Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

ISLAM DI ERA AL-ASYARI YYAH DAN AL-MATURIDI

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Aswaja

Dosen Pengajar : M. Ridwan Hambali

Kelompok :

1. Siti Fatimmatus Zahro (230801007)


2. Riska Rifayanatus Shoidatin (230801030)
3. Wahyuni Dina Ayu Fadhilah (230801033)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI

2023

i
KATA PENGANTAR

Dengan iringan rasa syukur kehadirat Alloh SWT. Atas limpahan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sehingga makalah “Aliran Al Asy’ariyyah dan Al
Maturidiyah” dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu mata kuliah Aswaja.

Tidak ada pekerjaan yang dapat terselesaikan tanpa bantuan dari pihak
lain, demikian juga makalah ini dapat selesai atas bantuan dari berbagai pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Baik yang membantu dan
memberikan dukungan secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan
makalah ini.

Sebagai akhir kata mudah–mudahan amal baik semua pihak yang telah
membantu penulis mendapatkan imbalan pahala yang berlipat ganda dari Alloh
SWT. Amin.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan kerendahan
hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan dan peningkatan makalah di tahun–tahun yang akan datang.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan kepada
semua pihak yang berkompeten dalam dunia pendidikan.

Bojonegoro, 20 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Cover ................................................................................................................. i

Kata Pengantar ................................................................................................. ii

Daftar Isi ......................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN ...............................................................................1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................1

1.2 rumusan Masalah .......................................................................................2

1.3 Tujuan .........................................................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN ................................................................................3

2.1 Aliran Asy’ariyyah .....................................................................................3

2.1.1Latar Belakang Kemunculan Asy’ariyyah ................................................3

2.1.2 Dokrin-dokrin Teologi Aliran Asy’ariyyah .............................................6

2.1.3 Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyyah ...........................................................12


2.2 Aliran Al-Maturidiyah ..............................................................................21
2.2.1 Latar Belakang Kemunculan Al-Maturidiyah ........................................21
2.2.2Dokrin-dokrin Teologi Aliran Al-Maturidiyah .......................................24
2.2.3 Tokoh-tokoh Aliran Al-Maturidiyah .....................................................29
2.2.4 Sub Sekte Aliran Al-Maturidiyah ..........................................................29

BAB III : PENUTUP ......................................................................................31

3.1 Kesimpulan ...............................................................................................31


3.2 Saran ..........................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................32

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam Islam


telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini
muncul setelah wafatnya Rosulullah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
munculnya berbagai golongan dengan segala pemikiranya. Diantaranya adalah
faktor poitik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali
dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu
golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari
golongan satu pada golingan yang lain.

Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda antara


satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor Al-Qur’an dan Sunnah,
akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut.
Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal yang
berlebihan sehingga keluar dari wahyu dan ada juga yang menamakan dirinya
sebagai ahlussunnah wal jama’ah. Golongan-golongan tersebut diantaranya yaitu
asy’ariyah dan maturidiyah.

Asy'ariyah adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imam Abul Hasan
al-Asy'ari (w.324 H/936 M). Inti pokok pemikiran teologi Al-Asy’ari adalah
Sunnisme. Sedangkan aliran maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak
rasional-tradisional. Nama aliran ini dinisbahkan dari nama pendirinya yaitu Abu
Mansur Muhammad al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi
dan dalil aqli kalami. Oleh karenanya, makalah ini akan membahas tentang aliran
Asy’ariyyah dan Maturidiyah baik dari latar belakang kemunculannya,
doktrin doktrin atau ajaran yang dimiliki dan tokoh-tokohnya.

1
A. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?

2. Bagaimana doktrin ajaran aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah?

3. Siapa tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyyah?

B.Tujuan

1. Untuk mengetahui latar belakang kemunculan aliran Asy’ariyah dan


Maturidiyah.

2. Untuk mengetahui doktrin ajaran aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.

3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyyah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Aliran Asy’ariyyah


2.1.1 Latar Belakang Kemunculan Asy’ariyyah

Abdul-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ary, keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ary
yang merupakan salah satu perantara dalam sengketa antara Ali dan Mu’awiyah.
Secara lengkap beliau adalah Abi Al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin
Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari
(Mufid, 2013). Al Asy’ary lahir di Basrah pada tahun 260 H/873 M dan wafat
pada tahun 324 H/935 M. Pada waktu kecil, ia berguru pada seorang Mu’tazilah
yang terkenal yaitu Al-Jubba’i. Al-Juba’i sendiri merupakan ayah tiri yang
menikahi ibu Al Asy’ari setelah ayah kandungnya wafat (Syadzili, 2015). Al
Asy’ary mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya. Aliran ini
diikutinya sampai berusia 40 tahun dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan
untuk mengarang buku-buku kemu’tazilahan (Hanafi, 1991). Kapasitas dan
kapabilitas intelektual Al-Asy’ari dapat diketahui dengan sikap Al-Juba’i yang
sering mempercayakan kepadanya untuk mengajarkan paham Mu’tazilah mana
kala yang guru Al-Juba’i berhalangan. Hal ini menyebabkan Al-Asy’ari disebut-
sebut sebagai bakal pengganti Al-Juba’i dalam melanjutkan misi Mu’tazilah,
walaupun sebenarnya Al-Juba’i mempunyai anak kandung bernama Abu Hasyimi
(Mufid, 2013).

Motif teologi yang mendorong Al-Asy’ari berubah haluan dari Mu’atazilah ke


aliran salaf diantaranya (Mufid, 2013) :

a. Ketidakpuasan Al-Asy’ari atas jawaban Al Juba’i berkaitan dengan


keadilan Tuhan yang diukur dengan menggunakan batas-batas akal
manusia. Suatu ketika Al-Asy’ari bertanya kepada sang guru mengenai
konsep al-Salah wa al-Aslah tentang nasib seorang anak dan seorang

3
dewasa yang sama-sama masuk surga karena imannya. Sesuai dengan
keadilan Tuhan menurut persepsi Mu’tazilah, orang dewasa akan
menempati surga yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan si
anak. Mengapa harus begitu tanya Al-Asy’ari, gurunya menjawab bahwa
orang dewasa telah melakukan amal kebaikan. Kenapa si anak tidak diberi
usia lebih panjang supaya memiliki kesempatan untuk melakukan amal
baik, kejar Al-Asy’ari. Gurunya menjawab bahwa Tuhan telah mengetahui
bahwa jika si anak dibiarkan hidup dengan usia yang lebih panjang maka
ia akan tumbuh menjadi anak yang durhaka, kilah Al-Juba’i. Padahal
Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk semua manusia. Bagaimana jika
orrang-orang yang telah dijebloskan dalam neraka berteriak menuntut
dengan bertanya mengapa mereka tidak dimatikan saja ketika masih kecil,
sehingga tidak tumbuh menjadi orang yang durhaka. Al-Juba’i terdiam
tidak dapat menjawab,

b. Memperoleh petunjuk dari Nabi Muhammad SAW lewat mimpi. Al-


Asy’ari mengaku bertemu dengan Rasululloh SAW sebanyak 3 kali yakni
pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam mimpinya
Rasululloh SAW memperingatkannya agar meninggalkan paham
Mu’tazilah (Hasibuan, 2017). Rasululloh SAW memerintahkan Al-Asy’ari
untuk meninggalkan teologi rasionalistik dan kembali berpegang pada
ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasul. Setelah Al-Asy’ari mengurung diri di
dalam rumah selama 15 hari untuk merenungkan apa saja yang telah
diajarkan oleh guru-guru Mu’tazilah, Al-Asy’ari menemukan kemantapan
jawabannya. Al-Asy’ari pun menuju ke masjid Basrah dan mengumumkan
bahwa dirinya telah meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan sebaliknya akan
membela faham salaf yang berpegang pada al-Qur’an dan As-sunnah
(Mufid, 2013).

Semua pernyataan yang beliau katakan merupakan pendapat aliran


Mu’tazilah. Kemudian ia mengatakan kembali bahwa (Hanafi, 1991):
“Saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut, saya harus

4
menolak faham-faham orang Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-
keburukan dan kelemahan-kelemahannya”

Sebab utama Al Asy’ary meninggalkan aliran Mu’tazilah adalah adanya


perpecahan yang dialami oleh kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka
kalau tidak segera diakhiri. Sebagai seorang muslim yang memiliki gairah untuk
menjaga keutuhan kaum muslim, ia sangat mengkhawatirkan Qur’an dan Hadist
menjadi korban paham-paham kaum Mu’tazilah. Menurut pendapatnya, paham-
paham Mu’tazilah tidak dapat dibenarkan karena didasarkan pada pemujaan akal
pikiran. Ia juga mengkhawatirkan adanya Qur’an menjadi korban sikap ahli hadist
anthropomorphist yang hanya memegangi nas-nas dengan meninggalkan jiwanya
dan hampir menyeret Islam kepada kelemahan kebekuan yang tidak dapat
dibenarkan agama. Oleh karenanya, Al Asy’ary mengambil jalan tengah antara
golongan rasionalis dan golongan tektualis dan ternyata jalan tersebut dapat
diterima oleh mayoritas kaum Muslimin (Hanafi, 1991).

