Anda di halaman 1dari 11

EDISI REVISI

TASAWUF NADHORI FALSAFI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Mudjiono Abdillah. Ma. Ba. Diptaf

Disusun oleh :

Tiar Ramadhan Krismansyah (1705046094)

AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang


Istilah tasawuf adalah suatu makna yang mengandung arti tentang segala sesuatu untuk
berupaya membersihkan jiwa serta mendekatkan diri kepada Allah  dengan mahabbah yang
sedekat-dekatnya. Tasawuf mempunyai banyak arti dan istilah yang kesemuanya itu merupakan
ajaran tentang kesehajaan, kezuhudan, keserdehanaan, jauh dari kemegahan dan selalu
merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Intinya segala perilaku dan perbuatannya semata-mata
hanya untuk Allah SWT.

B.       Rumusan Masalah


1.         Apa pengertian Tasawuf Falsafi?
2.         Bagaimana perkembangan Tasawuf Falsafi?
3.         Apa saja ciri ciri Tasawuf Falsafi?
4.         Siapakah tokoh-tokoh dalam Tasawuf Falsafi dan bagaimana ajarannya?

C.       Tujuan Masalah


1.         Untuk mengetahui pengertian Tasawuf Falsafi
2.         Untuk mengetahui perkembangan Tasawuf Falsafi
3.         Untuk mengetahui apa saja ciri ciri Tasawuf Falsafi
4.         Untuk mengetahui siapakah tokoh-tokoh dalam tasawuf Falsafi dan bagaimana ajarannya.
BAB II
PEMBAHASAN

1.       Pengertian Tasawuf Falsafi


Tasawuf falsafi, disebut pula dengan tasawuf nazhari merupakan tasawuf yang ajarannya-
ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasnya. Berbeda denga
tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya.
Terminology falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya.

2.       Perkembangan Tasawuf Falsafi


Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam
sejak abad ke-6 H, meskipun tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf jenis
ini terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filosof, sampai
menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf
falsafi ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan
sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan
tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunyai latar
belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi
Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian
ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam.

3.       Ciri -ciri tasawuf Falsafi


Menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar
akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami
ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan
metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf
dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.
Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf Sunni. Dalam hal
ini Ibnu Kladun, sebagaimana yang dikutip oleh At-Taftazani, dalam karyanya Al-Muqaddimah,
menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, yaitu:
a.       Ciri Umum Tasawuf Falsafi antara lain:
1)        Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya.
2)        Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi,
malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib yang tampak, dan
susunan komos, terutama tentang Penciptanya dan penciptaannya.
3)        Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk
kekeramatan atau keluarbiasaan.
4)        Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar, yang dalam hal ini
telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengikarinya, menyetujuinya ataupun
menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda.

b.      Ciri-ciri khusus dari Tasawuf Falsafi antara lain :


1)      Mengkonsepsikan ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara rasional dan perasaan.
2)      Mendasarkan pada latihan-latihan ruhaniah (riyadah)
3)      Iluminasi atau bayangan  sebagai metode untuk mengatahui berbagai hakekat, yang menurut
penganutnya bisa dicapai dengan fana’
4)      Selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakekat realitas-realitas dengan berbagai
simbol atau terminologi filsafat, dan cenderung mendalam ke dalam panteisme (teori yang
berpendapat bahwa segala sesuatu merupakan perwujudan Tuhan).

4.    Tokoh dan Ajaran-Ajaran Tasawuf Falsafi


A.      Ibn Arabi (560-638 H)
Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-
Tha’I Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H.Memiliki
ajaran tasawuf seperti
a.        Wahdat Al-Wujud
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-
wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan
demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata al-wahdah digunakan oleh para ahli
filsafat sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, hakikat dan bentuk, antara yang
nampak dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan
berasal dari Tuhan. Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang digunakan para sufi,
yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.

b.        Haqiqah Muhammadiyyah


Menurut Ibn ‘Arabi, Tuhan adalah Pencipta alam semesta. Adapun proses
penciptaanya adalah sebagai berikut:
1)     Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabith.
2)      Tanazul dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas realitas rohaniah, yaitu alam
arwah yang mujarrad.
3)      Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berfikir.
4) Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
5)        Alam materi, yaitu alam indrawi.

c.         Wahdatul Adyan (kesamaan agama)


Ibn ‘Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyyah.
Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang
benar-benar arif adalah orang yang menyambah Allah dalam setiap bidang kehidupannya.
Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid
memandang semua apa saja sebagai bagian dari luang lingkup realitas dzat Tuhan yang Tunggal.

