DOSEN PENGAMPU :
FAMHI AMINUDIN, M.M.
DISUSUN OLEH :
Neni Eliawati
Dede Nurhida
Nurhayati
Dede Ilman
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, taufik,
dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya dengan sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam materi Pendekatan
Tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas dari Bapak Famhi
Aminudin, M.M. yang diharapkan dapat menjadi pengetahuan tambahan bagi pembaca
maupun bagi kami Mahasiswa yang mengerjakan makalah ini. Penyusun sangat
berterima kasih kepada bapak Bapak Famhi Aminudin, M.M., yang telah mempercayai
Tidak lupa Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah meluangkan waktunya untuk berbagi pengetahuan kepada kami dan membantu kami
dalam bentuk dukungan, sehingga Penyusun dapat menyelesaikan karya tulis makalah ini
dengan tepat waktu. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Begitupun dengan karya tulis
makalah ini yang masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, Penyusun
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan dari karya tulis makalah yang
Penyusun buat.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Aqidah pada masa Nabi adalah aqidah paling bersih, yaitu aqidah islam
yang sebenaranya, karena belum tercampur oleh kepentingan apapun selain hanya
karena Allah SWT. Ini disebabkan karena Nabi adalah sebagai penafsir al-Qur’an
satu-satunya, sehingga setiap sahabat yang membutuhkan penjelasan al-Qur’an
yang berkaitan dengan keyakinan maka Nabi langsung menjelaskan maksudnya.
Selain itu umat terbimbing langsung oleh Nabi, sehingga dalam memahami agama
tidak terjadi perbedaan.
Kemudian, aqidah pada masa sahabat masih sama dengan zaman Nabi,
belum membentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri apalagi membentuk
sebuah nama tertentu, maupun aliran-aliran pemikiran tertentu.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang
ilmu kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat
dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga
teolog disebut sebagai “mutakallim”, yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata.
Ilmu “kalam” juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, yaitu ilmu
yang membahas ajaran dasar dari agama.
Perbedaan yang muncul pertama kali dalam Islam bukanlah masalah
teologi, melainkan bidang politik. Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu,
perselisihan politik ini meningkat menjadi persoalan teologi. Bahkan ada dua teori
yang membahas latar belakang timbulnya persoalan teologi yakni perbedaan
aliran ilmu kalam. Pertama, awal tercampurnya masalah aqidah dengan hal yang
lain adalah sejak mulai dari khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan terbunuh
karena beberapa sahabat Nabi terlibat dalam urusan yang bersifat politis. Dan
masalah ini kian rumit ketika peristiwa tahkim terjadi pada masa pemerintahan Ali
bin Abi Thalib. Kedua, aliran ilmu kalam muncul karena hasil iterpretasi atau
penafsiran terhadap al-Qur’an maupun kajian terhadap hadits yang bersifat
1
teologis. Diantara sekian banyak ilmu kalam yang bermunculan ialah Syi’ah,
Khawarij, Murji’ah, Qadiriyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah yang berakhir dengan
peristiwa mihnah yang menjadi sebab awal terbentuknya aliran Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu istilah” yang mempunyai
“banyak makna” , sehingga banyak golongan dan faksi dalam Islam yang
mengklaim dirinya adalah “Ahlussunnah wal Jama’ah”. ‘Ulama dan pemikir
Islam mengatakan, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan golongan
mayoritas umat Islam di dunia sampai sekarang, yang secara konsisten mengikuti
ajaran dan amalan (sunnah) nabi dan para sahabat-sahabatnya, serta
memperjuangkan berlakunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam.
Meskipun pada mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas
kelompok atau golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam dengan fokus
masalah ushuluddin (fundamental agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya
tidak bisa lepas dari dimensi keislaman lainnya, seperti Syari’ah atau Fiqhiyah,
bahkan masalah budaya, politik, dan sosial.
Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan
dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula munculnya
aliran ini, perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting adalah
kepercayaannya. Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran dan
penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah.
B. Rumusan Masalah
2
C. Tujuan Penulisan
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-
Hasan al-Syadzili.
c) Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah
adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut
pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang
mengikutinya dari seluruh umat semuanya.
Pendapat Said Aqil Siradj, tentang Ahlus sunnah wal jama’ah adalah “Ahlu
minhajil fikri ad-dini al-musytamili ‘ala syu’uunil hayati wa muqtadhayatiha al-
qa’imi ‘ala asasit tawassuthu wat tawazzuni wat ta’adduli wat tasamuh”, atau
“orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua
aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga
keseimbangan dan toleransi”.
Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang
dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada al-
Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan
pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai
dengan ajaran-ajaran Nabi.
