Abstract
The existentialism of philosophy has concern and admits the uniqueness of the human being. The
effort of the theorititation of law should be back to the good of human being aspect as individual
and also the community. Uniforming to the individual thinking in universal term as well as in
positivism theory (law) will have given a fence for the human being freedom like represent of the
denial in the existing individual variety, so that the existence becoming limited by human meaning.
Theory compilation for social fact that perceived have peep out the regular nature, it is
representing just a few of the human being side that have the richness of value.
annya sebagai subyek, pengetahuan hanya me- kemunculannya dianggap sebagai bentuk reaksi
lakukan rekayasa eksternal manusia, tanpa yang keras terhadap filsafat materialisme dan
harus mau tahu aspek internal (jiwa) manusia. idealisme.
Tanpa terkecuali dalam bidang hukum, Salah satu keberhasilan dari ilmu pe-
kematian sudah mulai menampakan ajalnya. ngetahuan (hasil dari budaya barat) adalah
Yang tampak dalam wajahnya hanya sosok memisahkan dirinya dengan agama. Dalam
peraturan perundang-undangan, aturan main, perspektif ilmu pengetahuan, agama seakan
mekanisme pertanggung-jawaban, mekanisme bukanlah ilmu pengetahuan, karena tidak
atau prosedural pemeriksaan, bukti formal yang dibangun atas dasar pijakan rasional dan
bisa dimanifulasi. Persidanganpun tidak lebih empirikal, kebenarannya tidak dapat diverifi-
dari sekedar “dagelan” dengan pemain yang kasi maupun difalsifikasi. Bahkan oleh Marx
bermuka ganda bahkan mungkin tidak karuan. agama dituduh sebagai penghambat utama bagi
Sejak semula Undang-undang sudah diperkenal- kemajuan manusia (ilmu pengetahuan, pen).
kan sebagai suatu yang sangat sakral, sehingga Atau mungkin juga mereka mengakui kebenaran
dalam kondisi apapun undang-undanglah yang agama, tetapi menjauhkan diri dari wacana
tetap dipegang meskipun masyarakat tidak agama ketika membicarakan suatu teori ilmu
mengetahui akan hadirnya undang-undang ter- pengetahuan, karena dianggap tidak dapat di-
sebut dalam ranah kehidupan atau kondisi kategorikan sebagai seorang intelektual, tetapi
sosial masyarakat yang sudah berubah. Hukum seorang yang rohaniawan, ini penyakit lain dari
dijadikan instrumen yang ampuh bagi wajah- seorang yang menggeluti ilmu pengetahuan.
wajah demokrat tapi berhati anarki dan tirani. Penyadaran diri akan keberadaan kita
Hukum seakan terlepas dari kontek “ke-aku- sebagai manusia merupakan cara lain untuk
an“ menuju pada konteks “ke-kamu-an/ke- tidak mematikan manusia secara cepat dalam
mereka-an“. ilmu pengetahuan. Pengembangan dan pe-
Kondisi inilah yang mungkin membuat ngembilan keputusan yang didasarkan pada
begawan dan intelektual hukum indonesia yaitu mazhab dalam ilmu pengetahuan dan me-
Satjipto Rahardjo, merasa gelisah, khawatir, nyangkut orang banyak haruslah disadari betul
tetapi tidak sampai pada putus asa, untuk sebagai upaya memanusiakan manusia, se-
secara terus menerus mengatakan dan maksimal mungkin memenuhi kebutahan ter-
meneriakkan bahwa sebenarnya hukum adalah dalam dari manusia berupa kebahagian,
masalah kita, yang dicari dan diinginkan oleh ketenangan dan menatap kehidupan dengan
manusia dengan hukum adalah kebahagian, keindahan, bukan dengan rasa cemas tidak ber-
bukan retorika yang tidak dipahami oleh orang kesudahan, kesusahan dalam memenuhi ke-
banyak2. butuhan hidup, tipisnya rasa solidaritas sesama
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, manusia.
salah satu sasaran yang ingin ditampilkan
melalui tulisan sederhana ini adalah mencoba B. Eksistensialis: Proyek Humanisme
melihat teori hukum yang selama ini berkem- Kemunculan eksistentialis tidak lepas
bang terutama dengan pendekatan eksisten- dari bentuk perlawanan atau pemberontakan
sialisme, yang merupakan salah satu aliran terhadap berkembangnya filsafat materialisme
filsafat yang berkembang cukup pesat, serta dan idealiasme pada saat itu, terutama ke-
beradaan manusian dalam menjalajahi kehidup-
2
annya. Dua filsafat ini (materialisme dan
Jika diteliti secara tematik, penulis melihat Satjjipto
Rahardjo merupakan seorang eksistensialis yang teistik, idealisme) melihat manusia pada titik-titik
artinya dalam analisisnya hukum selalu dilihat dalam ekstrim yang saling berhadapan satu dengan
perspektif kemanusiam, dengan mengaitkan persoalan
kemanusian, seperti kebahagaian yang merupakan tema- yang lainnya. Meskipun memiliki benih-benih
tema pokok yang dibicarakan dalam eksistensialis.
Refleksi Eksistensialisme dalam Ilmu Hukum 179
3 6
Drijarkara, 1962, Percikan Filsafat, Jakarta: Penerbit Jean Paul Sartre, 1956, Being And Nothingness, Essay On
P.T. Pembangunan, hlm. 58 Phenomenological Ontology, diterjemahkan oleh H.E.
4
A. Lacey, 1976, A Dictionary of Philosophy, London: Barnes, New York: Philosophical Library, hlm. 632.
7
Routledege And Kegan Paul, hlm. 64. Ibid
5
Drijarkara, op.cit, hlm. 59.
