Oleh:
ERNAWATI
321621015
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
1439 H / 2018 M
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Degradasi moral merupakan wacana yang telah lama kita dengar, namun
kenyataan sosial yang berkembang di masyarakat tentang timbulnya dan semakin
merebaknya dekadensi moral semakin menghawatirkan. Dimana menghormati,
mengasihi, tolong menolong, kejujuran, kebenaran, toleransi, semakin terkikis dan
tertutupi oleh kebohongan, menghasut, adu domba, penipuan, kekerasan dan
perbuatan perbuatan negatif lainnya.
1
diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya
berhenti pada tataran kompeten (competence), tetapi sampai memiliki kemauan
(will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
2
yang paling rasional adalah bahwa kedua ini memiliki orientasi yang sama, yaitu
bagaimana agar manusia sebagai wakil / khalifah Allah di muka bumi senantiasa
dapat menjalankan misi ilahiyah yang transendental beraksi dan menunjukan
eksistensinya di muka bumi.
3
BAB II
4
rasionalisme, empirisme, dan positivisme, ternyata membawa manusia kepada
kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas zaman dan karena itu
spiritualisme menjadi suatu tema bagi kehidupan modern. Sayyed Hossein Nasr
dalam bukunya, sebagai dikutip Syafiq A. Mughni menyayangkan lahirnya
keadaan ini sebagai The Plight Of Modern Man, nestapa orang-orang modern.2
2 Syafiq A. Mughni, Nilai-Nilai Islam, (Yogyakarta Pustaka Pelajar, , 2001), hlm. 95.
3 Abdul Muhayya, “Peranan Tasawwuf dalam Menaggulangi Krisis Spiritual” dalam
HM. Amin Syukur dan Abdul Muhayya, (Ed), Tasawwuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), hlm 21.
4 Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1973), hlm. 19.
5
dalam menyikapi gejolak nafsu manusia yang sudah sampai pada tataran yang
mengkhawatirkan.
Dewasa ini disiplin ilmu tasawuf telah makin memikat para cendekiawan.
Saat ini referensi ilmu tasawuf yang terpampang di toko-toko buku laku keras,
baik yang berorientasi falsafi, akhlaki maupun amali. Namun demikian di tengah-
tengah laku kerasnya buku-buku tasawuf, sebagian orang meneliti dan mengkaji
pemikiran tasawuf K.H.Ahmad Rifa’i. Ia merupakan tokoh lama yang sudah
barang tentu pemikiran dan gagasannya cukup efektif pada zamannya, dan
dihubungkan dengan konteks masa kini pun masih relevan dalam hubungannya
dengan pendidikan Islam.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat
kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari
tasawuf ternyata pula bahwa al-Quran dan al-Hadis mementingkan akhlak. Al-
Quran dan al-Hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan,
persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka
memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih
hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan
berpikiran lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim,
dan dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil.5
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat
menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah
seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam
rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan
ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam islam erat sekali
hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Quran dikaitkan dengan
taqwa, dan taqwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-
Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang
dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada
5 Harun Nasution, “Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran” (Bandung: Mizan, 1995),
cet. III, hal: 57
6
kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang
bertaqwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut
mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa
kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi
disebut dengan al-takhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi
pekerti Allah, atau al-ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat
yang dimiliki Allah
Menirut Fazlur Rahman sebagaimana ditulis Said Agil Husain AL
Munawar dalam buku Aktualisasi Nilai-nilai Qur'ani Dalam Sistem Pendidikan
Islam mengatakan bahwa:
7
bahwa Allah adalah pendidik yang agung bagi alam semesta (Al-Syaibani ).
