Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

EKSISTENSI ASWAJA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Isalam III
Dosen Pengampu : Ahmad Fauzan,SE.,S.PD.,M.EI

Disusun oleh :
1. Yeni Islamiati (19041007)
2. Aliya Franciska (19041010)
3. Avina Septia Nur’aini (19041033)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah Pendidikan
Agama Islam III yang berjudul “Eksistensi Aswaja”.kami juga mengucapkan
terima kasih kepada dosen pengampuh mata kuliah Pendidikan Agama Islam III
yang bersedia membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan
memahami mengenai Eksistensi Aswaja. Menyadari bahwa makalah yang telah
disusun ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka hal itu semua tidak
lepas dari ketidak sempurnaan.Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak
sangatlah diharapkan untuk membangun dalam penulisan makalah selanjutnya.
Demikian, semoga makalah dapat memberikan kepada kita semua
tentang macam-macam bunyi yang selalu kita gunakan.

Lamongan, 19 Oktober 2021

DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................................................I
Daftar isi..........................................................................................................................................II
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang.............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................................1
C. Tujuan .........................................................................................................................................1
Bab II Pembahasan
A. Sejarah Aswaja.............................................................................................................................2
B. Aswaja Sebagai Madzhab.............................................................................................................3
C. Latar Kultural Dan Politik Kelahiran Aswaja...............................................................................4
D. Aswaja Sebagai Minhaj al-Fikr ...................................................................................................5
E. Aswaja dan Transformasi Sosial...................................................................................................6
F.Aswaja Sebagai Paradigma ...........................................................................................................7
G. Eksistensi Aswaja Di Tengah Era Globalisasi...............................................................................8

Bab III Penutup


Kesimpulan.......................................................................................................................................15
Daftar pustaka................................................................................................................................17

i
ii
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Aswaja merupakan mata pelajaran khusus bagi satuan pendidikan tertentu. Pembelajaran
Aswaja diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa visi Aswaja adalah untuk mewujudkan
manusia yang berpengetahuan, rajin berinadah, cerdas, produktif, etis, jujur dan adil, berdeisiplin,
toleransi, menjaga keharmonisan, secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya
Ahlussunnah wal Jama’ah (amar makruf nahi munkar). Aswaja merupakan salah satu mata
pelajaran yang dalam kajiannya merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam tahap pemahaman
Aswaja menggunakan cara logis dan rasional, karena mengaitkan materi dengan pengalaman
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari bukan dengan dogmatis dan doktrin tertentu.
Pembelajaran Aswaja juga bertujuan untuk mendorong peserta didik supaya mendalami dan
mengamalkan ajaran Islam Ahlusunnah wal Jama’ah, yang diharapkan nantinaya akan lahir
generasi-generasi kiyai yang unggul serta mampu menjadi pilar-pilar kokoh dalam mensyi’arkan
Islam ditengah tengah masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai tawasut, tawazun,
tasamuh.
B. Rumusan Masalah
1.        Apa itu sejarah aswaja ?
2.        Apa aswaja sebagai Madzhab ?
3.        Apa saja eksistensi aswaja dalam perkembangan ?
C. Tujuan
1.         Mengetahui arti dari aswaja
2.         Mengetahui sejarah dari aswaja
3.         Mengetahui seberapa pentingnya aswaja

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Aswaja
Islam telah mengisaratkan adanya firqah-firqah yang akan terjadi dalam kehidupan umat manusia,
termasuk firqah dalam Islam. ٍSetidaknya terdapat 14 hadits yang menjelaskan hal tersebut,
diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi;
‫تي على ثالث‬dd‫رقت أم‬dd‫ة وتف‬dd‫بعين مل‬dd‫تين وس‬dd‫رقت على ثن‬dd‫وإن بني إسرائيل تف‬..:‫عن سفيان الثوري… قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬
}2565 :‫ ماانا عليه و اصحابي {رواه البرميذي‬:‫ ومن هي يارسول هللا؟ قال‬:‫وسبعين ملة كلهم في النار إال ملة واحدة قالوا‬
Artinya; Dari Sufyan al-Tsauri… Nabi Saw. Bersabda:“…Sesungguhnya Bani Israil itu terpecah
menjadi tujuh puluh dua aliran, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran. Semua
aliran itu akan masuk neraka, kecuali satu. Para sahabat bertanya: “Siapakah satu aliran itu ya
Rasulallah? (mereka itu adalah aliran yang mengikuti) apa yang aku lakukan dan para sahabatku.
(Ahli Sunnah wal Jama’ah).Dalam firqah-firqah tersebut semuanya akan celaka kecuali golongan
yang berkometmen melaksanakan segala amaliyah Nabi dan para sahabatnya. Lafadz “Mă Ana
‘alaihi wa Ashhăbĭ” disebut dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang berarti penganut Sunnah Nabi
Muhammad dan Jama’ah (sahabat-sahabatnya) (Sirajuddin ‘Abbas, 1983; 16) Menurut pendapat
yang lain bahwa, “pada masa sahabat istilah Ahlussunnah wal Jama’ah juga digunakan untuk
membedakan dengan golongan Syi’ah (Team Penulis Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an, 2007;4).
Ada juga yang mengatakan bahwa yang termasuk 72 golongan yang akan celaka adalah golongan

1
Syi’ah terriqah (22), Khowarij (20), Mu’tazilah (20), Murji’ah (5), Najjariyah (3), Jabariyah (2),
Musyabihah (1), (Sirajuddin ‘Abbas, 1983; 24) kecuali ahlussunnahwaljam’ah.
Adanya beberapa interpretasi hadits tersebut timbul saling klaim antara firqah-firqah Islam sebagai
golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah yang berhak masuk surga. Apabila firqah-firqah yang 72
tersebut diinterpretasikan terhadap golongan non Islam (kaum kuffăr), tentunya yang layak masuk
surga hanya kaum muslimin terlepas dari golongan manapun. Nampaknya hal ini akan lebih
kondusif dalam peningkatan ukhuwah islamiyah. Dalam surat al-Hujarat ; 10 disebutkan “Innamal
Mu`minŭna Ikhwatun fa Ashlihŭ Baina Akhawaikum… menunjukkan bahwa orang mukmin adalah
sesaudara, begitu juga firman Allah dalam surat al-Anbiyă’; 92 dan al-Mu’minŭn 52 yang artinya
“Sesungguhnya (agama Tauhid/ Islam) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan aku
adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepadaku”. Dan dalam hadits Shahih Bukhori; 2262 Nabi
bersabda; Al-Muslimu Akhul Muslim la Yadhlimuhŭ…

Secara historis para imam Aswaja dibidang akidah telah ada sejak zaman sahabat Nabi (sebelum
Mu’tazilah ada). Imam Aswaja di zaman itu adalah Ali ibn Abi Thalib yang membendung faham
Khawarij tentang al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), juga Qadariyah tentang masyi’ah
(kehendak Tuhan) serta istithă’ah (daya manusia). (Tim Pimpinan Pusat LPM-NU; 2004; 13).
Aswaja juga merespon Mu’tazilah, dan bahkan kemunculan Aswaja sebagai aliran terjadi pada masa
Mu’tazilah mencapai kejayaannya (Tim Pimpinan Pusat LPM-NU; 2004; 16). Dalam konteks “ke-
Indonesiaan” Aswaja identik dengan golongan “Islam Tradisional” atau lebih spesifik lagi golongan
Nahdlatul Ulama’ (NU) yang secara konsisten telah melaksanakan amaliyahnya berdasarkan
tekstualitas hadits di atas. Disamping itu NU sebagai penerus ajaran Aswaja yang telah dibawa oleh
ajaran Wali Songo.
NU dalam mengusung Aswaja disamping karena sesuai dengan hadits juga secara prinsipil
termotivasi dengan dua faktor;
a). Adanya ancaman “Internasional”, terjadinya perebutan kekuasaan dari penguasa Mekkah Syarif
Husain (yang moderat) direbut oleh Abd. Al-‘Aziz ibn Sa’ud (pengikut kaum Wahabi, pengikut
sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam yang terkenal keras dan mengancam keyakinan
“Islam Tradisional” dalam beribadah di tanah suci Mekkah.
B). Adanya gerakan Serikat Islam (SI) dan Muhammadiyah yang memiliki pemahaman berbeda
dengan golongan “Islam Tradisional”, dan tidak bisa membawa aspirasi “Islam Tradisional” dalam
kancah Internasional (Mekkah), sehingga terbentuklah komite Hijaz yang berlanjut dengan
berdirinya Nahdlatoel “Oelama di Surabaya 31 Januari 1926 ( Lihat Martin Van Bruinessen, 1994;
31-32 ).
B.  Aswaja Sebagai Madzhab

Ajaran islam adalah sempurna yang bersifat universal, tentunya membutuhkan kajian dan
penafsiran yang cermat supaya menghasilkan akurasi kesimpulan hukum yang tepat. Maka aswaja
juga berpedoman terhadap pemikiran para mujtahid yang dianggap lebih mampu dalam
menginterpretasi dari sumber utamanya.
“aswaja” adalah faham yang berpegang teguh pada tiga madzhab sebagaimana dilansir oleh
kh. Bisri mustofa, yaitu;
1. Bidang hukum islam menganut salah satu empat masdzhab (hanafi, maliki, syafi’i, hambali),
2. Bidang tauhid menganut ajaran imam abu hasan al-asy’ari dan imam abu mansur al-maturidi,
3. Bidang tasawuf menganut imam abu qosim al-junaidi (zamakhsyari dhofier, 1994; 149) dan
imam Al-ghozali

C. Latar Kultural Dan Politik Kelahiran Aswaja


Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam
masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam
praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam
Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.

2
Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu
simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif
Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah
Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr
(cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in
yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu.
Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan
produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.
Ahlusunnah tidak bisa terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang
untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang terdiri dari
beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli. Dari watak alami dan
karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir watak orang arab sulit bersatu dan
bahkan ada titik kesatuan diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil.
Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan
kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat me
nekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar idiologi atau iman. Selama
23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu
meredam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya Rosulullah
mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrah
manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal
dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisihan
sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah
(peristiwa bani saqifah ).
Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus berlanjut
pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat beragam.
Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga masalah-
masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu
bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman Bin
Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar
menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi
pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat
Islam yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad
bin Abu Bakar.
Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina
Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu,
sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah,
Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah
yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak
bisa terlepas dari latar belakang politik.
D. Aswaja Sebagai Minhaj al-Fikr 
Dalam pokok-pokok ajaran Islam secara universal hampir semua golongan memiliki
pemahaman yang sama terhadap ayat-ayat dan hadits qath’i dan hal-hal pokok lainnya, seperti
tentang ke- Esaan Allah, kewajiban shalat, puasa, zakat dan lainnya. Namun dalam hal-hal yang
kurang substansial mereka berbeda dalam minhaj al-Fikrnya sehingga menimbulkan penafsiran
yang berbeda pula, karena perbedaan penekanan otoritas akal dan intelektualitas dalam
menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan teks-teks Hadits.
Golongan-golongan dalam Islam memiliki minhaj al-Fikr yang berbeda-beda. Mu’tazilah
sering disebut berfikiran liberal atau rasional, Asy’ariyah memiliki minhaj al-Fikr tradisional
sedangkan paham Al-Maturidi memiliki pemikiran kombinasi dari keduanya, yaitu rasional-
tradisional. Dengan menekankan kekuatan akalnya, Mu’tazilah beranggapan bahwa akal manusia
bebas menembus hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan, sementara Asy’ariyah mengganggap

