Anda di halaman 1dari 25

KONSEP AL-TAKHALLUQ BI AKHLAQILLAH SEBAGAI

PROSES DAN HASIL PENDIDIKAN ISLAM

Oleh:

ERNAWATI

321621015

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
1439 H / 2018 M

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1

BAB II KONSEP AL-TAKHALLUQ BI AKHLAQILLAH SEBAGAI


PROSES DAN HASIL PENDIDIKAN ISLAM

A. Konsep Al-Takhalluq Bi Akhlaqillah Sebagai Proses Pendidikan Islam


..............................................................................................................4
B. Konsep Al-Takhalluq Bi Akhlaqillah Sebagai Hasil Pendidikan
Islam....................................................................................................18

BAB III PENUTUP ........................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................24

2
BAB I

PENDAHULUAN

Degradasi moral merupakan wacana yang telah lama kita dengar, namun
kenyataan sosial yang berkembang di masyarakat tentang timbulnya dan semakin
merebaknya dekadensi moral semakin menghawatirkan. Dimana menghormati,
mengasihi, tolong menolong, kejujuran, kebenaran, toleransi, semakin terkikis dan
tertutupi oleh kebohongan, menghasut, adu domba, penipuan, kekerasan dan
perbuatan perbuatan negatif lainnya.

Secara tidak langsung memang pendidikan budi pekerti telah ditanamkan


di dalam Pendidikan Agama Islam. Namun Pendidikan Agama Islam (PAI) di
sekolah sering dianggap kurang berhasil dalam menggarap sikap dan perilaku
keberagamaan peserta didik serta membangun moral dan etika bangsa. Berbagai
macam argumen yang dikemukakan untuk memperkuat stetemen tersebut antara
lain adanya indikator-idikator kelemahan yang melekat pada pelaksanaan
Pendidikan Agama di sekolah, yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: Pertama
PAI kurang bisa merubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi "makna" dan
"nilai" atau kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang
perlu di internalisasikan dalam diri peserta didik. Kedua PAI kurang dapat
berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan non
agama. Ketiga PAI kurang memiliki relevansi terhadap perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat dan kurang ilustrasi konteks sosial budaya, atau bersifat

Tujuan daripada pendidikan agama (Islam) ialah keberagamaan peserta


didik itu sendiri, bukan terutama pada pemahaman tentang agama dengan
perkataan lain, yang diutamakan oleh pendidikan agama (Islam) bukan hanya
knowing (mengetahui tentang ajaran dan nilai-nilai agama) ataupun doing (bisa
mempraktikan apa yang diketahui) setelah diajarkannya di sekolah, tetapi justru
lebih mengutamakan being-nya (beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran
dan nilai-nilai agama). Karena itu, pendidikan agama (Islam) lebih harus

1
diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya
berhenti pada tataran kompeten (competence), tetapi sampai memiliki kemauan
(will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Ilmu tasawwuf pada umumnya dibagi menjadi tiga, pertama tasawwuf


falsafi, yakni tasawwuf yang menggunakan pendekatan rasio atau akal pikiran,
tasawwuf model ini menggunakan bahan – bahan kajian atau pemikiran dari para
tasawwuf, baik menyangkut filsafat tentang Tuhan manusia dan sebagainnya.
Kedua, tasawwuf akhlaki, yakni tasawwuf yang menggunakan pendekatan akhlak.
Tahapan – tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang
buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya
dinding penghalang [hijab] yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur
Illahi tampak jelas padanya).

Dan ketiga, tasawwuf amali, yakni tasawwuf yang menggunakan


pendekatan amaliyah atau wirid, kemudian hal itu muncul dalam tharikat.
Sebenarnya, tiga macam tasawwuf tadi punya tujuan yang sama, yaitu sama–sama
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan
yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan yang terpuji (al-akhlaq al-
mahmudah), karena itu untuk menuju wilayah tasawwuf, seseorang harus
mempunyai akhlak yang mulia berdasarkan kesadarannya sendiri. Bertasawwuf
pada hakekatnya adalah melakukan serangkaian ibadah untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt. Ibadah itu sendiri sangat berkaitan erat dengan akhlak. Menurut
Harun Nasution, mempelajari tasawwuf sangat erat kaitannya dengan Al-Quran
dan Al-Sunnah yang mementingkan akhlak.

Jadi akhlak merupakan bagian dari tasawwuf akhlaqi, yang merupakan


salah satu ajaran dari tasawwuf, dan yang terpenting dari ajaran tasawwuf akhlaki
adalah mengisi kalbu (hati) dengan sifat khauf yaitu merasa khawatir terhadap
siksaan Allah.

Secara eksistensial pada hakikatnya ahlak dan tasawuf merupakan dua


bangunan keilmuan yang saling mendukung dalam penerapaan-penerapan dan

2
yang paling rasional adalah bahwa kedua ini memiliki orientasi yang sama, yaitu
bagaimana agar manusia sebagai wakil / khalifah Allah di muka bumi senantiasa
dapat menjalankan misi ilahiyah yang transendental beraksi dan menunjukan
eksistensinya di muka bumi.

