3. Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar
makruf nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah,
dan mujadalah bil husna.
4. Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-
waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang
sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus menerus melakukan
perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa.
5. Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati
mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap
mereka apalagi menuduh mereka kafir.
6. Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi
yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa).
7. Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah
kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il
furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdlatul Ulama tak perlu melakukan klaim
kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut.
8. Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada
sesama muslim, ahlul qiblah.
9. Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin
dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam
konteks NU, menjaga ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga
persatuan dan kekompakan seluruh warga NU.
10. Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan
tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub
ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
2. Penjelasan empat golongan besar selain Aswaja yaitu Syiah, Mu’tazilah, Khawarij
dan Wahabi beserta ciri khas dari golongan yang lain.
a. Syiah
Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, ada seorang pendeta besar Yahudi yang
masuk Islam bernama Abdullah bin Saba’. Sesudah masuk islam ia datang ke
Madinah sekitar tahun 30 Hijriah. Ia mengira kedatangannya akan disambut dengan
upacara kebesaran oleh Khalifah Utsman dan penghargaan besar dari umat muslim
terdahulu. Namun sebaliknya ia tidak mendapati sambutan dan penghargaab.
Akhirnya Abdullah bin Saba’ menjadi jengkel, kesal dan ia pun membenci kepada
Khalifah Utsman.
Kemudian ia pun mulai menghasut untuk menjatuhkan Khalifah Utsman. Ia berjalan
ke Madinah, Mesir, Kuffah, Bashrah (Irak), Damsyik (Syiria) dan kota-kota lainnya
untuk menyebarkan fitnah kekurangan dan kejelekan Utsman bin Affan. Untuk
menjatuhkan Utsman, maka Abdullah bin Saba mengagung-agungkan Ali bin Thalib
dengan menyinggung hadits-hadits (sunnah Nabi SAW) yang banyak dirawi
(diceritakan) oleh Ali. Tetapi ia juga membuat hadits-hadits palsu untuk merendahkan
Utsman bin Affan, dan juga kepada Umar bin Khattab dan Abu Bakar. Dan ajaran-
ajarannya mendapat sambutan dan antusias dari umat muslim ketika itu.
Beberapa ajaran (pengajian) Abdullah bin Saba’ adalah :
(1) Al Wishayah (wasiat), yaitu bahwa Nabi Muhammad SAW berwasiat supaya
Imam (pemimpin) sesudah beliau adalah Ali bin Abi Thalib.
(2) Ar Raj’ah (kembali), yaitu bahwa Nabi Muhammad SAW akan dibangkitkan
kembali diakhir zaman seperti halnya kembalinya Nabi Isa Al Masih alaihis salam.
Dan bahwa Ali bin Abi Thalib sama halnya seperti Nabi Isa bahwa ia belum mati
tetapi diangkat ke atas langit dan akan diturunkan kembali kebumi untuk menjadi
Khalifah terakhir (Imam Mahdi)
(3) Ketuhanan Ali (Ali Ar-Rabbi), yaitu Abdullah bin Saba mengajarkan bahwa
dalam tubuh Ali bin Abi Thalib bersemayam unsur ketuhanan yang telah bersatu padu
dengan tubuhnya, sehingga beliau bisa mengetahui segala perkara gaib. Oleh karena
itu Ali selalu menang dalam peperangan melawan orang kafir. Suara petir adalah
suara Ali dan kilat adalah senyuman Ali.
Pada intinya kaum Syiah bersyahadat : La ilaha illallah, wa Ali rasullullah. (Tak ada
Tuhan selain Allah, dan Ali adalah Rasul Allah)
Syiah dalam bahasa Arab artinya pengikut. Syiah Ali berarti pengikut Ali. Tetapi
arti Syiah dalam pengertian umum adalah kaum yang beritiqad meyakini bahwa Ali
bin Abi Thalib adalah orang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad
SAW.
Tidak mempercayai adanya Khalifah Islam masih belum cukup karena masih
Gaib. Hanya percaya kepada akan ada wahyu-wahyu Tuhan kepada
kekhalifahan terakhir bernama Imam Imam-Imam Syiah.
Mahdi.
Khalifah yang pertama adalah Abu Ketiga Khulafaur Rasyidin itu terkutuk
Bakar, kedua adalah Umar bin Khattab, karena merampas keKhalifahan dari tangan
ketiga adalah Utsman bin Affan. Ali bin Abi Thalib.
Imam (Khalifah) yang pertama adalah Ali
bin Abi Thalib.
Khalifah boleh diangkat dengan Imam harus ditunjuk oleh Nabi Muhammad
musyawarah Ahlul halli wal ‘aqdi. SAW dengan wasiat.
Khalifah hanyalah orang biasa, tidak Imam masih menerima wahyu dan juga
mashum dan tidak menerima wahyu mashum (bebas dari dosa).
dari Allah SWT.
Tidak mempercayai adanya Khalifah Gaib. Percaya adanya Khalifah gaib yang akan
Hanya percaya kepada kekhalifahan keluar di akhir zaman
terakhir bernama Imam Mahdi.
Kitab kedua adalah Kitab Hadits Kitab yang kedua adalah Kitab Al Kafi
Shahih Bukhari. karangan Ya’qub Al Kulni
b. Mu’tazilah
Mu’tazilah berasal dari kata I’itizal artinya menyisihkan (mengasingkan /
menjauhkan) diri.
(1) Awal mula faham ini bermula ketika seorang guru besar Hasan Bashri seorang
ulama AhlusSunnah di Baghdad (Irak) pendiri Mazhab Hasan (wafat tahun 110 H)
menerangkan dalam pengajiannya bahwa setiap umat muslim yang telah beriman
kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW tetapi ia mengerjakan dosa besar dan tidak
sempat bertobat, maka orang ini tetap dianggap sebagai muslim, dan ia akan
dimasukkan ke neraka untuk sementara untuk membersihkan dosanya itu, kemudian
ia dimasukkan ke syurga sebagai rahmat yang sangat besar dari Allah SWT
kepadanya. Salah satu muridnya yang bernama Wasil bin ‘Atha (wafat 131 H) tidak
setuju dan menentang dengan pendapat Syekh Hasan Bashri, bahkan membentak
menyalahkan gurunya dengan mengatakan bahwa hal tersebut tidak masuk akal
pemikiran manusia. Ia pun kemudian keluar dari majelis dan mendirikan pengajian
sendiri, sehingga ia disebut orang mengasingkan diri (mu’tazil).