1. Ada yang mengatakan bahwa istilah ahlus sunnah waljma’ah telah lahir
sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan beliau sendiri yang
melahirkan melalui sejumlah hadits yang diucapkan, yakni hadits riwayat
Abu Daud dan hadits riwayat Turmudzi. Adapun mengenai keabsahan
hadits tersebut telah pula kita jelaskan, yaitu kendatipun pada dasarnya
hadits itu dhaif (lemah), misalnya, namun karena banyak riwayatnya,
maka satu sama lainnya saling menguatkan. Dengan demikian, status
hadits-hadits tersebut berubah menjadi kuat.
5
2. Sebagian orang berpendapat bahwa istilah ahlus sunnah waljam’ah lahir
pada akhir windu kelima tahun hijriah, yaitu tahun terjadinya kesatuan
jama’ah dalam Islam, atau yang lebih dikenal dalam sejarah Islam dengan
naman ‘amul jama’ah (tahun persatuan).
Dalam sejarah diterangkan bahwa pada tahun tersebut Saidina Hasan
bin Ali ra. Meletakkan jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan
kepada Saidina Muawiyah bin Abu Sufyan dengan masud hendak
menciptakan kesatuan dan persatuan jamaah islamiah, demi menghindari
perang saudara sesama Islam. Jadi, dari kata ‘amul jama’ah itulah lahirnya
istilah waljama’ah yang kemudian berkembang menjadi ahlus sunnah
waljama’ah.
3. Golongan ketiga mengatakan bahwa istilah ahlus sunnah waljama’ah
lahir pada abad II hijriah, yaitu di masa puncak perkembangan ilmu kalam
(teologi Islam) yang ditandai dengan berkembangnya alian modern dalam
teologi Islam yang dipelopori oleh kaum muktazilah (rasionalismea).
Dalam rangka mengimbangi itulah, maka tampilnya Imam Abu Hasan Al-
Asy’ari membela akidah islamiah dan mengembalikannya kepada
kemurnian yang asli. Pergerakan beliau kemudian disebut oleh para
pengikutnya “ahlus sunnah waljama’ah”. Akan tetapi, oleh sebagian
kalangan yang tidak menyenangi teologi Imam Asy’ari, mereka
menyebutnya aliran ini “Madzhab Asya’irah” atau “Asya’irah”.
Aliran ini dipelopori dan dikembangkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari pada
tahun 330 H.
6
Akidah Islamiah pada masa-masa tersebut sangat sederhana. Mereka
menerima berdasarkan iman, ikhlas dan yakin, tanpa memerlukan argumentasi
logika dan filosofis. Karena pada masa itu memang belum dikenal ilmu
logikaAkidah salafiah sangat bertentangan dengan konsepsi akidah ahli kalam
(mutakallimin), karena pemahaman akidahnya semata-mata berdasarkan pada
tekstual (harfiah) dan sama sekali tidak mau menerima segala sesuatu yang
kontekstual. Hal itu menimbulkan kesan bahwa seakan-akan kaum salafiah kaku
dan picik dalam memahami konsepsi Islam, terutama dalam konteks akidahnya.
Mereka kurang memberikan kontribusi kepada akal (rasio). Oleh karena itu
mereka tidak membuang-buang waktu untuk mengkaji ayat-ayat yang bersifat
mutasyabihat, yakni yang tidak jelas maksudnya. Sebagai contoh: “Apakah kamu
merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?”
(QS. Al-Mulk: 16)
Jadi ayat tersebut mengatakan “Allah di langit”. Kata langit disini tidak boleh
ditakwilkan (dimaknai) kepada arti lain, misalnya tempat yang tinggi.
2. Aliran Khalaf (Konvensional)
Telah dijelaskan pada bagian yang lalu bahwa aliran khalaf(konvensional) ada
dua macam.
Pertama, aliran yang amat berlebihan dalam mengkultuskan akal. Menurut
pengikut aliran itu, tanpa wahyu pun manusia mampu mengenal Al-Khaliq dan
mampu pula membuat syariat dengan bantuan akal sendiri. Aliran ini dikenal
dengan Muktazillah (supperrasionalisme) sebagaimana yang diterangkan di
depan.
Kedua, aliran yang menempatkan akal sebagai mitra wahyu. Akal dan wahyu
saling mendukung kecuali dalam beberapa kasus tertentu. Dalam hal tertentu akal
tidak cukup mampu memahami wahyu karena keterbatasannya. Aliran itu lebih
dikenal dengan Asya’riyah (skolastisme) atau juga disebut rasionalisme moderat.
Dalam ilmu ketauhidan, kaum Asya’riyah dianggap sebagai golongan moderat
antara salafiah dan muktazilah. Oleh karena moderatnya, maka mazhab itu banyak
7
pengikutnya. Ada faktor-faktor penyebab mayoritas umat islam menganut mazhab
Asya’riyah. Faktornya adalah sebagai berikut:
a. Mazhab Asya’riyah cukup ampuh untuk menjawab argumentasi kaum
Muktazilah dan kaum Falasifah yang senantiasa menggunakan dalil-dalil
logika(mantik).
b. Tidak terlepas adanya dukungan dari sejumlah Ulama besar dari berbagai disiplin
ilmu, terutama dari kalangan Mazhab Syafi’i
Meskipun golongan Asyari’yah diakui oleh jumhur umat Islam sebagai
golongan najiah (Ahlulsunnah), namun sebagian kaum Salafiyah keberatan
menerima kaum Asya’riyah sebagai golongan ahlul sunnah murni. Asya’riyah
menurut mereka tidak lain dari muktazilah gaya baru yang berjubahkan sunni.
