Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ILMU KALAM ASY-‘ARIYAH

Dosen Pembimbing:

Susapto, S.Fil.I, MPI.

Oleh:

Ahmad Hudaiby 2201004

PRODI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU DAKWAH

DAARUL MUSHLIHIN KENDAL

TAHUN 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puja dan puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang
sangat besar kepada kita semua, berupa iman dan islam. Sholawat serta salam tak lupa kita
sanjungkan kepada baginda Nabi besar kita Muhammad Saw. beserta para keluaga, sahabat
dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh pada sunah-sunahnya hingga hari kiamat
nanti.

Terimakasih kepada para teman-teman yang senantiasa memberi bantuan dan dukungan
atas penyusunan makalah ini, khususnya kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Ilmu
Kalam Ustd, Susapto Higga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul
Masdar.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan maupun kesalahan dalam


penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami memohon kepada seluruh pembaca agar dapat
memberi masukan, kritik dan sarannya agar kedepannya Kend menjadi lebih baik.

Kendal 27 Maret 2022

Ahmad Hudaiby

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2
C. Tujuan Makalah..............................................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
A. Sejarah Munculnya Aliran Asy’ariyah............................................................................3
B. Ajaran-ajaran Pokok Pemeikiran Asy’Ariyah................................................................5
C. Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyah......................................................................................7
D. Bentuk-bentuk penyimpangan Aqidah Asy’Ariyah........................................................8
E. Pengaruh aliran Asy’ariah dalam Perkembangan Islam...............................................12
BAB III....................................................................................................................................16
PENUTUP...............................................................................................................................16
A. Kesimpulan...................................................................................................................16
B. Saran..............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTKA................................................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mempunyai sumber hukum yang mutlak dari Alquran yang datangnya dari
Allah SWT lewat malaikat jibril ke Rasul dan juga yang langsung ke Rasul, juga ada
Hadis dan sunah yang datangnya dari Rasul lewat perkataan dan perbuatan. Namun
setelah ada konflik politik mulailah terpecah kekuatan politik, bahkan menjurus ke
perbedaan teologi yang terbagi menjadi beberapa aliran Teologi islam. Aliran – aliran
teologi penting yang timbul dalam islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah,
Asy’ariyah dan Maturidiah. Aliran Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah tidak mempunyai
wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sejakarang ialah aliran
Asy’ariyah dan Maturidiah dan keduanya disebut Ahl Sunnah wa al-jama’ah.

Beragam aliran teologi yang berdiri memiliki sejarah yang cukup panjang,
semuanya tidak terlepas dari para pendirinya dan latar belakang yang menyertai sampai
pada para pengikutnya yang memilki loyalitas terhadap aliran tersebut.

Dalam makalah ini kami akan sedikit membahas tentang aliran Asy’ariyah yang
berkembang pada abad ke-4 dan ke-5/ke-10 dan ke-11. Aliran ini merupakan salah satu
aliran yang muncul atas reaksi terhadap Mu’tazilah sebagai paham yang
memprioritaskan akal sebagai landasan dalam beragama. Ketidak sepakatan terhadap
doktrin-doktrin Mu’tazilah tersebut memunculkan aliran Asy’ariyah yang dipelopori
oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Doktrin-doktrin yang dikemukan beliau dan para
pengikutnya merupakan penengah diantara aliran-aliran yang ada pada saat itu.

Pada perkembangan selanjutnya aliran ini banyak dianut oleh mayoritas umat
Islam karena dianggap sebagai aliran Sunni yang mampu mewakili cara berpikir yang
diharapkan umat Islam di tengah-tengah pergolakan hati akibat beberapa aliran yang
datang lebih dulu.

iv
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya aliran Asy’ariyah ?
2. Apa saja ajaran-ajaran pokok pemikiran Asy’ariyah ?
3. Siapa saja tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah?
4. Apa saja bentuk-bentuk penyimpangan Aqidah Asy’Ariyah?
5. Bagaimana perkembangan dan pengaruh aliran Asy’ariah ?

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui sejarah munculnya aliran Asy’ariyah
2. Mengetahui ajaran-ajaran pokok pandangan Asy’ariyah
3. Mengetahui tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah
4. Mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan Aqidah Asy’Ariyah
5. Mengetahui perkembangan dan pengaruh aliran Asy’ariah
6.

v
BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Aliran Asy’ariyah
Sebagaimana telah disinggung, di saat aliran Mu'tazilah kehilangan pengaruh dan simpati
umat, tokoh Abu al-Hasan All Ibn Ismail al-Asy'ari tampil dengan sistem ajaran kalam nya
sendiri, yang segera dapat diterima mayoritas Muslimin Sistem kalam yang baru ini diberi
nama aliran Asy'ariah, di nisbatkan kepada nama tokoh pendirinya.

Al-Asy'ari (260-324 H). lahir di Bashrah dan wafat di Baghdad. Semula ia adalah pengikut
Mu'tazilah di bawah bimbingan guru sekaligus ayah tirinya al-Jubba's. Selama menjadi
penganut Mu'tazilah, al-Asy'ari termasuk salah se orang tokoh aliran yang piawai, sehingga
gurunya al-Jubba'i tidak jarang memercayai dan mempersilakannya mengha dapi lawan dalam
perdebatan." Namun ketika menginjak usia 40 tahun, al-Asy'ari keluar dari Mu'tazilah dan
mendiri. kan aliran kalam sendiri.