Wasil bin Atha diikuti oleh Umar bin Ubeid dalam mengajarkan pengajiannya sejak
tahun 120 H.
Gerakan Mu’tazilah terpecah lagi menjadi dua cabang besar :
1. Di kota Basrah (Bushra) Irak dipimpin Wasil dan Umar
2. Di kota Baghdad Irak dipimpin Basyar bin al Mu’tamar
(2) Pendapat lain menyebut bahwa faham Mu’tazilah yang lahir sejak tahun 40 H
adalah orang-orang Syiah yang patah hati setelah diserahkannya kursi Khalifah dari
Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Yang mana semasa kepemimpinan
Khalifah Mu’awiyah, Islam disebar luaskan keseluruh penjuru dunia Eropa/Rusia,
China/Pakistan/India, Afrika hingga sampai ke Asia Tenggara
Indonesia/Malaysia/Brunei/Philipina Selatan/Thailand Selatan dibawa oleh para Wali
Sembilan. Dan oleh Mu’awiyah kaum Syiah dan Khawarij diburu dan sebagian besar
dibunuhi, sehingga Syiah sisanya itu mengasingkan diri dari kejaran tentara
Mu’awiyah.
Perbedaan I’itiqad yang sangat prinsipal dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah
ASWAJA MU’TAZILAH
Buruk dan baik ditentukan oleh Allah Buruk dan baik ditentukan oleh akal
SWT dalam Al-Quran dan sunnah manusia
Rasulullah SAW
Al Quran dan Hadits diatas akal. Quran dan hadits dibawah akal.
Quran adalah kalam Allah SWT yang Quran adalah mahkluk yang sama dengan
Qadim. makhluk lainnya seperti manusia atau
hewan.
Tuhan boleh (bisa) dilihat apalagi bila Tuhan tidak bisa dilihat dan tidak boleh
sudah berada di syurga. dilihat walaupun dalam syurga.
Peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi dengan Isra Mi’raj hanyalah mimpi yang tidak
roh dan tubuh. masuk akal.
Pekerjaan manusia (rejeki) dijadikan Pekerjaan manusia atau apapun rejeki yang
oleh Allah SWT sesuai qadha dan akan didapatnya adalah berasal dari
qadar yang ditentukan Allah SWT. manusia itu sendiri.
Arsy dan Qursy Allah SWT itu ada dan Adanya arsy dan qursy adalah mustahil dan
adalah perkara gaib. tidak masuk akal.
Mempercayai adanya malaikat Tidak mempercayai malaikat Kiraman
Kiraman Katibin (Rakib dan Atid) Katibin
yang mencatat amal manusia setiap
hari.
Kehidupan di syurga dan neraka kekal Syurga dan neraka tidak kekal
selama-lamanya
Mempercayai adanya Timbangan Amal Tidak ada timbangan di akhirat.
(mizan) di akhirat.
Mempercayai adanya hisab Tidak ada perhitungan amal dan dosa di
(perhitungan amal dan dosa) di akhirat akhirat.
Mempercayai adanya titian Shiratal Tidak ada titian di akhirat.
Mustaqim yang akan dilewati di akhirat
Mempercayai adanya kolam Al Tidak ada kolam apapun di akhirat.
Kautsar (kolam milik Rasulullah SAW)
untuk minum kaum Muslimin sebagai
salah satu syafaat di akhirat
Mempercayai adanya syafaat Tidak ada penolong di akhirat.
(pertolongan dari Nabi Muhammad
SAW) kepada umatnya di akhirat.
Allah SWT tidak diwajibkan membuat Tuhan wajib dan harus membuat yang baik
yang baik atau yang lebih baik dan yang lebih baik.
Adanya alam kubur setelah kematian Tidak ada kehidupan alam kubur
didunia, pertanyaan dari malaikat dan
adanya azab kubur.
Allah SWT mempunyai sifat yaitu 20 Tuhan tidak mempunyai sifat. Ia mendengar
sifat yang wajib, 20 sifat yang mustahil dan melihat dengan Dzat-Nya.
dan 1 sifat harus
Mempercayai banyaknya mukjizat Tidak ada mukjizat selain Al Quran
yang dimiliki Rasulullah SAW selain
Al Quran.
Mempercayai adanya keramat Tidak ada keramat dari manusia biasa.
(karomah) yang bisa dimiliki oleh para
wali dan orang-orang yang saleh
Menjauhkan diri dari mencaci maki Lancang mulut mencaci maki (menghina)
kelakuan para sahabat Rasulullah para sahabat yang dianggap salah.
SAW.
Orang mukmin yang wafat dalam Orang mukmin yang mati dalam membuat
keadaan membuat dosa besar bukanlah dosa besar adalah kafir, dan kekal dalam
kafir dan tidak akan kekal di dalam neraka.
neraka untuk menerima hukumannya.
Tidak ada tempat lain di akhirat selain Ada tempat yang lain di akhirat selain
syurga atau neraka. syurga dan neraka yang dinamai “manzilah
bainal manzilatain (tempat di antara dua
tempat)
Syurga dan neraka sudah disediakan Syurga dan neraka belum dibuat
(dibuat) oleh Allah SWT sejak Nabi (dibangun), setelah hari akhirat barulah
Adam as. dibangun.
c. Khawarij
Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, terjadilah perang saudara yang terbesar
dalam Islam antara jumhur (kelompok besar) umat mukmin pimpinan Khalifah Ali
melawan jumhur umat mukmin dipimpin Mu’awiyah bin Abi Sofyan dari Bani Umayyah
yang sangat terkenal dengan nama Perang Siffin, yaitu disuatu tempat bernama Siffin
(Irak). Dipihak Ali telah terbunuh lebih 25.000 orang, sedangkan dipihak Mu’awiyah
terkorban lebih dari 45.000 orang. Perang ini berlangsung pada tahun 37 Hijriah, adalah
perang yang diramalkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu tanda mendekati
kiamat (tersebut dalam Hadits shahih mutaffaq ‘alaih).
Dalam kekacauan perang yang menyebabkan sebagian besar tentara Mu’awiyah kocar
kacir melarikan diri, maka sisa-sisa dari tentaranya menjalankan siasat “cease fire”
(gencatan senjata) dengan meletakkan potongan ayat-ayat suci Al Quran diatas tombak
dan pedang mereka. Kemudian diacung-acungkan sebagai bendera agar berdamai dan
berhukum sesuai hukum dalam Al Quran.