3
BAB II

KONSEP AL-TAKHALLUQ BI AKHLAQILLAH SEBAGAI PROSES


DAN HASIL PENDIDIKAN ISLAM

A. Konsep Al-Takhalluq Bi Akhlaqillah Sebagai Proses Pendidikan Islam

Konsep al-takhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi


pekerti Allah, Istilah budi pekerti dalam kajian Islam lebih dikenal dengan akhlak.
Dalam Bahasa Indonesia istilah akhlak disepadankan dengan budi pekerti. Dalam
bahasa Arab akhlak artinya tabiat, perangai, kebiasaan. Dalam pembahasan
mengenai pendidikan budi pekerti kiranya belum begitu banyak yang membahas
secara spesifik. Biarpun ada dengan menggunakan istilah moral atau akhlak. Hal
itu karena akhlak sangat berkaitan dengan moral. Jika pengertian agama dan
moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya tampak saling berkaitan dengan
erat. Dalam konteks hubungan ini jika diambil ajaran agama, maka moral adalah
sangat penting bahkan yang terpenting, dimana kejujuran, kebenaran, keadilan,
dan pengabdian adalah diantara sifat-sifat yang terpenting dalam agama.

Bagi pendidikan Islam dampak teknologi telah mulai menampakkan diri,


yang pada prinsipnya berkekuatan melemahnya daya mental spiritual. Suasana
permasalahan baru yang tampaknya harus dipecahkan oleh pendidikan Islam pada
khususnya antara lain adalah dehumanisasi pendidikan dan netralisasi nilai-nilai
agama. Terjadinya perbenturan antara nilai-nilai sekuler dan nilai absolutisme dari
Tuhan akibat rentannya pola pikir manusia teknologis yang bersifat pragmatis
relativistis inilah, pendidikan Islam harus mampu membuktikan kemampuannya
untuk mengendalikan dan menangkal dampak-dampak negatif dari iptek terhadap
nilai-nilai etika keagamaan Islam serta nilai-nilai moral dalam kehidupan
individual dan sosial.1

Persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini


adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi
1 Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001),
hlm. 45-46.

4
rasionalisme, empirisme, dan positivisme, ternyata membawa manusia kepada
kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas zaman dan karena itu
spiritualisme menjadi suatu tema bagi kehidupan modern. Sayyed Hossein Nasr
dalam bukunya, sebagai dikutip Syafiq A. Mughni menyayangkan lahirnya
keadaan ini sebagai The Plight Of Modern Man, nestapa orang-orang modern.2

Manusia modern dalam istilah Auguste Comte, peletak dasar aliran


Positivisme sebagai dikutip Abdul Muhayya, adalah mereka yang sudah sampai
kepada tingkatan pemikiran positif. Pada tahapan ini manusia sudah lepas dari
pemikiran religius dan pemikiran filosofis yang masih global. Mereka telah
sampai kepada pengetahuan yang rinci tentang sebab-sebab segala sesuatu yang
terjadi di alam semesta ini.3

Seiring dengan lepasnya pemikiran religius dan filosofis, manusia


menyadari pentingnya aspek esoteris (batiniah) di samping aspek eksoteris
(lahiriah). Namun kenyataan menunjukan bahwa aspek esoteris tertinggal jauh di
belakang kemajuan aspek eksoteris. Akibatnya orientasi manusia berubah menjadi
kian materialistis, individualistis, dan keringnya aspek spiritualitas. Terjadilah
iklim yang makin kompetitif yang pada giliranya melahirkan manusia-manusia
buas, kejam, dan tak berprikemanusiaan sebagai dikatakan Tomas Hobbes
sebagaimana disitir oleh Nasruddin Razak, Homo Homini Lupus Bellum Omnium
Contra Omnes (manusia menjadi srigala untuk manusia lainya, berperang antara
satu dengan lainnya).4

Pergeseran nilai sebagaimana diungkapkan di atas, mulai dirasakan


dampaknya yaitu munculnya individu-individu yang gelisah, gundah gulana, rasa
sepi yang tak beralasan bahkan sampai pada tingkat keinginan untuk bunuh diri.
Keadaan ini tentunya sudah menyangkut pada aspek kesehatan jiwa manusia
dalam mengarungi kehidupan yang makin kompleks. Mulailah manusia melirik
disiplin ilmu tasawwuf dengan segala cabang-cabangnya guna memberikan solusi

2 Syafiq A. Mughni, Nilai-Nilai Islam, (Yogyakarta Pustaka Pelajar, , 2001), hlm. 95.
3 Abdul Muhayya, “Peranan Tasawwuf dalam Menaggulangi Krisis Spiritual” dalam
HM. Amin Syukur dan Abdul Muhayya, (Ed), Tasawwuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), hlm 21.
4 Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1973), hlm. 19.

5
dalam menyikapi gejolak nafsu manusia yang sudah sampai pada tataran yang
mengkhawatirkan.

Dewasa ini disiplin ilmu tasawuf telah makin memikat para cendekiawan.
Saat ini referensi ilmu tasawuf yang terpampang di toko-toko buku laku keras,
baik yang berorientasi falsafi, akhlaki maupun amali. Namun demikian di tengah-
tengah laku kerasnya buku-buku tasawuf, sebagian orang meneliti dan mengkaji
pemikiran tasawuf K.H.Ahmad Rifa’i. Ia merupakan tokoh lama yang sudah
barang tentu pemikiran dan gagasannya cukup efektif pada zamannya, dan
dihubungkan dengan konteks masa kini pun masih relevan dalam hubungannya
dengan pendidikan Islam.

Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat
kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari
tasawuf ternyata pula bahwa al-Quran dan al-Hadis mementingkan akhlak. Al-
Quran dan al-Hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan,
persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka
memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih
hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan
berpikiran lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim,
dan dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil.5
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat
menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah
seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam
rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan
ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam islam erat sekali
hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Quran dikaitkan dengan
taqwa, dan taqwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-
Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang
dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada

5 Harun Nasution, “Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran” (Bandung: Mizan, 1995),
cet. III, hal: 57

6
kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang
bertaqwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut
mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa
kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi
disebut dengan al-takhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi
pekerti Allah, atau al-ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat
yang dimiliki Allah
Menirut Fazlur Rahman sebagaimana ditulis Said Agil Husain AL
Munawar dalam buku Aktualisasi Nilai-nilai Qur'ani Dalam Sistem Pendidikan
Islam mengatakan bahwa:

"Inti ajaran agama adalah moral yang bertumpu pada keyakinan


kepercayaan kepada Tuhan (habl min Allah) dan keadilam serta berbuat
baik dengan sesama manusia (habl min al-Nas)". Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa hal yang terpenting dalam ajaran agama adalah
pembentukan moral.

