ASWAJA
Dosen Pengampu :
Hasmar Husein, M. Pd
Disusun
O
L
E
H
Latifah Hasyim
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
DAPTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAPTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
A. Pengertian Ahlisunnah Waljaah secara Bahasa dan Istilah .............................
B. Perbedaan Ahlisunnah Waljaah dengan An-Nahdiyah.....................................
C. Perbedaan Ahli Sunnah dengan Paham- Paham Yang Lain.............................
D. Amalan-Amalan Aswaja An-Nahdiyah
BAB III PENUTUP..................................................................................................
A. Kesimpulan.......................................................................................................
DAPTAR PUSTAKA...............................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara harfiah Ahlusunnah wal Jama’ah berarti penganut sunnah Nabi
Muhammad saw dan jama’ah (para sahabat) atau segolongan pengikut sunnah Rasulullah
saw yang didalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di garis yang dipraktekkan
oleh jama’ah (para sahabat).
Lahirnya Aswaja tidak bias dilepaskan dari munculnya pergolakan firqoh-firqoh
dalam Islam wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw wafat peran sebagai
kepala Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin
yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan
antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu.
Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu
menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah
teologis.
Pada makala ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Lahirnya Aswaja yang
meliputi Perbedaan Ahlus -Sunnah wal-Jama’ah dengan An-Nahdliyah, Mengenai
perbedaan Aswaja dengan paham-paham yang lain.
Rumusan Masalah
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam
yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat,
akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan
pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis.1
6
b. Menjumbuhkan hal yang bertentangan seperti antara free act-free will Qadariyah
Mu’tazilah dengan determinisme Murji’ah-Jabariyah;
c. Tasamuh (toleran) atau tidak gampang mengafirkan sekte.lain;
d. Tawazun (berkesimbangan);
e. I’tidal (menegakkan keadilan)
f. Tawassut (moderat).
Waktu itu, yang sejatinya parpol diagamakan. Contoh, ada Qadariyah yang anti
Mu’awiyah dan memegangi de yure khalifah Ali Bin Abi Thalib. Menanggapi
sikap Murji’ah yang pasrah kepada Mu’awiyah yang mereka pandang bughat, Qadariyah
berdalil: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu
ت ِّم ۢ ْن بَ ْي ِن يَ َد ْي ِه َو ِم ْن خَ ْلفِ ٖه يَحْ فَظُوْ نَهٗ ِم ْن اَ ْم ِر هّٰللا ِ ۗاِ َّن هّٰللا َ اَل يُ َغيِّ ُر َما بِقَوْ ٍم َح ٰتّى يُ َغيِّرُوْ ا َما بِا َ ْنفُ ِس ِه ۗ ْم َواِ َذٓا اَ َرا َد
ٌ لَهٗ ُم َعقِّ ٰب
هّٰللا ُ بِقَوْ ٍم س ُۤوْ ًءا فَاَل َم َر َّد لَهٗ ۚ َو َما لَهُ ْم ِّم ْن ُدوْ نِ ٖه ِم ْن َّوا ٍل
Artinya: “Baginya (manusia) ada ( malaikat-malaikat) yang menyertainya secara
bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa
yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum,
tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain
Dia”.3
Selanjutnya, Qadariyah bersimbiosa dengan Mu’tazilah. Sesungguhnya Murji’ah itu
netral, tetapi atas dasar dar’ul mafaasid mereka mendukung de facto Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Ia menggelontori uang dan amalan zikir. (QS 3; 26-7).
َ َّك ِم َّم ْن تَ َش ۤا ۖ ُء َوتُ ِع ُّز َم ْن تَ َش ۤا ُء َوتُ ِذلُّ َم ْن تَ َش ۤا ُء ۗ بِيَ ِدكَ ْالخَ ْي ُر ۗ اِن
ك ع َٰلى ُكلِّ َش ْي ٍء ’ُ تُْؤ تِى ْال ُم ْلكَ َم ْن تَ َش ۤا ُء َوتَ ْن ِز
َ ع ْال ُم ْل
قَ ِديْر
Artinya: “Ya Allah, Engkaulah Rajanya seluruh raja. Engkau berikan kekuasaan
kepada orang yang Engkau kehendaki” (baca=Muawiyah)”. (QS 3; 26-7).