Pada awalnya Ali bin Abi Thalib menolak ajakan damai ini karena beliau tahu bahwa ini
hanyalah siasat perang dari pasukan yang hampir kalah. Tetapi sebagian besar tentara
pasukannya mendesak Ali agar berhukum kepada Al Quran. Sehingga Ali pun menyetujui
gencatan senjata ini, dan kedua khalifah yaitu Ali di Baghdad dan Mu’awiyah di Damsyik
menyusun delegasi perundingan damai. Pihak Ali diwakili Abu Musa Al Asy’ari (sahabat
Nabi SAW, ia seorang yang jujur lagi shaleh) dan Mu’awiyah diwakili ‘Amru bin ‘Ash
(juga termasuk sahabat Nabi SAW, ia seorang ahli siasat perang yang sangat pandai).
Perundingan ini dinamakan “Majlis Tahkim” berlangsung di Daumatul Jandal (Irak)
dengan setiap pihak mengirim anggota delegasi sebanyak 100 orang.
Ditengah kebingungan umat dalam menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar
karena perang saudara sesama mukmin ini, maka terdapatlah sebagian pasukan dari
tentaranya Ali yang tidak menyukai berhukum kepada Al Quran dan menganggap ucapan
pasukan Mu’awiyah hanyalah siasat busuk saja. Mereka berbalik membenci Ali karena
menyetujui “Majlis Tahkim” yang mereka anggap sebagai tindakan pengecut dan ragu-
ragu atas kebenaran pendirian. Mereka dipimpin Abdullah bin Wahab ar Rasyidi.
Dalam Majlis Tahkim, dengan kepintaran politiknya, akhirnya ‘Amru bin ‘Ash
memenangkan Mu’awiyah. Karena merasa kalah tertipu maka bertambahlah kemarahan
pendukung Ali dan perangpun kembali terjadi.
Mereka bertambah marah dan beringas mendengar kekalahan Ali dalam Majlis Tahkim,
akhirnya mereka menyerukan “khawarij” (keluar) dengan keluar dari pasukan dan tidak
akan mendukung Khalifah Ali dan mengutuk Khalifah Mu’awiyah.
Mereka mengancam Ali jika tidak bertobat mengakui kekalahan akibat Majlis Tahkim,
maka mereka akan memeranginya. Dengan kebencian yang teramat besar kemudian
Kaum Khawarij merencanakan membunuh keduanya termasuk ‘Amru bin ‘Ash. Rencana
pembunuhan secara serentak pada waktu subuh 17 Ramadhan 40 H terhadap Ali yang
berada di Baghdad (Irak) akan dilakukan Abdullah bin Muljam, Mu’awiyah yang berada
di Damaskus (Syiria) oleh Al Barak, dan pembunuhan ‘Amru bin Ash yang berada di
Cairo (Mesir) oleh Umar bin Bakir. Akhirnya Khalifah Ali mati dibunuh ditikam dengan
pedang ketika beliau hendak shalat subuh. Sedangkan Mu’awiyah dan ‘Amru gagal
dibunuh.
Ali bin Abi Thalib dimakamkan di Najaf, Baghdad (Irak). Setelah kematiannya maka
Kaum Syiah dan sebagian Kaum AhlusSunnah mengangkat Hasan bin Ali sebagai
Khalifah ke-5. Tetapi Hasan hanya bersedia menjadi Khalifah selama 2 (dua) bulan,
beliau ingin menjaga jangan sampai lagi tertumpahnya darah-darah umat Islam oleh
perang saudara. Hasan kemudian menyerahkan kursi Khalifah kepada Mu’awiyah bin Abi
Sofyan.
Setelah itu terbentuklah kembali 3 golongan besar dari Umat Islam yaitu :
(1) Golongan terbesar, golongan yang mengikuti dan membai’at Muawiyah sebagai
Khalifah ke-6 yang sah. Golongan ini tersebar di Damsyik (Syiria), Makkah, Madinah,
Mesir dan kota-kota besar Islam lainnya.
(2) Golongan Syi’ah, yang tidak mengakui Mu’awiyah. Mereka mengangkat Husein bin
Ali (adik dari Hasan bin Ali) tetapi secara diam-diam. Golongan ini berada di Baghdad
(irak), Bashrah (Irak) dan Kufah (Iran)
(3) Golongan Khawarij, yaitu golongan yang tidak akan mengakui Mu’awiyah sebagai
Khalifah dan juga tidak menyukai Kaum Syi’ah. Kaum Khawarij banyak bertebaran di
tanah Irak dan Persia (Iran).
Kaum Khawarij bersyahadat La hukma illa lillah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah)
Perbedaan I’itiqad yang sangat prinsipal dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah
ASWAJA KHAWARIJ
Khalifah keempat yaitu Ali bin Abi Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah tidak
Thalib adalah sah sesudah tahkim sah sesudah tahkim.
Siti Aisyah (isteri Rasulullah SAW) Mengutuk Siti Aisyah karena melakukan
adalah Ummul Mukminun yang peperangan Jamal melawan Ali bin Abi
dihormati hingga wafatnya. Thalib.
Ada dosa besar dan dosa kecil. Semua dosa adalah besar tidak ada yang
kecil atau yang besar.
Anak-anak orang kafir yang mati Anak-anak orang kafir yang mati akan
ketika kecil (belum baligh) tidak masuk masuk neraka seperti halnya orangtuanya.
neraka.
d. Wahabi
Pendiri dari faham ini adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1702 – 1787 Masehi).
Oleh karena itu orang menyebutnya dengan nama faham/aliran/firqah/golongan/kaum
Wahabiyah dari mengikut kepada ayahnya Abdul Wahab.
Tetapi banyak pengikut faham ini lebih suka untuk menamakan mereka sebagai faham
Al Muwahhidun dan thariqat mereka dinamakan Al Muhammadiyah. Mereka adalah
pengikut fiqih Mazhab Hanbali. Muhammad bin Abdul Wahab mempunyai bapak dan
kakek yang ulama Ahlus Sunnah. Ia berguru di Makkah dan Madinah kepada
ulama/ustadz AhlusSunnah seperti Syeikh Muhammad Sulaiman al Kurdi dll.
Ia melihat kebiasaan umat muslim yang berdoa dan beribadah dihadapan makam Nabi
Muhammad SAW maupun kuburan sahabat Nabi. Yang mana menurutnya ini adalah
perbuatan syirik yang bertentangan dengan syariat Islam. Kemudian ia menyebarkan
ajarannya sendiri.
