Anda di halaman 1dari 22

Beberapa kata kunci:

Renaissance: kelahiran kembali atau kebangkitan kembali (Prc), Lat;nascentia, nascor, natus
(kelahiran, lahir, dilahirkan).

- istilah ini menunjukkan suatu gerakan yan gmeliputi suatu zaman dimana orang merasa
dilahirkan kembali dalam keadaban. dlm kelahiran kembali tu juga orang kembali kepada
sumber-ssumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. zaman yang menekankan
otonomi dan kedaulatan manausia dalam berpikir, eksplorasi eksperimen, seni sastra dn
ilmu pengetahuan di Eropa. merentang dari abad ke 14-16. bergema lagi setelah Michelet pd
th 1855 dan Burckhardt 1860 menggunakan istilah inii dalm judul karya2 sejarah ttg perancis
dan italia.

Entitas: ens, entis (hal, benda). sesuatu yang ada; yang berada; yang mempunyai eksistensi real dan
substansial; apa saja yang mempunyai eksistensi atau keberadaan yang real benda.

Cartesian: Rene Descartes, cogito ergo sum; kepastian pertama menurut Decartes. stu-satunya
kepastian yang kita miliki ialah kepastian eksistensi (keberadaan) kita sendiri. mau menunjukkan
suatu intuisi yang langsung, niscaya, dan tidak dapat diragukan, dimana ia mengenal dirinya sendiri
secara jelas dan terpilah-pilah. seseorang tidak dapat meragukan bahwa dia berpikir (ragu), karena
dalam kegiatan (tindakan) meragukan itu dia membuktikan kegiatan berpikir (meragukan) menjadi
betul.

Esensi: dari bhs Latin essentia, dari esse; ada. istilah yang sepadan dengan Yunani ialah ousia.
Essensi adalah apa yang membuat sesuatu menjadi apa adanya. dibedakan dari eksistensi dan
aksiden. esssensi mengacu kepada aspek-aspek yang lebih permanen dan mantap dari sesuatu yang
berlawanan dengan yang berubah-ubah, parsial, atau fenomenal. dalam logika essensi secara
tradisional mengacu kepada sifat-sifat khas yang mesti dimiliki oleh setiap anggota suatu spesies
atau kelompok supaya masuk spesies atau kelompok itu. berlawanan dengan eksistensi.

Eksistensi: existere (muncul, ada, timbul memiliki keberadaan aktual) dari ex (keluar) dan sistere
(tampil, muncul). artian: apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas (ada)segala sesuatu yang
dialami. menekankan sesuatu itu ada. Beda dengan esensi yang menekankan apaan sesuatu (apa
ssebenarnya sesuatu itu sesuai dengan kodrat inherenya). lebih jauh eksistensi (esse) adalah
kesempurnaan. Dengan kesempurnaan ini sesuatu menjadi suatu eksisten (ens).

Ontologis: bersamaan dengan eksistensialisme perlu dibuat suatu pembedaan santara istilah ontis
dan ontologis – kata-kata yang lazimnya digunakan oleh kaum skolastik untuk mengartikan hal yang
sama. karena itu istilah ontis berarti eksisten dalam eksistensinya sendiri yang belum ditangkap oleh
roh (intelligible in potentia). sedangkan istilah ontologis berarti eksisten yang eksistensinya diterangi
dan karenanua menjadi satu dengan roh yang mengerti (mengamati).

Metafisika: kajian menyeluruh, koheren, dan konsisten tentang realitas (keberadaan, alam semesta)
sebagai suatu keseluruhan; studi tentang reealitas terakhir – realitas sebagaimana terbentuk dalam
dirinya sendiri yang terpisah dari tampakan-tampakan yang bersifat ilusif yang disajikan dalam
persepsi kita. studi tentan suatu realitas transsenden yang merupakan sebab (sumber) semua
eksistensi. metaisika menjadi sinonim denga nTeologi Naturalis.
Fenomenologis: arti luas; ilmu tentang fenomen-fenomen atau apa saja yang tampak. dalam hal ini
fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala
yang membanjiri kesadaran manusia. arti sempit; ilmu tentang gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita.

dialektis; seni mendapatkan pengetahuan yang benar tentang sebua h topik dengan penggunaan
proses penalaran formal

das sollen : yang seharusnya ada

das sein : yang sekarang ada

Intuisi : daya untuk memiliki pengetahuan segera dan langsung tentang sesuatu tanpa menggunaka
rasio.

Analogi: konsep yang menunjukkan kesamaan-kesamaan atau keserupaan antara hal-hal. Atau suatu
relasi persamaan antara dua atau lebih pernyataan yang memungkinkan ditariknya kesimpulan-
kesimpulan probabel atau niscaya dengan tergantung pada jenis relasi yang bersangkutan.

Pragmatis: penentuan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praktisnya.

Induksi: penalaran yang berangkat dari suatu bagian suatu keseluruhan dari contoh-contoh khusus
sesuatu menuju suatu pernyataan umum tentangnya; dari hal-hal individu ke hal-hal universal.

Deduksi: penalaran dari suatu kebenaran umum ke suatu hal (contoh) khusus dari kebenaran itu.
Semua manusia mati. Endang adalah manusia. Maka Endang mati.

Altruisme: menyiratkan penghargaan dan perhatian terhadap kepentingan orang lain, bahkan
terhadap pengorbanan kepentingan pribadi.
Sejarah Filsafat Post Modern/Kontemporer
Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahaminya atau
mendalami secara radikal dan integral serta sistematis. Dalam mempelajari ilmu filsafat kita
akan mengenal beberapa zaman yang memiliki pandangan serta ajaran berbeda dalam hal
filsafat.

Dalam sejarah manusia kita mengenal tiga era atau zaman yang memiliki ciri khas nya
masing – masing. Yaitu pramodern, modern dan postmodern. Zaman modern ditandai dengan
afirmasi diri manusia sebagai subjek. Sedangkan zaman postmodern merupakan kritik atas
masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janjinya. Post modern juga cenderung
mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas yaitu akumulasi pengaruh
budaya barat.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang filsafat pada zaman postmodern maka pada makalah
kali ini saya akan membahas “ Filsafat Pada Masa Postmodern”.

2.1  Pengertian Postmodern

Secara etimologis postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan modern. Kata post
dalam Webste’s Dictionary Library adalah prefik, diartikan dengan “later or after”. Bila kita
menyatukannya menjadi post modern maka akan berarti sebagai koreksi terhadap modern itu
sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan – pertanyaan yang tidak terjawab di zaman
modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.

Sedangkan secara terminologi menurut tokoh dari post modern, Pauline Rosenau (1992)
mendefinisikan postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain:
pertama, post modernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya
memenuhi janji – janjinya. Juga pstmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang
diasosiasikan dengan modernitas. Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah
industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat.
Namun mereka meragukan prioritas – prioritas modern seperta karier, jabatan, tanggung
jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme,
penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral,peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan
pandangan dunia ( world view ), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.