3
7
Pada era dinasti Amawiyah yang menjadikan orang non Arab sebagai warga kelas dua
dalamsektor politik, sosial dan ekonomi(Prof Syamruddin Nasution, 2019).
Maka doktrin Aswaja yang dipegangi Al-Amin (Arab) kemudian digantikan oleh
adiknya, Al-Makmun (Ibu dari Iran)yang Mu’tazilah, langsung didelegitimasi oleh Imam
Ahmad bin Hanbal via doktrin Makmun tentang kemakhlukan al-Quran-nya.Itulah sebabnya,
sisa kaum Nashibi (fanatis Mu’awiyah) di Saudi Wahabi yang sangat anti Rafidhi (kaum
fanatis Sayidina Ali-Syi’ah-Iran), melanjutkan permusuhan itu hingga abad ke-15 H, yang
kini ingin berdamai
Kaum Salafi-Wahabi yang tidak diakui oleh Muktamar Aswaja Internasional di
Chechnya 2016 karena doktrin takfirnya yang neo khawarij, tetap mengklaim sebagai Ahlus-
Sunnah wal-Jama’ah sebagai perang terminologis. Para pendakwah Salafi-Wahabi Indonesia
juga tak malu mengklaim Aswaja, meskipun nomenklatur itu bias dengan Aswaja yang eksis
di Indonesia dan dunia.
Dengan adanya klaim dari Ja’far Umar Talib, Dr Firanda Adirja, Yazid Jawas dan
lainnya, maka Aswaja kuno dari Salafus-Shalih yang hidup di seluruh dunia, untuk Indonesia
menamakan diri Aswaja An-Nahdhiyah. Wallahu a’lam bi al-shawab.4
a) Hubungan NU & Aswaja
Nahdlatul ‘Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan
dengan tanggal 31 Januari 1926 M oleh para ulama pengasuh pesantren yang didalam
komunitas Islam mempunyai kesamaan wawasan, pandangan, sikap dan tata cara
pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam Ahlus sunnah wal jama’ah.
Paling tidak ada tiga faktor yang melatarbelakangi berdirinya Nahdlatul ‘Ulama
yaitu:
1. Usaha untuk mempertahankan faham Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan rasa cinta
tanah air (untuk Persatuan dan Kesatuan).
2. Berkembangnya Ajaran wahabiyah (haram Ziarah kubur, tidak mengakui
waliyullah, haram Tahlilan, berdoa langsung pada Allah, Haram Dhiba’/Berjanzi,
Haram shodaqoh untuk orang yang telah meninggal, dsb).
3. Ketiga, Berdirinya Komite Hijaz. Besarnya pengaruh kyai/ulama melalui lemba
8
pendidikan pesantren mengakibatkan Nahdlatul ‘Ulama mudah berkembang
dengan pesat, khususnya di daerah basis pesantren.
Sebagai Jam’iyyah Diniyah yang bermotif keagamaan dan berlandaskan keagamaan,
segala sikap, perilaku, dan karakteristik perjuangan Nahdlatul ‘Ulama selalu disesuaikan dan
diukur dengan norma dan ajaran agama Islam Ahlus sunnah wal jama’ah, serta bercita-cita
keagamaan yakni Izzul Islam Wal Muslimin atau dengan kata lain tercapainya Sa’adatud
darain bagi umat dan warganya.
Sejak awal Nahdlatul ‘Ulama menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlusunnah
wal Jama’ah, sebuah paham keagamaan yang bersumber pada Al Qur’an, As sunnah, Al
Ijma’, dan Al Qiyas.
