Anda di halaman 1dari 120

(hal.

xvii – xxi)

Pendahuluan

Saya menerbitkan karya ini dengan harapan telah mengadakan diskusi

komprehensif awal terhadap subjek—“komprehensif“, yakni dalam pengertian memiliki

hubungan secara sistematis, dan merupakan representasi terpadu dari sosiologi seni yang

memberikan gambaran menyeluruh akan berbagai pertanyaan esensial yang muncul di

dalamnya dewasa ini. Meski demikian, hal itu bukanlah sesuatu yang “menghabiskan

tenaga”, karena tindakan semacam itu tentunya mensyaratkan totalitas pandangan yang

hanya akan bisa dicapai melalui sebuah sudut pandang imajinatif artistik. Oleh karena

seni (dengan mengutip salah satu karya saya sendiri) selalu berada dalam konteks

pencapaiannya sendiri (sementara sains senantiasa berputar-putar pada keadaan yang tak

pernah ada penyelesaian tuntasnya), pernyataan bahwa diskusi yang terdapat di sini

merupakan yang pertama-tama muncul darinya, itu tidak berarti bahwa berbagai

permasalahan sosiologi seni telah diabaikan pembahasannya hingga saat ini, atau bahwa

hal-hal tersebut telah ditolak tanpa mempertimbangkan hasil penelitian yang masuk akal.

Terdapat perlakuan tak terhingga, baik yang sifatnya monograf maupun perlakuan

terhadap bagian-bagian dari karya yang lebih luas, yang sebagiannya sangat informative

(bahkan tak akan bisa dihindari pembahasannya), sehingga karya yang ada di hadapan

Anda saat ini tak akan mungkin terselesaikan tanpanya; bahkan, mungkin saja tak akan

pernah ada tanpanya. Penulis merasa sangat berhutang pada tulisan-tulisan Diderot,

Lessing, Mme de Staël, Marx, dan Hegel, juga pada tulisan-tulisan para kritikus maupun

sosiolog yang melanjutkan penelitian tokoh-tokoh tersebut, seperti Sartre, Edmund

Wilson, Walter Benjamin, Georg Lukács, dan Adorno hingga sampai yang sekarang ini—
1
di mana prosesnya mengalami keterputusan dari waktu ke waktu, namun tidak pernah

benar-benar terputus.

Sama halnya dengan berbagai usaha yang telah ditempuh hingga sekarang ini,

karya ini pun tidak bermaksud untuk menawarkan solusi final yang tak terbantahkan, atau

solusi yang tak akan pernah berubah, terhadap berbagai permasalahan yang ada.

Sebaliknya, karya ini mencakup hal-hal yang masih kurang (karena setiap upaya untuk

mendapatkan solusi merupakan suatu kebutuhan yang diperoleh dari sudut pandang

khusus yang terkondisi secara sosial maupun historis, dan berbagai sudut pandang yang

muncul dalam cara ini membentuk sebuah spiral dan lingkaran di sekeliling objek yang

tengah diamati, ketimbang membuat sebuah garis lurus darinya). Seperti halnya berbagai

upaya mutakhir yang secara objektif memiliki kisah prasejarah yang panjang dan berliku-

liku demi mencapai simpulan dalam sejumlah fase perkembangan independen, sebegitu

subjektif pulalah permasalahan dan sudut pandang investigasi ditemukan, diformulasikan,

dan diklarifikasi secara bertahap. Karya-karya saya yang sebelumnya, mewakili berbagai

kajian, persiapan, dan pendahuluan terhadap jawaban akan pertanyaan utama tersebut.

Tetapi, hal ini muncul berkaitan dengan pekerjaan saya pada sebuah perusahaan

korporasi film, dan dalam pengaruh sebuah peristiwa di mana sejarah—sejak permulaan

drama Yunani kuno—tidak dapat menunjukkan kemiripannya. Hal itu merupakan

kelahiran seni baru yang (oleh karena saya harus mempublikasikan film-film tersebut)

dapat saya amati dalam kondisi serupa laboratorium. Tugas dalam menilai hubungan di

antara produksi dan resepsi sejak semula telah menempatkan hasil penelitian dalam

wilayah sosiologi. Hasil penelitian tersebut awalnya tergabung dengan basis pengalaman

dan persepsi yang selalu tertidur dalam waktu yang cukup lama dan yang hanya digali

2
dan dipakai setelah lewat bertahun-tahun lamanya. Semula saya hanya tertarik untuk

mengkaji seni yang justru sangat jarang terkait dengan masyarakat: ketertarikan saya

akan hal itu murni formalistik, dalam konteks prinsip Wölfflin dan dalam kurun waktu

yang cukup lama, sudut pandang estetik saya tetap seperti semula, berkenaan dengan

doktrin-doktrin yang berorientasi pada logika inti sejarah seni.

Dengan perlahan dan cukup ragu-ragu, akhirnya saya menyadari terbatasnya

signifikansi formalisme dan kurang terbatasnya validitas realisme dalam seni, yang

disebut Chekhov, dalam salah satu karyanya—cara berkisah mot (dengan menggunakan

kata-kata atau kalimat yang tepat) yang luar biasa, di mana kita telah membantu orang

lain hanya dengan cara menunjukkannya—apapun hasil yang akan keluar dari proses

tersebut—sebagai hal-hal yang menjadi ciri-ciri alamiahnya. Semula hal itu hanya

merupakan salah satu bahasan dalam buku saya, yang kemudian terwujud dalam The

Social History of Art dan yang telah menyita waktu dan energi saya sepanjang tahun 1940

hingga 1950, sehingga saya menjadi lebih sadar akan adanya implikasi penuh terhadap

fakta-fakta sosiologis pada perkembangan sejarah seni. Namun konsepsi, pilihan materi,

dan pengorganisasian buku ini jelas-jelas sederhana dan tentu saja tidak selalu konsisten

dalam menyikapi tujuan-tujuannya. Pelaksanaan proyek ini dimulai dengan penugasan

sebuah kelompok kerja, yang tentu saja tak terkait dengan hasil penelitian. Dalam jalan

lain, banyak hal lainnya yang muncul dari sekadar niat maupun harapannya semula. Pada

awalnya, proyek ini berangkat dari sebuah pertanyaan yang tak lebih dari sekadar sebuah

pendahuluan ekstensif terhadap antologi yang akan dikumpulkan dari berbagai tulisan

mengenai fungsi sosial seni dan karya tersebut, dan jika mungkin, ditujukan untuk

merefleksikan perkembangan berkelanjutan dari permasalahan yang ada. Pada akhirnya,

3
tampak bahwa selain dari laporan-laporan fragmenter yang lebih singkat dan bervariasi

nilainya, tak ada lagi karya ekstensif terhadap subjek penelitian. Bahwa hal itu boleh

dikatakan hampir seluruhnya menawarkan dirinya, sebagaimana yang disebut oleh L’art

au point de vue sociologique oleh J-M. Guyau—buku pertama semacam ini—yakni,

bahwa sang penulis tak akan mengatakan apa-apa lagi mengenai subjek yang

didiskusikan selain dari apa yang sudah tertera di dalam judul. Hal itu juga menunjukkan

bahwa sebuah sejarah berkelanjutan dari teori sosiologi seni bukanlah sesuatu yang bisa

muncul begitu saja: awalnya hal itu pun merupakan hasil konstruksi. Komponen-

komponennya harus diambil dari keseluruhan perkembangan seni dan budaya, dan dari

fragmen-fragmen ini bisa dibuat sebuah jalinan yang hampir seluruh bagiannya

merupakan perkiraan belaka. Dengan cara inilah—dari sebuah pengantar antologi—

sebuah karya dua-jilid yang setiap lima ratus halamannya memunculkan dan

menghadirkan tumpukan informasi sosiohistoris, dapat saya jadikan pegangan untuk

penyusunan karya selanjutnya. Memang sudah tiada lagi ruang untuk sebuah pengantar

yang akan menjelaskan mengenai prinsip-prinsip metodologis, yang menjadi dasar bagi

“pengantar” yang sangat luas ini. Hal semacam itu harus dikesampingkan sebagai kajian

lebih lanjut, dan setelah dibuat pertimbangan sejarah-filosofis yang lebih tajam, yang

dulunya dipublikasikan dengan judul The Philosophy of Art History (1958) dan

ditasbihkan lagi pada edisi selanjutnya sebagai Methoden moderner Kunstanschauung

(Modern Methods of Viewing Art). Di sinilah untuk pertama kalinya saya mendefinisikan

konsep-konsep fundamental di sekelilingnya secara tegas dan menyeluruh, yang

sesudahnya akan mempertimbangkan sosiologi seni yang berputar-putar: konsep tujuan

dan batasan-batasan sosiologi seni dari pondasi ideologis dari sasaran-sasaran, dari

4
pergerakan dalam hal rasa dan gaya (style), dari sudut pandang artistik, dari kontradiksi

sudut pandang sosiologis dan psikologis yang menjadi sandaran dibuatnya penilaian

estetik, dari sebuah fiksi “sejarah seni tanpa nama”, dan juga dari perkembangan seni

yang sifatnya imanen dan endogenik, yang pada akhirnya menjadi asal-usul dan

perkembangan konvensi, yang tetap bersifat fundamental hingga sampai pada konstruksi

intelektual The Sociology of Art yang saya persembahkan ini.

Dalam rangka melanjutkan ke diskusi yang lebih ekstensif mengenai

permasalahan sosiologis seni, saya rasa akan lebih baik jika saya menyibukkan diri

dengan sebuah permasalahan sejarah seni tertentu secara lebih menyeluruh. Hal yang

menjadi perhatian saya adalah penjelasan pertama mengenai konsep stilistik dari kriteria

dan berbagai komplikasi perubahan gaya pada suatu zaman, saat terjadi salah satu krisis

seni yang paling serius, pelebaran yang disebut dengan mannerism (suatu aliran seni dan

arsitektur yang muncul sebagai aliran dominan di Itali pada akhir abad ke-16, yang

ditandai dengan bentuk terstilisasi dan warna-warna yang hidup), dalam perkembangan

yang berlangsung antara zaman Renaisans dan Barok, yang (seperti halnya krisis seni

masa kini) tampaknya mengancam banyak pihak dengan jatuhnya seni. Karena buku

yang saya tulis mengenai hal ini, yakni yang berjudul Der Ursprung der modernen Kunst

und Literature: Die Entwicklung des Manierismus seit der Krise der Renaissance (1964)

[The Origin of Modern Art and Literature: The Development of Mannerism since the

Crisis of the Renaissance], menaruh perhatian pada konsep gaya, maka seni murni pun

menjadi kajian utamanya, terutama karena penciptaan dan perubahan stilistik merupakan

aspek yang paling nyata dalam sejarah seni. Akan tetapi, hal-hal itu tidak lagi mendapat

perhatian atau posisi khusus dalam buku ini ketimbang dalam buku-buku yang lain.

5
Dalam Sociology of Art terkini, orang mungkin bahkan mempertanyakan (lantaran daya

tariknya yang lebih frekuen dalam aspek ideologis ketimbang dalam aspek wujudnya), di

mana kita bisa membahas tentang predominansi literatur: ini mungkin akan menjadi

sesuatu yang sama-sama tak berdasarnya, seperti halnya asumsi atau prasangka yang

diputuskan, sehubungan dengan pembahasan dan konteks seni murni tersebut.

Sehubungan dengan definisi yang tepat akan berbagai kepentingan yang

mengarahkan saya dalam penyusunan tulisan ini, lebih lanjut harus saya akui bahwa

sosiologi bagi saya selalu menjadi alasan untuk memandang seni dari suatu sudut

pandang, dalam proses di mana akan muncul karakteristik-karakteristik yang tergolong

baru atau berkekurangan. Dalam konteks terkini, yakni bahwa dari sudut pandang

semacam ini, segala sesuatu yang berpijak pada hubungan-hubungan yang masuk akal

pada objek diskusi yang bisa diikutsertakan, kita bisa menyebut karya itu—berdasarkan

bentuknya—sebagai sebuah esai, kecuali sejak semula kita memang telah merasa

keberatan, lantaran begitu luasnya cakupan karya di dalamnya.

The Sociology of Art sebagaimana yang hadir sekarang ini didasarkan (dalam satu

hal maupun hubungan lainnya) pada karya-karya saya yang telah diterbitkan sebelumnya.

Aparat konseptual yang dikembangkan dalam Methoden moderner Kunstanschauung

tentunya membentuk landasan yang lebih tepat bagi pengujian yang baru dan ekstensif

ini, yang paling mungkin untuk dilanjutkan di dalam keadaan yang tengah berlangsung.

Namun, beberapa konsep fundamental yang telah dipertahankan secara esensial di dalam

rangkaian pengujiannya, tunduk kepada perubahan-perubahan makna dan re-evaluasi

yang dengan pasti mengungkap bahwa sudut pandang final tidak akan mungkin bisa

dicapai tanpa modifikasi semacam itu. Di antara berbagai modifikasi tersebut, dan di atas
6
semuanya itu, adalah perbedaan antara Marxisme teoritis dan politis, dalam antitesisnya

terhadap kesatuan prinsip dan praktik ortodoks di mana Marx memproklamirkan

dogmanya. Di antara landasan-landasan persepsi yang dikembangkan di sini adalah

munculnya prinsip heretis, bahwa kita mungkin sepaham dengan Marxisme sebagai

sebuah filsafat sejarah-dan-masyarakat, tanpa harus menjadi seorang Marxis dalam artian

aktivis politis, tentunya, juga tanpa harus menjadi penganut paham sosialis dalam

pandangan yang lebih sempit. Landasan yang lain adalah bahwa interpretasi “teoritis”

terhadap pandangan tersebut memiliki keuntungan untuk membebaskan pemikiran

Marxis dari beban metafisik yang terikat pada prognosis “masyarakat tanpa kelas”.

Prinsip-prinsip fundamental Marxisme mengalami proses interpretasi lebih jauh

berkenaan dengan teori materialisme historis. Bahwa segala bentuk ideologi dan sikap

intelektual yang terkondisi secara ideologis dan terbentuk secara material—dan oleh

sebab itu, secara sosial dan ekonomi—akan mampu bertahan secara alamiah. Akan tetapi,

terdapat penekanan lebih terhadap sudut pandang yang telah disebutkan sebelumnya:

bahwa “infrastruktur” yang menjadi sandaran sebuah “superstruktur” tidak seluruhnya

terdiri dari konstituen material dan interpersonal, tetapi juga dari konstituen intelektual,

kesadaran, dan individual. Doktrin materialisme historis ortodoks menjelaskan hubungan

di antara kondisi-kondisi material keberadaan dan aspek-aspek ideologisnya, dengan

asumsi yang disebut sebagai mediasi, terhadap jarak sikap dan tindakan yang berbeda

dari basis materialnya—dan ini bervariasi pada setiap kasus—bahwa penanggulangan

bertahap terhadap jarak pergerakan tersebut (yang menurut dugaan umum) bersifat

objektif dan subjektif secara simultan, berangsur-angsur, dan tak terduga: yakni, secara

esensial dengan sebuah karakter yang kontinu, alih-alih bersifat terpisah-pisah.

7
Representasi proses yang ada sekarang ini berbeda dari pendahulunya, dalam artian

bahwa representasi itu menyatakan konsep mediasi yang tengah diperbincangkan sebagai

sebuah fiksi, dan menerjemahkan setiap langkah dari hal yang serupa itu, betapapun

singkat dan sementara, sebagai sebuah lompatan yang mengarah pada sesuatu yang baru,

tanpa menyangkal fungsi awalnya sebagai sebuah batu loncatan. Tahapan yang tampak

dari transisi di antara fase-fase perkembangan suksesif pada teori yang terdahulu muncul

dari jarak yang cukup besar dari mana proses tersebut dipandang. Perubahan pada suatu

bentuk kesadaran menuju bentuk lainnya tidak berbeda secara signifikan menurut

kompleksitas sikap intelektualnya. Jarak antara kebiasaan dan adat dari dua periode

sejarah secara berturut-turut hampir tidak kurang besarnya dari jarak antara norma-norma

moral maupun legal. Perkembangan dalam hal-hal itu dalam berbagai kasusnya tidak

pernah bersifat benar-benar kontinu maupun diskontinu.

Dalam tulisan ini, konsep dialektika juga mengungkap sejumlah karakteristik

baru—jika tidak mengalami perubahan secara tegas. Proses pemikiran maupun metode

kerja seluruhnya tetap bersifat dialektis dalam pemahaman ortodoks: namun relevansi

dialektis tersebut terkadang meluas maupun menyempit. Sedari awal, kita harus

memahami sosiologi sebagai doktrin dialektis yang murni dan sederhana, karena

pemikiran yang terkait dengan perkembangan historis dan yang mendasari norma-

normanya kurang lebih berorientasi dialektis secara esensial. Sikap-sikap yang terkondisi

secara historis seringkali lebih terlibat dengan jelas dalam dialektik antinomy, juga dalam

konflik maupun rekonsiliasinya, alih-alih terlibat dalam proses berpikir yang terkait

dengan praktik maupun tindakan yang terwujud secara kritis. Akan tetapi, tidak semua

hal yang terjadi bersifat historis dan dialektis; banyak darinya yang semata bergerak ke

8
arah diskursif yang kontinu, yang sekadar membedakan sudut pandangnya yang

terdahulu. Dialektika itu sendiri bahkan tidak memperluas pembahasan pada seluruh

wilayah yang disebut sebagai suatu hal yang historis. Ada tahapan perkembangan yang

tidak bersifat dialektis secara alami dan yang mengarah pada konstelasi, di mana berbagai

kemungkinan yang muncul tidak berlawanan satu dengan yang lain, namun bercabang-

cabang dan memungkinkan kita untuk membuat pilihan di antara dua alternatif yang ada.

Meskipun demikian, dialektika tetaplah menjadi bentuk fundamental dari proses

historisnya. Dilektika mungkin tak selalu menunjukkan berbagai kemungkinan yang

darinya harus dipilih sebagai sebuah antinomy, namun sebuah perkembangan signifikansi

yang tegas akan terjadi hanya jika berbagai antinomy tersebut memaksa kita untuk

menentukan posisi dan bergerak maju.

Catatan Penerjemah:

Antinomy adalah hasil paradoks, yakni simpulan yang sifatnya kontradiktif dan tidak

logis, yang dihasilkan oleh dua fakta atau pernyataan yang tampak sama-sama benar

dan masuk akalnya.

Arnold Hauser

Maret, 1974

9
(Hal. 3 – 17)

Bagian 1 LANDASAN

Totalitas Kehidupan dan Totalitas Seni

Apa yang dipahami sebagai totalitas kehidupan di sini adalah hubungan langsung

dari proses ada dan mengada, di mana manusia terlibat di dalamnya, dengan segenap

kehendak dan kecenderungannya, juga kepentingan dan perjuangannya. Totalitas

semacam itu muncul sebanyak dua kali dalam seluruh bidang aktivitas manusia: yang

pertama adalah di dalam warna-warni dan keruhnya kompleks eksistensi keseharian yang

tak terpecahkan, dan yang satunya adalah dalam wujud homogenitas tunggal seni.

Kesemuanya itu tereduksi dalam sebuah bilangan pembagi. Dalam hubungan-hubungan

lainnya—dalam wujud organisasi dan objektivisasi sosial, moral, dan ilmiah—kehidupan

akan kehilangan karakter totalitasnya, juga konteks ketersinambungannya, serta sifat-sifat

alamiahnya yang konkrit dan sensual, yang tampak dengan jelas dalam segala

manifestasinya. Dibandingkan dengan kontinuitas tak terputus, tak terbedakan, dan tak

diatur yang ada pada keseharian kehidupan, atau dibandingkan dengan imanensi seni

(yang bersifat konkrit, memanjakan pancaindera, dan mampu mencukupi dirinya sendiri),

wujud-wujud semacam itu selalu menghasilkan efek keadaan yang lebih maupun kurang

tak sempurna, dan bersifat abstrak, yang diambil dari makhluk hidup dan berbagai

pengalaman personalnya.

Bahkan untuk tugas-tugas sehari-hari yang paling sederhana pun, praktik-

praktik/tindakan yang normal berhutang pada keberlimpahan konsep-konsep keteraturan


10
dan keseimbangan nilai dari berbagai sistem abstrak, yang darinya realitas diatur secara

sistematis, sosial, dan moral. Dalam rangkaian waktu, proses peminjaman ini cenderung

untuk melipatgandakan diri. Hal-hal yang bersifat konkrit, heterogen, dan teratomisasi

dari pengalaman praktik-praktik yang wajar tersebut menunjukkan pada segala sisi, akan

adanya jejak-jejak abstraksi, generalisasi, dan tipifikasi dari wujud-wujud pemikiran.

Akan tetapi, terlepas dari intrusi prinsip-prinsip yang asing bagi kehidupan tersebut, hal

itu berhasil mempertahankan keistimewaan heterogen dan rapsodik (antusias/ekstatik)

dari wujud aslinya, serta menentang adanya regulasi dan sistematisasi. Alih-alih, hal itu

mewakili kompleksitas dari begitu banyak aspek, yang di dalamnya terkandung elemen-

elemen konkrit dan spontan yang selalu menonjol, namun dari dalamnya juga, abstrak

dan fungsi reflektifnya tak pernah hilang secara keseluruhan. Dari segala wujud

kesadaran, seni adalah satu-satunya hal yang sejak semula menentang segala bentuk

abstraksi yang memunculkan unsur-unsur ketidakpekaan (desensitizing=mengurangi

sensitivitas). Seni menolak segala sesuatu yang semata bersifat pemikiran, sistem,

maupun generalisasi, juga segala sesuatu yang bersifat ideal maupun murni intelektual.

Seni berupaya untuk menjadi objek visi langsung, kesan sensual sejati, dan pengalaman

nyata.

Seni membentuk landasan bagi prilaku estetik normatif, sepanjang tetap

berhubungan dengan totalitas kehidupan yang konkrit, praktis, dan tak terpisahkan. Juga

selama hal itu menjadi kendaraan ekspresi dan medium empati bagi “keseluruhan

persona”, dan selama mampu merangkul jumlah pengalaman yang berasal dari praktik

eksistensial, dan tetap mampu memasukkan keseluruhannya dalam wujud pernyataan-

pernyataannya yang homogen. Fenomena estetik sejati adalah keseluruhan pengalaman

11
manusia dari totalitas kehidupan—proses dinamik di mana subjek kreatif maupun

reseptifnya tak terpisahkan dari dunia, juga dengan kehidupan nyata yang sungguh-

sungguh ditinggalinya. Bahwa bukanlah karya seni yang objektif dan terobjektivikasi

yang memisahkan dirinya dari subjek, yang sesudahnya bisa diamati, diinterpretasi, dan

dievaluasi bagi dirinya sendiri, sedangkan yang sebelumnya hanya memperoleh

signifikansi dan nilai dalam keterkaitannya dengan totalitas kehidupan. Hanya

pengalaman serupa, yang terhubung dengan keberadaannya dan terlibat dalam seluruh

eksistensinya, yang akan mampu menjadi nilai emosional sejati terhadap individu dan

memiliki kualitas pembentuk dan peningkat hidup. Karya seni di dalam dirinya sendiri—

sebagai produk artistik sebagai sebuah sistem formal tertutup—sesungguhnya mewakili

sebuah keretakan dalam proses estetik hidup, dan hal ini merupakan hal yang tak

terelakkan, ketika landasan objektif sebuah pengalaman tercerabut dari konteks

pencerapan dan nilai, dan dihapus dari fungsi yang telah diputuskan sebagai peran dalam

kehidupan seseorang. Dalam pemenuhan diri dan isolasinya, karya seni akan berakhir

sebagai mainan yang tak berguna, betapapun memesonanya, dan akan kehilangan makna

kemanusiaannya, betapapun menariknya.

Seni akan mencerminkan realitas secara penuh (terutama dalam caranya yang

paling hidup) dan paling menyentuh saat ia berpegang pada karakteristik-karakteristiknya

yang paling nyata. Untuk sejumlah hal di mana seni menolak hal-hal tersebut,

representasi-representasinya akan kehilangan daya evokatif (membangkitkan ingatan)

langsungnya. Kualitas mikrokosmiknya yang mendalam diperoleh hanya melalui

penetrasi langsung dan bukan dari keberlimpahan tiada akhir dari karakteristik-

karakteristiknya. Konsep “totalitas intensif” adalah penandaan yang paling menjelaskan

12
sensualitas penuh seni, juga keseluruhan mutlak, dengan mana, seni (berkat “batasan

aktual”-nya) mampu menembus jantung permasalahan ketimbang sekadar berputar-putar

di permukaan saja. Totalitas seni bukanlah jumlah dari bagian-bagiannya, melainkan

diwarisi dari tiap-tiap bagiannya. Kekuatan individu akan sebuah karya seni merupakan

suatu hal yang sifatnya serupa dengan totalitas dan kesatuannya; masing-masing darinya

telah mengalami kejenuhan dengan hidup, dengan mana struktur keseluruhannya telah

terisi. Oleh karenanya, sementara sains kehabisan tenaga dalam “totalitas ekstensif” yang

dikejarnya (kapan dan di manapun juga), seni justru bisa mencapai tujuannya di manapun

ia berada. Totalitasnya terkondisi tidak dengan angka ataupun variasi karakteristik

realitas yang ia cerminkan. Itu sebabnya, tidaklah benar jika dalam konteks seni, tak ada

yang bisa diambil darinya ataupun ditambahkan pada bagian-bagian komponennya,

melainkan bahwa apapun perubahan ataupun peringkasan yang mungkin dibuat, karya

tersebut mampu mempertahankan vitalitas total dan kesatuan intinya, dan akan tetap

lengkap dan mampu berdiri sendiri sesuai dengan standar/polanya sendiri.

Wawasan seni terpenting ditilik dari sudut pandang sosiologi seni adalah

wawasan yang didasarkan pada fakta bahwa seluruh pemikiran, perasaan, dan kehendak

kita diarahkan pada satu dan realitas yang sama—bahwa, pada dasarnya kita selalu

dihadapkan pada fakta-fakta, pertanyaan, dan kesulitan yang sama, dan bahwa kita semua

berjuang dengan segenap kekuatan maupun kemampuan kita untuk memecahkan

permasalahan akan eksistensi yang menyatu dan tak terpisahkan. Apapun yang kita

lakukan, dan dalam bentuk apapun itu, kita selalu berupaya untuk memahami dengan

lebih baik, akan sebuah realitas yang (dalam segala maksud maupun tujuannya) bersifat

kacau-balau, penuh teka-teki, dan seringkali mengancam, untuk menilainya dengan lebih

13
akurat dan menghadapinya dengan berhasil. Segala upaya kita berkisar pada tujuan ini,

dan kesuksesan kita dalam kehidupan ini bergantung terutama pada akurasi penilaian kita

terhadap berbagai kondisi keberadaan dan evaluasi kita terhadap permasalahan yang ada

padanya. Kita mencobanya di dalam seni, sebagaimana yang kita lakukan di dalam

praktik-praktik wajar dan dalam pengetahuan seseorang, untuk menemukan sifat dasar

dunia yang dengannya harus kita hadapi dan bagaimana kita bisa paling bertahan di

dalamnya. Karya-karya seni adalah simpanan dari berbagai pengalaman dan diarahkan

(sebagaimana semua pencapaian budaya) pada tujuan-tujuan praktis. Hanya ketika

dilakukan upaya-upaya khusus dan dalam kondisi sosiohistoris yang khusus pula, seni

bisa dipisahkan dari hubungan eksistensial di mana ia berakar. Dan hanya dalam

keadaaan-keadaan khusus saja ia bisa dipisahkan dari praktik general dan noesis

(karakteristik) yang terpadu dengannya. Barulah kemudian seni bisa dinilai dan ditangani

sebagai sebuah aktivitas independen yang memiliki hukum dan nilai-nilainya sendiri.

Seni sama sekali tidak terpisah secara radikal dari pengalaman praktis dan pemahaman

teoritis, sebagaimana kita cenderung memahaminya. Baik seni maupun sains menaruh

perhatian pada pemecahan masalah yang timbul dari tugas-tugas, penderitaan, maupun

berbagai kebutuhan hidup dan yang berkisar di seputar perjuangan eksistensi; dan oleh

sebab itu, keduanya (seni dan sains) membentuk sebuah elemen yang tegas, dan pada

akhirnya, tak terpatahkan.

Seni adalah sebuah sumber pengetahuan bukan semata karena ia langsung

melanjutkan pekerjaan sains dan melengkapi penemuan-penemuannya, khususnya dalam

bidang psikologi, tetapi juga karena ia menunjukkan batasan-batasan kompetensi ilmiah

dan mengambil alih pada suatu pokok (di mana pengetahuan yang lebih mendalam bisa

14
diperoleh darinya) hanya di sepanjang jalur-jalur yang tak bisa ditelusuri di luar seni.

Melalui seni-lah kita bisa menuju pada pemahaman yang memperluas pengetahuan kita,

meskipun pemahaman itu sendiri bukanlah suatu hakikat abstrak-ilmiah. Meskipun,

misalnya saja, uraian berbagai hubungan spasial atau wujud-wujud stereometrik sebuah

lukisan tidak selalu bersifat valid, selama kealamiahan visualnya tetap terjaga, lukisan itu

tidak mengandung informasi yang terlampau jauh melebihi signifikansi teori dari

perspektif utama ataupun dari struktur tiga-dimensi objek tersebut. Penemuan-penemuan

yang dihasilkan oleh seni terkait dengan berbagai fenomena (yang karena kurangnya

sarana, hanya bisa diinvestigasi oleh sains) merupakan suatu hal yang benar-benar

penting. Intuisi artistik menawarkan pandangan-pandangan yang bisa dijadikan penunjuk

jalan bagi investigasi ilmiah. Tak diragukan lagi, inilah yang ada dalam benak Marx saat

ia menyatakan bahwa ia belajar sejarah Perancis-modern lebih banyak dengan membaca

karya-karya Balzac, ketimbang dari buku-buku sejarah yang ia lahap sepanjang hidupnya.

Tentu saja, bukan fakta-fakta sejarah yang dimaksud oleh Marx, melainkan analisis dari

proses sosial pascarevolusioner dan juga interpretasi akan perjuangan-kelas modern, di

mana sejarah kontemporer dan ilmu pengetahuan sosial tak mampu memahaminya

dengan baik—dan oleh karenanya, tidak memiliki aparat konseptual yang memadai. Di

sisi lain, Balzac menyadari adanya kekuatan dan hukum gerakan yang terdapat dalam

fakta-fakta sejarah, yang barulah kemudian diformulasikan dan dijelaskan secara ilmiah.