Ada beberapa teori tentang latar belakang atau alasan keluarnya al-Asy'ari dari Mu'tazilah
yang telah dianutnya selama puluhan tahun tersebut. Menurut sumber al-Subki dan Ibn
'Asakir, al-Asy'ari mengaku pada suatu malam bermimpi Rasulullah SAW datang
menghampirinya seraya memerin tahkan agar ia meninggalkan paham Mu'tazilah.

Sumber lain mengatakan bahwa al-Asy'ari berdebat de ngan gurunya Abu Ali al-Jubba'i
mengenai konsep al-Shalah wa al-Ashlah, dalam hubungannya dengan nasib seseorang
dewasa mukmin, kafir, dan anak kecil di akhirat ke lak. Dalam perdebatan tersebut, demikian
diceritakan, sang guru tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan ter hadap
pertanyaan sang murid. Teori yang disebut terakhir ini mengingatkan pada peristiwa yang
terjadi antara Washil dan gurunya al-Hasan al-Basri. Washil keluar meninggalkan sang guru
dan mendirikan aliran Mu'tazilah. Demikian pula al-Asy'ari; keluar meninggalkan sang guru
dan mendirikan aliran Asy'ariah. Jalannya perdebatan antara al-Asy'ari dan gurunya al-
Jubba'i:

Al-Asy'ari: Bagaimanakah kedudukan orang mukmin dewasa, orang kafir dewasa, dan
anak kecil di akhirat kelak?

Al-Jubba'i: Yang mukmin masuk surga, yang kafir masuk neraka. dan anak kecil terhindar
dari bahaya neraka.

vi
Al-Asy'ari: Kalau anak kecil Ingin mendapatkan tempat yang lebih tinggi di surga, apakah
mungkin?

Al-Jubba’i: Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu adalah orang yang
memiliki kepatuhan kepada Allah, anak kecil belum memiliki kepatuhan yang demikian.

Al-Asy'ari: Kalau anak kecil itu berkata kepada Allah: Itu bukan salahku. Sekiranya
Engkau izinkan aku hidup lama aku akan me ngerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang
dilakukan oleh orang-orang mukmin dewasa.

Al-Jubba’i: Allah menjawab: aku tahu jika kamu terus hidup sam pal dewasa niscaya
kamu akan mengerjakan dosa dan, karenanya, akan dihukum. Demi kepentinganmu aku cabut
nyawamu sebelum kamu sampai kepada usia bertanggung jawab

Al-Asy'ari: Sekiranya yang kafir berkata kepada Allah, Engka tahu masa depanku
sebagaimana Engkau tahu masa depan anak kecil. Kenapa Engkau tidak memelihara
kepentinganku.

Sampai kepada pertanyaan terakhir ini, demikian diri wayatkan, al-Jubbai pun terdiam,
tidak dapat memberikan jawaban.

Selain dari dua teori yang telah disebutkan, ada analisis yang menyatakan bahwa pada diri
al-Asy'ari memang telah muncul keraguan terhadap ajaran-ajaran Mu'tazilah yang selama ini
dianutnya. Sehingga, demikian menurut riwayat, ia hidup menyendiri selama 15 hari untuk
merenungkan ajaran-ajaran dimaksud. Setelah menghabiskan masa pe renungan selama 15
hari itu, ia pun keluar rumah pergi ke masjid dan naik mimbar seraya menyampaikan
pidatonya di hadapan khalayak, sebagai berikut:

“Hadirin sekalian selama ini saya mengasingkan diri untuk me renungkan keterangan-
keterangan dan dalil-dalil yang diajukan oleh masing-masing golongan. Dalil-dalil tersebut,
dalam pemi kiran saya sama kuatnya. Oleh karena itu, saya meminta petunjuk dari Allah. Atas
petunjuknya sekarang saya meninggalkan paham lama dan menganut paham baru yang saya
tulis dalam buku-buku ini. Paham-paham lama saya tanggalkan sebagaimana saya me
nanggalkan baju ini”

Kenapa dalam diri al-Asy'ari dapat muncul perasaan ragu yang membuatnya
meninggalkan paham Mu'tazilah? Menurut Ahmad Mahmud Shubhi, perasaan ragu itu wajar
muncul, karena al-Asy'ari adalah penganut mazhab fikih Syafi'iah. Imam al-Syafi'i

vii
mempunyai pendapat kalam yang berbeda bahkan bertolak belakang dengan pendapat pen
dapat Mu'tazilah. Tentang Al-Qur'an, misalnya, al Syafi' berpendapat bahwa Al-Qur'an itu
bukan makhlak, kan qadim. Demikian pula tentang ruyat Allah, menurut al-Syafii, Allah
dapat dilihat di akhirat kelak." MacDonald seorang orientalis, mengemukakan, bahwa darah
Arab pa dang pasir yang mengalir dalam tubuh al-Asy'art mungkin membawanya kepada
perubahan mazhab tersebut.

