NIM : 50190059 MATA KULIAH : FILSAFAT ILMU DOSEN PENGAMPU : Pdt. WAHJU S. WIBOWO, M.Hum, Ph.D
DEKONSTRUKSI
Dari Modernisme ke Postmodernisme
“Modernisme” di bidang filsafat dapat diartikan sebagai gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh Descartes, kemudian dikokohkan oleh gerakan Pencerahan dan pada akhirnya mengabdikan diri hingga abad ke-20 melalui dominasi sains dan kapitalisme. Dari sudut pandang filsafat, modernisme memiliki karakter khas yaitu selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan (epistemé, Wissenschaft) tentang “apa” nya (ta onta) realitas, dengan cara kembali ke subjek yang mengetahui itu sendiri (dapat dipahami secara psikologis maupun transendental). Filsafat memang berpusat pada Epistemologi dalam modernisme. Maksudnya ialah epistelmologi yang bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang saling terpisah dan tak saling berkaitan satu sama lain. Namun, terdapat banyak konsekuensi yang dihasilkan oleh gerakan modernisme tersebut khususnya terhadap kehidupan manusia dan alam. I. Bambang Sugiharto dalam bukunya yang berjudul “Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat” menuliskan bahwa ada 6 konsekuensi dari gambaran dunia dan tatanan sosial yang dihasilkan oleh modernisme, yaitu: (1) krisis ekologi; (2) masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi; (3) timbulnya disorientasi moral-religius yang menyebabkan meningkatnya kekerasan, keterasingan, dan depresi mental; (4) dominasi materialisme yang menyebabkan persaingan ketat; (5) militerisme yang dilegitimasi oleh agama; dan (6) kebangkitan Tribalisme kembali (mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri). Kondisi dunia dengan segala konsekuensi negatif seperti pada paragraf di atas kemudian mendorong munculnya gerakan postmodern yang bertujuan untuk merevisi paradigma modern dan juga sebagai alat bantu untuk melihat berbagai gerakan yang ada secara lebih jernih dan global saja. Adanya klaim-klaim dari kaum postmodernis tentang berakhirnya “modernisme” pada hakikatnya menunjukkan berakhirnya anggapan modern tentang “subjek” dan “dunia objektif”. Lalu postmodernisme dipahami sebagai upaya-upaya untuk mengungkapkan segala konsekuensi dan berakhirya modernisme beserta metafisika tentang fondasionalisme dan representasionalismenya. Tidak ada yang dapat memastikan tentang kapan awal dari tumbangnya modernisme di bidang filsafat. Bagi pihak poststrukturalis, modernisme sudah berakhir sejak serangan- serangan awal atas fenomenologi yang dianggap semacam titik kulminasi dari Humanisme. Di lain pihak bagi dunia yang berbahasa Inggris, modernisme tumbang bersama dengan munculnya “filsafat Post-analitik”. Sedangkan di benua Eropa, modernisme sudah terlebih dahulu berakhir bahkan konon sejak Nietzsche mengadakan kritik dekonstruktif atas tradisi metafisik-platonik. Tumbangnya modernisme justru diyakinkan sejak awalnya pada saat Fenomenologi oleh Edmund Husserl muncul dan menjadi terkenal. Karya Husserl yang menjadi teks kunci dalam hal ini adalah The Idea of Phenomenology. Dalam karyanya itu, Husserl mencoba mengatasi persoalan subjek-objek dengan cara membongkar secara efektif paham tentang “subjek epistemologis” dan “dunia objektif”. Namun karena Husserl yang terlalu ambisi untuk menjadikan filsafat sebagai ilmu keras dengan logika ketat (strenge Wissenschaft), justru malah yang terjadi Husserl mengakhirinya dan membawa dampak ambigu dalam karyanya. Sehingga ketika Derida menyinggung