Filsafat sudah ada lebih dari 2000 tahun, tetapi dalam waktu selama itu filsafat belum
mampu dan takkan pernah mampu memberi jawaban yang mutlak. Tetapi filsafat mampu
memberikan jawaban yang rasional, sistematis, dan kritis. Filsuf-filsuf yang terkenal akan
pemikiran besarnya antara lain seperti Aristoteles, Plato, Jacques Derrida, Immanuel Kant,
dan Thomas Aquinas. Setiap filsuf memiliki cara pandang yang berbeda, oleh sebab itu
filsafat sangat menarik untuk dipelajari. Berikut ini 10 aliran filsafat yang mempengaruhi
pola pikir manusia.
1. Rasionalisme
Rasionalisme merupakan aliran filsafat yang berpegang teguh pada akal. Itulah sebabnya
mengapa Rasionalisme menganggap akal adalah alat terpenting dalam memperoleh dan
menguji pengetahuan. Menurut aliran ini, pengetahuan dapat dicari dengan akal dan
penemuan dapat diukur dengan akal pula. Maksud dari dicari dengan akal adalah dengan
menggunakan pemikiran yang logis, sementara maksud dari diukur dengan akal adalah
menentukan apakah penemuan tersebut dapat dikatakan logis atau tidak. Jika logis maka
dapat dipastikan benar, jika tidak logis maka sebaliknya.
2. Empirisme
3. Positivisme
Positivisme adalah aliran filsafat yang bersifat faktual. Artinya, menjadikan fakta-fakta
sebagai dasar kebenaran. Pengetahuan tidak diperbolehkan membelakangi fakta. Menurut
aliran ini, satu-satunya pengetahuan adalah ilmu, dan yang dapat dijadikan obyek
pengetahuan hanyalah fakta. Positivisme mendapatkan persetujuan untuk berupaya dalam
membuat aturan bagi manusia dan alam.
4. Kritisisme
Kritisisme adalah aliran filsafat yang melakukan penyelidikan terhadap rasio beserta
batasan-batasannya. Kritisisme melakukan kritik terhadap Rasionalisme dan Empirisme
karena kedua aliran filsafat itu sangatlah berlawanan. Untuk menentukan kebenaran,
Rasionalisme mengandalkan akal sedangkan Empirisme mengandalkan pengalaman.
5. Idealisme
Idealisme adalah aliran filsafat yang percaya bahwa sesuatu yang konkret hanyalah hasil
pemikiran manusia. Kaum Idealisme menyebutnya sebagai ide atau gagasan. Menurut
Idealisme, ide atau gagasan adalah pengetahuan dan kebenaran tertinggi. Untuk memahami
sesuatu, Idealisme menggunakan metode dialektik. Yaitu metode yang menggunakan dialog,
pemikiran, dan perenungan.
6. Naturalisme
Naturalisme adalah aliran filsafat dari hasil berlakunya hukum alam fisik. Menurut aliran
Naturalisme, setiap manusia yang lahir ke bumi membawa tujuan yang baik dan tidak ada
seorang pun membawa tujuan yang buruk. Layaknya setiap bayi yang terlahir dalam
keadaan suci dan Tuhan telah menganugerahkan berbagai potensi yang dapat berkembang
secara alami kepadanya. Kaum Naturalisme menyebut hal itu sebagai kodrat. Untuk
mempertahankan kodrat tersebut, maka diperlukan adanya pendidikan.
7. Materialisme
Materialisme adalah aliran filsafat yang menghakikatkan materi sebagai segalanya. Oleh
sebab itu, materialisme menggunakan metafisika. Jenis metafisika yang digunakan tentu
saja metafisika materialisme. Materialisme menekankan bahwa faktor-faktor material
memiliki keunggulan terhadap spiritual dalam fisiologi, efistemologi, penjelasan histori, dan
sebagainya. Menurut Materialisme, pikiran (roh, jiwa, dan kesadaran) merupakan materi
yang bergerak.
8. Intuisionisme
Intuisionisme adalah aliran filsafat yang menganggap intuisi (naluri atau perasaan) sebagai
sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi adalah aktivitas berpikir yang tidak didasarkan
atas penalaran dan tidak bercampur aduk dengan perasaan. Ketika seseorang telah berpikir
dengan keras namun ia tak kunjung mendapatkan solusi dari suatu masalah, lalu setelah itu
ia menghentikan dan mengistirahatkan pikirannya sejenak, maka pada saat itulah intuisi
kerap hadir. Intuisi ada begitu saja secara tiba-tiba.
