Anda di halaman 1dari 16

FILSAFAT SOSIAL

Dosen : Prof. Dr. Syahruddin Hattab.,M.Si.

Oleh :
NURSIAH MOH. YUNUS
B10323032

PROGRAM STUDI
PASCASARJANA DOKTORAL
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2023

1
Dalam pandangan para filsuf, sejak awal telah disadari bahwa kebenaran bukanlah sesuatu
yang imun atau kebal dari kritik, karena filsafat itu sendiri sesungguhnya adalah kritik, dan
karena kritik itu sendiri adalah salah satu fungsi terpenting filsafat dalam kehidupan manusia.
Tanpa kritik, manusia niscaya akan mati dalam keputusasaan dan kesendiriannya, karena
tidak memiliki second opinion, bandingan yang membuat manusia lebih bijaksana dalam
memandang kehidupan yang acapkali rumit dan penuh dengan perbedaan.
Argumen filosofis menuntut persetujuan rasional manusia, bukan iman maupun
ketaatan. Filsafat bukanlah keyakinan dan dogma, tetapi filsafat adalah sebuah proses
berpikir, metode berpikir dan pemikiran yang benar-benar ditopang oleh rasio manusia.
Filsafat sosial itu sendiri sesungguhnya adalah sebuah bentuk pemikiran yang
membahas fondasi yang mendasari kelahiran dan perkembangan masyarakat, terutama
perkembangan peradaban Barat modern dan kapitalisme. Secara garis besar, ada tiga elemen
pokok modernitas, yaitu: subjektivitas (rasionalitas), ide kemajuan (the idea of progress) dan
kritik. Ketiga elemen inilah yang membedakan masyarakat di era tradisional dengan
masyarakat di era modern.
Belajar filsafat adalah belajar tentang ketidakpastian: bukan dalam arti sesuatu yang
tidak benar, melainkan sesuatu yang kebenarannya terus dapat dipertanyakan kembali,
didekonstruksi, untuk kemudian direkonstruksi hingga satu titik kebenaran baru itu
mengalami proses dialektika yang sama: didekonstruksi dan direkonstruksi kembali.

Thomas Samuel Kuhn: tentang Pergeseran Paradigma.


Thomas S. Kuhn seoramh ahli fisika yang menjadi profesor filsafat dan sejarah ilmu
pada tahun 1961, mengemukakan bahwa tidak ada paradigma yang salah. Ketika ilmuwan
gagal memecahkan teka-teki science, maka kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu
sendiri bukan kegagalan paradigma. Paradigma tidak pernah gagal, tidak pernah mengalami
falsifikasi tapi mengalami pergeseran atau yang sering dikenal shifting paradigm. Dalam
konteks ini Kuhn menyampaikan bahwa ilmu mengalami perkembangan, dapat berkembang
secara open-ended (sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn
berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah, dengan demikian
diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah yang
sesungguhnya.

2
Paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum
dan merupakan sumber nilai. Kuhn menggunakan paradigma dalam dua pengertian sebagai
berikut:
1. Paradima berarti keseluruhan kontelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki
bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu.
2. Paradigma menunjukkan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan pemecahan teka-
teki yang konkret, dan dapat digunakan sebagai model, pola atau contoh dapat
menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan
permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa.
Filsafat ilmu harus berguru pada sejarah ilmu sehingga seorang ilmuwan dapat
memahami hakekat ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya. Dengan mendasarkan pada
sejarah ilmu, Kuhn berpendapat bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang berarti tidak
pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah (falsifikasi) suatu teori
atau sistem, melainkan berlangsung melalui revolusi ilmiah. Sains lebih dicirikan oleh
paradigma dan revolusi yang menyertainya.
Dari rekaman sejarah ilmu, bisa diketahui bahwa terjadinya perubahan dalam
perkembangan sejarah ilmu bukan didasarkan pada upaya empiris untuk falsikasi (proses
eksperimental untuk membuktikan salah dari suatu ilmu) dan refutasi (penyangkalan teori)
melainkan berdasarkan revolusi-revolusi ilmiah sehingga kemajuan ilmu pengetahuan
bersifat revolusioner bukan kumulatif.
Shifting paradigms merupakan istilah untuk menggambarkan dimensi kreatif pikiran
manusia dalam bingkai filsafat. Dengan demikian, paradigma ilmu tidak lebih dari suatu
konstruksi segenap komunitas ilmiah.
Kritik terhadap Thomas S. Kuhn.
Kuhn menyatakan bahwa paradigma yang tidak bisa menjawab atau memecahkan anomali
akan digantikan oleh paradigma baru. Kuhn lupa bahwa setiap penelitian dalam sains selalu
diikuti oleh contoh-contoh pengamatan yang bertentangan. Ilmu pengetahuan seharusnya
tidak identik dengan paradigma. Bahwa ada paradigma-paradigma yang menjadi acuan
penjelasan dalam ilmu pengetahuan dan bukan identifikasi ilmu sebagai paradigma. Karena
kalau tidak maka menggantikan paradigma sama saja menggantikan ilmu pengetahuan.