Ini pula yang menegaskan, bahwa permulaan era novel modern dan landasan sosiologi

(dalam pengertian modernnya) menemukan titik temu, dan bahwa seni dan sains

mempunyai nilai-nilai dan bahasa yang sama, yang kemudian menjadi bukti bahwa

15
imajinasi terliar seorang seniman sekalipun tak akan terlalu ‘kelewat/keluar batas’ dan

sesedikit apapun, selalu mengandung nilai-nilai kebenaran.

Tak ada yang lebih kentara, bahwa seni (sebagai seni itu sendiri) berawal dari

sebuah titik di mana ia menyimpang dari kebenaran-murni sains. Seni tidak berangkat

dari sains, pun tak akan berakhir sebagai sains. Alih-alih, ia lahir pada permulaan

pengetahuan dan spekulasi di luar kebutuhan-kebutuhan hidup, dan mendapati dirinya

berada sejajar dengan sains, dan yang kelak akan berakhir pada jalur yang sama, yakni

menerjemahkan sekaligus memandu keberadaan manusia. Akan tetapi, jika karya seni

(sebagai sebuah wujud) selalu berhasil mencapai tujuan-tujuannya, tidak demikian halnya

dengan seni sebagai doktrin atau pengetahuan.

Seni dan sains terkait erat terutama karena keduanya—dari seluruh struktur

intelektual—merupakan mimesis, atau imitasi kenyataan. Sementara struktur intelektual

yang lain, kurang lebih dengan sadar mengubah berbagai fenomena menjadi persoalan

prinsip, memperlakukannya sebagai wujud asing, prinsip-prinsip keteraturan, dan ukuran-

ukuran nilai. Tentu saja, seni juga mentransformasi, menyesuaikan, dan

mengidealisasikan realitas, sama halnya ketika sains yang sifatnya paling eksak

mengukuhkan realitas dengan berbagai kategori kreatif-spontannya. Namun, keduanya

tetap terikat pada realitas objektif, atau fakta-fakta sahih yang terkandung pada praktik

vital normal. Dalam hal ini, seni pun menjadi sama realistisnya dengan sains. Sudah tentu

hal ini tak berarti bahwa tidak didapati adanya ketegangan antara visi artistik dengan

realitas empiris, atau bahwa jarak antara subjek kreatif dan fakta objektif perlu disangkal.

Hal itu semata menunjukkan bahwa seni merupakan suatu hukum yang—betapapun

struktur secara keseluruhannya telah diutak-atik sehingga bersifat fantastis, atau absurd—
16
elemen-elemen penyusun karya seninya berakar dari dunia pengalaman nyata, dan bukan

dari dunia ide yang sifatnya supersensual ataupun supernatural. Adalah suatu fakta yang

cukup masyhur, bahwa Balzac sendiri (dalam kapasitasnya sebagai penulis-klasik

pertama dengan novel-novelnya ber-genre naturalis, juga sebagai pakar dalam realisme

artistik, dalam pengertian yang sering dirujuk oleh Marx dan Engels) sering

menggunakan fiksi murni untuk menggantikan observasi dan menciptakan karakter-

karakter, fisiognomi, bentang alam, dan interior yang ia klaim pernah diobservasinya

dalam kehidupan nyata. Meskipun demikian, metode Balzac ini menggunakan teori

Engels sebagai paradigma atas “kejayaan Realisme” dan sebagai sebuah tipikal

“kecerdasan” dengan bantuan kebenaran yang mampu ditembus seni lewat pintu

belakang, saat pintu-pintu lainnya telah tertutup.

Bentuk-bentuk objektivitas yang berbeda menghasilkan refleksi individual

terhadap realitas, yang bersifat tak terreduksi dan tak bisa dibandingkan antara satu

dengan yang lain. Adalah kekeliruan, untuk memahami salah satunya—katakanlah,

bahwa dalam refleksi ilmiah akan realitas, representasi fakta lebih dapat dipercaya,

ketimbang dalam refleksi lainnya, yang mungkin akan dijelaskan kurang-lebih sebagai

sebuah penyimpangan yang berubah-ubah dari realitas objektifnya. Konsepsi ilmiah

tentang dunia tidaklah lebih mendekati kenyataan ketimbang konsepsi artistik, dan bahwa

seni itu sendiri (sebagai sebuah prinsip) tidak lebih jauh menetapkan dirinya sendiri dari

realitas dibandingkan dengan sains. Namun, jika kita menengok peranan konstitutif dari

berbagai kategori subjek pembeda yang terdapat pada pengetahuan ilmiah, kita

cenderung menaksir terlalu tinggi elemen kreatif, dan sebaliknya, menaksir terlalu tinggi

elemen mimesis dalam seni. Unsur kesadaran seni dalam semua objektivisasinya

17
menghadapi sebuah realitas independen, yang (meskipun demikian) tetap benar-benar

bersifat independen. Namun, tidak terdapat bentuk kesadaran di mana realitas tetap

bersifat “bebas” dari berbagai pelekatan kategori. Bahkan saat kita mungkin

membahasnya sebagai kebebasan yang relatif merdeka sebagai sebuah bentuk

dibandingkan dengan bentuk lain, kita lebih sering membahasnya atas nama moralitas

dan hukum, ketimbang sebagai seni itu sendiri. Terlepas dari segala bentuk fantasi dan

sifat berlebih-lebihannya, seni—sama halnya dengan sains—juga terikat pada realitas,

meski dalam cara yang berbeda. Struktur-struktur seni selalu dibangun dari susunan-

susunan realitas, bahkan meski rancangannya telah dipisahkan dari realitas. Sebagaimana

yang dinyatakan oleh Brecht (dalam Uber Lyrik), “Tak ada yang mencegah Cervantes

dan Swifts, betapapun realisnya mereka, untuk melihat prajurit yang sedang bertempur

di atas kudanya, dengan latar kincir-kincir angin, juga kuda-kuda yang pulang kembali

ke rumah.” Dalam berbagai upayanya untuk membebaskan subjek dari rutinitas

keseharian dan memunculkan realisasi-dirinya sendiri dalam sebuah dunia utopianisme

yang bebas-lepas, seni pun seakan memiliki kebutuhan untuk selalu berpijak pada fakta

yang ada, pengalaman langsung, dan ungkapan-vital murni.

Tak ada yang lebih signifikan ketimbang peranan yang dimainkan oleh realisme

di dalam seni, dibandingkan dengan titik tolak dalam penciptaan A la recherché du temps

perdu karya Proust, di mana realitas diyakini penulisnya sebagai pemegang peranan

utama dalam keseluruhan karyanya. Itu terjadi saat Proust (setelah bertahun-tahun

menelusuri dan mencari-cari) menemukan apa disebutnya sebagai “realitas sastra”, dan

tiba-tiba ia menjadi sadar akan kemampuannya untuk menangkap dan berpegang teguh

pada realitas ini. Pada dasarnya, hal semacam ini merupakan sebuah pertanyaan yang

18
muncul dari sebuah penemuan dan pencatatan akan berbagai kesan yang sebenarnya

sangat sederhana namun juga vital, yang sifatnya membingungkan karena usikannya

yang sensual, juga karena teka-tekinya yang konseptual. Kesan-kesan itu merasuki Proust

semasa ia masih belia, dan selalu memunculkan perasaan yang mengganggu sekaligus

membahagiakannya, di mana ia merasa telah mengalami sesuatu yang tak bisa dijelaskan

dengan kata-kata. Dia seolah merasa turut serta dalam pengalaman yang sangat berharga,

yang akan menjadi bahan pertimbangannya, baik dalam apresiasi maupun penggambaran

di mana ia menyaksikan seluruh makna dan tujuan keberadaannya. Ia ingin

menuliskannya (terutama karena menyadari bahwa ia tak becus dalam bidang lainnya),

dan secara esensial ia merasa bahwa apa-apa yang ada di dalamnya berfungsi untuk

menjelaskan sekaligus “menemukan” hal-hal seperti gugusan pohon, yang pernah

dilihatnya di Hudimésnil, tak jauh dari Balbic, juga barisan puncak menara gereja di

Martinville, yang perspektif(sudut pandang)nya ia peroleh saat berada dalam sebuah

perjalanan menaiki kereta, dan—sebagai aspek yang paling menonjol dari seluruh

pengalaman itu—rasa kue Madeleine yang dicelupkan ke dalam secangkir teh. Adalah

sebuah pertanyaan juga, untuk menemukan dari mana perasaan “sejahtera” yang tak

berkesudahan itu bermula, yang terhubung dengan cerapan-cerapan itu. Yang mana yang

merupakan potongan-potongan kenangan yang terbuang, yang mana yang realitas

tersembunyi, yang kesemuanya pasti ada di dalamnya, sehingga terasa begitu signifikan

dan menjanjikan. Tahun-tahun penuh kegelapan mengikuti periode saat Proust mendapati

kilatan-kilatan “kenangan yang tak diharapkan”-nya itu, tahun-tahun di mana ia berjuang

untuk mengenyahkan semua itu dari ingatannya, tahun-tahun yang dilalui dengan

penderitaan tanpa suara, tanpa rasa, dan tanpa tujuan. Dan tiba-tiba terbukalah sebuah

19
pintu yang sebelumnya telah ia ketuk ribuan kali dengan sia-sia. Mendadak ia bagai

dibanjiri dengan perasaan “penuh”, disergap oleh realitas hal-hal tersebut. Ia dikuasai

oleh kejutan, bahwa ketinggian yang berbeda dari dua batu-jalan bisa menyulap dan

menghadirkan kenangan akan Venesia, di sepanjang trotoar gereja baptis Saint Mark,

juga bagaimana suara denting sendok di atas piring bisa mengingatkannya akan suara

palu yang diketuk-ketukkan di sepanjang rel kereta api, dan demikian membuat ia

terkenang akan stasiun-stasiun nun jauh di sana yang pernah disinggahinya selama

bepergian bertahun-tahun yang lalu. Sentuhan sehelai serbet mengingatkannya akan

kakunya rajutan handuk tangan yang pernah ia gunakan bertahun-tahun silam saat berada

di sebuah hotel di tepi laut. Sebuah memori yang terisi dengan realitas yang begitu

menusuk perasaan itu mampu membentangkan sebuah pemandangan akan lautan biru-

kehijauan yang terhampar di depan matanya pada saat itu. Kini Proust telah mencapai

tingkatan yang dulunya tak pernah berhasil diraihnya, yakni tingkatan sebagai seorang

seniman yang telah dikaruniai berkah yang tak bisa dijelaskan, seorang seniman yang

mampu menggenggam realitas dan menyimpannya.

Apa lagi yang bisa dikatakan mengenai kenyataan menyenangkan ini, selain

bahwa hal-hal tersebut begitu nyata, begitu “aktual”? Terkait dengan realitas ini, dengan

lebih singkat dan mengesankan, Goethe berhasil mengekspresikan sifat “realisme” yang

tak-acuh, stilistik, yang secara kualitatif tak terreduksi lagi. Karya-karya paling penting

dari para sastrawan atau tokoh besar—Homer dan Dante, Shakespeare dan Cervantes,

Rubens dan Rembrandt, Stendhal dan Balzac, Dostoevsky dan Tolstoy, Cézane dan Van

Gogh—semuanya “realistis” dalam pengertian yang sama: kesemuanya haus akan (dan

pada saat yang sama, ‘meneguk’) sari-sari realitas. Ketika Cézane¹ dan Proust² sama-

20
sama menggunakan istilah réaliser untuk menjelaskan tujuan dan metode seni, keduanya

merujuk pada realisme, yakni tindakan realisasi yang kita bahas ini. Mereka tak pernah

berhasil mengungkapkannya dengan lebih tepat. Benar bahwa Proust mungkin cenderung

menghubungkan substansialitas dan cita-cita Platonis dengan realitas yang dicarinya,

namun Platonisme-nya yang kabur tidaklah berhubungan dengan tujuan-tujuan artistik

aktualnya, ataupun dengan karakter sejati dari seninya. Realitas yang ia coba untuk

gumuli dari “masa yang hilang” tak berkaitan dengan sebuah eksistensi yang lebih

substansial, yang mengandung kebenaran yang lebih tinggi ataupun ide yang lebih murni.

Realitas tersebut membentuk kandungan pengalaman individu yang benar-benar konkrit,

yang diletakkan pada perspektif yang unik. Kesulitan yang tak berkesudahan untuk

menyingkap tirai yang menyelubungi pengalaman-pengalaman tersebut dalam suatu

rangkaian waktu memaksanya untuk mencoba membayangkan bahwa ia terikat pada

kondisi yang lebih dalam dan esensial. Sebenarnya ini merupakan sebuah pertanyaan

(sebagaimana halnya pada setiap karya seni), untuk melepaskan berbagai fenomena

langsung yang bersifat sensual dan bisa dipahami (yang telah dialami dalam berbagai

kepelikan kualitatifnya) dari segala sesuatu yang bersifat abstrak, universal, dan ideal,

juga dari semua sifat tak-berkesudahan dan tak-mendunia. Penciptaan artistik bukan

merupakan pertarungan untuk mempertontonkan “gagasan-gagasan”, melainkan

perjuangan melawan penyembunyian/pengaburan hal-hal dengan sarana penyampaian

gagasan, esensi, dan ke-universal-an. Dapat dipahami mengapa Plato sangat paham

dengan alasannya melarang keberadaan puisi dari republiknya.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh seorang pakar bahasa pada seorang penulis

muda, bahwa seni pertama-tama dan terutama adalah berkaitan dengan kesan-kesan

21
sensual yang jernih, tajam, dan lengkap. Menurut pandangan pakar bahasa ini, si penulis

harus mampu menulis dengan baik, sehingga pembaca seolah-olah bisa mendengar suara

uang logam yang dilemparkan pada pemain orgel jalanan dari jendela bawah, hingga

kepingan itu jatuh di jalan. Proust (dengan Platonisme latennya) tentu saja memahami hal

ini. Setiap tokoh realis hebat pun telah berpikir dengan cara yang sama-sama sadar dan

objektifnya, dan telah mengamati segala sesuatu dengan sama-sama netral dan jujurnya.

Mulai dari Homer, yakni saat tokoh Telemachus membicarakan sang ayah, Odisseus,

yang diyakini telah mati, sebagai orang asing yang “Tulang-belulang putihnya membusuk

oleh guyurran hujan, di sebuah pantai gelap entah di mana.” Juga Balzac, yang tidak

mengatakan apa-apa tentang jasad Lucien de Rubempré yang tergantung, selain dengan

menyebutkan bahwa ia tergantung bagai jas yang disampirkan pada sebuah kaitan, dari

tiang jendela tempatnya menggantung dirinya sendiri. Naturalisme yang sedang kita

bahas di sini sebaiknya tidak dipahami sebagai seni dalam konteks petits faits vrais,

melainkan sebagai seni yang oleh Balzac (sebagai contohnya) diungkapkan sebagai fakta,

bahwa bahkan Eugénie Grandet juga merupakan sesuatu yang bersifat “Grandet”.

Deskripsi cara hidupnya sesudah kematian sang ayah merupakan salah satu dari

kemenangan besar yang dicapai oleh seni hebat yang beraliran tragis ini, dan tetap

bertahan seperti itu, terlepas dari segala “remeh-temeh” yang menyertainya. Si Tua yang

kikir itu menghancurkan kebahagiaan puterinya sendiri dengan mencegahnya menikah

dengan sepupu (si gadis) yang miskin, namun sangat dicintainya itu. Selain hal itu, wujud

tiraninya—yang diekspresikan dalam peraturan yang ia tetapkan (misalnya, dengan

melarang penghangatan rumah antara pertengahan Maret dan akhir Oktober)—hampir-

hampir tak cukup berarti untuk dibahas. Hal semacam itu semata bertujuan untuk

22
menghadirkan kepada pembaca, kesadaran akan atmosfir yang begitu dingin dan

mencekik yang mengelilinginya. Hubungan antara sang ayah dengan puterinya

merupakan perjuangan antara hidup dan mati, yang tak ternyatakan, namun juga tak

berkesudahan. Hal itu tak cuma terletak pada sang ayah yang bengis, yang kapan saja rela

menukar puterinya, anak satu-satunya itu, dengan satu ons emas, tetapi juga pada

Eugénie, si gadis yang sabar dan patuh itu, yang pada suatu ketika hampir saja

membunuh ayahnya sendiri. Ini terdapat pada moment, di mana sang ayah yang naik

pitam merampas lukisan portret kekasih si gadis (yang selama ini disembunyikan oleh si

gadis), terutama setelah mendapati bahwa bingkai lukisan itu terbuat dari emas. Setelah

semua yang terjadi, saat akhirnya berada dalam ketidakbahagiaan dan kebingungan,

dengan warisan sebesar jutaan franc, si gadis tetap tidak mau menyalakan pemanas

ruangan di rumahnya, antara pertengahan Maret dan akhir Oktober, meski udara begitu

dingin menggigit. Itu bukan karena ia berniat menghemat uang, namun semata karena

“darah” Grandet lebih “panas” ketimbang pribadi Eugénie sendiri.

Kritik seni beraliran Marxis Orthodoks berpendapat bahwa adanya signifikansi

yang berlebih itu berasal dari pembedaan realisme dan naturalisme. Hal ini terutama

menyangkut pertanyaan akan perbedaan derajat. Apa yang secara umum dipahami

sebagai naturalisme (sebagai lawan dari realisme) adalah sesuatu yang semata buruk,

ilmiah, dan oleh karenanya, menjadi sebuah “realisme” yang tidak mencukupi secara

artistik. Dalam sejarah seni, batasan antara realisme dan naturalisme bersifat mengalir—

jika sebenarnya tidak menyesatkan, dan tak ada gunanya membuat perbedaan di antara

keduanya. Keduanya terutama menggambarkan, paham yang berkebalikan dari apa yang

disebut sebagai aliran klasik, formalistik, dan distilistisasi secara kaku; mereka

23
merupakan sebuah aliran yang terpadu, lebih bebas, dan lebih dekat hubungannya dengan

realitas pengalaman. Tentunya akan lebih bijak untuk mendefinisikan seluruh trend

realis-naturalis sebagai naturalisme, sebagaimana yang ditempuh oleh sejarah seni, dan

mempertahankan istilah realisme untuk merujuk pada pandangan umum dunia, sebagai

kebalikan dari irasionalisme dan idealisme aliran romantik. Dalam hal ini, naturalisme

tetap menjadi sebuah istilah untuk gaya seni secara murni dan juga sebuah kategori

estetik yang bersifat tegas. Realisme (yang jika dipandang sebagai sebuah aliran hanya

akan memperumit formasi konseptual sejarah gaya/aliran seni, dan memunculkan

permasalahan semu dalam kritik seni) semestinya lebih dipertalikan dengan sebuah

pandangan filosofis.

Penciptaan artistik yang dikenal pada masa-masa awal, yakni lukisan gua pada

periode Paleolitikum, merupakan citra orisinil dan prototipe dari semua aktivitas artistik.

Mereka mewakili sarana praktikalitas, yang berkaitan erat dengan cara penunjang hidup.

Penciptaan artistik itu berakar dari para pemburu primitif yang hidup di sebuah dunia

yang diatur oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat murni praktis, yang

membiasakan mereka pada kondisi-kondisi, di mana seluruh energi yang ada ditujukan

pada perolehan sumber-sumber pangan. Produksi-produksi artistik mereka merupakan

instrumen dari teknik sederhana yang berorientasi pada tujuan, dan menggambarkan

sebuah jebakan di mana binatang yang akan diburu dan dibunuh harus bisa terperosok ke

dalamnya, jika tujuan magisnya cukup harmonis/sesuai dengan alam. Kreasi mereka tidak

bersandar pada sebuah tindakan yang bersifat simbolik, relijius, ataupun estetik; tidak

juga pada imitasi sembrono atau gambaran akan sebuah ritual pengorbanan, melainkan

pada sebuah aktivitas praktis terang-terangan yang sederhana, di mana di dalamnya (dari

24
aspek virtual) tak perlu memunculkan pertanyaan semacam efek dekoratif ataupun

keindahan murni tanpa unsur kegunaan. Yang belakangan tampaknya paling tepat untuk

menjadi sebuah “hasil sampingan” dari praktik magis yang hanya dimaksudkan untuk

aspek kebermanfaatannya. Seberapapun dekatnya hubungan gambar-gambar hewan

Paleolitik dengan bentuk-bentuk seni yang mula-mula (yang tak lagi dapat dikenali),

mereka sebenarnya hampir-hampir tak identik. Apakah mereka (jika mungkin) mewakili

prototipe refleksi artistik dari realitas, dalam kasus pemisahannya yang paling ekstrim

sekalipun, tentunya tak pernah hadir tanpa mengandung suatu maksud ataupun fungsi.

Struktur spesifik dari sikap mental, otonominya, juga kualitas-kualitas yang

melekat padanya, tak ketinggalan pula struktrur kategorisnya yang tidak umum akan

pengetahuan ilmiah, evaluasi moral, dan kreasi artistik, merupakan signifikansi

sekundernya, baik secara historis maupun psikologis. Sedangkan apa yang termasuk ke

dalam kepentingan primer dalam pengertian praktis adalah, jukstaposisinya, partisipasi

umumnya dalam usaha manusia untuk menjadi sadar dengan realitas dan bertahan dalam

perjuangan eksistensi. Seni, terutama, terlepas dari sifatnya yang bermain-main, tak-acuh,

fantastis, dan berlebih-lebihan, juga berfungsi (tidak hanya secara tak langsung, yakni

dengan mempertajam cerapan realitas) sebagai instrument magis, yang bersifat ritual dan

propaganda, dalam penciptaan senjata dalam pejuangan meraih eksistensi. Jauh dari

pemahaman menggunakan seni sebagai jeda dalam perjuangan tersebut, manusia

memasang jebakan yang paling berbahaya bagi musuh dan saingan mereka, di balik

tampilan niat-niat damai. Mereka menyusun peralatan perang yang paling mematikan

justru pada saat mereka tampak seolah tengah beristirahat dan melakukan gencatan

senjata. Kedamaian dan harmoni boleh jadi merupakan hasil-sampingan dari sebuah

25
karya seni, namun keduanya justru jarang menjadi sumber dari seni itu sendiri.

Kebohongan dan kegilaan/obsesi, kejutan dan penaklukan, adalah senjata yang jauh lebih

sering dikobarkan oleh seni, ketimbang persuasi yang ramah dan konversi damai. Seni

seringkali hanya mencapai gencatan senjata di antara dua kubu, yakni dalam bentuk jeda

menarik nafas untuk menghimpun kembali kekuatan yang masih ada, dan bertindak

sebagai narkotik atau candu untuk menenangkan jiwa dan untuk mengenyahkan segala

syak-wasangka.

Seni selalu terkait dengan mengubah kehidupan. Tanpa munculnya perasaan

bahwa dunia ini—sebagaimana yang diucapkan oleh Van Gogh, adalah “an unfinished

sketch” (=sketsa yang belum selesai), tak akan ada seni sama sekali. Seni sama sekali

bukanlah merupakan produk dari sebuah sikap kontemplatif murni yang sekadar

menerima segala sesuatu sebagaimana adanya, ataupun menghadirkan sesuatu kepadanya

dengan pasif. Alih-alih, seni (secara langsung maupun tidak) merupakan sarana untuk

menguasai dunia dengan kekuatan atau kecerdikan, guna meraih hegemoni atas manusia,

dengan cinta atau kebencian, guna mencengkeram para korban/mangsa yang telah

dilumpuhkan. Manusia Paleolitik menggambar binatang dengan tujuan memburu,

menangkap, dan membunuh mereka. Dalam cara yang sama, gambar yang dibuat oleh

anak-anak tidaklah menghadirkan pandangan yang sifatnya “netral dan tak berpihak”

akan realitas; gambar-gambar itu juga mengejar tujuan magis, mengekspresikan cinta

atau kebencian, dan bertindak sebagai cara memperoleh kekuasaan atas orang yang

digambar. Oleh sebab itu, kita mungkin saja menggunakan seni sebagai sebuah sarana

penghidupan/subsistensi, sebagai sebuah senjata perjuangan, sebagai kendaraan lesapan

bagi dorongan-dorongan agresif, atau sebagai penawar yang akan menghilangkan

26
keinginan-keinginan yang bersifat destruktif. Kita bisa menggunakan seni untuk

membenahi sifat tidak-lengkap dari segala sesuatu, lantas mengungkapkannya terhadap

karakternya yang suram dan tak bergairah, juga terhadap kesiaa-siaan maupun ke-tanpa-

tujuannya. Apapun alasannya, seni tetaplah bersifat realistis dan aktivis, dan hanya dalam

kasus-kasus perkecualian-lah, seni mengekspersikan sikap tak-memihak atau netral

terhadap permasalahan praktis.

Terdapat gambaran tak terpisahkan akan sebuah kelompok yang homogen secara

sosiohistoris. Usaha untuk memisahkan berbagai wilayah yang berbeda pada kebudayaan

kelompok tersebut satu sama lain—sungguhpun hal itu sangat menggiurkan dan

bermanfaat dari sudut pandang analisis struktural atau teori kognisi—tentunya bukannya

tidak membahayakan dari segi sosiologis. Ekonomi, hukum, moralitas, sains, dan

kesenian hanya merupakan berbagai kekuatan atau aspek yang berbeda dari sikap

terhadap realitas, yang terpadu secara esensial. Secara hakiki, hal ini bukanlah sebuah

pertanyaan, baik dalam menentukan kebenaran ilmiah ataupun menciptakan karya-karya

dalam kehidupan, namun hanyalah sekadar pertanyaan dalam membentuk gambaran yang

memiliki (sebagai fungsinya) perolehan dari berbagai petunjuk yang bisa dijadikan

sebagai sandaran dalam praktiknya. Orang melakukannya dalam wujud budaya,

perjuangan melawan kekacauan yang membingungkan dan anarki eksistensi yang lemah,

bukan saat mereka telah memperoleh mata pencaharian mereka, tetapi biasanya dengan

tujuan untuk mempertahankannya. Keunggulan chaos yang mengancam seluruh aspek

kehidupan, baik melalui penguasaan wilayah, agama, moral, pengetahuan, dan seni,

adalah salah satu sangkaan dalam pengertian keamanan, dan oleh karenanya, dalam

rangka meraih kesuksesan dalam perjuangan eksistensi.

27
Sains mungkin lebih universal, lebih objektif, dan lebih otonom ketimbang seni,

dan mungkin juga lebih independen daripada berbagai kepentingan yang ada pada

masyarakat, yang berubah menurut situasi historis yang sudah ada; meski demikian, sains

juga bermula dari kebutuhan-kebutuhan sosial, dan batasan-batasan dan prinsip-prinsip

pemandunya ditentukan oleh kepentingan kelas. Objektivitas, imparsialitas, dan

kurangnya asumsi merupakan bagian dari cita sains, betapapun ia berhasil

mewujudkannya. Netralitas dan kurangnya prasangka, di sisi lain, bahkan bukan

merupakan tujuan ideal seni, setipis apapun tujuan praktis yang hendak diwujudkannya.

Pada teorinya, netralitas juga bukanlah perkiraan dari keberhasilan artistik. Keberpihakan

dan prasangka paling tepat digunakan untuk menggambarkan reaksi seniman terhadap

kesan-kesan dan tantangan yang dialaminya. Subjek kognitif yang berorientasi ilmiah

harus menolak kesempatan, yakni berbagai karakteristik variabel individual pada manusia

biasa dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan cara inilah dia bisa mengambil

tindakan kognisi yang objektif, normatif, dan patut dicontoh, yang bebas dari impuls

psikologis sesaat, juga dari motif individu yang sangat bersyarat. Di sisi lain, berbagai

keadaan yang unik tersebut, yang berbeda-beda menurut tempat dan waktunya,

merupakan suatu sumber orisinalitas dan individualitas bagi cara berekspresi sang

seniman yang kreatif. Kepada hal-hal itulah, seniman berhutang akan bertambahnya

pengetahuan (yang didapat oleh dunia gagasan dan imaji) melalui karyanya.

Keberpihakan dan prasangka personal yang muncul dari asumsi akan sebuah pendirian

tertentu, perspektif yang berubah secara konstan, baik secara psikologis maupun

ideologis, merupakan sumber pengalaman yang senantiasa baru dan tak terduga bagi sang

seniman, dari persepsi individu yang tak terbandingkan dan sangat dibutuhkan. Dalam

28
hal ini, kepribadian sang seniman tak perlu untuk di-desubjektivikasi dan diubah sifatnya

dengan tujuan meraih signifikansi bagi hal-hal lainnya: sebaliknya, semakin subjektif dan

khas karakteristik sebuah karya seni, (secara artistik) semakin signifikan-lah karya itu.

Karena sifat mimesisnya, seni dan sains merupakan struktur makna yang paling

dekat satu sama lain dibandingkan dengan semua struktur makna lainnya. Mereka (seni

dan sains) dibedakan secara tajam oleh fakta bahwa seni-lah yang paling mengungkap

berbagai karakteristik yang secara antropomorfis, fisiologis, dan psikologis terkait

dengan human nature, sementara sains justru paling sedikit menunjukkan karakteristik-

karakteristik tersebut. Sains mengisyaratkan pada sebuah subjek, sifat abstrak, polos (tak

berwarna), yang bisa dibilang sebagai kesadaran transparan. Secara kontras, seni

terhubung dengan manusia qua manusia, pada individu sebagai makhluk khas yang tak

terbandingkan, sebagai hasil dari kombinasi tak terulang dari watak dan berbagai

tendensinya.

Sejak masa Renaisans dan sejalan dengan munculnya divisi buruh dan spesialisasi

kerja yang progresif, interpretasi filosofis dari sikap dan capaian-capaian menjadi makin

didominasi secara eksklusif oleh gagasan otonomi dan imanensi. Hingga akhir abad

terakhir, saat menganalisis sikap-sikap terhadap realitas, orang beranggapan (khususnya

dalam kasus seni dan sains), bahwa mereka harus memulai dari individualitas dan isolasi

mereka, dan meyakini bahwa mereka dapat menemukan di dalamnya semacam kebenaran

valid, atau nilai yang mengikat, yakni sebuah tipe fundamental dari bentuk dan norma

yang independen dan sama-sama tidak dapat dipertukarkan. Semakin tinggi ranking yang

disandangkan pada kategori individual, semakin mutlak-lah otonomi dari prinsip-prinsip

konstitutifnya, juga dari nilai-nilai yang menentukannya. Dari seluruh sistem yang ada,
29
kedaulatan yang paling lengkap telah diklaim bagi kategori estetik, setidaknya sejak era

romantik. Seni semestinya (menurut apa yang telah diajarkan dan diyakini) tak berkaitan

dengan kebaikan atau keburukan, kebenaran atau kepalsuan, ataupun dengan apa-apa

yang diinginkan atau dicela secara politis. Meskipun realistis dan (diduga) rasionalistis,

sebuah doktrin semacam psikoanalisis tetap memainkan sebuah peranan dalam

pemisahan seni dari sisa realitas, dari totalitas kehidupan normal.