Melihat penjelasan diatas maka Al-tarbiyah terdiri dari empat unsur pendekatan
yaitu,
Sedangkan kata Ta’lim mengandung arti ilmu atau orang yang memiliki
ilmu,mengisya- ratkan bahwa oarang yang memiliki ilmu agama terutama sering
disebut Ulama artinya oarang yang mengajarkan ilmu. Adapun firman Allah yang
menjelaskan tenang konsepsi Al-Qur’an dan hadits tentang pendidikan atau
tarbiyah dan ta’lim adalah (QS. : 30 : 29, QS.2 :276, 31-32,102 dan129, QS.7 :
164, dan QS. 3 : 48, 79, dan164.) Dan ada juga yang mengatakan bahwa
pendidikan berasal dari kata Ta’dib Kata ta’dib didasarkan kepada hadist Nabi
Muhammad SAW. Yang artinya“ Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan
pendidikanku. ( H.R. AL-Asykary dari Ali.R.a ) Kata “ Addaba” dalam hadist ini
dimaknai Al-Attas sebagai mendidik dan dimaknai juga dengan, Tuhan ku telah
membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara
berangsur-angsur ditanamkanNya pada diriku, serta membimbing kearah
pengenalan dan pengakuan, tempatNya dalam tatanan wujud dan kepribadian
serta- sebagai akibatnya- Ia telah membuat pendidikanku yang paling baik.6
Seorang anak manusia yang lahir dari rahim ibunya dalam keadaan lemah
tanpa daya, segala macam potensinya belum berkembang. seiring dengan
perjalanan waktu usia akan bertambah dan potensinya akan berkembang. firman
Allah dalam QS. An-Nahl ayat 78 “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” Namun melalui proses
belajar dengan mengikuti pola dan norma sosial, mengikatkan diri pada ideology
8
dan sistem nilai, serta terlibat dalam aktifitas saling menukar pengetahuan dan
pengalaman sehingga menjadi masyarakat yang beradab.
9
konsep pendidikan dari Al-Qur’an dapat disejalankan dan dituangkan dalam
sistem pendidikan nasional, dan menemukan relevansinya serta merumuskan
langkah-langkah yang dibutuhkan guna memantapkan keberhasilan.
Dalam QS. Al-Ahzab ayat 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Dalam konteks pendidikan, hadits dan ayat tersebut mengandung dua isyarat.
Pertama bahwa tujuan utama pendidikan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW, adalah pendidikan budi pekerti yang mulia (karimah) dan terpuji
(mahmudah). Tentu saja sumber budi pekerti disini adalah apa yang tertulis dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, dalam proses pendidikan budi pekerti itu,
beliau tidak saja membuang tradisi yang dianggap sebagai perilaku yang baik
menurut masyarakat setempat. Karena itulah beliau menggunakan istilah
“menyempurnakan” bukan mengganti. Dapat disimpulkan bahwa ajaran budi
pekerti beliau adalah “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru
yang lebih baik.”
Salah satu tugas yang diemban oleh pendidik adalah menanamkan nilai-
nilai luhur budaya kepada anak didik, termasuk nilai-nilai keagamaan yang
bersumber dari ajaran agama Islam. Hal ini perlu dilakukan oleh pendidik dalam
upaya membentuk keperibadian manusia yang paripurna dan kaffah. Kegiatan
10
pendidikan, harus dapat membentuk manusia dewasa yang berakhlak, berilmu dan
terampil, serta bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan juga pada orang lain.
Perlu dipahami, bahwa yang dimaksud dengan manusia dewasa disini adalah
manusia yang dewasa secara jasmani dan rohani. Dalam pengertian syariat Islam,
manusia dewasa secara jasmani dan rohani, adalah manusia yang beriman dan
bertaqwa pada Allah swt., dan dapat mempertanggung jawabkan amal
perbuatannya dimata hukum manusia dan dimata hukum Allah swt.
Ada dua bentuk upaya yang dilakukan oleh kegiatan pendidikan dalam
melestarikan suatu kebudayaan beserta nilai-nilai akhlak dan nilai-nilai budaya
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yaitu apa yang disebut dengan
transformasi nilai dan internalisasi nilai.
