Anda di halaman 1dari 6

1

DUALISME
KELOMPOK 3

A. Pendahuluan
Dalam kehidupan dunia ini manusia tidak lah langsung menjadikan
pengetahuan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan yang ada dalam kehidupan.
Dalam sejarah pada awalnya manusia tidak lah tinggal menetap yang seiring
berjalanya waktu mereka menggunakan mereka bahwa ada tumbuhan yang dapat di
budidayakan sehingga mereka mulai untuk menetap di sebuah daerah.
Menurut seorang ahli berkebangsaan Francis yang kemudian menjadi Father
of sociology bernama August Comte menjelaskan dalam teori utamanya yang di
artiakan sebagai hukum tiga tahap menyubatkan bahwa ada tahapan dalam cara
pemikiran manusia yang pertama tahap teologis, yang kedua tahap filsafat, dan yang
terakhir adalah positisme ( Seorjono Soekanto, 2003, hal.32 ). Apa yang dimaksud
dengan Teologis ada secara mudahnya adalah berpikir secara penalaran yang
didasarkan kepada ketuhanan, keagamaan atau semua yang didasarkan kepada
keyakinan. Sedangkan berfilsafat adalah studi mendalam tentang semua hal yang ada
dalam kehidupan dengan mencari mendasarkan tanpa adanya batasan terhadap sebuah
batasan. Sedangkan dalam positivisme pencarian sebuah kebenaran dibatasi oleh
sesuatu yang nyata dan tidak mempercayai adanya dimensi metafisik dalam pencarian
sebuah kebenaran.
Dalam pencarian kebenaran, filsafat mempunyai ciri khas yang sangat unik
yang dimana pencarian secara radikal yaitu pencarian kebenaran yang harus mencapai
dasarnya, universal dimana semua nya bersifat menyeluruh tanpa adanya batasan, dan
yang terakhir adalah unik.
Secara etimologis pengertian filsafat dari segi makna kata berasal d ari
bahasa Yunani. Filsafat philosophy dalam bahasa inggris berasal dari bahasa
Yunani philos yang berarti cinta, persahabatan atau tertarik kepada, dan juga
berasal dari kata “sophos” yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi. Berdasarkan pengertian kata
tersebut, maka didapatkan pengertian filsafat yang berarti cinta kebijaksanaan.
Secara Terminologis Pengertian filsafat secara istilah diartikan sebagai ilmu yang
berusaha mengkaji objek telaahnya secara mendalam hingga ke segi esensi atau
2

hakikatnya. Berfilsafat diartika sebagai suatu cara berpikir yang mendalam akan
hakikat sesuatu.

Menurut tradisi, Phytagoras atau Socrates merupakan orang pertama


yang menyebut dirinya dengan sebutan philosophus, yaitu sebagai protes
terhadap kaum “sophist” kaum terpelajar, yang saat itu menamakan diri
mereka bijaksana. Padahal bagi Socrates, kebijaksanaan tersebut hanya semu
kebijaksanaan. Dengan perlakuan tersebut maka Socrates lebih suka menyebut
dirinya dengan pecinta kebijaksanaan, yang memilikiarti orang yang ingin
mempunyai pengetahuan yang luhur. ( Shally Cathrin, M.Phil, 2013, hal 3 ).

Dalam filsafat terdapat lagi beberapa aliran atau faham yang menjadikan
perbedaan dalam mencari sebuah kebenaran, akan tetapi pertentangan yang terjadi
antara bukan menjadikan sebuah kompetisi yang destruktif melainkan konstruktif
karena dalam mengalahkan saingannya mereka melakukan penguatan dari apa
yang mereka yakini, salah satu dari aliran dari filsafat itu adalah aliran dualisme.

B. Dualisme
Menurut aliran dualisme, kenyataan sejati pada dasarnya adalah baik bersifat
fisik maupun spiritual. Semua hal dan kejadian di alam semesta ini –apakah itu
pergerakan bintang-gemintang di angkasa raya maupun perilaku dan berbagai
kejadian dalam sejarah umat manusia- pada dasarnya tidak bisa di asalkan hanya pada
satu substansi atau esensi saja. Tidak betul kalau di katakan bahwa esensi kenyataan
adalah sesuatu yang bersifat fisik material, karena banyak kejadian di dunia ini yang
tidak bisa di jelasakan berdasarkan pada gejala-gejala yang bisa di ukur oleh ilmu-
ilmu alam atau di amati oleh pancaindera atau jiwa, karena siapa pun tidak bisa
menyangkal keberadaan dan kekuatan yang nyata dari materi. Yang betul adalah
bahwa kenyataan sejati merupakan perpaduan antara mateeri dan roh (Abidin. Zainal.
Hlmn 30).