Freud menemukan di dalam seni, seperti halnya dalam neurosis, adanya

kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan realitas. Seniman mengasingkan diri dari

dunia, dan dia mempertahankannya, sebagai akibat dari ketidakmampuannya mengontrol

dorongan asosialnya. Dia menciptakan bagi dirinya sendiri, dalam lingkaran seni yang

tak nyata, suatu kompensasi akan tempat yang tak dimilikinya dalam dunia nyata.

Seniman menjalani suatu keberadaan yang sama terasingnya dari realitas, sebagaimana

yang diciptakan oleh penderita neurosis dalam alam sakit jiwanya yang terpisah dari alam

nyata. Freud membahas dalam kedua kasus tersebut, adanya faktor/keadaan “hilangnya

realitas”, dengan perbedaan bahwa penderita neurosis (dalam pandangannya) tidak

menyangkal kenyataan, namun sekadar melupakannya; sebaliknya, seniman justru

menyangkalnya dan menggantinya dengan fiksi—itu sebabnya, seniman lebih

menyerupai seorang psikosis ketimbang neurosis. Namun, Freud juga mengakui bahwa

seniman—berlawanan dengan penderita neurotik atau psikotik—selalu bisa memulai

untuk melakukan proses “back to nature” (kembali pada keadaan semula). Dengan kata

lain, ia bukanlah korban dari ilusionisme yang senantiasa menghantuinya, terlepas dari

pengasingannya dari kenyataan, melainkan memiliki fleksibilitas jiwa yang

memungkinkannya untuk mengubah jaraknya dari berbagai fakta, yakni untuk

30
mengencangkan atau melonggarkan hubungannya dengan fakta-fakta itu, dan terutama

untuk menciptakan kontak langsung dengannya.

Fleksibilitas ini adalah salah satu dari berbagai gejala karakteristik dari sikap-

artistik. Fleksibilitas itu mengungkapkan dirinya sebagai suatu perubahan berkelanjutan

dalam penegakan dan pembongkaran simulasi dan penipuan diri, dan mendatangkan

dalam rentetannya, suatu fluktuasi konstan dalam hubungan antara ilusi dan kenyataan,

dari puisi dan kebenaran, dan dari penerimaan atau penolakan fakta-fakta. Namun, Freud

terlalu kuat menekankan hubungan tak terputus antara seniman dengan kenyataan,

dengan tujuan menyeimbangkan dengan harmoni orisinalnya dengan hal itu. Signifikansi

berlebihan yang disandangkan Freud terhadap anomalitas tersebut, terutama sebagai

akibat dari sifat ahistoris doktrinnya. Pengasingan sang seniman, yang ditekankannya

(meskipun ia juga berasumsi akan adanya kemungkinan untuk “kembali ke realitas”),

merupakan satu kesatuan dengan situasi historis tertentu yang ia (dan generasinya

sendiri) dapati, dan tak berkaitan dengan hukum biologis universal yang disangkanya.

Konsep alienasi Freud itu sendiri terkondisi secara historis, dan tanpa adanya era

romantik (yang paling sering diasosiasikan dengan doktrin Freud), konsep itu tentu saja

akan memiliki bentuk yang jelas-jelas berbeda.

Periode terpanjang dalam sejarah hanya mengenal kegiatan artistik yang berkaitan

dengan praktikalitas dan yang ditujukan pada keberhasilan instan: akan terasa sia-sia

rasanya, untuk membahasnya dalam kaitannya dengan alienasi (pengasingan) dan

hilangnya realitas. Sebelum datangnya era romantik, belumlah dikenal adanya konsep

seni sebagai kepuasan pengganti dan kompensasi untuk sesuatu yang lebih nyata,

bernilai, namun lebih tidak-tercapai. Seni mungkin telah mewakili pemenuhan harapan
31
dan fantasi yang melebihi dunia keseharian; seni bukanlah pengganti yang akan diterima

dalam pertukarannya dengan kehidupan nyata. Sebagai sebuah wujud “terbang

menggila”, gagasan akan terbang dari realitas ke dalam dunia rekaan, benar-benar asing

bagi pandangan seni pada era praromantik. Hanya era romantik-lah yang mengubah

keteramat-pentingan realitas normal menjadi perkiraan penciptaan artistik dan

penolakannya ke dalam kondisi bagi keberhasilan artistik, yang kemudian mulai mereka

kontraskan dengan keberhasilan eksternalnya. Sejak saat itu, seni tak lagi sekadar

menjadi sebuah kompensasi bagi apa-apa yang hilang dalam hidup; seni hanya memiliki

nilai dan makna bagi mereka-mereka yang telah kehilangan kesempatan untuk memiliki

dan menikmati kehidupan. Seni telah menjadi sebuah legenda kehidupan, di mana

manusia merasa dikucilkan. Hal itu tak lebih dari sebuah simbol, bukan lagi sebuah

kemiripan. Sang penyair hanya membicarakan apa yang bukan dirinya, dan apa-apa yang

tak ia miliki. Cinta, keteguhan, dan kepahlawanan, menurut Flaubert, hanya bisa

dilukiskan jika Anda bukanlah seorang pencinta, orang alim, atau pahlawan. Siapapun

yang termasuk ke dalam salah satu/bagian dari ketiganya, hanya memiliki sedikit minat

untuk membicarakan watak, cinta, dan hasratnya. Hanya orang yang gagal dalam

hidupnya-lah yang memiliki kecemasan untuk melakukannya, dengan kata lain, orang

yang tak mampu menjadi apa yang ia inginkan dan harus berupaya sekuat tenaga untuk

menggambarkan orang yang hidupnya tak mampu ia jalankan/teladani.

Kesadaran yang dimiliki oleh generasi terbaru akan status sosial mereka beserta

implikasinya telah memunculkan krisis artistik yang muncul sejak era romantik dan

merebaknya doktrin l’art pour l’art (seni untuk seni). Ini merupakan sebuah krisis di

mana seni telah menanggalkan dirinya sendiri lebih jauh dan semakin jauh dari berbagai

32
kepentingan praktis, pertimbangan moral, sudut pandang ilmiah, dan sekadar menjadi

sebuah fenomena sosiohistoris, yakni sebuah gejala dari spesialisasi dan atomisasi

progresif dari tugas-tugas vital. Sebagai akibatnya, telah terlihat bahwa asumsi dari

eksistensi seni yang tertutup bersifat tak dapat dipertahankan dalam kehidupan yang

terpadu, yang dalam seluruh tujuan praktisnya bersifat tak terpisahkan/tak terbagi, yang

tak memungkinkan adanya keterputusan dalam pandangannya terhadap dunia. Meski

demikian, gagasan bahwa seni dan sains mengaitkan dirinya sendiri dengan dua tipe

pengalaman yang berbeda, akan tetap dan selamanya ada. Namun, keyakinan bahwa

dalam seni kita bisa mengucapkan perpisahan final pada kehidupan normal, berbagai

kepentingan yang melingkupinya, juga perhatiannya, menjadi semakin kehilangan

gaungnya. Dengan pemahaman bahwa manusia menjalani eksistensi sosial yang hakiki,

sosiologi telah bergerak ke pusat pemikiran ilmiah; sosiologi telah menjadi ilmu pusat

dan telah mengambil alih (di dalam sistem budaya) fungsi pemersatu yang sebelumnya

menjadi milik filosofi dan agama. Seni memiliki orientasi baru ini berkat tumbuhnya

kesadaran bahwa ia memperoleh kesatuan dengan seluruh sistem struktural lainnya.

Refleksi sosiologis atas asal-usul yang terpadu dan dependensi mutual dari

berbagai sikap intelektual dan keterputusan (yang menyertai otonomi dari selera kriteria

artistik, konsep-konsep kebenaran ilmiah, dan pertimbangan nilai-nilai moral),

menggambarkan sebuah tahap perkembangan yang lambat dalam sejarah budaya.

Namun, bukan debilitasi dan penyangkalan secara orisinal—melainkan penemuan dan

penekanan atas otonomi nilai-nilai yang merupakan hasil sebuah perkembangan yang

panjang, dan penutupan dari sebuah periode historis yang panjang, sebuah era di mana

orang-orang tampaknya tidak memertimbangkan sama sekali kemungkinan adanya

33
sejumlah sikap yang berbeda terhadap realita, dan hukum inti dari bentuk konseptual,

cara-cara berpikir, dan evaluasi yang berkaitan dengannya. Tetapi, jika kita ingin dengan

tepat mengikuti proses yang melahirkan keadaan-kesadaran modern (yang semula

memisahkan dengan tegas berbagai sikap tersebut dan menyatukannya kembali), kita

tetap harus kembali jauh ke belakang, yakni ke prasejarah pertimbangan-diri sosiologis.

Diferensiasi gradual dari sikap-sikap individu dari satu dengan lainnya dan dari kompleks

praktik kehidupan yang tak terbedakan tentunya telah menuntut waktu yang tak terhitung

dan telah terjadi jauh sebelum gagasan independensi mereka diformulasikan. Pemisahan

tugas produktif dari keajaiban, dari sains dengan agama, dari hukum dengan moral, dari

penemuan artistik dan sekadar doa yang dipanjatkan demi tujuan-tujuan magis, animistis,

atau ritualistis, merupakan sebuah proses yang tak diragukan, yang tersebar pada hampir

sepanjang awal sejarah budaya. Perkembangan itu agaknya meraba-raba dengan ragu-

ragu, dengan mengambil sedikit langkah maju dan (justru) banyak langkah mundur.

Bahkan tahapan perkembangan yang progresif mungkin tidak langsung disadari

sebagaimana adanya, dan tahapan yang baru saja diraih tentunya tak bisa dibedakan

secara sekilas dengan tahapan yang mendahuluinya. Tahapan itu semestinya merupakan

bagian dari sifat dasar kegiatan artistik yang muncul dari kebutuhan akan eksistensi

keseharian praktis—dan ini adalah kasus pada setiap fungsi yang perlahan memisahkan

diri dan menjadi independen terhadap praktik kehidupan yang terpadu—bahwa tahapan

itu semula muncul kurang-lebih secara kabur, samar, dan tak terlukiskan, dan bahwa

produk-produknya sekadar perlahan membedakan dirinya dengan penciptaan lainnya.

Produk-produk artistik terdahulu tentunya tampak tidak “artistik” pada orang-orang di

masa itu. Kita sendiri (jika kita juga melihatnya) mungkin hampir-hampir tak

34
menganggapnya sebagai sebuah karya seni. Karya-karya itu tentunya akan sangat mirip

dengan produk-produk lainnya yang dibuat untuk tujuan praktis lainnya, sehingga kita tak

akan berada pada sebuah posisi untuk menarik garis yang tegas antara apa yang “belum”

dan “sudah” bersifat artistik.

Kurangnya pembedaan pada hubungan-hubungan primitif ini memiliki sedikit

kemiripan dengan integrasi sikap dan capaian yang hanya akan bisa terjadi setelah

diferensiasi dan spesialisasinya telah disempurnakan. Pertimbangan-diri sosiologis (yang

membuat kita sadar akan adanya asal-usul terpadu dan tujuan umum dari berbagai sikap

dan fungsi) secara alamiah tidak menyatakan keter-kembali-an kepada kesatuan primitif

dari berbagai kepentingan dan sarana pemuasnya yang tak berkembang. Sosiologi hanya

“mengelompokkan” individualitas dan hukum-hukum inti yang mengatur sikap manusia

yang berbeda-beda. Sosiologi akan mengabaikan hal-hal itu saat menemukan (dalam

otonomi individual) adanya wilayah kesadaran, dari praktik dan teori, hukum dan moral,

sains dan seni, yang sekadar berupa hipotesis yang bekerja bagi teori kognisi, dari

analisis struktural, dan aktivitas budaya yang terspesialisasi. Namun, sosiologi tidak

menutup adanya perbedaan aktual dari fungsi-fungsi budaya dengan menaruh otonomi

berlebih ke dalam kategori tersebut, atau serta-merta mengabaikannya. Sosiologi juga

tidak menyangkal adanya kemungkinan dan produktivitas dari pemusatan kesadaran pada

tujuan-tujuan tertentu. Untuk mengabaikan fakta bahwa manusia pada dasarnya berjuang

dengan solusi tugas-tugas yang identik dan berkaitan erat, yang mengarah pada konsep

yang sama sekali salah akan sifat kebutuhan mereka, dan sarana yang berfungsi untuk

memuaskannya. Tetapi pengabaian keadaan bahwa kehidupan mereka yang semula

begitu sederhana dan terpadu telah memberi tempat bagi sebuah sistem produk yang

35
rumit tak-terbatas dan yang hanya bisa berfungsi di dalam kompleksitas hubungan ini,

memiliki efek yang sama-sama menyesatkannya, dan dapat menyumbangkan sifat coba-

coba pada setiap karya budaya yang sukses. Mengabaikan peranan yang dimainkan oleh

kesatuan dan totalitas masyarakat dalam seluruh usaha manusia, membuat kehidupan dan

kebudayaan menjadi sesuatu yang sia-sia. Pada saat yang sama, peremehan derajat pada

mana tugas-tugas dispesialisasikan dan pembuangan percabangan dan kemurnian metode

kerja akan menjadi sebuah kemunduran, yang dari situ akan menyebabkan kemajuan

langsung menjadi suatu hal yang mustahil.

(Halaman 40-70)

Sosiologi dan Psikologi

Individu dan masyarakat secara historis dan sistematis merupakan bagian yang tak

terpisahkan. Masyarakat terdiri dari individu-individu, dan mereka (individu-individu

itu)-lah, satu-satunya representasi dari masyarakat, sama halnya mereka hanya bisa eksis

dalam sebuah masyarakat. Eksistensi individual dan sosial itu sendiri merupakan

penjelmaan simultan, berkembang pada taraf yang sepadan, dan berubah dengan sifat

saling ketergantungan. Hanya dengan basis mutualitas inilah kita bisa membahasnya

sebagaimana apa yang ada. Tak ada yang lebih absurd ketimbang meyakini bahwa

keberadaan manusia muncul pertama-tama sebagai subjek independen dan baru

kemudian sebagai anggota dari sebuah masyarakat. Adalah suatu kekeliruan untuk

beranggapan bahwa mereka (manusia) menggunakan berbagai karakteristik dari


36
eksistensi sosial, seolah karakteristik tersebut adalah sebuah koreksi atau pelengkap bagi

bawaan asosial orisinal mereka. Adalah keliru juga untuk menganggap bahwa mereka

berubah dari individualis yang independen tanpa kewajiban, menjadi anggota dari sebuah

komunitas sosial di bawah tekanan penderitaan dan kebutuhan, atau sebagai akibat dari

kebiasaan dan pengalaman. Mereka sebenarnya lahir sebagai makhluk sosial yang

menyerupai satu dengan lainnya jauh sebelum mereka saling membedakan satu sama

lain. Mereka mengembangkan ciri-ciri individual hanya dalam keterkaitannya satu sama

lain, dengan perserikatan atau perlawanan, imitasi dan individualisasi, kerjasama dan

kompetisi, kekuasaan dan pengabdian, juga hak dan kewajiban.

Suatu individu yang bebas dari segala ikatan interpersonal dan segala pengaruh

sosial merupakaan rekaan pikiran yang terasing, yang menciptakan abtraksi realitas.

Jikalau tidak, keberadaan semacam itu adalah contoh abnormalitas, sebuah kasus yang

kurang lebih bersifat patologis dari sebuah déraciné (keadaan tercerabut dari akar-

penerj.) yang pengisolasiannya menggambarkan sebuah fenomena sosial, yang

merupakan sebuah eksistensi yang terasing dari masyarakat dan bukannya tidak tersentuh

olehnya. Jika kita menolak pemakaian kategori sosiologis dalam fenomena individual,

kita tidak cuma gagal untuk menyadari, bahwa individu tersebut berkembang hanya

dalam konteks masyarakat, tetapi kita juga gagal menyadari bahwa isolasi tersebut hanya

akan masuk akal jika terkait dengan sebuah eksistensi sosial. Sekadar menjadi sendiri

tentunya adalah suatu hal yang remeh dan tak bermakna: kita sendiri dan merasa

terabaikan hanya ketika kita sadar akan adanya realitas sosial yang meniadakan kita

darinya. Pemisahan fundamental individu dari masyarakat akan mengarah pada

munculnya pseudoproblem (masalah semu). Hal itu tak cuma lantaran individu (sejak

37
sangat semula) memiliki karakter sosial dan hanya bisa dibayangkan dalam pengertian

sebuah hubungan fungsional dengan kondisi-sosial eksistensinya, tetapi juga karena ia

diperintah/diatur oleh kekuatan-kekuatan sosial dan ditentukan oleh pencapaian-

pencapaian sosial setiap saat ia berontak dari masyarakat. Ini juga merupakan sebuah

kebenaran bahkan jika berpikir bahwa ia berhutang akan segala sesuatu yang menurutnya

positif dan bernilai dalam dirinya sendiri dan pencapaian-pencapaiannya, yang

membuatnya berontak pada institusi-institusi sosial yang dipandangnya tak lebih dari

sekadar sumber rintangan, hambatan, dan marabahaya. Oposisi, pemberontakan, dan

pengasingan jelas-jelas merupakan wujud sikap sosial, yang termotivasi secara ideologis.

Hubungan aktual seniman dengan masyarakat dalam pengertian ini adalah bersifat

berseberangan dengan doktrin idealistis—yang klasik ataupun romantik—dari teori seni.

Para seniman, sama halnya dengan sesama manusia, adalah makhluk sosial, produk dari

dan pencipta masyarakat, yang tidak sepenuhnya bersifat independen dan tiran, dan

tidaklah pula bersifat tercerabut dan terasing sedari awalnya. Seniman tak lagi menjadi

korban yang terkucil dari masyarakat yang dimanipulasi dengan kejam dan diorganisir

secara tidak fleksibel (yang tidak mereka sadari), dan tempat di mana mereka berusaha

mencari perlindungan di dalam seni. Alih-alih, mereka menjadi corong yang

menyuarakan kemanusiaan abadi dan terpadu. Betapapun superior anggapan mereka

terhadap diri sendiri dibandingkan dengan sesamanya, dan betapapun terasingnya mereka

dari masyarakat, para seniman itu memakai bahasa yang sama, yang diucapkan pada

sesamanya, dan ditujukan untuk sesamanya juga.

Kita menarik garis yang terlalu tajam antara elemen individu dan elemen sosial

dalam sikap-dan-tindakan manusia dan capaian-capaiannya, jka kita berasumsi bahwa


38
individu dan masyarakat menjalani eksistensinya masing-masing menurut hukum-

hukumnya sendiri dan mampu eksis tanpa satu sama lain. Nyatanya, keduanya tak cuma

saling membutuhkan, tetapi juga membentuk dua aspek dari suatu fenomena tunggal

yang serupa. Bukan saja bahwa masyarakat merupakan satu-satunya bentuk di mana

sesuatu seperti keberadaan individu bisa dimengerti, tetapi pada saat yang sama, individu

adalah satu-satunya agen masyarakat, suatu perwakilan aktifnya, suatu ekpresi eksplisit

dari dorongan-dorongan dan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Sebagai sesuatu

yang sifatnya se-takterhapuskan seperti halnya elemen sosial dari segala aktivitas

manusia, individu-lah yang berpikir, merasa, dan bertindak, yang menyadari kebenaran,

dan menciptakan karya seni, bahkan jika ia melakukannya sekadar sebagai bagian dari

usaha kooperatifnya.

Individu dan masyarakat berinteraksi dalam kreasi artistik dalam suatu cara yang

beraneka ragam dan rumit sehingga hubungan mutualnya tak bisa sekadar dinyatakan

dalam makna sebuah dualisme sederhana. Untuk bertanya sampai sejauh mana faktor-

faktor individu memberikan sumbangsihnya pada proses artistik, terutama yang paling

penting, dan apa yang berubah dalam hubungan mereka, tentunya hal-hal itu akan

kehilangan tujuan riilnya. Gagasan akan suatu kondisi sosiohistoris (yang bersifat

memotong-dan-menuntaskan dan sewenang-wenang yang bisa diterima tanpa perlu

dipertanyakan) dari suatu style periode objektif atau sebuah tren selera yang patut

dicontoh, juga dari sebuah kepribadian individu yang secara spontan bersifat independen

dalam situasi ini, dan yang secara arbitrer merupakan tugas-tugas moment tersebut.

adalah sumber kesalahan yang luas jangkauannya. Terdapat lebih sedikit independensi

dari faktor-faktor sosial dan asosial di sini, daripada di wilayah aktivitas-manusia lainnya.

39
Lantaran hal ini merupakan sebuah kasus yang tidak sesederhana konsep “di mana tidak

ada masyarakat, di situ juga tidak akan ada individu”, melainkan juga bahwa, bahkan

kepribadian yang tampaknya bertindak dengan sepenuhnya spontan, hanya akan

mewujudkan sebuah reaksi, menerima sebuah tantangan, dan menjawab pertanyaan yang

ditangguhkan. Seorang seniman menjadi seperti dirinya yang sekarang ini dalam

rangkaian penaklukan tugas yang terkondisi secara historis dan sosial, yang ia coba

interpretasikan dan pecahkan dengan caranya sendiri. Ia tak memiliki individualitas

artistik sebelum tugas itu terpecahkan dan hanya bisa dibedakan dan didefinisikan hanya

dalam keterkaitannya dengan situasi konkret yang diciptakan oleh tugas yang sudah ada

itu. Tanpa masyarakat Renaisans, bumi Italia, dan masa lampau bangsa itu; tanpa

Florenzia dan Roma, quattrocento Florentina (era seni dan kesusasteraan di Italia pada

abad ke-15) dan pencapaiannya, juga dewan pemerintah Romawi beserta segenap aspirasi

dan tampuk kekuasaannya; tanpa Perugino sebagai guru dan Michelangelo sebagai

rivalnya, maka tak akan lahir sosok Rafael. Tetapi, tanpa Rafael, Renaisans tak akan

menjadi Renaisans, dan Romawi pun tak akan menjadi layaknya Romawi yang kita kenal

sebagaimana kita memandangnya. Tidaklah menentukan bagi proses tersebut, apakah

Rafael menjadi representasi perkembangan di mana quattrocento menyeberang jalur

untuk menuju padanya, baik secara artistik maupun sosial karena lokakarya-lokakarya

para seniman yang telah terorganisir dengan lebih baik, kondisi pasar seninya yang lebih

menguntungkan, juga dukungan material dan intelektual yang diberikan oleh pasar di

tengah-tengah kebudayaannya. Proses itu pun tidak menentukan bahwa Rafael sendiri

menciptakan gaya klasik. Apa yang menentukan justru bahwa Renaisans dan kepribadian

artistik Rafael berkembang secara simultan dan juga pada kecepatan yang sama tanpa

40
menjadi terpisahkan satu dengan yang lainnya. Bukan cuma solusi yang ditujulah—

dalam hal ini, karya seniman-seniman Renaisans-lah, yang menjadi hasil permasalahan

konkret tersebut, tetapi permasalahan-permasalahan itu sendiri muncul hanya jika

berbagai kemungkinan solusinya juga tersedia.

Problem, yang dalam rangkaian perkembangan seniman harus ia munculkan

terhadap dirinya sekaligus harus ia pecahkan sendiri dalam satu atau cara lain, bukan

terletak pada bagaimana ia bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat dan berbagai

konvensinya, tetapi sebaliknya justru terletak pada bagaimana ia paling berhasil

membebaskan diri dari mereka. Karena sama halnya seorang anak yang semula hanya

menggunakan bahasa dari lingkungan di sekitarnya, begitu juga halnya dengan seniman

yang memulainya dengan meniru yang lain, dengan mengkopi dan memodifikasi

prototipe-prototipenya. Biasanya, ia berkembang dari memakai bahasa yang lebih umum,

ke bahasa formal yang bersifat lebih individual. Ia berangkat dari ungkapan umum dan

mendekati suatu bentuk ekspresi personal, alih-alih berangkat dari rangkaian yang

sebaliknya. Saat ia membebaskan diri dari berbagai formula konvensional dan solusi

stereotipikal, menjadi jelas bahwa lebih sulit baginya untuk melupakan (ketimbang untuk

memelihara) apa-apa yang ia pelajari dari hal-hal di sekitarnya. Seiring berlalunya waktu,

ia mungkin (atau mungkin juga tidak) menjadi semakin orisinal, namun pada awalnya ia

merupakan sesuatu yang paling tak-orisinal. Memang ada sejumlah sosok berbakat yang

tumbuh matang lebih dini dan sejak masa mudanya telah memiliki kepekaan, ide-ide

nonkonformis, dan nada-nada yang jelas dan tak teragukan lagi. Namun, hampir-hampir

tak ada seniman yang sejak semula sudah mengutarakan bahasa formal yang sifatnya

benar-benar baru. Revolusi artistik aktual jarang muncul dari sosok-sosok muda. Titian,

41
Michelangelo, Rembrandt, Shakespeare, Beethoven, dan Goethe, kesemuanya menjadi

lebih progresif dan inovatif dalam kematangan usia, ketimbang dalam masa mudanya.

Hubungan antara individu dan masyarakat tidak selalu—tepatnya, tidak pernah—

berkaitan dengan antithesis antara spontanitas dan konvensi; antithesis ini hanya

merepresentasikan salah satu aspek yang berbeda dari hubungan tersebut. Individu

merupakan sebuah kompleksitas dinamis yang mengandung dalam dirinya sendiri,

antinomy dari hal-hal yang bersifat inheren (melekat/menurun) dan asing, juga

mengandung orisinalitas dan norma, ketetapan dan perubahan, dan ia sendiri menjadi

kancah dari perjuangan hal-hal tersebut antara satu dengan yang lain. Kesenjangan antara

apa yang bersifat sosial dengan apa yang asosial tidak berada di dalam batasan-batasan

individu, melainkan justru melampauinya. Karena seperti halnya masyarakat yang tidak

hanya terdiri dari tetapi juga terkandung dalam individu-individu, begitu juga halnya

individu tak hanya terkondisi oleh masyarakat dari luar, tetapi menemukan prinsip sosial

(melalui stimulus atau resistansi) dalam keberadaannya sendiri dan dari segala hal yang

dilakukannya.

Analogi antara seni dan bahasa adalah salah satu paralelisme paling nyata dalam

keseluruhan estetika, setidaknya sejauh hubungan sarana ekspresi spontan dengan

ekspresi konvensional itu terjalin. Seniman tak hanya memakai bahasa orang lain sampai

ia berhasil menemukan bahasanya sendiri, tetapi ia kemudian mengekspresikan dirinya

dalam sebuah dialek bahasa yang sama. Dalam proses ini, bukan saja bahasanya sendiri

yang berubah, tetapi bahasa kelompok tersebut juga tunduk kepada perubahan itu dan

menjadi produk dari sebuah perkembangan, tahapan-tahapan yang ditandai dengan

sejumlah kontribusi individual. Seni, sama halnya dengan bahasa, adalah hasil
42
amalgamasi suatu idiom kolektif tradisional dengan inovasi-inovasi konstan yang

diciptakan oleh individu-individu. Seni vital, seperti bahasa hidup yang vital, membentuk

sebuah jaringan hubungan yang terurai dengan berbagai cara, di mana terdapat banyak

partisipan yang terlibat. Jalinan benang itu terulur dari satu partisipan ke partisipan yang

lain, sampai akhirnya hampir-hampir tak mungkin bagi kita untuk membedakan

bagaimana proses memberi-dan-menerima, yang mana yang properti dan yang mana

yang meminjam, yang mana yang inisiatif dan yang mana yang rutin, karena kesemuanya

terpisahkan sekaligus juga tersatukan. Akan tetapi, seniman—sebesar apapun

keyakinannya akan metode penciptaannya sendiri—hampir-hampir tak mampu untuk

menentukan mengenai di mana dan kapan ia memperoleh motif tertentu, memetik dari

peristiwa yang tidak ia alami secara langsung, atau menengok sekilas sebuah gambaran

atau kata, yang menjadi bibit dari buah yang tak diharapkan itu. Ia hampir-hampir tak

mengetahui apa yang ia ambil dari publik, lawan-lawan, atau para pengikutnya, atau juga

peran apa yang ia mainkan dalam tugasnya, dengan pemahaman bahwa ia akan

menemukan (atau berharap akan menemukannya di sana), kritik yang untuknya telah ia

persiapkan dan yang diam-diam ia menangkan, sorakan yang kelak akan

memabukkannya, cita-cita untuk menyenangkan dan mengomunikasikan dirinya, dan

juga untuk mewujudkan suatu keluarga imajiner yang beranggotakan orang-orang yang

setuju dengannya.

Fungsi individu berubah secara berkelanjutan dalam rangkaian sejarah, dan

individu menjalani perubahan yang cukup fundamental sehingga kita mungkin akan bisa

membedakannya dengan jelas, antara periode individualitik dan antiindividualistik dalam

kebudayaan. Namun, dalam kenyataannya, tak ada tahapan dalam perkembangan budaya

43
di mana fenomena individu menjadi tak dikenali. Tak ada pula fase individualisme di

mana individu tidak mempunyai lawan. Sama halnya komunitas heterogen yang paling

terpadu tersusun atas individu-individu yang berbeda, begitu pun bentuk individualisme

yang paling berbeda dan paling primitif, juga menanggung stempel masyarakat di dalam

dirinya sendiri. Hal itu tidak terletak pada strukturnya sebagai ekspresi dialektika yang

penuh dengan ketegangan, melainkan pada kekuatannya sebagai sebuah kekuatan kreatif,

yang mengalami perubahan dalam rangkaian sejarah. Peranannya boleh jadi cukup besar,

tetapi mungkin juga tidak seberapa. Sejak era Renaisans, peranannya berkembang secara

konstan, dan sejak era romantik, ia telah mendominasi wilayah kehidupan budaya Barat.

Individualitas dari subjek-subjek kreatif mungkin memberikan sumbangsih secara

esensial dalam pencapaian individual, bahkan ketika pendirian personalnya hampir tidak

terlihat, sehingga bahkan periode yang tidak bersinggungan dengan konsep

individualisme pun tidaklah tak familiar dengan fenomena individualitas.

