Untuk aliran materialisme misalnya mempunyai pemikiran bahwa materi atau zat
merupakan satu-satu kenyataan, karena itu semua peristiwa dapat terjadi m proses
materiel. Demikian pula analogi yang terjadi pada manusia, yakni kejadian 'ada'-nya
adalah juga bagian dari proses-proses materiel itu sendiri. Aliran ini baik dari
kalangan aliran materialisme didaktik atau humanistis, keduanya tidak mengenal
adanya kenyataan bersifat spiritual. Karena itu, bagi aliran ini kenyataan yang
sebenarnya adalah alam semesta yang bersifat badaniah.
Sebaliknya bagi pemikir atau filsuf dari aliran idealisme, mereka menyangkal secara
mendasar pemikiran materialisme di atas. Menurut aliran idealisme, bukan materi
yang menjadi kenyataan, tetapi kenyataan yang sebenarnya adalah "ide" yang bersifat
rohani dan/atau inteligensi. Karena itu manusia oleh aliran ini dipandang bukan
sebagai materi tetapi makhluk yang berjiwa/berkerohanian.
Substansi pemikiran dari dua aliran di atas diyakini secara bersamaan oleh aliran
realisme. Bagi aliran realisme kenyataan dapat berupa kenyataan dunia batin atau
rohani, dan dapat juga berupa kenyataan dunia materi. Keduanya dalam pandangan
realisme adalah hakikat asli dan abadi. Hakikat manusia dengan demikian adalah
dapat dipandang sebagal makhluk kejiwaan/kerohanian, dan sekaligus makhluk
materisl.
Bandingkan berikutnya dengan pemikiran para tokoh aliran teologis, Aliran teologis
ini jika dicermati tidak memiliki irisan dengan pemikiran aliran aliran sebelumnya.
Karena mereka cenderung meletakkan kedudukan manusia secara berbeda dengan
makhluk lain di muka bumi, yakni karena hubungannya dengan Tuhan. Artinya
manusia menurut aliran ini diyakini sebagai makhluk materi, makhluk rohani, tetapi
keduanya tidak bersifat abadi dan/atau sebagai hakikat asli. Menurut aliran ini,
hakikat asli atau kenyataan utama adalah Tuhan itu sendiri.
Jika kita tarik benang merah dari pemikiran beberapa aliran di atas, umumnya
berusaha mendudukkan hakikat manusia sebagai makhluk di antara makhluk lainnya
di muka bumi ini, sekaligus berusaha membandingkan di antara keduanya. Kesamaan
manusia sebagai makhluk dengan makhluk lainnya adalah pada dorongan naluriah
(animal instinct) yang termuat dalam tiap gen mereka. Adapun yang membedakan
manusia dari makhluk lainnya-adalah dalam hal pengetahuan dan perasaan
(emosional dan kejiwaan). Melalui pengetahuan yang dimiliki manusia, ia dapat
hidup jauh lebih berkembang (survival) daripada pengetahuan makhluk lainnya.
Demikian juga melalui perasaan manusia, mereka dapat mengembangkan eksistensi
kemanusiaannya menjadi lebih beradab dibanding makhluk lainnya.
Sebagaimana pemikiran Plato dan Plotinos, bahwa manusia adalah makhluk ilahiah.
Bahkan lebih ekstrem disampaikan Descrates, menurutnya manusia memiliki
kebebasan mirip seperti kebebasan yang dimiliki Tuhan. Tetapi, pandangan manusia
sebagai makhluk ilahiah tersebut ditolak oleh Epikuros dan Lukretius. Menurut
keduanya manusia tak lebih makhluk hidup berumur pendek, ia lahir karena
kebetulan, dan akhirnya sama sekali lenyap. Demikian juga seperti yang disampaikan
Voltaire, manusia tidak berbeda secara esensial ibarat binatang yang paling tinggi
atau sempurna..
Dapat disimpulkan bahwa para pemikir filsafat manusia dan ilmuwan memiliki
pandangan yang berseberangan di antara dua titik secara ekstrem baik mereka yang
berlatar periode kesejarahan yang sama atau berbeda. Namun perdebatan hakikat
manusia (lebens-philosophie) menurut penilaian filsut mazhab Frankfurt Jerman Max
Horkheimer merupakan diskursus ilmiah yang sehat, yang dapat membuka kebekuan
berpikir rasional yang abstrak dan menjadi lawan dari debut kapitalisme yang selama
ini berkembang pesat. Sebagai pengkritik positivisme, Horkheimer menyatakan
selama ini saintisme tak lebih pendukung status-quo yang bersembunyi di balik
objektivitas. Segala bentuk ilmu, demikian menurut Horkheimer dan juga Habermas,
telah dijerumuskan oleh kepentingan kognitif, dan karenanya tidak bebas nilai,
termasuk teori kritis yang didorong oleh kepentingan emansipatoris. Menurut Jurgen
Habermas bahwa kekuatan kritik erat kaitannya dengan metodologi maupun kondisi
sejarah yang melatari, yakni kesadaran akan krisis sosial pada historis (sejarah)
tertentu.
Jika dicermati sesungguhnya kajian filsafat manusia tumbuh subur bersamaan dengan
ideologi kapitalisme yang sedang mendominasi arus keilmuan. Kritik mendasar yang
hendak disampaikan para pengkaji filsafat manusia adalah seruan untuk tidak
membatasi cara pandang keilmuan, selalu berpikir reflektif, dan jangan membuang
ciri utama manusia sebagai makhluk yang selalu bertanya dan berpikir. Karena itu
berpikir reflektif merupakan aktivitas rohaniah, menemukan kebenaran untuk
kehidupan bersama, sebagai makhluk eksentris. Dengan berpikir kritis dan reflektif
tidak menjadikan seseorang jauh dari Tuhan, berbeda dengan pemikiran kapitalis
yang lebih mendekatkan seseorang pada materi atau kebendaan.
