Dosen Pengampu :
Oleh :
Abdul Mukti
Muh. Erfan Wijaya
Wahyu Amalia
(PENYUSUN)
Kelompok 1
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul..................................................................................................................i
Kata Pengantar................................................................................................................ii
Daftar Isi........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan Masalah...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................3
A. Pengertian Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)..............................................3
B. Hakikat dan Dinamika Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)...........................5
C. Peran Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah) Terhadap Pendidikan...................7
D. Peranan Pendidikan Terhadap Aswaja (Ahlus sunnah WaJama‟ah)..................8
BAB III PENUTUP.......................................................................................................14
Kesimpulan....................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
sebagai sebuah paham keagamaan (ajaran) maupun sebagai aliran
pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih khusus sejak
peristiwa Tahqim yang melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah
sekitar akhir tahun 40 H.
Ahli sunnah wal jamaah pemikiranya menggunakan pemikiran al
asyari dan hukum fiqihnya menggunakan imam madzhab sehingga
golongan aswaja inilah golongan yang sifatnya luas. Dari uraian diatas
maka penulis tertarik mengangkat tema ASWAJA (Ahlus sunnah wal
jama‟ah).
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)?
2. Apa Hakikat dan Dinamika Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)?
3. Bagaimana Peran Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)
Terhadap Pendidikan?
4. Bagaimana Peranan Pendidikan Terhadap Aswaja (Ahlus sunnah
Wal
Jama‟ah)?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah).
2. Untuk Mengetahui Hakikat dan Dinamika Aswaja (Ahlus
Sunnah Wal
Jama‟ah).
3. Untuk Mengetahui Peran Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)
Terhadap Pendidikan.
4. Untuk Mengetahui Peranan Pendidikan Terhadap Aswaja (Ahlus
sunnah Wal
Jama‟ah).
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
1
1Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab–Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997, cet. 14), hlm. 46.
4
Nabi, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah pada
masa khulafaur‟ al-rashidin (Abu Bakr al-Siddiq, „Umar, Ustman, dan
„Ali). Jadi, yang dimaksud dengan Aswaja adalah kaum yang mengikuti
amaliah Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya.
Menurut Imam Asy‟ari, Ahlus sunnah Wal Jama‟ah adalah
golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur‟an, hadis, dan apa yang
diriwayatkan sahabat, tabi‟in, imam-imam hadis, dan apa yang
disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.22
Menurut KH. M. Hasyim Asy‟ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah
adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat,
dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlus sunnah
Wal Jama‟ah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih
mengikuti Imam Syafi‟i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-
Asy‟ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-
Hasan al-Syadzili.3
Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlus sunnah Wal
Jama‟ah adalah para sahabat, tabi‟in, tabi‟ut tabi‟in dan siapa saja yang
berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan
orang- orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.4
Shaykh „Abd al-Qadir al-Jaylani (471-561 H/1077-1166 M)
seorang tokoh besar sufi legendaris menjelaskan “Al-Sunnah adalah apa
yang telah dianjurkan oleh Rasulullah saw. (meliputi ucapan, perilaku,
serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama„ah adalah segala sesuatu yang
telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi saw. pada masa khulafaur ar-
rashidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah mudahan Allah
memberi rahmat kepada mereka semua)”.5
Dengan demikian yang dimaksud dengan Aswaja adalah kaum yang
2
Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy‟ari, Al-Ibanah An Ushul Al-Diyanah (Beirut: Dar al- Kutub
al-Ilmiyyah, t.t), hlm. 14.
3
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari, Moderasi Keumatan Dan Kebangsaan
(Jakarta: Kompas, 2010, cet. 1), hlm. 107.
4
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan
5
Shaykh „Abd al-Qadir al-Jailani, Al-Ghunyah li Talib Tariq al-Haq (Beirut: Maktabat al
Shab„iyyah, tt.), hlm. 5.