Individual-individual (yang dalam pengertian sosok-sosok tunggal, dan yang

kurang lebih bisa dibedakan satu dengan yang lainnya) telah ada sejak sejarah kehidupan

muncul, suatu proses sosialisasi, persatuan sosial, dan antithesis, yang muncul sejak

adanya para pemimpin dan kaum yang dipimpin, para pengatur dan yang diatur. Awal-

mula diferensiasi jelas-jelas kembali ke keadaan alam pada era prehistoris, di mana kita

bisa menemukannya pada golongan binatang. Fenomena individu sebagai sesosok

pemimpin yang masih benar-benar berada dalam satu kesatuan dengan kelompok yang

dipimpin dan dipandunya, bukanlah sesuatu yang sifatnya problematis, memecah-belah,

atau menguraikan, meskipun di situ terdapat suatu otoritas yang dijalankan. Tetapi

individu semacam ini (bahkan sosok yang secara khusus aktif atau mampu) adalah suatu

44
hal; seseorang yang sadar akan bakat dan kemampuannya untuk bertindak, mengakui

adanya kebisaan-kebisaan khusus, dan berupaya untuk meningkatkan kualitasnya,

merupakan suatu hal yang lain sifatnya. Perubahan dari sekadar fakta individualitas ke

individualisme hanya terjadi saat pengetahuan-akan-diri ini hadir.

Bahkan sekadar kesadaran “menjadi beda” dari yang lain pun (sejauh hal itu

terkait dengan klaim akan prestise dan keistimewaan khusus) dapat menciptakan sebuah

ketegangan antara individu dan seluruh komunitas, dan bisa mengarah ke kendornya

kesatuan di dalam kelompok tersebut. Di Mesir, pada era New Kingdom (periode sejarah

Mesir kuno, dari dinasti ke-18 hingga ke-20, yakni sekitar tahun 1580-1090 Sebelum

Masehi), dan yang lebih mencolok, yakni pada masa Kekaisaran Helenistik, situasi ini

telah menunjukan tanda-tanda yang mengingatkan kita akan atomisasi budaya pada masa

kini. Tetapi, tidak lama sampai era Renaisans, terjadilah krisis kebudayaan sesungguhnya

sebagai bagian paling awal dari sebuah persaingan intelektual. Ini terjadi bersamaan

dengan era di mana individualisme tampak benar-benar berkembang dan sebuah

kesadaran individual refleksif menggantikan apa yang terdahulu, yang kurang-lebih tetap

merupakan reaksi mekanis terhadap kesan-kesan yang muncul. Perkembangan insiatif

individu dibarengi dengan jatuhnya pandangan otoriter era medieval (pertengahan) akan

dunia, kemunduran gagasan akan kebudayaan Kristen universal, terputusnya kesatuan

iman dengan pengetahuan, hukum dan moralitas, seni dan kerajinan. Sebagai akibatnya,

ketegangan antara individu dan masyarakat berkembang menjadi sebuah antithesis sejati,

yang mengancam individu dengan hilangnya tempat yang terjamin dalam masyarakat.

Pengamat yang teliti akan melihat bahwa dependensi individu yang terasing dari realitas

sosial bahkan lebih jelas (tak diragukan) ketimbang dependensi seseorang yang benar-

45
benar berada dalam kesesuaian dengan aturan yang telah ditetapkan dan benar-benar

terikat/sepakat dengan nilai-nilainya, dan yang sejak semula berpikir menurut/sesuai

dengan ketentuan-ketentuannya—yakni, yang singkatnya, tak pernah mencoba untuk

pergi dari situ.

Spontanitas individual merupakan sebuah pengalaman besar dalam era Renaisans,

yakni konsep jenius dan gagasan akan karya seni sebagai ekspresi dari kepribadian

seorang jenius sebagai penemuan besarnya. Abad Pertengahan, yang tak mengenal

konsep persaingan (dan oleh karenanya, sama sekali tak tersentuh oleh gagasan

intelektual atau persaingan ekonomi), tak melihat adanya keuntungan dalam orisinalitas

atau kekurangan apapun dalam stereotipikalitas. Namun, anonimitas prestasi juga bukan

suatu tujuan yang diperjuangkan olehnya. Akan tetapi, gejala yang paling nyata dari

datangnya era Renaisans adalah titik balik dalam sejarah individualisme. Hal itu tak

hanya ditandai oleh fakta bahwa individu kreatif menjadi sepenuhnya sadar akan

keistimewaan-keistimewaannya, dan menghendaki hak-hak istimewanya, melainkan juga

oleh fakta bahwa perhatian publik mengalami perubahan yang sesuai dalam orientasi dan

berubah dari karya ke seniman. Ini adalah permulaan dari krisis individualisme—

ketegangan yang memuncak, antara seniman dengan publik, juga kecurigaan mutual yang

pada akhirnya menimbulkan pergolakan dan reaksioner dari kedua belah pihak. Pemujaan

terhadap kecerdasan pikiran yang menandai puncak individualisme pada era Renaisans

(yang darinya seniman memperoleh hak untuk memberontak terhadap tradisi, doktrin,

dan berbagai peraturan) tak cuma memperkenalkan suatu pertimbangan ulang akan nilai-

nilai, sebagai hasil dari suatu keadaan di mana seniman cenderung ingin ditempatkan di

atas karya-karyanya, tetapi juga mempersiapkan sebuah kancah konflik yang sejak

46
semula mengancam untuk menumbangkan keseimbangan genting yang terdapat di antara

pretensi-pretensi individu dan tuntutan masyarakat. Pergeseran aksen dari prestasi

menuju pada kemampuan untuk berprestasi, dari sukses dan penuntasan ke gagasan dan

tujuan artistik—pendeknya, pertimbangan satu-sisi bahwa jenius merupakan suatu prinsip

yang berwenang—membawa ke sebuah destruksi harmoni antara karya dan kepribadian

yang teruntai sebagai sebuah tujuan sebelum datangnya era Renaisans, tetapi yang

kemudian secara tak terelakkan ia renggut dari makna apapun segera setelah ia tak lagi

melihat individu sebagai pembawa pesan belaka, tetapi juga penjelmaan dari pesan itu

sendiri. Michelangelo adalah orang yang pertama kali mencapai emansipasi-penuh

individu dari berbagai aturan, dan ia mengambil langkah final dalam pendakiannya.

Seniman itu menjadi idola, penjelmaan suatu ideal yang mempersatukan nilai-nilai

tertinggi dalam dirinya. Dia tak lagi perlu mengidentifikasi dirinya sebagaimana keadaan

dirinya. Michelangelo tetap—bahkan setelah kenaikannya menuju ke “rengkuhan

Kristus”—dikenang sebagai master “suci” sebagaimana ia dulu disebut. Tak ada seniman

yang pernah dikelilingi aura sebagaimana aura yang mengelilingi Michelangelo; tak

satupun yang bisa mewariskan peralatannya untuk melayani Tuhan selain dari karya-

karyanya sendiri, dan sekaligus mempertahankan reputasinya sebagai seorang seniman.

Seniman mannerist kehilangan pegangan mereka pada institusi keteraturan sosial

dan sebuah pandangan dunia yang terpadu. Proteksi yang dimiliki serikat sekerja sanggup

mencukupi para pendahulunya, hubungan tak ambigu dengan patronnya, Gereja, dan

aturan-aturan sekuler, kepercayaan penuh terhadap dogma eklesiastik dan tradisi artistik,

kesemuanya itu telah berlalu dan lenyap. Prinsip individualisme membuka berbagai

kemungkinan yang sebelumnya tak pernah diimpikan bagi mereka, dan membawa

47
mereka ke dalam sebuah vacuum kemerdekaan. Jeda spiritual mengandung makna bahwa

mereka tidak dapat mempercayakan diri mereka sepenuhnya pada aturan eksternal, tidak

juga pada desakan-desakan internal mereka. Terlempar kesana-kemari antara subordinasi

dan anarki yang lemah, mereka berdiri tak bersenjata dalam menghadapi chaos yang

mengancam akan menenggelamkan mereka, dan yang darinya bahkan seniman terhebat

pun seringkali hanya bisa berhasil melarikan diri melalui suatu tour de force

(kemampuan/talenta brilian). Mereka merupakan seniman modern pertama dalam

pengertian bahwa individualisme ekstrim mereka berubah menjadi suatu perasaan

terbelah/terpisah akan kehidupan, dan berakhir dalam sebuah sikap di mana ikatan

sejarah dan pemberontakan terhadap sejarah menggabungkan kekuatannya dengan

perjuangan kaum romantic dalam meraih kebebasan, yakni percumbuan dengan

keteraturan dan disiplin, eksibisionisme yang tak terhalang, dan sebuah kesederhanaan

yang genit, yang tampaknya selalu menjanjikan hal yang penuh tipu-daya/rewel. Hal ini

merepresentasikan tahapan akhir dalam sejarah individualisme dan juga tahapan dalam

hubungan individu dengan dirinya sendiri—yakni tahapan perkembangan, di mana tak

hanya nilai individualisme saja yang menjadi problematika dan di mana individu itu tak

tahu apa yang harus ia capai, tetapi juga di mana keduanya terlepas dari maknanya. Itu

merupakan kegagalan yang terinspirasi oleh gagasan Renaisans, pencegahan kebebasan

gerakan antara masa lampau dan masa kini, tradisi dan penemuan baru, peraturan dan

keberubahan, norma klasik dan angan-angan spontan, dan ini menjadi warisan yang

menumpuk pada keseluruhan seni modern.

Sebagaimana kita tak bisa mendalilkan entitas kolektif sebagai representasi dari

proses-proses kultural—apakah itu medium perasaan, kehendak, atau produksi artefak—

48
atau mendalilkan fungsi pikiran atau tindakan tanpa turut menyertakan individu-nya,

maka kita tidak dapat mengantisipasi bahwa individu akan berpikir, berkehendak, atau

bertindak sepenuhnya melalui motivasi-diri. Sudah jelas bahwa tak cuma mekanisme

subjektif-psikologis yang menentukan tindak-tanduk seseorang dan bahwa tidak semua

yang ia lakukan atau terjadi (karena ulahnya) terjadi atas keinginannya sendiri, tetapi juga

bahwa ia selalu berbicara dan bertindak atas nama orang lain, bahkan saat ia terlihat

bersikap berdasarkan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan pribadinya. Satu-

satunya pertanyaan adalah, seberapa banyak dari tingkah-lakunya yang tampaknya murni

psikologis, yang sesungguhnya merupakan suatu hal yang sifatnya sosiologis. Bahwa

fungsi-fungsi interpersonal selalu dibawa melalui medium psyche (keadaan kejiwaan)

individual, bukan berarti bahwa mereka juga berasal dari sana.

Ada sebuah alternatif nyata, yakni untuk menarik struktur-struktur sosial,

berbagai hubungan sosial dan kondisi-kondisi dari subjek psikologis individu atau agen-

agen fiktif dari sebuah kesadaran kolektif, dari sebuah psyche populer atau psyche-

kelompok, atau dari semangat suatu ras, bangsa, atau sebuah periode historis. Terdapat

juga penjelasan ketiga yang lebih jelas, bagi keberadaan objektif mereka dan sifat-

sifatnya yang mengatur: individu-individu (sebagai subjek sosial) tunduk pada suatu

konteks makna khusus, yang berasal dari suatu dasar pemikiran, keteraturan internal, dan

konsistensi proses sosial. Itu merupakan konjungsi dari bermacam pola ingkah-laku, yang

mengondisikan dan menyebabkan satu sama lain, dan yang mengeluarkan hal-hal

lainnya, lalu menghubungkannya dengan subjek empiris konkret. Hal-hal itu membentuk

kesatuan hubungan, yang tidak terlokalisasi secara psikologis, yang asal-usulnya tidak

bisa ditentukan dengan tegas, namun memperoleh kekuatan dari pemikiran-pemikiran

49
dan kehendak individu yang bersangkutan, begitu dia memasuki lingkup sosial. Oleh

karenanya, meskipun masyarakat tidak pernah berpikir dalam pola pikir individual,

begitu individu mendapati dirinya berada dalam sebuah situasi sosial dan terlibat dalam

hubungan-hubungan interpersonal, dia benar-benar berpikir berdasarkan “logika” situasi,

yang tidak identik dan kongruen dengan cara berpikirnya sebagai sosok individu secara

psikologis, melainkan sosok yang diperintah oleh hukum-hukum koherennya yang

mengandung tujuan tertentu.

Identifikasi dan diferensiasi fenomena terjadi di dalam wilayah sosiologi dan

psikologi berdasarkan kriteria-kriteria yang benar-benar berbeda. Secara umum,

variabilitas psikologis dari struktur sosial yang sama lebih besar daripada ketidaktetapan

sosial dari tipe psikologis semacam itu. Ini sudah jelas, karena terdapat lebih banyak tipe

psikologis ketimbang struktur-struktur sosial. Misalnya saja, saat Balzac berkata bahwa

ketamakan berubah, dari sebuah keburukan menjadi kebaikan begitu ia memiliki objek

spesifik, perubahan yang ada dalam benaknya merupakan perubahan yang bersifat moral

dan psikologis: kategori sosioekonomi dari kerakusan, sebagai sebuah sikap pikiran yang

berkaitan dengan akumulasi kepemilikan, akan tetap pada keadaannya semula. Namun,

Balzac tidak bermaksud untuk memberikan kedudukan tinggi pada psikologi ketimbang

pada sosiologi. Ini dilakukan oleh Freud saat dia menegaskan bahwa individu-individu

yang berbeda akan mengambil sikap yang berlainan bahkan di bawah kondisi-kondisi

ekonomi yang sama, dengan mengabaikan fakta bahwa dalam kondisi ekonomi yang

sama, mereka seringkali (bahkan, jauh lebih sering) bertindak serupa dan memunculkan

karakteristik-karakteristik kelompok yang sama, seperti kesadaran kelas, ideologi kelas,

50
norma-norma prilaku yang sesuai dengan kelas mereka, landasan selera yang baik, dan

hal-hal semacam itu.

Dalam banyak hal, hubungan antara psikologi dan sosiologi terkait dengan

hubungan antara hereditas dan lingkungan. Setiap struktur kultural merupakan karya

individu yang dikaruniai dengan kebiasaan-kebisaan mental, akan tetapi individu tersebut

selalu berada dalam situasi yang dikondisikan oleh ruang dan waktu. Pencapaian-

pencapaiannya adalah sebesar hasil dari berbagai penempatan dan kecenderungannya,

sebesar hasil dari berbagai situasi di mana ia mendapati dirinya sendiri.

Sebagai contoh ciri-ciri di luar ciri psikologis dari berbagai proses sosioekonomi,

Georg Simmel mengutip fenomena yang diamati oleh Marx: “Penjelasan dari pergantian

sistem ekonomi-perbudakan oleh perekonomian feodal, dan perekenomian feodal oleh

pekerja-upahan, tidaklah diperoleh dalam kesadaran subjek-subjek, melainkan pada

konsekuensi-konsekuensi logisnya, begitu tepatnya, dari teknik ekonomi… Dan di sinilah,

kesadaran sepenuhnya dihapus.” Meskipun demikian, saat ia meneruskan pernyatannya

di dalam tulisannya yang lain, bahwa “tidak ada keadaan yang terealisasikan melalui

logikanya sendiri, melainkan oleh kekuatan-kekuatan sosial dan mental”, ia hanya

sekadar mencoba mempertimbangkan motivasi ganda dari berbagai proses historis dan

untuk menunjukkan kesulitan, yang telah ditekankan oleh Engels, bahwa dalam

rangkaian dari proses-proses tersebut, motif-motif yang sifatnya ekstrapsikologis dan

asing bagi kesadaran tentunya harus “melewati pikiran orang-orang” (Ludwig

Feuerbach) untuk bisa teraktivasi. Dependensi mutual antara sosiologi dan psikologi

bekerja sedemikian rupa sehingga apa yang hanya bisa dialami secara psikologis, bisa

muncul efektif secara sosial dan historis. Impuls-impuls psikologis sejak semula memang
51
bersifat interpersonal. Seperti halnya segala sesuatu yang “menggerakkan manusia harus

melewati pikiran terlebih dahulu,” demikian pula halnya, apa-apa yang melewati pikiran

juga harus merujuk pada orang lain. Memang benar, bahwa mekanisme-sosial dari

akumulasi kapitalistik tidaklah identik dengan keserakahan individu, namun tanpa adanya

rangsangan psikologis semacam itu, motif keuntungan tak akan menjadi seefektif itu.

Motivasi sosiologis dan psikologis dari hal-hal ini (dan yang semacamnya) biasanya

muncul secara simultan, berkembang secara bersamaan, dan meraih sukses yang sama.

Tetapi, resiprositas dari berbagai motif itu tidak selalu diekspresikan secara jelas, baik di

dalam rangkaian ataupun di dalam penjelasan proses-proses sejarah. Pada suatu waktu,

perhatian yang berlebihan terhadap wujud-psikologis fenomena justru akan membebani

makna sosiologis suatu keadaan; sedangkan pada kesempatan yang lain, semua

manifestasi sosial yang terlalu nyata atau penjelasan sosial yang berlebihan akan bentuk-

bentuk prilaku, akan mengaburkan karakteristik-karakteristik psikologis. Dalam satu

kasus, psikologi hanyalah sekadar pemikiran di luar sosiologi, yang sifatnya terselubung,

tak terjelaskan dan tidak layak; dalam kasus yang lain, sosiologi tak lebih dari sekadar

psikologi yang tersembunyi, yang tak kasat mata, yang menyelinap ke dalam tendensi

kolektif di atas impuls-impuls psikologis individu.

Penjelasan psikologis murni dari erotisisme lirik cinta troubadour

(penyair/penyanyi era medieval) merupakan sebuah contoh metode sosiologis yang

menyolok, yang belum “dipertimbangkan dengan semestinya”. Tak ada yang

mengekspresikan antithesis kehidupan ksatria dengan lebih hidup dan tak ada yang lebih

signifikan bagi bentuk transisi dari budaya eklesiastikal (gereja Kristen) dari Zaman

Pertengahan menuju ke budaya sekuler Renaisans, dibandingkan dengan sikap ambivalen

52
ksatria terhadap permasalahan cinta, di mana spiritualitas tertinggi dikombinasikan

dengan sensualitas yang paling terang-terangan. Ambivalensi ini bisa dipahami hanya

jika kita mempertimbangkan latar belakang sosiohistoris dari hubungan-hubungan yang

kontradiktif tersebut. Baru sesudahnya, hal itu nyata-nyata menjadi keterusterangan yang

aneh, yang ditumpahkan ksatria (abad pertengahan) terhadap persoalan cinta. Hal itu

merupakan akibat dari melemahnya prasangka-prasangka sosial dan kendornya batasan

antarkelas, dan bahwa nada baru dalam syair cinta mengisyaratkan kebangkitan kelas

baru, yang terdidik dan termerdekakan. Contoh luar biasa yang serupa dengan itu, akan

tercampurnya kategori-kategori sosiologis dan psikologis dengan upaya untuk

menjelaskan fenomena psikologis yang hanya rentan terhadap sebuah penjelasan

sosiologis, terdapat pada narsisisme, yakni sebuah konsep dari mana psikologi

mengambil konsep alienasi. Akan tetapi, konsep ini bisa diperjelas dan dibuat masuk akal

secara ilmiah hanya jika dijelaskan sebagai sebuah krisis dalam hubungan interpersonal

dan sebagai suatu ancaman terhadap akar individu dalam masyarakat. Pada tingkatan

psikologis, hal itu tetap dirundungi oleh gagasan kabur dan ambigu dari perasaan tidak

enak (malaise) pada pribadi seseorang. Keadaan patologis keruh semacam itu (yang

dipahami Freud sebagai narsisisme) memang pada kenyataannya berkaitan dengan

alienasi. Tetapi, persamaan dari kedua fenomena tersebut hanyalah bahwa alienasi

merupakan sebuah penyakit masyarakat dan narsisisme merupakan penyakit kejiwaan

seseorang. Sebagai fenomena historis, adalah mungkin bahwa hal-hal itu merupakan

ekspresi dari krisis spiritual yang sama, dari perasaan yang sama akan keadaan tertinggal,

kepasrahan, dan ketidakberdayaan, tetapi yang menentukan adalah bahwa, saat hal-hal

tersebut terjadi bersamaan, adalah keadaan psikologisnya-lah yang dipersiapkan dan

53
disebabkan oleh sosial, dan bukan sebaliknya. Keadaan krisis psikologis memang

mengisyaratkan berbagai kesulitan sosiohistoris—alienasi bisa ada tanpa narsisisme—

tetapi tak akan ada narsisisme (setidaknya, bukan narsisisme patologis) tanpa adanya

alienasi.

Sebelumnya, orang-orang hanya memprotes institusi-institusi atau sejumlah-

tindakan pemerintah tertentu, atau penyalahgunaan keistimewaan-keistimewaan tertentu

oleh suatu kelas sosial atau yang lainnya. Kini, mereka mendapati bahwa masyarakat

hanya bisa berfungsi jika masyarakat tersebut menyalahgunakan kekuasaan dan

menghilangkan mayoritas hak-haknya. Sebagian dari penemuan ini muncul dari

pengetahuan bahwa harapan-harapan yang dijumpai oleh Era Pencerahan dan Revolusi

Perancis pada kaum intelektual dan juru bicaranya, diupayakan supaya tidak disadari.

Para penyair dan filsuf, yang telah kehilangan prestise dan pengaruh politisnya pada era

pascarevolusi, berkeyakinan bahwa mereka berlebih-lebihan, dan perasaan kesia-siaan ini

mendorong pada segala bentuk pelarian yang mereka coba. Masa lampau dan utopia,

masa kanak-kanak dan alam, rasa sakit dan ilusi, rahasia dan keajaiban, ketidaksadaran

dan irasionalitas sekadar menjadi tempat perlindungan atau persembunyian di mana

mereka bisa meraih ketiadaan tanggung-jawab dan mengakui kekalahannya. Namun,

apapun yang membuat mereka menjadi antusias atau memasrahkan diri kepadanya,

mereka tetap merupakan para pemberontak, terlepas dari kedekatan mereka dengan

berbagai gagasan tata-tertib medieval dan institusi-institusi tetap, dan mereka menjadi

perintis sebuah revolusi baru yang sejak saat itu telah menjadi sesuatu yang permanen.

Penjelasan psikologis akan pandangan romantik terhadap seni dan dunia (sebagai ragam

berpikir dan merasa yang baru) jelas-jelas tidak mencukupi. Kekecewaan kaum romantik

54
adalah refleksi dari kurangnya keberhasilan sosial mereka. Kaum intelektual pada periode

praromantik bisa mengizinkan diri mereka untuk diperintah oleh orang lain karena

mereka meyakini bahwa hidup bisa diatur dan bahwa keberadaan pemerintah memang

ada manfaatnya. Kaum romantik berjuang melawan segala ikatan karena mereka telah

kehilangan kepercayaan pada norma-norma dan nilai-nilai konvensional, dan sejak

semula telah menyangkal/menolak hak masyarakat dalam mengekang individu. Orang

yang merasa relatif terjamin dan berharap untuk bisa berhasil adalah mereka yang lebih

cenderung menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan sosial dan lebih siap

meninggalkan/menolak desakan-desakan yang menyimpang, ketimbang mereka yang

merasa tak puas dan mencurigai setiap tuntutan yang bersifat tak adil dan hal-hal yang

melanggar hak-hak mereka. Menjadi jelas bahwa psikologi yang mendasari kebutuhan

akan emansipasi ini sifatnya tergantung pada keadaan-keadaan sosial. Seluruh sikap

romantik (yang teralienasi dari realitas sekaligus memusuhinya) semata bersesuaian

dengan posisi, peranan, prospek-prospek, dan kesempatan akan kesuksesan, yang

ditawarkan oleh masyarakat kepada kaum terpelajar yang dikecewakan oleh kegagalan

revolusi. Karena inilah, masyarakat berontak terhadap tatanan dan moral, bukan lantaran

mereka tiba-tiba menyadari betapa tinggi dan agungnya Pegunungan Alpen, atau bahwa

parit-parit di sepanjang lembah mengalir dengan riang dan begitu damai, atau karena

mereka lebih senang menyebut “prajurit” ketimbang “serdadu”. Semua itu terjadi

melainkan karena mereka berpikir dan merasakan segalanya secara begitu berbeda dari

apa yang ada sebelumnya, dan karena tak ada apapun yang mereka miliki selain dari

antipati akan pandangan dan konvensi masyarakat di mana mereka terlibat.

55
Institusi, prinsip-prinsip moral, dan norma-norma hukum bukanlah hasil dari

rintangan—suatu hal yang dipertahankan oleh para psikoanalis—tetapi, justru sebaliknya,

hambatan/rintangan merupakan hasil dari kesadaran akan nilai-nilai moral dan institusi

sosial yang sesuai dengan upaya pemeliharaan kesadaran akan seperangkat nilai. Aturan

yang mengekspresikan kepentingan-kepentingan sosial tertentu muncul lebih dulu, baru

kemudian muncullah larangan yang disamarkan sebagai rintangan, yang melindungi

kepentingan-kepentingan tersebut. Di mana tak ada institusi dan peraturan, maka tak ada

pula larangan atau rintangan. Hanya apa-apa yang mengancam pengabadian sebuah

peraturan yang telah ditetapkan-lah, yang dilarang. Hukum—moral maupun yuridis—

bersandar pada otoritas, bukan pada perasaan abstrak akan keadilan. Dependensi

merupakan perintis jalan bagi segala bentuk pelengkap dan kepatuhan, beserta segala

bentuk pemberontakan dan agresi.

Tindakan-tindakan psikologis dalam sejumlah keadaan mungkin tampak lebih

mekanistis ketimbang stimuli sosial, dan konstitusi psikologis mungkin melawan

perubahan tertentu, alih-alih memajukan/melanjutkannya. Ferdinand de Saussure, bapak

strukturalisme bahasa, menyebut bentuk konvensional bahasa sebagai sesuatu yang

“arbitrer” (arbitraire) dalam antitesisnya terhadap spontanitas pembicara, yang, jika

ditinjau dari sudut pandang yang lain, akan jauh lebih terlihat sebagai sesuatu yang

disengaja. Tidak semua yang muncul dalam wujud proses-proses psikologis berasal dari

suatu mekanisme psikologis. Identifikasi psikologi dengan pengetahuan pikiran tidak

lebih naïf ketimbang asumsi bahwa segala sesuatu yang terjadi di bumi ini merupakan

objek studi geografis belaka.

56
Kaitan yang nyata antara motivasi sosiologis dan psikologis sesungguhnya

didasarkan pada resiprositas total, dan hakikatnya terdiri dari fakta, bahwa suatu

modifikasi sosial dari invariabilitas psikologis pada satu sisi berhubungan dengan suatu

diferensiasi psikologis dari konstanta-konstanta sosial pada sisi yang lain. Hubungan

semacam ini meniadakan kemungkinan kelanjutan atau penghapusan suatu order oleh

order lainnya. Karena inilah, Talcott Parson, yang (memang) mengakui kekhususan dan

otonomi relatif mereka, mengalami kekeliruan dalam memandang hubungan mereka satu

dengan yang lain, saat ia memandang penggabungan dan integrasi mereka sebagai sebuah

pertanyaan akan metodologi dan organisasi karya ilmiah. Masyarakat merupakan sebuah

konteks yang menyatakan eksistensi dari keberadaan psikologis individu, yang

mengisyaratkan suatu entitas sosial—di mana, hampir tak mungkin untuk menarik

masyarakat dari entitas tersebut.

Kita bisa menentukan di dalam seni, sebagaimana halnya di dalam logika dan

etika, urutan ketiga dari struktur-struktur makna yang saling terkait, yang didasarkan

pada kekhususan dari bentuk respektif objektivitasnya. Begitu proses kreasi selesai dan

struktur formalnya tercipta, dan karya tersebut dialami dan dipikirkan sebagai sebuah

struktur formal, maka karya seni segera memerdekakan dirinya dari kepribadian si

pencipta dan dari tanah sosial, yang dari situ ia melepaskan diri melalui kebajikan makna

estetisnya yang imanen. Karakter estetik dan kualitas artistik tidak memiliki kaitan

langsung dengan fakta bahwa sebuah karya mungkin telah melayani penciptanya sebagai

sebuah solusi akan suatu permasalahan personal, atau bahwa karya itu cocok untuk

berfungsi sebagai senjata politik bagi sebuah masyarakat. Sarana ekspresi dan

komunikasi yang paling berbeda secara formal bisa melayani pencipta dan audiens

57
dengan cara yang sama. Bahkan elemen-elemen yang terdapat pada sebuah karya seni

tersebut (di mana penulis mengekspesikan emosi terdalamnya atau menyeleseikan

masalah tersulit dan yang tampak paling penting baginya karena peran yang mereka

mainkan dalam perkembangan moral dan intelektualnya, atau elemen-elemen yang

merupakan manfaat terbesarnya bagi masyarakat), sama sekali tak selalu sama dengan

elemen-elemen yang paling berharga dan signifikan secara artistik. Nilai estetis tidak

memiliki ekuivalensi psikologis ataupun sosiologis. Kepentingan sosial dan tujuan politik

yang sama bisa diekspresikan baik di dalam karya yang paling berhasil, maupun karya

yang paling tidak berhasil. Dengan cara yang serupa, keadaan mental, pengalaman,

sentimental, dan kecenderungan yang sama, bahkan juga gagasan dan upaya artistik yang

sama mendasari produk dari kualitas yang paling berlainan. Hasrat-hasrat seksual,

agresivitas, atau kecenderungan submisif, juga oportunisme sosial, atau gangguan

terhadap order yang ada bisa menginspirasi seniman untuk berkarya dan memberi tenaga

pada mekanisme yang menggerakkannya, tetapi hal-hal itu tidak menyediakan sarana

penciptaan karya baginya. Sarana-sarana ini tidak bersifat psikologis ataupun sosiologis.

Namun, bukan cuma elemen-elemen formal, tetapi juga motif-motif emosional,

yang berhutang pada konteks karya di mana mereka muncul—jadi, bukan rentetan

pengalaman yang mereka ambil—atas signifikansi artistik mereka. Mereka memiliki

keberadaan mereka, dalam bahasa T. S. Elliot, “di dalam puisi, dan bukan pada sejarah

penyair”. Seluruh komponen dari sebuah kreasi artistik bisa tampak kosong dan sepele

jika mereka tercerabut dari konteks karya dan berusaha sangat keras dalam proses

perkembangannya, kepada “sejarah penyair”. Mereka berhutang hidup mereka bukan

pada konsepsi, melainkan pada kelahiran dari rahim sang ibu yang telah mengandungnya.

58
Makin kita dekat dengan asal-usul karya, boleh jadi akan semakin jauh kita dari makna

artistiknya. Jika terdapat interdependensi antara karya dengan biografi sang seniman, hal

itu merupakan interdependensi yang sifatnya mutual dan dialektis. Biografi seorang

penulis ditentukan oleh sifat-sifat karyanya, sebesar karya itu ditentukan oleh sifat-sifat

kepribadiannya. Seniman meringkas keseluruhan hidupnya dalam karyanya dan

memprediksi skema karyanya di dalam apa yang dialaminya. Dia mengantisipasi material

dan signifikansi karya dalam biografinya, tetapi kandungan hidupnya hanya terdiri dari

apa yang bisa ia ciptakan sebagai seorang seniman. Ia membuang apapun yang

didapatinya sebagai hal-hal yang biasa-biasa saja.