Sebagai kesimpulan, Hamka mengatakan:


“Jadi Ibn Arabi telah menegakan faham serba Esa dan menolak faham serba dua. Segala
sesuatu adalah atau hanyalah satu. Tetapi dia merupa dalam bentuk yang berbagi-bagi atau
berubah-ubah. Berhampir dengan faham Phitagoras dalam dunia Filsafat, yang mengatakan
“Jiwa segala bilangan adalah satu.”
Pandangan-pandangan Ibn Arabi di atas terutama wahdat al-wujud telah menimbulkan
kontroversi. Berbagai analisis dikemukakan oleh para ulama-ulama Islam tentang konsep wahdat
al-wujud Ibn Arabi ini. Ibn Taimiyah misalnya berpandangan bahwa wahdat al-wujud adalah
penyamaan (tasyabbuh) antara Tuhan dan alam. Sedangkan Allah seperti yang ditegaskan dalam
Al-Quran berbeda dengan segala sesuatu.
B.       Al-JILI (1365-1417 M)
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365, di
Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M.
Mengajarkan ajaran tasawuf seperti
a.        Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu Insan dan Kamil. Secara harfiah, insan berarti
manusia, dan kamil berarti sempurna. Jadi, insan kamil berarti manusia yang sempuran.
Menurut Al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadis:

‫ق هللاُ اَ َد َم َعلَى صُوْ َر ِة الرَّحْ َم ِن‬


َ َ‫خَ ل‬
Artinya: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”.

Sebagaiman diketahui, Tuhan mempunyai sifat hidup, pandai, mampu berkehendak,


mendengar dan sebagainya. Manusia Adam pun mempunyai sifat seperti itu dan dapat dipahami
bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaanya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala
kesempurnaanya. Sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiyah. Al-Jilli berpendapat
bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil
sebagai suatu kemestian inheren dengan esensinya. Sebab sifat-sifat dan nama-nama tersebut
tidak memiliki tempat berwujud, tetapi pada insan kamil.

Ketidak sempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi, termasuk bayi
yang berada dalam kandungan ibunya. Al kamal dalam konsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh
manusia secara profesional (bi al-quwwah) dan mungkin secara aktual (bi al-fi’il) seperti yang
terdapat dalam wali-wali, dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda.
Ciri-ciri Insan Kamil, yaitu:
1)        Berfungsi Akalnya Secara Optimal
2)        Berfungsi Intuisinya
3)        Menghiasi Diri dengan Sifat-Sifat Ketuhanan
4)        Berakhlak Mulia
5)        Berjiwa Seimbang
Jadi yang dimaksud dengan insan kamil oleh Al-Jilli adalah manusia dengan segala
kesempurnaannya, sebab pada dirinya       terdapat sifat-sifat dan nama-nama illahi. Hal ini sama
dengan Al-Arabi yang ajarannya lebih mengedepankan akal.

b.        Maqamat (Al-Martabah)


Al-Jilli sebagai seorang sufi dengan membawa ajaran insan kamil, maka ia juga
merumuskan maqam/tingkatan yang harus dijalani oleh serang sufi pula, diantaranya:
1)      Islam, yamg didasarkan pada lima pokok atau rukun, dalam pemahaman kaum sufi, tidak hanya
melakukan kelima pokok itu secara ritual, tetapi juga harus dipahami dan direalisasikannya.
2)      Iman, yakni membenarkan dalam hati denagan keyakinan yang sebenar-benarnya. Iman
merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam ghaib, dan alat yang membantu
seseorang untuk mencapai maqam yang lebih tinggi.
3)      ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus
kepada Allah, sehingga hal ini untuk mencapai maqam tertinggi dihadapan Allah dengan
menjalankan syari’at-syari’atnya dengan baik. 
4)      Ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat
menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan
berada dihadapan-Nya.
5)      Syahadah, yakni seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah
6)      shiddiqiyah, yakni seorang sufi dalm tingkatan derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang
ghaib sehingga dapat mengetahui hakikat dirinya.
7)      qurbah, yakni maqam ini meupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat
menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sungguh pun manusia mampu berhias dengan nama dan
sifat Tuhan, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia itu tidak bisa menyamai sifat dan
nama-nama Tuhan.