Di samping motif yang semata-mata bersifat teologis, dimungkinkan


Al’Asy’ari kecewa dengan posisi kaum Mu’tazilah yang sudah tidak lagi sesuai
dengan situasi baru. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan keputusan Al-Ma’mun
tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara, kedudukan kaum
Mu’tazilah mulai menurun. Apalagi setelah Al-Mutawakkil memberikan
penghargaan dan penghormatan kepada Ibnu Hambal, lawan terbesar Mu’tazilah
pada waktu itu. Dengan demikian leluasalah orang-orang yang dikecewakan dan
disakiti oleh aliran Mu’tazilah untuk melakukan kritik dan serangan kepada
Mu’tazilah. Apalagi akibat ”mihnah” yang sangat tak terlupakan oleh mayoritas
masyarakat muslim, menjadi salah satu faktor tersisihnya paham mu’tazilah di
kalangan ummat. Bahkan pada waktu yang bersamaan, di kalangan Mu’tazilah
terjadi perpecahan dan sebagian tokoh-tokohnya meninggalkan barisan
Mu’tazilah, seperti Isa Al-Warraq, Ahmad Ibnu Rawandi. Hal inilah yang menjadi
salah satu alasan mengapa Al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah. Kebetulan pada
saat yang sama belum ada teologi yang teratur yang dapat dijadikan pegangan
masyarakat. Ditambah dengan keraguan yang ada dalam diri Al-Asy’ari, maka

5
lengkaplah sudah dorongan untuk menyusun teologi baru, yang kemudian terkenal
dengan Teologi (mazdhab) Al-Asy’ariyah, suatu nama yang dinisbatkan kepada
sang pendiri, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (Mufid, 2013).

Al-Asy’ari melihat bahwa fungsi Mu’tazilah yang merupakan suatu upaya


kompromi antara golongan sunni dan Syi’ah, sudah tidak sesuai lagi dengan
situasi yang sedang dihadapi. Kebijaksanaan Al-Mutawakkil tampak cenderung
kepada golongan sunni. Hal ini berakibat pada terjadinya konsolidasi di kalangan
sunni. Pada saat yang sama, ketidakjelasan konsep golongan Rafidloh, telah
digantikan oleh bentuk ”imamah” yang lebih jelas. Dengan demikian telah terjadi
pengentalan baik pada faham Sunni maupun Syi’ah. Maka masa depan Mu’tazilah
dengan segala komprominya akan menjadi kurang begitu penting (Mufid, 2013).

2.1.2 Dokrin-dokrin Teologi Aliran Asy’ariyyah

Inti pokok pemikiran teologi Al-Asy’ari adalah Sunnisme. Ajaran-ajaran yang


diajarkan oleh Al-Asy’ari dapat dilihat pada kitab-kitab yang ditulisnya. Al-
Asy’ari menulis kurang lebih 90 buah buku dengan berbagai bahasan, namun
dalam ajarannya ia menolak pemikiran Aristoteles, golongan materialist,
anthropomorphist, khawarij dan golongan-golongan Islam lain. Akan tetapi
sebagian kegiatannya ditujukan untuk menghadapi orang-orang golongan
Mu’tazilah seperti Al Juba’i, Abu Huzail dan lainnya. Sebagaimana ditujukan
terhadap dirinya sendiri sewaktu ia masih menjadi pengikut Mu’tazilah (Hanafi,
1991). Adapun kitab-kitab terkenal yang dikarang oleh Al-Asy’ari diantaranya
adalah (Hanafi, 1991) :
a. Maqalat al-Islamiyyin (Pendapat-pendapat golongan-golongan Islam)
Kitab pertama yang memaparkan tentang kepercayaan-kepercayaan
golongan Islam. Kitab ini merupakan sumber yang penting karena
ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab ini terdiri dari tiga bagian
(Supriadin, 2014) :
- Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam
- Aqidah aliran Ahl al-Hadist dan Ahl al-Sunnah,
- Beberapa persoalan ilmu kalam

6
b. al-Ibanah an Ushulud Diyanah (keterangan tentang dasar-dasar agama)
Kitab ini berisi uraian tentang kepercayaan ahli Sunnah dan dimulainya
dengan memuji Ahmad bin Hanbal dengan menyebutkan kebaikan-
kebaikannya. Uraian pada kitab ini tidak tersusun rapi, meskipun
menyangkut persoalan yang penting dan banyak sekali. Dalam kitab ini,
Al-Asy’ari menyerang dengan pedas aliran Mu’tazilah,
c. al-Luma (Sorotan) Kitab ini dimaksudkan untuk membantah lawan-
lawannya dalam beberapa persoalan ilmu kalam.
Adapun pokok-pokok ajaran aliran Asy’ariyyah adalah sebagai berikut :
1) Al- Quran Sebagai Kalam Allah
Sebagai reaksi terhadap pemikiran teologi Mu’tazilah, Al-Asy’ari
mengecam pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan Allah.
Oleh karenanya, Al-Qur’an adalah makhluk. Golongan yang berpandangan
semacam ini dikecam oleh Al-Asy’ari sebagai pendapat yang mengadopsi
pendirian orang kafir yang menganggap Al-Qur’an sebagai ucapan manusia (in
huwa illa qaul al-basyar). Bahkan lebih jauh 7 Al-Asy’ari berpendapat bahwa
orang yang meyakini Al-Qur’an sebagai makhluk adalah kafir. Bagi Al-Asy’ari
menentukan apakah Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang qodim atau sebagai
makhluk yang hadist (baru) adalah amat penting. Hal ini disebabkan oleh
pendapat Al-Asy’ari tentang apakah al-Qur’an memiliki otoritas atas pendapat
manusia atau tidak. Bagi Al-Asy’ari, al-Qur’an adalah sumber otoritas yang
harus dipedomani. Oleh karenanya Al-Qr’an harus bersifat qodim dan bukan
makhluk seperti manusia. Memakhlukkan Al-Qur’an secara tidak langsung
menyatakan bahwa Al-Qur’an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang dapat
mendikte manusia. Pandangan ini sangat berbahaya bagi keutuhan doktrin, oleh
karena itu paham keterciptaan manusia ditolak Al-Asy’ari. Al-Asy’ari juga
berpendapat bahwa memahami Al-Qur’an tidak bisa hanya mengandalkan akal
tetapi harus mengikuti petunjuk Sunnah dan riwayat salaf al-Mutaqadimin.
Penalaran akal bisa digunakan selama dapat memperjelas al-Qur’an (Mufid,
2013).

7
Pemikiran al-Asy’ari tentang Kalam Allah (al-Qur’an) dibedakan menjadi
dua, kalam Nafsi yakni firman Allah yang bersifat abstrak, tidak berbentuk
yang ada pada Zat Tuhan. Ia bersifat Qadim dan Azali serta tidak berubah oleh
adanya perubahan ruang, waktu dan tempat. Maka al-Qur’an sebagai kalam
Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada para Rasul dalam bentuk huruf atau kata-
kata yangdapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya yakni berupa
al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat
hadist (baru) dan termasuk makhluk. Sebagai reaksi atas pandangan Mu’tazilah
yang menyatakan bahwa kalam Allah tidak bersifat kekal tetapi bersifat baru
dan diciptakan oleh Allah. Maka al-Asy’ari berpendapat bahwa kalam Allah
tidaklah diciptakan (Supriadin, 2014).
2) Tuhan Memiliki Sifat
Dalam persoalan ini, Asy’ariyyah menghadapi dua pandangan ekstrem,
yaitu aliran Sifatiyah Mujassimah dan Musyabbihah. Mereka beranggapan
bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat sebagaimana yang termaktub dalam al-
Qur’an dan sifat-sifat tersebut harus dipahami secara harfiah. Sedangkan di sisi
lain, terdapat golongan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak
mempunyai sifat di luar esensi-Nya. Karena jika Tuhan mempunyai sifat, maka
sifat itu kekal sebagaimana Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa zat yang kekal
jumlahnya tidak hanya satu (Ta’addud al-Qudama’). Al-Ghazali menyatakan
bahwa sifat Tuhan itu tidak sama dengan Tuhan. Bahkan berbeda dengan
esensi Tuhan itu sendiri, tetapi berwujud dalam esensi itu atau dikenal dengan
sebutan “la hiya Huwa wa la hiya ghairuhu” (Syadzili, 2015).
Mengenai pembahasan sifat Tuhan, Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan
memiliki sifat dan menolak aliran Sifatiyah Mujassimah dan Musyabbihah.
Asy’ary berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat sebagaimana dalam Al-
Qur’an dan al-Hadist dan sifat tersebut sesuai dengan Zat-Nya sendiri dan tidak
menyerupai sifat yang dimiliki oleh makhluk. Tuhan mendengar tetapi tidak
sama sebagaimana makhluk mendengar. Sifat Tuhan unik dan tidak dapat
disamakan dengan makhluk atau sifat makhluk tidak dapat disamakan kepada