2.2   Sejarah Filsafat Postmodern

Postmodern pertama kali muncul di Prancis sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya postmodern
lahir terhadap kritik arsitektur, dan harus kita akui kata postmodern itu sendiri muncul
sebagai bagian modernitas. Benih posmo pada awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur.
Charles Jencks dengan bukunya “The Language of Postmodern” . Architecture (1975)
menyebut postmodern sebagai upaya untuk mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan
tahun terkurung satu gaya. Pada sore hari di bulan juli 1972, bangunan yang mana
melambangkan kemodernisasian di ledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini
menandai kematian modern dan menandakan kelahiran posrmodern.

Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam modern tidak dimaksudkan
sebagai sebuah periode atau waktu tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak
melampaui segala hal modern. Postmodern ini merupakan sebuah kritik atas realitas
modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahan. Nafas utama
dari posmodern adalah penolakan atas narasi – narasi besar yang muncul pada dunia modern
dengan ketunggalan gangguan terhadap akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi –
narasi kecil, lokal, tersebar dan beraneka ragam untuk untuk bersuara dan menampakkan
dirinya.

Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan atau realita adalah
relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Dalam
postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh relativisme.
Kenyataan tidak lebih dari konstruk sosial, kebenaran disamakan dengan kekuatan atau
kekuasaan.

Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan,


termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan sosiologi. Postmodern akhiryna
menjadi kritik kebudayaan atas modernita. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern
sekarang dikutuk dan apa yang dulu dianggap rendah sekarang justru dihargai.

       2.3  Tokoh atau Filsuf Postmodern

1. Frederich Wilhelm Nietzsche

Lahir di Rochen, Prusia 15 Oktober 1884. Pada masa sekolah dan mahasiswa, ia banyak
berkenalan dengan orang – orang besar yang kelak memberikan pengaruh terhadap
pemikirannya, swperti John Goethe, Richard Wagner, dan Fraderich Ritschl. Karier bergengsi
yang pernah didudukinya adalah sebagai Profesor di Universitas Base.

2. Charles Sanders Pierce

Charles Sanders Pierce, 10 September 1839 adalah seorang filsuf, ahli logika semiotika,
matematika dan ilmuan Amerika Serikat yang lahir di Cambridge, Massachusetts.

3. Michel Foucault

Paul – Michel Foucault (Poitiers, 15 Oktober 1926 – Paris 25 Juni 1984) adalah seorang filsuf
asal Perancis. Ia adalah salah satu pemikir paling berpengaruh pada zaman pasca perang
dunia II. Foucault dikenal akan penelaahannya yang kritis terhadap berbagai institusi sosial,
terutama psikiatri, kedokteran dan sistem penjara, serta karya – karyanya tentang riwayat
seksualitas. Karyanya yang terkait kekuasaan dan hubungan  antara kekuasaan dengan
pengetahuan telah banyak didiskusikan dan diterapkan, selain pula pemikirannya yang terkait
dengan “diskursus” dalam konteks sejarah filsafat barat.
4. Jacqeues Derrida (Al – jazair 15 Juli 1930 – Paris 9 Oktober 2004. Adalah seorang filsuf
Prancis keturunan Yahudi sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme.

5.  Jan Mukarovsky

Mukarovsky lahir di Bohemia (1891 – 1975). Sebagai pengikut strukturalisme Praha, ia


kemudian mengalami pergeseran perhatian dari struktur kearah tanggapan pembaca. Aliran
inilah yang disebut strukturalisme dinamik.

6. Hans Robert Jauss

Jauss lahir di Jerman. Ia termasuk dalam kelompok konstanz, nama yang diambil dari sebuah
Universitas di Jerman Selatan. Sebagai ahli sastra dan kebudayaan abad pertengahan Jauss
ingin memberbaharui cara – cara lama yang mendeskripsikan aspek – aspek kesejarahan
sehingga menjadi lebih menjadi hermeneuitas. Tetapi di pihak lain, ia juga ingin
memperbaharui kelemahan kelompok formalis yang semata – bersifat estetis dan Marxs yang
semata – mata bersifat kenyataan.

 2.4  Pemikiran Para Tokoh Mengenai Postmodern

 1. Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 – 1900)

Menurutnya manusia harus menggunakan skeptisme radikal kemampuan akal. Tidak ada
yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naif jika akal dipercaya mampu memperoleh
kebenaran. Kabenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh
pengetahuan atau kebenaran, maka akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.

2. Charles Sanders Pierce

Pierce adalah orang yang mengembangkan teori umum tanda – tanda. Pada dasarmya Pierce
tidak banyak mempermasalahkan estetika dalam tulisan – tulisannya. Akan tetapi teori –
teorinya mengenal tanda menjadi dasar pemberian estetika generasi berikutnya. Menurutnya
makna tanda yang sesunnguhnya adalah mengemukakan sesuai tanda. Tanda harus
diinpresentasikan agar dari tanda orisinil berkembng tanda – tanda yang selalu terikat dengan
sistem budaya, tanda – tanda bersifat konfensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada
tanda yang bebas konteks. Tanda selalu bersifat plural, tanda – tanda hanya berfungsi
kaitannya dengan tanda lain. Dalam pengertian Pierce, fungsi referensial didefinisikan
melalui tradikikon, indeks dan simbol. Tetapi interpretasi holistik juga harus
mempertimbangkan tanda sebagai perwujudan gejala umum, sebagai representamen
(qulisign, sinsign, dan legisign) dan tanda – tanda baru yang terbentuk dalam batin penerima
sebagai interpretant (rheme, dicent, dan argument). Tetapi yang paling sering dibicarakan
adalah object (ikon, indeks dan simbol).

3. Michel Foucault (1926 – 1984)


Bila dalam paradigma modern, kesadaran dan objektifitas adalah dua unsur yang membentuk
subjek rasional – otonom, bagi Foucault konsep diri manusia sebenarnya hanyalah produk
bentukan diskurs, praktik – praktik, institusi, hukum ataupun sistem – sistem administrasi
belaka yang anonim dan impersonal namun sangat kuat mengontrol. Salah satu hal paling
inspiratif bagi postmodern adalah sikapnya dalam memahami fenomena modern yang
bernama “pengetahuan“ itu terutama pengetahuan sosial. Ia memperkarakan tentang “apa itu
pengetahuan“ secara genealogis dan arkeologis. Dengan cara melacak bagaimana
pengetahuan itu telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini. Kategori – kategori
konseptual macam kegilaan, seksualitas, manusia dan sebagainya. Foucault mendefinisikan
kekuasaan dan sejarah adalah sebagai berikut: Kekuasaan adalah soal praktik – praktik
konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola – pola perilaku, memproduksi wilayah
objek – objek pengetahuan dan ritual – ritual kebenaran yang khas, praktik – praktik itu
menciptakan norma – norma yang lalu diproduksi dan dilegitimasi melalui para guru, pekerja
sosial, dokter, hakim, polisi dan administrator.

Sejarah adalah permainan dominasi dan resistensi yang bergeser – geser, grouping dan
regrouping. Akhirnya perlu disebut jasa lain dari Foucault bagi postmodern adalah ia
menampilkan otherness secaralebih konkrit dan grafis dengan analisis – analisis nya atas
pihak – pihak yang dalam modernitas biasanya dianggap tidak normal dan tidak lazim yakni
kaum homoseksual, orang gila, tubuh, rumah sakit dan sebagainya. Dengan begitu
membukakan wilayah – wilayah wacana baru.

4. Jacques Derrida ( Al – Jazair 15 Juli 1930 – Paris 9 Oktober 2004)

Menurutya apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang ada
didepan, tidaklah ada dan tidak ada satupun yang bisa dijadikan pegangan. Karena satu –
satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidak pastian atau permainan. Semuanya
harus ditunda atau ditangguhkan sembari kita terus bermain dengan perbedaan. Inilah yang
ditawarkan Derrida dan postmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.

1. Jan Mukarovsky

Sebagai pengikut kelompok formalis ia memandang bahwa aspek estetis dihasilkan melalui
fungsi puitikan bahasa, seperti deotomatisasi, membuat aneh, penyimpangan dan
pembongkaran norma – norma lainnya. Meskipun demikian, ia melangkah lebih jauh aspek
estetika melalui karya seni sebagai tanda, karya seni sebagai fakta transindividual.
Singkatnya, kara sastra harus dipahami dalam kerangka konteks sosial, aspek estetis terikat
dengan entitas sosial tertentu. Mukarovski membedakan 3 macam nilai yaitu nilai estetis
aktual, nilai universal dan nilai evolusi. Peran penting Mukarovski adalah kemampuannya
untuk menunjukkan dinamika antara totalitas karya dengan totalitas pembaca sebagai
penanggap. Ia membawa karya sastra sebagai dunia yang otonom tetapi selalu dalam
kaitannya dengan tanggapan pembaca yang berubah – ubah. Menurutnya sebagai struktur
dinamik karya sastra selalu berada dalam tegangan antara penulis, pembaca, kenyataan dan
karya itu sendiri.
1. Hans Robert Jauss

Tujuan pokok Jauss adalah membongkar kecenderungan sejarah sastra tradisional yang
dianggap bersifat universal teleologis, sejarah sastra yang lebih banyak berkaitan dengan
sejarah nasional, sejarah umum dan rangkaian periode. Konsekuensi loguisnya adalah
keterlibatan pembaca. Untuk mempertegas peranan pembaca ini. Jauss mengintroduksi
konsep horisan harapan (Erwatunghorizont). Horison harapan mengandalkan harapan
pembaca cakrawala pembaca, citra yang timbul sebagai akibat proses pembacaan terdahulu.
Jadi nilai sebuah karya aspek – aspek estetis yang ditmbulkannya bergantung dari hubungan
antara unsur – unsur karya dengan horison harapan pembaca. Menurut Jauss, sejarah sastra
bukan semata – mata rangkaian peristiwa sastra. Sejarah sastra adalah rangkaian resepsi
pembaca dimana peneliti berada pada rangkaian mata rantai terakhir. Horison harapan
mengubah penerimaan pasif menjadi aktif dari norma – norma estetik yang telah dimiliki
menjadi produksi estetika baru, estetika sebagai pesan.

Kesimpulan

Postmodern lahir sebagai reaksi dan kritik terhadap modernisme yang penuh akan kesalahan
dan kegagalan diberbagai bidang (walaupun beberapa tidak sepenuhnya gagal).
Postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap
orang. Individu terkunci dalam pandangan terbatas oleh ras, gender dan grup etnis masing –
masing. Berbeda dengan filsafat sebelumnya zaman modern yang mendasari metodenya
dengan rasionalitasnya. Pada zaman ini seakan – akan tidak ada lagi standar kebenaran.
Kebenaran adalah relative, kenyataan adalah relative dan keduanya menjadi konstruk yang
tidak bersambungan satu sama lain. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh
keinginan, moralitas digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi dan
moralitas digantikan oleh relativisme, kenyataan tidak lebih dari konstruk sosial, kebenaran
disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan.

TOKOH-TOKOH PERIODE POSTMODERNISME

1.  Charles Sanders Pierce


Pierce lahir di USA (1839-1941). Sebagai ahli semiotika,
logika, dan matematika, Pierce sezaman dengan Saussure. Oleh karena itulah, mereka
dimasukkan ke dalam kelompok strukturalis. Meskipun demikian Pierce melangkah lebih
jauh, pertama, latar  belakangnya sebagai ahli filsafat, yang memungkinkannya untuk
melihat dunia di luar struktur, sebagai struktur bermakna. Kedua, berbeda dengan Saussure
dengan konsep diadik yang cenderung untuk melihat objek atas dasar objek lain, sehingga
terjadi pemahaman pusat dan nonpusat, Pierce menawarkan konsep triadik sehingga terjadi
jeda antara oposisi biner di atas. Istilah semiotika itu pun berasal dari Pierce, sedangkan
Saussure sendiri menggunakan istilah semiologi. Pierce jugalah yang kemudian
mengembangkan teori umum tanda-tanda, sebaliknya Saussure lebih banyak terlibat dalam
teori linguistik umum. Menurut Pierce, semiotika adalah studi tentang tanda dengan
mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengannya, seperti: fungsi-fungsinya,
hubungannya dengan tanda-tanda yang lain, proses pengiriman dan penerimaannya, dan
sebagainya. Mengingat luasnya studi ini, maka semiotika dibedakan menjadi tiga objek :
sintaksis, semantik dan pragmatik. Sintaksis berkaitan dengan tanda-tanda yang lain.
semantik berkaitan dengan acuan dan interpretasi yang dihasilkan. Pragmatik berkaitan
dengan tanda dalam hubungannya dengan pengirim dan penerimanya.

Pada dasarnya Pierce, tidak banyak mempermasalahkan estetika dalam tulisan-


tulisannya. Meskipun demikian, teori-torinya mengenai tanda mendasari pembicaraan
estetika generasi berikutnya. Menurut Pierce, makna tanda yang sesungguhnya adalah
mengemukakan sesuatu. Dengan kata lain, tanda mengacu kepada sesuatu. Tanda harus
diinterpretasikan sehingga dari tanda yang orisinal akan berkembang tanda-tanda yang
baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya (Zoest, 1993:46, 51), tanda-tanda bersifat
konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada tanda-tanda yang bebas konteks.
Tanda selalu bersifat plural, tanda-tanda hanya berfungsi hanya kaitannya dalam kaitannya
dengan tanda yang lain. tanda merah dalam lalu lintas, selain dinyatakan melalui warna
merah, juga ditempatkan pada posisi paling tinggi, dua tanda tampil secara bersamaan,
sebagai denotatum dan intrepretant. Dalam pengertian Pierce (Noth, 1990:423) fungsi
refresial didefenisikan melalui triadik ikon, indeks, dan simbol. Tetapi interpretasi holistik
harus juga mempertimbangkan tanda sebagai perwujudan gejala umum, sebagai
representamen (qualisign, sisign, dan lesisign).dan tanda-tanda baru yang terbentuk dalam
batin penerima, sebagai interpretant (rheme, dicent, dan argument) dengan kalimat lain,
diantara objek, representamen, dan interpretan, yang paling sering dibicarakan adalah objek
(ikon, indeks dan simbol).

