Anda di halaman 1dari 6

177

REFLEKSI EKSISTENSIALISME DALAM ILMU HUKUM


(SUATU UPAYA HUMANISASI TERHADAP TEORI ILMU HUKUM)
Oleh:
Hermansyah
Fakultas Hukum Universitah Tanjungpura Pontianak

Abstract
The existentialism of philosophy has concern and admits the uniqueness of the human being. The
effort of the theorititation of law should be back to the good of human being aspect as individual
and also the community. Uniforming to the individual thinking in universal term as well as in
positivism theory (law) will have given a fence for the human being freedom like represent of the
denial in the existing individual variety, so that the existence becoming limited by human meaning.
Theory compilation for social fact that perceived have peep out the regular nature, it is
representing just a few of the human being side that have the richness of value.

Kata Kunci: humanisme, alienasi, eksistensialisme, ilmu hukum

A. Pendahuluan cabut secara perlahan dan mungkin secara


Michel Foucault1 adalah seorang filosof paksa pada aras pengetahuan yang diciptakan
Perancis yang melakukan refleksi filosofis yang oleh manusia itu sendiri. Manusia bukan lagi
lama terhadap ilmu pengetahuan, dalam pen- titik sentral utama dalam ilmu pengetahuan,
carian mengenai hakekat ilmu pengetahuan, artinya ilmu pengetahuan tidak lagi mengabdi-
dia akhirnya menyimpulkan bahwa manusia kan dirinya pada manusia secara utuh (ideal
memasuki era kematiannya sendiri, kamatian Bacon), atau ilmu pengetahuan tidak lagi
manusia atau la mort de l’homme adalah isti- mengabdi semata-mata pada ilmu pengetahuan
lah yang diciptakan oleh M. Foucault setelah (Ideal Aristoteles), tetapi mengabdi kepada
kematian Tuhan yang digagasi oleh Nietzsche. bagian dari sisi manusia, misalnya kekuasaan,
Orang boleh tidak sependapat dengan M. keserakahan, atau berbagai macam ideologi
Foucault, atau mungkin melakukan interpretasi yang mewarnai, mewarnai dan mendominasi
lain. Sedangkan penulis melihat ini merupakan kehidupan manusia.
suatu metafor yang ingin mendiskripsikan dan Ilmu pengetahuan tidak lagi dibentuk
mengeksplanasikan bergesernya posisi manusia oleh pilar-pilar kebaikan, keindahan, keten-
dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dan teraman, kebahagian yang merupakan sekian
kematian manusia sebagaimana yang dimaksud- banyak dari nilai yang terdalam yang ada pada
kan oleh M. Foucault bukan merujuk pada suatu manusia. Tetapi cenderung dibangun atas
pemahaman agama tentang kiamat (the end of kerangka kebenaran, yaitu kebenaran yang
the world), yang menghacurkan semua alam rasional dan empirikal, dan dengan sendirinya
jagad raya beserta isinya, kecuali sang Pencipta menafikan manusia yang selalu mencari ke-
sendiri. Tetapi suatu konsep tentang hilangnya benaran yang transendental.
“manusia“ dari roh dan ranah ilmu pengetahu- Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
an yang merupakan kategori istimewa dalam manusia menjadi terasing (alienasi) terhadap
pemikiran manusia itu sendiri. Manusia ter- konsep yang mereka ciptakan sendiri, susah
dipahami bahkan tidak mempunyai kemampuan
1
M. Foucault lahir pada tahun 1926 di Poitiers Francis, untuk memberikan jawaban terhadap per-
karir intelektualnya dimulai pada tahun 1954 dengan
keluarnya buku pertama beliau dengan judul: Maladie tanyaan dan kepentingan manusia itu sendiri
Mentale Et Personnalite (Penyakit jiwa dan untuk hadir dimuka bumi ini. Manusia menjadi
kepribadian). Lebih lanjut lihat K. Berteen, 1985,
Filsafat Barat Abad XX, Jilid II Perancis, Jakarta: obyek semata tanpa bisa menghadirkan Kediri-
Penertbit PT. Gramedia, hlm 469-472.
178 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 8 No. 3 September 2008