Ungkapan Descartes yang dikenal luas "cogito ergo su” (aku berpikir, maka aku
ada). Cogito (aku berpikir) adal suatu kepastian tak tergoyahkan, ia ingin suatu
kepastian tentang eksistensi Tuhan dan ketidakmatian jiwa manusi Hal yang sama
dikemukakan Maine de Biran yang bertik tolak pada volo (aku mau), dengan
merefleksikan "aku ma ia menemukan paham tentang diri dan pengaruh afeksi at
segala kepastiannya. Atau filsafat Karl Marx dengan ungka pan "manusia adalah
makhluk yang bekerja". Artinya, sebagai makhluk paradoksal, manusia itu bebas dan
terikat, otonom dan tergantung, terbatas dan tidak terbatas. Sebagai makhluk yang
dinamis, manusia bebas dan bertanggung jawab, tetapi dalam kebebasan juga hadir
suatu dorongan metafisika, su- atu orientasi dasariah untuk menuju diri yang sejati.
Sebagai makhluk multidimensional, manusia meskipun sebagai su- atu kesatuan,
tetapi di dalam kesatuan itu ditemukan pelba gai dimensi ontologis dengan tingkatan
yang berbeda.
Herbert Marcuse mengatakan meskipun seolah-olah manusia itu one-dimensional
man, yang terkurung dalam dimensi produksi-konsumsi, tetapi konsumerisme itu
sesung guhnya bertentangan dengan panggilannya sebagai makhluk pluridimensional.
Panggilan atau seruan itu berkaitan erat dengan hakikat manusia. W. Luijpen
mengatakan being man is having to be man (diri manusia suatu seruan etis untuk
manusia).
Dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk budaya adalah manusia yang
berada pada siklus idea atau pengetahuan bersama yang menjadi acuan dalam
melaksa nakan aktivitas bersama, melahirkan materi kebudayaan bersama atau
pribadi yang merupakan pengembangan dari dorongan budaya, di berbagai sektor
kehidupan keagamaan, keilmuan, peralatan hidup, keorganisasian sosial, bahasa dan
komunikasi, serta kesenian.
Basyar disebut dalam Al-Qur'an sebanyak 27 kali. Dalam seluruh ayat tersebut,
kalimat basyar menunjuk pada referensi manusia sebagai makhluk biologis. Lihatlah
bagaimana Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak,
padahal aku tidak disentuh basyar (QS. Ali Imran (3): 47); atau bagaimana kaum
yang diseru para nabi menolak ajarannya, karena nabi hanyalah Basyar-ma- nusia
biasa yang "seperti kita", bukan manusia super star. Kata baryar juga dihubungkan
dengan ungkapan mitslukum (sebanyak tujuh kali) dan mitsluna (sejumlah enam
kali).
Nabi Muhammad SAW, disuruh Allah untuk menegaskan bahwasanya dirinya secara
biologis, ia tak ubahnya sama seperti manusia yang lain: Katakanlah, aku ini manusia
biasa (basyar) seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialah
Tuhan yang satu (QS. 18: 110; QS. 41:6). Ten- tang para nabi, orang-orang kafir
selalu berkata: Bukankah ia basyar seperti kamu, ia makan apa yang kamu makan,
dan ia minum apa yang kamu minum (QS. 33: 33). Ayat ini juga ditegaskan dalam
QS. 25: 7: Mereka berkata; Bukankah Rasul itu memakan makanan dan berjalan-jalan
di pasar, dan QS 25: 20, Dan tidak Kami utus sebelummu para utusan kecuali mereka
itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar Ketika wanita-wanita Mesir takjub
melihat ketampanan Yusuf AS., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan Basyar, tapi ini
tidak lain kecuali malaikat yang mulia (QS. 12: 31). Dari uraian tersebut maka secara
singkat bahwasanya konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis
manusia semata, yaitu butuh makan, minum, seks, berjalan di pasar, dan seterusnya.
Sebaliknya adalah tidak tepat jika menafsirkan kalimat basyarun mitslukum sebagai
manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa. Kecenderungan para rasul untuk tidak
patuh pada dosa dan kesalahan bukanlah masuk kategori sifat-sifat biologis, tetapi
merupakan sifat-sifat psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya ketika
menafsirkan: Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk yang se baik-
baiknya (QS. 95: 4) dengan menunjukkan karakteristik fisiologi manusia. Yusuf Ali
(1977: 1759) dengan tepat menafsirkan ayat ini to man God gave the purest and the
best nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God has made him
(QS. 30: 30). Al-Syaukani (1964, 5: 65) menyebutkan umumnya para mufasir
mengartikan ayat ini untuk menunjukkan kelebihan manusia secara fisiologis, yaitu
ber- jalan tegak, dan makan dengan menggunakan tangan. Tapi Ibn 'Arabi berkata,
tidak ada makhluk Allah yang lebih bagus daripada manusia. Allah membuatnya
hidup, mengeta- hui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan
memutuskan, dan ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.
Artinya, konsepsi insan secara tegas berbeda dengan Basyar. Jika ditelisik didapatkan
penyebutan insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al-Qur'an. Kita dapat
mengelompokkan konteks insan tersebut dalam tiga kategori pokok. Pertama, insan
dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah.
Kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia. Dan ketiga Insan
dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga yang akan
kita jelaskan kemudian, semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis
atau spiritual.
Sementara istilah al-Nas sebagai konsep kunci ketiga mengacu pada manusia sebagai
makhluk sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut dalam Al-Qur'an.
Pertama, banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan
karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min al-Nas
(dan di antara sebagian manusia). Dengan memerhatikan ungkapan ini, kita
menemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman, tetapi sebetulnya tidak
beriman, yang mengambil sekutu terhadap Allah, yang hanya memikirkan kehidupan
dunia, yang mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia,
tetapi memusuhi kebenaran yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk, dan al-
Kitab, yang menyembah Allah dengan iman yang lemah, yang menjual pembicaraa
yang menyesatkan; di samping ada sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya
untuk mencari ke-relaan Allah.
Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah
SWT, berkewajiban memahami isi wahyu (Al-Qur'an dan Hadis), berakidah
(bertuhan), beribadah, berakhlakul karimah, memahami sosok pembawa dan
pengembang serta kebudayaan hingga peradaban agama, motivasi, dan jenis
penuntutan ilmu (langit dan bumi) dalam hidup, serta aktualisasinya dalam kehidupan
diri, masyarakat, dan negara.
Sayangnya kemudian, cara pandang orang melihat kebudayaan sering kali terjebak
dalam sifat chauvinisme, yaitu membanggakan kebudayaannya sendiri dan
menganggap rendah kebudayaan lain. Contoh sikap chauvinisme seperti yang
dikemukakan oleh Adolf Hitler misalnya, dengan kalimat Deutschland Uber Alles in
der Welt (Jerman di atas se gala-galanya dalam dunia). Demikian juga Inggris de
slogan: Right or Wrong is My Country. Demikian pula pula yang menganggap
bangsanya merupakan keturunan De Matahari. Padahal seharusnya dalam memahami
keba yaan kita perlu jujur dan berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif,
relatif, universal, dan counter-cult (meremehkan kultur lain).
Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubung yang sangat erat, karena menjadi
manusia tidak lain adala merupakan bagian dari hasil kebudayaan itu sendiri. Hampir
semua tindakan manusia merupakan produk kebudayaan. Kecuali tindakan yang
sifatnya naluriah saja (animal instinel) yang bukan merupakan kebudayaan. Tindakan
yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar, seperti melalui
proses internalisasi, sosialisasi, dan alkulturasi. Karena itu, budaya bukanlah sesuatu
yang statis dan kaku, tetapi senantiasa berubah sesuai perubahan sosial yang ada.
Sebagaimana dikatakan Van Peursen bahwasanya budaya semestinya diperlakukan
sebagai kata kerja, bukannya sebagai kata benda. Sebab suatu budaya dalam
masyarakat terus- menerus berubah, bahkan meskipun itu adalah sebuah tradisi. Dan
biasanya proses pengalihan atau perubahan budaya difasilitasi oleh adanya kontak
komunikasi melalui bahasa Tanpa bahasa, proses pengalihan kebudayaan tidak akan
terjadi.
Selanjutnya hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat dilihat dari
kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaannya. Manusia mempunyai empat
kedudukan terhadap kebudayaan, yaitu 1) penganut kebudayaan, 2) pembawa
kebudayaan, 3) manipulator kebudayaan, dan 47 pencipta kebudayaan. Sebagai
penganut kebudayaan seseorang hanya menjadi pelaku tradisi dan kebiasaan yang
berkembang dalam masyarakatnya. Sebaliknya pembawa kebudayaan adalah pihak
luar dan/atau anggota masyarakat se- tempat yang membawa budaya asing atau baru
dalam tatanan masyarakat setempat. Tidak semua anggota masyarakat dapat
beradaptasi dengan budaya baru yang datang dari luar. Umumnya, budaya baru sulit
diterima dan butuh waktu bertahap untuk penyesuaian jika budaya baru tersebut ada
kemungkinan diterima. Sementara manipulator kebudayaan adalah anggota
masyarakat yang melakukan aktivitas kebudayaan atau mengatasnamakan budaya
setempat tetapi tidak sesuai dengan nilai-nilai atau idea luhur sebagaimana yang
seharusnya dilakukan. Kedudukan tertinggi adalah manusia sebagai pencipta
kebudayaan, yaitu mendorong secara sadar atau tidak sadar ke semua lapisan
masyarakat untuk melakukan revitalisasi kebudayaan lama atau mencipta dan
menemukan kembali kesepakatan baru terkait ide, aktivitas bermasyarakat, atau
budaya baru yang dapat diterima secara masif.
Manusia memiliki kemampuan dasar selain instingtif, juga kemampuan untuk terus
belajar, berkomunikasi dan menguasi objek-objek yang bersifat fisik. Dengan
kemampuan berkomunikasi dan belajar menjadikan manusia terus me- ningkatkan
kecerdasan dan cara berpikirnya. Selain itu, manusia juga memiliki kehalusan
perasaan atau kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup
dasar, insting, perasaan, berpikir, kemauan, dan fantasi. Kejiwaan atau budi yang
dimiliki manusia menjadi motor atau peng- gerak bagi terciptanya hubungan
bermakna dengan alam sekitarnya melalui penilaian atas objek dan kejadian. Nilai
yang diberikan oleh manusia inilah yang menjadi tujuan dan substansi dari
kebudayaan itu sendiri.