C.      IBN SAB’IN (614-669 H)


Nama lengkap Ibn Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr,
seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Yang mengajarkan tasawuf tentang
a.        Kesatuan Mutlak
Ibn Sabi’in adalah penggagas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis yang
dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu
alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya hanyalah wujud Yang Satu itu sendiri. Paham ini
lebih dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni, atau
menguasai, menurut terminologi Ibn Sabi’in, hampir tidak mugkin mendeskripsikan kesatuan itu
sendiri.
Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab 
wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa
depan. Pemikiran-pemikiran Ibn Sabi’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an  yang
diinterpretasikan secara filosofis maupun khusus. Misalnya dalam surat Al-Hadid ayat 3

“Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin..”
Dan diperkuat dengan hadist qudsi yang artinya: ”Apa yang pertama-tama diciptakan adalah
akal budi, maka firman Allah kepadanya maka Terimalah! Ia pun menerimanya...
Pendapat Ibn sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut merupakan dasar paham, khusunya
tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun pengakraban Allah SWT. Paham ini sama
dengan paham hakikat Muhammad SAW. Pencapai kesatuan mutlak menurut  Ibn Sabi’in adalah
individu yang paling sempurna, sempurna yang dimilki seoran faqih, teolog, filsuf ataupun sufi.

b.        Penolakan terhadap Logika Aristotelian


Paham kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristotelian. Terbukti dalam
karyanya Budd Al-A’rif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif sebagai
pengganti logika yang berdasaarkan pada konsepsi jamak. Ibn sabi’in menamakan logika
barunya itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa
dicapai dengan panalaran, tetapi termasuk tembusan illahi yang membuat manusia bisa melihat
yang belum pernah dilihatnya maupun yang pernah didengarnya.
Kesimpulan penting Ibn Sabi’in dengan logikanya tersebut adalah bahwa realitasa-
realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah yang memberi kesan adanya wujud jamak
sekedar ilusi belaka. Ibn Sab’in mengembankan pahamnyan tentang kesatuan mutlak, ke
berbagai bidang bahasan filosofis. Misalnya, menurutnya jiwa dan akal-budi tidak mempunyai
wujudnya sendiri, tetapi wujud keduanya berasal dari yang satu , dan yang satu tersebut tidak
terbilang.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari materi-materi yang dijelaskan di atas mengenai pembahasan tasawuf falsafi, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1.        Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan
(ma’rifat) dengan pendekatan rasional (filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi,
bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu
yaitu wahdat al- wujud (kesatuan wujud).
2.        Tokoh-tokoh tasawuf falsafi serta ajaran-ajarannya antara lain yaitu:
a.         Ibn Arabi
Ajaran tasawufnya yaitu yang paling sentral adalah wahdat al-wujud (kesatuan wujud).
b.         Al-Jilli
Ajaran tasawufnya yaitu tentang insan kamil (manusia sempurna).
c.         Ibn Sabi’in
Ajaran tasawufnya yaitu tentang kesatuan mutlak dan ia menolak terhadap logika Aristotelian.
Jadi yang menjadi karakteristik dari tasawuf falsafi adalah ajarannya lebih mengarah
pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam, mengedepankan
akal, ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional.

      DAFTAR PUSTAKA

Rosihon Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.


Moh. Toriquddin. 2008. Sekularitas Tasawuf. Malang: UIN Malang Press.
M. Afif Anshor. 2004. Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri. Yogyakarta: Gelombang
Pasang.
M. Solihin dan Rosihan Anwar. 2002. Kamus Tasawuf Bandung: Remaja Rosdakarya
Jamil. 2013. Akhlak Tasawuf.

Anda mungkin juga menyukai