annya sebagai subyek, pengetahuan hanya me- kemunculannya dianggap sebagai bentuk reaksi
lakukan rekayasa eksternal manusia, tanpa yang keras terhadap filsafat materialisme dan
harus mau tahu aspek internal (jiwa) manusia. idealisme.
Tanpa terkecuali dalam bidang hukum, Salah satu keberhasilan dari ilmu pe-
kematian sudah mulai menampakan ajalnya. ngetahuan (hasil dari budaya barat) adalah
Yang tampak dalam wajahnya hanya sosok memisahkan dirinya dengan agama. Dalam
peraturan perundang-undangan, aturan main, perspektif ilmu pengetahuan, agama seakan
mekanisme pertanggung-jawaban, mekanisme bukanlah ilmu pengetahuan, karena tidak
atau prosedural pemeriksaan, bukti formal yang dibangun atas dasar pijakan rasional dan
bisa dimanifulasi. Persidanganpun tidak lebih empirikal, kebenarannya tidak dapat diverifi-
dari sekedar “dagelan” dengan pemain yang kasi maupun difalsifikasi. Bahkan oleh Marx
bermuka ganda bahkan mungkin tidak karuan. agama dituduh sebagai penghambat utama bagi
Sejak semula Undang-undang sudah diperkenal- kemajuan manusia (ilmu pengetahuan, pen).
kan sebagai suatu yang sangat sakral, sehingga Atau mungkin juga mereka mengakui kebenaran
dalam kondisi apapun undang-undanglah yang agama, tetapi menjauhkan diri dari wacana
tetap dipegang meskipun masyarakat tidak agama ketika membicarakan suatu teori ilmu
mengetahui akan hadirnya undang-undang ter- pengetahuan, karena dianggap tidak dapat di-
sebut dalam ranah kehidupan atau kondisi kategorikan sebagai seorang intelektual, tetapi
sosial masyarakat yang sudah berubah. Hukum seorang yang rohaniawan, ini penyakit lain dari
dijadikan instrumen yang ampuh bagi wajah- seorang yang menggeluti ilmu pengetahuan.
wajah demokrat tapi berhati anarki dan tirani. Penyadaran diri akan keberadaan kita
Hukum seakan terlepas dari kontek “ke-aku- sebagai manusia merupakan cara lain untuk
an“ menuju pada konteks “ke-kamu-an/ke- tidak mematikan manusia secara cepat dalam
mereka-an“. ilmu pengetahuan. Pengembangan dan pe-
Kondisi inilah yang mungkin membuat ngembilan keputusan yang didasarkan pada
begawan dan intelektual hukum indonesia yaitu mazhab dalam ilmu pengetahuan dan me-
Satjipto Rahardjo, merasa gelisah, khawatir, nyangkut orang banyak haruslah disadari betul
tetapi tidak sampai pada putus asa, untuk sebagai upaya memanusiakan manusia, se-
secara terus menerus mengatakan dan maksimal mungkin memenuhi kebutahan ter-
meneriakkan bahwa sebenarnya hukum adalah dalam dari manusia berupa kebahagian,
masalah kita, yang dicari dan diinginkan oleh ketenangan dan menatap kehidupan dengan
manusia dengan hukum adalah kebahagian, keindahan, bukan dengan rasa cemas tidak ber-
bukan retorika yang tidak dipahami oleh orang kesudahan, kesusahan dalam memenuhi ke-
banyak2. butuhan hidup, tipisnya rasa solidaritas sesama
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, manusia.
salah satu sasaran yang ingin ditampilkan
melalui tulisan sederhana ini adalah mencoba B. Eksistensialis: Proyek Humanisme
melihat teori hukum yang selama ini berkem- Kemunculan eksistentialis tidak lepas
bang terutama dengan pendekatan eksisten- dari bentuk perlawanan atau pemberontakan
sialisme, yang merupakan salah satu aliran terhadap berkembangnya filsafat materialisme
filsafat yang berkembang cukup pesat, serta dan idealiasme pada saat itu, terutama ke-
beradaan manusian dalam menjalajahi kehidup-
2
annya. Dua filsafat ini (materialisme dan
Jika diteliti secara tematik, penulis melihat Satjjipto
Rahardjo merupakan seorang eksistensialis yang teistik, idealisme) melihat manusia pada titik-titik
artinya dalam analisisnya hukum selalu dilihat dalam ekstrim yang saling berhadapan satu dengan
perspektif kemanusiam, dengan mengaitkan persoalan
kemanusian, seperti kebahagaian yang merupakan tema- yang lainnya. Meskipun memiliki benih-benih
tema pokok yang dibicarakan dalam eksistensialis.
Refleksi Eksistensialisme dalam Ilmu Hukum 179