Beberapa teori dan analisis yang dikemukakan di sekitar latar belakang atau alasan
keluarnya al-Asy'ari dari Mu'tari lah ini, masih dirasa belum memuaskan dan tidak dapat
memberikan kepastian. Ahmad Amin, misalnya, berkomen tar bahwa uraian-uraian yang
diberikan tidak menyakinkan Ahmad Mahmud Shubhi menyatakan bahwa alasan-alasan yang
ada umumnya dikemukakan oleh pengikut-pengikut al-Asy'ari. Oleh sebab itu, diperlukan
kehati-hatian untuk menerimanya. Ali Mustafa al-Ghurabi berkomentar, al-Asy ini paham
Mu'tazilah selama berpuluh-puluh ta han membuat kita tidak gampang percaya ia
meninggalkan paham tersebut hanya karena, di dalam perdebatannya dengan al-Jubba'i, ia
tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Mungkinkah ada alasan lain yang lebih
prinsipiel dan substansial?

Terlepas dari benar tidaknya beberapa teori yang telah dikemukakan, yang jelas al-Asy'ari
keluar meninggalkan Mu'tazilah ketika golongan ini tengah berada dalam fase ke munduran
dan kelemahan. Setelah al-Mutawakkil mencabut keputusan khalifah pendahulunya al-
Makmun, yang mene tapkan Mutazilah sebagai aliran resma negara keduduka Manilah mulai
melemah, apalagi setelah anawalka memperlihatkan kecenderungan dan dukungannya tuha
dap pemikiran Ahmad Ibn Hanbal yang dahula merupakan lawan berat Mu'tanilah

Dalam suasana kemunduran aliran inilah, al-Asy'ari ke luar meninggalkan Mu'tazilah dan
membangun sistem ka lam baru yang sesuai dengan paham orang-orang yang berpegang teguh
pada al-Sunnah.

Apa pun sebab musabab dan motif keluarnya al-Asy'ari dari Mu'tazilah, yang jelas ia
sangat berjasa telah memberi kan sistem pemikiran kalam yang dapat diterima oleh ma yoritas
umat Islam. Lebih dari itu, al-Asy'ari telah berjasa membuat ilmu kalam menjadi halal dan
dapat diterima secara luas di dunia Islam, yang sebelumnya sangat dicurigai bahkan
dipandang bid'ah dan sesat serta diharamkan.

Dengan demikian, aliran Asy'ariah segera berkembang dan yang terbesar di dunia Islam.
Aliran ini kemudian lebih dikenal dengan julukan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.

viii
B. Ajaran-ajaran Pokok Pemeikiran Asy’Ariyah
1. Wajibul Wujud, bahwa setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan yang
mempunyai sifat-sifat yang Qadim. Oleh karena kaum Asy’ariah adalah kaum Sifatiyah.
Jadi Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan sifat kuasa, sifat-sifat Allah adalah
al-‘Ilmu (Maha mengetahui) al-Qudrah (Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup) dan lain-
lain. Semua ini adalah sifat-sifat Azali (eternal) dan abadi dan hal ini pula menunjukkan
kemutlakan kekuatan Tuhan untuk berbuat atau tidak berbuat.
2. Keadilan Tuhan, Asy`ariyah bertentangan dengan Mu’tazilah, karena Al-Asy’ari
memakai pendekatan Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak. Jadi Tuhan bertindak
semaunya terhadap ciptaannya atas dasar kemahakuasaannya. Jadi tidak bisa dikatakan
salah jika seandainya Tuhan memasukkan orang kafir kedalam surga atau sebaliknya,
semua tergantung dari Allah.
3. Mengenai akal dan wahyu, al-Asy’ari berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat
sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan. Manusia dapat mengetahui kewajibannya
hanya melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia
bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu.
Jadi, pada dasarnya al-Asy’ari memberikan porsi besar kepada wahyu daripada akal.
4. Konsep Iman, Iman bagi al-Asy’ari adalah tashdiq dan ikrar. Amal bukanlah katagori
iman, tetapi perwujudkan dari tahdiq. Al-Asy’ari berpendirian bahwa iman adalah
keyakinan batin (inniver belief), baik secara lisan atau secara praktis (perbuatan);
keduanya merupakan cabang iman. Dengan demikian, siapa saja yang memiliki iman
dalam hatinya (mengakui keesaan Tuhan dan Rasul-Nya serta dengan ikhlas
mempercayai segala apa yang mereka terima dari-Nya), maka iman orang sepeti itu
adalah sah. Kalau ia mati, ia akan selamat dari neraka. Tak ada sesuatu yang membuat
orang tidak beriman, kecuali kalau ia menolak salah satu dari kebenaran yang dua itu.
5. Melihat tuhan, pandangan al-Asy’ari tentang melihat Tuhan, ia mengatakan bahwa setiap
yang ada, pasti dapat dilihat. Oleh karena Tuhan ada, maka Ia dapat dilihat. Ini dapat
diketahui dari wahyunya bahwa orang-orang mukmin akan melihat-Nya di hari kiamat
nanti, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
‫ إلى ربها ناظرة‬. ‫ ناضرة‬X‫وجوه يومئذ‬
6. Di hari itu wajah mereka (yang beriman) akan berseri-seri. Kepada Tuhan, mereka
melihat” (QS al-Qiyamah/75: 22).

ix
Menurut al-Asy’ari, kata nazhirah dalam ayat di atas, tidak berarti memikirkan atau
menunggu, sebagaimana pendapat al-Muktazilah. Alam akhirat bukan tempat berpikir.
Demikian pula, wajah tidak dapat menunggu.