5
konsisten mengikuti amaliah Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya,
tidak mendistorsi ajaran Nabi Muhammad saw. dan tidak mendiskreditkan
sebagian sahabat atau seluruh sahabat Nabi. Pengertian ini dapat diperkuat
dengan beberapa hadisth Nabi yang diriwayatkan beberapa perawi dengan
redaksi hadisth.
Secara substantif, Ahlus sunnah wal Jama'ah itu meliputi tiga
aspek Islam, yakni aspek akidah, fikih dan akhlak. Meskipun diskursus
para ulama sering hanya membicarakan aspek akidah dan syari'ah (fiqh),
hal itu bukan berarti tidak ada aspek akhlak. Menurut pandangan ini,
pengalaman (practice) dari dua aspek (yang disebut pertama) itu
mengandung aspek akhlak atau tashawuf.
6
diwakili Abu Musa al Asy'ari. Amru bin Ash adalah seorang politisi, pada
saat forum ia menyarankan agar perundingan dimulai dengan
pemerintahan yang kosong. Maksud dari Amru bin Ash ia menginginkan
kubu Ali secara simbolik meletakkan jabatannya terlebih dahulu. Abu
musa yang notabene adalah ulama langsung mengiyakan tawaran dari
Amru bin Ash. Dengan cerdik Amru bin Ash mempersilahkan Abu Musa
untuk mendeklarasikan peletakan jabatan karena dirasa ia lebih tua dan
alim.
Setelah Abu Musa memproklamirkan peletakan jabatan Ali, Amru
bin Ash bukannya malah bergantian mengatakan sama, tetapi malah
menyatakan jabatan yang dilepas dari kubu Ali kini menjadi milik
Muawiyah. "Saudara-saudara kaum muslimin yang berbahagia, Abu Musa
al Asyari mewakili khalifah Ali telah meletakan jabatan. Maka dengan ini
jabatan khalifah saya ambil untuk diserahkan pada Muawiyah bin Abu
Sofyan". Maka pada detik itu Muawiyah yang kalah perang fisik dengan
kubu Ali, giliran menang ketika taktik politik. Kekhalifahan Ali pun
berpindah ke tangan Muawiyah.
Efek dari peristiwa itu umat islam terpecah menjadi 3 kubu. Kubu
Ali terbelah menjadi 2; kubu Syiah dan Khawarij. Dan satu lagi adalah
kubu Muawiyah. Kelompok Syiah adalah pendukung Ali, kelompok
Muawiyah pendukung Muawiyah, dan kelompok Khawarij yakni kubu
yang tidak pada pihak Ali maupun Muawiyah. Kelompok menilai
kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak tidak sah karena tidak
menggunakan hukum Allah atau Al-Qur'an sehingga mereka memutuskan
Khawarij (Kharaja: keluar). Sebagian besar masyarakat saat itu (kecuali
kelompok Muawiyah) menilai perpindahan kekuasan dari Ali ke
Muawiyah berjalan dengan tidak sah dan licik. Untuk mengatasi
pandangan itu maka khalifah membuat aliran bernama
Jabariyah. Kemunculan aliran ini dalam rangka
melegitimasi kekuasaan Muawiyah yang menyatakan bahwa manusia tidak
punya kekuasaan untuk berkehendak. Inti dari aliran Jabariyah, semua
yang dilakukan oleh manusia sudah dikehendaki oleh Allah. Termasuk
ketika Muawiyah dapat mengambil kekuasaan dari tangan Ali itu juga
7
kehendak
Allah.
8
Setelah itu selama masa pemerintahan Bani Umayah muncul aliran
bernama Qodariyah yang diusung oleh Muhammad bin Ali bin
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (cucu Ali bin Abi Thalib). Aliran ini
mengajarkan sebaliknya dari aliran Jabariyah. Bahwa ketika manusia
berkehendak, Allah tidak ikut campur, maka manusia harus
bertanggungjawab atas perbuatannya. Ketika masa Bani Umayah paham
ini hanya sebagai kritik atas paham Jabariyah. Namun ketika memasuki
pemerintahan Bani Abasiyah, paham Qadariyah dijadikan spirit
pembangunan. Kemudian turunan dari paham ini dengan sedikit
modifikasi mengatasnamakan paham Mu'tazilah.