Sosiologi dan psikologi sama-sama asingnya bagi karya seni sebagai sebuah

struktur estetis. Karya seni sebagai sebuah struktur formal merupakan sebuah sistem yang

mandiri, lengkap dalam dirinya dan tak memerlukan motivasi eksternal. Sebagai sebuah

dokumen psikologis, karya seni tidaklah sangat memerlukan sebuah penilaian estetis-

formal, tidak juga penilaian praktis-sosiologis. Dan sebagai sebuah fenomena sosial,

karya seni tidak menjadi lebih bermakna atau signifikan karena nilai formalnya, atau

karena motivasi psikologisnya. Estetisisme memang mendewa-dewakan sarana, medium,

dan kendaraan fungsi, sama halnya dengan psikologi yang mendewa-dewakan asal-usul

dan sosiologi atas tujuan terakhir. Untuk dua yang terakhir itu, hal itu hakikatnya adalah

kandungan dan ekspresi, sementara untuk yang pertama adalah bentuk dan dekorasi.

Ketika mereka saling melengkapi satu sama lain, mereka mengingat bahwa seni tentunya

harus terdiri dari kandungan dan ekspresi, namun bahwa seni tak akan bisa terdiri dari

hal-hal itu saja, dan bahwa seni tak pernah sepenuhnya ditentukan dari dalam, tidak juga

hanya ditentukan secara eksternal.

59
Kita bisa membahas sosiologi sebagai sebuah disiplin independen hanya jika kita

melekatkan sebuah eksistensi objektif pada lapisan dasar dari berbagai hubungan

interpersonal, konteks, dan fungsi. Objektivitas semacam itu haruslah bebas dari subjek

empiris individu dan motif-motif psikologisnya. Fakta khas bahwa kumpulan-kumpulan

kolektif memulai suatu wujud eksistensi spesial yang berbeda dari wujud entitas individu

yang berisikan kumpulan-kumpulan tersebut, diekspresikan di dalam kata benda kolektif

paling sederhana, semacam alliance (aliansi/persektuan/perserikatan), army (bala

tentara), atau herd (sekawanan gembala). Kata-kata benda tersebut sekadar mewakili

kumpulan person individual atau hewan, dan seperti itulah kurangnya kegamblangan dari

fenomena individu yang konkret.

Berbagai konteks, order, dan struktur sosiologis merupakan sintesis integrasi, juga

totalitas-totalitas yang terdiri atas berbagai elemen yang pada dasarnya tidak bersifat

sosiologis, tetapi hanya memulai karakter itu saat mereka dihubungkan satu sama lain.

Namun, pada kenyataannya, suatu kolektif sosial bukanlah sekadar penjumlahan dari

komponen-komponen penyusunnya, tetapi juga berbeda dengannya secara kualitas.

Kolektif sosial tak hanya mengontraskan sebuah elemen baru tetapi juga menambahkan

indeks pada komponen-komponennya dengan bantuan setiap elemen yang telah

termodifikasi dalam hubungannya dengan keseluruhannya. Misalnya saja, begitu kita

memiliki warna hijau, maka menghilanglah warna biru dan kuning. Elemen-elemen itu

(warna biru dan kuning) memungkinkan keseluruhan keberadaan (warna hijau) tetapi

tidak mengandungnya. Sama halnya sifat dasar komponen-komponen hilang saat mereka

bercampur, begitu juga kualitas keseluruhannya berhenti mengada begitu ia terlarut ke

dalam bagian-bagian komponennya. Akan tetapi, bahkan pada kasus-kasus semacam itu,

60
di mana unsur-unsur elemen tidak sepenuhnya lenyap—misalnya, unsur-unsur tembaga

dan timah pada perunggu—unsur-unsur baru pun bisa muncul, yang disebut dengan

kekerasan, yang benar-benar baru, tidak diperkirakan, dan tidak bisa (secara teori)

dihasilkan begitu saja. Unit-unit sosiologi merupakan bagian dari integrasi semacam ini.

Individu-individu beserta segenap sifat dasar khususnya, juga berbagai kepentingan dan

tujuannya, tidak terhapus begitu saja di dalam struktur sosial, tetapi memulai suatu

keseluruhan perangkat karakteristik baru yang tidak mereka miliki secara perseorangan.

Maka dari itu, individu-individu hanya merupakan representasi agen-agen sosial, dan

bukan kreator atau sumbernya. Tak ada satu orang pun yang sepenuhnya bisa mewakili

makna suatu struktur sosial atau totalitas, dari suatu sarana produksi, dari status kelas dan

ideologinya, dari rasionalitas fenomena semacam keserakahan kaum kapitalis atau

persaingan, dari tradisionalisme aristokrat atau konformisme borjuis. Meski demikian,

wujud-wujud sosial ini selalu dihadirkan oleh subjek-subjek individu dan menemukan

ekspresinya dalam proses-proses psikologis empiris.

Marx menyadari dengan cukup dini bahwa eksistensi sosial memiliki realitasnya

sendiri dan bahwa “momen-momen individualnya… berasal dari kehendak sadar dan

tujuan-tujuan khusus dari individu-individu,” namun mereka “tidak terletak pada

kesadarannya ataupun juga tergolong di dalamnya sebagai suatu keseluruhan”.

“Perselisihan (dari momen-momen individu) menghasilkan sebuah kekuatan sosial yang

asing yang berdiri di atasnya: interaksi mutualnya adalah sebuah kekuatan dan proses

yang bersifat independen darinya.” Apa yang ditemukan Marx di sini, adalah fenomena

yang aneh, bahwa saat suatu individu masuk ke dalam situasi saling-mempengaruhi dari

berbagai kekuatan sosial, tingkah-lakunya membawa motivasi sebagai efek yang dengan

61
jelas berasal darinya tetapi yang tidak memperoleh makna atau arahnya dari berbagai

niat, kepentingan, dan tujuannya. Korelasi yang muncul dalam cara ini mendasari sebuah

realitas yang berbeda dari realitas individu, namun tak mengandung substansialitas

supernatural.

Saat Emile Durkheim (yang jelas-jelas terinspirasi oleh Marx) menekankan

hadirnya sebuah “realitas sosial sui generis,” dia terutama hendak menjelaskan bahwa

“sosial” di sini merupakan prinsip final tak-tereduksi yang hanya bisa diambil dari

hubungan-hubungan interpersonal. Suatu cara di mana Durkheim menggambarkan

tesisnya adalah melalui pernyataannya mengenai fenomena bunuh diri, peningkatan yang

sepenuhnya didasarkan (sebagaimana yang ia tunjukkan) pada realitas sosial. Bunuh diri

tidaklah bisa dimotivasi oleh konstitusi psikologis ataupun fisiologis dari pihak yang

terlibat, tidak juga oleh rasa tau kebangsaan mereka, atau oleh pekerjaan atau tingkat

pendidikan mereka, melainkan merupakan akibat dari ketidakmampuan mereka untuk

beradaptasi dengan order sosial dalam sejumlah situasi-situasi tak umum. Mereka

melakukan itu di bawah tekanan motif-motif yang berbeda (dan bahkan yang bersifat

antithesis), yang muncul bersamaan satu sama lain sampai pada taraf di mana motif-motif

itu mendorong individu keluar dari jalur normalnya.

Durkheim melanjutkan, bahwa perubahan nasib yang mendadak bisa

memunculkan dorongan bunuh diri, dan dia menyatakan sebuah tipe sosial dari individu

pribadi yang menjadi tuan dari takdirnya sendiri. Berkat realitas sosial yang sama, Paul

Lacombe menyatakan sebuah “institusi” dari suatu kejadian tunggal (événement), sebuah

struktur permanen dari suatu penemuan yang tak terduga, suatu aturan estetis dari sebuah

ide spontan. Irama seperti heksameter, genre seperti sonata, skema komposisi seperti
62
“kesatuan dramatis” merupakan institusi-institusi—dari jenis yang mengubah suatu kasus

individu menjadi sebuah genre sosiologis—yakni sebuah norma dengan hukum-

hukumnya sendiri, yang bisa dilanjutkan dan dikembangkan.

Dasar pemikiran khusus dari proses sosial (yang dianggap Marx sebagai kekuatan

yang melekat dalam realitas sosial) muncul pada setiap bentuk interpersonal,

konvensional, dan konstitusional. Tak ada yang menyatakan ini dengan lebih jelas selain

dari hukum pasar, yang bagi semuanya (baik sebagai produsen maupun konsumen)

merupakan subjek pada setiap kesempatan. Setiap pembeli-baru menaikkan harga dan

menjadi korban dari sebuah dasar pemikiran yang melawan tujuan aktualnya sendiri.

Orang-orang melibatkan dirinya sendiri setiap hari, bahkan setiap jam, dalam berbagai

situasi di mana mereka tidak bisa bertindak menurut kecenderungan-kecenderungan

mereka sebagai subjek-subjek sosial. Alih-alih, mereka diatur oleh motif-motif

antusiasme, rasa takut, atau kekuatan yang sesuai dengan kondisi pikiran dari kelompok

di mana mereka mendapati diri mereka sendiri.

Realitas sosial (yang sedang kita bahas di sini) bukanlah esensi melainkan

keadaan, bukan suatu hal melainkan sebuah hubungan, bukan sesuatu yang telah diatur

dan ditetapkan melainkan sebuah proses: realitas itu mengada dan mengaktifkan dirinya

sendiri saat individu berkontak dengan individu-individu lain dan menciptakan hubungan

independen. Masyarakat tidaklah mengada, melainkan menjadi; ia tak akan pernah

menjadi lengkap, melainkan tetap menjadi sebuah sistem hubungan yang selalu berada

pada proses “direalisasikan”. Hal ini berkaitan dengan sebuah konsep fungsi, alih-alih

berkaitan dengan konsep substansi.

63
Sebagai makhluk sosial, orang tak perlu bertindak untuk memajukan tujuan-

tujuan akhir personalnya sendiri. Pada umumnya, mereka bertindak dan berpikir

berdasarkan prinsip-prinsip itu, yakni prinsip yang menjamin eksistensi dan kesejahteraan

berkelanjutan kelas mereka, tetapi yang sering samar bagi mereka dan hanya terkait

secara mediasi dengan kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Mereka tak selalu sadar

akan kelas dalam pemikirannya, bahkan saat mereka bertindak sesuai dengan

kepentingan-kepentingan kelasnya.

Kesadaran kelas merupakan contoh paling mencolok dari sebuah dasar pemikiran

sosial yang bersifat bijak tetapi bebas dari pilihan. Kesadaran ini merefleksikan sebuah

konsistensi pemikiran dan kehendak yang tidak memancar dari suatu organisasi

kelompok yang bersifat disengaja atau direncakanan, politik atau taktik yang berlaku. Hal

itu hanyalah sekadar persetujuan spontan, yakni sikap-sikap individual di mana perasaan

solidaritas mutual yang sama dan jarak dari kelas yang lain seolah terbangun dalam

seluruh representasi mereka, yang kesemuanya tidak memiliki tujuan apa-apa selain dari

keberhasilan kelas mereka sendiri.

Berbagai realitas dan dasar pemikiran sosial semacam kesadaran kelas tak hanya

membentuk resistansi terhadap kehendak terendah individu tertentu, namun juga

merepresentasikan konstituen-konstituen esensial dari sikap-sikap dan tindakan yang

sudah ada. Meskipun demikian, saat kita mendefinisikan kesadaran kelas, kita harus

menekankan kolektivitas alih-alih kekuatan sadar, karena (dalam pemahaman yang

tepat), hanya individu konkret tunggal-lah yang dikontrol dan dipengaruhi oleh sebuah

kesadaran.

64
Sebagaimana yang diucapkan oleh Geog Lukács, kesadaran kelas merupakan

“sebuah ketidaksadaran yang ditentukan oleh kelas,” lebih tepatnya, sebuah

“kemungkinan untuk menjadi sadar”, alih-alih “menjadi sadar”. Dengan kata lain, hal itu

merupakan sebuah potensialitas alih-alih suatu aktualitas, dan hanya ada lantaran

individu-individu berprilaku berdasarkan ajaran-ajaran kelas mereka. Namun, yang

menentukan adalah, individu-individu (yang meskipun digerakkan oleh impuls-impuls

yang menggerakkan mereka sebagai anggota sebuah kelas) tak harus menyadari hal itu.

“Itu bukanlah sebuah pertanyaan,” ucap Marx dalam Holy Family, “mengenai apakah

anggota yang ini atau yang itu dari kaum proletariat, atau (sejauh yang terkait dengannya)

seluruh proletariat, melihatnya sebagai tujuan/cita-cita mereka. Itu adalah pertanyaan

akan apakah itu sebenarnya dan apa yang secara historis terpaksa ia lakukan menurut

entitas ini.” Orang bersikap baik atau buruk terhadap satu sama lain berdasarkan kondisi

sosioekonomi mereka. “Mereka tidak mengetahui hal ini, tetapi mereka melakukannya.”

Jika dari sudut pandang seorang aktivis politik bahwa hal terpenting adalah untuk

membuktikan apakah kesadaran kelas bersifat sadar secara empiris dan psikologis atau

tidak, maka dari sudut pandang fenomenologi sosial, hal itu tidaklah memunculkan

perbedaan esensial. Alternatif psikologis, baik sadar maupun tidak, berada dalam taraf

yang berbeda dengan perbedaan antara motif-motif sosial yang dikejar oleh individu-

individu tersebut secara sadar, atau apa-apa yang menjadikannya sebagai instrumen

kesejahteraan kelas dengan meniadakan kesadaran mereka.

Secara psikologis, ketidaksadaran hanya akan menjadi masuk akal saat dikaitkan

dengan individu, dan “ketidaksadaran kolektif” versi Jung bersifat lebih tak riil

dibandingkan dengan kesadaran kolektif, baik dalam pengertian romantik atau psikologis.
65
Tetapi, jika dalam pikiran, represi-represi yang berakar dari ketidaksadaran berhenti

menjadi efektif pada saat asal-usulnya ditemukan, maka rintangan-rintangan yang berasal

dari kesadaran kelas pada hakikatnya akan tetap ada bahkan setelah mereka terungkap

sebagaimana adanya. Sebagai konsekuensinya, perjuangan kelas (terlepas dari sifat dasar

kesadaran kelas yang bersifat kabur, secara impersonal maupun parsial) secara tidak

terbandingkan, hanya memiliki sedikit kaitan dengan psikologi mendalam ketimbang

keterkaitan operasi defensif dengan penyingkapan dorongan-dorongan yang direpresesi,

dirasionalisasikan, dan disublimasi, yang dikenal dalam wilayah psikoanalisis. Rangkaian

operasi ini sama-sama samar dan kaburnya dengan asal-usul represi, rasionalisasi, dan

sublimasi itu sendiri.

Ideologi sebagai saripati dari sebuah pandangan dunia, dari sebuah perasaan akan

kehidupan dan nilai dan norma-norma dari suatu kelas sosial, merupakan sebuah konsep

yang berkaitan dengan kesadaran kelas. Ideologi dan kesadaran kelas membedakan diri

satu dengan yang lain di atas semuanya, yakni bahwa pengaruh ideologi pada pikiran dan

kehendak efektif dari subjek-subjek individual, bersifat lebih jelas dan konkret ketimbang

pengaruh kesadaran kelas. Kesadaran kelas mengandung prinsip-prinsip yang kurang

terdefinisi dengan lebih tajam. Perbedaan yang lebih jauh adalah bahwa ideologi

hanyalah sekadar sarana bagi perjuangan kelas dan kesadaran kelas. Konsekuensinya,

ideologi bersifat lebih dekat dengan konsep psikoanalisis dari rasionalisasi dan kesadaran

kelas, ketimbang dengan konsep ketidaksadaran yang harus dirasionalisasi.

Analogi antara pembentukan rasionalisasi ideologis dan psikologis telah

ditunjukkan berulang kali. Ideologi sebagai “kesadaran palsu” (yang dengannya anggota-

anggota dari sebuah kelas sosial akan bertahan, menyembunyikan, atau menutupi
66
kesalahan dari motif-motif tindakan mereka yang sesungguhnya) adalah bagaikan

“rasionalisasi” yang dengannya (berdasarkan psikoanalisis) orang berusaha menutupi

atau membenarkan berbagai pikiran dan tendensi ofensifnya. Perbedaannya adalah,

bahwa ideologi tidak jatuh setelah tugas disempurnakan, sebagaimana kita

memperkirakan rasionalisasi akan jatuh setelah diadakan penyembuhan psikoanalitis.

Ideologi hanya sering berubah menjadi sebuah bentuk propaganda yang sifatnya eksplisit

maupun ambigu.

Seniman, yang memainkan peranan yang begitu penting dalam formulasi,

justifikasi, atau ekspos berbagai ideologi, tentunya cukup diprasangkai dan tidak

dihalangi untuk membenarkan parodi ideologis terhadap kebenaran jika terdapat segala

keraguan, atau dia harus memiliki keberanian untuk menyatakan perang terhadap fiksi

dan kebohongan yang terkait dengannya. Jika tidak, ia harus berdusta secara tak sadar,

mengkontradiksi dirinya sendiri, menutupi gambaran realitas yang ia lukis dan dengan

demikian mengorbankan kredibilitasnya.

“Manusia menciptakan sejarahnya sendiri,” tegas Marx dalam Deutsche Ideologie

karyanya, “namun mereka tidak tahu jika mereka tengah menciptakannya.” Proses ini

merupakan sejarah yang terarah atau terkondisikan secara ideologis. Mereka-mereka

yang menciptakan jalannya sejarah ini tidak menyadari apa yang sedang mereka lakukan,

karena bukan tujuan dan kepentingan sadar, atau prinsip dan nilai-nilai yang mereka

sahkan-lah, yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi, melainkan motif-motif yang

seringkali ditutupi atau yang seharusnya dikurangi. Secara umum, kekuatan nyata dari

sejarah terdapat di dalam wujud yang tertutupi ini sehingga orang-orang tak mengetahui

seberapa jauh sumber atau instrumennya.


67
Pengabaian individu dan spontanitasnya (baik yang didorong oleh idealisme atau

materialisme) memunculkan sebuah konsepsi sifat proses kultural yang sama kelirunya

dengan kesalahpahamannya yang besifat berkebalikan. Sudah jelas bahwa masyarakat

tidak menciptakan ideologi dengan seenaknya dan tanpa sejumlah dalil tertentu, dan

tepatnya pada penciptaan ideologi-lah, terlihat jelas bahwa mereka berpikir dalam suatu

konteks bentuk dan fungsi yang asing bagi mereka sebagai individu-individu. Masyarakat

tidak menciptakan ideologi berdasarkan kesukaan atau apa-apa yang akan memuaskan

mereka: mereka tunduk dalam proses menuju pada suatu objektivitas, meskipun tidak

harus yang merupakan objektivitas dari sebuah kebenaran imparsial.

Kesadaran kelas borjuis terikat erat dengan sebuah epos khusus, sama eratnya

dengan naturalisme, dan seperti halnya naturalisme, meskipun pada dasarnya ia bersifat

kolektif, ia direpresentasikan dalam berbagai cara berbeda oleh berbagai individu dari

periode yang bersangkutan. Satu fenomena tak lagi merupakan sebuah kreasi dari

individu-individu tunggal dibandingkan dengan fenomena lainnya. Suatu aliran artistik,

sebagaimana yang diucapkan oleh Ernst Gall (yang khususnya merujuk pada seni era

Gothik), tidaklah “ditemukan”; dengan kata lain, aliran artistik tidak dihasilkan secara

spontan sebagai sebuah pencapaian pribadi atau berdasarkan rencana khusus dari seorang

seniman tertentu. Akan tetapi, entah bagaimana, pada suatu saat aliran itu pastinya telah

muncul dari sebuah ide kreatif pribadi individu, bahkan jika ide ini tidak bisa dirunut

pada arus pemikiran tertentu, yakni sebuah visi yang hanya bisa muncul dengan satu

individu tunggal.

Dari semua sudut pandang lainnya, suatu kategori sosiologis seperti kesadaran

kelas, ideologi, atau tata-cara produksi ekonomi, berbeda secara esensial dengan konsep
68
aliran semacam Renaisans atau naturalisme. Suatu gaya/aliran berkembang secara

konstan; ia tak akan pernah sempurna, dan tak akan pernah bisa direalisasikan sebagai

suatu totalitas-tentu. Pada sisi lain, kesadaran kelas mungkin saja lebih atau kurang

diekspresikan dengan berbeda dan mendalam oleh individu-individu tunggal.

Gagasan bahwa suatu gaya/aliran artistik terkandung dalam kekuasaan yang

setara dalam output dari seluruh era (dalam karya berskala luas maupun kecil, pada karya

monumental maupun ornamen terkecilnya), tentunya akan menjadi suatu gagasan yang

tak realistis dan tak dapat dipertahankan. Seperti halnya seorang seniman tidak selalu

mengekspresikan dirinya dengan intensitas dan konsentrasi yang sama, begitu juga

karakteristik-karakteristik dari suatu gaya tidaklah muncul dalam setiap aneka-ragam

manifestasinya, dengan kejernihan dan daya meyakinkan yang sepadan. Setiap gaya

merupakan konsep perbatasan yang tak pernah hadir secara keseluruhan dalam karya

tunggal ataupun dalam kasus individu lainnya. Konsep itu memiliki sejumlah

karakteristik yang sama dengan apa yang dipahami Max Weber sebagai “tipe ideal”,

terutama karakteristik-karakteristik yang membedakannya dari suatu ide metafisik, suatu

nilai permanen, atau sebuah norma sahih tanpa syarat. Tipe-tipe ideal dari kapitalisme,

kerajinan, atau dari kota pertengahan, bagi Weber bukanlah “esensi” fenomena individual

yang membentuk kategori-kategori ini, melainkan hanya sebagai bentuk utopia

berlebihan mereka, yaitu suatu abstraksi yang (tanpa harus menjadi lebih baik atau

sempurna) tak pernah terjadi dalam kenyataan. “Idealitas” mereka tidak terdapat pada

sifat-sifat dasarnya yang “patut dicontoh”, tapi semata-mata pada fakta bahwa (setelah

dibersihkan dari karakteristik-karakteristik asing atau tak esensial, dan bebas dari

69
aksesori-aksesori yang menjelekkannya), mereka menunjukkan karakteristik properti tipe

mereka, dalam suatu (sebagaimana dulunya) “budaya murni”.

Bahkan sebuah gaya semacam suatu tipe ideal, merupakan semacam “utopia”

lantaran ia dihadirkan secara penuh dan final oleh sebuah karya tunggal. Sama sekali tak

ada realitas, melainkan hanya fungsi heuristik saja, yang bisa dianggap berasal dari

sebuah tipe ideal, karena hal itu pada kenyataannya tak lebih dari sekadar “bantuan

konstruksional metodologis” dan berfungsi untuk membandingkan, menggolongkan, dan

mengklasifikasikan hal-hal konkret. Gaya pada suatu periode (bagi seniman dan audiens)

merupakan sesuatu yang seluruhnya objektif dan diterima pada kerangka/terminologinya

sendiri, suatu gerakan yang yang bisa diuraikan terperinci dan independen, dan yang

memiliki seperangkat aturannya sendiri. Subjek bisa terbawa oleh gerakan itu, bisa

menerima ataupun melawannya, tetapi dalam berbagai kasus, hal itu lebih dari sekadar

konsep kolektif, suatu konstruk pemikiran, atau suatu gagasan tanpa substansi. “Sang”

kota medieval tak pernah ada dalam hal ini: yang ada hanyalah “kota-kota” medieval,

yang padanya-lah, tipe ideal dari kota medieval berada dalam hubungan yang sama

sebagai konsep—yang tidak terkait sama sekali dengan realita—“gaya”, melainkan

berada dalam gaya individu yang berbeda-beda. Misalnya saja, pada era Renaisans atau

naturalisme, yang bukanlah sekadar abstraksi, bahkan jika mereka tak pernah bisa

dirasakan. Sama halnya pada kenyataannya, tak ada sesuatu sebagai “seni”, maka tak ada

pula “style”—yang ada hanyalah “styles” (berbagai macam gaya). Begitu juga halnya,

hanya ada berbagai bahasa, atau lebih tegasnya, berbagai dialek, dan bukan “bahasa” itu

sendiri. Pada kedua kasus tersebut, kita berhadapan dengan modifikasi-modifikasi

konkret dari suatu bentuk dasar yang tidak eksis. Seni pun berbicara dalam dialek-dialek.

70
“Style” merupakan sebuah abstraksi, sama halnya bahasa Esperanto sebagai suatu artefak

tak bernyawa. Bahasa-bahasa modern yang berbeda-beda—Jerman, Perancis, Inggris—

dengan aturan-aturannya yang terkondisi secara historis dan geografis. Formasi kata yang

stereotipikal, dan perubahan idiomatik frase-frasenya, berkaitan dengan gaya. Konsep

dari style “itu” sendiri sebagai kategori seni teoritis universal, gaya seni historis tertentu,

dan karya individual seni, merepresentasikan tiga tahapan mengada yang muncul dari

konsep genre tak riil sempurna menuju ke sebuah realitas hit et nunc dari hal-hal konkret

yang sifatnya unik dan empiris. Gaya artistik individu (seperti Renaisans dan

naturalisme) berada di tengah-tengah skala ini. Sifatnya tidaklah langsung ataupun nyata

seperti sebuah lukisan atau patung, melainkan menjadi (berbeda dengan suatu tipe ideal)

dasar suatu sikap, di mana selera dan emosi ditekankan.

Tipe-tipe ideal bisa dikonstruksikan pada berbagai fenomena yang paling

beragam, juga pada objek pengalaman sensual dan pemikiran abstrak, individu maupun

kolektif, juga pada fakta-fakta historis maupun abadi. Representasi suatu gerakan stilistik

pada berbagai kasus bersikap seolah-olah mereka digerakkan oleh suatu impuls tertentu

untuk mencapai tujuan tertentu. Benar jika doktin Hegel mengenai “kecerdikan alasan”

memistifikasikan kesengajaan perkembangan super-individual dengan menciptakan

kekuatan penggerak aktual, yang muncul dari konsep yang hanya disusun untuk tujuan-

tujuan spekulatif. Akan tetapi, fenomena semacam gaya ideologi atau historis hanya bisa

dijelaskan dengan menyatakan bahwa representasi-representasi mereka dikondisikan oleh

suatu rasionalitas yang tidak keluar dari kesadarannya sendiri, yang tidak selalu mereka

sadari, dan yang boleh dibilang, memanifestasikan dirinya sendiri melampaui dirinya

masing-masing.

71
Tingkat kesulitan yang mengelilingi pembentukan sebuah konsep gaya/aliran

adalah sama besarnya dengan tingkat kesulitan yang mengelilingi definisi konseptual dari

struktur-struktur sosial. Kita juga harus memahami gaya sebagai suatu hal yang umum,

suatu pola yang terpisah dari individu beserta karya-karyanya, tanpa sekaligus

menganggapnya sebagai sesuatu semacam prototipe transendental yang dihadirkan pada

individu-individu. Gaya bukanlah suatu konsep dasar yang akan tetap dan tak berubah

sepanjang masa. Ia juga bukan konsep dasar yang menggolongkan fenomena dari sifat

dasar yang kurang umum. Gaya juga bukan konsep logis tertinggi yang darinya bisa

diambil konsep-konsep subordinat lainnya. Alih-alih, ia adalah kategori dinamis, dialektis

dan rasional, yang berubah secara konstan menurut kandungan, jangkauan, dan lingkup

validitas, dan ini pun akan berubah dengan kehadiran setiap karya yang memiliki nilai

yang penting. Sudah semestinyalah jika kita tidak memandangnya sebagai suatu

entelechy (eksistensi penuh/kekuatan pemberi hidup) yang terkait dengan gagasan Hegel

akan “semangat/ruh dunia” (Weltgeist). Gaya tidak berkaitan dengan tujuan atau rencana

universal (sebagaimana para filsuf sejarah memaknainya), ataupun dengan kemungkinan

supernatural dari sejumlah gagasan intuitif. Gaya tak lain dan tak bukan merupakan hasil

dari suatu momen yang sudah ada pada produk-produk individu murni, yakni suatu hasil

yang memiliki bentuk yang berbeda dari masa ke masa. Produk-produk itu sendiri selalu

ditujukan pada tugas langsung dan konkret; secara individual, mereka punya tujuan yang

selalu dijaga, tetapi (tujuan finalnya) tidak mereka sadari. Suatu gaya tidak pernah

terwujud dalam kesadaran pencetusnya, lebih dari sebuah langkah pada suatu waktu yang

sama. Dengan kata lain, gaya tidak memasuki kesadaran individu yang memunculkan

produk-produk itu sendiri.

72
Sikap kolektif yang diekspresikan dalam sebuah gaya artistik menyadari sesuatu

yang tidak “dikehendaki” dan direalisasikan oleh siapapun juga, lebih dari individu

manapun yang menghendakinya. Apa yang dikehendaki pada suatu waktu adalah sebuah

karya seni tunggal khusus—misalnya, lukisan Last Supper karya Leonardo atau Sistine

Madonna karya Raphael, jadi bukan “High Renaissance.” Meski demikian, gaya

merupakan suatu entitas yang bisa kita bahas tanpa realisme konseptual apapun dan tanpa

membenarkan/mendukung abstraksi apapun.

Gaya bukanlah hal tunggal konkret, bukan juga konsep kolektif; ia tak bisa

diambil dari karakteristik-karakteristik eksponennya, pun pula dengan penambahan

abstraksi-abstraksinya. Gaya selalu bersifat lebih, tetapi sekaligus juga kurang,

dibandingkan dengan apa yang terekspresikan di dalam karya yang menyusunnya. Gaya

tidaklah terkandung di dalam karya ataupun sebaliknya, karya terkandung di dalam gaya.

Cara yang paling tepat untuk menjelaskannya adalah melalui terminologi tema musical,

di mana hanya berbagai variasinya saja yang masih bisa ditemukan. Tema yang harus

diciptakan kembali tak akan menjadi penjumlahan berbagai variasi ataupun juga seleksi

dari berbagai karakteristiknya, dan juga bukan merupakan kompilasi abstrak dari

berbagai karakteristik yang sama dengan variasi-variasinya. Penjumlahan tak pernah

mengandung lebih dari apa yang sudah ada sebelumnya, sedangkan abstraksi selalu

bersifat kurang dari itu, dan tak ada yang lebih jauh ketimbang elemen-elemen yang

menyusunnya. Tema dan variasi brsifat saling melampaui satu sama lain, meskipun

keduanya saling terikat. Tak cuma berbagai variasi tetapi juga berbagai macam

kemungkinan formulasi tema—yang (berkenaan dengan masalah yang kita diskusikan di

73
sini) berkaitan dengan bermacam definisi dari gaya yang sudah ada—sekadar berkisar

pada sebuah struktur ideal tanpa selalu memahaminya dengan memuaskan.