tentang hal dalam mengkritik metafisik klasik fenomenologi justru menjalankan proyek terdasar metafisika. Maksudnya ialah bahwa secara hermeneutik akan lebih baik jika kita mengatakan fenomenologi Hsserl justru menghasilkan kritik yang memporakporandakan metafisika itu ketika Husserl dalam upaya mewujudkan proyek terdasar metafisikanya itu. Konsekuensi radikal dari upaya Husserl untuk menjadikan filsafat sebagai ilmu keras (rigorius science) telah dirumuskan oleh Gadamer dengan menyatakan bahwa pemikiran filosofis sama sekali bukanlah ilmu, bahkan tidak ada klaim tentang pengetahuan definitif kecuali satu yaitu pengakuan atas keterbatasan manusia itu sendiri. Dengan adanya pemikiran dasar seperti di atas maka timbullah beberapa konsekuensi, yang diantaranya ialah munculnya pertanyaan tentang bagaimana nasib upaya-upaya ilmiah–filosofis yang berusaha mengungkapkan “kebenaran objektif hal-hal”, jika segala teoretisasi ilmiah hanyalah soal idealisasi dan penafsiran pengalaman prailmiah? Haruskah Epistemologi sebagai disiplin ilmu yang diharapkan dapat menjamin kebenaran objektif setiap ilmu dan wacana (discoursei) manusia kemudian mengalami pendiskreditan? Dengan kehadiran Hermeneutika, lalu apakah segala hal menjadi soal penafsiran belaka? Dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan kritis yang demikian, justru mengindikasikan bahwa pada titik inilah terbuka jalan.kepada kedua hal berikut yakni: 1) ke arah pluralisme ekstrem yang membawa kepada relativisme dan nihilisme (Derrida, Lyotard), dan 2) ke arah pentingnya Hermeneutika, yang membawa segala persoalan kepada konsep “dialog”.
Peran Hermeneutik pada masa Postmodernisme
Hermeneutika bukanlah ilmu atau pun epistemologi. Maksudnya adalah jika ilmu yang dimaksudkan dalam hal ini adalah seperti yang diartikan episteme modern, representasi “tepat” dari kenyataan “objektif”. Atau jika dengan epistemologi diartikan disiplin teoretis yang kerjanya menentukan syarat-syarat epistemik yang harus dipenuhi oleh tiap disiplin ilmu untuk dapat membuat klaim-klaim tentang kebenaran yang sah. Hermeneutik merupakan penggalian reflektif terhadap keterbatasan setiapm klaim tentang pengetahuan dan pemahaman atas relativitas kultural dan historis dari tiap bentuk wacana manusia. Dengan demikian, maka hermeneutik juga dapat dikatakan sebagai penolakan atas ide tentang keterukuran universal. Atau dapat dikatakan juga bahwa hermeneutika adalah bagian sentral dari gelombang penolakan postmodern atas filsafat tradisional. Tidak cukup sampai pada tujuan untuk mengatasi objektivisme, hermeneutik juga berniat untuk mengatasi relativisme dan nihilisme. Dalam hermeneutika jenis inilah implikasi fenomeonologi Husserl menjadi lebih revolusioner dan bukannya destruktif bagi pihak postmodernisme. Hermeneutik tidak bermaksud menolak gagasan tentang rasionalitas beserta dengan pretensi universalnya tetapi justru hendak merekontruksi gagasan kita secara radikal tentang apa artinya bersikap “rasional”. Yang disebut dengan “rasionalitas” bagi hermeneutika adalah sekedar merupakan cara tak langsung untuk menunjuk pada linguistikalitas setiap pengalaman manusia. Artinya adalah bahwa manusia dapat selalu menjembatani segala perbedaan melalui dialog yang mencari persetujuan dan pengertian bersama, itupun apabila dikehendaki. Maka dalam kenyataannya tidak ada suatu bahasa ideal yang dapat dijadikan tolok-ukur untuk segala wacana karena pemahaman manusia senantiasa memiliki keterbatasan dan biasanya