Anda di halaman 1dari 3

PEMIKIRAN PARMENIDES DAN HERAKLITUS BESERTA SOLUSI

PERMASALAHAN KEDUANYA

Oleh :

Syabil Gema Syuhada

Setelah ketiga filosof Miletus ( Thales, Anaximander, Anaximenes ) mengemukakan


kepercayaannya pada keberadaan satu zat dasar sebagai sumber dari segala hal, muncul sebuah
pertanyaan baru yaitu bagaimana mungkin suatu zat dapat dengan tiba-tiba berubah menjadi
sesuatu yang lain ? Saya menyebut ini masalah perubahan.

Tokoh yang berperan penting mengenai masalah perubahan ini adalah Parmenides ( 540-
480 SM ). Parmenides beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada pasti telah selalu ada.
Gagasan ini membuat orang Yunani menganggap sudah seharusnya bahwa segala sesuatu yang
ada di alam semesta ini abadi. Tidak ada sesuatu pun yang dapat muncul dari ketiadaan, pikir
Parmenides. Kemudiaan lebih jauh lagi, Permanides beranggapan bahwa tidak ada yang disebut
dengan perubahan aktual. Tidak ada yang dapat menjadi sesuatu yang bebeda dari yang
sebelumnya.

Parmenides juga yakin bahwa indra-indra manusia memberikan proyeksi yang tidak tepat
tentang dunia, suatu gambaran yang tidak sesuai dengan akal manusia. Oleh karena itu, ia
menutup gagasannya dengan ungkapan bahwa tugas seorang filosof hanyalah mengungkaplan
segala bentuk ilusi perseptual. Maka lahirlah istilah rasionalisme sebagai suatu keyakinan yang
tak tergoyahkan pada akal manusia.

Melanjutkan gagasan Parmenides, rekan sezamannya yaitu Heraklitus beranggapan


bahwa perubahan terus-menerus sesungguhnya telah menjadi ciri alam yang fundamental. Disini
dapat dikatakan bahwa Heraklitus mempunyai keyakinan yang lebih kuat pada apa yang dapat
dirasakannya daripada Parmenides.
Heraklitus mengemukakan bahwa dalam dunia ini ada yang disebut kebalikan. Seperti
halnya jika tidak ada siang, kita tidak akan pernah melihat malam. Begitu juga dengan Arti
kebahagiaan yang dapat kita rasakan jika kita telah mengalami kesedihan. Setiap yang baik
maupun buruk mempunyai posisinya masing-masing dalam tatanan dari segala sesuatu, demikian
keyakinan Heraklitus.

Heraklitus juga menyinggung mengenai istilah Tuhan. Menurutnya, sesungguhnya Tuhan


dapat dilihat paling jelas dalam perubahan dan pertentangan alam yang terjadi terus menerus.
Sebagai ganti dari istilah “Tuhan”, Ia lebih sering menggunakan kata logos ( akal ). Meskipun
pada dasarnya manusia diberi akal, akan tetapi setiap dari kita tidak selalu berpikir sama atau
memiliki daya akal yang sama. Dalam hal ini, Heraclitus meyakini bahwa ada semacam “akal
universal” yang menuntun dan mengendalikan segala sesuatu yang terjadi di alam semesta.

“Akal universal” atau “hukum universal” inilah yang menjadi sesuatu dalam diri kita
semua, dan menjadi penuntun setiap orang. Segala tindakan kita tidak terlepas dari eksistensi
akal universal yang terkadang membuat kita dapat merespon sesuatu secara spontan. Ia berupa
dorongan naluriah yang memberi getaran pada tingkatan-tingakatan di atas jiwa. Ia ibarat nafas
semesta yang memberi keteraturan dalam kehidupan manusia.

Heraklitus dalam akhir gagasannya mengenai segala sesuatu mengalir melihat adanya
satu Entitas atau kesatuan. “Sesuatu” ini, yang merupakan sumber dari segala sesuatu,
dinamakannya Tuhan atau logos.

Menyikapi pemikiran Parmenides dan Heraklitus, dapat kita temukan adanya


pertentangan. Akal Permanides menegaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat berubah
sementara persepsi indra Heraclitus menegaskan bahwa alam selalu berubah.

Akhirnya, Empedokles ( 490-430) hadir menuntun mereka keluar dari kekacauan yang
telah mereka masuki. Dia berpendapat bahwa keduanya benar dalam satu penegasan mereka,
namun salah dalam penegasan lain.

Empedokles mendapati bahwa penyebab pertentangan mereka adalah bahwa keduanya


sama-sama hanya mengemukakan adanya satu unsur saja. Jika ini benar, kesenjangan antara apa
yang dikemukakan akal dan apa “yang dapat kita lihat dengan mata kita sendiri” tidak akan dapat
ditemukan.
Oleh sebab itu, Emepedokles menyimpulkan bahwa gagasan mengenai satu zat dasar itu
harus ditolak. Sebab, baik unsur air maupun udara semata-mata tidak dapat berubah menjadi
rumpun bunga atau hewan. Alam tidak mungkin hanya terbentuk dari “satu” unsur saja. Setelah
mempertimbangkan hal tersebut, Empedokles akhirnya meyakini bahwa alam terdiri dari empat
unsur yaitu tanah, api, udara, dan air.

Semua proses alam tidak terlepas dari proses menyatu atau terpisahnya keempat unsur
ini. Sebab, semua benda pasti tersusun atas campuran tanah, api, udara, dan air, namun dengan
proporsi yang beragam sesuai dengan takarannya masing-masing.

Menutup dari solusi yang ditawarkan oleh Empedokles, saya menyimpulkan bahwa di
alam semesta memang sudah tersedia zat-zat dasar yang menjadi bahan primer dari terbentuknya
benda-benda yang tersebar di tiap tingkatan struktur kehidupan. Mulai dari tingkatan sederhana
yaitu dunia atom hingga yang paling kompleks yaitu biosfer. Sekumpulan atom air akan
membentuk senyawa air. Lalu senyawa air yang tersebut akan mengisi sel-sel dalam tubuh
makhluk hidup, lalu dalam bentuk yang lebih luasnya air akan membentuk lingkungan perairan (
danau, sungai, laut, dan samudera) di alam semesta ini. Sama halnya dengan sekumpulan atom
tanah akan membentuk daratan-daratan luas di muka bumi, dan begitu seterusnya hingga bumi
ini dapat ditinggali oleh manusia untuk hidup dan melanjutkan kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai