111511133107
A-1
Konsep antara jiwa dan badan masih menjadi topik yang menarik dan masih
layak untuk diperbincangkan oleh para filsuf hingga saat ini. Menjadi sebuah
pertanyaan di kalangan para filsuf, apakah jiwa dan badan adalah 2 hal yang berbeda
sama sekali, atau jiwa dan badan mempunyai tugasnya masing-masing, manakah yang
lebih dominan antara jiwa dan badan, ataukah keduanya saling mempengaruhi satu
sama lain. Apakah entitas tersebut dapat mencapai titik temu, dan bagaimana cara
kedua entitas tersebut saling berinteraksi?
Descartes, seorang filsuf yang dikenal juga sebagai Bapak Filsafat Modern
yang hidup pada 1596 – 1650 Masehi mencoba menjawab pertanyaan itu. Perlu
diketahui bahwa pada masa hidup Descartes, ada dominasi yang sangat kuat dari ilmu
Aristoteles dalam tradisi keilmuan pada masa itu yang lebih banyak memuat konsep
tentang jiwa.
Konsekuensi yang bisa diambil dari hal tersebut bahwa pastilah jiwa
merupakan sesuatu yang berbeda dari tubuh (Abidin, 2000). Jiwa terdiri dari kesadaran
dan rasional yang tidak dapat diragukan lagi. Keberadaan jiwa tidak bergantung kepada
ruang dan waktu karena jiwa bukanlah sesuatu yang bersifat material melainkan
immaterial. Sementara badan sama dengan benda fisik lain.
Titik temu jiwa dan badan terletak pada ketidakmampuan jiwa dan badan untuk
menjelaskan hal-hal yang tidak sanggup ditangkap oleh indra dan dipahami oleh akal.
Seperti misalnya mengapa kita bisa lahir di tahun ini, tahun 2000 contohnya. Mengapa
kita bisa lahir di tahun 2000, mengapa kita tidak lahir di tahun 2010 atau 1500 Masehi,
mengapa jiwa kita bisa masuk ke badan kita saat ini pada tahun 2000. Mengapa jiwa
kita tidak memilih badan lain.
Mengapa saat ini, di lingkungan kita, kenapa kita bisa bertemu dengan orang
yang jadi jodoh kita, kenapa kita tidak bertemu dengan orang lain, kenapa harus dengan
orang ini dan di waktu ini. Mengapa ada matahari di siang hari, dan mengapa bumi
punya bulan untuk menerangi di malam hari. Semua yang terjadi dan kita rasakan ini
pastilah bukan suatu kebetulan belaka. Ini semua terlalu kompleks untuk dijadikan
suatu kebetulan. Pastilah ada suatu skenario besar dibalik semua ini. Pastilah ada
kebenaran absolut yang mengatur semua ini.
Ketika jiwa dan badan sama-sama tak sanggup untuk memahaminya, ada satu
cara yang disediakan kebenaran absolut bagi jiwa dan badan untuk mendekatinya, yaitu
melalui doa dan usaha. Pernahkah kita berada pada suatu titik dimana sesuatu yang
kelihatannya sudah tidak mempunyai harapan sama sekali, namun ketika kita berdoa
dan berusaha mendadak seolah semua jalan terbuka lebar buat kita. Ketika semua
pikiran telah habis terkuras, ketika semua upaya telah dikerahkan oleh badan jasmani
kita, namun tak ada hasil, maka jiwa dan badan mencapai titk temu melalui doa dan
usaha tadi. Jiwa berkeyakinan bahwa badan mampu melakukannya dan badan
menjawab keyakinan jiwa tadi dengan usaha.
Filsuf setelah Descartes yang juga membahas hal ini adalah Nicholas
Malebranche yang berpendapat bahwa Tuhan bertindak melalui aturan-aturan umum
untuk kebaikan seluruh umat manusia (Bakker, 1992). Pengetahuan baik internal
maupun eksternal disebabkan oleh adanya interaksi dengan Tuhan. Tidak ada satu
objekpun yang berpindah posisi melainkan ada campur tangan Tuhan.
Sementara filsuf lainnya, Spinoza, menganggap hanya ada satu substansi saja
yang merangkum seluruh realitas (Bakker, 1992). Jika Descartes mengakui bahwa ada
3 substansi yang merupakan zat individual yaitu Tuhan, jiwa dan materi, maka Spinoza
hanya mengakui yang pertama sedangkan yang lainnya hanya merupakan atribut dari
Tuhan. Lebih jauh Spinoza menolak adanya kebebasan karena yang sesungguhnya
hanyalah manifestasi dari sifat Tuhan. Tidak ada positif dan negatif, karena itu
tergantung dari sudut pandang makhluk. Contohnya ketika lapar, maka itu tidaklah
selalu negatif, dengan meraskan lapar kita dapat merasakan nikmatnya makanan yang
merupakan hal positif.
Dari pernyataannya ini dapat kita ulas bahwa Tuhan merupakan substansi yang
menciptakan segala hal dan menjadi bagian dari ciptaannya itu sendiri. Contoh
mudahnya adalah hubungan ayah dan anak. Ayah merupakan penyebab sekaligus
bagian dari anak itu karena darahnya mengalir di darah si anak, sementara anak adalah
hasil atas adanya anak.
Sedangkan menurut Leibniz, alam semesta ini tersusun dari pusat kesadaran
yang tak terhingga jumlahnya yang menjadi pusat daya spiritual atau energi yang
kemudian disebut monad (Bakker, 1992). Monad berjumlah tak terbatas, karena
masing-masing berbeda dan mencerminkan alam semesta dari sudut pandangnya
masing-masing. Monad bersifat unik, tidak dapat dihancurkan dan menyerupai jiwa.
Monad tidak mempunyai hubungan sebab akibat melainkan semuanya diselaraskan
oleh Tuhan.
Ide tentang interaksi jiwa dan badan sendiri bukan hal baru di ranah filsafat. Ide
tentang interaksi jiwa dan badan telah ada jauh sejak zaman yunani kuno. Adalah Plato,
yang hidup pada masa 427 – 347 SM. Teori Ide Plato berkesimpulan bahwa ada realitas
dibalik dunia materi. Ia percaya bahwa realitas itu terbagi 2 wilayah, yaitu dunia indra
dan dunia ide (Gaarder, 1996).
Pada dunia indra kita hanya dapat menangkap pengetahuan yang tidak pasti,
sejauh kelima indra kita bisa mencapainya. karena di dunia indra segala sesuatunya
mempunyai kemungkinan untuk berubah, tidak ada yang kekal. Bunga yang mekar
pada akhirnya akan layu, kopi yang panas lama kelamaan akan menjadi dingin, hujan
akan berganti panas, muda menjadi tua dan hidup pada akhirnya akan mati. Begitulah
dunia indra yang tidak kekal seperti halnya badan kita.
Plato juga percaya bahwa realitas yang ditangkap dunia indra hanyalah bayang-
bayang dari dunia ide yang kekal (Gaarder, 1996). Jadi menurut Plato, jiwa dan badan
adalah 2 hal yang berbeda. Jiwa adalah sesuatu yang kekal dan bahkan sudah ada
sebelum manusia lahir. Pada awalnya jiwa manusia hidup di dalam dunia ide-ide. Atau
bisa juga diartikan, sebelum tubuh ada, jiwa telah ada dan memiliki pengetahuan
tentang ide-ide. Tetapi ketika jiwa itu masuk ke dalam tubuh, pengetahuan tadi
memudar dan nyaris hilang. Hanya saja pengetahuan atau ide-ide di dunia absolut tadi
tetap ada di dalam jiwa dan dapat diingat kembali melalui proses berpikir. Makanya
Plato menyebut tubuh/badan adalah penjara bagi jiwa. Eksistensi jiwalah yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles yang hidup pada 384 – 322 SM dan sekaligus
merupakan murid Plato mempunyai pandangan lain tentang entitas jiwa dan badan.
Menurut Aristoteles tingkat realitas tertinggi adalah sesuatu yang kita lihat dengan
indra kita (Gaarder, 1996) Aristoteles berpendapat bahwa benda-benda yang ada di
dalam jiwa manusia itu merupakan cerminan dari objek-objek alam. Maka kenyataan
yang sebenarnya adalah apa yang didapat dari dunia nyata.
Dalam hal ini, Descartes berpendapat bahwa gejala bukan hanya semata-mata
dialami badan atau jiwa saja, melainkan ada interaksi diantara keduanya yang disebut
dualism interaktif (Abidin, 2000). Tubuh/badan tanpa jiwa hanya akan menjadi mesin
belaka tanpa kesadaran. Sedangkan jiwa tanpa badan tidak akan pernah merasakan
pengalaman indrawi secara nyata.
Sekarang kita hampir sampai pada akhir tulisan ini. Jiwa dan badan bukanlah
sesuatu yang berbeda, karena jiwa dan badan adalah 2 hal yang tidak dapat dipisahkan.
Jika Descartes berupaya memahami jiwa dan badan dengan berusaha berangkat dari
titik nol dan meragukan semua hal, maka hal itu malah menimbulkan bias. Tidak
mungkin bagi Descartes untuk mulai dari keraguan tanpa terbawa subjektifitas
pengalaman sebelumnya. Di satu pihak Descartes mengatakan bahwa manusia itu
mesin yang hanya dapat dipahami melalui metode ilmu alam. Di sisi lain dia juga
meyakini bahwa jiwa terletak diluar jangkauan ilmiah yang dapat didekati melalui
refleksi tradisional (Abidin, 2000).
Pada akhirnya semua filsuf diatas percaya bahwa ada satu kebenaran absolut
yang tidak bisa dijangkau indra. Dan juga kenyataan bahwa jiwa lebih dominan dari
badan karena di dalam jiwa terdapat insting terliar manusia yang jika bisa dikendalikan
maka baiklah seluruh tubuhnya dan jika gagal mengendalikannya maka rusaklah
seluruh tubuhnya.
Daftar Pustaka