Dalam sebuah hadits Nabi dijelaskan juga bahwa Bu'istu li-utammima


makarim al-akhlaq. (aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia/memperbaiaki akhlak). Kalau kita perhatikan, memang banyak sekali nilai-
nilai ajaran moral yang terkandung dalam Al-Qur'an maupun hadits, sebagai
contoh: adil, ta'awun ala al-birr wa al-taqwa, benar, amanah, terpuji, bermanfaat,
respect (menghargai orang lain), sayang, tanggungjawab, dan lain sebagainya. Hal
ini merupakan perilaku moralitas individu terhadap kehidupan sosial atau
berdampak pada kehidupan sosial (beretika sosial). Dengan landasan nili-nilai
ajaran Islam.

Membahas masalah pendidikan dalam Islam, pendidikan menurut bahasa


arabnya adalah dari kata “Tarbiyah”.dan kata Ta’lim Dari segi istilah Al-Tarbiyah
berasal dari kata “ rabb”, kata ini mempunyai beberapa makna, yaitu tumbuh
berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestariannya agar
tetap eksistensi seperti terdapat pada Firman Allah SWT, QS. Ar-Ruum ayat 39.
Ada juga kata rabb yang terdapat pada QS. Al-Fatihah ayat :2, yang mempunyai
makna Tarbiyah, karena kata rabb ( Tuhan ) dan murabbi (pendidik) artinya

7
bahwa Allah adalah pendidik yang agung bagi alam semesta (Al-Syaibani ).
Melihat penjelasan diatas maka Al-tarbiyah terdiri dari empat unsur pendekatan
yaitu,

1. Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang baligh.


2. Mengembangkan seluruh potensi menuju sempurna.
3. Mengarahkan potensi untuk kesempurnaan.
4. Melaksanakan pendidikan secara bertahap.

Sedangkan kata Ta’lim mengandung arti ilmu atau orang yang memiliki
ilmu,mengisya- ratkan bahwa oarang yang memiliki ilmu agama terutama sering
disebut Ulama artinya oarang yang mengajarkan ilmu. Adapun firman Allah yang
menjelaskan tenang konsepsi Al-Qur’an dan hadits tentang pendidikan atau
tarbiyah dan ta’lim adalah (QS. : 30 : 29, QS.2 :276, 31-32,102 dan129, QS.7 :
164, dan QS. 3 : 48, 79, dan164.) Dan ada juga yang mengatakan bahwa
pendidikan berasal dari kata Ta’dib Kata ta’dib didasarkan kepada hadist Nabi
Muhammad SAW. Yang artinya“ Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan
pendidikanku. ( H.R. AL-Asykary dari Ali.R.a ) Kata “ Addaba” dalam hadist ini
dimaknai Al-Attas sebagai mendidik dan dimaknai juga dengan, Tuhan ku telah
membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara
berangsur-angsur ditanamkanNya pada diriku, serta membimbing kearah
pengenalan dan pengakuan, tempatNya dalam tatanan wujud dan kepribadian
serta- sebagai akibatnya- Ia telah membuat pendidikanku yang paling baik.6

Seorang anak manusia yang lahir dari rahim ibunya dalam keadaan lemah
tanpa daya, segala macam potensinya belum berkembang. seiring dengan
perjalanan waktu usia akan bertambah dan potensinya akan berkembang. firman
Allah dalam QS. An-Nahl ayat 78 “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” Namun melalui proses
belajar dengan mengikuti pola dan norma sosial, mengikatkan diri pada ideology

6 M.Naquib Al-Attas. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung. Mizan. 1994.

8
dan sistem nilai, serta terlibat dalam aktifitas saling menukar pengetahuan dan
pengalaman sehingga menjadi masyarakat yang beradab.

Pendidkan merupakan upaya memperlakukan manusia untuk mencapai


sebuah tujuan. akan sangat manusiawi apabila mempertimbangkan kapasitas dan
potensi yang terdapat pada manusia. pendidikan sering dikatakan sebagai usaha
yang disadari oleh pelakunya untuk mencapai sebuah tujuan tertentu. karena
merupakan komponen yang paling penting dalam pendidikan. tujuan yang
terpenting adalah “pendidikan akhlak”. hal ini sangat terkait dengan penyampaian
Lukman Al-Hakim Ia menyatakan bahwa:” Hai anakku dirikanlah Sholat dengan
tepat waktu sesuai dengan ketentuannya, syaratnya, rukunnya, lakukanlah amar
ma’ruf nahi munkar sekuat tenagamu dan bersabarlah atas gangguan dan
rintangan yang engkau hadapi selagi melaksanakan tugas tersebut .Janganlah
engkau memalingkan mukamu karena sombong dan memandang rendah orang
yang berada didepanmu. Dan janganlah berjalan dimuka bumi dengan angkuh,
karena Allah sekali-kali tidak menyukainya orang yang membanggakan diri. dan
hendaklah berlaku sederhana kalau berjalan jangan terlalu buru-buru dan jangan
terlalu lambat atau malas. Bila berbicara lunakkanlah suarmu dan jangan
berteriak-teriak tanpa ada perlunya, karena seburuk-buruk suara adalah suara
keledai.”