selalu beragam. Berbeda dengan kaum relativis dan kultural, Gadamer mengingatkan kita bahwa meskipun tiap pemahaman sifatnya terikat kepada bahasa, sangat tidaklah pantas apabila kita harus jatuh ke dalam relativisme. Malah perbedaan rasio menjadi sumber beragamnya bahasa sehingga memunculkan dialog yang tidak terbatas dan terbuka ke arah kebenaran sejati kita. Hermeneutik sebagai upaya kritis dan emansipatoris yang menjadi tugas utamanya, namun juga bertugas merawat wacana manusia. Hanya melalui percakapan yang berkesinambunganlah pemahaman diri baru dimungkinkan. Menurut Richard Rorty, percakapan adalah konteks terdasar yang memungkinkan pengetahuan diapahami. Dengan demikian, kewajiban filsafat sebagai hermeneutika adalah mengulur dan memajukan percakapan antarmanusia. Maka dengan cara seperti itu, sebenarnya hermeneutika tampil sebagai penerus tradisi dialektika, tanpa menjadi nonPlatonik. Mengapa demikian? Karena oleh beberapa pihak seperti Protogoras, para Sofis, dan Retorisi telah memperlakukan dialektika sebagai penolakan atas filsafat yang bercorak menolong atau atas filsafat platonik yang menganggap diri sebagai persatuan antara roh pribadi dengan esensi-esensi onjektif, ataupun atas wacana metafisik yang otoriter. Itulah alasannya mengapa filsafat postmodern, secara khusus hermeneutika menganggap retorika bukan lawan dari dialektika. Demikianlah retorika kemudian bangkit menjadi karakter kuat filsafat pada abad 20. Postmodernisme dengan Dekonstruksi Ada 3 hal pokok yang menjadi pokok persoalan yang dihadapi filsafat pada masa postmodernisme, yaitu: (1) isu tentang “berakhirnya filsafat”; (2) pluralisme yang tak terelakkan dalam hal rasionalitas dan permainan-bahasa, dan (3) kematian epistemologi. Kemunculan istilah dekonstruksi dikaitkan dengan isu tentang berakhirnya filsafat. Hal itu sebenarnya dipengaruhi oleh istilah yang pernah digunakan oleh Heidegger yang menyatakan bahwa kontruksi dalam filsafat harus mengalami destruksi dengan sendirinya secara serentak, yaitu dengan adanya dekonstruksi konsep-konsep tradisional dengan cara kembali ke tradisi. Di kemudian harinya istilah tersebut menjadi populer melalui karya Jacques Derrida sehingga berkembang menjadi metode yang akhirnya melahirkan klaim bahwa filsafat sudah saatnya harus berakhir. Dekonstruksi dapat dipahami sebagai cara atau metode membaca teks. Dalam pembacaan dekonstruktif terhadap teks-teks filosofis secara khusus melacak unsur-unsur yang secara filosofis sangatlah menentukan, atau unsur yang menjadikan sebuah teks itu menjadi filosofis. Oleh karena itu, filsafat dilihat pertama-tama sebagai tulisan. Maksudnya adalah bahwa sebagai tulisan, filsafat tidak pernah menjadi suatu ungkapan transparan pemikiran secara langsung. Di situ pemikiran selalu mewujud dalam sistem-sistem tanda yang berkarakter material, baik berupa substansi grafik maupun fonik (tinta ataupun bunyi). Dan sebenarnya tanda- tanda yang digunakan itu telah digunakan pula dalam berbagai konteks lain. Sebagai tulisan, filsafat lalu juga bersifat tekstual. Maksudnya, satuan makna primernya bukanlah kata ataupun kalimat melainkan kumpulan kalimat-kalimat, sebuah teks, yang pada gilirannya ditentukan pula maknanya oleh keterkaitannya dengan teks-teks. Konsekuensi teoretis dari kenyataan itu adalah bahwa kemampuan filsafat untuk membuat klaim-klaim yang melampaui partikularitas bahasa tekstual tadi diragukan. Artinya segala klaim yang dibuat filsafat itu sebetulnya sangat tergantung pada sistem makna yang dimungkinkan oleh penggunaan sistem tanda secara tertentu. Konkretnya, misalnya gagasan-gagasan yang dilawankan antara natur dan kultur, fakta dan nilai, ideal dan material, dan sebagainya. Biasanya merupakan dasar bagi segala makna yang kemudian muncul dari sebuah wacana filosofis. Metode Derrida dalam membaca teks-teks filosofis merupakan cara yang bertujuan untuk melacak struktur dan strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu, antara lain dengan jalan membongkar sistem perlawanan-perlawanan utama yang tersembunyi di dalamnya. Pelacakan terhadap teks-teks oleh Derida bukanlah pertama-tama penataan sadar, tetapi terhadap tatanan teks yang tidak disadari. Alasannya adalah karena di dalamnya terdapat asumsi-asumsi tersembunyi di balik hal-hal yang tersurat itu, Lebih tepatnya, upaya yang dilakukan oleh Derrida adalah menampilkan tekstualitas laten di balik teks-teks. Terdapat banyak agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks yang dapat disinyalir dalam pembacaan dekonstruksi yang belum mencapai keberhasilannya. Sebagai kaum pragmatis, Richard Rorty membuat penafsiran dengan menyatakan bahwa pemilahan yang dibuat Derrida sebenarnya mirip dengan pemilahan antara hubungan inferensial antarkalimat di satu pihak, dan asosiasi noninferensial antarkata di pihak lain. Meletakkan kunci makna pada kalimat sebagai bagian yang utama dan kemudian meletakkannya pada satuan kata, itulah pandangan Rorty terhadap Derrida yang disinyalir menjadi menyerupai pandangan Heidegger. Hal itu terbukti dari adanya saran oleh Derrida agar kita menggunakan pola berpikir Heideggerian yang melihat makna lebih dari permainan asosiasi noninferensial, yaitu permainan bunyi, tipografi maupun karakter tulisan. “Kebenaran” bagi kaum pragmatis hanyalah nama untuk ciri yang dimiliki oleh semua pernyataan yang benar. Ada keraguan dalam diri Rorty tentang bagaimana kita mengatakan sesuatu yang bersifat umum dan berguna tentang syarat untuk menjadi “baik” dan “benar”. Menurut Rorty suatu tindakan menjadi baik adalah hanya dalam kondisi tertentu. Kebenaran hanyalah suatu legitimasi terhadap keyakinan yang hingga kini terbukti berguna sehingga tidak dibutuhkan upaya lainnya untuk melegitimasi. Dengan demikian, yang menjadi tugas selanjutnya oleh Rorty adalah bagaimana cara-cara untuk untuk mendapatkan titik pandang yang sifatnya antifilosofis, yang dapat diungkapkan juga dalam bahasa nonfilosofis. Dekonstruksi oleh Derrida Derrida, pada kenyataannya, menolak untuk menuliskan biografinya. Meksipun demikian, kita dapat mengumpulkan beberapa hal tentangnya. Jacques Derrida merupakan seorang keturunan Yahudi yang lahir di El-Biar, sekitar Aljazair, pada tahun 1930. Ia pernah belajar di Ecole Normale Superieure (ENS), hingga akhirnya menjadi dosen tetap di lembaga tersebut pada 1967-1992. Derrida merupakan seorang pemikir yang kritis terhadap filsafat modern dan berbagai karya sastra tapi ia sendiri menolak disebut sebagai filsuf atau sastrawan. Ketertarikan Derrida untuk mengkritik filsafat modern adalah karena filsafat modern identik dengan pandangan metafisika kehadiran (being) dan logosentrisme (percaya pada rasio). Metafisika kehadiran menjelaskan bahwa suatu konsep atau teori akan dibenarkan jika sudah mewakili “being” (ada). Kata dan tanda mewakili sesuatu yang “ada” itu. Derrida memiliki penolakan terhadapa pandangan tersebut, menurutnya kata, tanda, dan konsep bukanlah kenyataan yang menghadirkan “ada” melainkan