Jadi menurut aliran dualisme, kenyataan sejati itu pada dasarnya adalah
bersifat fisik maupun spiritual. Misalnya tubuh kita, tubuh kita ini menurut aliran
dualisme bersifat fisik maupun spiritual. Fisik pada tubuh kita yaitu apapun yang bisa
di lihat dari tubuh kita yaitu yang bisa di ukur dan diamati. Sedangkan yang spiritual
3

pada tubuh kita yaitu segala sesuatu yang ada pada tubuh kita namun tidak nampak,
tidak dapat di ukur, dan tidak dapat di pelajari contohnya dalah jiwa.

Apa yang merupakan esensi dari kenyataan adalah juga merupakan esensi dari
manusia. Manusia adalah mahkluk yang teerdiri dari dua substansi, yakni materi dan
roh, atau tubuh dan jiwa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Decartes (1596-1650),
tubuh adalah substansi yang cirri atau karakteristik nya adalah berkeluasan (res
extensa), menempati ruang dan waktu. Karena karekteristik dari tubuh adalah res
extensa, maka siapapun bisa mengamati, menyentuh, mengukur, dan
mengkuantifikasinya. Akal sehat dan ilmu-ilmu tentang organism (tubuh) –apakah itu
biologi fisiologi, atau ilmu kedokteran- mampu menjelaskan bahwa sebagian dari
perilaku hewan dan manusia pada dasar nya merupakan fungsi dari tubuh (terutama
system saraf pusat). Ini berarti bahawa materi atau tubuh itu ada dan keberadaannya
bersifat niscaya dan tidak bisa di tolak (Abidin. Zainal. Hlmn 31).

Akan tetapi, dengan di akuinya keberadaan tubuh, tidak berarti harus menolak
keberadaan jiwa. Keberadaan jiwa, meski tidak bisa di amati secara inderawi, tetapi
bisa di buktikan melalui rasio (pikiran). Menurut Descartes, keberadaan jiwa, yang
karakteeristik nya adalah res cogitan (berpikir) justru lebih jelas dan tegas jika di
bandingkan dengan keberadaan tubuh. Untuk membuktikan pendapatnya tersebut,
Descartes mengajak kita untuk ntuk berpikir secara skeptic. Mari kita meragukan
keberadaan apa saja yang bersifat fisik, tanpa kecuali –apakah itu keberadaan
komputer di depan kita, kekasih yang sedang berada di samping kita, kejadian-
kejadian kemaren atau beberapa tahun yang lalu, aytau bahkan keberadaan tubuh kita
sendiri. Semua hal itu bisa kita ragukan keberadaan nya. Missal nya saja, baik
computer, kekasih, maupun tubuh kita itu semua hanyalah halusinasi kita, atau hanya
adalam mimpi kita saja, nukan keadaan yng sebenarnya. Akan tetapi, ada satu hal
yang tetap tinggal tidak bisa di ragukan, meski kita berusaha keras untuk
meragukannya itu “aku: yang atau yang sedang berpikir. Descartes menyebutnya,
“Cogito ergo sum” yang artinya “ aku berpikir (meragukan), maka aku ada”. Aku
yang sedang berpikir atau meragukan itu di pastikan bukan materi, bukan sesuatu
bersifat fisik. Sesuatu yang bersifat fisik, termasuk tubuh saya, bisa saya ragukan.
Misalnya seperti yang dialami oleh penderita skizofren tertentu yang meyakini bahwa
tubuh nya adalah segumpal daging yang di pinjam dari planet lain. Kalau begitu, siapa
saya yang sedang saya ragukan itu ? saya yang sedang meragukan itu adalah substansi
4

yang bersifat rohani, yang tidak bisa diamati tetapi ada dan selalu mengamati. Roh
atau jiwa ini adanya bersifat mutlak dan tidak bisa di ragukan , meski sebagai sesuatu
yang bersifat spiritual ia tidak menempati ruang dan waktu, tidak bisa di ukur, di
hitung, atau di kuantifikasi.

Jika betul demikian maka esensi manusia tidak bisa lain adalah jiwa dan
tubuh. Akan tetapi, bagaimana kita bisa memahami jiwa manusia? bagaimana
mungkin ilmu pengetahuan memahami substansi yang tidak menempati ruang dan
waktu? ilmu pengetahuan mampu memahami benda-benda fisik termasuk sel-sel
tubuh manusia, akan tetapi bagaimana mungkin ia mampu memahami jiwa manusia?

Pertanyaan ini pernah menimbulkan diskusi yang pelik di dunia ilmu


pengetahuan sosial. Adalah Dilthey (1833-1911) yang mencoba menjawab pertanyaan
tersebut. Sebagaimana Descartes, ia pun membagi pertanyaan kedalam dua substansi,
yakni res extensa dan res cogitans (materi dan jiwa). Berdasarkan pada pembagian
tersebut ia membagi dua jenis ilmu pengetahuan, yakni ilmu-ilmu pengetahuan alam
dan ilmu-ilmu pengetahuan kemanusiaan.