Pemahaman proses pendidikan tidak akan sempurna tanpa ada pemahaman


yang benar tentang tabiat manusia. sebab konsep dan perbuatan pendidikan dilator
belakangi oleh konsep tentang tabiat manusia. Jadi sifat manusia menempati
kedudukan penting dalam studi pendidikan yang berhubungan dengan tingkah
laku manusia dan aspek moral pada individu. Hakekat pendidikan pada intinya
adalah menggali potensi yang dikaruniakan Allah SWT berupa akal dan fikiran.
Jika manusia disentuh oleh pendidikan, maka usaha manusia untuk memanusiakan
manusia akan terwujud. Dalam prosesnya perlu ditanamkan keteladanan dari
pendidik kepada anak didik bukan dengan paksaan atau dengan kekerasan. Untuk
melanjutkan pendidikan dalam pembelajaran diperlukan figure seorang pendidik
yang berilmu, berwawasan, berakhlak, dewasa dan dihormati. Ada harapan besar

9
konsep pendidikan dari Al-Qur’an dapat disejalankan dan dituangkan dalam
sistem pendidikan nasional, dan menemukan relevansinya serta merumuskan
langkah-langkah yang dibutuhkan guna memantapkan keberhasilan.

Hakekat pendidikan yang ingin dicapai adalah pengajaran, penyucian, dan


pengabdian kepada Allah SWT sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang
ditegaskan Al-qur’an Surat Adz-Dzariat ayat 56 “ Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu.” Tujuan ini akan
tercapai antara lain melalui diskusi yang melibatkan akal fikiran, tutur kata yang
menyentuh jiwa, serta kisah manusia yang baik dan diiringi dengan contoh yang
baik dari pendidiknya.Manusia sebagai khalifah dibumi mengharuskan empat sisi
yang saling berkaitan: pemberi tugas yaitu Allah SWT. Penerima tugas yaitu
manusia secara individu atau kelompok. Lingkungan dimana manusia itu berada.
Materi-materi penugasan yang harus dilakukan manusia.

Dalam QS. Al-Ahzab ayat 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Dalam konteks pendidikan, hadits dan ayat tersebut mengandung dua isyarat.
Pertama bahwa tujuan utama pendidikan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW, adalah pendidikan budi pekerti yang mulia (karimah) dan terpuji
(mahmudah). Tentu saja sumber budi pekerti disini adalah apa yang tertulis dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, dalam proses pendidikan budi pekerti itu,
beliau tidak saja membuang tradisi yang dianggap sebagai perilaku yang baik
menurut masyarakat setempat. Karena itulah beliau menggunakan istilah
“menyempurnakan” bukan mengganti. Dapat disimpulkan bahwa ajaran budi
pekerti beliau adalah “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru
yang lebih baik.”

Salah satu tugas yang diemban oleh pendidik adalah menanamkan nilai-
nilai luhur budaya kepada anak didik, termasuk nilai-nilai keagamaan yang
bersumber dari ajaran agama Islam. Hal ini perlu dilakukan oleh pendidik dalam
upaya membentuk keperibadian manusia yang paripurna dan kaffah. Kegiatan

10
pendidikan, harus dapat membentuk manusia dewasa yang berakhlak, berilmu dan
terampil, serta bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan juga pada orang lain.
Perlu dipahami, bahwa yang dimaksud dengan manusia dewasa disini adalah
manusia yang dewasa secara jasmani dan rohani. Dalam pengertian syariat Islam,
manusia dewasa secara jasmani dan rohani, adalah manusia yang beriman dan
bertaqwa pada Allah swt., dan dapat mempertanggung jawabkan amal
perbuatannya dimata hukum manusia dan dimata hukum Allah swt.

Kegiatan pendidikan ini dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan


formal seperti di sekolah dan madrasah, juga dapat dilakukan melalui lembaga
pendidikan non formal yang ada dilingkungan masyarakat, seperti pengajian
dimesjid ataupun latihan-latihan keterampilan, atau melalui lembaga pendidikan
informal seperti pendidikan dirumah tangga dan keluarga. Melalui lembaga-
lembaga pendidikan tersebut, tentu nilai-nilai luhur budaya manusia termasuk
nilai akhlak yang berdasarkan syariat Agama Islam akan menjadi bagian dari
keperibadian manusia.

Ada dua bentuk upaya yang dilakukan oleh kegiatan pendidikan dalam
melestarikan suatu kebudayaan beserta nilai-nilai akhlak dan nilai-nilai budaya
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yaitu apa yang disebut dengan
transformasi nilai dan internalisasi nilai.

Bahwa yang dimaksud dengan upaya transpormasi nilai adalah, suatu


upaya untuk mewariskan nilai-nilai yang dimiliki oleh generasi sebelumnya untuk
menjadi milik generasi berikutnya. Sedangkan yang dimaksud dengan
internalisasi nilai adalah suatu upaya untuk menanamkan nilai-nilai yang dimiliki
oleh generasi sebelumnya sehingga tertanam kedalam jiwa generasi berikutnya.
Jadi upaya yang dilakukan oleh pendidik untuk mewariskan nilai-nilai akhlak
kepada anak didik, sehingga nilai-nilai akhlak itu menjadi milik anak didik,
disebut sebagai upaya mentransformasikan nilai, sedangkan upaya yang dilakukan
untuk menanamkan nilai-nilai akhlak kedalam jiwa anak didik sehingga menjadi
kepribadiannya disebut dengan upaya menginternalisasikan nilai. Kedua upaya ini
dalam kegiatan pendidikan harus dilakukan secara serempak lewat proses belajar

11
mengajar dilingkungan sekolah, ataupun lewat proses pergaulan dan interaksi
sosial di lingkungan rumah tangga dan masyarakat.