hanya berupa “bekas”(trace). Baginya, sesuatu yang “ada” bersifat majemuk, tak berstruktur, dan tak bersistem, hingga tak bisa sekonyong-konyong dibenarkan melalui kata, tanda, dan konsep tunggal. Maka metafisika kehadiran biasa disebut metafisika modern tersebut harus dibongkar (dekonstruksi) untuk menemukan solusi atas permasalahan modernitas. Tradisi logosentrisme yang acapkali diunggulkan oleh para filsuf menonjolkan kecenderungan berpikir binner dan hirarkis. Logosentrisme menganggap bahwa yang pertama merupakan sumber (pusat) kebenaran, sedangkan yang berikutnya adalah kebenaran pinggiran dan selalu menjadi hal marjinal bila dibandingkan dengan konsep awal (pertama). Apalagi logosentrisme identik dengan konsep totalitas dan konsep esensi. Konsep totalitas menyatakan bahwa kebenaran adalah satu. Sedangkan konsep esensi menyatakan tentang dasar sesuatu pada pengetahuan. Kedua konsep tersebut, baik totalitas maupun esensi bisa menjadi konsep- konsep yang memaksa atas adanya sesuatu pengetahuan dan melegitimasi kekuasaan berdasarkan rasio dan pengetahuan. Logosentrisme seringkali menjadi pandangan bagi pemikiran modern yang menimbulkan dikotomi subyek-obyek. Subyek bisa sepuasnya mengeksploitasi obyek dan menentukan validitas kebenrannya terhadap obyek. Kebenaran ini seringkali dicirikan dengan kebenaran tunggal, absolut, dan universal. Menurut Derrida, filsafat yang cenderung mencari kebenaran absolut acapkali meninggalkan pengertian bahasa dalam menyusun konsep dan teori. Filsafat menyatakan bahwa kebenaran dan teori mampu merepresentasikan kebenaran apa adanaya. Derrida menginginkana kebenaran tidak mesti tunggal, absolut, dan universal. Oleh karenanya Derrida selalu bergairah untuk mendekonstruksi pemikiran modern. Proyek dekonstruksinya diawali dengan memusatkan perhatiannya pada bahasa karena ide, gagasan, dan konsep diungkapkan melalui bahasa. Dalam bahasa terdapat prioritas dan kepentingan. Pandangan modern menunjukkan bahwa kata pertama menjadi fondasi, prinsip, dan dominasi terhadap kata-kata berikutnya. Namun pandangan dekonstruksi Derrida sering disalahpahami sebagai upaya untuk mengomentari masalah karya sastra, teks-teks bacaan, dan naskah-naskah kuno. Tapi hal itu dimentahkan oleh Derrida dengan bukti bahwa ia turut aktif dalam penentanganterhadap apartheid, pelanggaran HAM, dan ia sendiri mendukung gerakan feminis.Maksud Derrida sendiri ingin menyatakan juga bahwa metode deskontruksi juga bisa berlaku terkait isu-isu sosial, politik, budaya, dan lainnya. Pemikiran dekonstruktif Derrida berupaya untuk menunujukkan bahwa ada pemikiran lain yang bisa menjadi pemikiran alternatif disamping pemikiran yang telah “ada”.Konsep yang ia tawarkan ini bisa menjadi suara lebih bagi pemikiran-pemikiran yang selama ini terpinggirkan oleh pemikiran tunggal yang menjunjung tinggi logosentrisme. Dekonstruksi tidak berarti menjurus pada penghancuran suatu konsep tanpa solusi. Tapi dekonstruksi juga bisa menawarkan konsep baru untuk menggantikan konsep lama. Inilah yang membedakan konsep dekonstruksi dengan nihilisme (ketiadaan) Nietzsche. Kaitannya dengan bahasa, Derrida ingin membiarakan bahasa pada karakter yang paradoks, polisemi, dan ambigu. Jika karakter tersebut dihidupkan kembalai dalam bahasa, ia berharap bahwa filsafat tidak akan bisa lagi diklaim sebagai suatu otoritas kebenaran. Filsafat modern (pemikiran) Barat identik dengan kebenaran yang tunggal, mutlak, dan absolut. Melalui dekonstruksinya, Derrida