11
mengajar dilingkungan sekolah, ataupun lewat proses pergaulan dan interaksi
sosial di lingkungan rumah tangga dan masyarakat.
Tugas pendidikan pada umumnya, dan juga pendidik atau guru pada
khususnya ialah menanamkan suatu norma-norma tertentu sebagai mana telah
ditetapkan dalam dasar-dasar filsafat pada umumnya, atau dasar-dasar filsafat
pendidikan pada khususnya yang dijunjung oleh lembaga pendidikan atau
pendidik yang menyelenggarakan pendidikan tersebut.7
Demikian juga hal nya dengan pendidikan akhlak. Dia harus diberikan
kepada anak didik secara terencana dan sistematis, sesuai dengan konsep-konsep
yang telah ditetapkan dalam ajaran syariat Islam. Adapun yang berperan dalam
menanamkan dan mewariskan nilai-nilai akhlak Islam disekolah ialah guru,
sedangkan dirumah tangga ialah orang tua atau wali anak, sedangkan
dilingkungan masyarakat adalah pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat yang
memiliki pengaruh pada umatnya. Disekolah, guru dan orang tua adalah orang
yang paling bertanggung jawab terhadap terbina atau tidaknya akhlak anak,
terutama guru agama yang memberikan pelajaran agama Islam di sekolah.
12
harus terus menerus belajar. Disamping itu dalam praktek mengajar harus pula
mempunyai rasa kasih sayang terhadap anak-anak dan cinta kepada yang ia
berikan. Perasaan tidak senang terhadap apa yang diberikan kepada anak, sudah
pasti akan membawa rasa tidak senang pula pada anak yang bersangkutan. Lebih-
lebih lagi guru agama yang sudah jelas bertugas menanamkan ide keagamaan
kedalam jiwa anak. Perasaan cinta agama yang ada pada guru, besar pengaruhnya
terhadap perasaan cinta anak kepada apa yang diberikan olehnya.9
a. Pergaulan
9 M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan ( Islam Dan Umum ), ( Jakarta : Bumi Aksara,
1991 ) hlm.141.
13
peserta didik akan menjadikan keduanya tidak merasakan adanya jurang pemisah.
Bahkan seorang peserta didik akan merasa terbantu oleh pendidik atau gurunya.
Dalam hal ini Ngalim Purwanto mengatakan, bahwa pendidik atau guru
harus menyadari bahwa tindakan yang dilakukan mereka terhadap anak itu ada
mengandung maksud, ada tujuan untuk menolong anak yang perlu ditolong untuk
membentuk dirinya sendiri.10 Melalui pergaulan pendidikan anak didik sebagai
peserta didik akan leluasa mengadakan dialog dengan gurunya. Upaya ini sangat
efektif dalam menanamkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai akhlak kepada peserta
didik. Keakraban ini sangat penting dalam proses pendidikan, dan harus
diciptakan oleh pendidik dalam kegiatan belajar mengajar ataupun dalam interaksi
pendidikan dalam kegiatan pendidikan non formal dan informal.
10 M.Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, ( Bandung : Rosda Karya,
1991 ) hlm.13.
14
sikapnya dalam melatih kebiasaan-kebiasaan baik yang sesuai dengan ajaran
agama itu, hendaknya menyenangkan dan tidak kaku.11
Suri tauladan akan menjadi alat praga langsung bagi peserta didik. Bila
guru agama dan orang tua memberikan contoh tentang pengamalan akhlak, maka
peserta didik akan mempercayainya, sebagai mana yang telah dilakukan oleh
Rasulullah saw., dalam upaya mendakwahkan dan mensyiarkan ajaran agama
Islam ditengah-tengan umat manusia. Kenyataan inilah yang dijelaskan oleh Allah
swt., dalam surah Al Ahzab ayat 21.