Secara harfiah Ahlusunnah wal Jama’ah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad saw
dan jama’ah (para sahabat) atau segolongan pengikut sunnah Rasulullah saw yang didalam
melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di garis yang dipraktekkan oleh jama’ah (para
sahabat).
Menurut NU, faham Ahlusunnah wal Jama’ah tidak dapat dipisahkan dari haluan
bermadzhab, sebagaimana ditegaskan dalam Naskah Khittah NU pada butir 3 sebagai
berikut :
a. Nahdlatul ‘Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al
Qur’an, As-Sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas.
Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber ajarannya, Nahdlatul ‘Ulama
mengikuti faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan al-Madzhab
yaitu:
1. Bidang aqidah, Nahdlatul ‘Ulama mengikuti faham Ahlusunnah wal Jama’ah yang
dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi.
2. Bidang hukum Islam (fiqih), Nahdlatul ‘Ulama mengikuti jalan pendekatan (al Madzhab)
salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
3. Bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al
Ghazali, serta imam-imam yang lain.5
b) Aswaja sebagai Mazhab
9
Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi,
atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang
diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi
mempertanyakan keabsahannya.
Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa
yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam
kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren
Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas
doktrin Aswaja.
Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan
melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus)
mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa
mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti
Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.
Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja
dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren
dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan
normatif Aswaja.
Beberapa hadits (meski dho’if)dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda
dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih
detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat
qabliyah Jumat,penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya. Itu hanya salah
sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya,
kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru
atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah
daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru
dalam memahami agama.6
10
c) Reformulasi Aswaja Sebagai Manhajul Fikr dan Manhajul Amaly
KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah
Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup
semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga
keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara
proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan sebuah
manhaj al-fikr (pendekatan berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya,
yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif Netra
l dalam menyikapi situasi politik ketika itu.
Namun harus diakui bahwa kelahiran Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr
tidak terlepas dari pengaruh tuntutan realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang
melingkupinya.
Dalam merespon berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan
keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul ‘Ulama memiliki manhaj Ahlusunnah wal
Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir Nahdlatul ‘Ulama (Fikrah Nahdliyah).
Adapun ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah antara lain :
1. Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa bersikap
tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan.
2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul ‘Ulama dapat hidup
berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara piker,
dan budayanya berbeda.
3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul ‘Ulama selalu
mengupayakan perbaikan menuju kearah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa al
ashlah).
4. Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa
melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa
menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan
oleh Nahdlatul ‘Ulama.7
11
Konsep Fikrah Nahdliyah itulah yang menyebabkan Nahdlatul ‘Ulama nampak
sebagai organisasi sosial keagamaan yang sangat moderat, toleran, dinamis, progressif dan
modern. Secara konseptual sebenarnya pola pikir Nahdlatul ‘Ulama tidak tradisionalis,
ortodok, ataupun konservativ, hal ini bisa kita lihat pada perkembangan intelektual di
lingkungan Nahdlatul ‘Ulama khususnya kaum muda Nahdlatul ‘Ulama yang menunjukkan
kecenderungan radikal dalam berpikir dan moderat dalam bertindak sebagaimana laporan
penelitian Mitsuo Nakamura saat mengikuti Muktamar Nahdlatul ‘Ulama Ke-26 di
Semarang (1979), demikian pula Martin Van Bruinessen (1994).
Nahdlatul ‘Ulama berpendirian bahwa faham Ahlusunnah wal Jama’ah harus
diterapkan dalam tata kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap yang
bertumpu pada karakter Ahlusunnah wal Jama’ah (Manhajul Amaly).
Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan
karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan Nahdlatul ‘Ulama dalam
bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira Ummat yakni sebuah
gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan
pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain :
1. At-Tawassuth. Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua
kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta
menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan.
2. Al I’tidal. I’tidal berarti t\
3. egak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri. I’tidal juga berarti berlaku
adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela.
