Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Apapun pendapat kita tentang nilai sosial kehidupan kontemplatif itu, pada
umumnya disepakati bahwa mistisisme merupakan pokok bahasan yang seharusnya
tidak diabaikan oleh para ahli psikologi agama. William James dalam kuliah – kuliah
Giffordnya di awal abad ini, merintis jalan untuk memperhatikan pokok bahasa ini.
Ciri khas mistisisme yang pertama kali menarik perhatian para ahli psikologi adalah
kenyataan bahwa pengalaman – pengalaman mistik, atau perubahan – perubahan
kesadaran yang mencapai puncaknya dalam konisi yang digambarkannya sebagai
Kemanunggalan (Wihdah, dalam istilah Tasawuf Islam). Hal ini dilukiskan oleh tokoh
sufi keagamaan sebagai pengalaman menyatu dengan Tuhan. Kondisi keadaan serupa
barangkali dialami juga oleh tokoh mistik non-teistik (misalnya kalangan penganut
para agama Buddha) yang akan melukiskannya dalam istilah – istilah yang berbeda.
Baik tokokh mistik teistik maupun non-teistik akan sependapat mengenai arti penting
pengalaman yang mereka anggap sebagai persepsi murni terhadap salah satu aspek
realita, meskipun barangkali mereka berbeda jauh dalam pernyataan verbal yang
mereka kemukakan mengenai apa yang mereka persepsi itu.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu mistisisme ?


2. Bagaimana bentuk – bentuk mistisisme dalam berbagai agama ?
3. Apa saja karakteristik mistisisme ?

1
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mistisisme

Pertama yang ingin diungakapkan dalam pembahasan ini adalah berkisar pada
arti mistik. Telah disadari bahwa dalam kata mistik terkandung sesuatu yang
misteri yang tidak dapat dicapai dengan cara biasa atau dengan usaha intelektual1.

Kata mistik berasal dari bahasa Yunani Meyein, yang artinya “menutup mata”.
Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal – hal yang berkaitan
dengan pengatahuan tentang misteri. Namun demikian, istilah tersebut diperluas,
artinya untuk mencakup manifestasi – manifestasi keagamaan yang dengan secara
kuat ditandai dengan subjektivitas individualistik dan dikuasai oleh mentalitas
yang tidak dapat melihat apa – apa yang ada di atas pandangan – pandangan
eksoterisme. Sehingga mistik biasa dipakai untuk menyebut arus besar keruhanian
yang mengalir dalam semua agama. Dalam arti yang luas, mistik dapat
didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan Tunggal, yang disebut
sebagai kearifan, cahaya, cinta atau nihil.

Rufus M. Jones dalam Dictionary of Phylosophy mengartikan mistisisme


dengan sederhana dan yang paling pokok adalah suatu tipe yang memberikan
tekanan pada kesadaran yang berlangsung berhubungan dengan Tuhan,
kesederhanaan, akan kehadiran Tuhan yang langsung dan akrab.
Ahli lain yang mencoba mendefenisikan mistisisme adalah A.C. Bouquet,
dengan cara menyimpulkan bahwa sifat monistik mistisisme itu universal, artinya
seluruh mistik mempunyai ajaran yang monistik, walaupun agama asal ia itu
belum tentu monistik.
Mistisisme dalam islam disebut dengan tasawuf, dan oleh para orientalis
Barat disebut dengan sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis khusus
dipakai dalam mistisisme Islam, dan tidak dipakai dalam agama-aama lain.
Tasawuf atau mistisisme sebagaimana dengan mistisisme diluar agama
islam, mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari
dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan.

1
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta : Grafindo Persada, 2004), hal. 125.
2
Arti penting mistisisme bagi psikologi agama adalah bahwa ia merupakan
rangsangan kreatif dalam pemikiran keagamaan2.