Karena ajaran ini ia dibenci oleh emir/penguasa/raja dari berbagai kota yang
didatanginya. Namun ia didukung oleh Raja negeri Dur’iyah yaitu Muhammad bin
Sa’ud yang bermaksud agar ia (Muhammad bin Abdul Wahab) membuat ideologi dan
syariat agama berdasar keinginan Raja. Keberhasilan kerjasama mereka menjadikan
faham Wahabi menyebar luas hingga ke Turki dan sebagian bangsa padang pasir
sekitar Makkah.
Pada suatu ketika mereka mengirim delegasi ke Makkah menemui Syarif (gubernur)
Mas’ud sekaligus untuk berhaji. Tetapi karena kebencian Syarif Mas’ud kepada
faham Wahabi, ia kemudian membuat kesalahan dengan membunuh sebagian delegasi
ini di Makkah, padahal dalam syariat agama tidak diperbolehkan membunuh
(menghilangkan nyawa) apapun di tanah haram Makkah (Al Quran, Surah Ali Imran ;
ayat 97). Akhirnya terjadilah peperangan diantara mereka. Dan akhir dari peperangan
ini adalah kemenangan dari pihak Wahabi, mereka menguasai negeri Hijaz (Makkah,
Madinah, Jeddah dan Tabuk) sebanyak dua kali. Yaitu pada tahun 1803 – 1813
Masehi dan yang terakhir sekali adalah kemenangan mutlak dengan menguasai Hijaz
dan sebagian besar negara Saudi Arabia sejak 1925 Masehi hingga sekarang yaitu
tahun 2005.
Pelaksanaan ajaran Wahabi pada tanah Makkah dan Madinah :
1. Tidak boleh dan dilarang melagukan adzan
2. Tidak boleh membunyikan radio, gramopon maupun alat musik lainnya
3. Tidak boleh dan dilarang melagukan Qasidah
4. Tidak boleh melagukan bacaan Al Quran dengan lagu “fuqaha”
5. Tidak boleh membaca Kitab Shalawat (Burdah dan Dalailul Khairat yaitu qasidah
Amin Tadza) yang terlalu banyak menyanjung Nabi Muhammad SAW
6. Tidak boleh mengaji atau mempelajari ilmu Sifat 20. Untuk itu Wahabi mempunyai
pengajian baru yaitu Tauhid Rububiyah (yang mempelajari tauhid orang kafir dan
penyembah berhala / musyrikin) dan Tauhid Uluhiyah (mempelajari tentang
tauhidnya orang-orang beriman (mukminin)
7. Imam-Imam di Masjidil Haram (dari 4 Mazhab terbesar AhlusSunnah) disatukan
dibelakang seorang ulama Wahabi yang bernama Abu Samah
8. Shalat harus dilaksanakan dengan berjamaah. Apabila adzan sudah terdengar maka
tentara/polisi Wahabi (Guth-guth) akan berpatroli ke seluruh kota Makkah sambil
membawa pemukul/cambuk. Jika ada yang tidak ikut berjamaah maka ia akan segera
dipukuli oleh lasykar tentara/polisi Wahabi itu.
9. Kubbah (gedung/bangunan untuk penutup kuburan) di atas tanah dimana Nabi
Muhammad SAW dilahirkan yaitu di Suq al Leil, diruntuhkan dan diratakan dengan
tanah. Termasuk pula Qubbah makam Siti Khadijah (isteri pertama Nabi) di Mu’ala
(Makkah).
10. Tidak boleh mengadakan perayaan Maulud Nabi (Kelahiran) pada setiap 12 Rabiul
Awal, hal itu adalah bid’ah.
11. Tidak boleh mengadakan perayaan Isra Mi’raj pada setiap 27 Rajab, hal itu adalah
bid’ah.
12. Tidak boleh berpergian untuk menziarahi makam Nabi Muhammad SAW yang ada di
Madinah. Ziarah yang diperbolehkan hanya untuk menziarahi Mesjid Nabawi dan
shalat didalamnya.
13. Dilarang berdoa di makam Nabi dengan menghadap kearah kubur Nabi, tetapi harus
berdoa menghadao kiblat Baitullah (Makkah) dan membelakangi kuburan Nabi SAW.
Oleh karena itu kaum Wahabi menggunakan tentara/polisi GuthGuth-nya untuk
memukul siapa saja peziarah yang mencoba mendekati pagar makam Nabi SAW.
Peziarah dari seluruh dunia hanya diperbolehkan mendekati pagar sejauh 2 meter.
14. Haram untuk berdoa dengan cara bertawassul, karena itu dianggap syirik.
15. Imam tidak membaca “bismillah” pada permulaan Fatihah dan juga tidak membaca
Qunut dalam shalat Subuh, tetapi shalat Tarawihnya sebanyak 20 rakaat.
16. Dilarang mengadakan majelis dzikir (wirid) yang membaca “la ilaaha illallah”
bersama-sama (berjamaah) sesudah shalat fardhu. Dalam ajaran Wahabi, wirid shalat
itu dilakukan sendiri-sendiri tidak bersama Imam.
17. Perbedaan I’itiqad yang sangat prinsipal dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah
ASWAJA WAHABI
Mengisap rokok (sigaret) adalah boleh Haram hukumnya untuk merokok, baik itu
(mubah) atau makruh dengan sigaret maupun merokok dengan
syisya (pipa isap), karena merokok itu
pekerjaan syetan.
a) Jawaban
Hadits secara umum tentang dianjurkannya untuk bersedekah dan pahalanya dikirimkan
kepada orang yang telah wafat.
َقاَل َفِإَّن ِلى. ِإَّن ُأَّم ُه ُتُو ِّفَيْت َأَيْنَفُع َها ِإْن َتَص َّد ْقُت َع ْنَها َقاَل َنَعْم.َع ِن اْبِن َعَّباٍس َأَّن َر ُج ًال َقاَل ِلَر ُسوِل ِهللا ص
ِم ْخ َر اًفا َو ُأْش ِهُد َك َأِّنى َقْد َتَص َّد ْقُت َع ْنَها
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Rasullah Saw:
“Wahai Rasul, ibu saya meninggal, apakah bisa bermanfaat jika saya bersedekah atas
nama beliau?” Rasulullah Saw menjawab: “Ya.” Lelaki itu berkata: “Saya memiliki
sebidang tanah, saksikanlah saya bersedekah atas nama ibu saya” (HR. Bukhori no. 2770)
Hadits yang menunjukkan bahwa yang bernilai sedekah itu bukan hanya ‘barang’ saja,
tapi juga termasuk bacaan Al Quran.