4. At-Tasamuh. Tasamuh berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan
menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian
dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun
masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
5. At-Tawazun. Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan
sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
6. Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong
berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta
12
mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan
dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.8
Berbeda dengan konsep aswaja sebagai manhaj al-fikr, yang belakangan
dikembangkan juga sebagai manhaj al-amal (pendekatan melakukan kegiatan), aswaja
diposisikan sebagai metode berpikir dan bertindak yang berarti menjadi alat (tools) untuk
mencari, menemukan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Sebagai alat, maka
sikap pro aktif untuk mencari penyelesaian menjadi lebih bersemangat guna melahirkan
pikiran-pikiran yang kreatif dan orisinil.
Dalam hal ini pendapat para ulama terdahulu tetap ditempatkan dalam kerangka
lintas-komparatif, namun tidak sampai harus menjadi belenggu pemikiran yang dapat
mematikan atau membatasi kreativitas.
Perubahan kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat dalam prosedur perumusan
hukum dan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama yang
menggunakan pola Maudhu’iyah (tematik) atau terapan (Qonuniyah) yang berbentuk
tashawur lintas disiplin keilmuan empiric dan Waqi’iyah (kasuistik) dengan pendekatan
tathbiq al-syari’ah dan metode takhayyur (eklektif).
Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli
zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Disamping itu NU menjadi sentral
gerakan dalam menjaga stabilitas sosial keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Menurut
Badrun (2000), terdapat lima ciri yang perlu diperhatikan dalam memosisikan aswaja
sebagai manhaj al-fikr atau manhaj al-amal :
a) Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk
mencari konteksnya yang baru;
b) Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly) menjadi
bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy);
c) Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang
cabang (furu’);
Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif; Melakukan
pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan
budaya.
13
Dalam upaya “Revitalisasi NU untuk masyarakat dan bangsa yang damai dan
berkeadilan bagi semua”, perlu upaya dan strategi yang terencana dan dapat diaplikasikan
secara efektif di semua tingkatan dengan tujuan dapat tercipta sebuah organisasi dan infra
struktur NU yang kuat dan mandiri. Upaya-upaya yang dilakukan meliputi:9
1. Perspektif umat, melakukan pemberdayaan warga nahdliyyin dan kelompok masyarakat
terpinggirkan melalui advokasi kebijakan publik pada level lokal, dan melakukan aksi-
aksi praktis pendampingan kelompok-kelompok warga pada tingkat local dan akar
rumput.
2. Perspektif finansial, melakukan revitalisasi Badan atau unit-unit usaha warga atau
organisasi NU, membangun kemitraan dengan berbagai pihak, pemerintah, swasta dengan
menerapkan manajemen keuangan yang professional, transparan dan akuntabel.
3. Perspektif organisasi, mengupayakan terciptanya tata laksana organisasi yang modern,
rasional, dan terpercaya dengan berbasis teknologi informasi dimana mekanisme,
pembinaan dan penguatan berjalan efektif dengan orientasi yang jelas pada kepentingan
warga;
4. Perspektif sumber Daya Manusia; mengupayakan terciptanya jaringan SDM multi
disiplin dan talenta yang berkualitas, kompeten, jujur, peduli dan konsisten dengan
semangat pengorbanan dan kesetiakawanan yang tinggi bagi tercapainya tujuan bersama.
14
3. Faham Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat,
bahwa manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata
dalam surga, orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat,
dan mi’raj Nabi Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dll. Kaum Mu’tazilah
terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Qadariyah.
4. Faham Murjiah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat
(kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika sudah beriman, sebaliknya membuat
kebaikan dan kebajikan tidak bermanfaat jika kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5
aliran.
5. Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah
makhluk, yaitu dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak
ada. Kaum Najariyah terpecah menjadi 3 aliran.
a. Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia “majbur”, artinya
tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya 1 aliran.
b. Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada keserupaan Tuhan
dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun tangga dll.