Jika disimpulkan, maka inti dari kebudayaan adalah nilai-nilai dasar dari segenap
wujud kebudayaan atau hasil kebudayaan, Nilai-nilai budaya dan segenap hasilnya
adalah muncul dari tata cara hidup yang merupakan kegiatan manusia atas nilai-nilai
budaya yang di kandungnya. Cara hidup manusia tidak lain adalah bentuk konkret
(nyata) dari nilai-nilai budaya yang bersifat abstrak (idea). Dengan bahasa lain, nilai
budaya hanya bisa diketahui melalui budi dan jiwa, sementara tata cara hidup
manusia dapat diketahui oleh pancaindra. Dari idea kebudayaan dan tata cara hidup
manusia kemudian terwujud produk (artefak) kebudayaan sebaga sarana untuk
memudahkan atau sebagai alat dalam berkehidupan. Sarana kebudayaan adalah
perwujudan secara fisik atas nilai-nilai budaya dan tata cara hidup yang dilakukan
manusia guna memudahkan atau menjembatani tercapainya berbagai kebutuhan
manusia.
Agama sering menjadi kuat dominasinya jika ia kuat penekanannya pada nilai
tertinggi "ultimate value”, yaitu hubungannya dengan Maha Pencipta (Tuhan), dan
kehidupan abadi serta keadilan tertinggi atas kebaikan dan keburukan (pahala atau
dosa) atas pola pikir, sikap, dan perilaku lama di dunia faria.
1. Agama
Dalam temuan antropologi dan sosiologi komponen pokok yang terdapat dalam
setiap agama meliputi adanya: umat beragama, sistem keyakinan, sistem peribada
tan/ritual, sistem peralatan ritus, dan emosi keagamaan.
2. Ilmu pengetahuan
Dari penelitian antropologi dan sosiologi semua masyarakat pendukung suatu
kebudayaan, memiliki sistem pengetahuan yang utuh menanggapi keberadaan
alam nyata (natural) dan nirnyata (supernatural). Kondisi ini menyambung
kepada pemahaman tentang kehidupan dan kematian, perbuatan dan keadilan,
kefanaan dan keabadian.
3. Teknologi
Antropologi dan sosiologi juga menjumpai bahwa setiap warga masyarakat
pendukung suatu kebudayaan memiliki kemampuan secara idea hingga
melaksanakan kegiatan bersama melahirkan peralatan hidup yang dffungsikan
untuk memenuhi kebutuhan pada berbagai unsur kebutuhan budaya universal
lainnya.
4. Ekonomi
Antropologi serta sosiologi juga menemukan dalam setiap masyarakat
kebudayaan adanya bentuk-bentuk ekonomi (berburu-meramu, bercocok tanam,
barter; pasar/ uang, foto, komunikasi). Rentangan kekuatan ekonomi (investasi,
produksi, keagenan, distribusi, eceran, buruh, kegiatan pasar, dan penjabaran
penghasilan).
5. Organisasi sosial
Pada setiap masyarakat pendukung kebudayaan akan selalu terdapat variasi
kelompok warga masyarakat (kemargaan, jaringan kawin mawin,
kampung/kewilayahan, keetnisan, profesi, politik).
6. Bahasa dan komunikasi
Setiap masyarakat pendukung suatu kebudayaan memiliki simbol-simbol bunyi
dan intonasi serta isyarat yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu maksud
kepada seseorang atau khalayak untuk dipahami dan dilaksanakan. Ada untuk
percakapan, tulisan, maupun seni. Ada kata-kata untuk umum, dari hati ke hati,
anak-anak, teman sebaya, orang tua, dan tamu. Ada yang esensinya world view,
penjelasan alam semesta, dan tata krama.
7. Kesenian
Antropologi menemukan bahwa pada setiap masyarakat kebudayaan mempunyai
ungkapan seni berupa simbol penyataan rasa senang dan susah (suka duka). Baik
untuk umum maupun untuk sendiri. Muncul pula dalam berbagai bentuk: ukiran,
gambar, tulisan, ungkapan, teater, pentas, dan gerak/tari.
Semua komponen ini dimiliki sebagai unsur kebudayaan bahkan menjadi faktor
pembangunan dari setiap suku bangsa mulai dari tingkat sektoral, regional, nasional
hingga internasional. Unsur-unsur itu juga akan melintasi batas-batas tersebut (cross
cultural). Selain itu, dapat diketahui simbol-simbol lain yang wujudnya lebih konkret
dari wujud pertama untuk dapat menjadi pembeda atau berlaku sebaga cultural traits
antara kebudayaan yang satu dengan lainnya Wujud konkret dari simbol-simbol
tersebut ialah perilaku, kebiasaan, habitus (sebagaimana sosiolog Perancis, Pierre
Bourdieu, menyebutnya), atau yang kita kenal dengan istila adat istiadat sebagai
wujud kedua dari kebudayaan. Selain adat istiadat, elemen lainnya ialah budaya
materiel. Budaya materiel (material culture) atau artefak atau benda-benda hasil
produksi suatu kebudayaan merupakan hal-hal dalam kebudayaan yang paling
konkret (empiris).
Ada empat bentuk yang dapat diidentifikasi dan dikategorikan sebagai peninggalan
budaya. Pertama, benda-benda fisik atau material culture. Wujud pertama ini
mencakup seluruh benda-benda hasil kreasi manusia, mulai dari benda-benda dengan
ukuran yang relatif kecil hingga benda-benda yang sangat besar. Kemudian, wujud
kedua ialah pola-pola perilaku yang merupakan representasi dari adat istiadat sebuah
kebudayaan tertentu. Bentuk kedua ini meliputi hal-hal keseharian, seperti pola
makan, pola kerja, pola belajar, pola berdoa, hingga pola-pola yang bersangkutan
dengan aktivitas sebuah komunitas, seperti pola upacara adat ataupun ritual Ngaben
di masyarakat Bali.