َياَر ُسوَل هللا َذ َهَب َأْهُل الُّد ُّثوِر بْاُألُجْو ِر ُيَص ُّلوَن َك َم ا ُنَص ِّلي َو َيُصوُم وَن َك َم ا َنُصوُم َو َيَتَص َّد ُقوَن.َقاُلوا للَّنِبِّي ص
ِبُفَض وِل َأْم َو اِلِه ْم َقاَل َأَو َلْيَس َقْد َجَعَل ُهللا َلُك ْم َم ا َتَص َّد ُقوَن ِإَّن ِبُك ِّل َتْس ِبْيَحٍة َص َد َقًة َو ُك ِّل َتْك ِبْيَرٍة َص َد َقًة َو ُك ِّل َتْح ِم ْيَدٍة
َص َد َقًة َو ُك ِّل َتْهِلْيَلٍة َص َد َقًة
“Dari Abu Dzar ra., ada beberapa sahabat bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah,
orang-orang yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka
shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah
dengan kelebihan harta mereka. Nabi saw. menjawab, “Bukankah Allah Swt. telah
menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu
tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid
adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah.” (HR. Muslim no. 1674)
Hadits secara khusus dimana Nabi Muhammad saw. menganjurkan untuk membaca Al
Quran untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah wafat.
َح َّد َثِني َع ْبُد الَّرْح َمِن ْبُن اْلَع َالِء ْبِن الَّلْج َالِج َع ْن َأِبْيِه َقاَل َقاَل ِلي َأِبي َيا َبِنَّي ِإَذ ا َأَنا ُم ُّت َفَأْلِح ْد ِني َفِإَذ ا َو َض ْعَتِني ِفي َلْح ِد ي
َفُقْل ِبْس ِم ِهللا َو َع َلى ِم َّلِة َر ُسْو ِل ِهللا ُثَّم ِس َّن َع َلَّي الَّثَر ى ِس ًّنا ُثَّم اْقَر ْأ ِع ْنَد َر ْأِس ي ِبَفاِتَح ِة اْلَبَقَرِة َو َخ اِتَم ِتَها َفِإِّنْي َسِم ْع ُت َر ُسْو َل
َيُقْو ُل َذ ِلَك.ِهللا ص
“Dari Abdurrahman bin ‘Ala’ dari bapaknya, beliau berkata, “Ayahku berkata kepadaku :
Jika aku mati, maka buatkan liang lahat untukku. Setelah engkau masukkan aku ke liang
lahat, bacalah Bismillâh wa ‘alâ millati rosûlillâh. Kemudian ratakanlah tanah kubur
perlahan, lalu bacalah di dekat kepalaku permulaan dan penutup surat al-Baqarah. Sebab
aku mendengar Rasulullah bersabda demikian.” (HR al Thobroni dalam al Mu’jam al-
Kabir no. 15833)
)3/66 َو ِر َج اُلُه ُمَو َّثُقْو َن (مجمع الزوائد ومنبعالفوائد للحافظ الهيثمي
َيُقْو ُل ِإَذ ا َم اَت َأَح ُد ُك ْم َفَال َتْح ِبُسْو ُه َو َأْس ِرُع ْو ا ِبِه ِإَلى َقْبِر ِه.َع ِن اْبِن ُع َم َر َرِض َي ُهللا َع ْنُهَم ا َقاَل َسِم ْع ُت َر ُسْو َل ِهللا ص
َو ْلُيْقَر ْأ ِع ْنَد َر ْأِسِه ِبَفاِتَحِة اْلِكَتاِب َوِع ْنَد ِر ْج َلْيِه ِبَخ اِتَم ِة ُسْو َرِة اْلَبَقَرِة ِفي َقْبِر ِه (رواه الطبراني في الكبير
)449 / 4 وتاريخ يحي بن معين9294 والبيهقي في الشعب رقم13613 رقم
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:
Jika ada diantara kalian yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, (bahkan) segeralah
dimakamkan. Dan hendaklah dibacakan pembuka al-Quran (Surat al-Fatihah) di dekat
kepalanya dan penutup surat al-Baqarah didekat kakinya di (atas) kuburnya.” (HR al
Thobroni dalam Al Mu’jam al-Kabir no. 13613, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no.
9294)
)184 / 3 َفَال َتْح ِبُسْو ُه َو َأْس ِر ُع ْو ا ِبِه ِإَلى َقْبِر ِه َأْخ َر َج ُه الَّطْبَر اِني ِبِإْسَناٍد َح َس ٍن (فتح الباري البن حجر
Hadits tentang mempercepat mayit kekubur tersebut diriwayatkan oleh Imam Thobroni
dengan sanad yang hasan (Fath al-Bari syarh shohih bukhori III/184)
b) Jawaban
Para ulama membagi dua bentuk talqin. Yakni talqin yang dilakukan pada saat sakarat al-
maut. Kedua adalah talqin yang dikerjakan pada saat pemakaman jenazah. Kedua jenis
talqin tidak bertentangan dengan syari’at islam, bahkan dianjurkan oleh Nabi SAW.
Mengenai bentuk talqin pada orang yang akan meninggal dunia, Imam Nawawi
menuturkan dalam Fatawi al-Imam al-Nawawi:
َتْلِقْيُن اْلُم ْح َتِض ِر َقْبَل اْلَغْر َغ َرِة اَل ِاَلَه ِااَّل ُهللا ُس َّنٌة ِلْلَحِد ْيِث ِفي َص ِح ْيِح ُم ْس ِلٍم َو َغْيِر ِه ” ِلِّقُنْو ا َم ْو َتا ُك ْم اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهللا”َو اْسَتَح َّب
)٨٣(فتاوى اال مام النووي ص. َو َلْم َيْذ ُك ِر اْلُج ْم ُهْو ُر. ُمَحَّم ٌد َر ُسْو ُل ِهللا صلى هللا عليه وسلم:َج َم اَع ٌة ِم ْن َاْص َح ا ِبَنا َم َعَها
“Mentalqin (membimbing untuk membaca kalimat tauhid) orang yang akan meninggal
dunia sebelum nafasnya sampai di tenggorokan itu disunnahkan . Berdasarkan Hadist
yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya, “Talqinkanlah orang yang akan mati
di antara kamu dengan ucapan la’ilaha illa Allah”. Sekelompok sahabat Imam Syafi’i
menganjurkan (agar bacaan tersebut) ditambah dengan ucapan Muhammad al-
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun mayoritas ulama mengatakan tidak
perlu ditambah dengan ucapan tersebut.” (Fatawi al-Imam al-Nawawi, 83)
Sedangkan talqin yang dilaksanakan ketika mayit baru dikuburkan, juga disunnahkan.
