Oleh:
FAKULTAS SYARI’AH
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
CIAMIS-JAWA BARAT
2022
KATA PENGANTAR
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Kesimpulan............................................................................................29
B. Saran......................................................................................................30
2
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
3
2. Mengetahui pendiri-pendiri aliran Ahlus Sunnah Waljamaah, Salaf, dan
Khalaf.
3. Mengetahui doktrin-doktrin aliran Ahlus Sunnah Waljamaah, Salaf, dan
Khalaf.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : bahwa golongan yang
selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang
mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah SAW) kerjakan bersama sahabat-
sahabatku.
6
Dengan demikian, maka secara etimologis, istilah “Ahlusunnah
Waljamaah / golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasul SAW.
dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh
pada Sunnah Rasul dan Sunnah (Tariqah) para sahabat, lebih khusus lagi,
sahabat empat (Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin ‘Affan, dan Ali
bin Abi Talib). Selanjutnya, jalan hidup Rasul SAW. tidak lain ialah
ekspresi nyata dari isi kandungan al-Quran. Ekspresi nyata tersebut
kemudian biasa diistilahkan dengan “al- Sunnah” atau “al-Hadits’
Kemudian, al-Quran sebagai Wahyu Ilahi, terkemas sendiri dalam mushaf
al-Quran al Karim”, sedangkan ekspresi nyatanya pada diri Rasul SAW.
pun terkemas secara terpisah dalam “mushaf al-sunnah, al-hadits’ seperti
dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, sunan Al
Tirmizi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah, serta kitab-kitab al Hadits
yang disusun oleh para ulama lainnya.
7
Nabi SAW bersabda yang artinya :
“Golongan yang selamat dan akan masuk surga adalah golongan yang
berpegang dengan apa-apa yang aku kerjakan bersama sahabat-sahabatku.”
8
Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah
ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah kepada para sahabatnya
ketika beliau berkata kepada mereka :
ً َعلَى ثِ ْنتَ ْي ِن َو َسب ِْع ْينَ فِرْ قَةNارى َ ص ِ َت ْاليَهُوْ ُد َعلَى ِإحْ دَى َو َس ْب ِع ْينَ فِرْ قَةً َوا ْفتَ َرق
َ َّت الن Nِ َا ْفت ََرق
ُاح َدةً َو ِه َي ْال َج َما َعة ِ َّث َو َس ْب ِع ْينَ فِرْ قَةً ُكلُّهَا فِي الن
ِ ار ِإالَّ َو ُ َوِإ َّن ُأ َّمتِ ْي َستَ ْفت َِر
ِ َق َعلَى ثَال
Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah
kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu
ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah Yang Maha Kuasa dan
merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah Maha
Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.
9
darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan
oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.
“Pada suatu hari Rasulullah menggaris di depan kami satu garisan lalu
beliau berkata: “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris
beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini
adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru
kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini
adalah jalan-Ku maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-
jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalan-Nya”.
10
berdo’a, takut, berharap, cinta, penyembelihan, nadzar, isti'anah,
istighatsah, minta perlindungan, shalat, puasa, haji, berinfaq di jalan
Allah dan segala apa saja yang disyariatkan dan diperintahkan Allah
dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang
malaikat, nabi, wali, maupun yang lainnya.
11
Yahudi dan Nasrani yang berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka,
sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu seperti
memperlakukannya sebagai tuhan (Allah), Iman kepada hari kiamat:
12
menciptakan pekerjaannya, kemauan dan kehendak itu terlepas dari
kemauan dan kehendak Allah.
Prinsip kedua:
Bukan pula iman itu hanya satu keyakinan dalam hati atau perkataan
dan keyakinan tanpa amal perbuatan, karena yang demikian adalah
keimanan golongan Murjiah, Allah sering kali menyebut amal perbuatan
termasuk iman.
Prinsip ketiga:
13
meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa tersebut) tidak
dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna.
Apabila ia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam
kehendak Allah. Jika Ia berkehendak Ia akan mengampuninya dan jika Ia
berkehendak Ia akan mengazdabnya, namun si pelaku tidak kekal di
neraka.