Sebenarnya mengenai aliran Ahlulsunnah wal Jama’ah versi Salaf dan Khalaf.
Asya’riyah dan Maturidiah termasuk ke dalam versi kedua, yakni khalaf moderat,
namun aliran salafiah pun ada beberapa macam sama halnya dengan aliran khalaf.
Hanya saja aliran khalaf lebih banyak macamnya, ada yang ekstrem, seperti
muktazillah, khawarij, syi’ah dan lain-lain yang mencapai jumlahnya 72 aliran.
Semuanya itu termasuk golongan mubtadi’ah yang sesat dan menyesatkan. Ada
pula yang moderat, yakni aliran Asya’riyah dan Maturidiah, yang kedua-keduanya
termasuk golongan Ahlulsunnah wal Jama’ah.
8
Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki
sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah
wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam
menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang
diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus
meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT,
yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir,
yang harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia
akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat
imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan
dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka
yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk
akan masuk neraka.
9
Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad
pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-
orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum
dari suatu kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4:
Dan QS Al-Baqarah, 2: 143.
d. Qiyas
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para
Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan
hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas
sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
3. Bidang Tasawuf
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah
menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi adalah para pencari di Jalan
Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah
jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling
tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah
dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang
membawa ilmu-ilmu dari Allah.” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah
mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
4. Bidang Sosial Politik
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan
mewajibkan berdirinya negara (imamah), Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda
dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah
apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah wal-jama’ah dan
golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif
(fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk
mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan
bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku.
Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-
modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus
10
dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka
gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah
a. Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala
keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang
menegaskan musyawarah adalah (QS Al-Syura, 42: 36-39)
b. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-
Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun
bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat dalam Al-Qur an terdapat pada QS An-
Nisa, 4: 58
c. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan
tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip
kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip
yang lima) yang identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal
dalam dunia modern bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah.
Lima pokok atau prinsip ini menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah
kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi
pemimpin di kelak kemudian hari. Lima pokok atau prinsip tersebut yaitu:
a) Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara)
untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara
berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
b) Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk
menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama
dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah
agama atau kepercayaan kepada warga negara.
c) Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan
untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya.
Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup
sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
11
d) Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul,
identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan
budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis
tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis
yang hidup di wilayah negaranya.
e) Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan
ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga
negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung
tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.
d. Prinsip Al-Musawah (KesetaraanDerajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia
dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang
menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia
diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain.
Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia
dan bangsa yang lain. Hai ini termaktub dalan QS. Al-Hujuraat, 49: 13
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul
akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis
yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-
Ma’idah; 5: 48
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang
yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai
warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi,
melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege
(keistimewaan) khususnya di mata hukum.Negara justru harus mampu
mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang
biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan
politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam,
Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-
Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah,
12
Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya
diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun
kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
E. Karakteristik Ahlulsunnah wal Jama’ah
Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam
menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan dalam
bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira Ummat yakni
sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik anggota
Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan
Nahdlatul ‘Ulama, antara lain:
1. At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua kutub
dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta
menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan
2. Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke
kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan
yang harus dibela.
3. At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan
menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan
pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah
keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
4. At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu
unsur atau kekurangan unsur lain.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang
bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan
menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau
menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
14
DAFTAR PUSTAKA
Siradj, Said Agiel. (1998). Ahlulsunnah wal Jama’ah dalam lintasan Sejarah.
Yogyakarta:LKPSM.
Syihab, H.Z.A. Akidah Ahlus Sunnah: Versi Salaf – Khalaf dan Posisi Asya’irah
di Antara Keduanya. Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
Andim,Fauzul.2013. Aswaja Menurut KH Hasyim Asy'ari dan KH Aqil Sirodj.
http//: Abimanyu Blora Aswaja Menurut KH Hasyim Asy'ari dan KH Aqil
Sirodj.html. Diakses 14 Maret 2016.
Alim,Achmad Miftachul.2014. Pengertian Aswaja, Karakteristik,Prinsip,Ektensi
dalam Kehidupan Modern.http //:Materi Lengkap.html. Diakses 14 Maret
2016.
Al Mishri, Muhammad Abdul Hadi. (1994). Manhaj dan Aqidah Ahlulsunnah wal
Jama’ah menurut Pemahaman Ulama Salaf. Jakarta: Gema Insani Press.
15