B. Bentuk – Bentuk Mistisisme Dalam Berbagai Agama

Tokoh-tokoh mistik mengakui bahwa pengalaman-pengalaman religius


merupakan bentuk pengetahuan langsung mengenai realitas ketuhanan yang
cenderung dijadikan sebagai inovator dalam agama3.
Kontemplasi merupakan bagian dari kehidupan para mistikus. Terdapat
dua tipe kontemplasi yaitu : 1) sebagai sistem latihan mental seperti meditasi,2)
sebagai sistem aturan perilaku yang disebut asketik.
Latihan- latihan mental para mistikus diarahkan pada pengekangan-
pengekangan perilaku. Mereka dilatih berfikir tentang keterkaitan antara makanan
dan minuman dengan akibat yang tidak menyenangkan dan tranformasinya dalam
tubuh, sehingga mereka tidak lagi memiliki keinginan untuk makan dan minum.
Pada tahap selanjutnya adalah sampai pada tingkatan bersatu
(kemanunggalan) yang biasanya terungkap lewat syair-syair atau doa mistik.
Dalam hal ini ada 3 klasifikasi kondisi mistik ; kondisi penyucian, iluminasi, dan
kondisi penyatuan.
Para tokoh mistik dalam upaya menyucikan diri membersihkan jiwa dari
keterkaitannya akan kenikmatan didunia adalah dengan mengasingkan diri (uzlah)
dan kontemplasi.
Pada masa kemudian semakin banyak muncul sufi gadungan, sehingga
sebutan sufi merupakan ejekan. Diceritakan, bahwa pada abad ke-18, Mie daud
,seorang ahli mistik dari india ngotot tidak mau disebut sufi, ia memilih disebut
sebagai muslim sejati.
Dalam perkembangan selanjutnya, orang yang menganggap dirinya
pengikut tasawuf melakukan pemujaan terhadap pimpinan ruhani mereka secara
berlebihan. Iqbal menyebut mereka dengan purisme, yaitu kekuasaan mutlak
seorang pimpinan atas pengikutnya.

2
Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Agama, ( Jakarta : Rajawali Pers, 1992 ), hal. 219.
3
Sururin, Opcit, hal. 132.
3
Pada bagian lain,terdapat 4 aspek yang dapat dikatagorikan dalam
mistisisme,yaitu : ilmu ghaib, ilmu kebatianan,magis, dan para psikologi. Aspek
yang disebut terakhir, misalnya, membahas tentang gejala-gejala jiwa yang terjadi
tanpa peran panca indra, serta perubahan yang bersifat fisik yang digerakkan oleh
jiwa tanpa menggunakan kekuatan yang terkait dengan tubuh manusia.
Gejala-gejala jiwa paranormal ini memiliki seseorang berdasarkan
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, tanpa dipelajari sehingga mempunyai
kemampuan melebihi gejala jiwa yang normal:
 Kemampuan mengetahui sesuatu peristiwa yang belum terjadi,
telepati, ramalan,dan lain-lain.
 Kemapuan melakukan perubahan tanpa menggunakan kekuatan
yang terdapat dalam fisik, pengobatan, stigmasi dan lain-lain.

Kemauan tersebut mejadi wajar bila dimiliki oleh para peralu sufi yang
telah mencapai derajat tertinggi,khususnya sampai pada tahapan ma’rifah, sebab
salah satu dari aspek ma’rifah adalah tercapainya pada hal-hal yang ghaib dari
Allah4.
Terlepas dari jalan yang dtempuhnya,pada jalan yang benar atau salah,
kemampuan demikian juga dijumpai pada aliran kebatinan atau perdukunan.
Salah satu cara yang dilakukan dalam aliran kenatian adalah dengan
melakukan meditasi yang mengarah pada kehidupan mistik. Menurut Evelyn
Underhill, biasanya stadium meditasi terbagi atas 4 :
o Purgation adalah kesedihan dan usaha kebangunan diri pribadi ke
arah tealitas ketuhanan.
o Illumination adalah kondisi fana atau ekstasi
o Purifikasi adalah tahap kesempurnaan abadi
o Persatuan dengan kehidupan absolut

Dalam istilah psikologi, gejala-gejala kejiwaan yang tampak adalah


Respon terhadap dunia semakin rempit
Timbulnya ekstaltasi dan kesediahn mendalam
Terdapat gejala-gejala disosiasi halusinasi dan waham

4
Ibid, hal. 137.
4
Terdapat kebekuan dalam berbuat.

Dari gejala-gejala tersebut menurut Evelyn Ederhill sama dengan gejala


penderita schizoprenia:
 Terjadinya kekaburan individualitas yang disebabkan oleh
disintegrasi kepribadian
 Sering menafsirkan sesuatu irasional dan melakukan tindakan yag
asosial, disebabkan oleh kekacauan psikotis.
 Timbulnya halusinasi yang disebabkan terjadinya anxieny yang
hebat sehingga menyebabkan frustrasi. Dan panik serta perbuatan
nekat.

