Anda di halaman 1dari 8

Reyhan Respati

111511133107

A-1

Words count: 1897

Dualisme Jiwa dan Badan

Konsep antara jiwa dan badan masih menjadi topik yang menarik dan masih
layak untuk diperbincangkan oleh para filsuf hingga saat ini. Menjadi sebuah
pertanyaan di kalangan para filsuf, apakah jiwa dan badan adalah 2 hal yang berbeda
sama sekali, atau jiwa dan badan mempunyai tugasnya masing-masing, manakah yang
lebih dominan antara jiwa dan badan, ataukah keduanya saling mempengaruhi satu
sama lain. Apakah entitas tersebut dapat mencapai titik temu, dan bagaimana cara
kedua entitas tersebut saling berinteraksi?

Descartes, seorang filsuf yang dikenal juga sebagai Bapak Filsafat Modern
yang hidup pada 1596 – 1650 Masehi mencoba menjawab pertanyaan itu. Perlu
diketahui bahwa pada masa hidup Descartes, ada dominasi yang sangat kuat dari ilmu
Aristoteles dalam tradisi keilmuan pada masa itu yang lebih banyak memuat konsep
tentang jiwa.

Kemudian satu lagi anteseden dari kemunculan pemikiran Descartes tersebut


adalah adanya semangat zaman pada masa itu yang berbasis mekanika. Segala
fenomena alam dicoba dijelaskan melalui prinsip mekanika. Mesin juga pada dasarnya
bisa dibongkar dan masing-masing bagiannya memiliki fungsi tersendiri.

Descartes juga diilhami dari pengalamannya ketika berkunjung di St.Germain,


disana dia melihat sebuah patung-patung mekanis yang bisa bergerak apabila
pengunjung menginjak sebuah tuas dilantai. Nantinya air akan mengalir menuju patung
tersebut dan membuat patung tersebut seolah-olah bergerak. Hal ini menjadi teramat
penting bagi Descartes untuk teori-teorinya tentang badan-badan yang hidup yang
menurut anggapannya digerakkan oleh kekuatan mekanis.

Descartes berasumsi bahwa segala-galanya bisa diragukan, termasuk kesan-


kesan indrawi yang sangat jelas (Abidin, 2000). Dari keraguan-keraguan ini, Descartes
sampai pada titik dimana dia menyadari “Saya berpikir, maka saya ada” atau “cogito
ergo sum”. Maksudnya adalah, ketika dia meragukan semua hal yang kesan-kesan
indrawinya alami, maka dia mulai berpikir yang benar itu yang mana. Ketika dia
berpikir inilah dia menyadari bahwa proses berpikirnya tentang keraguannya inilah
yang nyata. Dia benar-benar menyadari bahwa pada saat itu dia sedang berpikir karena
ragu. Atau dengan kata lain, dia tidak meragukan lagi kalau dirinya sedang ragu-ragu.
Maka pengalaman meragukan inilah yang menunjukkan eksistensi dirinya.

Konsekuensi yang bisa diambil dari hal tersebut bahwa pastilah jiwa
merupakan sesuatu yang berbeda dari tubuh (Abidin, 2000). Jiwa terdiri dari kesadaran
dan rasional yang tidak dapat diragukan lagi. Keberadaan jiwa tidak bergantung kepada
ruang dan waktu karena jiwa bukanlah sesuatu yang bersifat material melainkan
immaterial. Sementara badan sama dengan benda fisik lain.

Titik temu jiwa dan badan terletak pada ketidakmampuan jiwa dan badan untuk
menjelaskan hal-hal yang tidak sanggup ditangkap oleh indra dan dipahami oleh akal.
Seperti misalnya mengapa kita bisa lahir di tahun ini, tahun 2000 contohnya. Mengapa
kita bisa lahir di tahun 2000, mengapa kita tidak lahir di tahun 2010 atau 1500 Masehi,
mengapa jiwa kita bisa masuk ke badan kita saat ini pada tahun 2000. Mengapa jiwa
kita tidak memilih badan lain.

Mengapa saat ini, di lingkungan kita, kenapa kita bisa bertemu dengan orang
yang jadi jodoh kita, kenapa kita tidak bertemu dengan orang lain, kenapa harus dengan
orang ini dan di waktu ini. Mengapa ada matahari di siang hari, dan mengapa bumi
punya bulan untuk menerangi di malam hari. Semua yang terjadi dan kita rasakan ini
pastilah bukan suatu kebetulan belaka. Ini semua terlalu kompleks untuk dijadikan
suatu kebetulan. Pastilah ada suatu skenario besar dibalik semua ini. Pastilah ada
kebenaran absolut yang mengatur semua ini.

Ketika jiwa dan badan sama-sama tak sanggup untuk memahaminya, ada satu
cara yang disediakan kebenaran absolut bagi jiwa dan badan untuk mendekatinya, yaitu
melalui doa dan usaha. Pernahkah kita berada pada suatu titik dimana sesuatu yang
kelihatannya sudah tidak mempunyai harapan sama sekali, namun ketika kita berdoa
dan berusaha mendadak seolah semua jalan terbuka lebar buat kita. Ketika semua
pikiran telah habis terkuras, ketika semua upaya telah dikerahkan oleh badan jasmani
kita, namun tak ada hasil, maka jiwa dan badan mencapai titk temu melalui doa dan
usaha tadi. Jiwa berkeyakinan bahwa badan mampu melakukannya dan badan
menjawab keyakinan jiwa tadi dengan usaha.

Sebelumnya Descartes mengatakan, saya berpikir maka saya ada. Dengan


berpikir tentang keraguan-keraguan itu Descartes yakin akan eksistensi dirinya. Dia
juga berpendapat bahwa mengetahui bahwa dia ragu merupakan kesempurnaan yang
lebih besar dari keraguan Namun kemudian dia juga bertanya, jikalau dirinya tidak
sempurna, darimana dia mempunyai kemampuan untuk bisa memikirkan sesuatu yang
sempurna? Pastilah ada ide-ide bawaan yang telah menjadi kodrat bagi manusia. Ide-
ide bawaan ini pastilah asalnya dari sesuatu yang sempurna, yaitu Tuhan. Akhirnya
Descartes mencapai titik temu antara jiwa dan badan bahwa pengetahuan yang berasal
dari indra-indra dapat dijamin dan dipercaya, bukan karena indra-indra itu dengan
sendirinya sudah pasti, tetapi karena integritas jiwa yang mempersepsinya dan
kesempurnaan Tuhan yang menciptakan materi maupun jiwa adalah pasti (Abidin,
2000).

Filsuf setelah Descartes yang juga membahas hal ini adalah Nicholas
Malebranche yang berpendapat bahwa Tuhan bertindak melalui aturan-aturan umum
untuk kebaikan seluruh umat manusia (Bakker, 1992). Pengetahuan baik internal
maupun eksternal disebabkan oleh adanya interaksi dengan Tuhan. Tidak ada satu
objekpun yang berpindah posisi melainkan ada campur tangan Tuhan.

Sementara filsuf lainnya, Spinoza, menganggap hanya ada satu substansi saja
yang merangkum seluruh realitas (Bakker, 1992). Jika Descartes mengakui bahwa ada
3 substansi yang merupakan zat individual yaitu Tuhan, jiwa dan materi, maka Spinoza
hanya mengakui yang pertama sedangkan yang lainnya hanya merupakan atribut dari
Tuhan. Lebih jauh Spinoza menolak adanya kebebasan karena yang sesungguhnya
hanyalah manifestasi dari sifat Tuhan. Tidak ada positif dan negatif, karena itu
tergantung dari sudut pandang makhluk. Contohnya ketika lapar, maka itu tidaklah
selalu negatif, dengan meraskan lapar kita dapat merasakan nikmatnya makanan yang
merupakan hal positif.

Dari pernyataannya ini dapat kita ulas bahwa Tuhan merupakan substansi yang
menciptakan segala hal dan menjadi bagian dari ciptaannya itu sendiri. Contoh
mudahnya adalah hubungan ayah dan anak. Ayah merupakan penyebab sekaligus
bagian dari anak itu karena darahnya mengalir di darah si anak, sementara anak adalah
hasil atas adanya anak.