Sebagaimana yang disampaikan Imam Nawawi dalam al-Adzkar:
َو َاَّم ا َتْلِقْيُن اْلَم ِّيِت َبْع َد الَّد ْفِن َفَقْد َقاَل َج َم اَع ٌة َو َك ِثْيٌر ِم ْن َاْص َح ا ِبَنا ِبا ْس ِتْح َبا ِبِه َوِمَّم ْن َنَّص َع َلى اْس ِتْح َبا ِبِه اْلَقا ِض ى ُح َس ْيٌن
ِفْي َتْع ِلْيِقِه َو َص ا ِح ُبُه َأُبْو َسِع ْيٍد َاْلُم َتَو ِّلْي ِفْي ِكَتاِبِه الَّتِتَّمِة َو الَّشْيُخ اِإْلَم اُم َأُبْو اْلَفْتِح َنْص ُر ْبُن ِاْبَر اِهْيَم َاْلَم ْق ِد ِس ُّي َو اِإْلَم اُم َأُب ْو
) ٢٠٦(األذكا النو ويةص.اْلَقا ِس ِم َالَّراِفِع ُّي َو َغْيُر ُهْم َو َنَقَلُه َاْلَقا ِض ْي ُح َس ْيٌن َع ِن اَأْلْص َح اِب
“Membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Ini adalah
pendapat sekelompok ulama serta mayoritas ulama syafi’iyyah. Ulama yang mengatakan
kesunnahan ini di antaranya adakah Qadli Husain dalam Kitab Ta’liq-nya, sahabat
beliau yang bernama Abu Sa’d al-Mutawalli dalam kitabnya al-Tatimmah, Syaikh Imam
Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, al-Imam Abu al-Qasim al-Rafi’i, dan lainnya.
Al-Qadhi Husain menyitir pendapat ini dari kalangan syafi’iyyah.”(Al-Adzkar, al-
Nawawiyyah, 206)
Kesunnahan ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abi
Umamah:
.َع ْن َأِبْي َأَم اَم َة َرِض َي ُهللا َع ْنُه َقاَل ِإَذ ا َأَنا ُم ُّت َفاْص َنُعْو ا ِبي َك َم ا َأَم َر َنا َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلي ِهللا َع َلْيِه َو َس َّلْم َأْن َنْص َنَع ِبَم ْو َتاَن ا
َأَم َر َنا َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلي ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلْم َفَقاَل ِإَذ ا َم اَت َأَح ٌد َم ْن ِإْخ َو اِنُك ْم َفَسَّو ْيُتُم الُّتَر اَب َع َلى َقْبِر ِه َفْلَيُقْم َاَح ٌد َع َلى َر ْأِس َقْب ِر ِه
ُثَّم َيُق ْو ُل َي اُفاَل ُن ْبُن ُفَاَلَن َة. َياُفاَل ُن اْبُن ُفَاَلَنَة َفِاَّنُه َيْس َم ُعُه َو اَل ُيِج ْيُب ُثَّم َيُقْو ُل َياُفاَل ُن ْبُن ُفاَل َنَة َفِإَّن ُه َيْس َتِو ى َقاِع ًدا: ُثَّم ِلَيُقْل
َاْر ِش ْد َنا َيْر َحْم َك ُهللا َو َلِكْن اَل َتْش ُعُرْو َن َفْلَيُقْل ُأْذ ُك ْر َم اَخ َر ْج َت َع َلْيِه ِم َن الُّد ْنَيا َش َهاَد َة َأْن اَل ِإَل َه ِإاَّل ُهللا َو َأَّن ُمَحَّم ًدا:َفِإَّنُه َيُقْو ُل
َع ْبُد ُه َو َر ُسْو ُلُه َو َأَّنِّك َرِض ْيَت ِباِهلل َر ًّبا َو ِباِإْل ْس اَل ِم ِد ْيًنا َو ِبُمَحَّمٍد َنِبَّيا َو ِباْلُقْر َأِن ِإَم اًم ا َفِإَّن ُم ْنَك ًرا َو َنِكْيًرا َيْأُخ ُذ ُك َّل َو اِحٍد ِم ْنُهَم ا
َفَقاَل َر ُجٌل َياَر ُسْو ُل ِهللا َفِإْن َلْم ُيْع َر ْف ُأُّم ُه؟َق اَل َيْنُس ُبُه ِإَلى. َو َيُقْو ُل ِاْنَطِلْق ِبَنا َم ا ُيْقِع ُدَنا ِع ْنَد َم ْن َقْد ُلِّقَن ِح َّج ُتُه.ِبَيِد َص ا ِح ِبِه
)(رواه الطبراني. َياُفاَل ُن ْبُن َح َّواَء: ُأِّمِه َح َّواَء
“Dari Abi Umamah RA, beliau berkata, “Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka
perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang yang
wafat di antara kita. Rasulullah SAW memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika di
antara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya,
maka hendaklah salah satu di antara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu
seraya berkata, “Wahai Fulan bin Fulanah”. Orang yang berada dalam kubur pasti
mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian
(orang yang berdiri di kuburan ) berkata lagi ,”Wahai Fulan bin Fulanah”, ketika itu
juga si mayit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang berada di atas kuburan
itu berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka si mayit berucap, “Berilah kami
petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat kepadamu”. Namun kamu tidak
merasakan ( apa yang aku rasakan disini). (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri
diatas kuburan itu berkata, “Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta
Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan
Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-
Qur’an sebagai imam(penuntun jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat
Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali,
apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu
Umamah kemudian berkata, “Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah SAW.”Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal
ibunya?”Rasulullah menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa,
“Wahai Fulan bin Hawa.”(HR. Thabarani)
Memang, mayoritas ulama mengatakan bahwa Hadits tentang talqin ini termasuk Hadits
Dha’if, karena ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan
Hadits. Namun dalam rangka fadha’il al-a’mal, Hadits ini dapat digunakan. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Sayyid ‘Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani:
َو ْالَحِد ْيُث َو ِاْن َك اَن َضِع ْيًفا ُيْع َم ُل ِبِه ِفي َفَض اِئِل اَاْلْع َم اِل ُخ ُصْو ًصا َو َقْد اْنَد َر َج َتْح َت َاْص ٍل ُك ِّلٍّي َو ُه َو َنْف ُع ْالُم ْؤ ِم ِن َاَخ اُه
)١١١ ص، (مجموع فتاوى ور سا ئل. َو َتْذ ِكْيُر ُه َفِاَّن الِّذ ْك َر ى َتْنَفُع اْلُم ْؤ ِمِنْيَن
“Sekalipun Hadits tentang talqin itu merupakan Hadits Dha’if, namun dapat diamalkan
dalam rangka fadhail al-a’mal. Lebih – lebih karena Hadist itu masuk pada ketegori
prinsip yang universal, yakni usaha seorang mukmin untuk memberi (dan membantu)
saudaranya, serta untuk memperingatkannya karena peringatan itu akan dapat
bermanfaat kepada orang mukmin.” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 111)
c) Jawaban
Tahlilan merupakan kegiatan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an dan kalimat
thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir), di mana pahala bacaan tersebut dihadiahkan
untuk para arwah (mayit) yang disebutkan oleh pembaca atau oleh pemilik hajat. Tahlilan
biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu, seperti tujuh hari berturut-turut dari
kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya. Tahlilan juga sering
dilaksanakan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam tertentu lainnya. Setelah
tahlilan, biasanya pemilik hajat akan memberikan hidangan makanan untuk dimakan di
tempat atau dibawa pulang.
