

“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman,


Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu
ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz
menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau
jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan
berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah
memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq
kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.

Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah
S.W.T dalam Al-Qur’an :

َ Eَ‫ فَ َج َزا ٌء ِم ْث ُل َما قَت‬E‫ص ْي َد َواَ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم َو َم ْن قَتَلَهُ ِم ْن ُك ْم ُمتَ َع ِم ًدا‬


‫ ْد ٍل‬E‫ ِه َذ َوا َع‬Eِ‫ل ِمنَ النَّ َع ِم يَحْ ُك ُم ب‬E َّ ‫ياَأيُّهَااَّل ِذ ْينَ َء ا َمنُوْ ا الَتَ ْقتُلُوْ اا ل‬
‫ ِم ْن ُك ْم‬ 

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika
kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95).

Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-


Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah
mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. KH A Nuril Huda Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama
(LDNU)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulannya adalah yang mempelopori munculnya istilah aswaja yaitu i mam Abu
al-Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dan sumber hukum aswaja ada 4
yaitu Al- Quran, Al-Hadis, Ijma Dan Qiyas.

B. Saran
Makalah ini hanyalah tulisan sederhana yang memerlukan pembaharuan atau
perbaikan serta kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini.Semoga makalah ini dapat
menjadi landasan untuk kita semua agar dapat memperdalam pengetahuan kita semua tentang
penelitian agama dan keagamaan serta konstruksi teori penelitian keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: https://nu.or.id/ubudiyah/4-sumber-hukum-dalam-aswaja-rhoqE

Sumber: https://nu.or.id/ubudiyah/4-sumber-hukum-dalam-aswaja-rhoqE

Anda mungkin juga menyukai