7. Pelaku Dosa Besar, Aliran al-Muktazilah mengatakan bahwa apabila pelaku dosa besar
tidak bertaubat dari dosanya, meski ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar
dari neraka. Sebaliknya, aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang beriman kepada Tuhan
dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimana pun besar dosa yang
dikerjakannya, tidak akan mempengaruhi imannya. Al-Asy’ari memadukan kedua
konsep di atas dan mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan namun
fasik, terserah kepada Tuhan. Tuhan bisa saja mengampuninya dan langsung
memasukannya ke surga, atau Tuhan akan menjatuhkan siksa karena kefasikannya.
8. Al-Qur’an, pandangan al-Asy’ari tentang Al-Quran, sangat bertentangan dengan
pandangan al-Muktazilah. Kalau al-Muktazilah mengatakan bahwa Al-Quran adalah
hawadits (baru) karena ia makhluk, maka Al-Asy’ari mengatakannya qadim atau
bukanlah makhluk, Pandangan al-Asy’ari di atas berdasar pada firman Allah yang
berbunyi:

‫ لشئ إذا أرادنه أن نقول له كن فيكون‬X‫إنما قولنا‬

“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami


hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia (Q.S al-Nahl/16: 40) .

C. Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyah


Setelah meninggalnya Abu Hasan al-Asy’ari maka aliran Asy’ariyah ini mengalami
kemunduran atau kesurutan. Maka pada saat itu juga muncul pihak-pihak yang yang
menentang aliran asy’ariyah tersebut, seperti pengikut mazhab Hambali. Ketika itu
muncullah seorang menteri dari Bani Saljuk yang bernama Nidhomul Muluk, mendirikan
dua buah madrasah yang terkenal yaitu, Nidhomiyah di Naisabur dan di Baghdad.

Kemudian tokoh-tokoh ulama terkenal yang berperan dalam kemajuan aliran Asy’ariyah
tersebut adalah:

1. Abu Bakar bin Tayyib al- Baqillany (403 H/1013 M), lahir di kota Bashrah. Kitab
karangannya yang terkenal ialah at-Tamhid, berisi antara lain tentang atom, sifat dan
cara pembuktian.

x
2. Abu al- Ma’aly bin Abdillah al- Juwainy (419-478 H/1028-1085M), lahir di kota
Naisabur, kemudian pindah ke kota Mu’askar dan akhirnya sampai di Baghdad. Dia
mengikuti ajaran-ajaran al- Baqillany dan al- Asy’ari. Kitab karangannya dibidang
tauhid yang terkenal antara lain: Qawalidu ‘Aqaidu, Al Burhan fie Ashuli Fiqhi , Al
Irsyad fie Qowathi’i I-llah fie Ushuli i-‘Aqaid,Masailul Imam Abdul Haqqi ash Shaqati
wa Ajwibatihi lil Imam Abil Ma’ati, Nihayatul Mathlub fie Dirayatil Mazhab,
3. Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Gazali (450-505 H/1059-1111M) lahir di
kota Thus, negeri Khurasan. Gurunya adalah Imam Juwainy. Kitabnya yang terkenal
adalah Bidayatul Hidayah suatu kitab pengantar ilmu tasauf dan Ihya’ ‘Ulumudddin
yang berisi tentang cara-cara menghidupkan kembali jiwa beragama yang waktu itu
mulai luntur.
4. Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as Sanusi, lahir di kota Tilimsan Aljazair (833-
895H/1427-1490M). Diantara kitab karangannya adalah: Aqidah Ahli Tauhid, berisi
pandangan-pandangan tauhid dan Ummul Barahin berisi pembagian sifat-sifat wajib,
mustahil, dan jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya.
5. Imam Abu Abdillah Muhammad at-Taimi al Kubro ibnu Khatib Fahruddin ar Razi.
Lahir di Persia 543H. Dia menulis kitab ilmu kalam, fiqih, tafsir dan lain-lain.
6. Abdul Fattah Muhammad Abdul Karim ibnu Abi Bakar Ahmad asy Syahrastani. Lahir di
Khurasan (479-574H/1086-1153M). kitab karangannya yang terkenal al Milal Wan
Nihal. Menerangkan golongan-golongan dalam Islam dan berbagai paham keagamaan
dan falsafat. Kitab ini terdiri dari 3 juz dalam satu jilid.

D. Bentuk-bentuk Penyimpangan Aqidah Asy’Ariyah


Asy'ariyah dalam mengimani sifat-sifat Allah Ta'ala, masih diselimuti oleh keragu-
raguan dan penyelewengan penyelewengan, sehingga sangat tidak mungkin untuk masuk ke
dalam madzhab Ahlus Sunnah secara sempurna. Bila Ahlus Sunnah menetapkan suatu
masalah, justru mereka menye lisihinya. Hal ini sebagaimana pula terjadi atas Mu'tazilah
yang sering ada kesesuaian dengan Ahlus Sunnah dan sering pula berselisih. Begitupun
antara Asy'ariyah dan Mu'tazilah ada kesamaannya.