Di dalam pola-pola keseharian itu, terkandung nilai-nilai atau tata aturan dari adat
istiadat yang berlaku. Tata aturan yang berlaku tersebut merupakan ejawantah dari
pandangan hidup atau sistem nilai dalam masyarakat tertentu, di mana
Adapun, lingkungan yang dilihat dari asal usulnya berupa: (1) lingkungan alami
(natural environment), dimana lingkungan jenis ini memiliki pengertian keseluruhan
unsur di luar diri manusia yang bukan ciptaan manusia, dan (2) lingkungan buatan
(built environment) yakni lingkungan yang merupakan hasil kreasi manusia.
Lingkungan dapat menjadi bagian dari tinggalan budaya (artefact) oleh karena
lingkungan memainkan peran sebagai bagian yang tak terpisahkan bagi terciptanya
kebudayaan itu sendiri.
Kebudayaan Indonesia adalah salah satu dari sekian banyak kebudayaan yang ada di
dunia. Keberadaannya-sama dengan kebudayaan lain-telah berlangsung dalam waktu
yang lama. Mendiskusikan kebudayaan Indonesia, maka kita akan berbicara tentang
sejarah panjang pertemuan antar- kebudayaan daerah Indonesia dengan kebudayaan
dari luar Indonesia.
Pertemuan antar-kebudayaan di Indonesia, sudah dimulai sejak masuknya agama
Hindu dan Buddha. Kebudayaan daerah Indonesia yang masih sederhana kemudian
bertemu dengan agama Hindu dan Buddha yang menjadi sedemikian meluas dan
dianut oleh banyak masyarakat di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya
kerajaan yang pernah ada di wilayah Barat dan Tengah.
Jika dikaji selama dalam masa penjajahan tersebut, bukan hanya kisah perlawanan
fisik semata, tetapi juga tentang perlawanan kebudayaan. Oleh karena itu, terjadi
perubahan yang besar dalam banyak bidang kehidupan kita. Dalam hal ini, misalnya
dapat disoroti perubahan bentuk pemerintahan Perubahan bentuk pemerintahan, dari
kerajaan kepada negara, menjadi sebuah perubahan yang menuntut adanya ke satuan
wilayah dan kebudayaan di Indonesia. Pada masa ini pula, polemik tentang dasar
negara, bahasa, Undang-Undang Dasar, dan persoalan kebudayaan nasional mulai
terlihat. St itu telah banyak usaha yang dilakukan untuk merumuskan apa itu
kebudayaan Indonesia. Kekayaan kebudayaan yang sede- mikian hebat dari wilayah
Indonesia, membuat para perumus tidak ingin menghilangkan kebudayan yang sudah
lama hidup di negeri ini. Kekayaan kebudayaan yang telah terkenal kebesarannya ke
seluruh mancanegara, dari Tiongkok hingga Eropa. Namun, hingga saat ini usaha
perumusan tersebut be um membuahkan hasil yang final dan memuaskan. Bahkan
kita tampaknya perlu jujur bahwa masyarakat Indonesia telah banyak yang teralihkan
perhatiannya kepada kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Eropa dan Amerika.
Untuk itu penting bagi kita semua melakukan upaya pengembangan kebudayaan
Indonesia secara terus-menerus. Rumusan nilai-nilai luhur yang tertuang dalam UUD
1945 dan Pancasila perlu untuk terus disempurnakan secara berkelanjutan agar
kebudayaan nasional sebagai identitas ke [29/03/2023 17:18] Salsabila Febriani:
bangsaan teraktualisasi secara nyata dalam kehidupan ber- bangsa dan bernegara kita.
Prinsip-prinsip pengembangan kebudayaan Indonesia sebagaimana telah dilakukan
oleh generasi sebelumnya penting mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. Jujur
b. Tanggung jawab:
c. Menepati janji:
d. Toleransi;
e. Berpedoman pada kebudayaan Indonesia.
f. Tanamkan minat sejak dini pada kebudayaan daerah Indonesia; dan
Mempelajari dan mengenali kebudayaan daerah Indo-nesia (tarian, kerajinan
tangan, seni bertutur, alat musik, membangun rumah kebudayaan daerah, dan
lain-lain).
"Hanya manusia yang memiliki kebudayaan," begitu ki- ra-kira teori Erns Cassirer,
seorang ahli lingustik asal Swiss, dalam bukunya An Essay on Man. Disebutkan
olehnya bahwa kebudayaan atau budaya merupakan ciri penting (khas) dari manusia,
yang membedakan manusia dengan binatang. Mengulang bahasan sebelumnya,
mengapa hanya manusia yang memiliki kebudayaan, sedangkan binatang atau
makhluk lainnya tidak? Pendapat ini berangkat dari pemahaman bahwa manusia
merupakan animal symbolicum atau binatang yang mengkreasi simbol. Sebab itu,
hanya manusia yang dapat melakukan simbolisasi terhadap sesuatu. Manusia
merupakan makhluk yang mampu menggunakan, mengembangkan. dan menciptakan
lambang-lambang atau simbol-simbol untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Sementara itu, apa yang dimaksud dengan simbol? Definisi konsep simbol atau
lambang ialah segala sesuatu yang dimaknai di mana makna dari suatu simbol itu
mengacu pada konsepsi yang dibuat oleh komunitas masyarakat ter- tent. Wujud dari
simbol dapat berupa tulisan, suara, bunyi, gerak, gambar, tanda, atau suatu keadaan
tertentu.