8
sifat Tuhan. Tuhan itu memang memiliki sifat-sifat yang mirip dengan sifat-
sifat manusia, namun semua sifat-sifat itu harus dipahami secara bila kayf tanpa
dibayangi dengan pertanyaan “bagaimana” dan bila tasybih tanpa mencari
perbandingannya (Syadzili, 2015).
Pembahasan mengenai sifat Tuhan, menunjukkan bahwa paham kaum
Asy’ariyah berlawanan dengan paham Mu’tazilah. Asy’ariyah berpendapat
bahwa Allah itu mempunyai sifat diantaranya, al-‘ilm, al-qudrat, al-sama’, al-
bashar, al-hayah, iradah, dan lainnya. Namun sifat-sifat Tuhan tersebut
dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd yang artinya tanpa diketahui bagaimana
cara dan batasnya. Menurut al-Asy’ari, Allah mempunyai ilmu yang dibuktikan
dengan adanya alam semesta yang sangat teratur. Alam tidak akan ada kecuali
diciptakan oleh Allah yang memiliki ilmu.
3) Perbuatan Tuhan dan Teori Kasb
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Tuhan wajib berbuat yang terbaik
untuk manusia. Namun, Al-Asy’ary berpendapat lain dimana Tuhan tidak
mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Dengan kekuasaam-Nya
yang mutlak, Tuhan bisa memberikan petunjuk kepada siapa saja yang
dikehendaki atau sebaliknya. Tuhan juga berkuasa menyantuni orang-orang
mukmin atau menyesatkan orang-orang kafir atau bahkan menyantuni orang-
orang kafir. Semua hal itu merupakan kehendak dan ketetapan Tuhan. Bertitik
tolak dari paham kekuasaan mutlak tak terbatas yang dimiliki Tuhan, Al-
Asy’ary berpendapat bahwa Allah (Tuhan) tidak wajib berbuat adil. Seperti
dikatakan dalam Al-Luma’ yang dikutip oleh Zainun Kamal, bagi Al-Asy’ari
tidak dikatakan salah kalau Tuhan memasukkan seluruh ummat manusia ke
dalam surga termasuk orang-orang kafir. Dan juga sebaliknya, tidak bisa
dikatakan bahwa Tuhan itu dzalim, jika Ia memasukkan seluruh ummat
manusia ke dalam neraka (Mufid, 2013).
Pendapat yang dianut oleh aliran Asy’ariyah banyak diilhami oleh ayat-
ayat Al-Qur’an contohnya “inna rabbaka fa’aalun lima yuridu” dan ayat “man
yahdi Allahu fahuwa al-muhtadi wa man yudhlil fa ulaika hum al-khasirun”.
Ayat-ayat ini yang dimungkinkan menjadi dasar aliran Asy’ariyah untuk

9
berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak sehingga Tuhan dapat
berbuat sesuai dengan kehendak-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya.
Sebenarnya Al-Asy’ary sepakat dengan Mu’tazilah bahwa Tuhan itu Maha
Adil, tetapi ia tidak sepakat bahwa Tuhan harus adil. Tuhan mustahil tidak adil
kata Al-Asy’ari sebab ketidakadilan itu berarti merampas hak orang lain. Akan
tetapi di alam semesta ini tidak ada yang bukan milik Tuhan. Oleh karenanya,
jika Tuhan ingin bertindak tidak adil dengan alasan apapun, Dia tetap tidak bisa
dikatakan tidak adil. Karena semua yang ada di alam semesta ini merupakan
ciptaan-Nya (Mufid, 2013).
4) Konsep Tentang Iman
Al-Ibanah ’An Usul Al-Diyahah sebuah kitab yang memuat pendapat Al-
Asy’ary tentang iman. Menurut Al-Asy’ary, iman menyangkut ucapan dan
perbuatan manusia yang kadarnya bisa bertambah dan berkurang. Hal ini
menunjukkan bahwa Al-Asy’ari mengakui adanya amal itu penting untuk
menentukan kualitas iman seseorang dan iman akan mencapai
kesempurnaannya bila didukung oleh amal shalih. 12 Akan tetapi ketika Al-
Asy’ary dihadapkan pada persoalan pendosa besar, seperti para pelaku zina,
pencuri dan peminum arak, maka aliran Al-Asy’ary berpendapat bahwa mereka
tetap tidak dapat dikatakan kafir selama masih berkeyakinan bahwa apa yang
dilakukan itu merupakan perbuatan yang diharamkan (Mufid, 2013).
Secara singkat dapat diketahui bahwa pokok pikiran aliran Al-Asy’ari
adalah (Nasution, 1974) :
a. Tuhan tetap mempunyai sifat-sifat. Tuhan tidak mungkin mengetahui
dengan esensi-Nya, Tuhan harus mengetahui dengan sifat-Nya,
b. Al-Qur’an bukan diciptakan, tetapi bersifat qadim, karena Tuhan telah
bersabda semenjak zaman azali,
c. Perbuatan manusia tidak diwujudkan manusia sendiri, tetapi diciptakan
oleh Tuhan. Dalam perwujudan perbuatan, manusia mempunyai tetapi
memiliki andil meskipun secara pasif. Hal ini disebut kasb,
d. Tuhan berkuasa mutlak. Tuhan tidak harus melaksanakan janji-janji baik
dan ancaman-ancaman-Nya. Tuhan dapat berbuat sesuai dengan

10
kehendak- 13 Nya, itulah yang disebut adil. Jika Tuhan tidak dapat berbuat
sesuai kehendak-Nya, itu mengandung arti ketidakadilan.
Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah, tidak
dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. Ia
menentang dengan keras pada mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran
dalam agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung oleh
Rasulullah merupakan suatu kesalahan. Dalam hal ini ia juga mengingkari
orang yang berlebihan menghargai akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-
sifat Tuhan. Adapun ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah
sebagai berikut (Hasibuan, 2017) :
a. Mereka berpikir sesuai dengan Undang-Undang alam dan mereka juga
mempelajari ajaran itu,
b. Iman adalah membenarkan dengan hati sedangkan amal perbuatan
adalah kewajiban untuk berbuat baik dan terbaik bagi manusia dan
mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar.
c. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak
mutlak-Nya.

5) Akal dan Wahyu dan Kriteria baik dan buruk


Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya
akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu,
sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.Dalam menentukan baik buruk pun
terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.Al-Asy’ari berpendapat bahwa
baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah
mendasarkannya pada akal.

6) Melihat Allah
Menurut Al-Asy’ari karena Allah adalah Wujud, maka Allah dapat dilihat.
Allah mempunyai sifat al-Bashar yaitu sifat qadim yang lekat pada Dzat-Nya,
tanpa menggunakan bola mata ataupun alat-alat penglihatan yang dikenal

11
manusia. Sebagaimana Allah mempunyai sifat Al-Mukhalafah lil Hawadits
(tidak sama dengan barang baru/ makhluk). Sehingga Allah tidak memiliki sifat
sedikitpun yang mirip dengan sifat mahluk-Nya dan tidak bisa digambarkan.
Dan kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah menciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
7) Keadilan
Pada dasarnya Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka
hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Menurutnya Asy’ari
keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenaranya, yaitu
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta
mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik.
8) Kedudukan orang yang berdosa besar
Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya
masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq.
Sekiranya orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,
maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman dengan demikian
bukanlah ia atheis dan bukanlah pula monotheis, tidak teman dan tidak musuh.
Hal serupa ini tidak mungkin, oleh karena itu mungkin bahwa orang yang
berdosa besar bukan mukmin dan pula kafir.
2.1.3 Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyyah
Aliran Asy’ariyyah berkembang pesat di Iraq. Kemudian berkembang di
Mesir pada zaman Salahuddin al-Ayubi, di Syiria dengan dukungan Nuruddin
Zanki, di Maghribi dengan dukungan Abdullah bin Muhammad, di Turki
dengan dukungan Utsmaniah dan di daerah-daerah yang lain. Salah satu alasan
utama kemajuan aliran Asy’ariyyah adalah banyaknya pengikut-pengikut yang
berasal dari orang-orang terkemuka yang mampu mengkonstruksikan ajaran-
ajarannya atas dasar filsafat methaphisica. Aliran Asy’ariyyah juga didorong
oleh sarjana-sarjana di kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Diantara tokoh-tokoh aliran Asy’ariyyah adalah Al-Baqillany, Al-Juwainy, Al-
Ghazaly, dan Assanusy.

12
a. Al-Baqillany (wafat 403 H./1013 M.)
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Thayyib bin
Muhammad bin Ja'far bin al-Qasim, yang lebih dikenal dengan al-Qadhi
Abu Bakr al-Baqillani. Al-Baqillany terkenal sebagai mutakkalim namun
beliau juga seorang ahli ushul fikih Lahir di Bashrah tempat kelahiran
gurunya Al- Asy’ary dan menetap di Baqdad tentang tahun kelahirannya
tidak ada sumber yang pasti menyebutnya (Hasyim, 2005).
Al-Baqillani berguru pada sejumlah ulama di berbagai disiplin
ilmu, diantaranya Abu Abdullah bin Muhammad bin Ya'kub bin Mujahid
al-Thaiy al-Malikiy (sahabat dan murid al-Asy’ariy), Abu Bakr Ahmad bin
Ja'far bin Malik al-Qathi'iy, Abu Bakr Muhammad bin Abdullah al-
Abhariy seorang ahli fiqih bermazhab Malikiy. Ibn Katsir menyebutkan
bahwa beliau tidak tidur setiap malam kecuali setelah menulis 20 lembar
dan tercatat hasil karya beliau antara lain; kitab al-Tabshirah, Daqaiq al-
Haqaiq, al-Tamhid fi Ushul al-Fiqh, Syarh al-Ibanah, dan lain-lain. Al-
Qadhiy 'Ayyadh menyebutkan bahwa karya al-Baqillani ada 99 kitab
dalam masalah teologi, ushul, fikih, dan I'jaz al-Qur'an, tapi yang ada
sampai saat ini hanya sebagian kecil. (Hasyim, 2005).
Al-Baqillani memiliki otak yang sangat cerdas, salah satu kitabnya
yang terkenal adalah at-Tahmid (pendahuluan atau persiapan). Dalam
kitab tersebut ia membicarakan hal-hal yang perlu dipelajari sebelum
memasuki ilmu kalam diantaranya pembicaraan tentang jauhar fard
(atom), aradl (cara pembuktian). Al-Baqillani juga menyinggung
kepercayaan bermacam-macam agama yang semuanya bersifat pengantar
(Hanafi, 1991).
Al-Baqillani wafat pada tahun 403 H di Baghdad dan dimakamkan
di samping makam Ahmad bin Hanbal di perkuburan Bab al-Harb. Ustaz
al-Khudhairi dan Ustaz Abu Raidah dalam muqaddimah kitab al-Tamhid
oleh al-Baqillani seperti yang dikutib oleh Muhammad Jalal Abd al-Hamid
Musa, menyatakan bahwa sumbangsih terbesar dari al-Baqillani adalah

13
membuat metode dan membangun teologi Asy'ariyah secara sistematis,
tidak hanya dengan metode logika dialektikanya, tetapi juga meletakkan
premis-premis sebagai dasar atas dalil-dalil. Hal ini menjadi dasar beliau
disebut sebagai tokoh kedua dalam teologi al-Asy'ariyah setelah
pendirinya Abu Hasan al-Asy’ariy. Adapun beberapa pandangan al-
Baqillani dalam teologi adalah sebagai berikut (Hasyim, 2005) :
1. Wujud Allah
Dalam menetapkan wujud Allah, al-Baqillani menetapkan sesuai
dengan prinsip kebaharuan alam. Alam terdiri dari al-jauhar atau al-
‘ardh, dimana kedua hal ini merupakan sesuatu yang baru dan sesuatu
yang baru pasti ada yang mengadakannya dan yang mengadakan adalah
Allah. Dalil al-Baqillani menetapkan bahwa Allah adalah qadim dan
alam adalah hadist. Sesuatu yang mengadakan tidak mungkin dari
sesama jenisnya yang baru tetapi pasti bersifat qadim yaitu Alloh SWT.
Dalil tersebut juga merupakan dalil yang dipakai oleh al-Asy’ary dalam
kitabnya “al-Luma” dan pengikut-pengikutnya yang lain (Hasyim,
2005).
2. Sifat-sifat Allah
Al-Baqillani menetapkan sifat-sifat bagi Allah swt seperti apa yang
telah disebutkan dalam Alquran. Beliau membagi sifat-sifat tersebut
menjadi dua bagian, yaitu sifat-sifat al-zat dan sifat-sifat al-af'al. Sifat
zat adalah sifat yang tidak mungkin berpisah dengan zat, contohnya al-
'Ilm tidak mungkin berpisah dengan zat Allah yang al-'Alim setiap saat
sejak azali dan selama-lamanya. Berbeda dengan sifat al-af'al yaitu
sifat-sifat Allah yang berhubungan dengan perbuatannya, karena Allah
SWT ada sebelum perbuatannya ada (Hasyim, 2005).
3. Teori al-Ahwal
al-Baqillani menetapkan sifat bagi Allah dan menetapkan pula
al-hal, sedangkan Abu Hasyim sebagai pengikut Mu'tazilah tetap
menafikan sifat dan 18 menggantinya dengan istilah al-hal. Abu
Hasyim menetapkan al-hal merupakan jalan tengah yang ditempuh

14
untuk menghindari pensifatan Allah dengan sifat-sifat yang qadim.
Dengan demikian al-hal yang dimaksud oleh al-Baqillani berbeda
dengan al-hal yang dimaksud oleh Abu Hasyim. Al-hal menurut Abu
Hasyim menyatakan bahwa Allah alim bagi zat-Nya. Hal ini
menunjukkan Allah mempunyai keadaan sifat yang diketahui dibalik
Dia sebagai zat yang ada, tetapi sifat dapat diketahui tersebut tidak
dapat berdiri sendiri maka, ahwal adalah sifat-sifat yang tidak terwujud
dan tidak diketahui. Sedangkan menurut al-Baqillani, al-hal tidak
bersifat kontradiksi (Hasyim, 2005).

4. Teori al-Kasab
Teori al-Kasab telah disebutkan oleh al-Asy’ary pada masa
sebelumnya, namuan dalam pandangan al-Baqillani makna teori ini
mengalami sedikit perubahan. Dimana al-Baqillani mengembangkan
teori yang sebelumnya disampaikan oleh al-Asy’ariy. Al-Asy’ariy
tidak pernah menyinggung masalah pengaruh kuasa manusia yang baru
terhadap perbuatan manusia (al-kasab) tetapi al-Baqillani menyatakan
bahwa kuasa manusia yang baru mempunyai pengaruh dalam
perbuatan manusia (Hasyim, 2005). Pandapat al-Asy’ariy menyatakan
bahwa kuasa manusia tidak mempunyai pengaruh untuk mewujudkan
perbuatannya karena kuasa dan kehendaknya adalah ciptaan Allah
SWT. Sesuai dengan lafazd ‘am dalam firman Allah QS. al-Zumar
(39): 62 yang berarti Allah yang menciptakan segala sesuatu (Hasyim,
2005).
b. Al-Iman Al-Haramaen Al-Juwaini
Al-Iman al-Juwaini yang juga dikenal dengan nama Imam al-
Haramaeni, mempunyai nama lengkap Abu al-Ma'aliy Abd al-Malik
bin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Abdullah bin Yusuf bin
Muhammad bin Hayyuyah al-Juwaini. Seorang ahli ushul dan fikih
bermazhab Syafi'iy namun, al-Juwaini dinisbahkan pada satu tempat

15
yang ada di Naisabur. Beliau bergelar Dhiya al-Din dan disebut Imam
al-Haramen karena beliau pernah menetap di Mekah dan Madinah
selama empat tahun untuk belajar, berfatwa dan mengumpulkan
metode-metode masbab. Beliau dilahirkan pada tanggal 18 Muharram
419 H di Nisabur kemudian pergi ke kota Mu’askar dan akhirnya
sampai di Baghdad (Hasyim, 2005).
Al-Juwaini mengikuti jejak Al-Asy’ary dan al-Baqillani dalam
menjunjung tinggi kekuatan akal pikiran, suatu hal yang
menyebabkan kemarahan para ahli hadist. Akhirnya ia terpaksa
meninggalkan Baghdad menuju Hijaz dan bertempat tinggal di
Mekkah dan Madinah untuk memberikan pelajaran disana. Hal inilah
yang menyebabkan ia mendapat gelar imam al-Haramaen yang
artinya imam kedua tanah suci, Mekkah dan Madinah. Setelah
Nizamul mulk memegang pemerintahan dan mendirikan sekolah
Nizamiyyah di Nisabur, al-Juwaini diminta kembali ke negerinya
untuk memberikan pelajaran disana (Hanafi, 1991).
Al-Juwaini belajar dari sejumlah ulama diantaranya dari ayahnya
sendiri Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwaini, seorang
ulama al-Syafi'iy dan belajar hadis dari ulama-ulama besar yang ada
saat itu. Ketika ayahnya meninggal pada tahun 438 H, beliau
menggantikan ayahnya sebagai mufti dengan tetap belajar dan selalu
menghadiri pengajian al-Isfarayaini (wafat tahun 452 H) dan al-
Khabbany (wafat tahun 449 H). Disaat terjadinya fitnah antara Ahl al-
Sunnah dan Syi'ah di Nisabur pada tahun 446 H, beliau pergi
meninggalkan negerinya menuju Baghdad dan kemudian ke Hijaz
selama empat tahun. Setelah berakhirnya fitnah dan naiknya raja Alp
Arselan seorang Sunny di kursi pemerintahan sekitar tahun 451 H, al-
Imam al-Juwaini kembali ke Nisabur dan mengajar di sekolah al-
Nizhamiyah salah satu sekolah yang dibangun oleh Nizham al-Mulk
perdana menteri Raja al-Arselan untuk mendukung mazhab Sunniy.
Pada saat inilah beliau lebih berkosentrasi untuk mengajar dan