B. Salaf
14
Dalam perkembangannya, di abad ke-7 Hijriah, gerakan salaf
memperoleh kekuatan baru dengan munculnya Ibnu Taimiyah (661-728 H)
di Syria dan gerakan Wahabi (1115-1201 H) di Saudi Arabia. Di tangan
IbnuTaimiyah salafiyah mendapat semangat yang lebih besar, Ibnu
Taimiyah tampil menggalang kekuatan dan kesatuan umat di saat kota
Damaskus diserang dan dikepung oleh tentara Mongol pada tahun 700
Hijriyah. Ia bangkitkan semangat penguasa Damaskus dan rakyat untuk
berjuang angkat senjata melawan tentara Mongol. Bahkan ia sendiri ikut
terjun ke medan perang memanggul senjata sebagai seorang pejuang
bersama dengan umat Islam lainnya.
a. Ibnu Taimiyah
15
Ibnu Taimiyah merupakan seorang Ulama yang sangat berani,
tidak mengenal takut dalam apa yang dipandanya benar. Pada tahun
700 Hijriah ketika Damaskus diserang oleh tentara Mongol, Ibnu
Taimiyah mendorong semangat penguasa Damaskus dan seluruh
rakyat untuk berjuang mengangkat senjata, bahkan ia sendiri tidak
sungkan-sungkan untuk memanggul senjata, maju ke medan laga.
Pada usia tujuh belas tahun, kegiatan ilmiahnya sudah mulai
tampak, dan ketika Ibnu Taimiyah berumur 21 tahun ia mulai
mengarang, mengajar, dan berani mengeluarkan pendapat-
pendapatnya, bahkan menurut suatu sumber Ibnu Taimiyah memiliki
karangan lebih dari 300 kitab, meliputi masalah tafsir, fiqih, retorika
(jadal) dan fatwa-fatwa yang merupakan kumpulan jawaban atas
berbagai pertanyaan masyarakat. Pemerintahan pada masanya, yaitu
golongan Bani Buwaih menyokong dan menanamkan madzhab Syafi’i
dalam fiqih dan aliran Asy’ariyah dalam lapangan kalam, namun
keadaan itu tidak menghalang-halanginya untuk mendalami pendapat-
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam lapangan Fiqh maupun
aqidah. Dia tidak pernah mengenal takut untuk menegakkan
kebenaran, sehingga mendapatkan gelar “Muhyis Sunnah”
(pembangun/penghidup as-Sunnah).
Doktrin-doktrin Teologi Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur,
adalah sebagai berikut
1) Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
2) Tidak memberikan ruang gerak kepada akal/
3) Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
4) Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (Sahabat,
Tabi’in dan Tabi’tabi’in)
5) Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan
tetap mentanzihkan-Nya.
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan
bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah
16
qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu Taimiyah adalah seorang
tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib AlJauzi
sebagai pandangan tajsim Allah, yakni menyerupakan Allah dengan
makhlukNya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan
Ibn Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali ( Rozak,2006:116).
Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-
sifat Allah: (Yusuf, 1993:58-60).
1) Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan
oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud
adalah:
a. Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi,
qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.
b. Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar
dan kalam.
c. Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits
walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti
keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di
Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang
beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
d. Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan)
kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-
lain.
2) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan
Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
3) Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
a. Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak
dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual)
b. Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil)
c. Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)
d. Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam
pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-
takyif)
17
e. Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya
dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal
‘alamin) (Rozak, 2006: 115).
Berdasarkan alasan di atas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui
penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau hadits yang
menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak
menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya
tentangnya. Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah
mengakui tiga hal:
1) Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
2) Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai
kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya.
3) Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.
Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk
membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab
itu masalah Tuhan tidak dapat 10 diperoleh dengan metode rasional,
baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis
manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang
mustahil .(Rozak:,2006:117).
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai
klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi.
Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia
dengan Tuhan yang mutlak. Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat
diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun
teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan
Tuhan adalah suatu hal yang mustahil (Mustopa, 2011:58).
b. Imam Ahmad bin Hanbal
Riwayat Hidup Imam Ahmad bin Hambal
Ia adalah seorang ulama dan intelektual Muslim terpenting
dalam sejarah peradaban Islam. Umat Islam di Indonesia biasa
18
menyebutnya Imam Hambali. Sosok ahli fikih pendiri Mazhab
Hambali itu begitu populer dan legendaris. Namun, ulama yang hafal
satu juta hadis dan selalu tampil bersahaja itu tak pernah ingin apalagi
merasa dirinya terkenal.
Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai ulama yang berotak brilian.
Kecerdasannya diakui para ulama besar di zamannya. Penulis sederet
kitab penting bagi umat Islam itu juga dikenal sebagai seorang ulama
yang berilmu tinggi, saleh, dan berakhlak mulia. Kemuliaan yang ada
dalam diri Imam Ahmad bin Hanbal telah membuat guru-gurunya
kagum dan bangga.
Imam Syafi'i menjuluki muridnya itu sebagai imam dalam
delapan bidang. Imam dalam hadis, Imam dalam fikih, Imam dalam
bahasa, Imam dalam Alquran, Imam dalam kefakiran, Imam dalam
kezuhudan, Imam dalam wara', dan Imam dalam sunah. Ia terlahir di
Merv, Asia Tengah (sekarang Turkmenistan), pada 20 Rabiul Awal
tahun 164 H. Ia tutup usia di baghdad pada 12 Rabi'ul Awal tahun 241
H, di usianya yang ke-77.
Doktrin-doktrin Teologi Imam Ahmad bin Hambal
1) Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat Al-Quran Ibnu Hanbal lebih suka
menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan
ta’wil. Dengan demikian ayat AlQuran yang mutasyabihat diartikan
sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang 6 tata cara
(kaifiat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT. Ketika
beliau ditanya tentang penafsiran surat Thaha ayat 5 berikut ini :
الرَّحْ َمنُ عَل َى ْال َعرْ ش ِ ا ْست ََوى
Artinya: yaitu yang Maha Pengasih Yang Bersemayam di atas Arsy
(Q.S. Thaha:5) (Depag RI, 2007: 312).
Dalam hal ini, Ibnu Hanbal menjawab :
ٌ ص
ف ِ َإ ِ ْستَ َوى عَل َى ْال َعرْ ش ِ َك ْیفَ َشآ َء َو َك َما َشآ َء ب ِالَ َح ٍّد َوال
ِ صفَ ٍة یُ ْبلِ ُغھَا َوا
19
Artinya: Istiwa di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana
saja Dia kehendakidengan tiada batas dan tiada seorang pun yang
sanggup menyifatinya.
Dan dalam menanggapi Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit
dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan
hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal berkata: “Kita
mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara
dan maknanya( Rozak, 2006:113). Dari pernyataan di atas tampak
bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna
ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya serta
tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama
sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
2) Tentang Status Al-Quran
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang
kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang
status al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya
hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qodim?
Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di
bawah kepemimpina khalifah Al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-
Watsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni al-Qur’an tidak bersifat
qodim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qodim disamping
Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan
adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibnu Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas.
Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat
pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Qur’an dapat dilihat
dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak:
Ishaq bertanya : Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad bin Hambal : Ia adalah kalam Allah.
Ishaq : Apakah ia makhluk
Ibn Hambal : Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih
dari itu.
20
Ishaq : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha
Melihat?
Ibn Hambal : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq : Apakah maksudnya?
Ibn Hambal : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan
kepada diriNya ( Nasir, 2010: 126-127).
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog di atas, tidak mau membahas
lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa
Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya
yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah
kepada Allah dan Rasul-Nya (Abdul Rozak, 2006:114). Bagi
Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang
dapat berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi
perkataan dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan
perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan
kemakiatan ( Fauzi, tt:99).