Asya'riyah (orang-orang Asy'ariyah) telah membagi sifat! Allah dalam lima bagian;
Wahdaniyatullah Ta'ala (keesaan Al lah), Baqa' (kekal), Qadam (yang lebih dahulu),
Mukhalafatuhu! Whawaditsi (berbeda dengan makhluk-Nya), dan Qiyamuhi binafsihi
(berdiri sendiri).

xi
Sebagaimana pula mereka telah membagi sifat Allah menjadi tujuh bagian: Al-Hayat
(Hidup), Al-Ilmu (Mengetahui), Al-Qudrali (Kuasa), Al-Iradah (Kehendak), Al-Kalam
(Berbicara), As Sam'u (Mendengar), dan Al-Bashar (Melihat). Yang kemudian sifat tujuh ini
dikembangkan oleh Syaikh Maturidiyah menjadi 13 sampai 20 sifat sebagaimana
berkembang di Indonesia hari ini.

Pembagian di atas jelas tidak berdasarkan kepada Al Qur'an dan As-Sunnah, tapi hanya
berdasarkan kepada akal semata, padahal akal tidak berhak untuk membicarakannya.

Asy'ariyah dalam mengimani sifat-sifat Allah Ta'ala, masih diselimuti oleh keragu-
raguan dan penyelewengan penyelewengan, sehingga sangat tidak mungkin untuk masuk ke
dalam madzhab Ahlus Sunnah secara sempurna. Bila Ahlus Sunnah menetapkan suatu
masalah, justru mereka menye lisihinya. Hal ini sebagaimana pula terjadi atas Mu'tazilah
yang sering ada kesesuaian dengan Ahlus Sunnah dan sering pula berselisih. Begitupun
antara Asy'ariyah dan Mu'tazilah ada kesamaannya.

Asya'riyah (orang-orang Asy'ariyah) telah membagi sifat! Allah dalam lima bagian;
Wahdaniyatullah Ta'ala (keesaan Al lah), Baqa' (kekal), Qadam (yang lebih dahulu),
Mukhalafatuhu! Whawaditsi (berbeda dengan makhluk-Nya), dan Qiyamuhi binafsihi
(berdiri sendiri).

Sebagaimana pula mereka telah membagi sifat Allah menjadi tujuh bagian: Al-Hayat
(Hidup), Al-Ilmu (Mengetahui), Al-Qudrali (Kuasa), Al-Iradah (Kehendak), Al-Kalam
(Berbicara), As Sam'u (Mendengar), dan Al-Bashar (Melihat). Yang kemudian sifat tujuh
ini dikembangkan oleh Syaikh Maturidiyah menjadi 13 sampai 20 sifat sebagaimana
berkembang di Indonesia hari ini.

Pembagian di atas jelas tidak berdasarkan kepada Al Qur'an dan As-Sunnah, tapi hanya
berdasarkan kepada akal semata, padahal akal tidak berhak untuk membicarakannya.

Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa Asy'ariyah tidak ada bedanya dengan Mu'tazilah
karena sama-sama menetapkan aqidah dengan prediksi akat, walaupun Asy'ariyah sebenar
nya lebih dekat kepada Ahlus Sunnah. Kalau Mu'tazilah, akal merupakan sumber pijakan
pertama, adapun Asy'ariyah tidak, hanya saja, apabila ada pertentangan antara nash dan
akal, mereka akan lebih mendahulukan akal, dengan istilah ialah taqdimu al-aql ala an-
naql".

1. Beberapa Pokok Perbedaan Asy'ariyah dengan Ahlus Sunnah

xii
a. Asy'ariyah tenggelam dalam takwil sifat-sifat Allah yang telah dilarang oleh para
salafus shaleh
b. Mendahulukan akal yang mereka istilahkan dengan kepastian-kepastian akal dari
pada Al Kitab dan As Sunnah dalam perkara-perkara ghaib, I'tiqad, dan sifat sifat
Allah.
c. Penafsiran makna tauhid yang dibatasi pada tauhid Rububiyyah dan kelalaian mereka
dari tauhid Uluhiyah dan Ibadah.
d. Perbedaan lain antara Asy'ariyah dan Ahlus Sunnah, adalah dalam permasalahan Al
Qur'an kalamullah iman, qadar, dan nubuwwah.
2. Syubhat-syubhat Aqidah Asy'ariyah Dan Bantahannya
a. Mereka tidak berani menetapkan sifat-sifat Allah

Mengapa mereka tidak berani menetapkan sifat-sifat Allah? Menurut keyakinan


mereka, jika menetapkan sifat akan terjadi tasybih (penyerupaan terhadap makhlug)
Berdasar kaidah mereka setiap sesuatu yang diberi sifat pasti berjisim (memiliki raga),
dan jisim-jisim itu memiliki keserupaan. Jadi kalau Allah diberi sifat akan terjadi
tasybih (penyerupaan dengan makhluq). Oleh karenanya mereka menafikan sifat Allah.

Pernyataan mereka tersebut bisa dibantah dengan beberapa alasan:

1) Sesungguhnya AlIah memiliki nama-nama sebagaimana tersebut dalam Al Qur'an


dan As Sunnah, demikian juga sifat-sifat-Nya

Jika dengan menetapkan sifat-sifat Allah takut terjadi tasybih (penyerupaan),


semestinya menetapkan nama-nama Allah pun demikian pula. Karena antara nama
dan sifat tidak bisa dipisahkan. Kalau dipisahkan berarti tidak ilmiah. Lebih baik
menetapkan keduanya atau menafikan keduanya. Sebagaimana dilakukan oleh
para salaf yang telah menetapkan seluruh asma' dan sifat-sifat Allah. Atau seperti
kaum Filosof, Ghutul Jahmiyah (Jahmiyah ekstrim), dan kaum al Batiniyah yang
menolak semua nama dan sifat Allah.