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”
Sehubungan dengan ini, Fuad Ihsani mengutip apa yang dikemukakan oleh
Umar bin Utbah kepada guru yang akan mengajar anaknya dengan ungkapan
sebagai berikut: “ Sebelum engkau membina dan membentuk anak-anakku,
11 Zakiah Darajad, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1993 ), hlm.63-64.
15
hendaklah engkau terlebih dahulu membentuk dan membina dirimu sendiri.
Karena anak-anakku tertuju dan tertambat kepadamu, seluruh perbuatanmu itulah
yang baik menurut pandangan mereka, sedangkan apa yang kau hentikan dan
engkau tinggalkan, itulah yang salah dan buruk menurut mereka.”
Didalam Islam, akhlak yang diajarkan kepada peserta didik, bukan hanya
untuk dihapal menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif semata, tapi juga
untuk dihayati dan menjadi suatu sikap kejiwaan dalam dirinya yang bersifat
efektif, dan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat
psykomotorik. Islam adalah agama yang menuntut para pemeluknya untuk
mengamalkan apa yang diketahuinya menjadi suatu amal shaleh.
Hal ini berarti, bahwa ajaran tentang akhlak yang dipelajari dan diajarkan,
harus dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu pendidik harus
dapat memberikan motivasi agar semua ajaran akhlak dapat diamalkan dalam
kehidupan pribadi peserta didik, agar nilai-nilai luhur agama dapat terwujud
dalam setiap perilaku manusia. Peran pendidikan dalam pengembangan kualitas
sumber daya insani secara mikro, sebagai proses belajar-mengajar alih
pengetahuan (transfer of knowledge), alih metode (transfer of methodology), dan
alih nilai (transfer of value). Fungsi pendidikan sebagai sarana alih pengetahuan
16
dapat ditinjau dari "human capital"; bahwa pendidikan tidak dipandang sebagai
barang konsumsi belaka tetapi juga sebagai investasi.
17
Berdasarkan ayat dari atas maka materi pendidikan Islam antara lain
adalah :
18
tatanan agama. Larena dengan ilmu tersebut umat Islam dapat lebih tetap eksis
dalam kehidupan yang lebih mandiri
19
b. Menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh gerak hati pada
anggota badan, dan gerak kehidupan. 13
Ayat ini menunjukkan bahwa tugas dan tanggung jawab khalifah adalah
memakmurkan bumi, substansinya perlu dianalisa lebih lanjut. Dari ayat diatas
diartikan tanggung jawab tersebut adalah: mendiami bumi, memelihara, menata,
mengelola, serta mengembangkan dengan bentuk serta penentuan arah dan
langkahnya. Tujuan pendidikan selanjutnya adalah mewujudkan kehidupan yang
sejahtera didunia dan bahagia diakhirat. Menurut pakar pendidikan tujuan
pendidikan adalah :
13 Sayyid Qutb ,Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 9, Jakarta : Gema Insani, 2004. Hal. 49
20
a. Terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan
bagi
b. terciptanya semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga
mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna
(al -Sa’adat).
c. Terciptanya kondisi jiwa yang selalu mengajak kepada kebaikan dan
selalu menghindari keburukan.
d. Terwujudnya pemikiran peserta didik yang lebih rasional dalam
menjalani kehidupan yang lebih adil dan bijaksana dengan
mengambil jalan tengah dalam setiap menyelesaikan persoalan
e. Tertanamnya Ahlakul Karimah pada diri peserta didik.
f. Adanya hubungan yang didasarkan pada cinta kasih antara guru dan
murid.
g. Kriteria seorang pendidik dalam pendidikan ahlak meliputi bisa
dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya jelas, dan tidak tercemar
di masyarakat
21
BAB III
PENUTUP
22
DAFTAR PUSTAKA
Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1973), hlm. 19.
Sayyid Qutb ,Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 9, Jakarta : Gema Insani, 2004.
23