Dengan demikian, inti tahlilan adalah: Pertama, menghadiahkan pahala bacaan Al-
Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Kedua, mengkhususkan bacaan itu pada
waktu-waktu tertentu, yaitu tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40,
ke-100, dan sebagainya. Ketiga, bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan
untuk peserta tahlilan. Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama terkait ketiga masalah
tersebut?
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an
dan kalimat thayyibah kepada mayit. Pertama, ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama
mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan,
menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit
hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit. Syekh Az-Zaila’i dari
mazhab Hanafi menyebutkan:
َص اَل ًة َك اَن َأْو َص ْو ًم ا َأْو َح ًّج ا َأْو َص َد َقًة َأْو ِق َر اَء َة، ِع ْنَد َأْهِل الُّس َّنِة َو اْلَج َم اَع ِة،َأَّن اِإْل ْنَس اَن َلُه َأْن َيْج َعَل َثَو اَب َع َم ِلِه ِلَغْيِر ِه
َوَيِص ُل َذ ِلَك إَلى اْلَم ِّيِت َو َيْنَفُعُه،ُقْر آٍن َأْو اَأْلْذ َك اَر إَلى َغْيِر َذ ِلَك ِم ْن َجِم يِع َأْنَو اِع اْلِبِّر
Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut
pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan
Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada
mayit dan bermanfaat baginya. (Lihat: Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh
Kanzud Daqaiq, juz 5, h. 131).
َو َحَصَل ِلْلَم ِّيِت َأْج ُر ُه، َج اَز َذ ِلَك، َو َأْهَدى َثَو اَب ِقَر اَءِتِه ِلْلَم ِّيِت،َو ِإْن َقَر َأ الَّرُجُل
Jika seseorang membaca Al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit,
maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada mayit. (Lihat:
Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir,
juz 4, h. 173).
Senada dengan kedua ulama di atas, imam Nawawi dari mazhab Syafi’i menuturkan:
ُّد َعاُء ِبَم اÇ َو اَألْفَض ُل َأْن َيُك ْو َن الَّساَل ُم َو ال، َو َيْدُع ْو ِلَم ْن َيُز ْو ُر ُه َو ِلَجِم ْيِع َأْهِل اْلَم ْقَبَرِة، َو ُيْسَتَح ُّب ِللَّز اِئِر َأْن ُيَس ِّلَم َع َلى اْلَم َقاِبِر
َو َيْد ُعو َلُهْم َع ِقَبَها، َو ُيْسَتَح ُّب َأْن َيْقَر َأ ِم َن اْلُقْر آِن َم ا َتَيَّس َر،َثَبَت ِفي اْلَحِد ْيِث
Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni)
kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa
lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu
pula, disunnahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an, dan berdoa untuk mereka
setelahnya. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 311).
َو َأَداُء، َو الَّص َد َقُة، َو ااِل ْس ِتْغ َفاُر، ُّد َعاُءÇ َأَّم ا ال. إْن َش اَء ُهَّللا، َنَفَع ُه َذ ِل َك، َو َجَع َل َثَو اَبَه ا ِلْلَم ِّيِت اْلُم ْس ِلِم،َو َأُّي ُقْر َب ٍة َفَع َلَه ا
َفاَل َأْعَلُم ِفيِه ِخ اَل ًفا،اْلَو اِج َباِت
Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada mayit
muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar, sedekah,
dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat (akan
kebolehannya). (Lihat: Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni,
juz 5, h. 79).
َو َأَّم ا اْلِقَر اَء ُة َو الَّصَد َقُة َو َغْيُر ُهَم ا ِم ْن َأْع َم اِل اْلِبِّر َفاَل ِنَز اَع َبْيَن ُع َلَم اِء الُّس َّنِة َو اْلَج َم اَع ِة ِفي ُو ُصوِل َثَو اِب اْلِعَب اَداِت اْلَم اِلَّي ِة
َو َتَناَز ُعوا ِفي. َك َم ا َيِص ُل إَلْيِه َأْيًضا الُّد َعاُء َو ااِل ْس ِتْغ َفاُر َو الَّص اَل ُة َع َلْيِه َص اَل ُة اْلِج َناَز ِة َو الُّد َعاُء ِع ْنَد َقْبِر ِه،َك الَّصَد َقِة َو اْلِع ْتِق
َو الَّص َو اُب َأَّن اْلَجِم يَع َيِص ُل إَلْيِه. َك الَّصْو ِم َو الَّص اَل ِة َو اْلِقَر اَءِة،ُو ُصوِل اَأْلْع َم اِل اْلَبَد ِنَّيِة
Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya, berupa amal-amal kebaikan, maka tidak
ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah akan sampainya pahala
ibadah harta, seperti sedekah dan pembebasan (memerdekakan budak). Sebagaimana
sampai kepada mayit juga, pahala doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di samping
kuburannya. Para ulama berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti
puasa, shalat, dan bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai kepada
mayit. (Lihat: Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, juz 24, h.
366).
Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Al-Qur’an
dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan.
Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis:
اْلَم ْذ َهُب َأَّن اْلِقَر اَء َة اَل َتِص ُل ِلْلَم ِّيِت َح َك اُه اْلَقَر اِفُّي ِفي َقَو اِع ِدِه َو الَّش ْيُخ اْبُن َأِبي َجْمَر َة: َقاَل ِفي الَّتْو ِض يِح ِفي َباِب اْلَح ِّج
Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji: Pendapat yang
diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit.
Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi
Jamrah. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas
Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).
Dari paparan di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan bacaan
Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab
Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali,
dan Syekh Ibnu Taimiyyah membolehkannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki
yang lain melarangnya.
2. Hukum mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat
thayyibah.
َو َك اَن َع ْب ُد. َك اَن الَّنِبُّى َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيْأِتْي َم ْس ِج َد ُقَباٍء ُك َّل َس ْبٍت َم اِش ًيا َو َر اِكًبا: َع ِن اْبِن ُع َم َر َرِض َي ُهللا َع ْنُهَم ا َقاَل
ِهَّللا َر ِض َي ُهللا َع ْنُهَم ا َيْفَع ُلُه.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu
mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara.
Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma juga selalu melakukannya.
Mengomentari hadits tersebut, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, hadits ini
menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk
melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya. (Lihat: Ahmad bin Ali bin Hajar al-
Asqalani, Fathul Bari, juz 4, h. 197).
Artinya, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian
seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat, atau malam lainnya untuk
membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, hukumnya boleh.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tahlilan diperbolehkan dalam Islam, sebab
mayoritas ulama menegaskan kebolehan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan
kalimat thayyibah kepada mayit, sebagaimana mereka menyatakan kebolehan
mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah.
“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya
dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya
dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari
dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017).
Dari hadist di atas, kita umat Islam diberi ruang oleh Allah swt untuk bisa membuat
gagasan, pendapat atau sesuatu hal yang baru dengan syarat hal baru tersebut baik dan
tidak bertentangan dengan syariat.
Rasulullah memperbolehkan karena Beliau tahu bahwa umatnya kelak akan berada pada
zaman yang terus berkembang sehingga pasti akan menghadapi tantangan hidup yang
berbeda pula (berbeda dari zaman nabi).
Seorang ulama besar, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi, menjelaskan perihal bid’ah. Beliau
mengatakan
َو ُي َذ ُّم ِم َن، َوِإَّنَم ا ُي َذ ُّم ِم َن الِبْد َع ِة َم ا ُيَخ اِلُف الُّس ـَّنَة،َلْيَس ْت الِبْد َع ُة َو اْلُم ْح َد ُث َم ْذ ُم ْو َم ْيِن ِلَلْفِظ ِبْد َعٍة َوُم ْح َدٍث َو َال َم ْعَنَيْيِهَم ا
اْلُم ْح َد َثاِت َم ا َدَعا ِإَلى الَّض َالَلِة.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara
bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan
Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang
tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Nah, sekarang sudah pada tahu kan? bahwa bid’ah itu dua macam yaitu bid’ah hasanah
(baik) dan bid’ah dholalah (tercela).
a. Bid’ah Hasanah
Bid’ah hasanah adalah bid’ah yang baik dan tidak melanggar syariat Islam. Agar lebih
jelasnya, mari kita simak penjelasan oleh Ulama salaf dan ahli hadist terkait bid’ah.
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang
menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau
dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru
semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan
tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini
tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab
Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469)
َفَم ا َو اَفَق الُّس ـَّنَة َفُهَو َم ْح ُم ْو ٌد َو َم ا َخ اَلَفَها َفُهَو َم ْذ ُم ْو ٌم، ِبْد َع ٌة َم ْح ُم ْو َد ٌة َو ِبْد َع ٌة َم ْذ ُم ْو َم ٌة: َاْلِبْد َع ُة ِبْد َعَتاِن.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang
sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah
bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
َو َجَع ْلَنا ِفي ُقُلوِب اَّلِذ يَن اَّتَبُعوُه َر ْأَفًة َو َر ْح َم ًة َو َر ْهَباِنَّيًة اْبَتَدُعوَها َم ا َك َتْبَناَها َع َلْيِهْم ِإاَّل اْبِتَغاَء ِر ْض َو اِن ِهَّللا
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa
santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami
tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-
adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Dari ayat Al Qur’an di atas, Allah swt memuji umat Nabi Isa as terdahulu yang
melakukan bid’ah hasanah untuk mencari keridhaan Allah.
Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah karena Rasulullah
tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
)ِإَّنَها ُم ْح َد َثٌة َوِإَّنَها َلِم ْن َأْح َس ِن َم ا َأْح َد ُثْو ا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu
perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad
yang Shahih)
Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa’ah ibn
Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di
belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca:
“Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
َر َّبَنا َو َلَك اْلَحْم ُد َحْم ًدا َك ِثْيًرا َطِّيًبا ُمَباَر ًك ا ِفْيِه
Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-
kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah…”. Lalu
Rasulullah berkata:
َر َأْيُت ِبْض َع ًة َو َثَالِثْيَن َم َلًك ا َيْبَتِد ُرْو َنَها َأُّيُهْم َيْكُتُبَها َأَّوَل
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama
mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang
menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak
ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
Banyak sekali ayat Al Qur’an, hadist, perilaku para sahabat, pendapat ulama salaf, ulama
fiqh maupun ulama hadist yang membolehkan umat Islam untuk melakukan bid’ah
hasanah (baik).
Adapun contoh bid’ah hasanah antara lain penjilitan Al Qur’an-Hadist, Shalat Sunnah
dua raka’at sebelum dibunuh, tawaf, bermain musik rebana, nonton televisi, handphone,
internetan dll.
Di Indonesia, banyak sekali budaya-budaya peninggalan agama Hindu dan Budha yang
kemudian dirubah oleh wali songo sehingga menjadi budaya Islam seperti kenduri atau
pengajian akbar malam jum’at kliwon.
Contoh lain bid’ah hasanah yaitu mengadakan maulud Nabi, shalawatan, acara takjilan,
acara reuni sekolah, sepak bola dll. Semua ini terdapat unsur barunya yang tidak ada di
zaman Nabi, tapi tidak bertentangan dengan syariat Islam.
b. Bid’ah Dhalalah
Bid’ah dhalalah (tercela) merupakan bid’ah yang buruk dan melanggar syariat Islam.
Adapun dalilnya sudah kita bahas di awal halaman ini. Nah, sekarang contoh bid’ah
dhalalah antara lain mengharamkan yang tidak diharamkan oleh Allah, pengingkaran
terhadap ketentuan (Qadar) Allah, mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan
dosa besar dll.