Tugas pendidikan pada umumnya, dan juga pendidik atau guru pada
khususnya ialah menanamkan suatu norma-norma tertentu sebagai mana telah
ditetapkan dalam dasar-dasar filsafat pada umumnya, atau dasar-dasar filsafat
pendidikan pada khususnya yang dijunjung oleh lembaga pendidikan atau
pendidik yang menyelenggarakan pendidikan tersebut.7

Untuk itu, usaha yang dilakukan untuk menanamkan dan mewariskan


nilai-nilai akhlak kepada generasi berikutnya oleh semua lembaga pendidikan,
baik yang dilakukan oleh lembaga pendidikan formal, non formal ataupun
informal, adalah merupakan patokan dasar dalam mengarahkan anak didik kepada
perilaku atau sikap yang berjiwa Islami. Hal ini sesuai dengan konsep yang
dikemukan oleh Zuhairini tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan agama.
Zuhairini mengatakan, bahwa pendidikan agama berarti usaha-usaha secara
sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup
sesuai dengan ajaran Islam.8

Demikian juga hal nya dengan pendidikan akhlak. Dia harus diberikan
kepada anak didik secara terencana dan sistematis, sesuai dengan konsep-konsep
yang telah ditetapkan dalam ajaran syariat Islam. Adapun yang berperan dalam
menanamkan dan mewariskan nilai-nilai akhlak Islam disekolah ialah guru,
sedangkan dirumah tangga ialah orang tua atau wali anak, sedangkan
dilingkungan masyarakat adalah pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat yang
memiliki pengaruh pada umatnya. Disekolah, guru dan orang tua adalah orang
yang paling bertanggung jawab terhadap terbina atau tidaknya akhlak anak,
terutama guru agama yang memberikan pelajaran agama Islam di sekolah.

M. Arifin menyebutkan dalam kapita selekta pendidikan yang disusunnya,


bahwa tugas guru tidak hanya memberikan pelajaran kepada anak saja, tapi juga

7 Ali Saipullah HA, Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan,Pendidikan Sebagai Gejala


Kebudayaan, ( Surabaya: Usaha Nasional, 1982 ) hlm.53.
8 Zuhairini dkk., Metodik khusus Pendidikan Agama, ( Surabaya : Usaha Bersama,
1983 ) hlm.27.

12
harus terus menerus belajar. Disamping itu dalam praktek mengajar harus pula
mempunyai rasa kasih sayang terhadap anak-anak dan cinta kepada yang ia
berikan. Perasaan tidak senang terhadap apa yang diberikan kepada anak, sudah
pasti akan membawa rasa tidak senang pula pada anak yang bersangkutan. Lebih-
lebih lagi guru agama yang sudah jelas bertugas menanamkan ide keagamaan
kedalam jiwa anak. Perasaan cinta agama yang ada pada guru, besar pengaruhnya
terhadap perasaan cinta anak kepada apa yang diberikan olehnya.9

Untuk melaksanakan tugas-tugas (usaha) dalam menanamkan akhlak


kepada anak didik banyak cara yang dapat dilakukan oleh setiap pendidik melalui
berbagai sikap, antara lain :

a. Pergaulan

b. Memberikan suri tauladan

c. Mengajak dan mengamalkan.

Adapun yang dimaksud dengan pergaulan disini adalah pergaulan


pendidikan. Untuk menanamkan akhlak dengan cara melalui sikap pergaulan,
harus ada hubungan timbal balik antara pendidik dan peserta didik ataupun murid.

Praktek pendidikan bertitik tolak dari pergaulan pendidikan yang bersipat


edukatif antara pendidik dan anak didik. Melalui pergaulan pendidikan itu,
pendidik dan anak didik saling berinteraksi dan saling menerima dan memberi.
Pendidik dalam pergaulan pendidikan memegang peranan penting. Dialah yang
mengkomunikasikan nilai luhur akhlak Islam kepada peserta didik, baik dengan
cara berdiskusi atau pun tanya jawab. Sebaliknya peserta didik dalam pergaulan
pendidikan itu mempunyai kesempatan yang luas untuk menyampaikan hal-hal
yang kurang jelas bagi dirinya. Dengan demikian wawasan mereka tentang ajaran
syariat agama Islam semakin luas dan dalam, sehingga nilai-nilai akhlakul
karimah atau akhlak yang terpuji akan terinternalisasi secara baik, dan
tertransformasikan secara benar. Karena pergaulan yang erat antara pendidik dan

9 M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan ( Islam Dan Umum ), ( Jakarta : Bumi Aksara,
1991 ) hlm.141.

13
peserta didik akan menjadikan keduanya tidak merasakan adanya jurang pemisah.
Bahkan seorang peserta didik akan merasa terbantu oleh pendidik atau gurunya.

Dalam hal ini Ngalim Purwanto mengatakan, bahwa pendidik atau guru
harus menyadari bahwa tindakan yang dilakukan mereka terhadap anak itu ada
mengandung maksud, ada tujuan untuk menolong anak yang perlu ditolong untuk
membentuk dirinya sendiri.10 Melalui pergaulan pendidikan anak didik sebagai
peserta didik akan leluasa mengadakan dialog dengan gurunya. Upaya ini sangat
efektif dalam menanamkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai akhlak kepada peserta
didik. Keakraban ini sangat penting dalam proses pendidikan, dan harus
diciptakan oleh pendidik dalam kegiatan belajar mengajar ataupun dalam interaksi
pendidikan dalam kegiatan pendidikan non formal dan informal.