kebenaran, namun karena keekstrimannya eksistensialisme, terutama Sartre adalah “studi


maka masing-masing memperlihatkan titik tentang struktur yang ada dari mengada di
kelemahan, kalau tidak mau dikatakan salah, ambil sebagai totalitas” (the study of the
dan eksistensialisme merupakan jalan keluar structure of being of the existence taken as a
dari kemelut kedua filsafat besar tersebut.3 totality).6 Lebih lanjut dia mengatakan bahwa
Materialisme meletakan dasar pemikiran “ontology describes being itself, the conditions
bahwa manusia hanya merupakan sebuah by which “there is” a world, human reality”.7
materi ketika dia berada didunia ini. Pada sisi Jadi disini bukan ada itu sendiri yang menjadi
ini sering materialisme dikatakan berangkat dasar ontologinya tetapi menggambarkan ten-
dari aspek bawah (jasmani) dan hal inilah yang tang ada itu sendiri, terutama struktur tentang
ditentang oleh eksistensialisme dimana manusia ada, yaitu manusia yang bukan semata-mata
dalam menjalani keberadaannya harus bisa substansi atau proses.
menetapkan dan memberi nilai. Hal yang sama Sartre, ketika berbicara mengenai onto-
dikatakan juga oleh Lacey bahwa “a feature of logi, dia membedakan secara pasti antara onto-
human existence, for existentialists, is that logi dengan metafisika. Kant dan Descartes
men are active and creative while things are dinilainya bekerja berdasarkan metafisika
not. Things are simply what they are, but men bukan ontology, karena baik Kant maupun
might be other than they are. Men must Descartes masih mencari jawaban dibalik “ada”
choose, and (at least on some versions) not like itu sendiri. Oleh karena itu kesadaran menjadi
tings, already determined “existence precedes dasar ontologinya yang paling dalam dari
essence for men”.4 “ada/being” itu sendiri.
Pada sisi lain idealisme justru ber- Mendasari ontologi kesadaran tentang
pandangan dan melihat manusia yang lepas dari adanya akan keberadaan di dunia ini, maka
alam realita, karena meletakkan dasar pan- statement yang sangat terkenal dari Sartre
dangannya pada kesadaran yang tidak ber- adalah “eksistensi mendahului esensi”. Maksud-
hubungan sama sekali dengan alam jasmani nya adanya suatu itu selalu didahului adanya
manusia, sehingga menurut Drijarkara, konsep kesadaran tentang sesuatu tersebut. Guna
kesadaran pada idealisme merupakan konsep memberikan penyederhanaan terhadap konsep-
yang mengawang-awang.5 nya ini, contoh yang biasa diberikan misalnya
Dengan tidak bermaksud lebih jauh esensi pisau, sebagai alat pemotong. Dalam
melihat persoalan yang muncul dalam aliran pemikiran eksistensialis, bukan tujuan dan
filsafat materialisme dan idealisme ini, kiranya keguanaan pisau itu yang diutamakan, tetapi
hal yang penting berkenaan tulisan ini adalah, adanya pemahaman bahwa sebelum adanya
mengetahui dan menelusuri dasar-dasar pe- pisau tersebut, sudah ada subyek (yang dalam
mikiran eksistensialisme, terutama yang me- hal ini pembuat pisau tersebut) yang mem-
nyangkut aspek ontologi, yang merupakan ke- punyai konsep tentang pisau, termasuk keguna-
khasan tersendiri dari eksistensialisme, serta annya dan jenisnya. Sehingga bukan definisi
aspek-aspeknya untuk kemudian melakukan suatu istilah yang terpenting, eksistensi suatu-
refleksi terhadap teori hukum yang dewasa ini lah yang lebih diutamakan.
berkembang.
Agak berbeda dengan pengertian ontologi
pada umumnya, ontologi yang dimaksud dalam