9. Fenomenalisme
Fenomenalisme adalah aliran filsafat yang menganggap fenomena (gejala) sebagai sumber
pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Kaum
Fenomenalisme menggunakan metode penelitian "a way of looking at things". Oleh sebab
itu, mereka berbeda dengan ahli ilmu positif yang menggunakan metode penelitian berupa
mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta menentukan hukum dan teori.
10. Sekularisme
Sekularisme adalah aliran filsafat yang membebaskan manusia dari hal-hal yang bersifat
supernaturalisme atau keagamaan. Dalam kata lain, sekularisme hanya bersifat
keduniawian. Sekularisme mengarahkan manusia untuk tidak percaya kepada Tuhan, kitab
suci, dan hari akhir. Pada mulanya, sekularisme bukanlah salah satu aliran filsafat, melainkan
hanya gerakan protes terhadap bidang sosial dan politik.
Ontologi
Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut
pandang:
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau
kenyataan konkret secara kritis.
Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni Monisme, Dualisme, Materialisme, Idealisme,
Agnostisisme
Monisme: aliran yang mempercayai bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada adalah satu
saja, baik yang asa itu berupa materi maupun ruhani yang menjadi sumber dominan dari
yang lainnya. Para filosof pra-Socrates seperti Thales, Demokritos, dan Anaximander
termasuk dalam kelompok Monisme, selain juga Plato dan Aristoteles. Sementara filosof
Modern seperti I. Kant dan Hegel adalah penerus kelompok Monisme, terutama pada
pandangan Idealisme mereka.
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan filsafat yang paling
kuno. Pertama kali diperkenalkan oleh filosof Yunani bernama Thales atas pernungannya
terhadap air yang terdapat dimana-mana, dan sampai pada kesimpulan bahwa “air
merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu”. Yang
penting bagi kita bukanlah mengenai kesimpulannya tersebut melainkan pendiriannya
bahwa mungkin segala sesuatu berasal dari satu substansi saja.
Dualisme: kelompok ini meyakini sumber asal segala sesuatu terdiri dari dua hakikat, yaitu
materi(jasad) dan jasmani(spiritual). Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan
berdiri sendiri, sama-sama abadi dam azali. Perhubungan antara keduanya itulah yang
menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama
kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.
Descartes adalah contoh filosof Dualis dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia
ruang (kebendaan). Aristoteles menamakan kedua hakikat itu sebagai materi dan forma
(bentuk yang berupa rohani saja). Umumnya manusia dengan mudah menerima prinsip
dualisme ini, karenaa kenyataan lahir dapat segera ditangkap panca indera kita, sedangkan
kenyataan batin dapt segera diakui adanya dengan akal dan perasaan hidup.
Materialisme: aliran ini menganggap bahwa yang ada hanyalah materi dan bahwa segala
sesuatu yang lainnya yang kita sebut jiwa atau roh tidaklah merupakan suatu kenyataan
yang berdiri sendiri. Menurut pahan materialisme bahwa jiwa atau roh itu hanyalah
merupakan proses gerakan kebendaan dengan salah satu cara tertentu.
Filsafat Yunani yang pertama kali muncul juga berdasarkan materialisme, mereka disebut
filsafat alam (natuur filosofie). Mereka menyelidiki asal-usul kejadian alam ini pada unsur-
unsur kebendaan yang pertama. Thales (625-545 s.M) menganggap bahwa unsur asal
itu air. Anaximandros (610-545 s.M) menganggap bahwa unsur asal itu apeiron yakni suatu
unsur yang tak terbatas. Anaximenes (585-528 s.M) menganggap bahwa unsur asal
itu udara. Dan tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Demokritos (460-360 s.M) menggap
bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya tak dapat dihitung
dan sangat halus. Atom-atom itulah yang menjadi asal kejadian peristiwa alam. Pada
Demokritos inilah tampak pendapt materialisme klasik yang lebih tegas.