Selanjutnya, dengan memberikan suri tauladan yang dicontohkan oleh


pendidik kepada peserta didiknya, juga akan memberikan dampak yang sangat
besar dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai Islam kepada peserta didik
tersebut. Karena, suri tauladan adalah alat pendidikan yang sangat efektif untuk
mengkomunikasikan nilai-nilai ajaran Islam. Melalui contoh yang diberikannya,
pendidik menampilkan dirinya sebagai suri tauladan bagi murid-muridnya dalam
bentuk tingkah laku, gaya berbicara, cara bergaul, tabiat yang menjadi kebiasaan,
tegur sapa, amal ibadah dan lain-lain sebagainya. Akhlak yang ditampilkan
pendidik dalam bentuk tingkah laku dan perkataan, tentu akan dapat dilihat dan
didengar langsung oleh peserta didiknya.

Zakiah Darajad mengomentari tentang sikap memberikan contoh dengan


suri tauladan ini. Dia mengatakan, bahwa latihan keagamaan, yang menyangkut
akhlak atau ibadah sosial, atau hubungan manusia dengan manusia sesuai dengan
ajaran agama, jauh lebih penting dari pada penjelasan dengan kata-kata. Latihan-
latihan ini dilakukan melalui contoh yang diberikan oleh guru atau orang tua.
Oleh karena itu guru agama hendaknya mempunyai kepribadian, yang dapat
mencerminkan ajaran agama yang diajarkannya kepada anak didiknya. Lalu

10 M.Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, ( Bandung : Rosda Karya,
1991 ) hlm.13.

14
sikapnya dalam melatih kebiasaan-kebiasaan baik yang sesuai dengan ajaran
agama itu, hendaknya menyenangkan dan tidak kaku.11

Melalui contoh-contoh keteladanan inilah akhlak akan di transpormasikan


dan di internalisasikan, sehingga sikap akhlakul karimah itu menjadi bagian dari
diri peserta didik, yang kemudian ditampilkannya pula dalam pergaulan
dilingkungan rumah tangga maupun sekolah, atau di tempat bermain bersama
dengan teman-temannya, ataupun ditempat-tempat peserta didik tersebut
berinteraksi dengan orang lain dan orang banyak.

Suri tauladan akan menjadi alat praga langsung bagi peserta didik. Bila
guru agama dan orang tua memberikan contoh tentang pengamalan akhlak, maka
peserta didik akan mempercayainya, sebagai mana yang telah dilakukan oleh
Rasulullah saw., dalam upaya mendakwahkan dan mensyiarkan ajaran agama
Islam ditengah-tengan umat manusia. Kenyataan inilah yang dijelaskan oleh Allah
swt., dalam surah Al Ahzab ayat 21.

           
     

“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa memberikan contoh melalui suri


tauladan yang baik dalam pendidikan akhlak, akan dapat memberikan pengaruh
positip secara langsung kepada peserta didik.Tapi pendidik juga harus
mempersiapkan dirinya dengan sengaja dan memberikan contoh secara langsung
dalam keseharian hidupnya.

Sehubungan dengan ini, Fuad Ihsani mengutip apa yang dikemukakan oleh
Umar bin Utbah kepada guru yang akan mengajar anaknya dengan ungkapan
sebagai berikut: “ Sebelum engkau membina dan membentuk anak-anakku,

11 Zakiah Darajad, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1993 ), hlm.63-64.

15
hendaklah engkau terlebih dahulu membentuk dan membina dirimu sendiri.
Karena anak-anakku tertuju dan tertambat kepadamu, seluruh perbuatanmu itulah
yang baik menurut pandangan mereka, sedangkan apa yang kau hentikan dan
engkau tinggalkan, itulah yang salah dan buruk menurut mereka.”

Setelah dengan cara melalui sikap memberikan suri tauladan untuk


menanamkan akhlak kepada anak didik atau peserta didik, maka cara selanjutnya
adalah dengan sikap mengajak dan mengamalkan.

Didalam Islam, akhlak yang diajarkan kepada peserta didik, bukan hanya
untuk dihapal menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif semata, tapi juga
untuk dihayati dan menjadi suatu sikap kejiwaan dalam dirinya yang bersifat
efektif, dan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat
psykomotorik. Islam adalah agama yang menuntut para pemeluknya untuk
mengamalkan apa yang diketahuinya menjadi suatu amal shaleh.

Tentang masalah pengamalan suatu ilmu, Allah swt. menegaskan dalam


Al Quran, pada surat as shaf ayat 2 dan 3 ; “Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian
disisi Allah, bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Berdasarkan firman Allah SWT. ini, Islam mengajarkan pada umatnya,


bahwa ilmu yang dipelajari dan diajarkan, (termasuk ilmu akhlak), dituntut untuk
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena Allah SWT. sangat membenci
orang yang berkata tapi tidak berbuat.

Hal ini berarti, bahwa ajaran tentang akhlak yang dipelajari dan diajarkan,
harus dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu pendidik harus
dapat memberikan motivasi agar semua ajaran akhlak dapat diamalkan dalam
kehidupan pribadi peserta didik, agar nilai-nilai luhur agama dapat terwujud
dalam setiap perilaku manusia. Peran pendidikan dalam pengembangan kualitas
sumber daya insani secara mikro, sebagai proses belajar-mengajar alih
pengetahuan (transfer of knowledge), alih metode (transfer of methodology), dan
alih nilai (transfer of value). Fungsi pendidikan sebagai sarana alih pengetahuan

16
dapat ditinjau dari "human capital"; bahwa pendidikan tidak dipandang sebagai
barang konsumsi belaka tetapi juga sebagai investasi.