Gottfried Wilhelm von Leibniz: Tuhan dalam Konsep Kaum Rasionalis.


Tugas filsafat adalah berusaha untuk mengetahui dan memahami makna dari yang ada
(being). Jika Tuhan merupakan sesuatu yang ada, maka Dia pun tidak kebal untuk
3
direnungkan oleh para filsuf dan memperbincangkan-Nya. Gagasan Leibniz tentang hal ini
sangat bermakna karena eksistensi Tuhan lantas dapat ditemukan dalam pengalaman hidup
manusia, paling tidak dalam pengalaman berpikirnya, bukan Tuhan yang terasing dalam
singgasana-Nya. Dengan Descartes dan Spinoza sebagai counterpart-nya, Tuhan
diperbincangkan secara rasional. Seperti keduanya, Leibniz mendasarkan filsafatnya pada
konsep tentang substansi, tetapi dia berbeda dari keduanya dalam hal hubungan antara jiwa
dan materi serta jumlah substansi. Leibniz memercayai Tuhan (supermonad), substansi
sederhana (monad), dan gabungan substansi (composites). Dengan logika deduktif, Leibniz
membangun tiga karakteristik pokok filsafatnya tentang Tuhan, yaitu: Tuhan mencipta sebaik
mungkin, Tuhan mencipta secara bebas, dan Tuhan mencipta sebanyak mungkin.
Ketiga filsuf metafisikawan terbesar di abad 17, yaitu Descartes, Spinoza dan Leibniz
ini memulai kajian filsafatnya dari basis yang sama (substansi), metode yang sama (deduksi),
tapi sampai pada kesimpulan yang tidak sama. Terlepas dari perbedaan tersebut, tidak bisa
diragukan bahwa ketiganya sama-sama mengakui adanya Tuhan. Yang menarik dari Leibniz
adalah keteguhan keyakinannya pada monotheisme, meskipun ia cukup akrab dengan
Spinoza, yang pantheisme itu; juga keteguhan pandangannya mengenai pluralisme substansi,
meskipun ia berhubungan dengan Descartes, yang dualisme itu.

Rene Descartes: Refleksi Metodik “Cogito Ergo Sum”.


Sebagai seorang filsuf yang juga matematikawan, Rene Descartes bereksperimen dalam
ranah filsafat dengan metode keraguan untuk menemukan sebuah kepastian layaknya sebuah
kepastian dalam matematika. Dalam konteks inilah ikhtiar untuk menemukan pengetahuan
yang terang dan jelas menjadi tujuan dari asumsi-asumsi filosofis yang ia tawarkan dengan
slogan “Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada)”. Dengan pola analisis, Descartes
menawarkan metode penguraian masalah dalam aspek-aspek yang terinci (faculty) dalam
pernyataan yang sederhana. Gagasan yang sederhana inilah yang dimaksudkan dalam konsep
Idees claires et distinctes. Dari gagasan yang sederhana inilah kemudian dirangkai untuk
menemukan kemungkinan perluasan konsepnya dalam pola kerja sintesis, yang menghasilkan
kepastian sebuah pengetahuan setelah dilakukan proses verifikasi. Pendekatan realisme
epistemologisnya yang memosisikan subjek (manusia yang berpikir) dan objek (yang
dipikirkan) secara terpisah (res cogitans dan res extensa), bermuara pada keyakinan
Descartes tentang ide bawaan (idea innatae) yang merupakan karunia dari Tuhan sehingga
memunculkan anggapan bahwa manusia adalah gambaran Tuhan di mata dunia (segambar
dengan Tuhan), yang dikenal dengan konsep imago dei.
4
Ditilik dari sejarah filsafat, asumsi-asumsi pemikiran tentang manusia yang memiliki
dimensi dualitas sudah berkembang sebelum Rene Descartes mengenalkan metode keraguan
yang diawali dengan ungkapnya yang sangat terkenal “cogito ergo sum”. Paling tidak ide
tersebut sudah terlihat dalam pemikiran Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas yang
berpendapat bahwa hanya manusia yang memiliki jiwa. Namun demikian, Rene Descartes
bisa memberikan warna baru dengan ide perbedaan eksistensi pikiran dan eksistensi
raga/materi. Kedua dimensi substansi tersebut direpresentasikan dalam konsep rex cogitan
atau realitas ide/pikiran dan rex extensa atau realitas materi. Di mana rex cogitan terkait
dengan esensi substansi ketiga, yakni Tuhan yang merupakan representasi dari esensi
kesempurnaan tertinggi.

Immanuel Kant: Filsafat Kritis Sintesis antara Rasionalisme dan Empirisme.


Immanuel Kant (1724-1804) merupakan seorang filsuf yang memberikan arah baru karena
ide dan gagasannya untuk menyintesiskan antara rasionalisme dan empirisme yang pada
zamannya menjadi dua aliran utama dan berdiri sendiri-sendiri dengan pokok pikirannya
masing-masing. Melalui kritisisme Kant menentang dogmatisme dan tidak menerima begitu
saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya. Melalui karyanya Kant ingin
menemukan kemampuan sebenarnya dari pikiran dan menunjukkan bahwa manusia dapat
memahami realitas alam dan moral dengan menggunakan akal budinya. Kant telah mengubah
gaya pikir manusia pada saat ia hidup. Immanuel Kant merupakan seorang filsuf besar yang
ide-idenya menjadi acuan banyak ilmuwan besar sesudahnya. Filsafat Kant yang kemudian
diacu oleh Hegel menjadi dasar terbentuknya teori-teori kritis dalam ilmu-ilmu sosial.
Asas akal budi menurut Kant adalah logika, yakni logika transendental yang
meskipun apriori namun tetap menjaga kaitannya dengan objek empiris. Logika transendental
memusatkan diri pada asas-asas apriori pikiran manusia atas objek sejauh menentukan
pemahaman, bukan yang lepas dari objek. Logika transendental ini menurut Kant merupakan
forma apriori dalam akal budi.

Georg W. F. Hegel: Filsafat Idealisme (Mutlak).


Filsafat idealisme yang digagas Georg Wilhelm Friedrich Hegel adalah aliran pemikiran yang
dibangun di atas logika dialektika dan filsafat sejarah yang memahami kenyataan sebagai
sebuah proses menjadi. Hegel memahami yang absolut sebagai subjek atau roh yang telah
menyadari dirinya sendiri, yakni seluruh realitas yang memikirkan dirinya sendiri. Hegel
menyatakan yang rasional itu nyata, dan semua yang nyata adalah rasional. Dalam proses
5
dialektika, menurut Hegel yang terjadi bukan hanya peniadaan, pembatalan dari kedua
oposisi (tesis-antitesis), karena munculnya sintesis membuat keduanya tidak berlaku, ditarik
ke taraf yang lebih tinggi dan kebenaran keduanya dipertahankan dalam sintesis yang
dihasilkan. Dunia, dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang dinamis seperti halnya
pikiran (reason). Dunia dan pikiran, keduanya aktif, berproses secara evolusioner dan
kontradiksi merupakan akar dari kehidupan dan gerak. Segala sesuatu cenderung berubah
menjadi kebalikannya (oposisi). Tanpa kontradiksi, tidak ada gerak, tidak ada kehidupan.

Thomas Hobbes: Rasionalitas dan Konsepnya tentang Manusia dan Kekuasaan Negara.
Apabila dalam empirisme pengalaman indrawi adalah pengetahuan yang paling jelas, maka
dalam rasionalisme, pengalaman indrawi bukanlah pengetahuan yang paling sempurna, justru
dapat menyesatkan bagi manusia. Untuk itu, rasionalisme menegaskan peran akal budi (rasio)
manusia sebagai letak pengetahuan yang hakiki. Bahwa pengalaman indrawi apabila
dipadukan dengan kemampuan manusia untuk mencari kebenaran yang hakiki melalui
rasionya adalah pengetahuan yang paling sempurna. Descartes memandang manusia sebagai
mahluk dualitas yang terdiri dari dua substansi, yakni jiwa sebagai substansi pikir (rex
cogitans) dan tubuh sebagai substansi eksistensi (rex extensa). Dalam memperoleh
pengetahuan berdasarkan observasi inderawinya manusia memerlukan rasio agar
pengetahuan yang diperoleh memiliki dasar kepastian yang kuat. Menurut teori kontrak
sosial, Rousseau (1712-1778) menyatakan bahwa negara timbul karena perjanjian yang
dibuat antara orang-orang yang tadinya hidup bebas merdeka, terlepas satu sama lain tanpa
ikatan kenegaraan. Sejatinya fungsi sebuah negara adalah memastikan agar rakyatnya
memiliki sebuah kehidupan yang teratur sebagaimana norma yang berlaku. Oleh karena itu
negara sepatutnya memiliki kekuasaan yang besar terhadap individu-individu di dalamnya
yang disebut dengan rakyat. Karena individu-individu tersebut adalah manusia-manusia yang
memiliki rasio dan selalu memperjuangkan kebaikan bagi dirinya sendiri.
Kritik terhadap Rasionalisme.
Meskipun banyak memberikan pencerahan, namun Rasionalisme juga menuai kritik yang
sangat tajam. Beberapa kritik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Banyak manusia yang memiliki pola pikir visioner merasa bahwa mereka mendapati
kesulitan yang besar dalam menerapkan konsep rasional dalam kehidupan sehari-
harinya. Kecenderungan dapat melakukan abstraksi pengalaman indrawi mendapat
banyak kritik. Diantaranya menganggap bahwa kaum Rasionalis memperlakukan
ide/konsep seakan-akan mereka adalah benda yang objektif, tetapi di sini lain justru
6
menghilangkan nilai dan pengalaman keindraan, menghilangkan pentingnya benda-
benda fisik sebagai tumpuan lalu menggantinya dengan serangkaian abstraksi yang
samar-samar, hal ini mereka nilai sebagai suatu metode yang sangat meragukan dalam
memperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan.
2. Rasionalisme gagal menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia
selama beberapa waktu terakhir. Banyak teori-teori rasionalis yang pada saat tertentu
sudah dipastikan, akan tetapi ternyata dapat diubah pada masa yang lain. Misalnya
teori bahwa bumi adalah pusat dari sistem tata surya dan mataharilah yang
mengelilingi bumi hampir dapat diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang
pasti. Akan tetapi, pada masa kini teori tersebut dapat terbantahkan.
3. Pengetahuan Rasional dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat maupun diraba.
Eksistensi tentang ide yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri
belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang
sama. Lebih jauh, masing-masing kaum Rasionalis memiliki dasar yang berbeda
dalam hal menelaah suatu permasalahan. Plato, St. Augustine, dan Descartes bahkan
Hobbes masing-masing mengembangkan teori-teori Rasional sendiri yang masing-
masing berbeda.

John Locke: Filsuf dengan Ide Manusia Tanpa Dasar.


Konsep tabula rasa merupakan buah pemikiran Locke yang membuatnya disebut-sebut
sebagai Bapak Empirisme. Locke bersikeras menyatakan bahwa ketika lahir manusia seperti
kertas putih bersih. Bagi Locke, manusia terlahir tanpa ide dasar. Adapun yang mengisi
manusia adalah pengetahuan dan pengalamannya. Konsep ini dikembangkan Locke menjadi
sebuah dasar pemikiran falsafati yang mempengaruhi banyak filsuf lain, tidak hanya pada
masa itu melainkan juga memberikan pengaruh hingga masa kini. Pemikiran Rasionalitas
Rene Descates ditentang Locke habis-habisan. Selain itu, Locke masih memiliki dua
pemikiran lain yang banyak memengaruhi pemikiran lain hingga di abad modern, yakni
terkait dengan konteks politik dan toleransi antar umat beragama.
Kritik terhadap Locke.
Sebagaimana pemikiran manusia pada umumnya, pemikiran Locke dalam essay pun
memiliki kelebihan dan juga kelemahan. Kelemahan Locke yang paling tajam dilihat dari
sudut pandang teoretis. Locke dikenal sebagai pemikir yang mampu menahan diri dari upaya
menjelaskan konsekuensi akibat paradoks yang ditimbulkan dari pemikirannya. Dengan kata
lain, Locke bisa mengungkap beberapa pemikiran umum yang kemudian bisa melahirkan
7
konsekuensi yang bersifat paradoksal dalam masyarakat. Selanjutnya, Locke urung
memberikan penjelasan secara teoretis perihal apa yang diungkapkannya tersebut. Bagi
Locke, sebuah prinsip memang bisa menjadi masuk akal dan tidak akan menimbulkan
kesalahan, namun juga bisa menimbulkan konsekuensi praktis yang terasa absurb. Itu
sebabnya, Locke memilih selalu memberikan penjelasan.
Kelemahan yang lain dari pemikiran Locke juga disoroti dari pemikiran politiknya.
Russel (2002:844) menyatakan dari sudut pandang modern, kelemahan politik Locke terletak
pada pemujaan hal milik, meskipun disisi lain filsafat politik Locke juga dianggap cukup
memadai dan bermanfaat hingga masa revolusi industri. Selain itu, Russel (2002:818) juga
beranggapan bahwa gagasan Locke perihal teori pemerintahan (atau filsafat politik) tidak
banyak yang bersifat alami. Tak dapat disangkal, gagasan Locke perihal negara alami dan
hukum alam merupakan pengulangan dari jaman pertengahan, seperti yang diusung oleh
Thomas Aquinas.

Jean Jacques Rousseau: Dualisme Konsep Manusia sebagai Pelaku Kontrak Sosial.
Seperti dikemukakan Rousseau bahwa manusia mempunyai kebebasan penuh dan bergerak
menurut emosinya. Keadaan tersebut sangat rentan akan konflik dan pertikaian. Sebagaimana
digambarkan Rousseau sebagai jatuhnya rahmat keganasan, yang dimulai dari kepemilikan
pribadi manusia pertama kali berbagi sepetak tanah, mengambilnya atas nama diri dengan
mengatakan ‘ini milikku’ dan kemudian yang lain menerima sebagai satu kepemilikan
pribadi, yang memungkinkan berpikir bahwa sesuatu milikku bukan milikmu.
Yang menjadi masalah bagi Rousseau adalah bagaimana melindungi manusia pribadi
dan kepemilikannya, yang kemudian berpikir untuk menemukan sebuah bentuk pemerintahan
melalui kontrak sosial. Hal ini yang dimaknai sebagai sebuah jalan keluar, sebuah konsepsi
baru tentang kewajiban politis dan legitimasi.
Dalam hal ini Rousseau ingin menjaga kebebasan manusia dan menjaga antar hukum.
Mensyaratkan dualisme pada diri manusia. Ia memikirkan individu sebagai warga negara
dan sebagai subjek.
Kontrak sosial merupakan formula tatanan sosial yang benar-benar mendukung hak-
hak kodrati yang sampai sekarang terus tak henti-hentinya diperjuangkan. Perubahan jaman
dan perkembangan teknologi tak terelakkan untuk ikut berperan dalam perubahan tatanan
sosial. Semakin tinggi tuntutan kebebasan yang dilandasi dunia tanpa batas sungguh sangat
berdampak bagaimana perubahan sosial bergulir. Kehendak umum yang semakin kabur

8
berakibat tidak menentunya kepastian kepastian keamanan dan kenyamanan, yang merupakan
hak manusia kodrati.

Auguste Comte: Positivisme Puncak Pemikiran Manusia.


Auguste Comte adalah filsuf penggagas istilah positivisme di bidang ilmu sosial, yang
bertekad mengacaukan persoalan sosial. Di saat terjadinya Revolusi Perancis, kerusuhan ada
dimana-mana. Pembunuhan dan penculikan menghantui masyarakat. Dalam kondisi yang
mencekam itu, Comte menyimpulkan kejadian yang satu senantiasa menyebabkan kejadian
yang lain. Sama persis dengan hukum alam yang sudah pasti. Intinya, filsafat positivisme
menyatakan terhadap semua fenomena sosial berlaku hukum alam. Comte memandang
pemikiran positivisme sebagai hubungan sebab-akibat diantara fenomena yang terjadi di
masyarakat. Sebagai seorang pemikir ilmu sosial, Comte menginginkan tatanan sosial
kemasyarakatan yang mempunyai kepedulian sosial tinggi. Comte mendambakan negara kuat
yang dapat melindungi rakyatnya. Negara yang dipimpin oleh para ilmuwan atau teknokrat.
Bukan negara yang dipimpin oleh kaum bangsawan atau kaum pekerja dari rakyat jelata.
Dalam gagasan Comte, pemimpin negara yang berasal dari kaum pekerja, dari rakyat jelata,
bisa menjadikan perebutan kekuasaan, yang bisa berujung pada kerusuhan sosial juga. Jadi
ujung dari filsafat positivisme adalah terwujudnya tatanan sosial yang teratur, tanpa
pergolakan dan pertumpahan darah.
Auguste Comte sebagai pencetus istilah positivisme, meyakini bahwa sosiologi
dengan pendekatan filsafat positivistik, akan mampu menjadi obat mujarab untuk
menyembuhkan penyakit sosial yang berupa ‘kekacauan sosial’. Kekacauan sosial sering kali
disebabkan oleh karakter individualistik yang saling mengedepankan kepentingan dirinya
masing-masing, yakni individualistik pemburu rente oleh karena itu, positivistik harus bisa
mengarahkan bagaimana negara menjadi kuat, untuk membangkitkan semangat rakyat, dan
meningkatkan kepedulian sosial. Dengan munculnya kepedulian sosial di masyarakat maka
intrik-intrik bisa terkurangi, yang akhirnya dapat tercipta masyarakat yang damai dan
makmur.
Positivistik bisa melahirkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi manusia.
Positivistik mendasarkan pengetahuannya kepada adanya peraturan di alam semesta ini.
Positivistik mencari pengetahuan melalui panca indra dan logika. Positivistik menolak segala
bentuk pemikiran metafisika. Terlepas dari kritik bahwa positivisme yang ditawarkan Comte
dinilai mereduksi realitas ke dalam hal-hal yang empiris dan terukur, serta terlalu bercorak ke

9
ilmu alam, bagaimanapun pemikiran Comte ini telah menjadi ilham dalam melahirkan dan
mengembangkan sosiologi ilmu yang diakui eksistensinya.

Filsafat Strukturalisme Claude Levis-Strauss antara Kekerabatan, Mitos, dan Simbol


(Seni).
Claude Levi-Strauss adalah pencetus pertama aliran strukturalis di Prancis. Strukturalis Levi-
Strauss mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam menganalisis tentang struktur
kekerabatan, perkawinan/mitos dan simbolisme/seni. Kekerabatan dapat dianggap sebagai
semacam bahasa karena aturan-aturan yang dimiliki klen-klen primitif di bidang kekerabatan
dan perkawinan memang merupakan suatu sistem yang terdiri atas relasi-relasi dan posisi-
posisi, seperti suami-istri, anak-bapak, kakak-adik, dan lain-lain. Bahasa adalah sistem
komunikasi, pertukaran, begitu pula kekerabatan juga sistem komunikasi karena klen-klen
atau famili-famili atau kelompok-kelompok sosial lain tukar-menukar wanita mereka.
Dengan kata lain, sistem kekerabatan dan sistem bahasa pun dikuasai oleh aturan-aturan yang
ada. Strukturalisme Claude Levi-Strauss mempunyai tujuan utama untuk mengungkap
struktur gejala sosial budaya walaupun pada kenyataannya ia mengabaikan karena isi dari
unit analisisnya Levi-Strauss pada tingkat masyarakat yang unit analisisnya berbeda dari
tokoh strukturalisme seangkatannya seperti Ferdinan de Saussure, Roland Barthes, dan
Marshal Sahlin. Strukturalisme juga begitu berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmuwan
sosial, terutama di Prancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang
marak setelah Perang Dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap
eksistensialisme dan juga pemikiran fenomologi. Strukturalisme dianggap menghancurkan
posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk dunia.
Kritik terhadap Strukturalisme Claude Levis-Strauss.
Secara umum, strukturalisme menuai banyak kritik dari sisi epistemologi. Validitas
penjelasan struktural telah ditentang dengan alasan bahwa metode strukturalis yang tidak
tepat dan tergantung pada pengamat. Artinya, unsur subjektivisme sangat erat dalam
penelitian strukturalisme. Satu peneliti dan menghasilkan hasil yang sama sekali lain dengan
peneliti lainnya.

Karl Marx dan Imajinasi Sosialisme.


Karl marx adalah pemikir ‘bersegi banyak’ dan cendekia yang kaya akan gelar: sebagai filsuf,
ideolog, ekonom, sosiolog, politisi, dan juga aktivis. Marx menyebut pemikirannya sebagai
kritik politik ekonomi dari perspektif kaum proletar yang dikenal pula sebagai filsafat kritis.
10
Marx telah menjadi magnet yang menarik tidak lain karena kerangka pikirnya masih sangat
relevan sebagai pisau analisis yang tajam dalam konteks kapitalisme yang makin menggurita.
Terlepas dari imajinasinya tentang masyarakat komunis yang merupakan sintesis dari
kapitalisme belum terwujud hingga saat ini, namun imajinasi sosialisme sebagai masyarakat
tanpa kelas, tanpa penindasan, dan tanpa aliensi masih menjadi esensi pemikiran Marx yang
belum terhenti untuk diperdebatkan. Menurut Marx, sosialisme adalah produk materialisme
dialektis dan materialisme historis. Pemikiran ini masih sangat luas memberikan ruang pikir
bagi filsuf sesudah zamannya.
Karl Marx berkeyakinan bahwa tugas seorang filsuf tidak hanya berhenti dalam
menafsir dunia, tetapi harus mampu mengubahnya. Ajaran-ajaran filosofi Marx bukan
sekedar pemaparan suatu ajaran filosofis, tetapi juga merupakan acuan tindakan praktik
revolusi proletariat menuju masyarakat sosialis. Hal ini tergambar jelas dari sejarah hidupnya
yang dipenuhi dengan pemaknaan filsafati melalui referensi-referensi yang menginspirasinya
sekaligus berupaya berjuang melawan kekuatan kapitalisme yang dikritiknya dengan
menuliskan artikel-artikel yang menentang borjuasi serta bergerak dalam gerekan buruh,
kekuatan yang dibelanya.
Marx membangun suatu filsafat praksis yang diharapkan menghasilkan suatu
kesadaran untuk mengubah realitas masyarakat kapitalis yang bercirikan pengisapan dan
eksploitasi. Menurut Marx, dalam sistem ekonomi kapitalis, kelas pemilik modal berjuang
mati-matian untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin. Jalan yang paling cepat untuk
memungkinkan hal tersebut adalah dengan pengisapan kerja kelas buruh. Untuk itulah, muara
dari pemikiran Marx adalah bagaimana supaya buruh yang teralienasi dapat terbebas dari
belenggu kesadaran palsu dan akan bergerak melawan sistem kapitalis melalui revolusi
proletariat. Dengan demikian, filsafat Marx dapat dikatakan sebagai filsafat jalan keluar bagi
masyarakat yang teralienasi dengan mengembangkan sistem baru yang tidak mungkin terberi
begitu saja tetapi harus diperjuangkan melalui dialektika perjuangan kelas.
Kritik terhadap pemikiran Marx.
Esensi pemikiran filsafati Marx adalah materialisme historis dan sosialisme adalah muara
imajinasinya. Terlepas bahwa imajinasi Marx tentang masyarakat tanpa kelas hingga kini
belum terwujud tetapi pemikiran dan filsafat Marx masih merasuk pada perkembangan
pemikiran modern hingga postmodern, sehingga adalah benar yang dikatakan oleh Engels
bahwa diakui atau tidak, sebagian besar dari manusia adalah Marxist, dan selebihnya lagi bisa
jadi adalah Marxian dan pengkritik Marx.

11
Beberapa pengkritik Marx telah menganggap bahwa Marxisme telah terkubur dalam
kapitalisme yang semakin menderu. Namun demikian, bersamaan dengan capaian-capaian
dramatis kapitalisme terutama dalam teknologi, kapitalisme memang menuai kejayaan tetapi
bukan kejayaan tanpa korban manusia dan alam. Globalisasi sebagai ikon perkembangan
kapitalisme justru telah menjadi pemicu kehancuran-kehancuran dunia dan melahirkan
keadilan yang timpang. Dalam kondisi demikian, eksotisme pemikiran Marx tidak pernah
meninggalkan imajinasi para pemikir, filsuf, dan pemuja sesudah jamannya dan imajinasi
Marx tentang masyarakat sosialis yang emansipatif dan humanistik menjadi tetap relevan dan
aktual.

Jean-Francois Lyotard: Filsafat Postmodern dan Kritik Terhadap Modernisme.


Jean-Francois Lyotard merupakan pioner perkembangan filsafat postmodern-yang
menyatakan bahwa pengetahuan yang dilahirkan filsafat postmodern ditandai oleh runtuhnya
kebenaran yang dilahirkan sains, runtuhnya rasionalitas, dan objektivitas yang kemudian
digantikan oleh prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi.
Postmodern sesungguhnya adalah aliran filsafat baru di era masyarakat post-
industrial yang menawarkan pikiran alternatif di tengah dominasi dan mainstream sosial,
politik, dan kebudayaan yang represif, dominatif, dan hegemonik. Munculnya filsafat dan
pemikiran filsafat postrmodern ini sedikit-banyak dilatarbelakangi oleh proses perubahan
yang terjadi di masyarakat, yaitu perubahan dari masyarakat industri ke masyarakat post-
industrial dan perubahan dari kebudayaan modern ke kebudayaan postmodern.
Sebagai sebuah aliran filsafat maupun gerakan intelektual, postmodern pada intinya
prihatin terhadap eksistensi wacana nonlinier, ekspresif, dan suprarasional yang terpinggirkan
dan menjadi kering karena pengaruh Pencerahan. Berbeda dari filsafat modern yang
mengedepankan rasionalitas, filsafat postmodern justru muncul dengan segala bentuk kritik
terhadap impian-impian yang ditawarkan proyek modernitas. Filsafat modern yang dipelopori
Rene Descartes (1596-1650), umumnya menempatkan analisis logis dan metode ilmiah
sebagai kunci untuk mencari kebenaran ilmu pengetahuan. Namun, filsafat postmodern justru
mengkritik metode ilmiah sains yang dinilai positivistik dan menyatakan bahwa di era
masyarakat post-industrial yang terpenting adalah pastiche, yakni sebuah pandangan yang
menyatakan bahwa berbagai pandangan dilihat sebagai sumber kekayaan dari kenyataan
menyeluruh.
Kritik terhadap filsafat Postmodern Lyotard.

12
Secara garis besar, sebagai sebuah pemikiran filsafat dan cara pandang untuk memahami
perubahan sosial di era postindustrial, paling tidak ada tiga kritik yang dilontarkan pada
postmodern. Pertama, postmodern mengabaikan realitas institusional kehidupan abad ke-21.
Kedua, postmodern keliru memandang individu manusia tidak berdaya (tidak memiliki
kekuasaan) ketika berhadapan dengan pengaruh-pengaruh wacana, karena manusia
sesungguhnya bukanlah subyek yang mati (strukturasi). Ketiga, postmodern tidak bisa
memberikan kontribusi yang berguna bagi membangun dunia kita yang lebih aman dan lebih
baik, karena aliran filsafat yang digagas Lyotard ini menolak bahwa kita (manusia) memiliki
kapasitas untuk mengetahui bagaimana segala sesuatu itu sesungguhnya ada.
Filsafat postmodern yang digagas Lyotard tidak menawarkan jalan keluar yang jelas
tentang apa yang harus dilakukan setelah pengetahuan dan kebenaran dipertanyakan atas
dasar filosofisnya.

Jürgen Habermas: Neo-Rasionalisme Pascamodern.


Jürgen Habermas dengan filsafat kritisnya memberikan pencerahan bagi konsep rasionalitas.
Rasionalisasi praksis komunikasi menjadi dasar pemikiran Habermas dalam menjelaskan
tentang struktur-struktur komunikasi sosial dalam perubahan di masyarakat. Neo-
rasionalisme hadir untuk melengkapi dan menyempurnakan rasionalisme dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat. Habermas berpandangan, bahwa hanya
kekuasaan yang ditentukan oleh diskusi kritis publik merupakan kekuasaan yang
terasionalisasikan. Menurut Habermas masyarakat komunikatif pada hakikatnya merupakan
masyarakat yang mampu berperan dalam perubahan sosial.
Habermas memahami konsep kritik sebagai “salah satu” bentuk argumentasi yang
tidak bertujuan untuk menghasilkan konsensus. Di sini Habermas tidak lagi memusatkan
pada kritik, melainkan pada bentuk lain yang dikenal dengan “diskursus” yang dipahami
sebagai bentuk komunikasi reflektif yang melibatkan argumentasi rasional untuk mencapai
suatu konsensus tanpa paksaan.
Menurut Habermas, pascamodernisme sulit dipahami, karena melibatkan suatu
perpecahan radikal, dan budaya dominan maupun estetika, dengan momen yang agak berbeda
dari organisasi sosioekonomi. Bagi Habermas, pascamodernisme melibatkan penyangkalan
eksplisit dari tradisi modern.

Pierre Bourdieu: Bahasa dan Kuasa Simbolis.

13
Bourdieu adalah filsuf kontemporer yang memperkenalkan satu perspektif baru dalam filsafat
dan teori sosial. Bourdieu berhasil mengompromikan kontradiksi-kontradiksi yang selama ini
ada dalam kajian sosiologi. Dia menjadi filsuf yang memberi jalan kompromi antara
subjektivisme-objektivisme, mikro-makro, kebebasan-determinisme, material-simbolis,
nature-hystory, doxa-episteme, dan kesadaran-ketidaksadaran. Kajian bahasa dan kuasa
simbolis adalah salah satu dari karya keilmuwan Bourdieu. Menurutnya, praktik berbahasa
adalah hasil dari habitus (struktur kognitif yang memperantarai individu dengan realitas
sosialnya) bahasa agen dalam sebuah pasar linguistik yang distrukturkan oleh aturan-aturan
yang membentuk harga. Di pasar linguistik inilah pertarungan memperebutkan keuntungan
material dan simbolis terjadi. Bahasa mempunyai kemampuan membentuk dan
menstrukturkan realitas, memiliki kemampuan menstrukturkan realitas, sehingga bahasa
merupakan sarana utama bagi kuasa simbolis.
Kritik pada Bourdieu.
Ide pokok Bourdieu yang mencoba menolak kajian teori murni serta mengkritik empirisme
murni, sehingga memunculkan tentang teori sosial yang dianggap tidak memiliki validitas
universal. Para pengkritik Bourdieu beranggapan bahwa ide dan teori Bourdieu tidak lebih
sebagai serpihan-serpihan ide yang tercecer dalam konsep-konsep utamanya. Bourdieu
dianggap terlalu menyederhanakan faktor historis dalam setiap kajiannya. Konsep arena
Bourdieu dianggap menghilangkan hubungan-hubungan sosial selain relasi pertarungan untuk
memperoleh posisi semata. Bourdieu dianggap menafikan hubungan sosial lainnya, seperti
solidaritas, cinta kasih, dan kerjasama.

Jacques Derrida: Dekonstruksi, Difference, serta Kritiknya Terhadap Logosentrisme


dan Metafisika Kehadiran.
Jacques Derrida (1930-2004) adalah seorang filsuf yang mengguncang ilmu pengetahuan dan
filsafat. Melalui pendekatan dekonstruksinya Derrida menggoyang, menjungkirbalikkan,
mencemaskan, dan mengobrak-abrik untuk memberi peluang membangun hal-hal baru dan
menemukan makna baru. Dekonstruksi menurut Derrida membuka pikiran yang tertutup.
Dekonstruksi menunda makna kriteria, penilaian, dan keputusan. Derrida mengkritik konsep
Plato mengenai metafisika kehadiran yang menjadi dasar logosentrisme yang lebih
mengutamakan penuturan atau ucapan dibanding tulisan atau teks. Derrida berpendapat
bahwa kesadaran, subjektivitas dan bahasa menjadi setara dengan sejenis keberadaan yang
identik dengan dirinya. Pemikiran Derrida bersifat sangat poststrukturalis karena membangun

14
di atas penanda yang mengambang bebas. Ia melampaui batas-batas sempit bertentangan
binari dan mengukir istilah “ketidakmampuan mengambil keputusan”.
Derrida ingin mengubah tradisi kebanyakan filsafat klasik yang selalu
memperlakukan tulisan tidak lebih baik dari percakapan sebagaimana yang dikemukakan
Socrates bahwa “percakapan lebih baik daripada tulisan, karena ia internal bagi rasio atau
ingatan, menyangkut hidup manusia dan terlibat dalam esensi kearifan daripada penampilan
lahirnya yang tertulis”. Filsafat Barat memandang tulisan sebagai suplemen untuk
percakapan, artinya tambahan, sesuatu yang muncul sesudahnya, sesuatu yang sekunder.
Derrida mencampakkan kembali peran dan nilai suplemen. Derrida ingin kembali pada
ketidakmampuan untuk memutuskan. Dalam slogannya Derrida berkata bahwa
ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk
mempercayainya.

Penutup
Filsafat Sosial merupakan sebuah bagian penting dalam studi Ilmu-ilmu Sosial yang
membangun pemikiran dan kemampuan untuk memahami state of the art teori-teori sosial
secara lebih mendalam. Pemilihan metode penelitian yang tepat dan perkembangan perspektif
serta teori-teori sosial tidak akan dapat dipahami secara utuh jika tidak dilacak hingga asumsi
dasar dan akar pemikiran filsafatinya. Lebih dari sekedar pemikiran yang mendasar tentang
kebenaran ilmu pengetahuan dan jawaban terhadap permasalahan sosial yang timbul di
masyarakat, filsafat sosial sesungguhnya adalah akar dari perkembangan teori-teori sosial
yang fundamental dan substansial.
Perspektif dan teori sosial apa pun baik itu Marxian, Weberian, Durkhemian, teori
sosial modern, postmodern, maupun teori sosial yang lain niscaya tidak akan dapat dipahami
dengan utuh bila kita tidak melacak ke belakang pada akar pemikiran filsafatnya. Sementara
itu, filsafat sosial aliran apa pun, cenderung akan terasa abstrak dan kurang membumi jika
tidak dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk teori-teori sosial yang dapat dijadikan acuan
untuk menjelaskan dan memahami perubahan sosial di masyarakat. Filsafat dan teori sosial
ibaratnya adalah dua sisi mata uang yang saling berkaitan, dan tiadanya atau menghilangkan
salah satu sisi niscaya akan menyebabkan pemahaman kita terhadap dunia sosial menjadi
timpang.

15
16

Anda mungkin juga menyukai