yang-ada (being)
kenyataan/realitas (reality)
eksistensi (existence)
esensi (essence)
substansi (substance)
perubahan (change)
tunggal (one)
jamak (many)
Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi,
ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Aksiologi
Filsafat sering kali dipandang sebagi ilmu yang abstrak, padahal filsafat itu sangat dekat
dengan kehidupan manusia. Filsafat menurut sebagian kalangan merupakan disiplin ilmu
yang kurang diminati karena di anggap sebagai ilmu yang sulit dan membutuhkan
pemikiran, untuk pemula memang agak sulit, malas dan enggan ketika memulai memasuki
bidang ilmu ini. Akan tetapi lama-lama akan hilang rasa itu ketika mulai menekuni ilmu ini
ketika sadar bahwa filsafat itu sebagian yang tidak tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia.
Aktivitas filsafat melibatkan akal pikiran manusia secara utuh, konsisten dan bertanggung
jawab. Dalam aktivitas akal itu para filsuf mencoba mencoba mengungkap realitas. Kegiatan
mengungkap realitas ini membutuhkan bahasa sebagai sarana bagi pemahaman terhadap
realitas tersebut. Dari sini muncullah berbagai istilah teknis filsafati, seperti substansi,
eksistensi, impresi dan kategori. Istilah-istilah ini muncul dalam bidang utama filsafat, yakni:
metafisika, epistemologi dan aksiologi.
Pengertian Aksiologi
Kata Aksiologi berasal dari bahasa yunani axios yang memiliki arti nilai, dan logos yang
mempunyai arti ilmu atau teori. Jadi, Aksiologi adalah teori tentang nilai. Nilai yang
dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang apa yang dinilai.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, pemakalah akan menguraikan
beberapa definisi tentang aksiologi, di antaranya:
1. Aksiologi yang terdapat di dalan bukunya Jujun S. suriasumantri filsafat ilmu sebuah
pengantar popular bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
2. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu
tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic
expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-
political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafst sosio-politik.
Aspek Aksiologi
Aspek aksiologis dari filsafat membahas tentang masalah nilai atau moral yang berlaku di
kehidupan manusia. Dari aksiologi, secara garis besar muncullah dua cabang filsafat yang
membahas aspek kualitas hidup manusia, yaitu etika dan estetika.
Mengapa dalam filsafat ada pandangan yang mengatakan nilai sangatlah penting, itu karena
filsafat sebagai philosophy of life mengajarkan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan yang
berfungsi sebagai pengontrol sifat keilmuan manusia. Teori nilai ini sama halnya dengan
agama yang menjadi pedoman kehidupan manusia.
1. Etika
Etika merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang membahas moralitas nilai baik dan
buruk, etika bisa di definisikan sebagai nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan
manusia atau masyarakat yang mengatur tingkah lakunya.
Etika berasal dari dua kata ethos yang berarti sifat, watak, kebiasaan, ethikos berarti susila,
keadaban atau kelakuan dan perbuatan yang baik.
Dalam istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa latin mores, jamak dari mos
yang berarti adat, kebiasaan. Dalam bahasa arab disebut akhlaq yang berarti budi pekerti
dan dalam bahasa Indonesia dinamakan tata susila.
Dalam hal ini ada berbagai pembagian etika yang dibuat oleh para ahli etika, beberapa ahli
membagi ke dalam dua bagian, yaitu etika deskriptif dan etika normative, ada juga yang
menambahkan yaitu etika metaetika.
a. Etika deskriptif
Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti: adat
kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang di perbolehkan atau tidak.
Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau sub-
kultur tertentu. Oleh karena itu, etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian apapun, ia
hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifat netral. Misalnya, penggambaran tentang
adat mangayau kepala pada suku primitive.
Etika deskriptif dibagi ke dalam dua bagian: pertama, sejarah moral, yang meneliti cita-cita,
norma-norma yang pernah di berlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan
suatu tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa.
Kedua, fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari
berbagai fenomena moral yang ada.
b. Etika Normatif
Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan norma yang
diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah
norma itu benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk
memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik
atau buruk.
Etika normatif kerap kali juga disebut filsafat moral atau juga disebut etika filsafati. Etika
normatif dapat dibagi kedalam dua teori, yaitu teori nilai dan teori keharusan. Teori-teori
nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku.