Kaum ini hanya 1 aliran saja. Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam golongan ini.
c. Kaum Wahabi adalah termasuk kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyah.
d. Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang sesat tadi, maka pada akhir abad ketiga
Hijriyah muncullah golongan yang yang bernama Ahlussunnah wal Jama’ah yang
dipelopori oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Sheikh Abu Hasan Ali
al-Asy’ari dan Sheikh Abu Mansur al-Maturidi.
e. Perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menjadi Ahlussunnah
saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asy’ariyah, dikaitkan
kepada guru besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.10
Ahlusunnah wal jama’ah berarti kaum atau golongan yang menganut serta
mengamalkan ajaran Islam yang murni sesuai ajaran Rosulullah SAW dan para
sahabatnya.
I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat itu telah terdapat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah
Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur, tetapi kemudian
10
15
dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu
Sheikh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.
Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah
dengan kaum Asya’irah. Dalam buku-buku Ushuluddin biasa dijumpai perkataan Sunni
sebagai kependekan dari Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut-pengikutnya dinamai
Sunniyun.
Di dalam buku ‘Ihtihaf Sadatul Muttaqin’ karangan Imam Muhammad bin Muhammad
al-Husni Az-Zabidi, yaitu buku Syarah dari Ihya Ulumuddin disebutkan bahwa apabila
disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya adalah orang-orang yang
mengikut rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Mansur al-Maturidi.
16
Khusus ziarah makam para wali sudah menjadi tradisi dan bahkan sekarang
sangat ramai sekali pengunjungnya. Biasanya ini dilakukan secara rombongan. Ziarah
ke makam para leluhur hampir tiap hari raya Idhul Fitri dan hari-hari tertentu yang
menjadi budaya mapan dikalangan warga NU.
3) Maulid Nabi
Untuk menunjukan kecintaannya pada Nabi Muhammad SAW, paling tidak pada
bulan kelahiran Nabi yaitu bulan Robiul Awwal banyak sekali kegiatan bernuansa
keagamaan dalam berbagai bentuk. Ada Maulid Diba’, Barzanji, pengajian dan lain
sebagainya dalam rangka merayakan Maulid Nabi. Oleh kelompok-kelompok tertentu,
kegiatan ini banyak dihujat karena dianggap tidak memiliki dassar yang kukuh atau tidak
pernah nabi laksankan semasa hidupnya.
4) Istighotsah
Istighotsah memiliki arti memohon pertolongan kepada Allah SWT. Oleh warga
NU biasanya dilaksanakan bersama-sama dalam satu majlis. PBNU juga pernah
melaksanakan istighosah dalam skala besar atau istilahnya istighosah kubro baik tingkat
daerah maupun tingkat Nasional.
5) Qunut
Cobalah anda shalat subuh disuatu tempat. Bila jamaah dalam tempat tersebut
membaca doa qunut dapat dipastikan itu adalah warga NU. Namun sebenarnya Qunut
itu dibagi menjadi 3:
a) Qunut Shubuh: Imam Syafii menyatakan bahwa qunut subuh dibaca berdasarkan
hadits dari Anas bin Malik.
b) Qunut Nazilah: Qunut ini dibaca warga ketika sedang menghadapi kesudahan baik
wabah penyakit, tantangan, bencana dan lain sebagainya.
c) Quntut Witir : Qunut ini baca pada rakaat terakhir dalam shalat witir pada malam
ke 16-30 pada bulan Romadhon.11
I. Talqin Mayit
Talqin mayit adalah tradisi amaliyah NU disaat ada saudaranya yang meninggal
dunia.Talqin berasal dari Bahasa Arab yang artinya memahamkan atau mengingatkan.
11
17
Talqin biasnya dibacakan dalam bahasa arab tapi sering juga dibacakan dalam Bahasa
Jawa.
Adapun tatacaranya orang yang menalqin berposisis duduk dihadapan kepala
mayit. Sedangkan para hadirin hendaknya berdiri, lalu salah seorang yang biasanya
menjadi pemua agama mulai membacakan talqin bagi si mayit.