Sedangkan menurut Leibniz, alam semesta ini tersusun dari pusat kesadaran
yang tak terhingga jumlahnya yang menjadi pusat daya spiritual atau energi yang
kemudian disebut monad (Bakker, 1992). Monad berjumlah tak terbatas, karena
masing-masing berbeda dan mencerminkan alam semesta dari sudut pandangnya
masing-masing. Monad bersifat unik, tidak dapat dihancurkan dan menyerupai jiwa.
Monad tidak mempunyai hubungan sebab akibat melainkan semuanya diselaraskan
oleh Tuhan.

Sekarang mengenai interaksi jiwa dan badan. Seringkali kita mendengar


ungkapan, “dalam tubuh jiwa yang sehat terdapat jiwa yang sehat”. Atau “penyakit
psikosomatik”. Apakah ini menjadi bukti bahwa terdapat interaksi antara jiwa dan
badan. Interaksi jiwa dan badan merupakan hal yang bisa saja terjadi, ketika kita
merasa grogi atau gugup tiba-tiba saja maag kambuh, atau merasakan sakit kepala dan
bahkan sampai mual-mual. Padahal yang gugup hanyalah psikis kita, tapi kenapa badan
juga ikut merespon atas psikis. Atau bahkan ketika melihat hal yang membahagiakan,
kenapa jiwa kita juga turut merasakan kebahagiaan itu. Ketika jiwa sedih, maka badan
meresponnya dengan menangis. Demikianlah sekelumit bukti bahwa ada interaksi
antara jiwa dan badan.

Ide tentang interaksi jiwa dan badan sendiri bukan hal baru di ranah filsafat. Ide
tentang interaksi jiwa dan badan telah ada jauh sejak zaman yunani kuno. Adalah Plato,
yang hidup pada masa 427 – 347 SM. Teori Ide Plato berkesimpulan bahwa ada realitas
dibalik dunia materi. Ia percaya bahwa realitas itu terbagi 2 wilayah, yaitu dunia indra
dan dunia ide (Gaarder, 1996).

Pada dunia indra kita hanya dapat menangkap pengetahuan yang tidak pasti,
sejauh kelima indra kita bisa mencapainya. karena di dunia indra segala sesuatunya
mempunyai kemungkinan untuk berubah, tidak ada yang kekal. Bunga yang mekar
pada akhirnya akan layu, kopi yang panas lama kelamaan akan menjadi dingin, hujan
akan berganti panas, muda menjadi tua dan hidup pada akhirnya akan mati. Begitulah
dunia indra yang tidak kekal seperti halnya badan kita.

Sementara di dunia ide kita bisa memperoleh pengetahuan sejati dengan


menggunakan akal kita. Dunia ide itu tidak dapat dicapai melalui panca indra kita,
tetapi ide yang didapat melalui akal itu kekal dan abadi. Dalam dunia ide, perubahan
tidak terjadi. Ide itu bersifat objektif dan berdiri sendiri serta terlepas dari objek yang
berfikir (Gaarder, 1996).

Plato juga percaya bahwa realitas yang ditangkap dunia indra hanyalah bayang-
bayang dari dunia ide yang kekal (Gaarder, 1996). Jadi menurut Plato, jiwa dan badan
adalah 2 hal yang berbeda. Jiwa adalah sesuatu yang kekal dan bahkan sudah ada
sebelum manusia lahir. Pada awalnya jiwa manusia hidup di dalam dunia ide-ide. Atau
bisa juga diartikan, sebelum tubuh ada, jiwa telah ada dan memiliki pengetahuan
tentang ide-ide. Tetapi ketika jiwa itu masuk ke dalam tubuh, pengetahuan tadi
memudar dan nyaris hilang. Hanya saja pengetahuan atau ide-ide di dunia absolut tadi
tetap ada di dalam jiwa dan dapat diingat kembali melalui proses berpikir. Makanya
Plato menyebut tubuh/badan adalah penjara bagi jiwa. Eksistensi jiwalah yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

Berbeda dengan Plato, Aristoteles yang hidup pada 384 – 322 SM dan sekaligus
merupakan murid Plato mempunyai pandangan lain tentang entitas jiwa dan badan.
Menurut Aristoteles tingkat realitas tertinggi adalah sesuatu yang kita lihat dengan
indra kita (Gaarder, 1996) Aristoteles berpendapat bahwa benda-benda yang ada di
dalam jiwa manusia itu merupakan cerminan dari objek-objek alam. Maka kenyataan
yang sebenarnya adalah apa yang didapat dari dunia nyata.