3
bahwa akal tidak akan sanggup kecuali ada petunjuk naql atau nash. Sedangkan menurut faham
Al-Maturidi bahwa akal manusia memiliki kekuatan menembus hal-hal yang berhubungan dengan
Tuhan, tetapi juga memiliki keterbatasan. Namun golongan kedua bisa digabungkan dengan yang
ketiga karena sama-sama mempreoritaskan pada kekuatan naql.
Minhaj al-Fikr Aswaja dalam bidang akidah; a). menggunakan metode yang kondisional
dalam membela akidah, b). bersikap tawqif, tanzih, dan tafwidh dalam masalah mutasyăbihăt, c).
Tawassŭd dengan tidak me-nafi-kan sifat Allah dan tidak men-tasybih-kan-Nya dengan makhluk,
d). memadukan aqal dan naql dengan mendahulukan naql apabila ada pertentangan antara
keduanya. (Lihat Tim Pimpinan Pusat LPM-NU; 2004; 25)
Minhaj al-Fikr Aswaja dalam bidang syari’ah menjadikan Al-Qur`an Hadits, Ijma’, dan
qiyas sebagai rujukan dalam pemahaman keagamaan. Dalam artian bahwa rujukan tersebut harus
diambil secara berurutan.. Dalil penggunaan sumber tersebut sebagaimana firman Allah;
‫…يا أيها الذين أمنوا أطيعوهللا وأطيع الرسول واولى األمر منكم فإن تنازعتم في شيئ فردوا إلى هللا والرسول‬
Artinya; Wahai orang yang beriman Taatlah kepada Allah, kepada Rasul dan pemerintah, maka
apabila terjadi pertentangan dalam sesuatu maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya…(an-
Nisă’; 59)
Ayat di atas yang dimaksud athĭ’ullăha merujuk kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) athĭ’urrasŭl (Al-
Hadits) wa ulil amri (ijma’) fain tanăza’tum fi syai-in fa ruddŭhu ilaLlah (Qiyas).
Aswaja sebagai Minhaj al-Fikr dalam bidang tashawuh mengikuti thariqah Imam Abu Qosim al-
Junaidi dimana ia bertujuan untuk mendapatkan ridla Allah dengan menempuh jalan memerangi
hawa nafsu. Perbedaan secara materiil paham tashawuf Aswaja dengan lainnya dalam tingkatan
(maqămah) , sedangkan secara materi paham Aswaja tidak menunjukkan paham yang ekstrim
melampaui nash agama. (lihat Tim Pimpinan Pusat LPM-NU; 2004). Dengan demikian ketiga
pola pikir tersebut menjadi kental dan menjadi identitas Minhaj al-FikrAswaja.

E. Aswaja dan Transformasi Sosial


Aswaja dalam penerapan ajarannya sangat kondisional dengan lingkungan, sehingga terjadi
akulturasi dengan kultur dan sosial masyarakat sekitarnya. Tentunya hal ini berawal dari
pemahaman Aswaja terhadap Agama yang fithri, suatu agama yang bersifat menyempurnakan
segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia.(Lihat Kacung Marijan; 1992; 195). Lenturnya
Aswaja dengan lingkungan masyarakat menjadikan Aswaja dinamis dan menjadi inspirasi umat
karena responsif terhadap segala permasalahan umat. Tentunya hal ini tidak terlepas dari
pemahaman Aswaja yang tidak ekstrim (moderat).
Aswaja selalu berada pada posisi di tengah dan mengayomi semua golongan yang menitik
beratkan pada penyelesaian dialogis. Dengan banyaknya kasus aliran baru, Aswaja mengambil
langkah persuatif dengan komunikasi yang santun sebagaimana disampaikan Ali Maschan Musa.
“kepada para pembawa ajaran menyimpang sudah sepatutnya untuk dilakukan pendekatan secara
intensif. Jangan sampai mereka dibiarkan apalagi dimusui sehingga menyebarkan ajarannya tanpa
dapat dicegah. Sudah waktunya mereka diajak bicara agar kita tahu argumentasinya. (Majalah
AULA; 2005; 89).
Dalam masalah kebangsaan Aswaja mengajarkan kecintaan kepada negara secara utuh dengan
landasan Hubbul Wathan minal Iman, bahkan demi terciptanya negara yang kondusif oleh semua
golongan. “Aswaja tidak menginginkan terbentuknya negara Islam legal-formalistik, tetapi
ummat Islam wajib hukumnya untuk mendirikan suatu `negara`. Tipologi masa Rasulullah Saw.,
berikut Khulafaurrasyidĭn merupakan acuan utama dalam berpolitik dan bernegara. (Tim
Pimpinan Pusat LPM-NU; 2004; 45).
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Aswaja sangat responsif terhadap transpromasi
sosial, dengan memberi solusi secara persuasif dan moderat serta memposisikan duduk sama
rendah berdiri sama tinggi di tengah-tengah komunitas umat yang heterogen dalam upaya
terciptanya Baldatun Thoyyibatun Warabbun Ghafŭr.

F. Aswaja Sebagai Paradigma


Doktrin Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) saat ini berhadapan dengan perubahan
masyarakat yang sangat cepat. Rumusan doktrin yang selama ini menjadi acuan bagi mayoritas

4
umat Islam dalam beragama, terutama kaum Nahdliyin tidak mampu lagi mengakomodir
perubahan yang terjadi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi di era yang global ini tidak
mampu lagi di baca dalam kerangka rumusan doktrin lama, keenderungan pemahaman agama
secara tradisional agaknya sudah kurang mampu berbicara. Pemahaman secara tekstual tidak lagi
memuaskan. Maka yang diperlukan adalah pemahaman yang bersifat kontekstual.
Reinterprestasi dokrtin Aswaja sudah seharusnya dilakukan. Salah satu pemahaman ulang tersebut
adalah dengan merujuk kembali sejarah awal reformasi atau pembentukan doktrin ini. Dengan
merujuk ke sejarah awal, yang telah kita bahas diatas akan terlihat situasi kreatif masyarakat
dimana perbincangan secara cerdas. Tampak sekali bahwa doktrin Aswaja sebenarnya berwatak
plural, tidak tunggal. Bahkan sejarah lahirnya paham akidah Aswaja sebenarnya dilahirkan oleh
tiga tokoh kenamaan yaitu, Imam al-Asy’ari di Barsah, Imam al-Maturidi di Samarkand dan)
Imam al-Tahawi di Mesir.
Proses terbentuknya paham Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah membutuhkan jangka waktu yang
panjang. Pengertian Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah sebagai sebuah aliran pemikiran (school of
thought) tidak serta merta dan terbentuk menjadi baku. Sejarah menunjukan bahwa pemikiran
keagamaan Sunni dalam bidang teologi, hukum, Tasawuf dan politik tidak terbentuk dalam satu
masa melainkan dalam waktu yang berbeda-beda. Masing-masing bidang tersebut di formulasikan
oleh para ulama yang hidup pada masa yang berbeda pula. Dengan demikian Ahl al-Sunnah wal
al-Jama’ah adalah akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan oleh
para ulama untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul pada zaman tertentu.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan yang menyatakan dirinya sebagai penganut
paham Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah, memahami Aswaja sebagai akumulasi doktrin keagamaan
yang bertumpu pada rumusan al-usus al-thalathah fi al-I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah di bidang
hukum(fiqh) )Tasawuf dan tauhid.[8]
Selama ini, yang kita ketahui tentang Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah adalah madzhab yang :
1. Dalam akidah, mengikuti slah satu dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur
al-Maturidi.
2. Dalam ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu Imam empat : Abu Hanifah,
Malik ibn Anas, Muhammad al-Syafi’I dan Ahmad bin Hambal.
3. Dan dalam ber-tashawwuf mengikuti salah satu dua Imam: Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi
dan Abu Hamid Muhammad al-Ghozali.
G. Eksistensi Aswaja Di Tengah Era Globalisasi

Sudah menjadi faka sejarah bahwa agama Islam telah mengantarkan lahirnya sebuah
peradaban manusia yang dapat diketahui dari kekayaan aneka ragam seni, budaya dan
pemikiran dari para pemikir muslim. Wacana intelektual itu terus berjalan untuk merespons
atau reaksi terhadap perubahan zaman engan segala psang surutnya. Wacana intelektual Islam
yang kadang-kadang muncul secara kreatif ketika menghadapi tantangan yang cukup rumit
teapi juga pernah mengalami masa yang agak kering. Para sejarawan telah berusaha mencari
latar belakang dan sebab pasang surutnya kreatifitas intelektual itu dengan menfokuskan pada
satu sisi sebagai penyebab utama. Tapi, hasil analisis mereka menyatakan, tidak ada satu-
satunya sebab yang harus disalahkan sebagai bentuk tanggung jawab atas kemacetan tersebut.
Kiranya berbagai faktor yang saling berkaitan.
Dalam masyarakat Islam, Ahlussunah Wal Jama’ah telah diakui sebagai ideologi dari berbagai
gerakan dan organisasi. Di Indonesia yang paling terkenal sebagai gerakan yang secara
konstitusional ingin membela dan mempertahankan Aswaja adalah Nahdlatul Ulama. Adapun
Muhammadiyah secara implisit mengakui idiologi “Áswaja”. Ini dapat diketahui dari salah
satu keputusan Majlis Tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang “Iman”
merupakan akidah Ahlul Haq Wassunah. Gerakan puritanis. Persatuan Islam (Persis),
mengakui lebih berhak menyandang sebutan Ahlussunah Wal Jama’ah dengan alasan tidak

5
bermadzhab. Karena itu, NU menurut mereka tidak bisa disebut sebagai Ahlussunah Wal
Jama’ah.
Kalangan Persatuan Tarbiyah (Perti) merumuskan Aswaja tidak jauh berbeda dengan
kalangan NU, dengan rumusan yang lebih ketat, karena cenderung untuk “menyesatkan”
kalangan pengikut Ibnu Taimiyah dan Wahabi. Sedangkan rumusan Aswaja Miftakhul Anwar,
secara ensensial juga tidak berbeda dengan NU, namun gerakan ini dapat mengakomodir
penganut Ibnu Taimiyah dan Wahabi masuk dalam Aswaja. Perbincangan dan wacana
intelektual diatas, menunjukan bahwa betapa Aswaja diyakini oleh berbagai kelompok,
sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat dalam Islam (al-firqah al-najiyah). Dan
Aswaja telah dipahami dengan pengertian yang beraneka ragam oleh berbagai kelompok dan
gerakan Islam.
Terlepas dari berbagai kelompok yang mengatasnamakan sebagai pengikut Aswaja diatas,
dalam sekala yang lebih besar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era modern
sekarang ini telah menanamkan pengaruhnya begitu besar dan luas dalam sisten berpikir dan
prilaku yang berkaitan dengan masalah-masalah teologi (keyakinan/aqidah) dan dialektika
agama. Membahas eksistensi Aswaja tak lepas dari sosok NU sebagai kelompok yang
membela dan memperjuangkan eksistensi Aswaja dalam kondisi apapun sebagai kerangka
analisis sosial. Dalam kaitannya dengan proses globalisasi yang secara dominan ditentukan
oleh Barat dewasa ini dalah topik yang baru dan sekaligus merupakan tugas yang berat.
Dewasa ini tampaknya belum ada literatur-literatur yang tertulis secara serius yang dapat
dibuat sebagai bahan rujukan sebagai titik tolak acuan untuk mengkaji sikap NU dalam
menghadapi isu-isu globalisasi. Istilah globalsiasi akhir-akhir ini sering dipakai sebgai suatu
ciri untuk menandai gerak laju modernitas yang semakin cepat, radikal dan dahsyat.[11] Duni
Barat, yang memegang kendali supermasi di bidang kemajuan sains dan teknologi,
merupakan pusat yang secara dominan menyebarkan proses globalisasi itu, Giddens
mendefinisikan globalisasi sebagai perkembangan-perkembangan yang cepat di bidang
teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang dapat membawa bagian-bagian dunia
yang paling jauh terpencil sekalipun ke dalam suatu jangkauan yang mudah.
Dengan demikian, globalisasi telah menyebabkan semakin menyempitnya dunia ini dan
semakin dekatnya jarak antara belahan dunia yang satu dengan belahan dunia yang lain.
Dipercanggih dengan kemajuan-kemajuan spektakuler di bidang teknologi informasi
komunikasi, transportasi dan komunikasi, globalisasi telah membuat dunia terasa semakin
mengecil dan menyempit seperti sebuah perkampungan. Akibat globalisasi, peristiwa-
peristiwa yang terjadi di salah satu belahan dunia dapat didengar dan diketahui dalam sekejap
oleh orang-orang yang menghuni belahan dunia lain. Perihal globalisasi, selain dari tatanan
bahasa, globalisasi juga sebagai konsep dicetuskannya oleh berbagai tatanan lain yang saling
terkait, seperti ekonomi, politik-idiologi, ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya.
Sebagai pengertian ekonomi, globalisasi berarti proses internalisasi produksi, mobilisasi yang
semakin membengkak dari modal dan masyarakat internsional, penggandaan dan intensifikasi
ketergantungan ekonomi, secara lebih konkrit, hal itu berarti reorganisasi sarana-sarana
produksi, penetrasi lintas negara industri, perluasan pasar uang, penjajahan barang-barang
konsumsi sempai ke negara-negara Dunia Ketig dari Dunia Pertama, dan penggusuran
penduduk lintas negara secara besar-besaran. Sedangkan sebagai pengertian pilitik-idiologi,
globalisasi dirumuskan sebagai liberalisasi perdagangan dan investasi, dergulasi, privatisasi,
adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah.
Sebagai pengertian ilmu pengetahuan, globalisasi tidak hanya dipakainya kaidah kebenaran
ilmu yang bersumber pada empirisme dan cara penalaran konteks masyarakat dan alam
Negara-Negara Maju bagi Negara-Negara Tertinggal tanpa memperhatikan ke-khasan
masyarakat dan alamnya, tetapi juga termasuk usaha-usaha untuk membangun kebenaran
ilmu untuk pemanusiaan manusia termasuk mencari keterangan ilmiah pengetahuan lokal dan
tradisi.  Sebagai pengertian teknologi, gobalisasi berarti penguasaan dunia melalui

6
penguasaan teknologi, tidak hanya terutama teknologi komunikasi dan informasi, namun juga
teknologi penghancur lingkungan serta bioteknologi pengancam manusia tanpa kemampuan
kendali.
Keduanya telah meringkas hamparan dunia menjadi tombol keputusan dari balik meja
penguasa ekonomi dan politik adikuasa. Dan pengertian budaya, globalisasi tidak hanya
merupakan proses harmonisasi ide-ide dan norma-norma, seperti pluralitas keberagaman, hak-
hak asasi, namun juga gaya hidup konsumerisme dan pornografi. Proses demikian merupakan
gerakan menuju kewargaan duni universal yang melampaui batasan negara-kebangsaan.
Globalisasi adalah suatu keniscayaan. Lambat atau cepat proses globalisasi dengan berbagai
tantangannya akan terjadi dalam interaksi kehidupan umat manusia seiring dengan kemajuan
yang canggih di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi. Proses globalisasi
dewasa ini ditandai oleh tingkat kecepatan yang tinggi di mana pertukaran informasi dan
budaya berlangsung dengan mengambil corak, manifestasi, dan sosok intensitas dengan
segala) variasi kompleksitasnya.
John Naisbitt, dalam Global Paradox-nya mendramatisir pengaruh komputer terhadap
pemikiran teologis itu dengan mengutip ungkapan imaginer dari Randall L. Tobies, mantan
wakil ketua AT&T (industri telkom, komputer dan elektronik yang mashur) sebagai berikut :
“Seorang ahli teologi bertanya kepada super komputer: Apakah Tuhan ada? Super komputer
itu mengatakan , bahwa ia tidak mempunyai kekuatan pemrosesan untuk mengetahuiNya. Dia
minta dihubungkan dengan semua super komputer lain di dunia. Namun, dia tetap belum
memiliki kekuatan yang cukup. Maka dia itu dihubungkan dengan semua mainframe di dunia
dan kemudian dengan komputer mini, dan dengan semua komputer di mobil, microwave,
VCR, digital dan seterusnya. Ahli teologi tersebut bertanya untuk terakhir kali: Apakah Tuhan
ada? Dan super komputer itu menjawab: sekarang ada!
Dalam contoh lain, pengaruh bahasa Inggris sekarang sudah menyusupi hampir semua sektor
kehidupan, dan sudah menjadi universal. Di dunia sekarang ini terdapat lebih dari satu milyar
pemakai bahasa Inggris. Enam puluh persen siaran radio di dunia menggunakan bahasa
Inggris. Tujuh puluh persen pos di dunia, alamatnya ditulis dalam bahasa Inggris. Delapan
puluh persen dari semua data dalam 100 juta komputer menggunakan bahasa Inggris.
Dan sekarang ini buku-buku referensi keislaman (maraji’al-buhuts al-islamiyah) sudah sangat
banyak ditulis dalam Inggris, mualai dari kitab-kitab (kitab kuning) sampai studi-studi
keislaman kontemporer. Dampaknya antara lain adalah tumbuhnya kecenderungan di
kalangan peminat, peneliti, pengkaji dan pengamat keislaman lebih suka menggunakan
referensi keislaman yang berbahasa Inggris. Disamping alasan kebahasaan (yang dikuasai),
alasan metodologis lebih memuaskan, dibanding referensi lain yang berbahasa Arab atau
Urdu misalnya.
Namun, gejala globalisasi yang kuat dalam segala sektor itu, diimbangi dengan munculnya
semangat primordial di sisi yang lain. Munculnya gerakan politik etnis di balkan (Bosnia,
Krowasia dan Serbia), seperti menyaingi gerakan gerakan politik regional Masyarakat Eropa.
Cita-cita umat Islam sebagai ummatan wahidah yang digarap melalui berbagai macam forum
dan lembaga, mengalami kesulitan karena munculnya konflik-konflik primordial (suku,
madzhab, partai, tariqah) di lingkungan komunitas muslim di berbagai negara.
Di sisi lain pengaruh globalisasi yang menekan dengan begitu deras dari wajah globalisasi
ekonomi-idiologi politik dapat dirumuskan menjadi 12 butir dengan mempergunakan bahan-
bahan yang disediakan oleh Bose, Oommen, Fernandes, Kartika dan Gautama, van Lidekerke,
dalla Costa sebagai berikut:
a. Adanya beban berat dari perangkap hutang luar negeri. Ketika merdeka,
Indoneisa dan India hampir tidak mempunyai hutang luar negeri, kini setiap
orang menanggung Rp 7 juta dan sedikit lebih kecil dari India.
b. Terjadinya internalisasi atau migrasi modal dari Dunia Pertama ke negara-
negara pinggiran Duni Ketiga.

7
2. Gerakan bebas tenaga kerja dari Dunia Pertama ke Dunia Ketiga, termasuk bebas visa
dan fiskal, sebaliknya gerakan tenaga kerja dari Dunia Ketiga ke Dunia Pertama
dibatasi dengan kuota dan syarat apabila benar-benar dibutuhkan disana.
3. Agen pembaharuan / pembangunan bukan lagi negara tetapi MNCs/TNCs (Multi-
National Corporations atau Trans-National Corporations).
4. Adanya pertukaran barang dengan tarif rendah datau zero antara Dunia Pertama dan
Dunia Ketiga, berbeda. Dari Dunia Ketiga, yang diekspor adalah barang-barang
konsumsi yang eksotik yang diproduksi dengan tenaga murah dan nilai tukar rendah.
Dari Dunia Pertama adalah barang-barang sarat modal dan teknologi yang belum
tentu dibutuhkan oleh Dunia Ketiga, atau istilah John Kenneth “barang yang
menciptakan keinginan” (created want) atau memenuhi selera hidup konsumeris,
namun dibalut sebagai iklan yang meninabobokan.
5. Belum tetrbentuknya masyarakat demokratis termsuk masih lemahnya posisi tawar-
menawar dari serikat buruh, tani, nelayan, pekerja profesi, pembantu rumah tangga,
dan sebagainya termasuk majikan dan masih diberikannya upah dibawah UMR (Upah
Minimum Regional) masih juga tidak cukup untuk hidup layak, perbedaan upah
antara laki-laki dan perempuan, pemekerjaan anak-anak, seta perusakan anak-anak.
6. Globalisasi perdagangan melebarkan sayap ke mana-mana tetapi cenderung
mendesakkan fragmentasi dan perpecahan politik pada masyarakat tujuan, terutama
yang amat tertinggal secara manajerial, ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan
maksud mereka mudah dikuasai dan dijarah.
7. Bekerja sama dengan pemerintah otoriter yang kebanyakan korup, terjadilah
monopoli sumberdaya agraria dan alam yang merupakan tumpuan hidup subsistem
ataupun layak masyarakat hukum adat maupun bangsa seluruhnya. Monopoli yang
dilakukan oleh perusahaan besar lokal maupun lintas negara berakibat fatal bagi
masyarakat yang harus tergusur, polusi, dan degradesi lingkungan, serta pemiskinan,
peminggiran masyarakat lokal, termasuk masyarakat hukum dat.
8. Terjadinya tranformasi teknologi, khususnya yang sudah mulai usang di negara-
negara maju (Amerika Utara, Eropa, Jepang) atau bahkan negara pengantara (Korea
Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura), yang di dumping ke negara-negara
berkembang yang cenderung polutif dan hanya dapat “efisien” karena dioperasikan
oleh buruh yang murah yang kemarin-kemarin dikontrol tentara dan polisi sehingga
tidak mungkin membela nasibnya dengan berorganisasi, juga teknologi yang
berdampak mengurangi kesempatan kerja, kesempatan mengais kehiduan. Semuanya
adalah proses pemiskinan, baik teknologi maupun manusia.
9. Dengan berdalih program penyesuaian (structural adjusment) dan pengetatan ikat
pinggang (belt tightening), yang tak lain aalah untuk tujuan memampukan negara
membayar kembali hutang luar negeri sekalipun bangkrut ekonominya.
10. Tiadanya alternatif bagi program ekonomi yang ada, apalagi sudah terlanjur terjerat
hutang luar negeri dan memperangkap Surat Kesanggupan Menjalankan Program
menyebabkan ketidak berdayaan yang tidak berkesudahan, bahkan telah
menggadaikan hidup anak cucu yang belum dilahirkan.
11. Sebagai akibat dari tekanan globalisasi ekonomi-politik-idiologi, serta bagian-bagian
jelak dari globalisasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, terjadilah reaksi
etnisitas atau fundamentalis.
Dari rumusan diatas bahwa globalisasi ekonomi-politik-idiologi, serta bagian-bagian jelak
dari globalisasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, bagaimanapun harus diwaspadai
melainkan disikapi dengan cara) damai/disiasati.
Globalisasi sebagai salah satu proses historis dan sosiologis sudah pasti membawa tantangan-
tantangan sebagaimana disebut diatas yang tidak mungkin terelakan oleh setiap kelompok
masyarakat, termasuk umat Islam. Akbar S. Ahmaed dan Hastings Donnan mencatat, “Proses-

8
proses globalisasi telah menghantam secara keras sendi-sendi kebudayaan tradisional, dan
proses-proses tadi telah menimbulkan isu-isu di kalangan kaum Muslimin. Isu-isu itu tidal
lagi diabaikan begitu saja oleh mereka. Orang-orang Islam sekarang ini dipaksa untuk
menghadapi isu-isu yang dirumuskan sebagai respons terhadap isu-isu tadi. Masalah-masalah
yang pada masa lalu hanya ditanggapi baik oleh beberapa orang yang mempunyai informasi
yang baik, sekarang masalah-masalah itu diperdebatkan oleh banyak orang dalam masyarakat
pada setiap tingkat organisasi sosial”.
Sebagaimana dikutip diatas, Akbar S. Ahmad dan Hastings Donnan mengatakan bahwa proses
globalisasi telah menerpa dan menghantam sendi-sendi kebudayaan tradisional. Dengan kata
lain , ini berarti bahwa proses globalisasi telah menggoyang bahkan meruntuhkan akar-akar
budaya tradisional dalam kehidupan kelompok-kelompok Muslim di dunia.
NU sebagai bagaian integral dari komunitas Muslim di Indonesia secara berkesinambungan
tetap mempertahankan dan melestarikan sendi-sendi bangunan tradisi dan akar-akar budaya
tradisionalnya, walaupun tidak harus mengisolasi dan menutup diri untuk menerima hal-hal
yang positif dari budaya Barat atau budaya mencanegara lainnya.
Begitu pula NU tetap bersikap konsisten dalam melaksanakan strategi kebudayaan
sebagaiaman telah dirumuskan secara tepat dalam “Al- Muhafadzah’ala al- qadimi as-Shalih
wa al – akdzu bi al-jadidi al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang
baru yang lebih baik).
Prinsip dan strategi kebudayaan yang dianut diatas mengandung implikasi bahwa terhadap
hasil-hasil budaya Barat yang positif seperti sains dan teknologi, NU dan seluruh jajaran
jama’ah dan warganya mengapresiasi, mempelajari, menerima dan mengaplikasikannya.
Penerimaan NU terhadap hasil-hasil budaya Barat yang positif adalah perlu dan merupakan
keniscayaan dalam rangka untuk memodernisasi cara kerja NU.
Menghadapi tantangan globalisasi dewasa ini , tak ada pilihan lain kecuali menjadikan dirinya
sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang “ modern” tanpa harus kehilangan nilai-nilai
dasar tradisionalnya, secara kreatif meramu tradisi dan modernisasi serta mengharmonikan
keduanya dalam satu konfigurasi bangunan yang selaras dan ideal sehingga tidak hanya
menampakkan sisi tradisionalismenya yang terkesan selama ini.
Citra kemoderenan tercermin pada kelompok nahdliyin dengan melakukan rekontruksi mental
agar memiliki sikap mental orang-orang modern. Prof. Inkeles, ahli sosiologi dari Universitas
Havard (Amerika Serikat) sebagai berikut :
a. Manusia modern siap sedia untuk pengalaman baru dan terbuka untuk
pembaharuan dan perubahan (innovation and change). Dalam hal ini ia
membedakan dirinya dengan manusia tradisional.
b. Manusia modern mampu membentuk pendapat tentang jumlah besar masalah
dan isu yang timbul, tidak hanya dari segi luarnya saja.
2. Manusia modern dalam orientasinya terhadap berbagai pendapat yang ada bersikap
lebih demokratis. Ini berarti bahwa di lebih sedar tentang aneka ragam sikap dan
pendapat di sekitar dirinya. Dia tidak menutup dirinya dalam kepercayaan bahwa
setiap orang berpikir serupa dengan dia. Dia tidak serta merta menerima gagasan-
gagasan atasannya dalam hirarkhi kekuasaan. Demikian juga dia tidak menolak
begitu saja pendapat orang yang dedudukannya berada di bawahnya.
3. Manusia modern berorientasi ke masa sekarang dan kedepan, dan bukan kemasa
lampau. Orientasi ini membawa konsekwensi kepada tanggapannya tentang waktu,
dan lebih teratur dalam mengurus persoalan-persoalannya.
4. Manusia modern berorientasi kepada dan terlibat dalam perencanaan (planning) serta
pengorganisasian dan ia percaya padannya sebagai suatu cara untuk mengatur
kehidupannya.

9
5. Manusia modern percaya bahwa manusia dapat belajar sampai pada tingkat yang jauh
untuk menguasai sekelilingnya, guna memajukan tujuan dan sasarannya dan bukan
sebaliknya, yakni dikuasai seluruhnya oleh lingkungannya itu.
6. Manusia modern mempunyai kepercayaan bahwa dunia ini dapat diperhitungkan, dan
bahwa orang lain dan lembaga-lembaga di sekitarnya dapat diandalkan guna
memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya. Ia tidak percaya bahwa segala sesuatu
ditentukan oleh takdir atau oleh ulah tabiat khusus dan ciri-ciri manusia. Ia percaya
pada dunia yang bertimbang ras, berdasarkan hukum, dibawah kontrol manusia.
7. Manusia modern mempunyai kesadaran terhadap martabat orang lain dan cenderung
menunjukan respek terhadap mereka.
8. Manusia modern percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
9. Manusia modern percaya pada keadilan yang terbagi (distributive justice). Artinya, ia
percaya bahwa ganjaran-ganjaran harus sesuai dengan sumbangannya (kontribusi)
dan tidak berdasarkan pada ulah atau milik-milik istimewa orang yang tidak ada
hubungannya dengan sumbangan itu.
Sifat-sifat orang modern seperti diungkap oleh Prof. Inkeles di atas diangkat dari pengamatan
terhadap paradigma kehidupan Barat yang berpandangan hidup sekuler (hidup tanpa agama)
dan antroposentris. Kendatipun demikian, sifat-sifat tadi dapat direkomendasikan untuk
ditumbuhkan dalam diri pribadi orang-orang Islam pada umumnya, dan pribadi nahdliyin
pada khsusnya dengan catatan bahwa penumbuhan sifat-sifat tersebut didasari oleh nilai-nilai
dan motivasi Islam sehingga perilaku dan tujuan hidup yang hendak dicapai tetap bertumpu
pada pencarian dan perolehan) keridlaan Allah SWT.