16
menyusun kitab dalam membela dan mempertahankan mazhab ahl al-
Sunnah (Hasyim, 2005).
Al-Juwaini bekerja dalam lapangan ushul-fiqih dan ilmu kalam. Ia
adalah orang yang pertama-tama membentuk fiqih Syafi’iy atas dasar
aliran Asy’ariy sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya Al-Irsyad
yang berisi pokok-pokok kepercayaan. Dalam kitab tersebut ia
menandaskan bahwa kewajiban pertama seorang Muslim dewasa
ialah mengadakan penyelidikan yang bisa membawa kepada
kepercayaan bahwa alam ini adalah baru (dulunya tidak ada) dan
tentu ada yang mengadakannya yaitu Tuhan. Al-Juwaini
mengemukakan alasan wajibnya penyelidikan tersebut. Akan tetapi ia
menentang pendapat golongan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa
penyelidikan itu adalah suatu kewajiban akal. Menurutnya kewajiban
tersebut sudah disepakati ummat seluruhnya dan apa yang diwajibkan
ummat hukumnya sama dengan yang datang dari syara’ itu sendiri.
Dengan perkataan lain kewajiban tersebut adalah kewajiban Syara’
(Hanafi, 1991).
Hasil karya beliau diantaranya kitab al-Nihaya (bidang fikih), al-
Syamil dan al-Irsyad (bidang Theologi), al-Burhan dan Talkhish al-
Gharib wa al-Irsyad (ushul al-fiqh). Beliau wafat pada tanggal 25
Rabiul akhir 478 H di Naisabur dan dimakamkan di samping makam
ayahnya (Hasyim, 2005).
Perkembangan kedua dalam teologi al-Asy’ariyah berada di
tangan Imam al-Haramain al-Juwaini. Ibn Khaldun menjelaskan
bahwa metode yang dipakai oleh al-Baqillani sangat baik namun
dalam hal penetapan dalil belum sistematis. Maka melalui al-Juawaini
yang tertuang dalam kitabnya "al-Syamil" dan "al-Irsyad",
menetapkan bentuk dalil yang telah tersusun secara sistematis dengan
mengklarifikasi antar ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu logika serta
menjadikan metode berpikir logika sebagai standar untuk menetapkan
kebenaran suatu dalil. Beliau sangat mengandalkan akal untuk

17
mencapai keinginannya namun, pada masalah akidah yang bersifat
sam'yat beliau berpendapat untuk tidak mempertentangkan atau
dengan kata lain cukup dengan keimanan tanpa akal. Dengan
demikian al-Imam al-Juwaini, lebih memperjelas teologi al-
Asy’ariyah dengan menetapkan kaidah-kaidah dan dasar-dasar yang
kuat sehingga aliran ini tetap tangguh dalam menghadapi pendapat-
pendapat yang berbeda. Hal itu tidak terlepas dari situasi dan kondisi
al-Imam al-Juawaini dimana beliau hidup (Hasyim, 2005).
Sebagaimana para pendahulunya, secara umum al-Imam al-
Juwaini tetap mengikuti pendapat al-Asy’ariy. Penambahan atau
perubahan metode yang dilakukan olehnya hanya bersifat
memperjelas teologi al-Asy’ariy, meskipun pada beberapa hal beliau
berbeda pendapat dengan al-Asy’ariy sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ahmad Mahmud Shubhi dan Harun Nasution.
C. Hujjat al-Islam al-Imam al-Ghazali (450-505 H)
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Ghazali. Beliau bergelar Hujjat al-Islam dan Zain al-Din
al-Thusiy dan biasa dipanggil Abu Hamid. Beliau lahir di Thus kota
di negeri Khurassan pada tahun 450 H. Beliau hidup dalam keluarga
yang sangat sederhana tapi teguh dalam prinsip-prinsip Islam
(Hasyim, 2005). Al-Ghazali adalah seorang ahli-fikir Islam terkenal
dan sangat berpengaruh. Kegiatan ilmiyahnya meliputi berbagai
bidang diantaranya logika, jadal (ilmu berdebat), fiqih dan ushulnya,
ilmu kalam, filsafat dan tasawuf (Hanafi, 1991). Al-Ghazali wafat di
Thus pada hari Senin 14 Jumadil akhir 505 H dan dimakamkan di
Zhahir al-Thabaran salah satu tempat di Thus berdampingan dengan
makam Harun al-Rasyid (Hasyim, 2005).
Dari Thus beliau mulai belajar dari salah seorang ulama besar Thus
yaitu al-Iman Ahmad bin Muhammad al-Razkani kemudian beliau
merantau ke Jurjan untuk belajar dari Nashr al-Ismailiy. Kemudian
beliau kembali ke Thus dan menetap selama tiga tahun, merenung,

18
berpikir, dan menghafal apa yang telah diperolehnya dari Thus.
Beliau ke Naisabur dan berguru pada Imam al-Haramain, disinilah
produktivitas beliau sebagai seorang ilmuwan mulai nampak dengan
menulis berbagai masalah. Sehingga al-Imam al-Haramain memberi
julukan pada beliau dengan "Lautan yang menenggelamkan"
(Hasyim, 2005).
Sepeninggal al-Imam al-Haramain, al-Ghazali berangkat ke Askar
untuk menemui al-wazir Nizham al-Mulk. Wazir ini sangat
menghormatinya dan memberikan kepercayaan pada beliau untuk
mengajar di sekolahnya di Baghdad pada tahun 484 H. Al-Ghazali
mengajar sampai bulan Rajab tahun 488 H. Mulai saat itu, kehidupan
rohani beliau mulai bergejolak dan hal ini berlangsung selama enam
bulan sampai pada awal tahun 489 H. Kehidupan sufi mulai
dijalaninya dengan beribadah dengan alasan yang sangat logis
sebagaimana yang dikatakan dalam kitabnya al-Munqiz min al-Dhalal
(Hasyim, 2005). Hidupnya tidak mengalami ketenangan batin karena
semua jalan yang ditempuhnya untuk mencari kebenaran (Tuhan)
tidak ada yang memuaskan baginya dan akhirnya ia sampai pada
tasawuf sebagai satu-satunya jalan mencari dan mengabdikan diri
kepada Tuhan. Banyaknya contradisctie dalam fikirannya
membuatnya kesusahan menentukan pendirian yang sebenarnya
(Hanafi, 1991).
Al-Ghazali memiliki kedudukan yang sangat penting dalam aliran
Asy’ariyyah karena ia telah meninjau semua persoalan yang telah ada
dan memberikan pendapat-pendapatnyayang hingga kini menjadi
pegangan oleh ulama-ulama Islam. Hal inilah yang menjadi alasan ia
mendapat gelar hujjatul Islam (tokoh islam) (Hanafi, 1991). Karya-
karya beliau sangatlah banyak, dimana beliau telah banyak menulis
kitab tentang al-ushul (ushul al-din dan ushul al-fiqh), masalah khilaf,
tasawuf, bantahan terhadap aliran kebatinan, filosof dan
mutakallimim. Dan jumlah yang disepakati oleh sejarawan sekitar 70

