Sejak kita kecil kita sering bertanya, seperti mempertanyakan diri sendiri,
keberadaannya, dan dunia seluruhnya.
Tetapi sering kali di bungkam oleh orang yang lebih tua sejak dari kecil kemudian
disekolahpun di arahkan ke hafalan bukan pemahaman, sehingga kurang bijak dalam
menjawab permasalahan hidupnya
Wajar bila saat ini manusia menghadapi banyak krisis yang terjadi karena krisis
pertumbuhan nalar yang tidak bisa menjawab permasalahannya sendiri
Orang modern terlalu rasional dan esensialistis karena tidak mempertanyakan
“tujuan” akhir hidupnya dan juga secara langsung tidak menanyakan “hakikatnya”.
Namun, ingin mengetahui kemungkin-kemungkinan yang terpendam dalam dirinya.
Manusia yang bertanya, tahu tentang keberadaannya. Berkaitan dengan dua tokoh
filsafat Gabriel marcel menulis manusia yang problematis (1955) dan martin buber
menulis manusia sebagai problem (1948) agar manusia tahu siapa dirinya
Sebaiknya individu memandang sejenak kata “makna” yang mempunyai berbagai arti,
diantaranya: nilai, pengertian, rasionalitas, dan kesesuaian dengan tujuan.
Omong kosong atau absurd adalah yang tidak mempunyai arti sama sekali, tidak
dapat dimengerti, bertentangan dengan rasionalitas, tidak bernilai, dan sama sekali
tidak sesuai dengan suatu tujuan.
Sejarah filsafat Barat, di masa klasik Yunani perhatian filsafat lebih tertuju pada jagad
raya (kosmos).
Itulah sebabnya para filsuf pra-Socrates dinamakan pula filsuf-filsuf alam, tetapi
sebetulnya di masa ini sudah terdapat pemikiran tentang manusia.
Orakel Delphi.
Perhatian kepada manusia sudah muncul pada zaman Yunani klasik dimana
ungkapan ”Kenallilah Dirimu” kemudian digaungkan kembali oleh banyak
tokoh dan filsuf di Yunani, seperti Heraclitus, dan khususnya Socrates.
Heraclitus (± 540-475 SM).
Perhatian Heraclitus juga tertuju kepada manusia dengan mengembangkan
pemikiran Orakel Delphi tentang perlunya pengenalan diri.
Heraclitus yakin bahwa mustahil menyelami rahasia alam tanpa mempelajari
rahasia manusia. Manusia terlebih dulu harus mengenal diri agar supaya
menguasai realitas dan memahami maknanya.
Protagoras (± 480-411 SM)
Protagoras adalah seorang tokoh filsafat sofisme namun corak pemikiran
kelompok ini antroposentris
Perhatian mereka tertuju kepada manusia dan kemampuan-kemampuannya,
khususnya kemampuan untuk mengetahui.
Kelompok ini mengajarkan skeptisisme dan relativisme kebenaran.
Protagoras menyatidakan bahwa kebenaran bukan bersifat objektivisme,
melainkan subjektivisme sesuai dengan pendapatnya “man is the measure of
all things (manusia adalah tolok ukur untuk segala-galanya)”.
Socrates (469-399)
Socrates menilai kegiatan-kegiatan sofistis berdampak negatif pada moral
kaum muda Yunani kemudian ia mencetuskan suatu pembaruan di bidang
moral melalui jalan diskusi-diskusi dan teknik kebidanan (maieutikê tekhnê),
ia mencari ide-ide umum yang terdapat dalam jiwa sesuai dengan
semboyannya “kenalilah dirimu sendiri” (gnôthi seauton).
Ia ingin memberantas ide-ide khayalan sofistis pada orang lain dan
membangkitkan ide-ide yang baik dan sehat. Kegiatan Socrates hanya sekadar
percobaan untuk mengubah mentalitas dengan membuat analisis yang teliti
serta terinci atas sifat-sifat dan kebijaksanaan manusia, seperti kebaikan,
keadilan, dan keberanian.
Menurut Socrates kita tidak dapat menyingkapkan kodrat manusia dengan cara
yang sama seperti mendeteksi alam tetapi manusia hanya dapat dijelaskan dan
ditentukan berdasarkan kesadarannya.
Kebenaran adalah hasil pemikiran dialektis. Kebenaran tidak akan tercapai
tanpa kerjasama terus-menerus antar subyek yang saling bertanya jawab.
Maka, berbeda dengan obyek empiris, kebenaran hanya dapat dipahami
melalui aksi sosial.