Observasi psikologi Gestalt terhadap fenomena struktur yang tak berubah (yang

memiliki bermacam-macam sifat) juga valid untuk diterapkan pada konsep gaya (di mana

konsep gaya itu sendiri jelas-jelas juga merupakan sebuah konsep Gestalt). Psikologi

Gestalt menekankan fakta bahwa kita merasakan melodi bahkan jika ia dimainkan

dengan kunci yang berbeda dari kunci yang sebelumnya kita dengar pertama kali.

Struktur, koherensi, dan rangkaian interval dinyatakan melalui (tetapi bukan di dalam)

nada, dan inilah yang membuatnya bisa dikenali, meski segala sesuatu yang terdengar

(dalam bentuk bunyi-bunyian yang nyata) telah berubah. Struktur ini tidaklah kurang riil

dibandingkan dengan nada yang dimainkan secara terpisah, bahkan jika struktur itu tidak

bisa dipahami oleh indera kita. Dalam berbagai kasus, kita mengalaminya secara

langsung dan tidak menentukan kehadirannya melalui pertimbangan mendalam ataupun

spekulasi. Kita dihadapkan pada sebuah fenomena serupa dalam kasus gaya artistik.

Sama seperti struktur musik, ada juga gaya Renaisans yang merupakan suatu struktur

kolektif objektif yang tidak terkandung dalam berbagai karya Leonardo atau Raphael,

tetapi tetap memiliki realitas tak-ambigu yang sama.

Dalam rangka membentuk gagasan simbol yang tepat dari hal-hal semacam ini,

kita harus senantiasa mengingat (pada satu sisi) bahwa mereka memiliki kekurangan

substansi empiris dan metafisik, bahwa realitas mereka tidaklah bijak/pantas ataupun juga

transendental, dan (pada sisi yang lain) bahwa mereka memiliki pokok isi dan

objektivitas mereka yang khas. Kita tidak boleh lupa bahwa di dalam hal-hal itu, kita

berhadapan dengan struktur-struktur, yang tidak bisa disebut sebagai hal-hal atau sekadar
74
konstruksi belaka. Kaum positivis yang tidak kritis gagal mengenalinya dalam semua

lingkup budaya, dalam semua objektivasi valid dan interpretasi eksistensi yang bisa

dibuktikan, cara berpikir dari makna koheren dan konsistennya—dari sebuah “rationale”

(dasar pemikiran). Idealism yang terasing dari pengalaman juga gagal untuk mengetahui

bahwa prinsip-prinsip yang melekat pada struktur-struktur kultural bukanlah merupakan

kekuatan otonom yang menggerakkan sejarah, melainkan lebih condong sebagai

hubungan objektif yang berubah dari suatu kasus ke kasus yang lain. Pengaruh otoriter

mereka terletak pada fakta bahwa mereka membentuk wadah quasi-institusional, di mana

subjek yang telah terbentuk oleh tradisi dan konvensi dan yang terhubung oleh kondisi

saling-memengaruhi itu bisa berjalan.

Dalam konteks pernyataan Ranke, “Bayangkanlah aristokrasi dalam seluruh

aspeknya, maka Anda tak akan pernah bisa membayangkan seperti apa Sparta,” kita tak

pernah bisa menerka individualitas dari seniman tertentu, hanya dari karakteristik-

karakteristik sebuah gaya. Betapapun tepatnya pengetahuan kita akan Renaisans, kita

tidak bisa mengetahui berbagai kemungkinan yang melekat pada representasi tunggal

sebuah gaya. Hubungan yang serupa juga terdapat dalam sejarah budaya antara setiap

unsur kolektif maupun komponen-komponennya. Totalitas normatif yang dimilki gaya

artistik serupa dengan struktur-struktur sosial yang mencegah kita pada kedua kasusnya,

dari menarik simpulan definitif tentang komponen-komponennya. Totalitas-totalitas

semacam ini (secara tak terhindarkan) akan mengorbankan sifat-sifatnya yang khas,

begitu mereka terpecah menjadi tindakan-tindakan, sikap-sikap, dan produk-produk.

Sama halnya totalitas sosial terwujud bukan melalui penjumlahan akhir dari sikap-sikap

individual, melainkan dari fungsi yang dijalankan oleh individu-individu tersebut, hanya

75
jika mereka sudah berkontak dengan satu sama lain, maka begitupun juga halnya dengan

kesatuan dan totalitas karya seni tidaklah semata muncul sebagai jumlah dari kata-kata,

nada, baris, dan warna. Alih-alih, mereka merupakan hasil dialektis dari ketegangan yang

diperbarui, dipertinggi, dan dipertajam dari kata ke kata, nada ke nada, sapuan-kuas ke

sapuan-kuas, dengan mana struktur keseluruhannya muncul pari passu (berbarengan)

dengan diferensiasi detil-detilnya.

(Halaman 89-97)

Pengantar

Interaksi dan Dialektika

Saat membicarakan sosiologi seni, kita lebih cenderung untuk berpikir akan

pengaruh yang bermula dari seni (dan yang ditujukan pada masyarakat), ketimbang

pengaruh yang berasal dari masyarakat, yang menemukan ekspresinya di dalam seni. Hal

semacam ini terlepas dari fakta, bahwa seni memengaruhi maupun dipengaruhi oleh

perubahan-perubahan sosial, juga bahwa seni memunculkan perubahan sosial sementara

ia sendiri berubah bersama dengan perubahan sosial tersebut. Seni dan masyarakat

tidaklah terkait secara monolitik; masing-masing bisa menjadi objek maupun subjek.

Pengaruh seni dalam masyarakat bahkan bukan merupakan suatu kekuatan yang lebih

dominan atau signifikan dalam hubungan mutual ini. Pengaruh yang bermula dalam

masyarakat dan yang ditujukan pada seni menentukan sifat dasar dari hubungan tersebut,

ketimbang sebagai kebalikannya, di mana suatu bentuk seni—yang dibedakan oleh

hubungan interpersonalnya—bereaksi terhadap masyarakat. Ketika masyarakat


76
menentukan seni (terutama sebagai karakteristik budaya primitif), mereka jarang sekali

(dan hampir-hampir tidak) dipengaruhi oleh seni. Dalam tahapan sejarah yang lebih

maju, bahwa tak cuma seni yang sejak permulaannya telah menampakkan ciri-ciri sosial,

tetapi juga masyarakat-lah, yang mula-mula mempertahankan jejak-jejak perkembangan

artistik atau artistik-magis. Itu sebabnya, kita harus selalu membahas hal ini dalam ranah

kesementaraan dan mutualitas, dari efek-efek sosial dan artistiknya.

Dalam proses interaksi antara seni dan masyarakat, kita tak bisa memastikan yang

mana dari keduanya yang memulai langkah paling awal. Stimuli artistik akan tetap

kembali pada “sungai terdasar” di mana asal-usulnya berada, dan menciptakan produk

dari rahim yang telah melahirkan eksistensi mereka. Hal semacam ini sama sekali tidak

menggambarkan pengaruh total masyarakat terhadap seni, melainkan justru menegaskan

dirinya dalam kerangka independensi mutual, dari sebuah fungsionalisme resiprok.

Permasalahan “primum mobile” merupakan sesuatu yang tak relevan; satu-satunya hal

yang menjadi soal adalah bahwa setiap efek dalam hubungan antara seni dan masyarakat

bereaksi terhadap, dan secara konstan mengubah penyebab dari mana mereka muncul.

Tentu saja, predominansi sosial dinyatakan dalam fakta bahwa pertukaran di antaranya

tetap berlangsung sepanjang rentetan/rangkaian sosial (yang di dalamnya berbagai

kepentingan sosial dan artistik dikombinasikan) akan tetap dan senantiasa ada.

Sejauh yang bisa kita telusuri dari sejarah manusia, kita menaruh perhatian bukan

pada pengaruh yang dimiliki oleh seni (yang lengkap secara sosial) terhadap masyarakat

yang belum terkena dampak seni. Alih-alih, kita lebih mempertimbangkan adanya

keterkaitan, peningkatan silang dan mutual, ataupun melemahnya pengaruh yang ada.

Dengan kata lain, ini terletak pada permasalahan akan batasan seni oleh masyarakat yang
77
nyata-nyata bisa menunjukkan komponen-komponen artistiknya, juga perubahan

masyarakat oleh produk-produk artistik yang dengan sendirinya adalah produk sosial.

Akan tetapi, sifat-dasar khusus dari hubungan tersebut tak hanya terkandung dalam

resiprositasnya, tetapi juga dalam simultanitas pengaruhnya.

Hal yang paling signifikan dari seluruh keadaan yang bermasalah ini adalah

dualitas motivasi, yang kontras dengan kausalitas satu-sisi yang ditampilkan dalam

hubungan-hubungan yang lain. Yang kita bicarakan di sini adalah kurangnya

independensi, apakah itu komponen tetap atau komponen bebasnya (pada satu sisi), atau

apakah itu (pada sisi yang lain) merupakandependensi mutual dari suatu variabel pada

setiap kasusnya. Seberapapun problematisnya sifat konsep kausalitas itu di dalam dirinya

sendiri, tak diragukan bahwa proses di mana dua fenomena terhubung satu dengan yang

lain (dalam kasus-kasus yang tak terkira jumlahnya) ditentukan dan ditampakkan dari

satu sisi/pihak saja. Sebagai contoh: matahari—saat melelehkan salju—itu sendiri tidak

mengalami perubahan sedikitpun. Sebaliknya, dalam proses-proses sosial, di mana segala

sesuatu bergantung pada hubungan resiprok (sebagaimana ditekankan oleh Georg

Simmel), kita tak pernah dihadapkan pada kausalitas satu-sisi semacam ini. Sesosok

manusia—sebagai makhluk biologis, fisiologis, dan psikologis—ditentukan, dan (begitu

juga) pada gilirannya akan menentukan secara sepihak. Sebuah karya seni, semata

sebagai suatu benda—sebongkah marmer atau kanvas, struktur guratan-guratan dan

warna-warnanya yang asli—hanya menggambarkan asal-usul atau produk dari kausalitas

serupa. Dalam pengalaman estetik normatif, faktor-faktor spontan dan konvensional,

subjek dan objek, produsen dan konsumen, terkait secara timbal-balik.

78
Dalam kasus proses sosio-historis yang menampakkan paralelisme dan

fungsionalisme resiprok dari berbagai fenomena heterogen, tetap tak ada gunanya jika

kita berupaya mencari pusat-hubungan kausalnya. Karena dalam hal ini, proses-proses

tersebut tak bisa diulangi, dan kita tak bisa mengadakan percobaan dengan menghapus

kekuatan-kekuatan individual. Tak ada satupun faktor yang bisa dipisahan secara arbitrer

dari suatu konstelasi historis, tanpa mengubah seluruh keadaan hal-ikhwalnya. Artefak

individu—contohnya, sebuah patung dari zaman Yunani—bisa mempertahankan nilai

artistiknya, betatapun ia telah rusak atau hancur berkeping-keping.

Meskipun demikian, kita harus mengakui bahwa keterkaitan antara berbagai

kondisi sosial (bahkan jika kondisi-kondisi tersebut memiliki manifestasi artistik yang

berbeda) bisa seluruhnya bersifat penuh makna, dan sedikit pun tak harus bersifat

kebetulan belaka. Masyarakat borjuis modern bukanlah penyebab utama dan satu-satunya

dari kemunculan novel-novel ber-genre naturalis: namun, ini pun tak berarti bahwa

kemunculan kaum borjuis modern dan novel-novel naturalis yang bersamaan itu tak

mengandung makna apapun atau terjadi begitu saja. Keduanya terlibat di dalam banyak

kompleks sosioartistik lainnya, yakni dalam keadaan di mana suatu kombinasi tak

merusak relevansi kombinasi yang lain.

Jika keterkaitan semacam itu dikonstruksi menurut tindak-tanduknya (dan oleh

sebab itu menjadi tak relevan lagi), maka sosiologi seni harus benar-benar membatasi

dirinya sendiri, yakni hanya pada penelaahan pengaruh sebuah karya dari latihan-latihan

seni terhadap orang-orang yang menjalani keberadaan sosial. Dan hal ini akan menjadi

sedikit melebihi sebuah cabang psikologi sosial dan filosofi moral. Hanya motif-motif

dan tujuan-tujuan yang menegaskan dirinya sendiri (dalam rangkaian penciptaan,


79
modifikasi, dan diferensiasi dari wujud dan kandungan artistik)-lah yang menampakkan

hukum-hukum struktur sosiologis secara spesifik. Dalam pemahaman yang sama,

masyarakat bisa terpengaruh oleh berbagai sarana, dan seni (sebagai salah satu dari

sarana-sarana tersebut) menunjukkan sedikit dari sifat-sifat sosial yang dimilikinya. Hal

ini bukanlah untuk menegaskan bahwa hubungan antara seni dan masyarakat (jika

dipandang dari sisi yang lain)—dari asal-usul sosial akan kreativitas artistiknya—

menyibak gambar-penuh-makna yang utuh, yang sangat menyedot tenaga dari proses

estetik-nya yang nyata. Kita sampai pada sebuah gambar yang utuh, hanya jika kedua

aspek itu terpenuhi. Bahkan suatu karya yang tak penah dipublikasikan oleh

penulis/pengarangnya tetaplah ditentukan secara sosial, tak hanya karena ia mengambil

dari sumber-sumber sosial—berbagai tradisi dan konvensi, bentuk-bentuk umum dari

gaya bicara dan kemajuan teknis yang telah dicapai secara kolektif—tetapi juga karena ia

menujukan dirinya sendiri (meski secara tak sadar) pada sumber-sumber yang lain itu.

Ketika berbagai stimuli berpotongan, salah satu atau yang lainnya akan muncul

sebagai sesuatu yang paling menonjol. Pada suatu saat, pengaruh masyarakat atas karya

seni, dan pada kesempatan yang lain, partisipasi karya seni dalam metamorfosis

masyarakat, akan tampil paling mencolok. Epos-epos karya Homer, Divine Comedy,

drama era Elizabeth, dan novel naturalis menyatakan dengan lebih jelas, era dan

masyarakat di mana mereka lahir. Sementara itu, tragedi Athena, tragédie classique, dan

karya-karya sastra zaman Pencerahan sifatnya lebih propagandis empatis, mendikte, dan

provokatif. Apa yang bertahan di atas segala keraguan, terletak pada kenyataan bahwa

kita bisa saja membayangkan adanya masyarakat tanpa seni, tetapi tidak demikian halnya

untuk membayangkan keadaan, di mana seni bisa muncul tanpa masyarakat. Seniman

80
senantiasa berada dalam lingkup agen-agen masyarakat, bahkan jika ia berupaya untuk

memengaruhinya. Dalam hal ini, terulanglah kembali resiprositas antara “ada” dengan

“kesadaran”, antara hal-hal dengan persepsi, juga antara kesan sensori objektif dengan

aparat kategoris subjektif. Apa yang bersifat menentukan bagi determinasi proses

sosioartistik (yang asal-usulnya tetap tak diketahui) bukan terletak pada urutannya,

melainkan pada jukstaposisi dari berbagai faktornya.

Seni dan masyarakat berada dalam suatu keadaan dependensi mutual

berkesinambungan yang menyebarkan dirinya masing-masing bagaikan sebuah rangkaian

reaksi. Mereka tak cuma saling memengaruhi. Setiap perubahan dalam suatu lingkup

terkait dengan perubahan dalam lingkup yang lain dan menggerakkan perubahan lebih

lanjut dalam sistem tempat bermulanya seluruh perubahan tersebut. Terdapat multiplikasi

dan intensifikasi stimuli yang bersifat konstan, sebuah serbuan dan pacuan yang datang

bertubi-tubi akan kedudukan dalam arena persaingan kekuatan-kekuatan sosial dan

artistik yang (tanpanya) akan memunculkan karakter dialektis. Tidak ada perjuangan

aktual antara posisi-posisi yang berseberangan itu, melainkan kontradiksi terdalam yang

senantiasa menggerakkan kesemuanya, membuat mereka terus bergerak, dan memacu

mereka untuk menuju ke arah penyelesaian.

Dialektika bermula dari sebuah kesatuan di mana sebuah keretakan—yakni

pemisahan berbagai impuls, kepentingan, dan upaya—terjadi, dan karenanya

membangkitkan kontradiksi yang tak tertahankan, berupa konflik parah yang timbul

akibat adanya bermacam-macam motif yang mendesak eliminasi kontradiksi tersebut.

Dalam keteraturan-keteraturan ekonomis atau gerakan artistik yang terpadu-lah,

muncullah berbagai kecenderungan yang bertentangan, yang mengarah pada timbulnya


81
konflik dan—dalam fase perkembangan selanjutnya—sebuah rekonsiliasi dan

penyelesaian berbagai antithesis. Bertentangan dengan hal ini, jiwa dan raga, sebagai

contoh, sejak semula mewakili dua prinsip yang berinteraksi satu dengan yang lain,

namun tak akan pernah bisa disatukan. Mereka bukanlah kekuatan-kekuatan yang saling

bertentangan, dan bukan juga komponen-komponen dari sebuah sintesis, terlepas dari

fakta bahwa keduanya tak bisa diturunkan satu dari yang lainnya, dan sifatnya tak

terreduksi secara mutual. Dualitas jiwa dan raga bersifat tak terdamaikan, sebanding

dengan tak terpatahkannya sifat kebersesuaian mereka. Hubungan antara masyarakat dan

seni dalam beberapa hal memang mirip dengan hubungan antara jiwa dan raga: mereka

tidak saling bertentangan, tetapi juga tak akan pernah berada dalam keharmonian.

Perkembangan dialektis seni, apakah itu dalam penciptaan karya-karya individual, dalam

tindakan resepsi, atau dalam rangkaian sejarah gaya (style), tidaklah muncul dari

antagonisme antara kepentingan-kepentingan sosial dan artistiknya, melainkan sebagai

akibat dari tujuan-tujuan artistik, juga permasalahan, kemungkinan-kemungkinan

penyelesaiannya, serta sarana representasinya, yang saling bersinggungan satu sama lain.

Pendeknya, hal itu merupakan hasil dari suatu diferensiasi individual, dari perubahan

selera dan gaya, di mana perkembangan sosial hanya menyediakan sarana pemacunya,

tetapi tidak berasal dari kontradiksi antara seni dan masyarakat. Sikap antithesis bukanlah

suatu antagonisme, dan sebuah interaksi juga bukan merupakan perdebatan dialektis. Ada

berbagai antagonisme dalam seni maupun masyarakat itu sendiri (secara terpisah), tetapi

tidak terdapat antagonisme apa-apa di antara keduanya.

Di satu sisi, fakta bahwa masyarakat memengaruhi seni dan seni di sisi yang lain

juga memengaruhi masyarakat, tidaklah berarti bahwa sebuah perubahan pada satu pihak

82
memiliki keterkaitan dengan perubahan pada pihak yang lain. Seni dan masyarakat hadir

sebagai dua realitas yang berlainan (meski tak harus terisolasi satu dengan yang lain),

yang sifatnya seiring sejalan. Keduanya, seperti halnya jiwa dan raga, memang tak

terpisahkan, tetapi tak memiliki tujuan atau makna yang sama. Sebab itu, hubungan

resiprok antara keduanya cukup berbeda dengan hubungan (di dalam seni) antara

spontanitas dan konvensi, antara kehendak menuju ekspresi dan sarananya, juga antara

bentuk dan isi. Di sanalah kita mendapati antithesis yang secara konstan menyangkal satu

sama lain, yakni antithesis yang mengarah pada keadaan-keadaan ekuilibrium yang baru,

dan juga pada sintesis di mana tak satupun premisnya tetap tak berubah, melainkan di

mana tak satupun darinya benar-benar hilang. Meski demikian, seni muncul bukan

sebagai “negasi” masyarakat ataupun “negasi dari negasi tersebut”, dan dalam

masyarakat, seni tidaklah “tergantikan” (aufgehoben), melainkan hanya terakomodasi ke

komponen-komponen lain dari totalitas masyarakat.

Seni sebagai Sebuah Produk Masyarakat

Elemen-elemen Kreasi Artistik

Sebagai sebuah proses sosiohistoris, produksi karya seni bergantung pada

sejumlah faktor yang berbeda-beda. Produksi karya seni ditentukan oleh alam dan

kebudayaan, keadaan geografis dan ras, waktu dan tempat, biologis dan psikologis, dan

juga oleh kelas ekonomi serta sosial. Sama halnya dengan tipe-tipe etnografis yang

membedakan dirinya masing-masing berdasarkan stratifikasi sosialnya, begitu juga


83
halnya dengan berbagai ideologi, yang memperoleh karakteristik yang berbeda-beda

berdasarkan penempatannya serta kecenderungan dari individu-individu yang

mewakilinya. Faktor-faktor yang terlibat dalam tindakan artistik yang sifatnya kreatif

atau reseptif memperoleh karakter konkrit mereka hanya dalam cara membatasi satu

sama lain—jika diukur dengan totalitas pengalaman artistik, mereka tak lebih dari

sekadar abstraksi-abstraksi belaka. Seberapapun besarnya peranan yang mereka mainkan

dalam pembentukan konsep estetik, tak satupun dari mereka (yang menunjukkan dalam

dirinya masing-masing kualitas spesial) yang mengubah sebuah struktur menjadi sebuah

karya seni.

Berbagai komponen dari keseluruhan artistik (apakah itu produk objektif atau

pengalaman subjektif) sebagiannya dimiliki oleh kelas fenomena yang natural dan

konstan (atau konstan secara relatif), dan sebagian yang lainnya lagi merupakan bagian

dari kelas fenomena kultural, sosial, yang bisa diubah secara historis. Seiring sejalan

dengan spontanitas, variabilitas, dan fleksibilitas dari upaya yang dikerahkan, konstistusi

statis dari data natural eksternal dan juga dari properti organik intinya memainkan

peranan yang sama dalam tindakan artistik, sebagaimana yang selalu dimainkannya

dalam setiap proses kultural. Jika kita memberikan keunggulan pada kekuatan-kekuatan

natural di dalam proses kultural, kita mengubah genesis dari struktur kultural menjadi

suatu “proses natural yang misterius.” Di sisi lain, jika kita memberikan keunggulan pada

kesadaran, kita menciptakan (dari lapisan terdasar ini) suatu keganjilan yang tak berisi.

Pada kesadaran kreatif, sifat dasar yang pasif dan buta adalah sama misteriusnya dengan

kesadaran spontan dari sudut pandang nature atau sifat dasarnya.

84
Sekilas, kreasi artistik tampaknya terdiri dari interaksi berbagai faktor yang

sebagiannya variabel (bersifat tidak tetap) dan yang sebagian lagi invariabel (bersifat

tetap), dalam suatu proses yang melibatkan berbagai kekuatan yang sama-sama saling

tergantung (pada) dan tidak tergantung satu sama lain. Tugas sosiologi seni akan

terseleseikan dengan esensial jika kita bisa menemukan sebuah “variabel independen”,

dari perkembangan yang bisa dimodifikasi dari keterpaduannya sendiri dan yang bisa

dijadikan untuk tergantung pada berbagai perubahan pada faktor-faktor yang lain.

Sebenarnya, kreasi artistik tidak tergantung baik pada faktor tidak tetap maupun faktor

tetap independen dalam berbagai jenisnya. Hal itu seluruhnya merupakan hasil dari

interaksi berbagai variabel-dependen secara mutual. Semua elemen natural maupun

elemen kultural dari suatu tindakan artistik menegaskan dirinya sendiri dalam sebuah

kesalingtergantungan yang tak terpisahkan. Para pakar psikologi memandang masyarakat

sebagai sebuah hambatan bagi kebebasan gerakan individu; sedangkan bagi para

sosiolog, psyche (keadaan kejiwaan) seringkali (secara tak dikehendaki) memenuhi

fungsi-fungsi sosial.

Setiap subjek konkret (secara historis) yang bisa berpikir dan bertindak, akan

mendapati dirinya dalam sebuah situasi yang riil, temporal, dan ditentukan oleh

lokailitasnya, yakni sebuah milieu (lingkungan tempat seseorang tinggal dan menerima

pengaruh) objektif yang telah ada dari dulu. Potensialitas intinya selalu terkait dengan

seperangkat kondisi-eksternal statis. Namun, hal ini tidaklah berarti bahwa faktor-faktor

dinamis dan statis dari proses historisnya sekadar bersifat komplementer, atau bahwa

faktor-faktor tersebut mempertahankan sifatnya masing-masing di saat mereka saling

memengaruhi. Dalam proses ini, karakter mereka mengalami sebuah perubahan

85
fundamental. Faktor-faktor yang tampaknya konstan berubah menjadi dinamis dan

menjalankan berbagai karakteristik yang berhubungan dengan keadaan perkembangannya

pada saat itu juga, sementara komponen-komponen yang secara esensial bisa diubah,

dalam beberapa hal justru menjadi tak-bergerak (diam/tetap) dan terobjektifikasi

(menjadi suatu objek sederhana, seolah-olah memang sudah ada sejak semula), dan

membentuk struktur otonom yang membebaskan mereka dari akar dan kondisi eksistensi

orisinal mereka. Kendaraan yang diciptakan oleh manusia dalam pengelompokan sosial

dan pembentukan budaya, konvensi dan institusi, norma dan nilai-nilai, tata-prilaku dan

hukum yang mengatur pemikiran, termasuk tren stilistik dan wujud-wujud ekspresi,

berubah menjadi prinsip-prinsip tegas yang berlawanan dengan spontanitas murni dan

kebebasan individu.

Kelemahan serius dan mendalam dari sosiologi seni yang bersifat kabur (secara

metodologis) dan tidak kritis, yakni prototipe dari teori milieu Taine, berada pada

kurangnya suatu prinsip yang bisa membedakan faktor-faktor yang alami dan yang

kultural, yang statis dan dinamis, juga faktor-faktor perkembangan dari berbagai variabel

yang bisa diubah secara esensial atau yang benar-benar tak berubah. Bagi Taine, konsep

“milieu” berperan sebagai pengelompokan/penggolongan mekanistik yang sifatnya

mentah, dari berbagai kondisi natural (terutama secara iklim-geografis), kultural, dan

interpersonalnya. Konsep ini mengabaikan interaksi antara berbagai faktor yang berbeda

yang berada dalam proses terkait. Di manapun efek itu muncul, Taine serta-merta

membahas kausalitas dalam pengertian ilmiah. Ketidakcukupan dari teorinya terungkap

secara tajam dalam asumsi, bahwa terdapat sebuah dependensi unilateral antara data fisik

dan sikap intelektual, dan bahwa keduanya membentuk sebuah nexus (penghubung).

86
Akibat kurangnya kejernihan metodologis inilah, seluruh klasifikasi pretensius

dari berbagai faktor perkembangan artistik ke dalam ras, milieu, dan momen, menjadi

sesuatu yang sia-sia belaka. Apa yang dipahami Taine sebagai “ras” memang benar nyata

dan jelas, tetapi peranan yang ia sandangkan pada faktor ini, sejak semula bersifat

problematik, dan dalam rangkaian perkembangan sejarah seni, telah kehilangan

maknanya dari waktu ke waktu. Konsep dari faktor rasial boleh jadi bersifat tidak

ambigu, tetapi justru dalam kurangnya ambiguitas konseptual dan imutabilitas(tak

berubah/tak bisa diubah)nya-lah, faktor ini menjadi tidak riil alias imajiner. Dalam

pengertian Taine, tidak ada ras yang konstan. Fleksibilitas dari dua prinsip Taine lainnya

justru berangkat dari kurangnya kejelasan akan hal yang didefinisikannya. Taine

memaknai “milieu” sebagai totalitas dari berbagai kondisi eksternal, di mana kekhususan

sebuah karya seni bergantung padanya. Kita mungkin bertanya-tanya mengapa ia

membedakan ketiga faktor tersebut dalam perkembanganya. Yang paling tidak samar di

antara kesemuanya itu adalah, apa sebenarnya yang ditandai oleh momen (dalam versi

Taine) dalam hubungan ini. Jika dengan ini kita memahami poin waktu munculnya

sebuah karya atau tren stilistik, maka kategori tersebut harus ditempatkan dalam sebuah

konsep urutan yang berbeda dari dua faktor lainnya. Oleh sebab itu, “moment” di sini

tidak menjadi sebuah “faktor” di dalam struktur yang akan dianalisis, melainkan hanya

sebagai medium di mana dua kategori lainnya menjalankan fungsinya. Dengan kata lain,

jika kita hendak memahami istilah tersebut sekadar sebagai sebuah titik dalam rangkaian

waktu, maka hal itu hanyalah sebuah varian milieu. Oleh sebab itu, jika kita

menetapkannya sebagai suatu kategori dasar dari konstruksi artistik, tentu saja itu adalah

suatu hal yang berlebih-lebihan dan tak bermakna. Pendeknya, apa yang bisa

87
dipertahankan dari seluruh teori Taine adalah fakta bahwa sastra terkondisi oleh lokasi

sang penulis, dalam dimensi ruang dan waktunya. Namun, itu bukanlah suatu penemuan

yang baru dalam era Taine: Mme de Staël sudah pernah berada dalam jalur ini.

Meski demikian, analisis terhadap teori Taine ini tidak secara langsung mengarah

pada sebuah pandangan akan signifikansi terbesarnya. Memang tak ada yang sanggup

mengungkap dengan lebih jelas, akan ketidakcukupan penjelasan genetik-unilateral

terhadap kreasi artistik. Setiap usaha untuk menjelaskannya dalam cara ini adalah

didasarkan pada konsepsi evolusioner menurut asal-usul proses perkembangan yang

bersifat menentukan bagi sifat sebuah produk final. Tetapi, mereka yang berargumen

tentangnya menemukan kegagalan untuk menyadari bahwa—dalam kasus sikap

intelektual dari sebuah penciptaan, khususnya yang bersifat artistik—sang seniman

terstimulasi, menghadapi berbagai permasalahan, dan menyelesaikannya dalam titik

waktu yang berbeda-beda dan dalam titik tolak yang berbeda pula, di sepanjang jalan

yang dilaluinya, yang akan mengarahkannya secara langsung dari ide orisinalnya ke

sebuah solusi final. Gagasan bahwa fase pertama dari proses tersebut merupakan faktor

yang paling menentukan bagi wujud final sebuah produk, adalah suatu kekeliruan yang

berakar pada pemikiran ilmiah dan formasi konsep biologis. Pada kenyataannya, hasil

dari setiap perkembangan historis seringkali menjadi produk sampingan yang termediasi

secara beraneka ragam dari kekuatan-kekuatan karya dalam proses tersebut. Setiap teori

genetik dari pembentukan budaya yang berangkat dari berbagai kondisi natural (apakah

itu geografis, etnografis, ataupun psiko-fisiologis) cenderung untuk menaksir rendah akan

deviasi yang dimunculkan oleh perkembangan dari tendensi orisinalnya. Hanya sebuah

metode yang secara prinsip diorientasikan kepada interaksi dan dengan sebuah konstruk

88
kultural (yakni hasil yang muncul secara bertahap dari berbagai faktor yang menciptakan

komplikasi-komplikasi segar dan di mana setiap langkah dalam prosesnya memiliki

kemungkinan untuk mengarah pada penemuan sebuah elemen yang akan menciptakan

dan membentuk hasil final, yang bisa membenahi gambaran genetik unilateral yang

salah-kaprah itu.