  

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menyadari bahwa kesatuan umat manusia adalah konsekuensi dari kemajuan peradaban
manusia, maka penganut ahl sunnah wal jamah dalam era globalisasi ini justru harus
menghadapinya dengan kesiapan untuk berlomba dalam mendakwahkan nilai-nilai Islam
kepada masyarakat dunia. Dengan cara bersikap kreatif dengan menggali tak kenal henti
saripati dan hikmah ajaran Islam untuk didakwahkan dan disumbangkan sebagai rahmat
bagi seluruh alam (rahmatan li al-alamin) .
Tidak bisa dinafikan bahwa ada sisi lain dari globalisasi yang berdampak tidak
menguntungkan bagi umat Islam. Sebab pihak yang diuntungkan adalah yang paling
menguasai teknologi dan bermodal besar. Dalam situasi inilah globalisasi muncul dalam
bentuk dominasi Barat terhadap negara-negara Timur (Islam). Salah satu faktor yang
menyebabkan muncul dan meluasnya radikalisme serta terorisme adalah dominasi
tersebut. John L Esposito misalnya, melihat bahwa dominasi Barat terhadap negara-
negara Islam menyebabkan umat Islam resisten terhadap peradaban Barat. Celakanya,
resistensi tersebut acapkali disertai dengan generalisasi bahwa semua yang berasal dari
Barat harus ditolak dan dimusuhi.
Dengan demikian sedikit banyak globalisasi memiliki kontribusi dalam konflik Islam-
Barat. Ini bukan berarti kita harus menolak globalisasi, sebab ada nilai-nilai dan produk
globalisasi yang bermanfaat bagi kehidupan bersama. Globalisasi sebagai fenomena
tercabutnya ruang dari waktu bukan hanya sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditampik,
melainkan juga menguntungkan bagi interaksi peradaban seluruh umat manusia.
Kemunculannya seiring dengan kemajuan peradaban manusia itu sendiri. Namun
globalisasi sebagai sebuah ideologi, dimana liberalisme ekonomi yang menjadi spiritnya,
tentu harus diwaspadai.
Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa umat Islam tidak gampang terseret dalam
menghadapi arus globalisasi. Sebagai bagian terbesar dari bangsa Asia Tenggara, umat
Islam dengan kemampuannya menggali dan mendayagunakan ajaran agamanya untuk
menjawab tantangan globalisasi, justru diharapkan untuk mampu memelopori dan
membawa bangsa ini tampil di gelanggang percaturan dan persaingan global tanpa
kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beriman dan bertakwa. Ini sekaligus
merupakan upaya kongkret untuk turut mengarahkan aliran arus globalisasi.
Dengan teknologi komunikasi dan informasi dunia memang terasa menjadi sempit dan
kecil. Tanpa keimanan kecanggihan produk Iptek tersebut dapat membawa manusia ke
sikap sombong dan melupakan Allah SWT. Namun, dari sudut iman, dunia yang terasa
kecil itu justru mengugah agar manusia lebih merasa kecil dihadapan Allah Yang Maha
Pencipta. Tanpa pegangan iman pola kehidupan yang makin mengglobal ini akan mudah
membawa orang-orang terombang-ambing, terlanda stress dan keterasingan (alienated).
Tetapi dengan keimanan orang akan tangguh menghadapinya karena proses tersebut
dipahami sebagai bagian dari sunnatullah yang tak mungkin dihindari.
Pada era globalisasi dan informasi sekarang ini, sikap hidup masyarakat semakin rasional,
laju urbanisasi amat cepat terjadi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga
semakin pesat. Hal itu tentu saja merupakan tantangan bagi Muslim untuk memberikan
kontribusi. Etos keilmuan yang jelas sangat penting untuk dimiliki itu, merupakan hal
yang ditekankan dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menuntut
ilmu sejak dari ayunan hingga liang lahat (minal mahdi ilal lahdi). Seyogyanyalah etos
keilmuan itu senantiasa dihidupkan di dalam kalbu setiap muslim demi kemajuan islam
kedepan tanpa harus mengabaikan dan konservatif atas kemajuan yang sudah berkembang
di era globalisasi ini.

11
12
DAFTAR PUSTAKA

https://hefniy.wordpress.com/2008/10/06/eksistensi-%E2%80%9Caswaja%E2%80%9D-
dan-perkembangannya

https://makalah-gratisan.blogspot.com/2012/03/gejolak-aswaja-di-era-globalisasi.html

Pertanyaan sesi 1
MATKUL PAI 3 AKUNTANSI
URGENSI ASWAJA
1. Sunik 19041011 : 10:20 AM
Apa cakupan ajaran ahlusunnah wal jamaah
2. Siti Dwi Ratna Sari_19041032 : 10:22 AM
Bagaimana cara menanamkan keaswajaan pada generasi remaja saat ini, dimana sekarang banyak anak
muda yang tidak sensitif pada topik keagamaan
3. Eka Fitri Yunita Rahmawati_19041031 : 10:24 AM
Bagaimana eksistensi Aswaja dalam upaya membendung radikalisme beragama?

13

Anda mungkin juga menyukai