Pada akhirnya lahirlah ulama bernama Abu Hasan al Asyari. Ia
sebelumnya pengikut Mu'tazilah setelah itu keluar. Abu Hasan
menyatakan tidak mengikuti kedua kubu ekstrem dan berdiri di tengah-
tengah. Ia memproklamirkan paham dimana rasulullah dan sahabat berada
di dalamnya, dan menyebut paham dengan sebutan Ahlus sunnah wal
Jama‟ah. Titik tekan pada paham ini yakni manusia berkehendak tetapi
kehendak itu diketahui Allah. Manusia mempunyai kehendak tapi
kehendak itu dibatasi dengan takdir Allah.6
6
Moch. Ari Nasichuddin, Aswaja Sejarah Dinamika Umat Islam Dan Analisis Sosial
9
Hal diatas dapat dibuktikan dengan keadaan bangsa yang kita
rasakan sekarang, dewasa ini banyak anak cucu kita yang meniru budaya
barat, misalnya, berpakaian yang mengundang hawa nafsu, pergaulan
bebas dll. Hal itu membuktikan bahwasannya nilai agama dan nilai moral
generasi penerus bangsa ini melemah. Akan tetapi, permasalahan tersebut
adalah bagaimana jika para orang tua lemah dalam nilai-nilai agama dan
moralitas, Sehingga tak ada contoh bagi pemuda bangsa untuk
memperbaiki moral?
Pendidikan Aswaja muncul sebagai jawaban dari pertanyaan diatas.
Pendidikan aswaja mempunyai kelebihan, salah satunya: pendidikan
aswaja tidak hanya ditujukan ke lembaga pendidikan saja namun juga di
tujukan kepada masyarakat luas, hal ini dapat memperkuat aspek agama
maupun moralitas masyarakat. Misalnya acara pengajian rutin yang diisi
oleh ulama‟ , hal itu sangat baik untuk meningkatkan nilai- nilai agama
dalam masyarakat.
Hal lain yang istimewa dari pendidikan aswaja adalah: pendidikan
yang lebih dikonsentrasikan pada lembaga pendidikan islami atau dapat
disebut pondok pesantren. Hal itu dapat membantu kita selaku orang tua
supaya anak cucu kita dapat mengenal nilai- nilai agama dan moral.7
7
Miftahudin aic, Peranan Aswaja Dalam Melestarikan Nilai Nilai Pendidikan , dalam diunggah
1
ibadahnya serta untuk menuai akhlaq yang mulia dan terpuji. Serta
mengosongkan seorang pembelajar dari kejahiliyahan dan pembangkangan
baik itu dari segi akidah, ibadah, akhlaq dan pemikirannya, menghiasinya
dengan pendidikan yang benar baik dari segi akidah, ibadah, akhlaq, dan
pemikirannya bukan sekedar teori tetapi dengan implementasi yang nyata.
Madrasah juga memiliki komponen-komponen yang mesti ada di
dalamnya, seperti: mu‟alim (pendidik), metode pembelajaran, kegiatan
belajar, serta idaroh madrasah.8
Macam- pendidikan antara lain:
1. Pendidikan Akidah
8
Khâlid Bin Hâmid al-Hâzimî, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah (Madinah Munawwaroh:
Dâr „Âlam al-Kutub, 1420 H/2000 M), hlm. 342.
9
Ahmad Farid, Pendidikan Berbasis Metode Ahlus Sunnah wal Jama‟ah (Surabaya:
10
Ahmad Farid, Pendidikan Berbasis Metode Ahlus Sunnah wal Jama‟ah (Surabaya: Pustaka
eLBA, 2011), hlm. 120.