Hasil investasi ini berupa tenaga kerja yang mempunyai kemampuan


untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam proses produksi dan
pembangunan pada umumnya. Dalam kaitan ini proses alih pengetahuan dalam
rangka pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk berkembangnya
manusia pembangunan. Dengan ilustrasi yang serupa proses alih pengetahuan ini
juga berperan pada proses pembudayaan dan pembinaan iman, taqwa dan akhlak
mulia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa peran pendidikan bukan hanya
membentuk kecerdasan dari peserta didik namun juga memperhatikan dalam
pembinaan budi pekerti agar nantinya dapat bermanfaat dalam kehidupan
bermasyarakat.

B. Konsep Al-Takhalluq Bi Akhlaqillah Sebagai Hasil Pendidikan Islam

Konsep Pendidikan Islam adalah pendidikan yang harus disandarkan


kepada Al-qur’an dan hadist dan menggali potensi yang ada pada manusia yang
dikaruniakan Allah SWT berupa fikiran dan akal. Alam semesta adalah wilayah
yang perlu dikaji dan menimbulkan hasrat untuk selalu mencari serta memahami.
karena manusia semakin memahami maka akan semakin ingin mencari serta
mengkaji untuk menghilangkan kebodohan sehingga dapat meningkatkan
keimanan dan lebih bersyukur dan memaknai hidup lebih berarti. Dalam suatu
pendidikan ada hal pokok yang harus dikaji manusia dalam hubungannya dalam
proses menuntut ilmu yang sering diistilahkan dengan materi pendidikan atau
materi pembelajaran.

Tujuan adanya materi ini adalah semata-mata untuk proses pendidikan


lebih terarah, sistematis, mencapai tujuan yang telah ditentukan, memperoleh ilmu
yang bermanfaat untuk kehidupan guna memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat.Allah memerintahkan mnusia untuk mempelajari ilmu-ilmu agama seperti
firman Allah QS. At-taubah ayat 122.

17
           
       
    

Yang artinya “Tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya


kemedan perang , mengapa tidak pergi dari sebagian mereka untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka dapat menjaga dirinya.”

Ilmu dapat diartikan pengetahuan yang diperoleh dalam pendidikan atau


pengajaran, yang dikenal dengan materi pendidikan. Dilihat dari kategorinya ilmu
dibagi pada dua yaitu: ilmu ma’rifat dan ilmu sains. Ilmu ma’rifat adalah yang
diberi langsung pada manusia berupa wahyu, ilham. sedangkan sains dapat
dicapai melalui penggunaan daya intelektual dan jasmaniyah.12

Berdasarkan ayat dari atas maka materi pendidikan Islam antara lain
adalah :

1. Ilmu akidah yaitu, diantaranya tauhid dan ilmu-ilmu yang lain


berkaitan dengan ilmu ketauhidan.
2. Ilmu syari’ah yaitu, ilmu yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan pada lingkungannya.
3. Ilmu akhlak yaitu, tentang kemasyarakatan, cara pergaulan hidup
manusia.

Maka seiring dengan perkembangan zaman dan tekhnologi tinggi umat


Islam harus dapat menyesuaikan perkembangan tersebut dengan kemauan umat
agar lebih ingin untuk mengembangkan kemauannya dalam meraih ilmu
pengetahuan tersebut agar tidak terjadi ketertinggalan dalam perkembangan
tersebut, dan mampu mengiringi nya dengan materi-materi yang tidak lepas dari

12 Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu. Mulia Press. Bandung. 2008.

18
tatanan agama. Larena dengan ilmu tersebut umat Islam dapat lebih tetap eksis
dalam kehidupan yang lebih mandiri

Pendidikan Islam menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah,


maka manusia adalah objek dan sekaligus subjek pendidikan yang tidak dapat
bebas, karena diikat oleh nilai-nilai yang terkandung dalam hakikat
penciptaannya. Tujuan adalah sesuatu yang dituju melalui usaha. dan berakhir bila
tujuan tersebut telah tercapai. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk
kepribadian Muslim yang sempurna, berkepribadian, pada semua aspek dijiwanya
dari ajaran Islam. Dasar pendidikan dihasilkan dari rumusan pemikiran dalam
bentuk pandangan hidup dengan pertimbangan dapat memberi manfaat dan makna
hidup bagi manusia.

Tujuan pendidikan Islam menurut Al-qur’an adalah mewujudkan fungsi


manu-sia sebagai hamba Allah yang harus tunduk dan patuh pada aturan dan
kehendak Nya ser-ta hanya mengabdi kepada Allah SWT. Firman Allah dalam
QS. Az-zariat ayat 56 :

      

“Tidak Ku ciptakan jin dan manusia kecuali mengabdi kepada Ku.”


( Depag .RI)

Thabathabai menafsirkan ayat diatas cenderung sebagai tujuan penciptaan


manusia. karena melihat muncul dari sisi Allah, bukan dari sisi
makhluk.Sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan ayat tersebut kepada substansi
ibadah sebagai tanggung jawab manusia kepada Allah. Pada tafsir Fi Zilaliil
Qur’an menjelaskan hakekat ibadah tercermin dalam masalah pokok berikut :

a. Mengokohkan konsep penghambaan kepada Allah dalam diri dengan


mengokohkan perasaan bahwa ada Rabb dan hamba, dan hamba yang
beribadah pada Rabb.

19
b. Menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh gerak hati pada
anggota badan, dan gerak kehidupan. 13

Pengabdian ini digambarkan Nabi Muhammad SAW pada tampilan


kemuliaan akhlak yang dimiliki hamba, sesuai dengan tugas utama Rasul yaitu
membentuk akhlak yang mulia.“ Serta mampu memberi manfaat bagi kehidupan
alam dan lingkungannya” “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi
manusia lainnya. ( Hadist Muutafaq ‘Alaih )” Tujuan pendidikan selanjutnya
adalah mewujudkan fungsi manusia sebagai khalifah fil ardh. yaitu, mewujudkan
kemakmuran dimuka bumi. terdapat pada QS.Hud ayat 61. “Dia telah
menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya.