Oleh karena hanya manusia yang dapat melakukan pe- maknaan terhadap sesuatu dan
sesuatu yang dimaknai ini merupakan sebuah lambang hasil kreasi manusia sendiri,
dan proses simbolisasi ini melahirkan kebudayaan, maka kebudayaan dalam hal ini
dapat didefinisikan sebagai seperangkat atau keseluruhan simbol yang digunakan atau
dimiliki manusia dalam hidupnya untuk dapat melakukan reproduksi dan menghadapi
lingkungannya, yang diperoleh lewat proses belajar dalam kehidupannya sebagai
anggota suatu masyarakat atau komunitas. Di sini perlu dicatat bahwa setiap manusia
beserta komunitasnya memiliki perangkat simbol dan proses simbolisasinya (proses
berkembangnya kebudayaan) masing-masing, sehingga pemaknaan atau penafsiran
yang lahir juga beragam. Hal inilah yang kemudian melahirkan diversifitas budaya
dalam kehidupan manusia.
Catatan berbudaya seperti apakah yang perlu ditanamkan ke setiap generasi bangsa
terhadap kebudayaan Nusantara kita. Adalah di antaranya dengan menjaga sikap jujur
dan bertanggung jawab terhadap setiap perubahan nilai, aktivitas bersosial dan
bermasyarakat serta produk kebudayaan yang dihasilkannya. Tanpa harus tertutup
terhadap kebudayaan luar, pelestarian kebudayaan sendiri merupakan prioritas utama
untuk menegaskan identitas kebangsaan dan kenegaraan kita.
Untuk itu manusia dalam berbudaya berkewajiban bersikap dan berperilaku yang
halus, serasi, serta tepat dalam mengamalkan nilai idea, aktivitas sosial, kebudayaan
ma teri, di bidang keyakinan, ilmu dan keterampilan, peralatan hidup, pemenuhan
kebutuhan rutin, berorganisasi, bertutur kata dan berkomunikasi, serta berkesenian,
yang hidup da lam masyarakat pendukung kebudayaan itu. Dengan kata lain, manusia
harus menjaga akhlak mulianya yang meliputi, etika, tata krama, budi pekerti, moral,
susila, sopan santun baik yang tertuang dalam simbol-simbol maupun yang harus
muncul dalam perilaku keseharianan.
Definisi budaya populer yang umum digunakan adalah segala bentuk ide, prespektif,
sikap, gaya, style yang mudah dikonsumsi atau disukai, mudah dimengerti dan
berbeda dengan arus utama atau mainstream dan umumnya dikem- bangkan melalui
teknologi, media informatika dan pasar industri. Karena itu, budaya populer sering
kali dipandang sebagai budaya remeh, kurang intelek dibandingkan dengan budaya
yang sudah mapan selama ini. Tuduhan atau bahkan hujatan tersebut penting dikaji
untuk tidak terjebak pada de- bat kusir tak berkesudahan.
Meskipun definisi di atas belum sepenuhnya mewakili arti budaya populer, tetapi hal
mendasar dari keberadaan budaya populer adalah kemunculannya dari hasil produksi
komersial atau industri. Dengan demikian, pengguna kebudayaan adalah para
konsumen media dan teknologi yang menjadi pangsa pasar industri. Atau dengan kata
lain, mengeksplorasi kebudayaan yang diinginkan produsen menjadi sebuah produk
industri kebudayaan.
Ciri umum budaya populer adalah di antaranya (1) ada-nya tren atau tingkat kesukaan
publik yang relatif tinggi. Memiliki (2) tingkat pemahaman yang mudah diingat,
mudah dimengerti, sehingga publik mudah menerimanya dan mudah dinikmati.
Karena umumnya budaya populer bersifat masif atau tren, maka (3) ia mudah
diadaptasi atau diterima bahkan dijiplak atau menduplikasinya. Berikutnya adalah (4)
umumnya bersifat berkala, durasi, momentum, era tertentu, atau dengan bahasa lain
tidak bertahan lama, umumnya mudah dilupakan setelah sekian lamanya menjadi
tren. Hanya beberapa budaya tertentu saja yang tetap bertahan dengan keunikannya
dan tetap diadaptasi seperti coca cola atau jeans. Ciri pokok lainnya adalah (5)
mengandung un- sur nilai keuntungan (profit), dan ini menjadi ciri utama dari budaya
propuler.
Di seluruh dunia dan termasuk Asia, ritel menjadi semakin modern, berkonsolidasi,
dan semakin kuat dalam hal daya beli. Kunci tren kedua adalah bahwa konsumen
semakin memiliki pengetahuan serta lebih banyak akses untuk men- dapatkan
informasi dan menginginkan penawaran yang se- suai dengan kebutuhan mereka.
Dari sisi nilai, konsumen bersedia membayar lebih untuk bahan berkualitas tinggi.
Konsumen akan terus menuntut seiring meningkatnya kelas menengah dan daya beli
mereka, seiring dengan semakin sibuknya orang sebagai bagian dari keluarga dan
bergerak dan menjadi bagian dari meningkatnya populasi urban.
Menurut sumber Nielsen Newsletter 2011, umumnya orang Indonesia telah memiliki
ponsel dan akses online naik tiga kali lipat sejak lima tahun terakhir, menjadi 22%.