Faktor-faktor Natural

Kita bisa membahas sejarah dan masyarakat hanya dalam konteks asumsi, bahwa

terdapat kondisi-kondisi ekstrahistoris dari eksistensinya, terlepas dari seberapapun

menentukannya segala sesuatu yang memengaruhi manusia saat ia berpartisipasi dalam

suatu lingkaran sejarah. Keberadaan alam yang ahistoris dan asosial bukan saja satu-

satunya prasyarat yang dengannya kita bisa memahami sejarah dan masyarakat, tetapi

juga suatu hal yang esensial bagi fondasi material yang menjadi sandaran budaya sebagai

sebuah superstruktur.

(halaman 308-327)

Masyarakat sebagai Produk Seni

Konsep bahwa seni adalah suatu godaan yang membahayakan tentunya sama

tuanya dengan gagasan pendidikan estetis dalam sejarah manusia. Pada masa klasikisme

Yunani, (dalam berbagai kasus) masih belum ada teori seni yang muncul sebagai alat
89
pendidikan yang bersifat lebih ekspresif dan mengarah-langsung, dibandingkan dengan

larangan dan pengasingan Platonik terhadapnya, dari keadaan ideal sang filsuf. Sejak itu,

tidak kurang-kurang jumlah pihak yang menentang seni, dengan mempertanyakan

kebermanfaatannya, juga makna dan nilai edukasi estetiknya. Apakah semuanya itu

seiring sejalan dengan peningkatan pengetahuan, pembersihan moral, dan pemajuan

masyarakat?

Argumentasi Plato terhadap pengelabuan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh

ilusionisme terhadap berbagai gagasan, sudah cukup lama menjadi hal yang tak relevan.

Tesisnya akan sifat-alami sensual dari representasi artistik, serta kesesuaiannya untuk

menstimulasi indera dan melemahkan kemauan, (pada sisi yang lain) telah

mempertahankan sejumlah validitasnya. Semua bentuk gerakan ikonoklastik itu sendiri di

dalam dirinya masing-masing, kurang-lebih juga mengandung jejak-jejak doktrin

Platonik yang dalam. Sikap antiartistik dari para Pemimpin Gereja yang terutama

menyerang sensualitas, lebih mengingatkan kita akan para filsuf yang kafir (menyembah

berhala dan tak mengakui Tuhan), ketimbang mengingatkan kita pada para rasul.

Ikonoklasme Bizantium mempertahankan teorinya, dengan memakai konsep dari doktrin

ide-ide Plato, dan menentang “pemujaan” yang terkandung dalam gambar-gambar

pengabdian sebagai bentuk keburukan sensual dari sosok spiritual suci. Permusuhan yang

ditujukan oleh semua kaum sektarian pada Zaman Pertengahan terhadap seni (bahkan

juga kaum Reformasi), pada prinsipnya bersifat Platonik—yakni, irasionalistis dan

idealistis—setidaknya sejauh langkah resistensinya terhadap tubuh dan indera, betatapun

rasional dan realistis perlawanannya terhadap gereja Romawi sebagai singgasana

pemujaan tersebut. Savonarola dan juga kaum anabaptis menyatakan (dalam tabir

90
ikonoklasme) perlawanannya terhadap masyarakat yang ada dan kelas-kelas yang tengah

berkuasa. Mereka melakukan hal ini dengan lebih nyata dibandingkan dengan para

pendahulunya, yang hampir-hampir tak menyadari fakta bahwa dalam melawan hierarki

spiritual dan institusi eklesiastikal, pada saat yang sama mereka juga tengah berjuang

melawan kelahiran feodalisme. Latar belakang ideologis terhadap perjuangan tersebut

tampak semakin jelas dalam rangkaian perkembangan historis. Hal itu juga telah menjadi

sesuatu yang makin nyata pada era Pencerahan, yakni pada saat peranan Platonisme

(dengan permusuhannya terhadap seni) diambil alih oleh Rousseau (dengan

permusuhannya terhadap budaya). Sejak itulah, kecenderungan pada penyangkalan-diri

telah menjadi salah satu ciri-ciri permanen dari kebudayaan Barat, dan dalam kamp-kamp

yang radikal politis, telah terdapat kecurigaan terhadap seni sebagai candu yang bersifat

menumpulkan, meskipun tak kurang-kurang juga upaya untuk berdamai dengannya,

contohnya dalam aliansi sosialisme dengan naturalisme pada sekitar pertengahan abad

ke-19. Sementara itu, semakin estetistik bangsa Barat, maka semakin tinggilah

perlawanan seni terhadap dominasi kehidupan, sehingga tak perlu kiranya menunggu

gerakan Dadaisme dan antiseni (pada masa kini) dalam rangka mencari makna dan tujuan

seni yang dipertanyakan (bahkan) oleh para senimannya sendiri. Bukankah Flaubert

(yang menganggap bahwa seni-lah hal yang paling berharga dalam hidup) telah bertanya

pada dirinya sendiri, “Bukankah ekspresi nihilisme yang ketakutan—yakni kekuatan yang

memusuhi kehidupan itu sendirilah—yang merupakan bentuk pemujaan yang bersifat

mengasingkan?”

Dengan seluruh resistensi, keberatan dan keraguan inilah, maka diekspresikanlah

sebuah pengujian dan ringkasan dari pengutukan terhadap seni, tanpa mengaitkan peran

91
sosial atau moralnya dengan kreasi-kreasi individualnya. Adalah zaman Renaisans-lah

(sebagai sebuah periode yang membuat astetisisasi secara tegas) yang pertama kali

sampai pada gagasan, bahwa seni yang dihasilkan oleh master-master hebat itu sendiri

bersifat memuliakan, dan bahwa efek edukasional yang ditimbulkan oleh seni tumbuh

dari keberhargaan artistiknya. Pada Masa Pertengahan, tidak ada nilai moral yang

disandangkan pada kualitas artistik semacam itu, meskipun tentunya tetap terdapat

sensitivitas terhadapnya dan tampaknya hanya ada sedikit diferensiasi antara dua urutan

nilai tersebut. Kaum visionari religius (yang menolak seni secara fundamental)

berpandangan bahwa seni patut dimintai pertanggungjawaban dalam segala wujudnya,

dan para penguasa temporal maupun spiritual yang bertujuan memakainya sebagai sarana

propaganda tidak menilai seni berdasarkan nilai estetiknya. Sama halnya ketika

penolakan terhadap seni tak harus selalu dipandang sebagai tanda nonreseptivitas atas

pesonanya, maka pihak-pihak yang mempekerjakan dan melindungi para seniman pun

tak harus selalu dipandang sebagai para pakar seni itu sendiri.

Antipoda/antisimpul dari para ikonoklasik (yang sejak semula menolak seni)

tidaklah (dalam pengertian sosiologis) termasuk ke dalam golongan para estetis, yang

menilai kehidupan dari pertimbangan seni dan ‘mengabaikan’ kehidupan demi seni itu

sendiri. Tak satupun dari mereka yang memiliki kepercayaan diri dalam edukabilitas-

estetis manusia, ataupun memiliki kemungkinan untuk membentuk atau menciptakan

masyarakat melalui seni. Karena baik para estetis maupun para ikonoklasik memisahkan

keduanya satu sama lain, maka tak ada hal semacam itu yang bisa terjadi. Seni

menampakkan dirinya sebagai makna yang efektif secara sosial (dalam pengertian yang

positif maupun negatif, konstruktif atau destruktif, apologetik ataupun kritikal) hanya saat

92
ia ditujukan pada sebuah urutan kekuasaan tertentu, tetapi tidak saat ia mendapati dirinya

sendiri dikonfrontasikan dengan kehampaan sosial oleh humanitas. Seni itu sendiri

tidaklah bermanfaat atau membahayakan per se. Tetapi, dalam kondisi-kondisi tertentu,

seni—yang tak cuma merefleksikan realitas sosial tetapi juga mengkritik masyarakat—

akan sesuai dengan diagnosis dan mampu menyembuhkan penyakit-penyakit yang

terkandung di dalamnya.

Peranan yang dimainkan oleh seni dalam pembentukan masyarakat tidak selalu

penting dan muncul secara berimbang. Tidak harus para seniman besar (master pemahat

patung Yunani dan katedral Gotik, bukan juga Leonardo atau Michaelangelo, Rubens dan

Rembrandt, bahkan juga bukan para manipulator pengaruh artistik pada masyarakat,

semacam Le brun atau Vandyke) yang mengubah karakteristik masyarakat secara

fundamental dan terang-terangan, melainkan para kritikus sosial seperti Breughel, Callot,

Hogarth, Goya, Miller, dan Daumier-lah, yang melakukannya. Dalam kasus mereka (di

mana hal itu muncul sebagai pertanyaan akan kritisisme sosial dalam pengertian serangan

langsung terhadap sebuah sistem sosial—sebagai suatu keseluruhan atau kelas individual,

institusi tertentu, dan konvensi, penyalahgunaan, dan dalam hal mengungkapkan dan

menjadikannya sebagai bulan-bulanan, sejumlah prasangka dan ketimpangan, di mana

penuduhan dan dakwaan ditujukan), usaha untuk mengubah masyarakat menjadi jelas

dan lebih berhasil ketimbang dalam karya yang (pertama dan terutama) merupakan

refleksi ideologis atau kendaraan propaganda tersebut. Dalam membawakan tendensi

menuju pencerahan (yang sudah ada dalam masyarakat), karya-karya tersebut merupakan

produk, dan bukan produsen dari berbagai kondisi sosial. Sebagai kritik sosial, seni

adalah pencipta berbagai keadaan ini, hanya sejauh ia bereaksi atas masyarakat dengan

93
impuls yang telah ia terima darinya dan yang terkondisi oleh berbagai kontradiksi,

tegangan, dan konflik yang ada. Sebagaimana yang kita ketahui, setiap kritik sosial akan

tetap bertahan sebagai kritik-diri masyarakat. Matthew Arnold tampaknya tidak berpikir

tentang kritik sosial apapun dalam pengertian ini, ketika ia menyebut sastra sebagai

“kritik kehidupan”. Alih-alih, ia beranggapan bahwa sastra sejak semula dan tanpa henti

akan terus mencari eksistensi utopia ideal, dan bahwa keadaan (yang tak dapat ia

persatukan) berada di luar jangkauan-jangkauannya. Sastra hanya mengalami sedikit

perubahan (dalam esensinya) oleh kehidupan, sama kecilnya dengan perubahan yang

muncul dalam kehidupan akibat pengaruh sastra. Kehidupan akan tetap menjadi sebuah

objek yang memerlukan kritisisme, yakni sastra sebagai organ seni yang bersifat

mencukupi dirinya sendiri. Aforisme Oscar Wilde bahwa seni tidak meniru kehidupan

tetapi justru sebaliknya, tampaknya beranjak pada sebuah tingkatan yang cukup berbeda

dari aforisme bahwa sastra merupakan “kritik kehidupan”. Apa yang mirip darinya

dengan kritik kehidupan yang disampaikan oleh Arnold terdapat pada ciri-ciri

inefektivitas sosialnya. Pernyataan Wilde secara esensial menyatakan bahwa hampir

semua orang tak mampu memahami wujud dan makna hal-hal tanpa melihatnya

(ditunjukkan secara langsung) di depan mata. Kehidupan tampaknya meniru karya, dan

tampaknya seni tidaklah tampil sebagai bentuk kritik dan koreksi terhadapnya, melainkan

sebagai contoh dan ukuran realita. Akan tetapi, fungsi seni tidak sekadar terkandung di

dalam membukanya mata orang-orang, tetapi juga dalam mencegah mereka dari menutup

mata akan berbagai fakta, tugas-tugas sulit, solusi-solusi yang tak nyaman, dan alternatif

yang bersifat tragis. Wilde mungkin telah merenungkan segala sesuatu yang terkait

dengan peran penyibak yang dimainkan oleh seni, namun ia tampaknya telah

94
mengabaikan untuk mempertimbangkan responsibilitas yang ditempatkan oleh seni pada

mereka-mereka yang tercerahkan. Tampaknya ia telah melupakan makna sosial

humanistik yang dimiliki oleh pencerahan artistik.

Sementara itu, bagi masyarakat, seni bersifat normatif sekaligus tipikal, tidak

cuma saat ia mengesahkan gagasan-gagasan dan norma-norma humanistiknya, tetapi juga

saat ia menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru, termasuk juga moral, juga cara berpikir

dan merasa, yang bisa diterima dan dihargai. Seni menjadi sebuah faktor sosial ketika

masyarakat menjadikannya sebagai faktor sosial; seni berevolusi setelah ia sendiri

menjadi sebuah kekuatan revolusioner. Tetapi, jika pengaruh masyarakat pada seni

seringkali tetap tak terungkap dan tak terlihat, efek seni (betapapun kecilnya) mau-tak-

mau akan tampak ‘mencolok’ mata. Itu sebabnya, seni bersifat immaterial, terlepas

apakah dampak finalnya tetap tersembunyi di dalam pangkuan masyarakat atau apakah ia

akan terungkap; karena tujuan dan arahnya bersifat jelas dan langsung terasa.

Efek sosial seni, juga perannya sebagai faktor dalam produksi masyarakat, tampak

paling jelas saat ia menjadi kekuatan pendorong dari gangguan, pembaharuan, dan

perubahan revolusioner dan mengekspresikan aspirasi yang menggugat keteraturan yang

ada dan mengancamnya dengan sebuah penghancuran. Tetapi, seni tampaknya juga

berperan sebagai penenang, untuk menstabilisasi kondisi yang ada, dan untuk

menstabilkan konflik-konflik yang meletus, tak hanya saat ia mencoba muncul sebagai

sebuah apologia untuk merekonsiliasi strata masyarakat yang lebih luas (dengan ideologi

yang lebih terbatas), tetapi juga pada saat ia menegaskan prinsip-prinsip seleranya yang

seringkali merupakan sebuah apriori (suatu syak wasangka) yang merangkul-semua,

95
dibandingkan dengan struktur-struktur ideologis lainnya, dan yang bersifat lebih cocok

untuk mendatangkan keharmonisan dalam strata kultural yang heterogen.

Tetapi, akan menjadi suatu hal yang sifatnya romantisis murni, untuk

mengabaikan fakta bahwa seni bersifat memisahkan (sesering ia menyatukan), semata

karena ia memisahkan orang-orang menurut karya apa saja yang mampu mereka apresiasi

dalam berbagai lingkungan yang berbeda, dalam proses di mana ia sama sekali bukan

merupakan karya terpenting yang memiliki pengikut terbanyak. Akan tetapi, hal yang

berkebalikan dari itu tampaknya menjadi aturan yang berlaku. Nilai estetik dan fungsi

penentu sosial dari hasil-hasil artistik—dalam hubungan ini pula—berdiri dalam sebuah

proporsi yang berlawanan satu sama lain. Bukanlah Richardson, bukan pula Jane Austen,

Béranger, Baudelaire atau Alfred de Vigny, yang memiliki pengaruh yang lebih besar

dalam pembentukan masyarakat mereka. Dalam berbagai kasus, adalah keliru untuk

menganggap pribadi seniman sebagai faktor sosial positif yang benar-benar bekerja

sebagai semacam pelipur sosial, sama kelirunya untuk memandang seni secara tak-

bersyarat sebagai elemen penghibur dan pemersatu dalam masyarakat. Dalam banyak hal,

seni dengan jujur tampil sebagai sebuah kekuatan yang memusuhi masyarakat, sebuah

sumber perselisihan, disintegrasi, dan keretakan. Jika seniman tampak menaruh perhatian

pada masyarakat yang harmonis, ia secara umum hanya berpikir akan suatu kebulatan

yang mengikutinya; ambisinya mendorongnya untuk membedakan diri dari yang lain,

untuk menjadi unik dan tak terbandingkan. Perjuangannya menuju kesuksesan ditentukan

oleh rasa iri hati, kecemburuan, juga sentimen yang ia tujukan pada saingan, kritikus,

maupun lawan-lawannya, sama seringnya perjuangan itu ditentukan oleh hasrat akan

simpati, solidaritas, dan pemahaman dari semua lainnya. Sejak periode romantik,

96
seniman—dengan subjekivitas, kondisi patologisnya sebagai orang asing di luar

masyarakat, kurangnya fungsi publik di dalam diri, serta alienasi fatalnya—telah menjadi

makhluk asosial yang murni dan sederhana, prototipe dari pribadi yang mempunyai hak-

hak istimewa, yang dalam masyarakat mempunyai hak untuk menjalani semacam

eksistensi ekstrateritorial. Tak ada yang lebih signifikan bagi situasi sosial yak tak stabil

dan nilai yang senantiasa dipertanyakan dari keberadaan semacam ini, ketimbang makna

kompleks dari prinsip l’art pour l’art (seni untuk seni).

Permasalahan Seni untuk Seni

Pertanyaan berkaitan dengan prinsip seni untuk seni merupakan permasalahan

paling sulit, dan dalam banyak hal, paling menentukan di dalam sosiologi seni, lantaran

klaim disiplin prinsip itu terhadap validitas ilmiah, yang akan bangkit atau jatuh menurut

jawaban yang tersedia untuknya. Jika posisi “seni untuk seni” bisa dipertahankan dan

sebuah karya seni dinilai sebagai sebuah sistem tertutup yang sifat mikrokosmiknya

terancam oleh segala jenis hal yang transendental, oleh segala pelanggaran terhadap

berbagai batasannya (sekecil apapun itu), maka klaim bahwa makna dan tujuan seni bisa

ditentukan secara sosiologis, akan tampak tak sah dan tak dapat dilaksanakan. Apakah

esensi dan nilai sebuah karya seni akan ditemukan di dalam struktur inti dan daya pikat

sarana ekspresinya—yakni, dalam hubungan resiprok dan proporsi elemen-elemen

konstitutifnya, varietas dan semangat yang hidup dalam wujud optik dan akustiknya,

dalam struktur harmonis dan élan melodisnya, kehebatan warna dan musik bahasanya?

Ataukah, esensi dan nilai karya seni terletak di dalam fungsi-fungsinya—sebagai sebuah

97
ajaran, sebagai seruan dan amanat, sebagai interpretasi, sebagai kritik dan koreksi atas

hidup? Dengan kata lain, apakah seni sekadar sebuah sarana sampai pada sebuah titik

yang berada di luar batasan-batasan sekaligus lingkup estetisnya sendiri? Pertanyaan itu

berujung pada apakah seni adalah sebuah tujuan dan maksud di dalam dirinya sendiri,

ataukah ia hanya sarana untuk mencapai hasil akhir yang terletak di luar dirinya.

Dari sudut pandang materialisme historis, ketidaksesuaian antara fungsi sosial dan

estetis terkait dengan kontradiksi yang mungkin terdapat di antara signifikansi artistik-

kualitatif dari sebuah karya dan keserasiannya dengan pemenuhan berbagai kewajiban

sosial dan moral. Sebuah lukisan mungkin saja dilukis tanpa cacat, namun di sisi lain

sama sekali bersifat acuh terhadap sekelilingnya; sebuah novel boleh jadi ditulis dengan

sangat brilian, namun di satu sisi juga bersifat sembrono dan merusak akhlak. Nilai

kebermanfaatan sosial, juga nilai moral dan kemanusiaan sebuah karya seni tak ada

kaitannya dengan imoralitas yang mungkin dimunculkannya dalam pengertian yang

lazim. Yang memberikan signifikansi sosial, moral, dan kemanusiaan pada sebuah karya

seni bukan terletak pada motif-motif, aksi, karakter-karakter, ataupun maksud implisit

yang dikandungnya, melainkan pada kecerdasan dan ketegaran—singkatnya, dalam

kematangan spiritual yang digunakan untuk mendekati berbagai permasalahan dalam

hidup. Seni yang tak bermakna atau tak berbobot bukanlah seni yang mengangkat

kejadian-kejadian atau karakter yang dipertanyakan, melainkan seni yang mengadosi

sebuah pendirian remeh-temeh dan palsu vis-à-vis tugas kehidupan, yang oleh karenanya

menyesatkan orang-orang ke perkiraan fakta-fakta yang keliru atau ceroboh, dan justru

membawa mereka pada penipuan-diri dan kemunduran. Protes terhadap doktrin “seni

untuk seni” merupakan protes terhadap prinsip romantik yang menganjurkan untuk

98
melenggang pergi dari kewajiban hidup yang riil dan menghindari berbagai kesulitan

eksistensi (alih-alih menggerakkan sesorang untuk berjuang melawannya), dan sebagai

akibatnya, mampu menerima dan bersahabat dengannya.

Tendensi struktur-struktur kultural untuk menjadi mandiri dari keadaan

genesisnya, untuk menjadi bagian akhir di dalam dirinya sendiri, untuk meng-

objektivikasi, memformalisasikan, dan untuk memandangnya sebagai sesuatu yang

konkret, yakni untuk mengubahnya—dari sarana pemahaman dan kerjasama

interpersonal, menjadi sesuatu yang bernilai abstrak, apakah itu dalam wujud sebuah

monumen atau pemujaan, sekarang tidak tampak di manapun selain di dalam

metamorfosis karya seni dari sebuah instrument komunikasi, pembangkitan, dan

pergolakan, untuk menjadi sebuah kompleksitas bentuk yang harus diinterpretasi dan

dievaluasi sebagaimana adanya. Teori seni-untuk-seni ini menerima pertidaksetujuan

yang paling serius dari pandangan kaum utilitarian, tepatnya karena fakta bahwa

metamorfosis ini sesungguhnya bisa dicapai dan bahwa karya seni tersebut bisa

dipandang sebagai sebuah struktur formal independen, yang tertutup dan kompleks di

dalam dirinya sendiri, yang momen-momennya seluruhnya dapat diterangkan

berdasarkan basis kohesi intinya masing-masing. Oleh karenanya, menurut doktrin seni

untuk seni ini, asal-usul psikologis dan tujuan sosial-moral sebuah penciptaan artistik

dinilai tidak signifikan, dan interpretasi genetis atau teleologisnya akan menjadi sesuatu

yang dicela, karena hal itu tak hanya akan membuat struktur formal intinya menjadi tak

terjelaskan, tetapi bahkan juga (tampaknya) akan menyembunyikan serta memalsukannya

dengan menarik perhatian pada bagaimana seniman sampai pada komponen-komponen

individual karyanya, alih-alih menunjukkan bagaimana kondisi-kondisi tersebut saling

99
berhubungan satu sama lain. Doktrin yang berakar dari sifat ketercukupan seni dan yang

berpegang teguh pada gagasan bahwa asal-usul psikologisnya adalah suatu permasalahan

kelalaian, dan efek-efek sosialnya yang tak berujung menyesuaikan dengan konsep

romantik, yang terletak pada seniman yang “hanyalah sekadar” pencipta karya-karyanya.

Pada kenyataannya, seorang seniman tidaklah lebih eksis ketimbang seorang pembaca

atau penonton, yang semata berperan sebagai penampung kesan-kesan artistik. Hanya

anak sekolah dan penggemar (bukan pakar) seni yang menulis puisinya dalam vacuum

(keadaan bebas dari apa-apa) semacam ini; merekalah representasi termurni dari prinsip-

prinsip seni untuk seni. Sementara itu, seniman yang benar-benar matang selalu bekerja

di tengah-tengah situasi sosial, senantiasa meneriakkan atas orang lain (dan di saat yang

sama, juga bagi dirinya sendiri). Mereka juga menaruh perhatian pada solusi

permasalahan hidup yang tak hanya berdampak bagi diri mereka sendiri. Kesulitan untuk

memutuskan berbagai fakta dengan tepat, muncul dari kontradiksi-kontradiksi bahwa

karya seni selalu dihasilkan dari tuntutan atau kebutuhan sosial yang sifatnya

interpersonal, tetapi sekaligus juga memiliki kualitas estetiknya sendiri, yakni sebuah

nilai khusus yang tak terreduksi, agar ia bisa menjadi efektif. Jadi, karya-karya seni bisa

dipandang, baik sebagai pemenuhan kebutuhan sosial maupun sebagai eksponen-

eksponen dari kualitas spesial, yang bersifat mencukupi-diri dan tidak tak terreduksi.

Teori l’art pour l’art tak menghendaki adanya keterkaitan dengan berbagai

kontradiksi tersebut. Ia tak hanya menyangkal kegunaan moral dan sosial dalam seni,

tetapi juga segala fungsi praktis yang mungkin muncul darinya. “Tak akan ada yang

menulis puisi,” ucap Eugenio Montale, “jika permasalahan sastra terdapat pada upaya

untuk membuatnya (seseorang itu) dipahami.” Bahkan terdapat juga keraguan, pada

100
apakah kapasitas untuk membuat seseorang dipahami, komunikasi perasaan dan

pengalamannya yang terang, terdapat dalam kekuatan seni. Apa yang ditegaskan oleh

Eduard Hanslick tentang musik (di dalam Von musikalischem Schönen), bahwa

keterkaitannya dengan segala sesuatu yang bersifat nonmusikal, yakni segala sesuatu

yang memiliki kandungan emosional dan ideal, adalah sesuatu yang samar dan tidak

menegaskan apa-apa, dan bahwa pandangan ini dalam taraf tertentu juga berlaku dalam

bentuk seni apapun. Sama halnya musik yang mengekspresikan sesuatu yang tak bisa

diterjemahkan dalam bentuk lain apapun, begitu juga halnya dengan sastra yang lebih

mampu mengekspresikan sesuatu secara literer dan linguistik, yakni dengan

menggunakan sesuatu yang terkunci di dalam kata-kata dan struktur sintaktik. Begitupun

juga, kandungan tak terjemahkan dari sebuah lukisan, sebuah gagasan bergambar, sebuah

visi, hanya bisa ditangkap dan dipelihara dalam bentuk-bentuk optik. Komposer berpikir

dalam wujud nada, pelukis dalam wujud goresan dan warna, penyair dalam wujud kata-

kata, gaya bahasa dan ritma. Tak diragukan lagi, hal itu tidaklah sepenuhnya benar;

Bahwa akan tetap ada sebuah nilai intrinsik yang bisa diterjemahkan ke dalam berbagai

bentuk.

Tesis bahwa setiap medium seni bersifat tunggal dan homogen, bisa disandangkan

sebagian pada aparatus konseptual dari teori seni untuk seni, dan berdiri dalam kebutuhan

akan sebuah koreksi fundamental. Tesis ini juga terlalu tajam memisahkan bentuk dari

seluruh struktur artistiknya, dan menyatakan bentuk sebagai sesuatu yang tak terreduksi,

tak terjemahkan, dan tak tergantikan. Dengan adanya pemindahan realitas heterogen

kepada medium homogen dari seni individual, varietas eksistensi yang membingungkan

sampai taraf tertentu akan menjadi tak terkontrol, tetapi juga menjadi sesuatu yang tak

101
akan pernah berhenti. Penjelasan kreativitas artistik sebagai proyeksi dari berbagai

fenomena multidimensional ke dalam sebuah taraf sederhana merupakan sebuah

penjelasan yang sifatnya parsial dan metaforikal. Karena dalam proses menciptakan

sebuah objektivitas yang terpadu secara sensual dari material pengalaman empiris yang

semrawut, sang seniman tak cuma melihat bagaimana kaleidoskop material akan sesuai

dengan kategori-kategori homogen dari suatu organ makna atau organ lainnya. Struktur

homogen, sama halnya dengan struktur mikrokosmik, adalah sebuah faktor esensial

dalam sebuah karya seni, tetapi bukan merupakan faktor yang harus ada; kesatuan tak

lebih dari sekadar sebuah bagian dari segala bentuk artistik, ketimbang dari sebuah

kelengkapan atau finalitasnya.

Menurut ucapan terkenal dari Max Liebermann, sebonggol kubis yang dilukis

dengan baik tentu saja lebih bernilai (dalam dirinya sendiri) ketimbang lukisan kepala

Madonna yang dilukis dengan amburadul. Kepala Madonna akan menjadi lebih bernilai

jika dilukis dengan lebih baik dan hanya akan menjadi sebuah objek artistik jika dilukis

dengan baik. Namun, bahkan pernyataan semacam ini pun (sama halnya dengan reduksi

kualitas artistik ke dalam satu medium homogen) tidak mengandung kebenaran penuh;

pernyataan tersebut harus diperluas untuk menunjukkan bahwa lukisan kepala Madonna

yang dilukis dengan baik mungkin saja naik ke wilayah yang semata tak bisa dimasuki

oleh lukisan sebongkah kubis. Tetapi bagaimana kita bisa sampai pada pertimbangan

semacam itu, yakni bahwa subjek Madonna menempati tempat yang lebih tinggi, jika

kualitas lukisan merupakan sebuah kriteria nilai yang tak bersyarat? Atau sebaliknya:

bagaimana bisa kita menyimpulkan bahwa kualitas lukisan menjadi suatu hal terpenting,

jika Madonna—atau, dalam hal itu, elemen manusia secara umum—mewakili sebuah

102
nilai yang spesial? Di sinilah nyata-nyata terletak inkongruitas standarnya: bahwa

manusia dan gambar termasuk ke dalam dua lingkup hal yang berbeda dan mewakili

nilai-nilai yang tak terreduksi satu sama lain—kebesaran/keunggulan yang satu boleh jadi

terikat erat dengan kesia-siaan pada yang satunya.