ingin menyampaikan bahwa kebenaran lama bisa dibongkar dan hal-hal alternatif lainnya bisa menjadi kebenaran baru. Derrida juga sepakat dengan Foulcault bahwa kebenaran yang berdasar pada pengetahuan tidak bisa lepas dari kepentingan kekuasaan. Kelebihan dari dekonstruksi ini bisa memacu para pemikir lain untuk andil dalam menentukan kebenaran menurut apa yang mereka butuhkan. Dekonstruksi Derrida tentunya bisa menjadi jalan untuk menduking pluralitas pemikiran dan penyikapan dalam berbagai bidang kehidupan. Namun banyak yang mencela konsep dekonstrusi ini karena konsep tersebut cenderung dianggap tidak konsisten dan tidak berprinsip. Karena pandangan dekonstrusinya inilah Derrida dianggap sebagai salah seorang tokoh posmodernisme yang pluralis. Tapi walau Derrida memiliki pandangan tersebut,ia tidak mengiyakan bahwa konsep dekonstruksi merupakan konsep penghancuran tanpa adanya konsep lain. Baginya konsep ini bisa mengatasi problem masyarakat modern yang terjebak oleh kebenaran tunggal. Ia sendiri berpendapat bahwa kebenaran tunggal merupakan produk kapitalis dan dipaksakan secara totaliter ke berbagai aspek kehidupan dan disusupkan melalui bahasa yang dipakai manusia. Pembacaan dekonstruktif pada dasarnya merupakan praktik membaca yang berupaya menunjukkan bagaimana makna-makna objektif atau maksud pengarah diruntuhkan dari dalam. Dengan kalimat yang lain, dekonstruksi berusaha membuka keran-keran kemungkinan makna-makna alternatif. Dekonstruksi sedang mempertontonkan bahwa apa yang biasa kita ibaratkan sebagai realitas, kebenaran atau makna, ternyata berdiri di atas landasan rapuh bernama tulisan. Mengapa tulisan disebut rapuh? Tidak lain disebabkan ia bisa diinterpretasikan apapun dan karenanya makna tak pernah mampu menstabilkan dirinya. Derrida kemudian menghadirkan dekonstruksi untuk menata kembali metode-metode penafsiran yang ada untuk menemukan makna pada bahasa. Dekonstruksi oleh Derrida berupaya membongkar pembedaan-pembedaan dalam teks dan menunjukkannya secara jelas. Perlakuan Dekonstruksi terhadap teks maupun konteks adalah sebagai wadah yang membuka diri terhadap berbagai kemungkinan yang sulit dihubungkan. Pembacaan dekonstruktif bahkan dijelaskan sebagai praktik pembacaan yang tidak memiliki pengandaian teleologis seperti pada umumnya, tidak terdapat ambisiusme di dalamnya untuk menangkap makna-makna, tidak mengarah kepada referensi yang tetap dan tentunya memiliki persebaran ke segala arah. Loncatan-loncatan tafsir terhadap suatu teks dimungkinkan dalam dekonstruksi. Makna tetap melekat pada teks tanpa dimaknai sebagai kehadiran, dan kemudian terus bergerak dalam proses menjadi secara terus- menerus serta membuka diri terhadap penanda-penanda baru. Differance oleh pemikiran Derrida dianggap sebagai suatu gerakan, aktivitas, peristiwa/kejadian (happening) tanpa subjek atau pelaku yang meruntuhkan atau menunda makna. Aspirasi Derrida paska postmodernisme muncul mewajahkan emansipasi, pembongkaran dominasi budaya Barat, budaya patriarki, perayaan narasi-narasi kecil, yang seluruhnya merupakan serangkaian aspirasi yang ditawarkan Derrida dalam masa postmodernisme. Gagasan tersebut kemudian disambut dengan pemikiran-pemikiran Derrida yang berupaya melakukan dekonstruksi terhadap bahasa atas dasar melihat makna-makna yang terpinggirkan, terabaikan dan disembunyikan. Dengan kata lain Dekonstruksi oleh Derrida dapat digambarkan sebagai pengusik yang terus-menerus mencemaskan segala pencarian makna absolut.