C. Hakikat Manusia Menurut Aliran Dualisme


Aliran dualisme berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua substansi, yaitu
materi (tubuh) dan roh (jiwa). Menurut Descartes (1596-1650) tubuh berkarakteristik
antara lain berkeluasan dan menempati ruang dan waktu. Selain mengakui adanya
keberaaan tubuh yang sudah mutlak dapat dilihat, aliran ini juga mengakui adanya roh
atau jiwa. Roh atau jiwa memang tidak dapat dibuktikan secara langsung, namun
dapat dibuktikan dengan cara berpikir (rasio). Roh atau jiwa dikarakteristikan dengan
sesuatu yang tidak menempati ruang dan waktu, tidak bisa diukur, dihitung seperti
tubuh.

D. Tokoh Dualisme

Orang yang pertama kali menggunakan konsep dualisme adalah Thomas Hyde
(1700), yang mengungkapkan bahwa antara zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda
5

secara subtantif. Jadi adanya segala sesuatu terdiri dua hal yaitu zat dan pikiran. Yang
termasuk dalam aliran ini adalah Plato (427-347 SM), yang mengatakan bahwa dunia
lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua
itu adalah bayangan dari dunia idea. Sebagai bayangan, hakikatnya hanya tiruan dari
yang asli yaitu idea. Karenanya maka dunia ini berubah-ubah dan bermacam-macam
sebab hanyalah merupakan tiruan yang tidak sempurna dari idea yang sifatnya bagi
dunia pengalaman. Barang-barang yang ada di dunia ini semua ada contohnya yang
ideal di dunia idea sana (dunia idea) (Abdul Rozak, 2002).

Lebih lanjut Plato mengakui adanya dua substansi yang masing-masing


mandiri dan tidak saling bergantung yakni dunia yang dapat diindera dan dunia yang
dapat dimengerti. Dunia tipe kedua adalah dunia idea yang bersifat kekal dan hanya
ada satu. Sedangkan dunia tipe pertama adalah dunia nyata yang selalu berubah dan
tak sempurna. Apa yang dikatakan Plato dapat dimengerti seperti yang dibahasakan
oleh Surajiyo (2005), bahwa dia membedakan antara dunia indera (dunia baying-
bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia. Rene Descartes (1596-
1650 M) seorang filsuf Prancis, mengatakan bahwa pembeda antara dua substansi
yaitu substansi pikiran dan substansi luasan (badan). Jiwa dan badan merupakan dua
substansi terpisah meskipun di dalam diri manusia mereka berhubungan sangat erat
(Bertnes, K. 1983).

Dapat dimengerti bahwa dia membedakan antara substansi pikiran dan


substansi keluasan (badan). Maka menurutnya yang bersifat nyata adalah pikiran.
Sebab dengan berpikirlah maka sesuatu lantas ada, cogito ergo sum! (saya berpikir
maka saya ada). Leibniz (1646-1716) yang membedakan antara dunia yang
sesungguhnya dan dunia yang mungkin.

E. Kelebihan dan Kekurangan Materialisme

Dualisme adalah paham yang memadukan antara paham materealisme dengan


idealisme, karena menurut aliran ini kehidupan serta manusia adalah gabungan dari
kedua substansi ruh dan tubuh tersebut. Karena rahasia alam tidak bisa dijawab hanya
dengan salah satu dari keduanya. Banyak kejadian-kejadian yang tidak dapat diukur
atau difikir dengan logika manusia. Dan kita juga tidak bisa mengingkari adanya
kekuatan alam sendiri. Kelebihan aliran ini adalah dapat menjawab pertanyaan
6

tentang rahasia alam dan kehidupan manusia dengan spiritual dan materil dan dapat
memadukan antara hakikat rohani dan materi. Dualisme meyakini meskipun ada 2
substansi yang terpisah namun keduanya saling berkaitan erat satu dengan lainya.
Kekurangannya adalah dulisme yang menganggap substansi materi dan ruh adalah
dua kesatuan yang berbeda. Aliran ini terkesan membingungkan karena pada dasarnya
memadukan sesuatu yang berlawanan yakni aliran materialisme dan idealisme
sehingga tidak mempunyai kebenaran hakiki di dalamnya yang dijadikan sebagai
kepastian sumber aliran ini.

KELOMPOK 3: DUALISME

NAILATUL MAISYAH (16410145)

FAZA FATIYURROBBANY (16410147)

IRVAN MUBAROK (16410160)

ADHETIO RINALVO PUTRA (16410162)

NURUL AMALIA SYAHRULLAH YULIANTO (16410165)

MUHAMMAD ROSYAD MURTADLO (16410172)

EMIRA ROSYIDA IFFAT (16410174)

Anda mungkin juga menyukai