PEMBAHASAN
PARADIGMA ANTROPOLOGI
1.1.
Paradigma Ilmiah
Dalam bahasa sederhana paradigma adalah cara pandang, pola pikir, cara
berpikir. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Paradigma
diartikan sebagai kerangka berpikir. Paradigma mirip dengan kacamata yang
Anda pakai. Dengan kacamata hitam, maka semua obyek yang Anda lihat
akan berwarna hitam. Dengan kacamata kuda, Anda hanya bisa melihat
obyek yang ada di depan Anda. Anda tidak akan bisa mengamati wanita
cantik yang ada di samping Anda, kecuali dengan menggeser pandangan
Anda. Paradigma akan memengaruhi cara pandang Anda dalam melihat
realitas dan bagaimana cara Anda menyikapinya. Ilmuwan sosial Thomas S
Kuhn, orang yang kali pertama menggunakan konsep paradigma, melalui
buku Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda mengungkapkan paradigma bukan
saja bersifat kognitif tapi juga normatif. Paradigma bukan saja memengaruhi
cara berpikir kita tentang realitas, tetapi juga mengatur cara mendekati dan
bertindak atas realitas.
Kebanyakan ahli filsafat ilmu pengetahuan masa kini sependapat bahwa ilmu
pengetahuan berkembang sebagai proses akumulasi tampaknya tidak dapat
lagi dipertahankan. Kemajuan ilmiah tidak dapat lagi dianggap sebagai
pertambahan demi pertambahan secara ekslusif.
Dalam bukunya yang terkenal dan masih sering dijadikan acuan oleh para
ahli ilmu pengetahuan, yakni the Structure of Scientufuc Revolution (1972),
Thomas Kuhn menggunakan istilah paradigma dalam dua dimensi yang
Pengertian paradigma yang kedua diatas adalah apa yang disebut Kuhn
(1972: 78) sebagai eksemplar, yang berarti contoh yang bermutu tinggi dari
penelitian yang sukses yang ditanggapi sebagai model ideal oleh para
anggota komunitas ilmiah yang bersangkutan. Komunitas ilmiah terdiri dari
individu-individu yang esensial memiliki pendidikan yang sama, tujuan yang
sama, dan mengacu kepada pembendaharaan kepustakaan yang sama.
Komunitas ilmiah terdiri dari para ilmuan yang memiliki bersama eksemplar
yang sama. Etnografi mengenai masyarakat Trobriand yang dibangun oleh
Bronislaw Malinowski (1992) dapat dianggap sebagai sebuah eksemplar.
Jadi paradigma terdiri dari asumsi dan prinsip ontologism dan epistemology
khusus yang meliputi pula prinsip-prinsip teoretis, yang berdasarkan prinsipprinsip tersebut teori-teori khusus yang dapat dibuktikan dibagun (Kuhn,
1972: 78). Paradigma memberikan ranah yang sesuai bagi suatu kajian yang
di dalam ranah tersebut prinsip-prinsip epistemology dan teoretis diterapkan.
Ketika suatu paradigma ditegakkan, paradigma ini menghimpun sejumlah
teori eksplanatoris tertentu. Teori akan menjadi eksemplar apabila sukses
diterapkan untuk mengeksplanasi.
1.2.
Paradigma Antropologi
Ada dua aspek esensial dari definisi eklektisisme menurut Harris. Pertama,
menjadi eklektik artinya bahwa semua pilihan strategi mungkin memiliki
kemungkinan yang sama. Menjadi antropolog yang eklektrik berarti
mengembangkan pemahaman yang saling terkait, koheren, dan terintegrasi
mengenai kehidupan sosial manusia. Kedua, eklektisisme berarti bahwa
semua sector system sosial budaya memiliki kemungkinan yang sama
menentukan. Dalam pengamatan Harris adalah kecenderungan antropologi
kontemporer terdorong kea rah teori-teori menengah yang tidak langsung
hubungannya satu sama lain dengan perangkat prinsip-prinsip paradigma
yang eksplisit.
1.3.
Determinisme Kebudayaan
FTK memulai kariernya sebagai pekerja arkeologi yang menaruh minat besar
pada sejarah daerah Barat Daya, tetapi meninggalkan urusan itu demi
mengembangkan spekulasi-spekulasi di ruangan tertutup dalam filsafat
ilmu pengetahuan, tatkala ketidakmampuannya di lapangan mulai
merongrongnya. Setelah bertahun-tahun bergelimang debu penggalian
arkelogis di lembah-lembah yang panas dan kering. Ia lebih banyak
kehilangan lapisan-lapisan penggalian ketimbang elevator Pusat
Perdagangan Dunia.
ATT adalah produk tidak asli dari generasi saya (Flannery). Percaya diri dan
ambisius, tujuannya mudah saja: menjadi terkenal, gaji besar, dipuja-puja,
dan menerima penghargaan tinggi. ATT mahir dengan permainan akademis.
Ia mencari jalan agar disertasi doktornya diterbitkan dan diterbitkan kembali
dalam berbagai versi, dan membuat dirinya menjadi kaya dan terkenal
karena menyunting tulisan-tulisan sejawatnya.
Sang pahlawan cerita ini adalah AML. Tokoh ini menghabiskan umurnya
dengan sabar di lapangan dan secara professional merekonstruksi sejarah
kebudayaan dari masyarakat prasejarah. Tujuan arkeologi adalah mengajar
dunia sesuatu tentang masa lampau mereka. Selanjutnya dunia tidak boleh
lalai terhadap epistemology. AML dipaksa pensiun dini kerena dosanya,
terlalu kuno, terlalu percaya terhadap kebudayaan sebagai paradigma
sentral dalam arkeologi. Ia yakin bahwa Kebudayaan, dan bukan halihwal psikologi atau pilihan strategi ekonomi, memberikan eksplanasi
terbaik bagi prilaku manusia. AML tidak tertarik berdebat tentang paradigma
sebagai jalan terbaik untuk melaksanakan ilmu pengetahuan. Ia lebih suka
tetap teguh dilapangan atau tepatnya dalam lubang penggalian dan
mengkhususkan diri dalam arkeologi daerah tertentu atau periode
tertentu.
Dalam diskusi di kabin B-747 itu, ATK berkata bahwa ia ingin membangun
dialog antara arkeologi dan filsafat. Tujuan yang terakhir adalah memberikan
sumbangan kepada filsafat., karena ia bekerja pada tingkat abstraksi yang
lebih tinggi daripada sebagian besar sejawatnya. AML, di pihak lain, hanya
berharap dapat memberikan konstribusi bagi arkeologi (ATT hanya ingin
menyumbang bagi kariernya sendiri). AML membandingkan ATK sebagai
penyiar televise yang duduk dipinggir lapangan seraya menyampaikan
penilaian-penilaian atas para pemain football yang tengan bertanding.
Penyiar tersebut, bagaikan filsuf ilmu pengetahuan professional,
menyampaikan analisis yang abstrak dan rumit terhadap kegiatan yang
tengah berlangsung , tetapi menurut AML analisis demikian itu tidak memiliki
dampak teoritis atau strategi terhadap permainan, apakah itu pernainan
football atau arkeologi. Konstribusi yang sesungguhnya adalah dari pemain
dan pelatih itu sendiri yang terlibat langsung dilapangan.
1.4.
Dalam bagian ini dibahas lebih tegas lagi mengenai definisi ranah kajian
antropologi. Filsuf sosial Hanna Arendt menunjukkan bahwa spesies manusia
bukanlah sui generis dan juga tidak sepenuhnya tidak murni dikalangan
bentuk-bentuk kehidupan di muka bumi. Manusia meniru cara dunia
memisahkan keberadaan manusia dari lingkungan hewan semata-mata,
tetapi kehidupan itu sendiri berada diluar dari dunia tiruan ini, dan melalui
Menjadi manusia berarti hidup di dunia yang nyata dan artifisial, atau di
dunia yang dimiliki bersama sekaligus diperebutkan dengan spesies hewan
lainnya. dengan kata lan, spesies manusia menghadapi dua tugas yang
berbeda namun berkaitan satu sama lain, yaitu mempertahankan kehidupan
manusia dan mempertahankan identitas manusia (Arendt,1958).
Mempertahankan identitas berarti aktivitas-aktivitas yang fungsi primernya
adalah mendefinisikan dan membatasi status manusia, atau aktivitasaktivitas yang ekspresi asal usulnya terletak pada kecenderungan manusia
untuk mewujudkan makna-makna melalui simbol-simbol mengenai dunia.
dipertahankannya identitas manusia melibatkan aktifitas-aktifitas seperti
seni, musik, ritual, dan meliputi isu-isu seperti pembentukan kepribadian dan
formulasi pandangan dunia.
Ahli filsafat dan sejarawan sosial Johan Huizinga (1950) menaruh perhatian
pada dipertahankannya identitas manusia tatkala ia berargumen bahwa
permainan adalah landasan kebudayaan manusia: Kehidupan sosial
dibentuk oleh bentuk-bentuk suprabiologi dalam bentuk permainan, yang
meningkatkan nilainya. Melalui permainan inilah masyarakat
mengekspresikan interpretasinya mengenai kehidupan dan dunia.
kegiatan keagamaan adalah salah satu cara yang signifikan dimana manusia
mendefinisikan diri mereka sebagai manusia, namun isi dan organisasi
keyakinan keagamaan dan perilaku erat terkait dengan strategi kebudayaan
tertentu mengenai adaptasi. sedangkan strategi yang fungsinya paling nyata
dan langsung adalah dipertahankannya kehidupan manusia. fenomena
kematian karena ilmu sihir (voodoo) jarang dapat digolongkan semata-mata
sebagai konsekuensi dari dipertahankannya kehidupan manusia atau
dipertahankannya identitas manusia, kajian antropologi mengenai kematian
karena voodoo menjelaskan gejala ini dalam konteks interaksi antara faal
dan psikologi.
Deep Play: Some Notes on the Balinese Cockfight, suatu tulisan klasik
dalam buku Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, (1973), adalah
contoh yang bagus yang secara ekslusif berkaitan dengan isu
dipertahankannya identitas manusia. dalam tulisan tersebut, Geertz
berupaya mengungkapkan secara detail adu ayam pada orang Bali. Bagi
orang Bali, katanya adu ayam jauh lebih dari sekedar hiburan atau olah raga.
adu ayam adalah suatu peristiwa simbolik yang kompleks, yang melalui
simbol-simbol tersebut orang Bali mendefinisikan diri mereka. di Bali, ayam
jantan yang di adu adalah simbol yang penuh muatan, di satu sisi ayam
jantan tersebut adalah ekspresi seksualitas pemiliknya, tetapi pada saat
yang sama ia merepresentasi bahaya, suatu inversi moral dan metafisika
langsung dari status manusia. untuk ikut serta dalam adu ayam , sang
pemilik orang yang memegangi ayam, atau petaruh, menempatkan diri
mereka dalam suatu resiko. ikut serta dalam adu ayam, kata Geertz (1973),
berarti tidak hanya berjudi uang, tetapi juga kehormatan, kewibawaan, dan
maskulinitas seseorang.
1.5.
Konsep Kebudayaan
1.6.
Perbedaan antara emik dan etik itu analog dengan pembedaan antara
fonemik dan fonetik; adalah ahli linguistik, seperti Kenneth L. Pike (1967),
yang membangun istilah emik dan etik dari analogi tersebut. Secara sangat
sederhana, emik mengacu kepada pandangan warga masyarakat yang dikaji
(natives viewpoint) etik mengacu kepada pandangan si peneliti (scientists
viewpoint). Konstruksi emik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan
dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh
partisipan dalam suatu kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan
dianalisis. Konstruksi etik adalah deskripsi dan analisis yang dibangun dalam
konteks dkema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh
komunitas pengamat ilmiah.
Konsep emik dam etik itu menjadi objek diskusi semantik yang hampir sama
hangatnya dengan diskusi tentang konsep kebudayaan. Para antropolog
sibuk saling menyalahkan karena dianggap keliru menggunakan konsep emik
dan etik itu.
Sekalipun emik dan etik adalah konstruksi epistemologi, keduanya tidak ada
kaitannya dengan metode penelitian, melainkan dengan struktur penelitian.
Dengan kata lain, pengujian epistemologi kritis bukanlah bagaimana
pengetahuan itu diperoleh, melainkan bagaimana pengetahuan itu divalidasi.
Pengetahuan etik divalidasi dengan cara yang analog. Agar suatu deskripsi
atau analisis etik diakui sebagai etik, ia harus diterima oleh komunitas ilmiah
sebagai pembahasan yang sesuai dan bermakna. Harris (1976:341)
mencatat bahwa tatkala deskripsi itu responsif terhadap kategori-kategori
pengamat mengenai waktu, tempat, bobot dan ukuran, tipe-tipe pelaku,
jumlah orang yang hadir, gerak tubuh, dan efek lingkungan, maka deskripsi
itu etik. Agar menjadi etik, istilah-istilah, kategori-kategori, konsep-konsep,
dan satuan-satuan pengukuran haruslah tepat, jelas (tidak kabur), memiliki
makna yang dikenal (dapat dikenal) dalam komunitas ilmiah.
bahwa istilah dan konsep yang digunakan harus memenuhi gagasangagasan ilmiah menganai ketepatan, realibilitas, dan akurasi.
2.Deskripsi harus divalidasi oleh pengamat secara independen. Ini berarti
bahwa prosedur-prosedur yang digunakan dalam memformulasikan deskripsi
etik harus dapat direplikasi oleh pengamat bebas dan bahwa pengamat
independen harus memperoleh hasil pengujian yang sama ketika berupaya
memvalidasi deskripsi etik tersebut.
3.Deskripsi harus memenuhi persyaratan berupa aturan-aturan dalam
memperoleh pengetahuan dan bukti ilmiah. Ini berarti bahwa deskripsi,
analisis, dan eksplanasi harus dapat dibuktikan dan tidak boleh
dipertentangkan dengan bukti-bukti lain yang ada. Semua bukti yang ada
harus diperlakukan dalam formulasi deskripsi etik.
4.Deskripsi harus dapat diterapkan secara lintas budaya. Hal ini perlu namun
belum menjadi kondisi yang mencukupi bagi konstruksi etik. Ini berarti
bahwa deskripsi etik itu tidak boleh tergantung pada acuan khusus, dengan
kerangka lokal; deskripsi ini harus dapat digeneralisasi. Kriteria ini
dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa ilmuan akan mempertimbangkan
apakah konstruksi etik yang mereka bangun dan oengujian yang mereka
lakukan untuk memvalidasi konstruksi-konstruksi tersebut barangkali
tergantung pada asumsi-asumsi emik.
5.Kajian-kajian dalam konteks teori tahap-tahap perkembangan yang dikutip
disini semuanya mengilustrasikan bahaya yang bakalan menimpa ilmu-ilmu
sosial yang gagal membedakan emik dan etik. Tak satu pun penulis
memperhatikan bukti lebih dari melewatkan bagitu saja fakta bahwa
berbagai kebudayaan membagi siklus kehidupan manusia berbeda-beda;
semua tampaknya berasumsi bahwa tahap-tahap perkembangan yang
fungsional dalam kebudayaan mereka sendiri sama untuk semua orang di
semua tempat dan kapan pun. Tak satu pun ilmu sosial yang dapat
mengabaikan pembedaan emik/etik dan mengklaim legitimasi bagi
ekspkanasinya sendiri.
kadang-kadang demikianlah yang terjadi. Status emik atau etik dari setiap
klaim tertentu bagi pengetahuan tidak tergantung pada asal usul
pengetahuan itu. Kriteria ini juga membuka kemungkinan bagi kritisisme
legitimasi dari orang-orang yang mengklaim bahwa etik antropologi tak lain
adalah emik dari kebudayaan barat. Etik antropologi lebih bernilai dari pada
emik natives karena etik antropologi itu lebih bertanggung jawab secara
epistemologi. Ini tidaklah berarti bahwa pengetahuan etik adalah satusatunya sasaran penelitian antropologi