180 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 8 No. 3 September 2008
sebagai sesungguhnya.13 Pada hal dibalik nilai bentuk yang stagnasi, dan dari yang sifatnya
itu sendiri menurut eksistensialis adalah partikular ke universal.
eksistensi, yaitu manusia itu sendiri. Jadi nilai
tidak melekat pada esensi tetapi nilai langsung D. Penutup: Catatan akhir: awal kritik teori
korelasinya pada manusia sebagai eksistensi Eksistensialisme sebagai suatu pandangan
yang mendahului esensi. filsafat dari sekian banyak aliran filsafat telah
Aspek kedua dari eksistensialisme adalah memandang dan mengakui manusia dengan
“freedom” atau kebebasan. Bahkan Sartre ber- segala keunikannya, telah menyadarkan pada
pendapat jika kebebasan tidak ada, maka kita bahwa sebenarnya upaya teoritisasi dalam
manusia itu sendiri tidak ada (man is nothing ilmu (hukum) hendaknya harus berpulang ke-
else but that which he makes of himself),14 pada aspek-aspek manusia baik sebagai individu
meskipun tuhan itu tidak ada sekalipun, maka maupun bagian dari pada komuniti.
manusia tetap bebas. Pernyataanya yang Penyeragaman terhadap pandangan indi-
terakhir inilah yang menempatkan Sartre vidu dalam istilah universalitas merupakan
kedalam eksistensialis ateistik.15 Kebebasan di pengingkaran terhadap keanekaragaman akan
sini termasuk juga kebebasan menentukan dan individualitas yang ada, sehingga eksistensi
memilih nilai yang terbaik bagi setiap orang. menjadi termarjinalisasikan oleh esensi ke-
Tesis ini tentunya dapat merefleksikan manusiaan.
sampai sejauhmana teori yang dikembangkan Penyusunan teori atas fakta social yang
mampu memberikan ruang kebebasan pada teramati dan terinderai, dan oleh karena itu
manusia. Dengan meminjam cara kerja teori memunculkan sifat yang teratur, merupakan
dan metode ilmu alam, teori Positivisme bagian saja dari sisi manusia yang sangat kaya
(hukum) seakan telah memberikan suatu teralis akan nilai. Oleh karena itu seyogyanya upaya
bagi kebebasan manusia. Manusia dipandang teoritisasi akan menjadi bermakna bagi individu
sebagai bagian dari keinginan orang lain, jika peletakkan dasar-dasarnya tidak hanya
kebebasan yang diberikan adalah kebebasan pada nilai-nilai yang sifatnya teratur saja tetapi
tanpa alternatif. Karena pentaatan terhadap juga menyentuh aspek lain berupa, seperti
norma perilaku bukan pentaatan terhadap kebahagaian, kebebasan, kenyamanan, yang
norma yang diciptakannya sendiri, tetapi norma seakan tampak dalam ketidak teraturan.
yang diciptakan oleh pihak lain.
Hukum justru dipahami sebagai bentuk Daftar Pustaka
perintah dari penguasa yang sebelumnya dibuat
dan dituangkan dalam bentuk-bentuk yang
A., Lacey. 1976. A Dictionary Of Philosophy.
formal, sehingga hukum berubah bentuknya London: Routledege And Kegan Paul;
dari yang sifatnya tidak tertulis ke bentuk yang
Alssid, Michael W. & William Kenney, (eds).
tertulis, dari sifatnya yang elastis sebagai ben- 1966, The World Of Ideas; Essay For
tuk responsive terhadap kondisi sosial ke Study. New York: Horlt Renehart And
Winston, Inc.;
13
Zoltan Tat, 1977, The Frankfurt School, The Critical
Theory Of Max Horkkheimer And Theodor W. Adorno, Berteen, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX, Jilid
New York: A Wiley Interscience Publication, hlm. 159. II Perancis. Jakarta: Penerbit Gramedia;
14
Jean Paul Sartre, 1948, Existentialism And Humanism,
diterjemahkan oleh Ph. Mairet, Metheuen, London: Co Drijarkara. 1962. Percikan Filsafat. Jakarta:
15
& Ltd, hlm. 28. P.T. Pembangunan;
Dalam perkembangannya eksistensialis terbagi pada dua
golongan besar. Pertama eksistensialis ateistik, diwakili Fauzi, Ibrahim Ali. 2003. Jurgen Habermas, Seri
oleh Sartre, yang menafikan keberadaan tuhan sebagai Tokoh Filsafat. Jakarta: Teraju,.
sumber nilai, dantetap besikukuh pada manusialah yang
merupakan sumber nilai/norma itu sendiri. Kedua Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik
eksistensialis teistik, yang tetap mengakui keberadaan
Kebudayaan. Jakarta: LP3ES;
tuhan sebagai sumber nilai dan acuan manusia.
182 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 8 No. 3 September 2008
Sartre, Jean Paul. 1956. Being And Nothing- Stafford, William (ed). 1966. The Voice Of
ness, Essay On Phenomenological Onto- Prove. New York: McGraw-Hill Book
logy. diterjemahkan oleh H.E. Barnes, Company;
New York: Philosophical Library;
Tat, Zoltan. 1977. The Frankfurt School, The
--------------------. 1948. Existentialism And Critical Theory Of Max Horkkheimer And
Humanism. diterjemahkan Oleh Ph, Theodor W. Adorno. New York: A Wiley
Mairet, Metheuen, London: Co & Ltd.; Interscience Publication.