3 6
Drijarkara, 1962, Percikan Filsafat, Jakarta: Penerbit Jean Paul Sartre, 1956, Being And Nothingness, Essay On
P.T. Pembangunan, hlm. 58 Phenomenological Ontology, diterjemahkan oleh H.E.
4
A. Lacey, 1976, A Dictionary of Philosophy, London: Barnes, New York: Philosophical Library, hlm. 632.
7
Routledege And Kegan Paul, hlm. 64. Ibid
5
Drijarkara, op.cit, hlm. 59.
180 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 8 No. 3 September 2008

C. Aspek-aspek eksistensialisme dalam dalam perspektif eksistensialis tidaklah dapat


Hukum melepaskan subyek yang menciptakan hukum
Beranjak dari dari ontologinya eksis- tersebut, jadi bukan esensi hukum itu yang
tensialisme, yang melihat masalah manusia penting, tetapi eksistensi individu, atau ko-
sebagai hal yang utama, maka eksistensialisme munitas yang menciptakan tentang hukum.
tidak berusaha memberikan pengertian dan Pertanyaan berikutnya bukan apa yang di
definisi eksistensialisme itu apa. Namun demi- maksud dengan hukum, tetapi apakah tujuan
kian eksistensialisme merupakan suatu usaha hukum tersebut sudah merupakan ejawantah
untuk menyadarkan manusia pada “the basic, dari individu akan konsepsi keseluruhan hidup-
even banal, realities of human life; realities nya.
such as death, anxiety, choice, love, freedom, Pembentukan teori – terutama teori
guilt, conscience, the willing acceptance of yang didasari pada paradigma positivism –
anxiety, etc.8 ontologi selalu didasari pada pengertian ada
Oleh karena itu, pemberian defenisi me- yang substansial, sehingga selalu menekankan
ngenai eksistensialisme merupakan suatu hal pada arti dan makna yang dapat terinderai dan
yang sia-sia, sebab yang terpenting bukan terukur, semisal keteraturan prilaku. Pada hal
esensi dari konsep tetapi eksistensi konsep dalam perspektif “eksistensi mendahului
tersebut. Oleh karena itu eksistensialisme men- esensi”, pembentukan teori (teori sosial pada
jelajahi persoalan-persoalan mendasar manusia umumnya) tidaklah dapat mengabaikan pada
demikian luas dan dalamnya. Meskipun demi- kondisi lain yang sementara waktu dinilai oleh
kian, Gordon E. Begelow mencoba menyimpul- positivisme sebagai hal yang bukan obyek
kan karakteristrik dari eksistensialisme ini, pengetahuan, misalnya kebahagian, ketentram-
dimana menurut Michael W. Alssid, & William an, kebebasan yang sifatnya lebih memper-
Kenney9 upaya Gordon E. Bigelow ini agak sem- lihatkan aspek ketidakteraturan.
brono (reckless). Karakteristik ini merupakan Oleh karena itu ketidakberpihakan suatu
“area of agreement” dari setiap orang yang nilai (value free) dalam suatu teori menurut
mencoba membahas masalah eksitensialisme. Habermas merupakan suatu hal yang ilusi
Aspek pertama dari eksistensialisme sifatnya.11 Sebab menurutnya memandang fakta
yang cukup mendasar adalah “existence before sosial sebagai bebas nilai akan berakibat
essence” atau eksistensi mendahului esensi. manipulasi oleh fakta-fakta atas suatu teori
Bigelow menyatakan bahwa eksistensialisme ilmu, teori itu tidak menyadari bahwa fakta
lebih menekankan pengertian bahwa “…a man yang dijaringnya itu penuh dengan kepenting-
lives (has existence) daripada “…..a man is (has an-kepentingan dan nilai-nilai tersendiri.12
being or essence).10 Dalam arti bahwa secara Hanya memang ada perbedaan yang
esensi setiap manusia itu sama, tetapi secara mendasar ketika Habermas melakukan kritik
eksistensial setiap individu merupakan dunia terhadap bebas nilainya suatu teori – sebagai
yang tersendiri, yang berbeda dengan indvidu bagian dari mazhab frankurf – dengan men-
lainnya, dan hanya bisa difahami dalam pe- dasarkan pendapat Adorno. Habermas melihat
ngertian hidupnya yang khusus. esensi realitas sosial adalah sesuatu yang
Dengan mendasarkan pengertian “eksis- tersembunyi di balik permukaan dari apa yang
tensi mendahului esensi”, maka makna hukum nampak atau dari fakta-fakta yang diperkira-
kan, esensi itulah yang membuat fakta-fakta
8
William Stafford (ed), 1966, The Voice Of Prove, New
York: McGraw-Hill Book Company, hlm. 341-342
9 11
Michael W. Alssid, & William Kenney (eds), 1966, The Ignas Kleden, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,
World Of Ideas; Essay For Study, New York: Horlt Jakarta: LP3ES, hlm. 30.
12
Renehart And Winston Inc., hlm. 303. Ibrahim Ali Fauzi, 2003, Jurgen Habermas, Seri Tokoh
10
Ibid, hlm. 204 Filsafat, Jakarta: Penerbit Teraju, hlm. 44.
Refleksi Eksistensialisme dalam Ilmu Hukum 181

sebagai sesungguhnya.13 Pada hal dibalik nilai bentuk yang stagnasi, dan dari yang sifatnya
itu sendiri menurut eksistensialis adalah partikular ke universal.
eksistensi, yaitu manusia itu sendiri. Jadi nilai
tidak melekat pada esensi tetapi nilai langsung D. Penutup: Catatan akhir: awal kritik teori
korelasinya pada manusia sebagai eksistensi Eksistensialisme sebagai suatu pandangan
yang mendahului esensi. filsafat dari sekian banyak aliran filsafat telah
Aspek kedua dari eksistensialisme adalah memandang dan mengakui manusia dengan
“freedom” atau kebebasan. Bahkan Sartre ber- segala keunikannya, telah menyadarkan pada
pendapat jika kebebasan tidak ada, maka kita bahwa sebenarnya upaya teoritisasi dalam
manusia itu sendiri tidak ada (man is nothing ilmu (hukum) hendaknya harus berpulang ke-
else but that which he makes of himself),14 pada aspek-aspek manusia baik sebagai individu
meskipun tuhan itu tidak ada sekalipun, maka maupun bagian dari pada komuniti.
manusia tetap bebas. Pernyataanya yang Penyeragaman terhadap pandangan indi-
terakhir inilah yang menempatkan Sartre vidu dalam istilah universalitas merupakan
kedalam eksistensialis ateistik.15 Kebebasan di pengingkaran terhadap keanekaragaman akan
sini termasuk juga kebebasan menentukan dan individualitas yang ada, sehingga eksistensi
memilih nilai yang terbaik bagi setiap orang. menjadi termarjinalisasikan oleh esensi ke-
Tesis ini tentunya dapat merefleksikan manusiaan.
sampai sejauhmana teori yang dikembangkan Penyusunan teori atas fakta social yang
mampu memberikan ruang kebebasan pada teramati dan terinderai, dan oleh karena itu
manusia. Dengan meminjam cara kerja teori memunculkan sifat yang teratur, merupakan
dan metode ilmu alam, teori Positivisme bagian saja dari sisi manusia yang sangat kaya
(hukum) seakan telah memberikan suatu teralis akan nilai. Oleh karena itu seyogyanya upaya
bagi kebebasan manusia. Manusia dipandang teoritisasi akan menjadi bermakna bagi individu
sebagai bagian dari keinginan orang lain, jika peletakkan dasar-dasarnya tidak hanya
kebebasan yang diberikan adalah kebebasan pada nilai-nilai yang sifatnya teratur saja tetapi
tanpa alternatif. Karena pentaatan terhadap juga menyentuh aspek lain berupa, seperti
norma perilaku bukan pentaatan terhadap kebahagaian, kebebasan, kenyamanan, yang
norma yang diciptakannya sendiri, tetapi norma seakan tampak dalam ketidak teraturan.
yang diciptakan oleh pihak lain.
Hukum justru dipahami sebagai bentuk Daftar Pustaka
perintah dari penguasa yang sebelumnya dibuat
dan dituangkan dalam bentuk-bentuk yang
A., Lacey. 1976. A Dictionary Of Philosophy.
formal, sehingga hukum berubah bentuknya London: Routledege And Kegan Paul;
dari yang sifatnya tidak tertulis ke bentuk yang
Alssid, Michael W. & William Kenney, (eds).
tertulis, dari sifatnya yang elastis sebagai ben- 1966, The World Of Ideas; Essay For
tuk responsive terhadap kondisi sosial ke Study. New York: Horlt Renehart And
Winston, Inc.;
13
Zoltan Tat, 1977, The Frankfurt School, The Critical
Theory Of Max Horkkheimer And Theodor W. Adorno, Berteen, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX, Jilid
New York: A Wiley Interscience Publication, hlm. 159. II Perancis. Jakarta: Penerbit Gramedia;
14
Jean Paul Sartre, 1948, Existentialism And Humanism,
diterjemahkan oleh Ph. Mairet, Metheuen, London: Co Drijarkara. 1962. Percikan Filsafat. Jakarta:
15
& Ltd, hlm. 28. P.T. Pembangunan;
Dalam perkembangannya eksistensialis terbagi pada dua
golongan besar. Pertama eksistensialis ateistik, diwakili Fauzi, Ibrahim Ali. 2003. Jurgen Habermas, Seri
oleh Sartre, yang menafikan keberadaan tuhan sebagai Tokoh Filsafat. Jakarta: Teraju,.
sumber nilai, dantetap besikukuh pada manusialah yang
merupakan sumber nilai/norma itu sendiri. Kedua Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik
eksistensialis teistik, yang tetap mengakui keberadaan
Kebudayaan. Jakarta: LP3ES;
tuhan sebagai sumber nilai dan acuan manusia.
182 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 8 No. 3 September 2008

Sartre, Jean Paul. 1956. Being And Nothing- Stafford, William (ed). 1966. The Voice Of
ness, Essay On Phenomenological Onto- Prove. New York: McGraw-Hill Book
logy. diterjemahkan oleh H.E. Barnes, Company;
New York: Philosophical Library;
Tat, Zoltan. 1977. The Frankfurt School, The
--------------------. 1948. Existentialism And Critical Theory Of Max Horkkheimer And
Humanism. diterjemahkan Oleh Ph, Theodor W. Adorno. New York: A Wiley
Mairet, Metheuen, London: Co & Ltd.; Interscience Publication.

Anda mungkin juga menyukai