19
buah karangan, di antaranya al-Mankhul fi Ta'liqat al-Ushul, al-
Mustashfa fi ilm al-ushul, Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-
Falasifah, Miyar al-Ilm fi 'Ilm al-Mantiq, al-Munqiz min al-Dhalal,
Ihya ulum al-Din, dan lain-lain (Hasyim, 2005).
Al-Ghazali sebagai tokoh terpenting dalam teologi al-Asy’ariyah
memiliki paham-paham yang dikembangkannya dan tidak memiliki
perbedaan dengan paham-paham al-Asy’ariy sebagai tokoh pendiri.
Contoh pandangan al-Ghazali yang dikutip dari kitab beliau al-
Iqtishad fi al-I'tiqad menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-
sifat qadim yang tidak identik dengan zat-Nya dan mempunyai wujud
diluar zat, Alquran bersifat qadim dan bukan makhluk, perbuatan dan
daya manusia Tuhanlah yang menciptakannya. Ru'yatullah dapat
terwujud karena sesuatu yang mempunyai wujud dan dapat dilihat,
keadilan Tuhan, tidak dapat diukur dengan keadilan hamba (manusia)
serta sifat-sifat Tuhan yang lain (Hasyim, 2005).
Pandangan al-Ghazali yang berhubungan dengan theologi adalah
tentang hukum causalitas. Pembahasan ini sudah mulai dikembangkan
oleh al-Baqillani dan al-Juwaini dan kesempurnaannya baru berada di
tangan al-Ghazali karena teori tentang hukum ini bersumber dari
premis-premis filsafat Aristoteles dan dikritisi oleh al-Ghazali. Hasil
dari kritikan teori ini sangat berpengaruh dalam pembahasan al-wujud
dalam teologi al-Asy’ariyah selanjutnya. Kritik al-Ghazali tentang
hukum causality adalah karena teori ini digunakan pada hb al-hal
yang bersifat sam'iyyat yang mengindikasi pada pemahaman bahwa
mustahil terjadi mukjizat. Hal ini yang selanjutnya dapat membawa
kepada pengingkaran akan kebenaran seorang nabi. Al-Ghazali
berpendapat bahwa menghubungkan sesuatu yang diyakini dalam hal
yang biasa antara sebab dan yang disebabkan tidaklah sama dan
menetapkan salah satunya tidak berarti menetapkan yang lain
begitupun sebaliknya karena semuanya telah diawali dengan takdir
Allah. Contohnya adalah kenyang tidak mutlak harus dengan makan

20
tapi Allah bisa mentakdirkan bahwa seseorang bisa kenyang tanpa
melalui makan. Bantahan al-Ghazali tentang teori causality
merupakan salah satu sumbangsih terbesar al-Ghazali dalam
perkembangan pemikiran theologi al-Asy’ariyah (Hasyim, 2005).
c. As-Sanusy (833-895 H/1427-1490 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf.
Dilahirkan di Tilimsan, sebuah kota di Al-Jazair. Ia belajar pada
ayahnya sendiri dan orang-oang lain terkemuka di negerinya,
kemudian ia melanjutkan pelajarannya di kota Al-Jazair pada seorang
alim yaitu Abd. Rahman ats-Tsa’laby. Ulama maghrib menganggap
dia sebagai pembangun Islam karena jasa dan karyanya yang banyak
dalam lapangan kepercayaan (aqa’id) dan ketuhanan (ilmu tauhid).
Kitab-kitabnya antara lain (Hanafi, 1991) :
a. Akidah Ahlit Tauhid
b. Ummul Barahi
2.2 Aliran Al-Maturidiyah
2.2.1 Latar Belakang Kemunculan Al-Maturidiyah
Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi
selaku pendiri Aliran Maturidiyah lahir di daerah Samarkand (Uzbekistan) pada
petengahan kedua dari abad kesembilan Masehi dan meninggal pada tahun 944
M. Imam tersebut tidak banyak diketahui tentang riwayat hidupnya. Imam Al-
maturidi merupakan pengikut dari Mazhab Hanafi, yang memiliki paham-
paham/pemikiran teologi yang serupa dengan pemikiran Abu Hanifah. Sistem
Pemikiran teologi yang dikemukakan oleh Imam Al-Maturidi dikenal dengan
nama al-Maturidiah. Sistem teologi ini termasuk dalam golongan teologi Ahli
Sunnah (Hanafi, 1995).
Abu Manshur al-Maturidi mencari ilmu pada pertigaan akhir dari abad
ketiga hijiriyah, dimana saat itu aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemunduran
dan salah satu guru aliran tersebut (Nasr bin Yahya al-Balakhi) wafat pada 268
Hijiriyah. pada masa tersebut, negeri Samarkand telah menjadi arena perdebatan
antara aliran fiqh Hanafiah dengan aliran fiqh Syafi’iyah. Bahkan, upacara-

21
upacara kematian pun tak terlepas dari perdebatan-perdebatan semacam itu,
sebagaimana yang terjadi pula perdebatan tentang teologi Islam (Ilmu Kalam)
antara para fuqaha dan ahli-ahli hadish disatu pihak dengan aliran Mu’tazilah di
pihak lainnya (Hanafi, 1995).
Aliran Maturidiyah yang dibentuk oleh Abu Manshur al-Maturidi
merupakan salah satu dari sekte Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang memiliki hasil
pemikiran yang sama dengan Asy’ariyah. Aliran Maturidiyah dan Asy’ariyah ini
datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk
menyelamatkan diri dari ekstremitas kaum rasionalis (Mu’tazilah) dan kaum
tekstualis (Hanabilah) (Kristeva, 2014).
Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah pada awalnya merupakan dua aliran
yang terpisah didua tempat yang berbeda. Aliran Asy’ariyah berada di Irak,
basrah dan Syam (Suriah), yang kemudian dapat berkembang hingga ke Mesir.
Sedangkan aliran Maturidiyah berada di Samarkand, Iran dan diberbagai daerah
di Seberang Sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini dapat hidup dalam lingkungan
yang kompleks dan dapat membentuk satu mazhab. Walaupun metode
pemikiran yang dilakukan oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah berbeda, namun
hasil inti dari pemikiran mereka membuahkan hasil yang sama. Selain itu kedua
aliran tersebut sama-sama bertujuan untuk membendung dan melawan aliran
Mu’tazilah (Hanafi, 1995).
Memang aliran Asy’ariyah lebih dahulu menetang pemikiran-pemikiran
aliran Mu’tazilah. Seperti yang telah diketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di
kondisi lingkungan keagamaaan yang penuh dengan pertentangan pemikiran
antara Mu’tazilah (aliran teologi yang mementingkan akal dalam memahami
ajaran agama) dengan aliran Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional serta
dalil wahyu) tentang masalah kemampuan akal manusia. Oleh sebab itu, al-
Maturidi melibatkan diri dengan pemikirannya sendiri dalam pertentangan
tersebut sebagai jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan aliran Asy’ariyah.
Karena itu juga, aliran Maturidiyah disebut dengan “berada antara teologi
Mu’tazilah dan Asy’ariyah) (Kristeva, 2014).

22
Pada perkembangan aliran Maturidiyah, diketahui bahwa kebanyakan
tokoh-tokoh aliran ini adalah pengikut aliran fiqh Hanafiah, seperti
Fachruddinal-Bazdawi, Ibnul Hammam, at-Taftazani, Abu Ma’in an-Nasafi dan
lain-lain (Hanafi, 1995). Salah satu pengikut penting aliran ini yang memberikan
dampak besar adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). aL-
Bazdawi merupakan seorang cucu dari seorang nenek yang belajar kepada al-
Maturidi. al-Bazdawi sendiri mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang
tuanya. Al-Bazdawi juga memiliki murid-murid, Salah satunya yaitu Najm al-
Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H). Walaupun al-Bazdawi merupakan
pengikut dari al-Maturidi yang konsep pemikirannya bersumber dari al-
Maturidi, namun terdapat pemikiran al-Bazdawi yang bertentangan dengan
ajaran-ajaran al-Maturidi. Akibat adanya ketidaksepahaman antar kedua pemuka
aliran Maturidiyah tersebut, akhirnya aliran ini terbagi menjadi dua golongan,
yaitu golongan Maturidiyah Samarkand sebagai pengikut-pengikut al-Maturidi
dan golongan Maturidiyah Bukhara sebagai pengikut-pengikut dari al-Bazdawi
(Kristeva, 2014).
Berdasarkan paparan sejarah diatas, bisa disimpulkan bahwa Aliran
Maturidiyah merupakan suatu aliran yang pada mulanya berakar dari pemikiran
Abu Manshur al-Maturidi, yang juga merupakan aliran dari sekte Ahl Sunnah
wal Jama’ah. Beranjak dari pemikiran-pemikiran Imam al-Maturidi, aliran ini
semakin berkembang. Sehingga para pengikut dari aliran ini disebut dengan
aliran Maturidiyah (nama aliran ini diambil dari nama pendirinya sendiri). Pada
awalnya, aliran ini masih berpegang teguh terhadap satu kiblat yakni pemikiran-
pemikiran dari al-Maturidi. Namun, jauh setelah wafatnya sang pendiri,
seseorang bernama al-Bazdawi (cucu dari salah satu murid al-Maturidiyah)
memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran sang
pendiri. Sehingga, banyak hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan
oleh al-Maturidi dengan pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Akibat adanya
perbedaan pemikiran tersebut, aliran ini terpecah menjadi dua golongan besar,
yakni Maturidiyah Samarkand (Pengikut setia al-Maturidi) dan Maturidiyah
Bukhara (Pengikut al-Bazdawi) (Kristeva, 2014).