Socrates menjawab pertanyaan tentang apakah manusia? Manusia adalah
makhluk yang terus-menerus mencari dirinya dan yang setiap saat harus
menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya.
Plato (427-347 SM)
Plato bertitik tolak dari manusia yang harmonis serta adil dan dalam hal itu ia
menggunakan pembagian jiwa atas tiga fungsi. Pada jiwa manusia terdapat
suatu bagian keinginan (epithymia), bagian energik (thymos), dan bagian
rasional (logos) sebagai puncak serta pelingkup. Jika keinginan serta energi—
di bawah pimpinan rasio—dapat berkembang dengan semestinya, akan timbul
manusia yang harmonis dan adil.
Menurut Plato manusia terdiri dari jiwa (rasio) dan tubuh (materi). Hubungan
jiwa dan tubuh bersifat dualistik. Jiwa bisa ada tanpa tubuh. Jiwa ada di dunia
ide sebelum bersatu dengan tubuh (pra-eksistensi jiwa). Pada saat kematian,
ketika tubuh hancur, jiwa kembali ke dunia ide. Bahkan, mengacu pada
pandangan Pythagorean, Plato mengatidakan bahwa tubuh merupakan kubur
bagi jiwa (soma sema) dan bahwa jiwa berada dalam tubuh bagaikan di
penjara.
Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles, berpendapat sama halnya Socrates dan Plato, ia menjadikan
manusia sebagai proyek filsafat dengan mendefinisikan manusia sebagai
animal rationale (Ing.,rational animal) sehingga manusia dan hewan sama
dalam hal fisik, namun manusia memiliki unsur rasio yang membedakannya
dari hewan.
Zeno (335-262 SM)
Zeno dari Citium mendirikan aliran filsafat yang dinamakan Stoisisme. Inilah
aliran yang paling populer di dunia Hellenistik. Menurut Stoa, senada dengan
pandangan Socrates, tuntutan untuk mengenal diri adalah keistimewaan dan
kewajiban dasar manusia. Kewajiban itu bukan saja bersifat moral tapi juga
universal dan metafisis.
Orang yang hidup serasi dengan dirinya, dengan jiwanya, hidup serasi juga
dengan alam semesta karena baik tatanan semesta maupun tatanan pribadi
adalah aneka ekspresi dan manifestasi dari satu prinsip umum yang
tersembunyi.
Stoa menjunjung tinggi kebebasan manusia sebagai kebajikan yang mendasar,
menekankan keserasian manusia dan alam, dan ketidaktergantungan manusia
terhadap alam di bidang moral.
Marcus Aurelius (121-180 M)
Marcus Aurelius percaya bahwa untuk menemukan kodrat dan hakikat
manusia kita harus menyisihkan sifat-sifat yang tidak tetap (insidental) dan
eksternal. Hakikat manusia tidak ditentukan oleh tambahan-tambahan dari
luar namun tergantung pada penilaian diri, pada nilai yang diberikannya
kepada dirinya sendiri.
Pandangan Aurelius pada dasarnya sama dengan pandangan Stoa. Hidup pada
dasarnya selalu berubah dan mengalir, namun nilai hidup sesungguhnya harus
dicari dalam tatanan abadi yang memuat ketidakberubahan. Tatanan abadi
tidak terdapat dalam dunia inderawi dan hanya dapat dicapai melalui daya
pertimbangan.
Daya pertimbangan adalah kemampuan sentral manusia, sumber utama bagi
kebenaran dan moralitas sehingga daya pertimbangan adalah satu-satunya hal
dimana manusia tergantung sepenuhnya pada dirinya sendiri, daya
pertimbangan itu bebas, otonom, mandiri.
Definisi manusia pada kurun masa ini bersifat religious. Manusia dilihat sebagai
makluk ciptaan Tuhan (religious animal). Inilah yang diajarkan oleh para filsuf abad
pertengahan dari kalangan Kristen, Islam, maupun Yahudi.
Agustinus (354-430)
Menurut Agustinus, rasio tidak dapat menunjukkan jalan kepada kejelasan,
kebenaran, jalan kembali dan kebijaksanaan namun adanya agama
mengarahkan pikiran manusia.
Thomas Aquinas (1225-1274)
Menurut Thomas Aquinas manusia adalah kesatuan jiwa dan tubuh. Jiwa
adalah bentuk/forma dan tubuh adalah materi, bersifat rohani, tunggal, prinsip
hidup dari seluruh manusia dan tidak dapat mati.