Aristoteles berpendapat bahwa seluruh pemikiran dan gagasan kita masuk ke


kesadaran melaui apa yang pernah kita lihat dan rasakan melalui panca indra.
Contohnya ketika kita memikirkan sebuah mobil, pastilah sebelumnya kita pernah
melihat sebuah mobil hingga kita bisa mempunyai konsep di dalam pikiran kita bahwa
mobil itu rodanya empat, mempunyai setir, kursi dan berjalan di darat. Aristoteles tidak
mengecilkan peran jiwa, namun dia mencoba menjelaskan bahwa dunia indra juga
berpengaruh kepada dunia ide.

Dalam hal ini, Descartes berpendapat bahwa gejala bukan hanya semata-mata
dialami badan atau jiwa saja, melainkan ada interaksi diantara keduanya yang disebut
dualism interaktif (Abidin, 2000). Tubuh/badan tanpa jiwa hanya akan menjadi mesin
belaka tanpa kesadaran. Sedangkan jiwa tanpa badan tidak akan pernah merasakan
pengalaman indrawi secara nyata.

Jiwa berperan dalam menyatukan dan mempersepsikan kesan-kesan ganda


yang ditangkap oleh indra. Kepaduan tersebut hanya mungkin terjadi di struktur yang
tidak terbagi dan terdapat di otak, karena otak berfungsi mengontrol dan mencerna
pikiran serta prilaku. Struktur yang dimaksud tersebut adalah kelenjar pineal, sebuah
organ kecil yang terletak di dekat pusat otak (Abidin, 2000). Jika ada pertentangan
antara jiwa dan badan maka di kelenjar pineal lah tempat terjadinya pertentangan
tersebut.

Sekarang kita hampir sampai pada akhir tulisan ini. Jiwa dan badan bukanlah
sesuatu yang berbeda, karena jiwa dan badan adalah 2 hal yang tidak dapat dipisahkan.
Jika Descartes berupaya memahami jiwa dan badan dengan berusaha berangkat dari
titik nol dan meragukan semua hal, maka hal itu malah menimbulkan bias. Tidak
mungkin bagi Descartes untuk mulai dari keraguan tanpa terbawa subjektifitas
pengalaman sebelumnya. Di satu pihak Descartes mengatakan bahwa manusia itu
mesin yang hanya dapat dipahami melalui metode ilmu alam. Di sisi lain dia juga
meyakini bahwa jiwa terletak diluar jangkauan ilmiah yang dapat didekati melalui
refleksi tradisional (Abidin, 2000).

Kemudian pendapat Spinoza yang mengatakan bahwa Tuhan berperan penuh


dalam kehidupan manusia dan manusia sama sekali tidak mempunyai kebebasan. Itu
tidak sepenuhnya benar karena manusia juga mempunyai kehendak bebas. Manusia
bebas memilih jalan mana yang akan dia tempuh, tapi kedua jalan masing-masing
mempunyai resiko sebagai konsekuesni pilihan sebelumnya.

Begitu juga dengan pandangan Aristoteles yang menganggap pengalaman


indrawi itu realitas tertinggi. Pada kenyataannya pengalaman indrawi bisa saja salah
karena keterbatasan indra manusia, tergantung dari sudut pandang mana kita melihat
suatu objek.

Pada akhirnya semua filsuf diatas percaya bahwa ada satu kebenaran absolut
yang tidak bisa dijangkau indra. Dan juga kenyataan bahwa jiwa lebih dominan dari
badan karena di dalam jiwa terdapat insting terliar manusia yang jika bisa dikendalikan
maka baiklah seluruh tubuhnya dan jika gagal mengendalikannya maka rusaklah
seluruh tubuhnya.
Daftar Pustaka

Abidin, Z. (2000). Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung:


PT Remaja Rosdakarya.
Bakker, A. (1992). Antropologi Metafisik. Jakarta: Kanisius.
Gaarder, J. (1996). Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat. Jakarta: PT Mizan Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai