Anda di halaman 1dari 7

RESUME

ILMU TASAWUF

TASAWUF FALSAFI

Oleh :
Syabil Gema Syuhada
11190331000011

A. Definisi

Tasawuf Falsafi merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara


mistikisme dan rasionalitas. Tasawuf jenis ini telah bercampur dengan sejumlah ajaran
filsafat di luar Islam. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang.
Sebab, meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda
dan beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para
tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila
dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam.

B. Objek Kajian Tasawuf

Sebagaimana yang dikutip oleh At-Taftazani, dalam karanya Al-Muqaddimah, bahwa


ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain sebagai berikut :

1. Latihan Rohaniah
2. Iluminasi
3. Peristiwa alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan
4. Penciptaan ungkapan-ungkapan syathahiyyat

C. Karakteristik Tasawuf Falsafi

1. Konsepsi ajarannya merupakan penggabungan antara pemikiran rasional-filosofis


2. Didasarkan pada latihan-latihan rohaniyah
3. Memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat realitas
4. Penganut tasawuf ini selalu menyamarkan ungkapan tentang hakikat realitas
D. Tokoh-Tokoh dan Ajarannya

1. Ibn ‘Arabi (560-638 H)

Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-
Tha’I Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari
keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan.

Ajaran-Ajaran Tasawuf

a. Wahdat Al Wujud

Ajaran ini berisi tentang pandangan bahwa Tuhan dan Alam merupakan
satu kesamaan. Menurut penjelasan Ibn Taimiyah, Wujud itu sesungguhnya hanya
satu dan wajib Al-Wujud yang dimiliki oleh khaliq juga mukmin Al-Wujud yang
dimiliki olehh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham ini
mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak ada perbedaan.
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud
makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khaliq pula. Secara hakikat, keduanya
sama, cuman dalam hal ini sudut pandang pancaindra lahir dan akal memiliki
keterbatasan dalam menangkap hakikat apa yang ada padad Dzat-Nya dari
kesatuan Dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Ibn ‘Arabi juga
menambahkan bahwa antara yang menyembah dan disembah adalah satu.

b. Haqiqah Muhammadiyyah

Ajaran ini berisi pandangan Ibn ‘Arabi mengenai proses Tuhan menciptakan alam
semesta. Menurutnya, ada 5 fase penciptaan, yaitu :

1. Tajalli dzat uhan dalam bentuk a’yan tsabitah


2. Tanazul dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam ( ta ‘ayyunat ) realitas-realitas
rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad
3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir
4. Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsak
(ide) aatau khayal
5. Alam materi, yaitu alam indrawi

Selain itu, Ibn ‘Arabi menjelaskan mengenai peranan Haqiqah


Muhammadiyah atau Nur Muhammad dalam proses terjadinya alam semesta.
Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam semesta dan
hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat mandiri dan tidak berhajat
kepada suatu apa pun.
2. Wujud haqiah Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari
wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud.
Selanjutnya, ia juga mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan
merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan
amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjam Adam sampai
Muhammad dan kalangan para wali dan Insan Kamil ( Manusia Sempurna )

c. Wahdatul Adyan

Ajaran ini berisi pandangan mengenai kesamaan agama. Ibn ‘Arabi


memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah.
Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah

2. Al-Jili (1365-1417 M)

Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada
tahun 1365 M, di Gilan, sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada
tahun 1417 M.

Ajaran-Ajaran Tasawuf

a. Insan Kamil

Ajaran ini berisi pandangan mengenai hakikat manusia sebagai wujud


kesempurnaan, Menurut Al-Jili, Insan Kamil merupakan copy-an Tuhan.
Sebagaimana yang diketahui, Tuhan juga memiliki sifat-sifat seperti hidup,
pandai, berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Adam pun memiliki sifat-sifat
tersebut meskipun tetap ada perbedaan antara sifat Tuhan dan Makhluk.
Dalam prosesnya, setelah Tuhan menciptakan substansi, Huwiyah Tuhan
dihadapkan dengan Huwiyah Adam, Aniyah-Nya disandingkan dengan Aniyah
Adam, dan Dzatnya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan
dengan Tuhan dalam segala hakikatnya. Sehingga jika kita melihat dalam konsep
ini, dapat dikatakan bahwa Adam merupakan salah seorang Insan Kamil, sebab
pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiah.
b. Maqamat ( a-Martabah )

Ajaran ini berisi tentang pengklasifikasian jenjang-jenjang (maqam) yang


harus dilalui seorang sufi. Adapun jenjang-jenjang tersebut ialah :

1. Islam

Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam


pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi
harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
2. Iman

Iman merupakan keyakinan dengan sepenuh hati akan rukun iman,


dan melaksanakan dasar-dasar Islam.

3. Shalah

Shalah yakni tingkatan dimana seorang sufi mencapai tingkat


ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf
dan raja’.
4. Ihsan

Ihsan yakni tingkatan dimana seorang sufi mampu merasakan


kehadian Tuhan dalam ibadahnya.

5. Syahadah

Syahadah yakni tingkatan dimana seorang sufi mencapai


tingkat kecintaan (mahabbah) tertinggi kepada Tuhan.

6. Shiddiqiyah

Shiddiqiyah merupakan istilah yang menggambarkan tingkat


pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap dari
“ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, sampai haqq-al’yaqin. Seorang sufi yang
telah mencapai tingkatan ini dinilai mampu merasakan hal gaib,
melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga ia mampu mengetahui hakikat
pada diri-Nya.
7. Qurbah

Qurbah merupakan tingkatan yang memungkinkan seorang sufi


dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat
dan nama Tuhan.

3. Ibn Sab’In (614-669 H)

Nama lengkap Ibn Sab’in adalah ‘Adbul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn
Nashr, seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Dia terkenal terkenal di Eropa
karena jawaban-jawabannya atas pertanyaan Frederik II, penguasa Siciilia.

Ajaran-Ajaran Tasawuf

a. Kesatuan Mutlak

Ajaran ini berisi gagasan kalangan tasawuf filosofis yang menyebut bahwa
wujud adalah satu yaitu wujud Allah semata. Wujud-wujud lainnnya hanyalah
wujud yang satu itu sendiri. Dalam paham ini, Ibn Sab’in menempatkan
ketuhanan pada tempat pertama. Sebab, menurutnya wujud Allah adalah asas
segala yang ada pada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Sementara wujud
materi yang tampak justru dia rujukkan pada wujud mutlak yang rohaniah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa paham ini bercorak spiritual dalam
menafsirkan wujud.
Pemikiran-pemikiran Ibn Sab’in banyak merujuk kepada dalil-dalil Al-
Qur’an, yang diinterpretasikannya secara filosofis ataupun khusus. Pendapat Ibn
Sab’in tentang kesatuan mutlak sebagai hasil intrepretasi terhadap dalil-dalil Al-
Qur’an merupakan dasar dari paham mengenai hubungan akrab antara hamba
dengan Tuhan.

b. Penolakan terhadap Logika Aristotelian

Paham Ibn Sab’in tentang kesatuan mutlak telah membuatnya menolak


logika Aristotelian. Oleh karena itu, dalam karyanya, Budd Al-‘Arif, ia berusaha
menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif, sebagai pengganti logika
yang berdasarkan pada konsepsi jamak. Logika barunya tersebut bukan
merupakan logika yang bisa dicapai dengan penalaran, tetap termasuk embusan
ilahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun
mendengar yang belum pernah didengarnya.
Ibn Sab’in menyimpulkan bahwa realitas-realitas dalam logika dan jiwa
manusia bersifat alamiah. Ia menilai adanya wujud jamak dalam enam kata logika
hanya sekedar ilusi belaka.
Ibn Sab’in juga mengembangkan pahamnya tentang kesatun mutlak, ke
berbagai bidang bahasan filosofis. Misalnya menurutnya jiwa dan akal-budi tidak
mempunyai wujudnya sendiri, tetapi wujud keduanya berasal dari yang satu, dan
yang satu tersebut justru tidak terbilang.

Pertanyaan :
Dari : Dhiya As-Syamsi Jamharira
No Urut : 03
1. Dalam Tasawuf, kita mempelajari hal-hal yang berbau metafisika, dan pada pembahasan
ini, kita mempelajari tasawuf filsafat, terus bagaimana cara memfilsafakan tasawuf yang
berbau metafisika tersebut untuk bisa dirasionalkan, sedangkan tasawuf itu berbicara
mengenai rasa, dan di filsafat rasa tidak di bicarakan.

Jawaban :

Memang benar bahwa filsafat menuntut rasionalitas. Akan tetapi, yang perlu diingat
bahwa disini kita membahas Tasawuf Falsafi yang secara definisi memang menggunakan
pendekatan filosofis. Maksud dari pendekatan filosofis itu sendiri ialah dengan mencoba
untuk berpikir secara radikal dan substansial dalam menginterpretasikan dalil-dail Al-
Qur’an yang dalam hal ini juga menjadi dasar dalam tasawuf Falsafi. Meskipun begitu,
tasawuf falsafi tetap tidak kehilangan unsur mistikisme yang padanya eksistensi rasa akan
sangat membantu untuk mencapai tujuan tasawuf. Justru dengan adanya pendekatan
filosofis dapat membantu mengonfirmasi subjektifitas rasa dan menjadi perangkat untuk
mendalami luasnya samudera jiwa dan kebijaksanaan manusia melalui sudut pandang
yang lebih terbuka, meluas, dan mendalam.

2. Bagaimana cara kerja seseorang untuk menetralkan tasawuf dengan filsafat, karena
tasawuf itu sendiri tidak dominan kepada akal/tidak masuk kepada akal, sedangkan
filsafat itu harus masuk akal ?

Jawaban :

Agaknya pemakaian kata “menetralkan” terkesan kurang tepat. Sebab pada dasarnya
disini memang ada unsur perpaduan antara tasawuf dan filsafat. Mungkin lebih tepatnya
bagaimana cara untuk mengimbangi tasawuf dan filsafat. Oleh karena itu, cara terbaik
untuk mengimbanginya yaitu dengan mempertajam feeling dan keyakinan kita akan hal-
hal yang agaknya gaib. Namun, yang jelas, kita perlu kembali mengingat bahwa tasawuf
falsafi memang menggunakan pendekatan filosofis. Dalam hal ini, kita tidak membahas
lagi mengenai masuk atau tidak masuk akalnya suatu hal. Tetapi bagaimana
menggunakan pendekatan filosofis untuk menunjang dominansi rasa.

DAFTAR PUSTAKA

Solihin, M, Ilmu Tasawuf, Bandung : CV Pustaka Setika, 2008

Anda mungkin juga menyukai