2) Allah mensifati al asma' al husna dan Allah telah memerintahkan untuk berdoa
dengan nama-nama Nya tersebut, sebagaimana tercantum dalam surat Al A'raaf:
180.

‫هّٰلِل‬
َ‫زَونَ َما َكانُ ْوا يَ ْع َملُ ْون‬ َ ‫س َم ۤا ِٕى ٖ ۗه‬
ْ ‫سيُ ْج‬ ْ ‫س َم ۤا ُء ا ْل ُح‬
ْ َ‫س ٰنى فَا ْدع ُْوهُ بِ َه ۖا َو َذ ُروا الَّ ِذيْنَ يُ ْل ِحد ُْونَ فِ ْٓي ا‬ ْ َ ‫ۖ َو ِ ااْل‬

xiii
"Hanya milik Allahlah nama-nama yang baik, maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaul husna itu." (QS. Al A'raaf: 180)

Ini menunjukkan bahwa nama (Allah) tersebut mempunyai arti yang agung.
Kalau tidak, untuk apa Allah menyuruh berdoa dengan menyebut nama nama-
Nya.

3) Sesungguhnya Allah telah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya bagi diri-


Nya, baik glo bal maupun terperinci. Tetapi dalam hal ini pun secara tegas Allah
menyatakan, bahwa nama-nama dan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan makhluk
Allah Ta'ala berfirman:

ْ ‫س َك ِم ْثلِ ٖه ش‬
‫َي ٌء‬ َ ‫لَ ْي‬

"Tidak ada satupun yang serupa dengan Dia." (QS. Asy Syura: 11).

Ayat ini menunjukan bahwa menetapkan sifat tidak berarti tasbih. Kalaupun
terjadi tasbih berarti kalam Allah saling bertentangan. Hal ini mustahil terjadi.

4) Kalau Allah tidak mensifati diri-Nya dengan sifat sempurna tentu tak laik jadi
Rabb atau Illah. Ingatlah, takala Nabi Ibrahim Alaihis Salam menyindir bapaknya
yang menjadikan patung sebagai Rabb yang tidak bisa mendengar dan melihat,
informasi ini termaktub dalam Al Qur'an:

َ ‫ص ُر َواَل يُ ْغنِ ْي َع ْن َك‬


‫ش ْيـًٔا‬ ِ ‫س َم ُع َواَل يُ ْب‬ ِ َ‫اِ ْذ قَا َل اِل َبِ ْي ِه ٰيٓاَب‬
ْ َ‫ت لِ َم تَ ْعبُ ُد َما اَل ي‬

"Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, wahai bapakku, mengapa engkau


menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat
menolong sedikit pun?"(QS. Maryam: 42).

Demikianlah pemikiran Mu'tazilah dalam tauhid asma' dan sifat, mereka


tetapkan hanya berdasarkan akal semata. Kini bagaimana pula kalangan asy'ariyah
mengimani tauhid asma' dan sifat Allah.

Asy'ariyah dan pengikut-pengikutnya seperti Maturidiyah dan lain-lainya


dalam mengimani asma' dan sifat Allah, adalah dengan cara menetapkan nama-
nama Allah dan sebagian sifat-Nya serta menafikan sebagian besar. Mereka tolak
nash-nash yang mungkin bisa ditolak, dan mereka takwilkan nash-nash yang tidak
mungkin atau tidak bisa ditolak

xiv
b. Mereka menetapkan sifat tujuh bagi Allah swt, Al Iradah (Berkehendak). Al-Qudrah
(Berkuasa), Al-limu (Mengetahui), Al-Hayah (Hidup). Al-Bashrah Melihat), As-
Sam'u (Mendengar) Al-Kalam (Berbicara). Sedangkan sifat Allah yang lainnya
mereka tolak atau mereka ta'wilkan.

Syubhat di atas dapat dibantah dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1) Sesungguhnya menetapkan asma' dan sifat dengan akal adalah menyelisihi para
salafus-shalih. Maka jika mereka hendak kembali kepada Al Qur'an dan As-
Sunnah, mereka harus menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah sebagaimana
Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Yaitu, dengan tanpa tatal (menyerupal). tutu
(menafikan), zaly (menanyakan bagaimant). dan tarif (menyimpangkan dari
makna aslinya).
2) Sesungguhnya mengembalikan permasalahan ini kepada akal, sudah menyalahi
akal itu sendiri. Sebab masalah ini termasuk dalam kategori ghaib yang akal tidak
mampu untuk mengetahuinya.
3) Bila masalah (gaib) ini dikembalikan kepada akal pasti akan terjadi ikhtilaf
(perselisihan) dan berlawanan Karena setiap orang memiliki akal dan masing-
masing berhak untuk berpendapat Kalau dalam hal ini ada yang mengatakan
wajib, maka bisa jadi yang lainnya ada yang mengatakan tidak wajib, karena tidak
ada suatu kaidah yang menjadi patokan d. Apabila mereka menta'wilkan nash dari
makna dhahir kepada makna yang sesuai dengan akal mereka, untuk hal ini perlu
dilihat contoh sebaga berikut:

Apabila mereka berkata yang dimaksud tangan Al lah itu adalah kekuatan (Al
Quwwalt) dan bukan tangan yang sebenarnya, dengan alasan jika tangan diartikan
tangan sebenarnya, maka akan terjadi tasybih dengan makhluq karena makhluq
punya tangan. Mengenai masalah ini perlu dijawab jika menetapkan quwwah,
lantaran tidak berani menetapkan tangan Allah yang sebenarnya, maka sebenarnya
sama saja, karena makhluq juga punya sifat quwwah. Jadi kalau menetapkan bagi
Allah sifat quwwah berarti batal menurut kaidah anda. Begitu juga dengan sifat
yang lainnya, seperti Al Multy dan yang lainnya.

4) Sesungguhnya tentang nama dan sifat Allah yang mereka nafikan, dengan kata
lain jika ditetapkan akan terjadi tasybih, inipun juga tidak benar. Karena
bersamaan dengan nama-nama dan sifat-sifat tidak berarti harus sama dengan

xv
yang diberi nama atau yang disifati. Menurut bahasa aqidah hanya qadru al-
musytarak artinya sama dalam nama tapi beda dalam makna.

E. Pengaruh aliran Asy’ariah dalam Perkembangan Islam


Ditengah konsolidasi faham sunni, sebagai teologi yang dikembangkan oleh Al-Asy'ari
telah mendapat angin segar di tengah masyarakat dan oleh penguasa, terlebih setelah
tampilnya para pengikut al-Asy'ari, terutama ketika tampilnya al-Gazali sekitar dua abad
setelah al-Asy'ari. Dengan argumentasi yang logis, Al-Ghazali sulit tertandingi pada
zamannya, terbukti ia berhasil mengekang gelombang Helenisme kedua. maka tidaklah
berlebihan jika al-Gazali diberi gelaran "Hujjah al-Islam", dan disertai kehidupannya yang
zuhud, Asy'ariyah mendapat tempat ditengah masyarakat.

Secara umum, Al-Asy'ari mencoba menciptakan suatu posisi moderat dalam hampir
semua isu teologis yang menjadi perdebatan pada masa itu. Dia membuat penalaran tunduk
kepada wahyu dan menolak kehendak bebas manusia dalam kebaikan yang dilakukan secara
sukarela dan menghilangkan kehendak bebas manusia yang kreatif dan menekankan
kekuasaan Tuhan dalam semua yang terjadi dibelakang ayat-ayat Alquran. sehingga dapat
disederhanakan bahwa keberadaan manusia tetap bertanggungjawab terhadap amal perbuatan
mereka.

Namun satu anomali dari pemikiran Kalam Asy'ariyah yang menjadi bahan sorotan para
pemikir kontemporer adalah konsepsi mereka tentang hukum kausalitas.

Seperti diketahui bahwa pemikiran kalam Asy'ariyah yang kemudian dikokohkan oleh al-
Ghazali tentang kausalitas sangat tidak relevan dengan gambaran realitas yang ada. Karena itu
tidak mengherankan jika konsep ini kemudian dipandang oleh pemikir Muslim kontemporer
sebagai faktor terpenting yang turut bertanggung jawab atas melemahnya etos intelektualisme
dalam tradisi pemikiran Islam di kemudian hari.

Dalam perkembangan dunia islam selanjutnya mazhab Asy'ariyah juga tidak banyak
memberikan sumbangan sains pada islam yang sedang berkembang, sebab sebagian besar
ilmuwan muslim adalah juga filosof dan hanya sedikit dari mereka yang menjadi Mutakallim
atau teologi Asy'ariyah. Berkat Al-Gazali faham Asy'ariy dengan sunnah wal jamaahnya
berhasil berkembang, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan
para khalifa Abbasiyah, namun faham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa
Daulah Bagdag kala itu.

xvi
Tidak diragukan lagi bahwa aliran asy’ariyah telah berkembang di seluruh penjuru negeri
islam, sehingga umat Islam mengira madzhab Asy'ariyah termasuk dari ajaran Ahlus Sunnah.
Dan yang perlu dipertanyakan adalah kenapa madzhab Asy'ariyah yang masih tercampuri
banyak kesesatan dan banyaknya kritikan berkembang pesat di kalangan umat Islam? Dan
masih banyak dukungan dari kalangan Ulama Fiqh dan Ulama Hadits?

Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan jawaban dengan beberapa
alasan.

Pertama, masih banyaknya kandungan kebenaran yang mereka bawa dan banyaknya
Hadits Nabawi yang mereka pegangi

Kedua, pandainya mereka membungkus kebenaran dengan qiyas aqli, baik yang
bersumber dari ajaran Shabi ah atau dari sesuatu yang baru dalam Islam.

Ketiga, lemahnya atsar Nabi yang digunakan untuk membendung syubhat-syubhat dan
untuk memberi penjelasan menuju jalan yang benar bagi mereka.