Adapula yang membagi etika normative kedalam dua golongan sebagai berikut:
konsekuensialis dan nonkonsekuensialis. Konsekuensialis berpendapat bahwa moralitas
suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun nonkonsekuensialis berpendapat
bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari
tindakan itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaanya yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.
2. Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan. Istilah estetika
berasal dari kata Yunai yang mempunyai arti aesthesis, yang berati pencerapan indrawi,
pemahaman intelektual, atau bisa juga berati pengamatan spiritual. Istilah art berasal dari
kata latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan.
Estetika adalah cabang filsafat yang memberikan perhatian pada sifat keindahan, seni, rasa,
atau selera, kreasi, dan apresiasi tentang keindahan. Secara ilmiahnya, ia didefinisikan
sebagai studi tentang nilai-nilai yang dihasilkan dari emosi-sensorik yang kadang dinamakan
nilai sentimentalitas atau cita rasa atau selera. Secara luasnya, estetika didefinisikan sebagai
refleksi kritis tentang seni, budaya, dan alam. Estetika dikaitkan dengan aksiologi sebagai
cabang filsafat dan juga diasosiasikan dengan filsafat seni.
Estetika dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan estetika normative.
Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman
keindahan. Estetika normative mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran
pengalaman keindahan. Adapula yang membagi estetika kedalam filsafat seni (philosophy of
art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty). Filsafat seni mempersoalkan status
ontologis dari karya-karya seni dan memepertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan
oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia
dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu ada apakah nilai indah
itu objektif atau subjektif.
Isu Aksiologi
Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan dengan masalah nilai
sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam
kesempatan kali ini pemakalah sedikit akan membahas beberapa hal saja yang kiranya
penting untuk dipaparkan berkaitan dengan masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar
masalah ini misalnya apakah nilai itu subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu menarik perhatian.
Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana pun
tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal
mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun
orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan perbuatan
tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi
objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu tentu
saja bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian
yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-
beda tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya, adat, agama,
pendidikan, yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben
(membakar mayat orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang
mati dan bagi mereka hal itu dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang
Islam hal itu diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama
suka hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina,
jelek, dan salah. Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak
boleh dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-
orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa
yang menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah dan benar. Apa
yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa
yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu bagus setiap orang tidak
mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoral, tapi itu tidak benar.
Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu orang dalam tindakan kejahatan
adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena
ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri
mempunyai nilai. Sesuatu itu baru mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang
subjek kepada objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada
manusia yang melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidak ada mata manusia
yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia tidak
melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang
mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia
sebagai subjek dan barang sebagai objek.”
Kesimpulan
Aksiologi berasal dari bahasa yunani yaitu axios yang memiliki arti nilai, dan kata logos yang
mempunyai arti ilmu atau teori. Jadi, Aksiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang teori
tentang nilai.
Studi tentang tindakan manusia biasanya hanya semata menggambarkan siapakah mereka
dan bagaimana mereka. Dalam hal seperti ini, ilmu antropologi atau filsafat manusia
memainkan peranan penting, misalnya ia menggambarkan berbagai macam kebudayaan
manusia yang menunjukkan kebiasaan, adat, cara bahasa dan lainnya. Jadi, pertanyaannya
Apakah manusia?
Tetapi, ketika pertanyaannya adalah Apa yang (se) harus (nya) dilakukan manusia?, inilah
wilayah ilmu etika atau juga disebut sebagai filsafat kesusilaan. Hal ini berangkat dari fakta
bahwa dalam hidup manusia bukan hanya bertindak, malainkan menilai tindakannya. Jadi,
studi etika bukan berdasar pada what is, tetapi how to.
DAFTAR PUSTAKA
Susanto. Filsafat ilmu: suatu kajian dalam dmensi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011)
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
Soyomukti, Nurani. Pengantar Filsafat Umum, cet. 1, (Yoyakarta: AR-RUZZ MEDIA,
2011)
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat (Yogyakarta kanisius 1995)
Bakry, Hasbullah. Sistematik Filsafat (Jakarta:widjaja, 1981)
Rizal Mustansyir dan misnal Munir. Filsafatilmu, Cet. 9 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009)
http://zainabzilullah.wordpress.com/2013/01/20/ontologi-epistemologi-dan-
aksiologi-sebagai-landasan-penelaahan-ilmu