23
2.2.2 Dokrin-dokrin Teologi Aliran Maturidiyah
1. Akal dan Wahyu
Pada pemikiran teologi Al-Maturidi, beliau mendasarkannya pada al-
Qur’an dan akal. Pemikiran ini sama dengan Al-Asy’ariyah. Menurut al-
Maturidi, mengetahui Tuhan serta kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui
dengan akal, hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an tentang perintah
untuk manusia agar menggunakan akalnya dalam usaha memperoleh
keimanannya terhadap Allah dan pengetahuan melalui pengamatan-pengamatan
serta pemikiran-pemikiran mereka yang mendalam tentang makhluk ciptaan-
Nya. Bila akal tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan, pasti Allah tidak
akan memerintahkan demikian. Bila orang-orang tidak ingin menggunakan
akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah, maka
mereka tidak memngikuti perintah Allah yang terteran dalam ayat-ayat tersebut.
Walaupun demikian, menurut al-Maturidi, akal tetap tidak mampu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya (Kristeva, 2014).
Pada permasalahan baik dan buruknya sesuatu, menurut al-Maturidi hal
tersebut terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah dan larangan syari’ah
hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Beliau
mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan baik buruknya sesuatu,
namun terkadang juga mampu mengetahui sebagian yang baik dan sebagian
buruknya sesuatu. Untuk itu, dalam kondisi demikian, wahyu sangatlah penting
guna dijalankan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi kaitan suatu dengan
akal menjadi tiga bagian. Ketiga bagian tersebut yaitu (Kristeva, 2014):
1. Dengan sendirinya akal hanya mengetahui kebaikan suatu itu.
2. Dengan sendirinya akal hanya mengetahui keburukan suatu itu.
3. Kebaikan dan keburukan dari suatu itu tidak dapat diketahui akal,
kecuali dengan adanya wahyu.
Mengetahui suatu kebaikan serta keburukan dengan akal, pemikiran al-
Maturidi tersebut sependapat dengan paham Mu’tazilah. Yang menjadi pembeda
pemikiran al-Maturidi dengan paham Mu’tazilah yaitu terletak pada dasarnya
dalam melakukan suatu kebaikan dan meninggalkan suatu keburukan. Menurut

24
Mu’tazilah manusia dapat berbuat suatu kebaikan dan meninggalkan suatu
keburukan disebabkan oleh akal mereka. Namun, menurut al-maturidi, kewajiban
dalam berbuat suatu kebaikan dan meninggalkan suatu keburukan harus diterima
dari ketentuan wahyu saja. Berbeda lagi dengan pendapat Asy’ariyah dalam
persoalan ini. Asy’ariyah berpendapat bahwa baik atau buruknya suatu itu tidak
terdapat pada suatu itu sendiri. Suatu itu dipandang baik bila merupakan perintah
syara dan suatu itu dipandang buruk bila dilarang syara. Jelas bahwa dalam
konteks ini, aliran Maturidiyah menjadi penengah dari Mu’tazilah dan
Asy’ariyah (Kristeva, 2014).
2. Perbuatan Manusia
Al-Maturidi berpendapat bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan
Tuhan, sebab segala sesuatu dalam wujud ini merupakan ciptaan-Nya. Khusus
untuk perbuatan manusia, keadilan dan kebijaksanaan Tuhan mengharuskan
manusia untuk melakukan ikhtiar terhadap kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya. Dalam hal ini, al-Maturidi mempertemukan antara
qudrad Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia dan ikhtiar sebagai perbuatan
manusia. Manusia bebas dalam menggunakan daya (kasb) yang Tuhan ciptakan
dalam dirinya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan
manusia, dengan demikian tiada hal yang bertentangan antara qudrad Tuhan dan
ikhtiar yang dilakukan manusia. Daya ciptaan Tuhan yang terletak dalam diri
manusia serta perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan manusia dalam
arti yang sebenarnya, maka tentunya daya tersebut juga daya manusia. Dalam hal
ini, terdapat perbedaan pemikiran dengan Al-Asy’ari yang berpikiran bahwa
daya yang terdapat dalam diri manusia merupakan daya Tuhan, sebab ia
berpandangan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Selain itu
pemikiran Al-Maturidi dalam hal ini berebda pula dengan pemahaman aliran
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa daya yang ada dalam diri manusia
sebenarnya telah ada sebelum perbuatan itu sendiri (Kristeva, 2014).
Manusia dalam paham Al-Maturidi tidaklah sebebas manusia pada paham
Mu’tazilah. Menurut Al-Maturidi, kebebasan manusia dalam berbuat baik
ataupun buruk tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetapi manusia tetap dapat

25
memilih untuk melakukan perbuatan yang diridhoi-Nya atau tidak diridhoi-Nya
(Kristeva, 2014).
3. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa perbuatan manusia dan segala
sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau buruk adalah ciptaan Tuhan. Walaupun
demikian, al-Maturidi berpendapat bahwa bukan berarti Tuhan berbuat dan
bertindak sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata. Qudrat Tuhan
tidaklah sewenang-wenang, tetapi perbuatan serta kehendak-Nya itu berlangsung
sesuai dengan keadilan serta hikmah yang telah Tuhan tetapkan (Kristeva, 2014).
4. Sifat Tuhan (Sifatullah)
Al-Maturidi berpendapat bahwa Allah SWT bersifat immateri, oleh sebab
itu ia tidak memiliki sifat siaft jasmani. Dalam Al-qur’an terdapat beberapa ayat
yang menggambarkan bahwa Allah SWT seolah-olah mempunyai sifat materiil.
Al-Maturidi memiliki pemikiran yang sama dengan Al-Asy’ari mengenai
sifat Tuhan. Kedua Imam tersebut berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat,
seperti bashar (Melihat), sama (Mendengar), Kalam (Berbicara atau Berfirman)
dan lain sebagainya. Walaupun demikian, pengertian tentang sifat Tuhan
menurut Al-Maturidi berbeda dengan menurut Al-Asy’ari (Kristeva, 2014). Al-
Asy’ari berpendapat bahwa sifat itu merupakan selain Dzat, melainkan sifat itu
menempel pada Dzat itu sendiri. Sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat
itu bukanlah sifat yang berdiri dengan Dzatnya, sifat itu pula tidak terpisah dari
Dzatnya. Sifat itu tidak memiliki wujud atau essensi yang bebas dari Dzat,
sehingga dapat dikatakan bahwa terbilangnya sifat itu dapat mendatangkan
pengertian berbilangnya yang qadim atau ta’addud al-qudama’ (Nasir, 2010).
Paham Al-Maturidi mengenai sifat Tuhan tampak cenderung mendekati
pemahaman Mu’tazilah. perbedaannya adalah Al-Maturi mengakui adanya sifat-
sifat Allah, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Allah (Kristeva,
2014).
5. Melihat Tuhan (Rukyatullah)
Al-Maturidi berpendapat bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Pendapat
tersebut sama dengan pendapat Al-Asy’ari dalam menolak pendapat Mu’tazilah

26
yang 31 menafikan Ru’yatullah (Nasir, 2010). Manusia kelak pada hari kiamat
besok dapat melihat Allah SWT. Al-Maturidi berpendapat bahwa tuhan kelak di
akhirat dapat dilihat dengan mata, sebab Allah memiliki sifat wujud walaupun
Allah imaterial. Namun melihat Allah kelak di akhirat tidak dalam bentuknya
(bila kaifa), sebab perbedaan keadaan antara diakhirat dengan didunia (Kristeva,
2014).
6. Kalam Tuhan (Kalamullah)
Al-Maturidi membedakan antara kalam (sabda) yang tersusun atas huruf
dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak).
Kalam nafsi merupakan sifat qadim Allah, sedangkan kalam yang tersusun
dengan huruf dan suara adalah baru (hadist). Kalam nafsi tidak dapat diketahui,
kecuali melalui satu perantara (Kristeva, 2014).
Al-Maturidi menerangkan bahwa Kalam Allah merupakan makna yang
ada pada Dzatnya, bukan berupa huruf-huruf dan bukan pula suara. Sebab Kalam
Allah bersifat qadim serta tidak diciptakan (Nasir, 2010). Terkait dengan hal
tersebut, menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah berpandangan bahwa al-Qur’an
tersusun dengan huruf-huruf serta kata-kata. Sedangkan Al-Asy’ari
berpandangan bahwa al-Qur’an merupakan kalam Allah secara Nafsi. Kalam
Allah dalam pandangan Mu’tazilah, bukanlah suatu sifat dan bukanlah Dzat-Nya.
Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan merupakan suatu perbuatan yang Tuhan ciptakan
dan tidak bersifat kekal. Al-Maturidi menerima pendapat tersebut, namun beliau
lebih suka mengistilahkannya dengan Hadist sebagai pengganti mahkluk untuk
sebutan Al-Qur’an. Pendapat Mu’tazilah dalam konteks ini juga memiliki
kesamaan dengan pendapat Al-Asy’ari, sebab yang dimaksud dengan Kalam oleh
Al-Asy’ari merupakan makna abstrak. Kalam dalam Makna Abstraknya menurut
Al Maturidi merupakann kalam Nafsi yang bersifat kekal (Kristeva, 2014).
7. Kehendak Allah
Menurut Al-Maturidi, tiada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali
semuanya atas kehendak Allah SWT. tiada pula yang membatasi atau memaksa
kehendak Allah, kecuali terdapat hikmah serta keadilan yang telah ditentukan

27
oleh kehendak-Nya sendiri. Dalam konteks pemikiran ini, Allah tidak wajib
berbuat ash-shalah wa al-shalah (yang baik dan terbaik bagi manusia).
8. Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi berupa ajaran
wahyu yang tidak mampu diketahui oleh akal. Sebab akal tidak selamanya
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia,
seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari sifat
yang dibebankan kepada manusia. Oleh sebab itu, al-Maturidi berpendapat
bahwa akal haruslah dibimbing dengan wahyu guna mengetahui ajaran-ajaran
tersebut. Disanalah peran seorang Rasul menjadi penting. Tanpa mengikuti
ajaran wahyu yang disampaikan oleh Rasul, berarti manusia telah membebankan
sesuatu yang berada diluar kemampuan terhadap akalnya (Kristeva, 2014).
Pemikiran Al-Maturidi dalam permasalahan ini tidak berbeda jauh dengan
pemikiran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Rasul diutus ditengah-tengah
umatnya merupakan kewajiban Allah agar senantiasa manusia dapat berbuat baik
dan terbaik dalam hidupnya (Kristeva, 2014).
9. Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Menurut Al-Maturidi, iman seseorang tidak akan hilang akibat melakukan
dosa besar. Kelak dihari kiamat Allah akan mengadilinya. Iman dan perbuatan
tidak saling mempengaruhi dan tidak saling menghilangkan. Iman merupakan
qalb dalam diri manusia, sedangkan perbuatan terletak pada gerakan anggota
badan. Dosa orang mukmin tidak dapat memberikan pengaruh terhadap imannya,
seorang mukmin yang 33 berbuat dosa besar (Murtakib Al-Kabirah) tidak kekal
dineraka, sekalipun dia mati terlebih dahulu sebelum sempat bertobat (Nasir,
2010).
Al-Maturidi berpendapat bahwa setiap perbuatan jahat (sayyi’ah) akan
dibalas dengan balasan yang sepadan. Kekekalan dalam neraka menurut Al-
Maturidi hanya diperuntukan bagi orang-orang syirik serta kufur kepada Allah
SWT. Dosa orang kufur tidaklah sama dengan dosa orang Mukmin, melainkan
dosa orang Mukmin berada dibawahnya (Nasir, 2010).

28
Iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal ialah
penyempurna iman. oleh sebab itu, amal tidak akan menambah dan mengurangi
esensi iman, kecuali hanya akan mengurangi atau menambah sifatnya saja
(Kristeva, 2014).
2.2.3 Tokoh-tokoh Aliran Maturidiyah
a. Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud (Al-Maturidi)
Tokoh yang dikenal dengan nama Abu Manshur Al-Maturidi ini
dilahirkan di Maturid, sebuah daerah di Samarkand termasuk kawasan Ma Wara
al-Nahr, dan wafat pada tahun 333 Hijrah. Ia menimba ilmu pada pertiga terakhir
abad ke-3 Hijrah, yakni pada masa Mu’tazilah mendapat kemarahan pada
masyarakat sebagai balasan perlakuan mereka terhadap para fuqaha dan
muhadditsin pada pertiga pertama abad tersebut.
Tahun kelahiran Al-Maturidi tidak begitu diketahui dengan pasti. Akan
tetapi, tampaknya ia dilahirkan pada sekitar pertengahan abad ke-3 Hijrah. Dapat
dipastikan, bahwa ia mereguk ilmu fiqh madzab Hanafi dan ilmu kalam dari Nasr
bin Yahya Al-Balkhi yang wafat pada tahun 268 H. Ketika perselisihan antara
fuqaha dan muhadditsin dan Mu’tazilah semakin sengit, diskusi berjalan di
bidang ilmu kalam, fiqh, dan ushul fiqh. Al-Maturidi hidup di tengah-tengah
perlombaan yang berlangsung ketat dalam rangka menghasilkan pemikiran dan
penalaran. Ia seorang pengikut madzab Hanafi dan mempunyai beberapa karya di
bidang fiqh dan ushul fiqh, disamping sejumlah karyanya di bidang ushul al-din
(pokok-pokok agama).
Abu Manshur Al-Maturidi membangun pemikiran-pemikirannya di bidang
‘aqidah berdasarkan riwayat dari Abu Hanifah yang terdapat dalam beberapa
risalah yang ia riwayatkan darinya dan mengembangkannya secara lebih detail.
Ia juga menunjukkan pemikiran yang tidak tersebut di dalamnya kepada
pemikiran yang ada di dalamnya. Ia memantapkan berbagai ketentuan syara’
dengan dalil-dalil rasional yang logis dan argumentasi yang tidak diragukan lagi
keabsahannya.
2.2.4 Sub Sekte Aliran Maturidiyah
a. Maturidiyah Samarkand

29
Maturidiyah Samarkand didirikan oleh Abu Mansur Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud al-Hanafi al-Mutakallim al-Maturidi al-Samarkandi.
Al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah yang banyak menggunakan rasio
dalam pandangan-pandangan keagamaannya. Meskipun al-Maturidi tampil
sebagai penentang ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh Mu’tazilah, namun
pemikiran-pemikiran yang dibawanya justru lebih dekat kepada Mu’tazilah.
b. Maturidiyah Bukhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Yusr Muhammad bin
Muhammad bin Abd Karim al-Bazdawi (421-493 H). Al-Bazdawi merupakan
salah satu pengikut penting dari al-Maturidi. Nenek al-Bazdawi adalah murid
dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang
tuanya. Al-Bazdawi sendiri memiliki murid-murid dan salah seorang dari mereka
adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H). Walaupun konsep
pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran al-Maturidi, tapi terdapat
pemikiran-pemikiran al-Bazdawi yang tidak sepaham dengan al-Maturidi.

30
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Aliran Asy’ariyyah dinisbatkan kepada pendirinya yaitu yaitu Imam Abul
Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Al-Asy’ariy merupakan penganut paham
Mu’tazilah yang kemudian menyatakan dirinya keluar dari paham tersebut
dihadapat jamaah Masjid Basrah. Hal ini dilatar belakangi oleh mimpi beliau yang
bertemu dengan Rasulullah SAW yang memberinya isyarat untuk segera keluar
dari paham Mu’tazilah. Tokoh-tokoh dalam aliran Asy’ariyah yang terkenal yaitu
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (206 M), Abu Bakar Al-Baqillani (403 M), Al-Ghazali
(505 M) dan As-Sanusy (1427 M). Doktrin-doktrin ajaran aliran Asy’ariyyah
diantaranya Al-Qur’an sebagai kalam Allah, Tuhan memiliki sifat, perbuatan
Tuhan dan teori Kasb, konsep tentang iman, akal dan wahyu dan kriteria baik dan
buruk, melihat Allah dan kedudukan orang yang berdosa besar.
2. Aliran Maturidiyah dinisbatkan kepada pendirinya Abu Mansur Muhammad
bin Muhammad. Aliran Maturidiyah muncul karena adanya rasa tidak puas al
Maturidi terhadap metode kalam kaum rasionalis di satu sisi dan kaum
tradisionalis di sisi lain dan kekhawatiran atas meluasnya paham Syiah
Qaramithah yang banyak dipengaruhi oleh aliran Mazdakism dan Manichaenism.
Tokoh dari aliran ini adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud (Al-
Maturidi). Sekte yang dianut Maturidiyah ada 2 yaitu Maturidiyah Samarkand dan
Maturidiyah Bukhara.
3.2 Saran
Adapun saran bagi penulis khususnya dan para pembaca adalah memperbanyak
bacaan mengenai aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyah, agar tidak terjadi salah
penafsiran

31
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, A. (1991). Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang.

Hasibuan, H. R. (2017). Aliran Asy'ariyah (Kajian Historis dan Pengaruh


Aliran Asy'ariyah). Al-Hadi. Vol. 2 No. 2:433-441.

Hasyim, M. S. (2005). Al-Asy'ariyah (Studi tentang Al-Baqillani, al-Juwaini,


al-Ghazali). Jurnal Hunafa. Vol. 2 No. 3:209-224.

Kristeva, N. (2014). Sejarah Teology Islam dan Akhir Pemikiran Ahlusunnah


Wal Jama'ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mufid, F. (2013). Menimbang Pokok-pokok Pemikiran Teologi Imam Al-


Asy'ari dan Al-Maturidi. Fikrah. Vol. 1 No. 2:207-230.

Nasir, S. (2010). Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan


Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press.

Nasution, H. (1974). Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan


Bintang.

Supriadin. (2014). Al-Asy'ariyah (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy'ari dan


Doktrin-doktrin Teologinya). Sulesana. Vol. 9 No. 2:61-80.

Syadzili, H. (2015). Teori Atom Menurut Asy'ariyyah. Kalimah: Jurnal Studi


Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 13 No. 2:253-272.

32

Anda mungkin juga menyukai