Keempat, lemah dan kurangnya dalam ber-intisab (penyandaran) kepada hadits Nabi.
Terkadang merawikan hadits yang tidak diketahui kebenarannya, dan terkadang
juga seperti orang buta yang tidak mengetahui kandungan Al-Kitab kecuali amani
(angan-angan), serta berpaling dari suatu kebenaran yang terdapat dalam Al Kitab
dan As Sunnah

Sebab-Sebab Terpenting Berkembangnya Madzhab Asy'ariyah Di Negeri Islam:

1. Melemahnya kekuasaan Mu'tazilah di tengah-tengah kejayaan pemikiran Asy'ariyah.


2. Perkembangan madzhab di tengah ibu kota kekuasaan khilafah Abbasiyah di Baghdad.
Dan perhatian umat Islam di seluruh pelosok negeri tertuju kepada tempat berkuasanya
kekhalifahan yang di dalamnya banyak terdapat para Fuqaha', Ahli Hadits dan Qurro
Begitu juga Baghdad merupakan salah satu kota terpenting tempat berkembangnya
para Ulama untuk mengambil suatu riwayat hadits dan menyampaikan suatu hadits.
Maka ketika kondisi demikian semarak, pertumbuhan madzhab Asy'ariyah
semakin pesat seiring dengan banyaknya Ulama yang mengambil pendapat-pendapat
Asy'ariyah dan disebarkannya ke banyak tempat. Kondisi demikian sangat bertolak
belakang dengan madzhab Maturidiyah, walaupun semasa dengan Asy'ariyah tetapi
ajarannya ini muncul di seberang lautan dari Baghdad, maka tentu saja tidak bisa
berkembang sepesat madzhab Asy'ariyah.

xvii
3. Adanya dukungan dari beberapa amir dan wazir khalifah Abbasiyah terhadap
Asy'ariyah. Yang paling terkenal di antaranya Al-wazir Nidlamul-Mulk, Al Mahdi bin
Tumir, Nurud-ddien bin Mahmud bin Zanky dan Shalahuddien Al-Ayyubi.
4. Banyaknya Ulama yang menolong dan memberikan dukungan, terutama para Fuqaha'
Muta'akhirin dari kalangan Syafi'iyyah dan Malikiyyah. Mereka itu di antaranya: Al-
Baqlaani, Ibnu Faruq, Al-Baihaqi, Al Isfirayaini, Asy-Syirazi, Al-zuwaini, Al-
Qusyairi, Al Baghdadi, Al-Ghazali, Ar-Razi, Al-Amidi, Al-Izz Ibnu Abdus-Salam,
Badaruddin Ibnu Jama'ah, dan As-Subqi Mereka tidak hanya sebatas mendukung,
bahkan sampai pada taraf menulis buku-buku dan mengajak pada madzhab tersebut.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari lahir di Basra. Ia dididik dan dibesarkan di
kalangan Mu'tazilah. Dan menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di kota Baghdad,
Irak. Tahun 912 M al-Asy'ari memutuskan keluar dari Muktazilah, setelah bergumul dalam
kelompok itu selama kurang lebih empat puluh tahun. Kemudian ia merumuskan pandangan
teologi (kalam) Islam yang berseberangan dengan pandangan Mu'tazilah. Kelompok al-
Asy'ari ini dikenal dengan Asy'ariyah. al-Asy'ari wafat pada Tahun 935 M. Perjuangannya
memperkuat paham Ahlus Sunnah wa al-Jamaah dilanjutkan oleh murid-muridnya. Di
antarannya adalah al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, dan al-Sanusi. Tahun 1028 M lahir
seorang tokoh Asy'ariyah bernama Abdul Malik bin AbduHah bin Yusuf bin Muhammad bin
Abdullah bin Hayyuwiyah al-Juwaini al-Nisaburi, atau yang dikenal dengan Al-Juwaini. Ia
menjadi pengajar di Madrasah Nizamiyah Nisyapur selama 23 tahun. Madrasah ini
menjadikan teologi Islam aliran Asyariyah sebagai kurikulum resmi. Salah satu murid Al-
Juwaini yang terkenal adalah Al-Ghazali.

Abu Hamid al-Ghazali, yang kemudian menjadi pembela aliran Asy'ariyah paling
berpengaruh sepanjang sejarah pemikiran Islam. Al-Ghazali juga pernah menjadi guru di
Madrasah Nizamiyah. Sejak saat itu aliran Asyariyah menyebar ke seluruh pelosok dunia
Islam, dari Andalusia hingga Indonesia. Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Dinasti Seljuk,
mendirikan Madrasah Nizamiyah. Madrasah ini memiliki cabang di berbagai kota penting
dalam wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah.Tahun 1427 M. lahir tokoh Asy'ariyah yang
lain, yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi. Imam yang satu ini, punya

xviii
pengaruh yang besar di Indonesia, terutama konsepnya tentang sifat Allah dan Rasul-Nya.
Adapun pokok-pokok pemikiran aliran Asy-‘ariyah yaitu seperti Wajibul Wujud, Keadilan
Tuhan, mengenal akal dan wahyu, konsepiman, melihat tuhan, pelaku dosa besar dan tentang
al-qur’an yang ia yakini nahwa bukanlah makhluk.

B. Saran
Demikian makalah tentang Masdar ini yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan.
Penulis memohon maaf kepada seluruh pihak atas segala kekurangan dan kesalahan baik dari
segi penulisan atau penyampain. Penulis juga sangat mengharapkan kritik dan sarannya guna
perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bisa menjadi salah satu referensi belajar
dan bermanfaat buat kita semua. Aamiin.

xix
DAFTAR PUSTKA
https://nandhadhyzilianz.blogspot.com/2013/01/makalah-ilmu-kalam-tentang-asyariyah.html

https://yusufa17.blogspot.com/2019/04/aliran-al-asyariyah-makalah-ilmu-kalam.html

https://www.referensimakalah.com/2012/07/pokok-pokok-ajaran-al-asyariyah.html

xx

Anda mungkin juga menyukai