1
bukti-bukti yang menunjukkan kepada Allah SWT, bimbingan-
bimbingan yang bisa memperkokoh iman, dan peringatan-peringatan
yang bisa memperkuat aspek akidah. Teknik pemanfa‟atan
kesempatan untuk memberikan nasihat-nasihat keimanan ini adalah
teknik yang dipillih oleh sang pendidik pertama (Muhammad SAW).
Beliau selalu berusaha mengarahkan para peserta didik untuk
mengangkat dan memperkuat keimanan dan keyakinan yang ada di
dalam hati mereka.11
2. Pendidikan Pemikiran
a) Islam adalah Din yang abadi dan berlaku dimana saja dan kapan
saja.
b) Komitmen tinggi dan beristiqomah dalam mengamalkan hukum-
hukum Alloh akan meraih kejayaan.
c) Terbongkarnya perencanaan-perencanaan yang dirumuskan oleh
musuh-musuh Islam.
11
12Ibid., hlm. 125.
1
d) Terungkapnya fakta tentang peradabaan Islam yang selama
kurun waktu tertentu dalam sejarah pernah menjadi guru bagi
seluruh isi dunia.
e) Para pembelajar harus mengetahui bahwa kita memasuki
panggung sejarah bukan dengan Abu Jahl dan Ubay bin khalaf.
Kita memasuki panggung sejarah dengan Rosul, Abu Bakr dan
„Umar.12
3. Pendidikan Iman.
12
Ahmad Farid, Pendidikan Berbasis Metode Ahlus Sunnah wal Jama‟ah (Surabaya: Pustaka
eLBA, 2011), hlm. 170.
1
Salah saatu materi pendidikan yang harus diajarkan kepada
generasi muda Islam yang memiliki cita-cita membangun masyarakat
muslim dan mengembalikan khilafah Islamiyah menurut cara Nabi
SAW ialah adab-adab dan sunnah-sunnah Nabi SAW. Adab-adab itu
banyak jumlahnya, ada adab- adab yang diterima seorang muslim
dirumah dan sekolahnya melalui suri tauladan yang baik. Akan tetapi
sekarang ini kita hidup di zaman mana suri tauladan yang baik sulit
ditemukan. Kini, sebagian besar rumah tangga muslim tidak
memilikinya dan menggantinya dengan adab-adab Barat dan nilai-
nilai yang diimpor dari peradaban Barat yang kafir.
Hal itu adalah akibat dari penyebaran piranti-piranti keji,
seperti televisi yang merusak banyak sekali nilai-nilai ke-islaman dan
adab- adab yang diajarkan Nabi SAW, membunuh rasa cemburu
suami, menghilangkan rasa malu wanita, dan membuat masyarakat
muslim tidak banyak berbeda dengan masyarakat Barat yang kafir.
Oleh karena itu, para praktisi pendidikan harus memperhatikan
upaya- upaya untuk menghidupkan nilai-nilai yang luhur dan adab-
adab Islam, lalu menyiarkan, menyebarluaskan dan mengajarkannya.
Mudah-mudahan Allah SWT berkenan memberkahi usaha-usaha
tersebut dan menyelamatkan anak- anak muslim dari terjangan banjir
maksiat dan syahwat, dan segala macam upaya untuk memalingkan
dari Allah SWT.
1
6. Pendidikan Jasmani
13
18Khâlid Bin Hâmid al-Hâzimî, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah (Madinah Munawwaroh:
Dâr „Âlam al-Kutub, 1420 H/2000 M), hlm. 342.
14
19Miftahudin aic, Peranan Aswaja Dalam Melestarikan Nilai Nilai Pendidikan , dalam diunggah
pada Jumat, 12 Juni 2015 pukul 07.35 WIB
1
BAB III
PENUTU
P
Kesimpulan
1
DAFTAR PUSTAKA