Seiring meningkatnya konsumsi internet, maka frekuensi penggunaannya pun
meningkat. Mayoritas pengguna inter- net mengakses internet beberapa kali dalam
seminggu; per- sentasenya meningkat terutama dalam tiga tahun terakhir dari 24%
menjadi 38%. Menyimak hasil penelitian dimaksud hidup yang jauh dari konteks
masyarakatnya. Idi Suborly (2007) menjelaskan tentang pandangan dari sejumlah pak
yang menyebutkan bahwa budaya populer yang bersifat kon sumtif tersebut
sebenarnya tidak ditentukan oleh pihak lur atau oleh pihak produsen (source), yaitu
para industrial kapitalis, tetapi ditentukan oleh dirinya sendiri (khalayak penikmat).
Namun demikian, media massalah yang mampu menjangkau pelosok Tanah Air,
yang menyebabkan pa konsumen (khalayak) tersebut menjadi terdesak untuk di
dominasi oleh produk materiel dan non-materiel dari bu daya populer.
Hemat penulis juga tidak jauh dari pandangan Idi, bah- wasanya konsumen, audiensi
atau pemirsa televisi dan media elektronik lainnya dapat dibedakan dalam tiga
kelompok. Yakni pemirsa pasif atau preffered reading, pemirsa moderat atau
negotiated reading, dan pemirsa kritis atau alternative! oppositional reading.
Kesemuanya adalah mereka yang ngonsumsi hasil kebudayaan dalam media sebagai
sebuah me komoditas. Bedanya kelompok pertama, menyaksikan semua tayangan
atau produksi media tanpa reserve atau menerima apa saja tayangan yang
disenanginya. Kelompok kedua adalah pemirsa yang melihat setiap tayangan sesuai
pilihan, kadang yang disenangi, sesutul kebutuhan, atau alasan lainnya. Sementara
kelompok ketiga adalah kategori pemirsa atau konsumen yang kritis terha dap semua
isi dan subtansi tayangan/media. Dari temuan O'shaunessy umumnya media menyasar
kelompok pertama. Data hasil penelitian The Nielsen Company misalnya
menyebutkan
Gelombang budaya populer makin gencar tak hanya da- lam tayangan televisi, tetapi
juga telah memasuki ruang kesa- daran penonton, sehingga meniru atau menduplikasi
segala hal yang menjadi tren dalam kehidupan keseharian mereka sebagai suatu yang
biasa dan wajar. Karena itu media tidak saia berhasil menjual produknya, tetapi lebih
jauh secara sa- dar atau tidak telah turut mengubah perilaku masyarakat se- bagai
konsumen. Keberhasilan media tidak lepas dari keber- hasilan media menangkap
kultur masyarakat kita yang lebih banyak memiliki waktu luang dibanding waktu
produktif. Entah konteks kultur lokal yang lebih santai, konsumtif, ba- nyak memiliki
waktu senggang atau waktu luang ataukah dunia industri media yang telah
menjadikan masyarakat lo- kai menjadi demikian, keduanya saling berkelindan.
Di antara sorotan dampak budaya populer melalui me- dia lainnya adalah tentang
imaji perempuan dan laki-laki. Tak dapat dimungkiri jika gambaran wanita cantik
atau laki- laki tampan dilukiskan dengan keinginan industri (primary difiner) bidang
kecantikan, modelling, kosmetika dan kon- sepsi maskulin atau feminis yang sering
kali jauh dari reali- tas lokal. Misalnya cewek cantik adalah yang berkulit halus,
putih, langsing, atau yang bertampang komersial (seperti yang dilukiskan di iklan
kosmetik, sinetron, ataupun film), atau selalu mengenakan busana religi sebagai
ungkapan tak- wa. Sementara lelaki menarik adalah diidentifikasikan tidak saja
tampan dan kekar berotot, juga ditambah lagi suka sembahyang.
Tak heran kemudian jika kehidupan dalam dunia si- netron turut memanipulasi
kehidupan nyata baik secara sa- dar atau tidak. Bahkan tak jarang jatuh pada
pemujaan gaya.
Kekhawatiran atas gencarnya budaya populer atas erosi nilai-nilai budaya lokal,
kepercayaan diri atau menurunnya rasa nasionalisme merupakan hal yang wajar.
Dapat dilihat dari misalnya demam Korea (Korean wave) atau populernya K-drama.
Terinspirasi dengan boys band dan girls band Korea, duplikasi banyak boys band dan
girls band Indonesia ber munculan, di antaranya Smash, Max 5.7 Icons, ataupun MR.
Bee. Hampir semua acara televisi pun mulai mengemas pro- gram acaranya dengan
kesan Korea. Sebut misalnya sinetron yang dibuat Trans TV berjudul Cinta Cenat
Cenut, selain melibatkan personel Smash, segala atribut dan desain sinct- ron
menggambarkan bagaimana gaya rambut, dandanan. fashion, dan pernak-pernik ala
Korea. Demikian juga iklan pun ikut menampilkan kesan Korea dalam tayangan
televisi semakin jelaslah bahwasanya masyarakat Indonesia kontemporer sangat
mengedepankan pencitraan. Lewat gaya hidup, gaya berpenampilan, hingga bertutur
sapa, merupakan komoditas utama dari pencitraan produk-produk media populer
Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari kerja sama antara penguasa kebijakan dan para
pengusaha media yang berpo ros pada kapitalisme media populer.