Menurut Zoest (1993:85-86), diantara ikon, indeks, dan simbol, yang terpenting
adalah ikon sebab di satu pihak, segala sesuatu merupakan ikon sebab segala sesuatu
dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. dipihak lain, sebagai tanda agar dapat mengacu
pada sesuatu yang lain di luar dirinya, agar ada hubungan yang representatif, maka syarat
yang diperlukan adalah adanya unsur kemiripan. Teks sastra, termasuk sosial, politik, iklan
dan sebagainya kaya dengan tanda ikon. Pada dasarnya, baik ikon maupun indeks dan
simbol yang murni tidak pernah ada. Artinya, ikonisitas selalu melibatkan indeksikalitas dan
simbolisasi. Ikon ditandai oleh adanya kemiripan, indeks ditandai dengan adanya kedekattan
eksistentsi dan hubungn sebab akibat sedangkan simbol ditandai oleh adanya kesepakatan,
perjanjian, dan hubungan yang terbentuk secara konvensional. Contoh ikon adalah peta
geografis dan foto. Nama orang, baik nama diri maupun nama keluarga, termasuk gelar,
demikian juga statistik, diagram, dan model termasuk ikon. Contoh indeks adalah tanda
penunjuk arah, hubungan antara asap dengan api. Contoh simbol adalah anggukan kepala
dan tanda-tanda kebahasaan pada umumnya.

  
2.  Roman Osipocich Jakobson

Sama dengan Pierce, pikiran-pikiran Jakobson masih sangat


kental menampilkan model analisis strukturalisme, tetapi pikiran tersebut dapat
mengarahkan bagaimana bahasa sebagai sistem model pertama berperan sekaligus
berubah ke dalam taataran bahasa sebagai sistem model yang kedua. Krtitk tajam yang
kemudian dikemukakan oleh Riffaterre dan Pratt, misalnya menunjukkan bahwa peranan
pembaca tidak boleh dilupakan, sekaligus merayakan lahirnya teori sastra dan estetika
sastra postrukturalisme. Menurut Riffaterre (1978: 1-2), makna sebuah puisi tidak ditentukan
oleh linguis melainkan oleh pembaca, dengan cara mempertentangkan antara arti (meaning)
pada level mimetik dengan makna (significance), sebagai penyimpangan level mimetik itu
sendiri. Lebih tegas, melalui pendekatan sosiolinguistik melalu teori tindak kata, Pratt
mengkritik Jakobson yang terlalu menonjolkan fungsi puitika. Menurut Pratt (1977: xiii) tidak
ada ragam bahasa yang khas. Wacana sastra adalah pemakaian bahasa tertentu, bukan
ragam bahasa tertentu.
Hubungan antara bahasa dengan sastra, ciri-ciri khas bahasa dan sastra, ciri-ciri
yang membedakan antara bahasa sastra dengan bahasa nonsastra, telah banyak
dibicarakan. Secara garis besar ada dua pendapat.  Pertama, pendapat yang mengatakan
bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa biasa, bahasa sehari-hari. Kedua, pendapat
yang mengatakan bahwa bahasa sastra sama dengan bahasa sehari-hari. Pendapat
pertama bertolak dari kekhasan bahasa sastra sebagaimana terkandung dalam puisi,
sedangkan pendapat kedua bertolak dari bahasa prosa. Dalam sastra kontemporer
kelompok formalislah yang paling serius mencoba menemukan ciri-ciri bahasa sastra
tersebut, yang disebut sebagai literariness.

Jakobson adalah seorang linguis, ahli sastra, semiotikus, lahir di Rusia (1896-1982).
Ia juga pendiri Lingkaran Linguistik Moskow (1915) dan Lingkaran Linguistik Praha (1962).
Karya-karyanya didasarkan atas linguistik Saussure, fenomenologi Husserl, dan perluasan
teori semiotika Pierce. Pusat perhatian Jakobson sesungguhnya adalah integrasi bahasa
dan sastra. Sesuai dengan judul salah satu tulisannya ‘Lingustik and Poetics’ (1987: 66, 71),
Jakobson menaruh perhatian besar terhadap integrasi antara bahasa dan sastra. Jakobson
melukiskan antar hubungan tersebut, dengan mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam
fungsi bahasa, yang disebutnya sebagai Poetic function of language, sebagai berikut :

Context

Addresse Message Addresse


r e
Contact

Code

Enam fungsi bahasa, yaitu :

 Referentia

Emotive l Conative

 Poetic

 Phatic

 Metalingu
al

 Bersama dengan Levi-Strauss (Teeuw, 1988: 77-81), model fungsi puitika di atas
diterapkannya dalam analisis puisi Charles Baudelaire yang berjudu ‘Les Chats’. Analisis
dilakukan dengan cara memanfaatkan prinsip-prinsip ekuivalensi, seperti ekuivalensi bunyi,
morfologi, sintaksis, dan semantik.
3. Roland Barthes

Barthes adalah seorang ahli semiotika, kritikus


sastra, khususnya naratologi. Barthes lahir di Cherbourg, Prancis (1915-1980). Dalam
bidang semiotika, di samping Levi Strauss, Foucault, dan Lacan, Barthes banyak
memanfaatkan teori-teori struktural Saussurean. Sebagai seorang semiotikus ia juga
mengakui bahwa proses pemaknaan tidk terbatas pada bahasa, melainkan harus diperluas
meliputi seluruh bidang kehidupan.

Kehidupannya yang tidak bahagia, khususnya sebagai akibat penderitaan penyakit


tbc menyebabkan gaya penulisannya yang bercorak depersonalisasi. Diduga kondisi ini
merupakan embrio pemikirannya dalam menolak subjek penulis sebagaimana dikemukakan
dalam salah satu bab yang berjudul ‘The Death of the Author’ (1977: 142-148). Topik ini
pulalah yang membawa popularitas Barthes sebagai salah seorang postrukturalis dalam
menolak otoritas subjek, yang kemudian dikenal sebagai narasi besar. Dengan kematian
pengarang tunggal ini maka akan lahirlah para pengarang jamak, para pengarang yang
terkandung di dalam karya itu sendiri, sebagai pengarang implisit. Para pengarang inilah
yang akan melahirkan instansi narator, subjek transindividual yang akan melahirkan
kekuatan marginal. Oleh karena itulah, menurut Selden (1986: 75) kritik kematian pengarang
dianggap sebagai esai terbaik dalam kaitannya dengan lahirnya pascastrukturalisme.

Barthes dan dengan demikian para pengikutnya menolak dengan keras pandangan
tradisional yang menganggap bahwa pengarang sebagai asal-usul tunggal karya seni. Jelas
bahwa paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis, makna karya sastra
terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya. Tetapi melalui Barthes-lah karya sastra
memperoleh kekuatan baru, memperoleh kebebasan, khususnya dari segi penafsiran
pembaca. Klimaks pemikiran ini dikemukakan dalam tulisannya yang berjudul The Pleasure
of The Text (1973), dengan membedakan teks menjadi dua macam, yaitu: teks pleasure
(plaisir) dan teks bliss (jouissance). Dengan adanya kebebasan yang dimilikinya (cf. Zichy
dalam Makaryk, ed., 1993: 607-608), maka pembaca akan merasakan kenikmatan
(pleasure) dan kebahagiaan (bliss), yang seolah-olah mirip dengan kenikmtan seksual
(orgasme). Meskipun demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca teks
memilikia arti yang lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan estetis. Teks pleasure
menyajikan kesenangan berupa pengetahuan, kepercayaan, dan harapan, sedangkan teks
bliss justru menyajikan semacam kehilangan, keputusasaan, dan kegelisahan. Teks
pleasure merupakan milik kebudayaan tertentu, sebaliknya teks bliss tidak memiliki asumsi
historis, kebudayaan, dan psikologis. Teks pleasure menyajikan kesesuaian hubungan
antara pembaca dengan medium yang relatif stabil, teks bliss justru merupakan krisis.

Dikaitkan dengan masyarakat lama (Barthes, 1977: 142-143), masyarakat etnografis,


maka kondisi ini tidaklah jauh berbeda. Dalam masyrakat lama kemampuan naratif tidak
pernah diasumsikan sebagai person tunggal, melainkan sebagai mediator, seperti tukang
cerita, shaman, dan berbagai jenis penghubung yang menampilkan cerita di hadapan
audiens. Dalam masyarakat Barat pengarang tunggal adalah pengertian yang dikondisikan
sejak abad pertengahan, yang kemudian disusul dengan lahirnya empirisme Inggris ,
rasionalisme Prancis, dan kebangkitan subjek individual pada umumnya, yang kemudian
mencapai klimaks abad ke-18. Di Indonesia masalah ini mulai dikondisikan sejak lahirnya
sastra Indonesia modern, sastra Melayu Tionghoa, akhir abad ke-19.

Konsep lain yang perlu dikemukakan adalah teks sebagai readerly (lisible) dan
writterly (rewritten/scriptable). Teks tidak semata-mata untuk dibaca, tetapi juga untuk ditulis
(kembali). Dengan kalimat lain, tujuan karya sastra pada dasarnya adalah menjadikan
pembaca bukan semata-mata sebagai kosumen tetapi produsen teks. Dalam entitas
readerly penulislah yang aktif, sedangkan pembaca bersifat pasif. Sebaliknya, dalam entitas
writterly, dengan anggapan bahwa penulis berada dalam konstruksi anonimitas, maka
pembacalah yang bersifat aktif, melalui aktifitas menulis. 
 4.   Umberto Eco

Eco adalah seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan


jurnalis, lahir di Piedmont, Italia (1932-  ). Di samping itu ia juga mendalami estetika dan
filsafat abad pertengahan yang kemudian diterbitkan daam bukunya yang berjudul Art and
beauty in the Middle Ages. Dua buah novelnya yang terkenal berjudul The Name of the
Rose dan Foucault Pendulum. Sebagai ahli semiotika ia menghasilkan dua buah buku yaitu
A Theory of Semiotics (1976) dan Semiotics and the Philosophy of Language (1984).
Menurut Lechte (2001: 200-203) secara implisit Eco memperluas pengertian tanda
sebagaimana yang dikemukakan oleh Pierce, tanda dengan kaitannya dengan tanda-tanda
yang lain, menjadi tanda dalam kaitannya dengan pembaca. Berbeda dengan penulis, jelas
yang dimaksudkan adalah pembaca dalam pengertian tidak terbatas sebagai semata-mata
pembaca nyata.

Secara eksplisit A Theory of  Semiotics mendeskripsikan teori semiotika umum yang


terdiri atas teori kode dan teori produksi tanda, sebagai perbedaan antara kaidah dan
proses atau antara potensi dan tindakan menurut Aristoteles. Salah satu tema yang
dikemukakan dalam Semiotics and the Philosophy of language (1984: 57-86) adalah
perbedaan  antara struktur kamus dengan ensiklopedia. Kamus dianggap sebagai pohon
porphyrian (model, definisi, terstruktur melalui genre, spesies, dan pembaca) sebaliknya,
ensiklopedia merupakan jaringan tanpa pusat. Kamus bermakna tetapi cakupannya
terbatas, atau cakupannya tak terbatas tetapi tidak mampu memberikan makna tertentu.
Ensiklopedia sejajar dengan jaringan rhizomatic. Strukturnya mirip dengan peta, bukan
pohon yang tersusun secara hierarkhis.

Menurut Eco (1979: 7) semiotika dikaitkan dengan segala sesuatu yang


berhubungan dengan tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang secara signifikan
dapat menggantikan sesuatu yang lain, sedangkan sesuatu yang lain itu tidak harus eksis
atau hadir secara aktual. Dalam hubungan inilah Eco menyebutkan semiotika sebagai ilmu
untuk mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Sebaliknya
dapat dikatakan apabila segala sesuatu tidak dapat digunakan untuk berbohong, untuk
berdusta, maka segala sesuatu itu bukanlah tanda. Berbohong dengan sendirinya tidak
dalam pengertian negatif sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari. Secara
semiotis dalam berbohong timbul aktivitas kreatif, tanda-tanda diproduksi, dari kaidah ke
proses, dari potensi ke tindakan, dari competence ke performance, sehingga kualitas estetis
dapat diproduksi semaksimal mungkin.

Sebagai ilmu yang imperial, memiliki ruang lingkup hampir seluruh bidang
kehidupan, maka Eco membedakan semiotika menjadi 18 bidang, termasuk estetika.
Menurut Eco (1979: 182-183) semua bidang dapat dikenal sebagai kode sejauh
mengungkapkan fungsi estetik setiap unsurnya. Sama dengan Pierce, esensi tanda adalah
kesanggupannya dalam mewakili suatu tanda. Setiap kode memiliki konteks, sebagai
konteks sosiokultural. Oleh karena itulah, teori tanda harus mampu menjelaskan mengapa
sebuah tanda memiliki banyak makna, dan akhirnya bagaimana makna-makna baru bisa
terbentuk. Dalam hubungan inilah dibedakan dua unsur, pertama, unsur yang dapat
disesuaikan atau diramalkan oleh kode, seperti simbol dalam pengertian Pierce. Kedua,
adalah unsur yang tidak bisa disesuaikan dengan mudah, misalnya, ikon dalam pengertian
Pierce. Unsur pertama disebut rasio facilis, sedangkan unsur yang kedua disebut rasio
defacilis. Oleh karena itu, menurut Eco, proses pembentukan tanda harus dilakukan melalui
sejumlah tahapan, yaitu: a) kerja fisik, b) pengenalan, c) penampilan, d) replika, dan e)
penemuan.    
FILSAFAT POSTMODERN
Pengertian Postmodern
Postmodern adalah refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada
umumnya.
Istilah Postmodern pertama kali dipakai dan diperkenalkan dalam wilayah seni oleh Federico de Onis
pada tahun 1930-an. Istilah Postmodern dalam filsafat diperkenalkan oleh Francis Lyotard dalam bukunya: The
Postmodern Condition; A Report on Knowledge yang terbit dalam bahasa Inggris tahun 1984.
Postmodern menurut beberapa tokoh:
1.    Pemutusan hubungan dengan modern (Lyotard, Gelder)
2.    Koreksi terhadap modern (Dafid Griffin)
3.    Bentuk radikal dari kemodernan yang bunuh diri (Baudrilard, Derrida, Foucault)
4.    Wajah arif kemodernan yang telah sadar diri (Giddens)
5.    Satu tahap proyek modernisme yang belum selesai (Habermas)

Postmodernisme, Postmodernitas dan Filsafat Postmodern


Postmodernisme adalah sebuah paham yang melawan modernisme (konsep berpikir). Postmodernitas
merupakan situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, konsumerisme yang berlebihan, pasar
uang dan sebagainya. Sementara filsafat postmodern adalah filsafat yang sama sekali berbeda dengan filsafat
modern.

Tokoh-Tokoh
1.    Francis Lyotard
Dalam era modern, kekuasaan telah terbagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi, seperti
layaknya bidak catur. Cerita besar modernisme bagi Lyotard adalah kedok belaka. Dia menolak sama sekali
semua yang terkait dengan modernisme.
Bahasa, bagi lyotard, bukanlah gejala tunggal karena sejarah dan karakter dasarnya adalah lokal dan
spesifik. Baginya, yang tertinggal hanyalah beragam permainan bahasa dalam lingkungan ketegangan yang
ditandai oleh menajamnya perbedaan, konflik dan sulitnya mencapai konsensus yang adil (hilangnya makna).

2.    Ferdinand De Saussure (Semiologi)


         Signifie dan Signified
Signifie (penanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material dari bahasa),
sedangkan signified (petanda) adalah gambaran mental, pikiran atau konsep (aspek mental dari bahasa).
         Langage, Parole dan Langue
Langage adalah fenomena bahasa secara umum. Parole adalah pemakaian bahasa yang individual (language
use). Sedangkan langue adalah pemakaian bahasa oleh golongan bahasa tertentu.
         Sinkroni dan Diakroni
Sinkroni adalah bertepatan dengan waktu (itu) dan lepas dari historis (ahistoris), sedangkan diakroni adalah
menelusuri makna, peninjauan historis. Menurut De Saussure, linguistik harus melalui sinkroni sebelum
diakroni.

3.    Charles Sander Pierce (Semiotika)


Tiga konsep semiotika:
         Sintaksis semiotok adalah hubungan antarbenda, seperti teks dan gambar dalam iklan.
         Semantik semiotik adalah hubungan antara tanda, obyek dan interpretant. Hal ini untuk melihat hubungan
antara tanda non bahasa dalam iklan.
         Pragmatik semiotik adalah hubungan antara pemakai tanda dan pemakaian tanda.

4.    Martin Heidegger (Hermeneutika)


Hermeneutika adalah penafsiran tentang "Ada" sekaligus dengan cara sang "Ada" itu menampilkan
dirinya. Bahasa merupakan cara manusia berada yang khas, maka obyek utama hermeneutika adalah segala
bentuk permainan bahasa yang memungkinkan manusia memahami dunia dengan dirinya sendiri.
Hermeneutika bukan ilmu (mencari dasar bagi keabsahan klaim ilmiah atas kebenaran), melainkan
meneropong bagaimana terjadinya dan bekerjanya pola pemahaman ilmiah.
Hermeneutika bukan epistemologi (disiplin teoritis yang menentukan syarat-syarat untuk mengklaim
kebenaran yang sah), melainkan penggalian reflektif atas keterbatasan setiap klaim tentang kebenaran.
5.    Jacques Derrida (Dekontruksi)
Tanda adalah gunungan realitas yang menyembunyikan ideolgi yang membentuk atau dibentuk oleh
makna. Jika filosof sebelumnya mengasumsikan "Ada dipahami sebagai kehadiran" (logosentrisme) maka
Derrida memahami "kehadiran itu dalang rangka jaringan tanda, kehadiran dimengerti berdasarkan sistem tanda.
Jika dikatakan "tanya saja pada Jhon" maka kata "Jhon" menunjuk pada orang yang tidak hadir dan seakan
menghadirkannya.
Tidak seperti filosof strukturalisme sebelumnya yang mengatakan bahwa "penanda mendahului
petanda", Derrida menganggap tanda sebagai trace (bekas) yang mendahuli petanda.
Baginya, pada akhirnya bahasa dan kata-kata adalah kosong belaka, dalam arti tidak menunjuk pada
sesuatu apapun selain pada maknanya sendiri dan makna itu sendiri tidak lain hanyalah perbedaan arti yang
dimungkinkan oleh sistem lawan kata.
Dengan dekontruksi, cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat
paradoksnya. Modrnisme hendak ditampilkan tanpa kedok .

6.    Michel Foucault (Arkeologi Pengetahuan)


Setiap zaman mempunyai episteme1[‡] tertentu yang merupakan fundamen epistemologis bagi zaman
itu. Episteme itu mejadikan zaman itu berbeda dengan zaman yang lain (diskontinuitas dalam sejarah). Foucault
berusaha menggali episteme-episteme yang menentukan berbagai zaman. Itulah yang disebut dengan "arkeologi
pengetahuan".
Sekumpulan pernyataan yang bersifat diskontinuitas disebut dengan "diskursus". Untuk menyelidiki
diskursus, Foucault memiliki konsep:
      Positivitas (yang menandai kesatuan diskursus dalam satu periode)
      Apriori historis (syarat-syarat atau aturan-aturan yang menentukan diskursus)
      Arsip (endapan domumen masa lampau)
Pengetahuan dan kekuasaan seperti dua sisi mata uang, tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan.
Adapun pendapat Foucault tentang kuasa adalah:
      Kuasa bukanlah milik tapi strategi
      Kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana
      Kuasa tidak selalu selalu bekerja melalui penindasan atau represi tetapi terutama normalisasi (sesuai atau
mengadakan norma) dan regulasi (menyesuaikan atau mengadakan aturan-aturan)
      Kuasa tidak bersifat destruktif (menghancurkan) tetapi produktif (menghasilkan sesuatu).

7.    Jean Baudrilard (Teori Simulasi)


Tanda merupakan kontruksi simulasi suatu realitas. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi
cerminan kenyataan tetapi model-model seperti boneka barbie, tokoh-tokoh televisi dll. Tokoh-tokoh itu
nampak lebih dekat ketimbang tetangga sendiri.
Perkembangan iptek seperti micro processor, memori bank, remote control, telecard, laser disc dan
internet telah menciptakan relitas baru dengan citra-citra buatan. Citra-citra itu lebih meyakinkan ketimbang
fakta, lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari.
Akhirnya, nilai-guna dan nilai-tukar telah tergantikan oleh nilai nilai-tanda (makna) dan nilai simbol.
Jadi citra, simbol dan sistem tanda lebih diperhatikan ketimbang manfaat dan harga.

8.    Fritjof Capra (Holistisisme)


Capra meletakkan pengetahuan intuitif di atas pengetahuan rasional dan riset rasional. Capra juga
mengadopsi panteisme dan mistisisme timur sebagai paradigma sains yang memandang seluruh keberadaan
sebagai keberadaan tunggal, hal ini karena atompun juga berkaitan erat satu sama lain dan saling bergantung.
Karena realitas itu tunggal maka, bagi capra, tidak ada fenomena-fenomena yang saling bertentangan
satu sama lain.

1
PERKEMBANGAN FILSAFAT SETELAH MASA MODERN

(FILSAFAT POSTMODERN)

A.     Pengertian Post Modernisme

Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya. Postmodernisme
bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik
temu yang tunggal.Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari
modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah
pemutusan secara total dari modernisme. Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari
kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori. Bagi David Graffin,
Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk
modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari
modernisme yang belum selesai.

Berdasarkan asau usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme), yang
berkembang setelah (post) modern. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1930 pada bidang seni oleh
Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari moderninsme. Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee
dalam bukunya Study of History pada tahun 1947. Setelah itu berkembanga dalam bidang-bidang lain dan
mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri.2[1]

Postmodernisme adalah sebuah term atau istilah yang rumit. Suatu hal yang sulit, bila tidak bisa dikatakan
mustahil, untuk menjelaskan postmodernisme. Tidak hanya postmodernisme bisa ditemukan dalam berbagai hal
(seperti dalam seni, arsitekur, studi literatur, dan ilmu sosial), namun juga dalam berbagai hal tersebut
postmodernisme dimengerti dan dijelaskan dengan berbagai cara yang berbeda.  Apabila kita berbicara
mengenai pengertian postmodernisme, maka akan beragam definisi yang bisa ditemukan. Mengenai beragamnya
definisi postmodernisme, Kvale (2006) berpendapat bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah
posmodern, dapat sangat luas, kontroversial, dan ambigu.Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale
lakukan untuk membedakan istilah postmodern, yaitu :

-          Postmodernitas yang berkaitan dengan era posmodern. Satu pendapat mengatakan bahwa post-
modernitas adalah suatu kondisi atau keadaan; perhatiannya kepada perubahan pada lembaga-lembaga dan
kondisi-kondisi, seperti ekonomi, politik, dan kultural (Giddens 1990; Jenkins, 1995: 6). Postmodernitas adalah
kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi
informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen
yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup.3[2]

-         Posmodernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era postmodern. Pemikiran posmodern, atau
wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya postmodern. Postmodernisme adalah
perubahan-perubahan intelektual ekspresif pada level teori; pada estetika, sastra, filsafat politik atau sosial yang
secara sadar menjawab kondisi-kondisi postmodernitas, atau yang mencoba bergerak melampaui atau
melakukan kritik terhadap modernitas.4[3]

4
B.     Perbedaan Antara Modern dan Postmodern.

Pemikir evalengical, Thomas Oden, berkata bahwa periode modern dimulai dari runtuhnya Bastille pada tahun
1789 (Revolusi Perancis) dan berakhir dengan kolapsnya komunisme dan runtuhnya tembok berlin pada tahun
1989.

Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran
dengan hanya menggunakan penalaran manusia. Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan
posisi Tuhan, naturalisme menggantikan posisi supernatural.

Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier,
kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order Modernisme
dimulai dengan rasa optimis yang tinggi.

Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19.
Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas
digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran disamakan dengan
kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteritik
fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah
ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan.

Modernisme dan postmodernisme, tidak sekedar aliran filsafat dan teori soisal yang hanya berorientasi pada
konsep, system dan metode saja. Para pemikir modernism kontemporer seperti Karl Popper, Houston Smith dan
Habermas, tidak menganggap penting soal timbulnya gerakan postmodernisme. Mereka tetap yakin akan
kekuatan gerakan modernisme bahwa : modernitas masih mampu membimbing kehidupan kontemporer sampai
jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Lebih dari itu, modernitas mempunyai akar filosofis yang lebih jelas.

Sementara itu, postmodernisme merupakan antithesis dari modernisme. Hamper semua istilah yang diajukan
oleh postmodernisme adalah antonimasi terma modernism. Berikut ini beberapa istilah yang biasa dipergunakan
oleh kedua aliran tersebut :5[4]

MODERNISME POSTMODERNISME

Sentralisasi Desentralisasi

Pertarungan Kelas Pertarungan Etnis

Konstruksi Dekonstruksi

Kultur Sub-kultur

Hermeneutis Nihilisme

Budaya Tinggi Budaya Rendah

Hierarki Anarki

Industri Pasca-industri

Teori Paradigma

Kekuatan Negara Kekuatan Bersama (Civil Society)

Agama Sekte-sekte

5
Legitimasi Delegitimasi

Konsensus Dekonsensus

Budaya tradisional Liberalisme

Kontinuitas Diskontinuitas

C.     Lahirnya Postmodernisme

Post modernisme (postmo) adalah gerakan untuk melawan, bahkan menolak arus utama modernisme, ada pula
yang mengganggapnya sebagai anti-modernisme dan anti-positivisme. Dalam situs
http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism menyebutkan bahwa ; Istilah postmodernisme dibuat pada akhir
tahun 1940 oleh sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada
pertengahan 1970 oleh kritikus seni dan teori asal Amerika, Charles Jencks, untuk menjelaskan gerakan
antimodernisme. Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge
(1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai postmodernisme sebagai
fenomena budaya yang lebih luas. Ia memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme,
dan merupakan sisi yang berlawanan dari modernisme.6[5] Hal ini diperkuat oleh pendapat Flaskas (2002) yang
mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa di antaranya adalah
gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju
teori yang spesifik, dari sesuatu yang universal menuju ke sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang
tunggal menuju ke kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut mencerminkan tantangan postmodernist
kepada modernist. Sedangkan Adian (2006) menangkap adanya gejala “nihilisme” kebudayaan barat modern.
Sikap kritis yang bercikal bakal pada filsuf semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang menanggapi
modernisme dengan penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan
berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme.7[6]

D.     Perkembangan Sejarah dan Tokoh-tokoh Postmodern

Pada awalnya, kata postmodern tidak muncul dalam filsafat ataupun sosiologi. Wacana postmodern ini pada
awalnya muncul dalam arsitektur dan kemudian juga dalam sastra. Arsitektur dan sastra ‘postmodern’ lebih
bernafaskan kritik terhadap arsitektur dan sastra ‘modern’ yang dipandang sebagai arsitektur totaliter, mekanis
dan kurang human. Akhirnya, kritik terhadap seni arsitektur dan sastra modern ini menjadi kritik terhadap
kebudayaan modern pada umumnya yang dikenal sebagai era postmodern.
Benih posmo pada awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya The Language of
Postmodern Architecture (1975) menyebut post modern sebagai upaya mencari pluralisme gaya arsitekture
setelah ratusan terkukung satu gaya. Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore.
Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur
modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk
menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan
bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya,
setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu
diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling
berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran
postmodernisme Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan,
termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik
kebudayaan atas modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, dan apa yang
dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai.

7
E. Asas-asas pemikiran Postmodernisme

  Penafian terhadap keuniversilan suatu pemikiran ( totalisme).

  Penekanan akan terjadinya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara terus-menerus, sebagai
ganti dari permanen yang amat mereka tentang.

  Pengingkaran atas semua jenis ideology. memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden
(meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran

  Pengingkaran atas setiap eksistensi obyektif dan kritikan tajam atas setiap epistemology.

  Pengingkaran akan penggunaan metode permanen dan paten dalam menilai ataupun berargumen. Semakin
terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas.
Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi

  Konsep berfilsafat pada era postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis pondasi
pemikiran , mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk pondasi pemikiran filsafat tertentu.

F.      Kritik Terhadap Postmodernisme

Kalau kita menganalisis asas-asas pemikiran postmodernisme, maka dapat kita jabarkan sebagai berikut:

  Manusia postmodernis memandang sesuatu selalu melalui sudut pandang idealis, bukan realis. Tentu, pada
tataran realita tidak mungkin akan kita dapati praksis yang sesuai dengan teori yang berasas tersebut. Jika setiap
orang tetap akan memaksakan pengaplikasian di alam realita, niscaya kehancuran yang bakal terwujud, bukan
perdamaian.

  Menurut keyakinan postmodernisme, tidak ada satu hal pun yang bersifat universal dan permanen. Sedang
disisi lain, doktrin mereka, manusia selalu dituntut untuk selalu mengadakan pergolakan. Lantas, bagaimana
mungkin manusia akan selalu mengadakan pergolakan, sementara tidak ada tolok ukur jelas dalam penentuan
kebenaran akan pergolakan? Bagaimana mungkin manusia selalu mengkritisi segala argumentasi yang muncul,
sedang tidak ada tolok ukur kebenaran berpikir.

  Postmodernisme tidak memiliki asas-asas yang jelas (universal dan permanen). Bagaimana mungkin akal
sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan landasannya? Jika jawaban mereka positif, jelas
sekali, hal itu  statemen mereka sendiri. Sebagaimana postmodernis selalu menekankan untuk mengingkari
bahkan menentang hal-hal yang bersifat universal dan permanen

G.    Postmodern sebagai Filsafat

Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis pada sekitar tahun 1970-an, terlebih ketika Jean Francois
Lyotard menulis pemikirannya tentang kondisi legitimasi era postmodern, dimana narasi-narasi besar dunia
modern (seperti rasionalisme, kapitalisme, dan komunisme) tidak dapat dipertahankan lagi. Seperti yang telah
diterangkan diatas, pada awalnya lahir dari kritik terhadap arsitektur modern, dan harus kita akui kata
postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian dari modernitas. Ketika postmodern mulai memasuki ranah
filsafat, post dalam postmodern tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu, tetapi lebih merupakan
sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal modern.

Konsep postmodernitas yang sering disingkat sebagai postmodern ini merupakan sebuah kritik atas realitas
modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahannya. Nafas utama dari postmodern
adalah penolakan atas narasi-narasi besar yang muncul pada dunia modern dengan ketunggalan terhadap
pengagungan akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar, dan beranekaragam
untuk bersuara dan menampakkan dirinya.C.S. Lewis ketika ia berkata, ketika memperjelas pandangan
Nietzsche sche “My good is my good, and your good is your good” (kebaikanku adalah kebaikanku, dan
kebaikanmu adalah kebaikanmu), atau kalau orang Jakarta bilang, “gue ya gue, lo ya lo”. Jadi di sini tidak ada
standar absolut tentang benar atau salah dalam postmodern. Mungkin Anda juga pernah mendengar orang
berkata “Mungkin itu benar bagimu, tetapi tidak bagiku” atau “Itu adalah apa yang kamu rasa benar.”
Kebenaran, bagi generasi postmodern adalah relatif, tidak absolut.

H. Kritik postmodern terhadap narasi-narasi modern

         Postmodern dan Kapitalisme

Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa
diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya. Menurut para
pemikir postmodern, modernitas itu ditandai dengan sifat totaliternya akal budi manusia yang menciptakan
sistem-sistem seperti sistem ekonomi, sosial, politik, dsb. Sistem-sistem itu akhirnya memenjarakan manusia
sendiri sebagai budak dari sistem yang tidak menghargai sama sekali ‘dunia kehidupan’.

         Postmodern dan Positivisme

Nietzsche adalah tokoh postmodern yang temasuk pengkritik pandangan positivisme August Comte. Menurut
Comte, subyek (manusia-red) mampu menangkap fakta kebenaran, sejauh hal itu faktual, dapat didindara,
positif dan eksak. Akan tetapi menurut Nietzsche , manusia tidak tidak dapat menangkap fakta. Apa yang
dilakukan manusia untuk menangkap objek itu hanyalah sekedar interpretasi. Banyak pernyataan bahwa
Nietzsche tidak percaya bahwa kita bisa mengetahui kebenaran. Fakta kebenaran itu tidak ada, yang ada
hanyalah interpretasi dan dan perspektif. Maka dengan dengan sendirinya tidak ada kebenaran universal yang
tunggal. Penafsiran itu tidak itu tidak menghasilkan makna final, yang ada hanyalah pluralitas sehingga bagi
Nietzsche , kebenaran adalah suatu kekeliruan yang berguna untuk mempertahankan arus hidup.

Anda mungkin juga menyukai