Karena mistis merupakan tindakan jiwa dan kepercayaan sehingga agak sukar
untuk membedakan antara perbuatan penganut mistik yang mistik,mistik
kebatinan sub schizophrenia. Adanya anggapan yang menyamakan gejala-gejala
tersebut yang patut diperjelas dan ditambah,khususnya bila dilihat dari kaca mata
psikologi agama. Memang, bila diliat dari gejala-gejala umum dan dilihat dari
luarnya saja akan terlihat sama, karena aspek kalian psikologi agama hanya
terbatas pada analisis hubungan antar gejala,tidak sampai aspek-aspek kejiwaan
secara mendalam.Mistisisme bukan semata-mata gejala psikologis,akan tetapi
terdapat muatan-muatan keagamaan yang sulit dibuktikan melalui gejala empirik5.

C. Karakteristik Mistisisme
Willian James, seorang ahli jiwa dari Amerika, menjelaskan tentang kondisi
mistisisme adalah
a) Ia merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat didefinisikan atau
dijabarkan, kondisi tersebut merupakan perasaan (state of feeling) yang
sulit dilakukan pada orang lain dengan detail kata seteliti apapun.
b) Ia merupakan suatu kondisi pemahaman ( neotic ), sebab bagi para
pelakunya ia merupakan kondisi pengetahuan. Tersingkap hakikat realitas
yang baginya merupakan ilham dan bukan pengetahuan demonstratif.

5
Ibid, hal. 139.
5
c) Ia merupakan suatu kondisi yang cepat sinar (transiency). Ia tidak
langsung tinggal lama pada sang sufi,tetapi ia menimbulkan kesan-kesan
yang sangat kuat dalam ingatan.
d) Ia merupakan kondisi pasif (passivity)6.

Menurut R.M. Bucke, terdapat 7 karakteristik dalam kondisi mistisisme


adalah :
a. Pancaran diri subjektif (subjective light)
b. Peningkatan Moral (moral elevation)
c. Kecemerlangan intelektual (intelektual illumination)
d. Perasaan hidup kekal (sense of immortality)
e. Hilangnya perasaan takut mati(loss of tear death)
f. Hilangnya perasaan dosa (loss of sense sin)
g. Ketiba-tibaan (suddenness)

Sementara Bertrand Russel membatasi tasauf pada 4 karakteristik, yaitu;


a) Keyakinan atas intuisi (intuition), yaitu keyakinan pemahaman batin
(insigh) sebagai mode pengetahuan, sebagai kebalikan dari pengetahuan
rasional.
b) Keyakinan akan ketunggalan (wujud) serta pengingkaran atas kontradiksi
dan diferensiasi, bagaimanapun bentuknya.
c) Pengingkaran atas realitas zaman.
d) Keyakinan atas kejahatan sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan
ilusi saja, yang dikenakan pada kontraiksi dan diferensiasi, yang
dikendalikan rasio analitis.

Menurut Al-Taftazani, karakteristik diatas,terutama yang dikemukakan


oleh William James dan R.M. Bucke, dapat dikatakan terdapat sebagian besar
aliran tasauf atau mistisisme. Namun, karakteristik tersebut belum lengkap,
karena masih banyak ciri-ciri yang belum tercangkup didalammya.

6
Ibid, hal. 129
6
Al-Taffazani mengungkapan 5 karakteristik, di mana karaktristik tersebut
memiliki cir-ciri yang bersifat psikis,moral, dan epistemilogi.
 Peningkatan Moral. Setiap tasawuf memiliki nilai-nilai moral
tertentu yang bertujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk
merealisasikan nilai-nilai itu.
 Pemenuhan Fana (sirna) dalam realitas mutlak. Inilah ciri khas
tasawuf atau mistisisme dalam pengertiannya yang sesunguhnya.
Yang dumaksud fana yaitu, bahwa dengan latihan-latihan fisik serta
psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai
pada kondisi psikis tertentu,di mana dia tidak lagi merasakan adanya
diri atau pun keakuannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam
realitas yang tinggi.
 Pengetahuan intuitif langsung, yaitu metode pemahaman hakikat
realitas di sebalik persepsi inerawi dan penalaran intelektual, yang
disebut dengan kasfy atau intuisiatau sebutan-sebutan serupa lainnya,
maka dalam kondisi begini dia disebut sebagai sufi ataupun mistikus.
 Ketentraman atau kebahagiaan. Seorang sufi akan terbebas dari
semua rasa takut dan merasa intens dalam ketentraman jiwa, serta
kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.
 Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud
penggunaan simbol adalah bahwa ungkapan –ungkapan yang
dipergunakan sufi itu biasanya mengandung pengertian, pengertian
ditimba dari harfiah kata-kata,pengertian ditimba dari analisis serta
pendalaman7.

7
Ibid, hal. 131.
7
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Grafindo Persada, 2004.

Thouless Robert H, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta : Rajawali Pers,


1992.

Anda mungkin juga menyukai