Ayat ini menunjukkan bahwa tugas dan tanggung jawab khalifah adalah
memakmurkan bumi, substansinya perlu dianalisa lebih lanjut. Dari ayat diatas
diartikan tanggung jawab tersebut adalah: mendiami bumi, memelihara, menata,
mengelola, serta mengembangkan dengan bentuk serta penentuan arah dan
langkahnya. Tujuan pendidikan selanjutnya adalah mewujudkan kehidupan yang
sejahtera didunia dan bahagia diakhirat. Menurut pakar pendidikan tujuan
pendidikan adalah :

a. Untuk pembentukan akhlak yang mulia.


b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
c. Persiapan untuk mencari rezeki dan memelihara manfaat yang dikenal
dengan tujuan vokasional dan professional.
d. Menumbuhkan semangat ilmiah pelajar dan memuaskan
keingintahuannya.
e. memepersiapkan pelajar secara professional.

Adapun kriteria yang dapat diambil untuk melihat keberhasilan tujuan


pendidikan Islam berdasarkan Al-qur’an adalah : insan kamil, mutawakkal,
muttaqiin. Dan hasil akhir dari konsep pendidikan Al-Takhalluq Bi Akhlaqillah
Sebagai hasil Pendidikan Islam adalah :

13 Sayyid Qutb ,Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 9, Jakarta : Gema Insani, 2004. Hal. 49

20
a. Terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan
bagi
b. terciptanya semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga
mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna
(al -Sa’adat).
c. Terciptanya kondisi jiwa yang selalu mengajak kepada kebaikan dan
selalu menghindari keburukan.
d. Terwujudnya pemikiran peserta didik yang lebih rasional dalam
menjalani kehidupan yang lebih adil dan bijaksana dengan
mengambil jalan tengah dalam setiap menyelesaikan persoalan
e. Tertanamnya Ahlakul Karimah pada diri peserta didik.
f. Adanya hubungan yang didasarkan pada cinta kasih antara guru dan
murid.
g. Kriteria seorang pendidik dalam pendidikan ahlak meliputi bisa
dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya jelas, dan tidak tercemar
di masyarakat

21
BAB III

PENUTUP

Konsep Al-Takhalluq Bi Akhlaqillah Sebagai proses dan hasil Pendidikan


Islam adalah pendidikan yang harus disandarkan kepada Al-qur’an dan hadist dan
menggali potensi yang ada pada manusia yang dikaruniakan Allah SWT berupa
fikiran dan akal. Alam semesta adalah wilayah yang perlu dikaji dan
menimbulkan hasrat untuk selalu mencari serta memahami. karena manusia
semakin memahami maka akan semakin ingin mencari serta mengkaji untuk
menghilangkan kebodohan sehingga dapat meningkatkan keimanan dan lebih
bersyukur dan memaknai hidup lebih berarti. Dalam suatu pendidikan ada hal
pokok yang harus dikaji manusia dalam hubungannya dalam proses menuntut
ilmu yang sering diistilahkan dengan materi pendidikan atau materi pembelajaran.

Pendidikan Islam menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah,


maka manusia adalah objek dan sekaligus subjek pendidikan yang tidak dapat
bebas, karena diikat oleh nilai-nilai yang terkandung dalam hakikat
penciptaannya. Tujuan adalah sesuatu yang dituju melalui usaha. dan berakhir bila
tujuan tersebut telah tercapai. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk
kepribadian Muslim yang sempurna, berkepribadian, pada semua aspek dijiwanya
dari ajaran Islam. Dasar pendidikan dihasilkan dari rumusan pemikiran dalam
bentuk pandangan hidup dengan pertimbangan dapat memberi manfaat dan makna
hidup bagi manusia.

22
DAFTAR PUSTAKA

A. Qodri A. Azizy, Pendidikan Agama Untuk Membangun Etika Sosial


(Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003)

Abdul Muhayya, “Peranan Tasawwuf dalam Menaggulangi Krisis Spiritual”


dalam HM. Amin Syukur dan Abdul Muhayya, (Ed), Tasawwuf dan Krisis,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),

Ali Saipullah HA, Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan,Pendidikan Sebagai


Gejala Kebudayaan, ( Surabaya: Usaha Nasional, 1982 )

Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu. Mulia Press. Bandung. 2008.

Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di


Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004)

Harun Nasution, “Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran” (Bandung: Mizan,


1995), cet. III,

M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan ( Islam Dan Umum ), ( Jakarta : Bumi


Aksara, 1991 )

M.Naquib Al-Attas. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung. Mizan. 1994.

M.Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, ( Bandung : Rosda


Karya, 1991 )

Marasudin Siregar, Konsep Pendidikan Islam Menurut Ibnu Khaldun, Suatu


Analisa Fenomenologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia


Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)

Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1973), hlm. 19.

Said Agil Husain Al Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Al-Qur'an dalam Sistem


Pendidikan Islam (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005)

Sayyid Qutb ,Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 9, Jakarta : Gema Insani, 2004.

Syafiq A. Mughni, Nilai-Nilai Islam, (Yogyakarta Pustaka Pelajar, , 2001),

Zakiah Darajad, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1993 ),

Zuhairini dkk., Metodik khusus Pendidikan Agama, ( Surabaya : Usaha Bersama,


1983 )

23

Anda mungkin juga menyukai