C. Khalaf
a. Aliran yang lebih mengutamakan akal, karena menurut aliran ini tanpa
wahyu pun manusia mampu mengenal Tuhan, serta mampu mentapkan
hukum dengan bantuan akal, paham ini indentik dipegang oleh aliran
Mu’tazilah.
21
tertentu, karena dalam hal tertentu akal tidak cukup untuk memahami
wahyu karena keterbatasannya, paham ini identik dipegang oleh
Asy’ariyah.
a. Al- Asy’ari
22
Menurut Ibn ‘Asakir (571 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang
berpaham Ahlusunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih
kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya
yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari.
Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama
Abu ‘Ali Al-Jubba’I ( 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-
Jubba’I ( 21 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian
menjadi tokoh Mu’tazilah.
23
2) Ibnu Faruak ( 406 H )
7) Al Ghazali ( 505 H )
9) As Syihristani ( 548 H )
b. Al-Maturidi
24
sekarang di Uzbekistan Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti,
hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada
tahun 333 H/944. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama
Nasyr bin Yahya Al-balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidiyah
hidup pada masa Khlaifah Al-Matuwakil yang memerintah tahun 232-
274/-861 M.
25
pengarang buku al- ‘Aqa’idal Nasafiah. Seperti Al-Baqillani dan Al-
Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan Al-
Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat
perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran
Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan
bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu
golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan
golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.
a. Aliran Asy’ari
26
Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi
persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan
wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu dan Mu’tazilah
mengutamkan akal. Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi
perbedaan pendapat di antara mereka.Al-Asy’ari berpendapat bahwa
baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah
mendasarkan pada akal.
4) Qadimnya Al-Qur’an
5) Melihat Allah
27
besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang
karena dosa selain kufur.
b. Aliran Al-Maturidi
28
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali
dengan petunjuk ajaran wahyu.
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu
karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada
posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-Asy’ari.
2) Perbuatan Manusia
4) Sifat Tuhan
25
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan
persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dengan Asy’ari.Seperti
halnya AlAsy’ari, Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat, seperti sama’, bashar, dan sebagainya. Al-Maturidi
berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan
bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah(ada
bersama/innheren) dzat tanpa terpisah(innaha lam takun ain adz-dzat
wa la hiya ghairuhu).
5) Melihat Tuhan
6) Kalam Tuhan
26
besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam
neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah
menjadikan seseorang kafir atau murtad.
7) Perbuatan Tuhan
8) Pengutusan Rasul
27
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir
dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebwlum bertaubat.
Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan
kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka
adalah balasan untuk orang musyrik.
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi.
Sedangkan dalam istilah syari’ah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang
pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan
Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam,
para tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari
para shahabat) dan para tabi'it tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu
dan pemahaman / murid dari tabi'in). istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini
ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-
Qur'an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang
ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada
pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah.
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir
setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa
yang dimiliki salaf.
Ahlusunnah (sunni) ada dua pengertian:
1. Secara umum, Sunni adalah lawan kelompok syiah
2. Secara khusus, Sunni adalah mazhab yang berada dalam barisan asy’ariyah
dan merupakan lawan mutazilah.
Dua aliran yang menentang ajaran-ajaran mutazilah. Harun Nasution dengan
meminjam keterangan Tasi Kurbazadah, menjelaskan bahwa aliran ahlu
sunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Hasan Al-asy’ari sekitar tahun
300 H.
Diantara ulama salaf adalah Imam Ahmad bin Hambal dan Ibn Taimiyah
dengan peemikiran keduanya yang menuju kepada faham bisa dikatakan
ekstrim, selanjutnya diantara ulama khalaf adalah Abul Hasan Al-Asy’ari dan
Abu Mansur Al-Maturidi yang menjadi cikal bakal ulama yang menjadi anutan
Ahlu Sunnah yang murni.
29
B. Saran
Makalah ini jauh dari kata kesempurnaan, penulis mohon maaf apabila
terdapat kesalahan dari penulisan ataupun pembacaannya. Kritik dan saran
sangat penulis harapkan untuk mendorong kelancaran dalam penulisan ini.
30