Catatan lainnya adalah konsumen tidak selamanya bersikap kritis dengan semua
media, sebaliknya juga tidak sela manya pasif (menerima apa adanya layaknya orang
awam) dengan semua tayangan media. Tidak sedikit yang menonton visualisasi
kekerasan dalam tayangan televisi, meski ada juga yang menolaknya. Media saat ini
tak sekadar sebagai sum- ber informasi, tetapi juga media hiburan, bersantai, mengisi
waktu luang, bahkan meminjam istilah Idy Subandy, media telah menjadi "tradisi
lisan kedua" yang masuk dalam ruang- ruang privat, seperti keluarga. Dapat
disimpulkan bahwa me dia populer bukan saja menyajikan produk kebiasaan baru.
tetapi telah secara sadar atau tidak memberikan ideologi atau tatanan nilai yang baru
di tengah masyarakat.
Kebudayaan populer bukan semata tentang apa yang fungsionil atau yang praktis.
Karena itu ia berpengaruh pula terhadap identitas, kesenangan dan arti-arti (makna).
Artinya, kebudayaan populer tidak dapat ditem- patkan sebagai budaya orang-orang
bawahan meskipun ia terlahir atas kritik budaya mapan. Budaya populer dapat me
wujud sebagai materi, kebiasaan, gaya hidup bahkan ideolo- gi baru yang
memberikan dampak positif dan negaif seka- ligus bagi konsumennya
(penggunanya). Artinya, budaya populer bukan semata milik kapitalis, ia juga dapat
menja- di milik komunis, Islam, Barat, dan ideologi lainnya yang menyertai produk
kebudayaan bara melalui media. Kehadirannya melengkapi kebudayaan yang
berkembang mapan di masyarakat, kemungkinan mengancam yang sudah ada,
kemungkinan lainnya dapat menguatkan tatanan struktur sosial yang telah mapan.
Pembedanya adalah budaya populer akan selalu tampil instan, untuk tujuan
menghibur, seni, memenuhi kebutuhan menyenangkan, solusi cepat atas penampilan
hidup atau bahkan pengobatan penyakit. Hal tersebut tidak tumbuh da- ri evolusi
budaya atau difusi budaya, akan tetapi terlahir dari kreasi fantasi hingga temuan
penelitian yang bersifat sain- tilik. Jika ia diadopsi secara cepat akan mengguncang
hingga menghilangkan kekuatan budaya yang sudah ada. Tantangan lainnya adalah
pada umumnya pembawa budaya populer tidak bertangung jawab karena
kehadirannya yang sporadis, bukan seperti pranata dalam budaya yang terdapat pada
berbagai suku bangsa yang hidup di suatu negara.
Ungkapan khusus seperti, ilmiah, keren, funky, daz adalah ungkapan yang secara
tidak langsung menuj kondisi rendah diri. Ungkapan-ungkapan tersebut sering kali
dilekatkan kepada kebudayaan Barat, sedangkan kebu dayaan daerah di Indonesia,
sepertinya jauh dari ungkap ungkapan tersebut. Hal ini memang tidak sepenuhnya be
masalah, karena Barat memang memiliki keunggulan da bidang-bidang tertentu,
seperti di bidang sains (ilmu peng tahuan). Namun, penilaian kebudayaan Barat lebih
superior dan kemudian fenomena masyarakat Indonesia meninggal kan
kebudayaannya sendiri yang sudah lama dihidupi, tentu menjadi suatu masalah.
Kebudayaan daerah di Indonesia ditinggalkan hanya karena dicitrakan tidak ilmiah,
kereil dan sebagainya. Padahal, mulai disadari bahwa kebudayaan daerah di
Indonesia memiliki keunggulan-mulai dari pan- dangan tentang alam hingga pranata
sosial. Dan juga ma syarakat Barat mulai menyadari kekurangan kebudayaan mereka
sendiri-yang terlihat lewat gairah dan ketertarikan kebudayaan Timur sebagai
penawar kegelisahan mereka.
Indonesia kurang dicitrakan dan kurang dikenali oleh se- bagian masyarakat
Indonesia yang hidup mulai masa 70-an. Tentu, usaha untuk mengenali kebudayaan
Indonesia ada- lah tugas yang diemban oleh setiap warga negara Indonesia.
Pengenalan ini merupakan salah satu modal untuk memi- liki dan mengembangkan
kebudayaan Indonesia. Minimnya pengenalan ini, merupakan salah satu faktor yang
membuat rendahnya rasa kepemilikan dan keinginan untuk mengem- bangkan
kebudayaannya sendiri.
Problem kebudayaan dewasa ini antara lain adalah ter- jadinya penafsiran budaya
yang cenderung keliru. Hal terse but akibat miskomunikasi budaya antargenerasi
yang terus- menerus terjadi. Padahal, sebagai sistem gagasan yang terdiri dari nilai-
nilai, norma dan aturan, kebudayaan harus dilihat dalam tiga aspek sekaligus, masing-
masing proses pembel- ajaran, konteks, dan pelaku pendukung kebudayaan. Ketiga
aspek ini dapat menentukan seberapa besar dan kuat peran kebudayaan dalam
membangun kehidupan lebih baik. Revi talisasi kebudayaan merupakan proses logis
dari bagaimana kebudayaan berperan dalam pembangunan dengan tanpa
meninggalkannya atau bahkan melupakannya.
Kebudayaan selamanya merupakan langkah strategis pembangunan bangsa.
Alasannya, belum ada suatu usaha yang teruji untuk mengakomodasi budaya lokal di
tingkat nasional, sehingga ternyata perjalanan bangsa sampai kini masih menuju pada
kondisi yang memprihatinkan secara budaya. Contohnya, konflik yang menggunakan
atau me- manipulasi simbol-simbol budaya. Padahal tujuan akhir dari pengembangan
kebudayaan pada hakikatnya adalah peradaban. Sebagai bangsa yang beradab
(civilized society)