II. Adzan 2 Kali dalam Shalat Jumat
Setiap menjelang sholat Jumat dimasjid-masjid NU, ada seorang laki-laki yang
berdiri sambil memegang tongkat. Setelah membacakan hadits Nabi yang berisi anjuran
kepada para Jama’ah dan kemudian dilakukan adzan yang kedua kalinya.
Praktek semcam ini meniru pada zaman Sahabat Utsman dan praktik semacam ini sama
dengan yang dipraktikan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
III. Tingkepan (Doa tujuh bulan kehamilan)
Acara ini berbentuk pembacaan doa dan pemberian sedekah dalam rangka tujuh
bulan masa kehamilan seorang wanita. Dan biasanya disela-sela acara dibacakan surat
Yusuf dan surat Maryam, dengan harapan agar anaknya akan lahir seganteng Nabi
Yusuf dan secantik Siti Maryam.
IV. Merujuk Kitab Kuning
Dan ini tradisi amaliyah NU yang paling penting, selain pada Al-Quran dan
Hadits, warga NU selalu berpegangan pada ulama salaf baik melalui kyai maupun
merujuk pada kitab kuning yang dianggap standard oleh para Ulama NU. Kitab kuning
ini biasanya ditulis dalam bahasa arab dan biasanya berbentuk tulisan arab tanpa harakat
(gundul).
Ini tidak lain karena tradisi para intelektual NU yang selalu berpegangan pada
sanad yang jelas serta kehati-hatian yang tinggi. Semua itu supaya pemahaman
agamanya tidak melenceng dari apa yang telah digariskan oleh para salafus shalih yang
sanadnya jelas tersambung hingga Nabi Muhammad SAW.
Itulah tradisi amalan NU yang umum dilakukan dimasyarakat. Bagi kita warga
Nahdliyin jangan pernah ragu jangan pernah gentar untuk mengaku sebagai warga NU.
Selain dibimbing oleh kyai-kyai yang mumpuni, panutan kita ulama-ulama NU
18
memiliki sanad yang jelas tersambung sampai Rasulullah SAW sehingga amaliyah kita
terjaga kemurniannya. Wallahu’alam Bisshawab.12
Pengantar Aswaja adalah aliran keagamaan yang diikuti oleh mayoritas umat Islam
Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Aswaja NU terkenal dengan nama Aswaja
Nahdliyah, yaitu Aswaja yang menjadi keyakinan dan dasar utama bagi warga NU dalam
semua bidang, agama, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, dan politik. Namun sayang,
mayoritas warga NU belum memahami secara mendalam apa itu Aswaja ?, apa yang
membedakan Aswaja dengan aliran lain ?, dalil-dalil yang menjadi dasar amaliyah warga NU
seperti tahlilan, manakiban, yasinan, dan lain-lain ?, Apakah benar amaliyah warga NU
termasuk bid’ah dhalalah (sesat) ? kalau tidak, apakah termasuk kategori sunnah ? Wacana
bid’ah selalu dijadikan senjata untuk menyerang amaliah warga NU secara terus menerus.
Pelurusan wacana sangat penting dan mendesak, supaya warga NU bisa mengamalkan
tradisinya secara nyaman dan tenang.
Selain itu, tantangan modernisasi dan globalisasi membuat formulasi Aswaja klasik
mengalami kemunduran, karena dirasa kurang mampu menjawab tuntutan dinamika zaman.
Maka, menjadi suatu keniscayaan melakukan penyegaran dan pembaruan doktrin Aswaja.
Salah satunya adalah menjadikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr (metodologi berpikir) dalam
membaca realitas secara dinamis, analitis, produktif, dan solutif. Persoalan muncul lagi,
bagaimana mengaplikasikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr dalam organisasi dan program-
programnya. Disinilah pentingnya membumikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr dalam
organisasi dan program-programnya supaya operasional kuatitatif sehingga bisa
meningkatkan kualitas warga NU secara maksimal.13
12
13
19
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
14
20
21