Inkonsistensi ini bisa diwakili oleh sebuah imej: sebuah karya seni adalah

bagaikan sebuah jendela yang dengannya kita bisa mengamati dunia tanpa

mempertimbangkan sifat-sifat instrument observasinya, baik wujud, warna, struktur kaca

beling jendela, tetapi kita juga bisa memfokuskan perhatian pada jendela tanpa harus

menjadi waspada dengan wujud dan makna objek yang ditampakkan melaluinya. Dengan

cara ini, akan selalu muncul di hadapan kita, dua aspek dan kita bisa bergerak kesana-

kemari di antara keduanya. Terkadang, kita memandang sebuah karya sebagai hasil

pembuatan yang mencukupi-diri, lepas dari realitas dan semua objektifikasi lainnya, dan

yang lain sebagai cermin realitas yang terikat erat dengan keberadaan manusia dan

membantu kita untuk merasa, memahami, dan menilainya. Dari sudut pandang

pengalaman-estetis murni, otonomi dan imanensi bentuk tampaknya menjadi sesuatu

yang esensial bagi sebuah karya seni; ia hanya mampu menciptakan ilusi total dan

menjadi gambaran totalitas yang kredibel saat ia memerdekakan dirinya dari segala

sesuatu yang berdiri di luar lingkupnya yang semestinya. Akan tetapi, ilusi sama sekali

tidak menyusun keseluruhan kandungan sebuah karya seni dan seringkali memainkan

peranan yang tak menentukan bagi efek yang ia timbulkan. Seni adalah—dan akan tetap

menjadi—refleksi realitas, yang mempertahankan hubungan fleksibel secara tak umum

dengan realitas, sekaligus mengubah jarak darinya. Seni hanya akan eksis sejauh ia

membedakan diri dari realita, pada satu sisi, dan terlibat di dalamnya, pada sisi yang lain.

103
Seni tak cuma merefleksikan tetapi juga meninggalkan dan menggantikan realitas; adalah

bagian dari esensi seni untuk menjaga kesadaran refleksi, fakta penipuan-diri, yang akan

tetap ada dengan secara konstan menyinggung kebenaran yang direfleksikannya. Tak ada

karya seni otentik yang memiliki kekurangan akan perbedaan realitas, dan karya-karya

yang paling penting seringkali merupakan diskusi langsung dari eksistensi manusia,

beserta permasalahan dan tugas-tugasnya dalam kehidupan nyata. Tujuan dari karya-

karya ini pastinya bukan untuk membius pembaca atau penonton, atau membawa mereka

ke dalam suatu kondisi di mana ia gagal menyadari fakta atau meremehkan

signifikansinya. Karya seni yang otentik sedari awal telah menolak ilusionisme yang

memperdaya, yang ditimbulkan oleh mikrokosmos dan sikap artistik yang berpusat-pada-

diri, melalui sebuah poin yang melebihi jangkauan estetisnya sendiri. Karya-karya itu

menaruh perhatian pada jawaban-jawaban terhadap permasalahan kontemporer mengenai

kehidupan dan dengan pemahaman situasi yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan

tersebut. Bagaimana makna bisa muncul di luar kehidupan itu sendiri? Bagaimana kita

bisa berpartisipasi dalam makna ini? Bagaimana kita (hanya sebagai diri kita apa adanya)

menjalani hidup yang baik dalam rangkaian waktu dan masyarakat?

Keputusan akan apakah sebuah karya seni harus dipahami sebagai suatu wujud

yang memenuhi-dirinya sendiri (self-sufficient), ataukah sebagai kendaraan akan sebuah

seruan, tesis, atau makna, tentu saja tak selalu bergantung pada sikap sang pencipta

karya. Setiap karya-penting kurang-lebih akan memenuhi kedua fungsi tersebut. Bahkan,

representasi realitas yang bersifat paling politis atau penuh prasangka moral, bisa

dinikmati sebagai seni murni, sebagai sebuah struktur formal yang murni, jika hal itu

sepenuhnya bersifat relevan secara estetis. Di sisi lain, produk yang tampaknya paling

104
artistik sekalipun (bahkan jika kreatornya tak memiliki tujuan praktis apapun) bisa

berfungsi sebagai kritik sosial tersembunyi. Aktivisme Dante tak lebih meniadakan

apresiasi estetik murni dalam Divine Comedy karyanya, dibandingkan dengan estetisisme

dan formalism Flaubert, yang meniadakan sebuah interpretasi sosiologis dalam Madame

Bovary atau L’éducation sentimentale. Flaubert menilai dirinya sendiri sebagai

representasi impasibilitas (ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi) dan dari

prinsip seni untuk seni; dia beranggapan bahwa prinsip ini telah benar-benar dipenuhi

oleh reproduksi-realitasnya yang termurni, tanpa adanya pembubuhan, penyensoran, atau

ceramah moral. Akan tetapi, hampir seluruh karya Flaubert justru mengekspresikan

filosofi hidup yang dikelilingi oleh permasalahan moral dan sosial. Madame Bovary,

khususnya, jelas-jelas merupakan sebuah novel yang mengandung sebuah tujuan.

Keseluruhan novel tersebut merupakan kritik terhadap romantisisme sebagai sebuah

bentuk kehidupan, yakni pengungkapan akan cita-citanya yang keliru—sentimentalitas

dan ekstasi pencarian-dirinya, penipuan-diri dan kebohongan-kebohongannya, berbagai

pemalsuan yang dilakukannya terhadap seseorang dan realitas, yang tak semestinya kita

sembunyikan, melainkan justru harus disadari.

Pengalaman artistik otentik mengisyaratkan daya-tarik formal dari sarana yang

digunakan, kesempurnaan teknis pelaksanaannya, dan efek sensual langsung yang

ditimbulkan oleh warna, nada, atau kata-kata di dalamnya. Prasyarat bagi kualitas artistik

dan fungsi yang harus dipenuhi oleh seni merupakan bentuk keberhasilannya. Semua

bentuk seni berangkat dari sini, meski jika mereka semua tak akan berakhir padanya.

Tanpa wujud pemuas, seni tak bisa berhubungan dengan tugas ekstra-estetik apapun.

Efek artistik tentunya juga memiliki ambang penerimaan syarat estetik, sebuah titik

105
minimum formal yang yang harus dicapai supaya karya tersebut memasuki lingkup seni,

tetapi yang juga jauh dari kondisi “cukup” baginya untuk menembus wilayah-wilayah

seni yang tertinggi dan terdalam. Fakta bahwa apa-apa yang benar dan tepat dari segi

politis, sosial, dan kemanusiaan, hanya bisa direalisasikan dalam karya yang (secara

formal disebut) sukses, bukan merupakan keunggulan aksiologisnya, melainkan sekadar

sine qua non (syarat mutlak) ontologis dari kualitas estetisnya. Nilai-nilai kemanusiaan

dan sosial yang tak muncul di dalam bentuk yang sukses secara estetis merupakan suatu

noneksisten secara artistik. Prioritas wujud di atas kandungan di sini tidaklah

menandakan sebuah formalisme satu-sisi, melainkan justru sekadar berarti bahwa bentuk

dari transmisi kandungan (isi) harus tersedia dan bisa digunakan oleh sang seniman. Di

samping itu, keunggulan aksiologis dari “isi” tidak mengurangi pentingnya “bentuk”,

karena di sini kita berhubungan dengan kandungan yang hanya bisa diekspresikan secara

memadai dalam suatu bentuk tertentu dan bukan dalam bentuk yang lain, dan yang

(dalam rangkaian prosesnya) mengalami perubahan sebanyak yang dialami oleh bentuk

yang digunakannya. Yang membuat seseorang menjadi seorang “seniman” bukanlah hal

yang sedang ia coba untuk lukiskan, untuk ia rekomendasikan, dan untuk ia puja,

melainkan pada cara bagaimana ia melakukan kesemuanya itu. Tetapi, yang membuat

seseorang menjadi seniman besar adalah hal, di mana ia berdiri untuknya, dan untuk itu ia

mau mendayagunakan bakatnya.

Identifikasi bentuk dan isi terletak terutama pada ketakberpisahannya, bukan pada

sifat konsubstansialitasnya (konsubstan=mengandung unsur-unsur yang sama dengan

yang lain). Bahkan bagi Marxisme, betapapun problematisnya identifikasi keduanya,

keduanya paling terlukiskan oleh fakta, bahwa pemisahannya terhadap satu sama lain

106
akan (pertama-tama) dianggap sebagai sebuah pembagian tugas. Tetapi, fungsi terpisah

mereka dalam pemenuhan pencapaian artistik tak ada hubungannya dengan

“pembagian/pemisahan tugas” dalam pemahaman Marxisme dengan alasan sederhana,

bahwa pembagian tersebut tidak terjadi pada sebuah moment yang telah ada tetapi sejak

semula merupakan proses dialektika estetik. Sintesis dari bentuk dan isi tidak

mengeliminasi, melainkan sekadar menangguhkan antagonismenya. Dugaan akan

keadaan pengabaian yang ada di antara keduanya sering dianggap sebagai mediasi antara

sebuah prinsip formal intelektual dan sebuah prinsip sensual, material yang manusiawi.

Mediasi ini telah disebut—sebagai contohnya—sebagai tahap simbolis, oleh Goethe,

tahap khusus oleh Hegel, dan (dalam pengertian yang sama) tahap tipikal, oleh Lukács.

Bentuk dan isi adalah dua hal yang benar-benar berbeda—yang paling masuk akal

untuk tampak berbeda—meski mereka hanya bisa dipahami dalam kaitannya satu sama

lain. Perbedaan keduanya (bahkan sifat-sifatnya yang bertentangan) tak serta-merta bisa

dihapuskan dari seni, yang mungkin didefinisikan sebagai sebuah ketegangan yang ada di

antara keduanya. Tak ada satupun karya seni yang semata murni bentuk ataupun murni

isi. Keinginan Flaubert untuk menulis sebuah buku tanpa suatu objek, yakni sebuah buku

tanpa kandungan yang akan menjadi suatu bentuk murni, akan selamanya menjadi sebuah

khayalan; dalam berbagai kasus, hal semacam itu hanya akan menjadi sekadar latihan

lima-jari sebagaimana seluruh formalisme murni lainnya. Kandungan (isi) tak akan

pernah bisa “dihapuskan dari Bentuk”, ujar Schiller. (73) Sama halnya ketika setiap

objek artistik hanya menciptakan kesan melalui wujud yang ia gunakan, bahkan bentuk

yang paling sederhana dan mendasar memperoleh efeknya dari ketegangan antara

kebutuhan untuk mengekspresikan isi dan upaya formal untuk pengekspresiannya.

107
Sebuah bentuk bisa dibilang berhasil jika ia berhubungan (dalam taraf tertentu)

dengan isi yang diekspresikannya. Bentuk tak akan pernah menjadi sekadar fungsi

subject matter (permasalahan)nya: sedangkan bentuk-bentuk tertentu boleh jadi akan

ditiadakan sebagai sesuatu yang tidak layak. Jadi, akan ada lebih dari satu bentuk yang

mampu mengekspresikan permasalahan khusus yang serupa. Cara di mana seniman

mengungkapkan sesuatu terikat erat dengan apa yang harus ia katakan. Jika seorang

seniman modern, sebagai contoh, mengekspresikan dirinya sebagai sesuatu yang “tak

bisa dipahami”, boleh jadi inkomprehensibilitas (ketakterpahaman), ketakterucapan, dan

ambiguitas dari bahasa formalnya merupakan hal yang tak terpisahkan dari permasalahan

yang ia angkat. Teapi, bahasa yang ia gunakan harus menjelaskan bahwa ia hendak

mengekspresikan sesuatu yang tak jelas dan tak bisa dijelaskan. “Oedipus Complex”

Hamlet tak akan dinamai semacam itu jika saja Shakespeare bisa menamainya dengan

jelas. Kita juga hanya mampu memaknai cinta Pangeran Myshkin pada Nastasya

Filippovna sebagaimana yang digambarkan oleh Dostoevsky kepada kita sebagai

pembaca. Tak seorangpun yang bisa memastikan lingkup di mana cerita-cerita Franz

Kafka bisa diperankan dengan lebih tepat, ketimbang oleh penulisnya sendiri. Suatu

elemen material tentunya akan terungkap lebih dulu oleh sarana-sarana formal, sama

halnya bentuk akan pertama kali muncul saat ia dihadapkan pada latar-belakang material.

Tujuan dari upaya artistik tampaknya merupakan kesegeraan total dari isi dan bentuk,

gabungan absolut dari pikiran dan perasaan yang dikomunikasikan dalam medium

komunikasi. Meski demikian, hal itu tetap merupakan sebuah tanda dari apa yang

sifatnya artistik, bahwa bentuk bukanlah isi, dan isi pun juga bukan bentuk.

108
Kemunculan/gabungan satu prinsip dengan prinsip yang lainnya tak lebih dari sekadar

ekspresi metaforis figurative bagi akomodasi mutualnya.

Seni jelas-jelas berubah saat terjadi perubahan isi. Sebuah konsep moralitas,

kewajiban, atau penghargaan yang sifatnya baru, boleh jadi akan benar-benar mengubah

bentuk dramatisnya. Sebuah pandangan baru akan dunia bisa mengakibatkan

perkembangan novel dari segi epos; sebuah bentuk sensibilitas yang baru boleh jadi akan

memunculkan cara ekspresi liris yang baru. Tetapi, bentuk tetap mengandung arti sesuatu

di luar tingkatan material, sesuatu yang tak bisa direduksi pada material, dan sesuatu

yang tak bisa diambil darinya. Bentuk bisa mengandung elemen-elemen spontan, tetapi ia

juga merupakan suatu rintangan, perbatasan, dan bahkan juga antithesis dari spontanitas

itu sendiri. Proses dialektis merupakan pola fundamental di mana paradoks-paradoks—

resiprositas tunggal dari bentuk dan isi beserta ketakterpisahan mereka, juga kurangnya

identitas yang resultan, keunggulan dari apa yang dialami dan apa yang material, juga

desakan mutlak dari elemen formal—termasuk di dalamnya dan di mana mereka akan

selalu berada. Bentuk dan isi terstimulasi dan termajukan satu sama lain dalam

perkembangannya. Kelengkapan formal akan dicapai saat suatu isi ditolak, dan dengan

demikian apa yang tersisa menjadi sesuatu yang bisa dilukiskan. Perkembangan bentuk

dan isi merupakan serangkaian pertanyaan dan jawaban, dari permasalahan yang lebih

menjerat dan dari solusi yang sifatnya lebih tak-terjangkau, juga dari persangkaan yang

lebih terbedakan, dan efek-efek yang jauh lebih rumit. Untuk menyebut proses ini sebagai

kemunculan yang satu ke dalam yang lainnya tak cuma tidak menjelaskan apa-apa, tetapi

juga menyembunyikan fakta bahwa meski bentuk dan isi bisa memengaruhi satu sama

lain, mereka juga tak akan pernah bisa berubah dari satu ke yang lainnya.

109
Akan bisa dibenarkan sepenuhnya untuk mempertanyakan, akan tenggelam

menjadi apakah nantinya, karya-karya tragedi Yunani atau Shakespeare, juga Divine

Comedy atau Don Quixote, novel-novel Dostoevsky atau Tolstoy, jika mereka ditarik dari

kandungan moralnya. Juga, akan jadi apa nantinya jika kita hanya menarik signifikansi

moral darinya. Jawaban stereotip bahwa bentuk dan isi bersifat tak-terpisahkan satu

dengan lainnya tentunya akan menjadi hal yang tak sepenuhnya memuaskan. Memang

ada contoh-contoh tak terhitung dari keberhasilan formal dari seni di mana kandungannya

tak memiliki signifikansi tertentu, tetapi tak ada karya yang menerima nilai artistiknya

sepenuhnya dari signifikansi, sebesar apapun kita menilai bagian kandungannya dalam

peningkatan nilai formalnya. Sebuah puisi yang bernilai secara artistik terdiri dari

sejumlah larik yang cemerlang, namun larik-larik yang cemerlang itu tidak menghasilkan

sebuah puisi yang bernilai, apalagi signifikan.

Perbedaan antara sarana artistik dan makna isi, yang diajukan dengan begitu

menarik oleh Valéry, memiliki sejarah yang panjang. Tampaknya, ia bermula pada

konsep arkhaisme (ungkapan kuno) Yunani yang berkaitan dengan gagasan (yang pada

masa itu tentu saja tidak begitu dikembangkan) bahwa karya seni bukanlah sebuah sarana

pada akhirnya, yang sampai pada poin tersebut mereka tampak eksklusif sebagaimana

adanya, tetapi bahwa mereka adalah maksud dan tujuan dalam diri mereka sendiri.

Sebelumnya, segala bentuk seni merupakan seni terapan, yakni perangkat magis dan

agama, sarana untuk mempengaruhi dewa-dewa, roh-roh, dan masyarakat; pada titik

sejarah ini, dalam bagiannya, seni menjadi bentuk yang murni tak-memihak—seni demi

seni itu sendiri, dan demi keindahannya. Segera setelah sikap-sikap tersebut dipisahkan

satu dari yang lainnya, dan pengetahuan akan dunia yang sampai sekarang ini tak

110
terbedakan membagi secara adil pada sektor-sektor budaya individual, jarak antara

realitas praktis dengan lingkup etis-relijius, filosofis-ilmiah, dan juga dalam lingkup

artistik evokatif (membangkitakan ingatan) maupun dekoratifnya, mulai meluas. Tetapi,

pemerdekaan wilayah-wilayah budaya individual (khususnya seni) dari totalitas

praktikalitas tak pernah benar-benar dicapai, dan bahwa perjuangan untuk re-kreasi dari

gambaran semesta yang terpadu dan telah tertutup diperbarui secara konstan.

Tak ada suatu karya seni asli sejati yang semata dialami dalam kontemplasi,

dalam penerimaan pasif, dan hanya dengan penikmatan “tak memihak” akan bentuk

artistiknya. Bahkan struktur musik yang murni (yang tak memiliki kandungan konseptual

atau objektif) adalah lebih dari sekadar “bentuk”; mereka pun juga membutuhkan (di

dalam subjek reseptifnya) sebuah kesiapan dan kecenderungan untuk mengangkat suatu

sikap yang lebih terbuka, lebih langsung dan lebih baik, terhadap takdir manusia; mereka

juga menghadirkan tantangan moral dan humanistis dan menghadirkan sebuah gambaran

akan keberadaan yang masuk akal dan yang telah mencapai tujuan dan titik

penyelesaiannya, yakni sebuah keberadaan yang telah dikuasai dan dikendalikan.

Nature dari aktivitas yang menghasilkan bentuk yang dengan sendirinya

memuaskan dan yang telah disebut sebagai “self-rewarding” (berharga dengan

sendirinya) memainkan peranan yang besar dalam kreativitas artistik sejati. Tetapi, jika

satu-satunya motif adalah kepuasan dan sang seniman kehilangan seluruh minat dalam

karyanya—sama seperti monyet-monyet yang bosan dengan permainannya segera setelah

permainan itu berakhir—dia hanya sekadar membebaskan energi (dalam pengertian

biologis) atau menumpahkan mimpi-mimpi, fantasi, dan semangatnya yang bergelora,

dalam pengertian teori pertunjukan; singkatnya, aktivitasnya terkait erat dengan teori seni
111
untuk seni. Sejarah seni menawarkan rangkaian contoh-contoh yang hampir tak

terceraikan dari ketidakcukupan dari bentuk-bentuk “bermain-main” ini. Contoh terbaik

untuk menyangkal teori seni untuk seni dan pertunjukan tersebut tampak pada aktivitas

kreatif David, yang sangat representatif secara sosial dan formal, yang karya-karyanya

menunjukkan nilai-nilai artistik dan politik praktis yang senantiasa lekat satu sama lain.

semakin kuat karyanya berakar secara sosial, maka semakin terang-terangan pulalah ia

mengasah bakatnya, sampai pada kualitas karyanya yang lebih tinggi.

Jawaban akan permasalahan hidup yang mentransendensikan seni—pertanyaan

akan makna, nilai, dan tujuan dari keberadaan manusia—dan jalan menuju solusinya, tak

cuma tak terpisahkan dari kriteria-kriteria formal pencapaian artistiknya, tetapi juga

seringkali disyaratkan oleh bentuk itu sendiri. Dalam kasus seorang pelukis seperti

Greuze atau seorang komposer semacam Tchaikovsky, tidaklah sulit untuk mengaitkan

banalitas (kedangkalan) ide-ide dengan trivialitas (kesepelean) bentuknya; tetapi

bagaimana kita bisa mendeskripsikan signifikansi universal dari karya seni Bach atau

Cézanne, di mana kita tak bisa menunjuk pada kandungan sifat humanistiknya tanpa

melibatkan diri kita sendiri dalam metafor-metafor dan pembangkitannya yang

bermakna? Jawaban dari permasalahan hidup yang harus dipecahkan, daya tarik, pesan-

pesan bagi umat manusia terkandung di dalam struktur formal karya tersebut. Karena

struktur karya tak sekadar merepresentasikan solusi dari pemasalahan teknisnya, tetapi

juga menyampaikan penguasaanya akan berbagai pengalaman yang buram dan

menyesatkan, termasuk juga perasaan-perasaan tak terucapkan dan membingungkan.

Dalam sebuah karya seni yang penting, eksistensi dihindarkan dari sifat-sifat

kebingungan dan kesementaraannya: fragmen-fragmennya yang terputus dan tercerai-

112
berai muncul ke dalam sebuah pola yang bijak dan terstruktur dengan jelas. Jika berbagai

kontradiksi intinya tidak selalu mengatur untuk memuaskan harmoni, berbagai

kontradiksi maupun konflik yang mengisi karya tersebut tidak akan ditekan dan

didiamkan, melainkan justru ditampilkan sebagaimana adanya, dan krisis yang

mendasarinya akan muncul ke permukaan. Resolusi dari ketegangan-ketegangan dan

krisis-krisis ini tak serta-merta berarti bahwa sang seniman telah berhasil mengalahkan

kekacauan yang memunculkan penderitaan tersebut, bahwa dia telah mencapai sebuah

keberhasilan formal yang berdampak pada dirinya sendiri; kemenangannya itu juga

berdampak pada pendengar atau penonton dengan sebuah kekuatan yang memurnikan

dan sebuah desakan di mana tak akan ada manipulasi yang dimunculkan oleh “bentuk”

(semata-mata sebagai bentuk itu sendiri).

Siapapun yang membuat pendekatan secara tepat terhadap berbagai karya, akan

merasa terinspirasi untuk mengukur hingga sampai pada tuntutan-tuntutannya, bahwa dia

akan memandang hidup dan dirinya sendiri dengan serius, bahwa dia akan sampai pada

sebuah pemahaman akan dirinya sendiri untuk mengatur keadaan di dalam hidupnya,

untuk membersihkan segala yang ambigu dan suram, baik pada dirinya sendiri maupun

lingkungannya, sama halnya yang dilakukan oleh sang seniman (sebagai pencipta karya

tersebut) terhadap hal-hal duniawi. “Keteraturan” sang seniman tampaknya tak sekadar

suatu estetik formal, tetapi juga merupakan sebuah pencapaian moral. Keteraturan tak

bisa serta-merta habis oleh bentuk pengalaman sensualnya. Setiap karya seni yang riil

(sebagai sebuah struktur formal) merepresentasikan penolakan terhadap teori seni untuk

seni. Daya tarik moral dan pesan-pesan kemanusiaan yang disampaikan oleh tidaklah

terdiri dari rekomendasi-rekomendasi istimewa dan menyatakan berbagai larangan,

113
melainkan pada seruan untuk mengadopsi sebuah sikap serius, tenang, dan masuk akal,

terhadap dunia, kehidupan, dan segala sesuatu yang hidup bersama dengan yang

dinyatakan oleh orang-orang lainnya. Seni menantang kita untuk ikut serta dan

melakukan reformasi, tetapi ia tak melakukannya dalam suatu cara langsung atau melalui

bentuk-bentuk konseptual abstrak. Seni memanfaatkan citra-citra konkret yang bisa

diapresiasi oleh indera, sebagai contoh, saat Rilke mendeskripsikan “Torso arkhaik

Apollo” (arkhaik=kuno) sebagai salah satu symbol nilai-nilai dan perintah yang

dipersonifikasikan oleh seni. Kita tak bisa mengukur “kepalanya yang tak terceritakan”

tetapi ia tetap “bersinar bagai kandelabra” (kandelabra=tempat lilin yang memiliki

sejumlah cabang/gagang pegangan); lekuk dadanya membutakan kita dan dalam

“gemulai tubuhnya”, terdapat sebuah “senyuman yang ditujukan di tengah, di mana ia

menampakkan kejantanannya”; batu itu memang tampak jelek, tetapi berkerlap-kerlip

bagaikan “kulit bulu pada dada si mangsa” dan tiba-tiba terbuka “keluar, bebas lepas dari

segala ikatan, bagai sebuah bintang”—“tak ada tempat yang tak menghadap ke arahmu”.

Segala sesuatu menjadi tampak dan terlihat jelas dan transparan. Segala sesuatu berbicara

padamu, tetapi ia hanya berbicara sebagai sebuah bentuk, sebuah kurva, sebagai

perputaran, sebagai kulit bulu yang berkilauan, dan bintang yang cemerlang. Apa yang

dimaksud si penyair dengan semuanya itu adalah ajaran yang terkandung di dalam setiap

karya seni sejati—“kamu harus mengubah hidupmu”—dan ini harus dibaca dimanapun

juga antara baris-barisnya tetapi hanya diucapkan secara langsung pada akhir puisi

tersebut. Tuduhan bahwa kita tak bisa meneruskan hidup dengan cara yang kita jalani

hingga saat sebelumnya, hasrat untuk merealisasikan dalam eksistensi keseriusan kita

114
sendiri, keteraturan, dan pesona dari sebuah karya seperti torso ini, merupakan nilai

tertinggi dari sebuah pengalaman artistik.

Setiap karya seni mewakili sebuah citra dari aspirasi dan gagasan kehidupan.

Setiap masing-masing adalah pemenuhan akan sebuah harapan, semacam legenda atau

utopia, bahkan saat ia melukiskan gambaran eksistensi termurung sekalipun; itu akan

membuka dunia yang lebih bijak, dan bisa dimengerti, sesuatu yang tanpanya akan

menjadi hal yang tak bisa didekati, suatu dunia di mana manusia menjalani kehidupan

yang sesuai dengan keberadaannya sebagai seorang insan, kemampuan-kemampuannya,

beserta seganap kapasitasnya. Bahkan sebuah bentuk seperti tragedi juga dapat

“meningkatkan” hidup, karena di dalamnya terdapat prinsip inkonsistensi dan keperluan,

di mana yang lainnya hanya terdapat ketidakteraturan dan kekacauan. Tragedi pun

memiliki karakter ideal: ia mengkonstruksi sebuah dunia di mana norma-norma yang

tegas, tak berubah, jelas, juga prinsip-prinsip keteraturan yang tak termusnahkan

mendominasi, di mana seseorang beserta seluruh takdir, sekejam apapun itu, dan di mana

perasaan-perasaan, keputusan, dan tindakan-tindakannya tidak bergantung pada

kesempatan, mood, dan perubahan pikiran yang datang sekonyong-konyong. Dalam

tragedi-lah, sifat-sifat yang tak bisa dipertahankan dari teori seni untuk seni dan relevansi

humanistic dan moral seni terungkap dengan paling jelas. Gagasan katarsis yang

mengelilingi tragedi, terletak dalam pengertiannya sebagai sebuah nasihat/peringatan,

yakni “kamu harus mengubah hidupmu”, yang merupakan aksis dari seluruh pokok/arti

artistiknya.

Akan tetapi, hal itu menjadi sesuatu yang dipertanyakan, terutama pada apakah

kita bisa beranjak sejauh berkaitan dengan fungsi praktik seni—daya tarik manusiawi dan
115
pesan sosial sebagai kendaraannya—untuk bisa melihatnya di dalam kualitas estetisnya,

segala sesuatu yang lebih dari sekadar bujukan. Keindahan sebagai umpan semata akan

berkaitan dengan pandangan alam, di mana bunga tampak berwarna-warni dan buah beri

tampak merah supaya bisa memikat kawanan burung dan lebah. Dalam hal ini, Freud

menyederhanakan hubungan antara efek estetik dengan efek praktis yang dimunculkan

oleh seni saat ia menginterpretasi penikmatan artistik sebagai sebuah kenikmatan seksual

yang menempatkan sebuah premi atas kopulasi. Tetapi, saat ia mendeskripsikan

kenikmatan estetik sebagai pra-kenikmatan (Vorlust) yang mempersiapkan jalan bagi

jiwa untuk melepaskan diri dari ketegangan-ketegangan intinya—yang diduga sebagai

tujuan seni—dia tidak menegakkan prinsip, bahwa setiap pengalaman artistik harus

menimbulkan efek yang membebaskan, tidak juga bahwa pengalaman tersebut semata

terdiri dari pra-kenikmatan. Dia hanya sekadar menjelaskan bahwa kenikmatan estetik

bisa memenuhi berbagai fungsi yang bahkan tak diperdulikan oleh subjek kreatif ataupun

reseptifnya. Terlepas dari simplifikasi hubungan antara fenomena-fenomena praktis dan

estetisnya, penjelasan tersebut tidak berbeda secara esensial dari doktin sosiologi seni,

yang menyatakan bahwa seniman itu sendiri tidak selalu sadar akan adanya efek praktis

dari seni yang diciptakannya dan tak mesti bertujuan akan hal itu. Bahwa seni harus

melayani tujuan-tujuan yang ada di luar kualitas estetiknya sendiri, dan bahwa seniman—

secara sadar ataupun tidak—digerakkan oleh motif-motif yang berada di luar lingkup

seni.

Sama halnya dengan materialisme sejarah yang bisa benar-benar berdamai dengan

ketidakcocokan antara nilai-nilai sosial dan estetis, begitu juga halnya dengan

alasan/pijakan yang sama di mana seniman dan masyarakatnya bertemu, yang lebih luas

116
dari sekadar pihak politis atau kelas sosial tertentu yang melingkupinya. Penolakan

terhadap sudut pandang seni untuk seni dan perasaan yang sama akan hic tua res agitur

tidak mensyaratkan bahwa audiens akan mengasingkan dirinya dari pandangan politik si

penulis, ataupun—sebagaimana yang diusulkan oleh Diderot—merasakan solidaritas

kelas dengan karakter yang diciptakan di situ. Adalah humanisme, humanitas, ketulusan

tujuan, perasaan kebertanggungjawaban, dan juga kejujuran intelektual sang penulis-lah,

yang mengizinkannya untuk menaruh minat pada subjek, problematika, dan nasib/takdir

dari karakter-karakternya, yang mungkin (kurang-lebih) juga asing secara sosial baginya.

Memang sejauh itulah sulitnya mendirikan sebuah komunitas, dan mensyaratkan peranan

yang lebih jauh pada sisi penulis, di saat jarak ideologis antara sudut pandang si penulis

dengan ideologis subjek reseptifnya juga semakin lebar. Empati, solidaritas, dan

pemahaman estetis pada sisi masyarakat membentuk sebuah fenomena kompleks yang

tak umum, yang seringkali dihasilkan semata sebagai hasil dari motif-motifnya yang

saling berlawanan. Pembaca, pendengar, atau penonton seringkali harus berjuang dengan

sama kerasnya untuk mencapai pandangan yang layak akan karya tersebut, sebagaimana

yang harus mereka lakukan untuk sampai pada sebuah sikap sosial yang sesuai, atau

perkiraan yang tepat dari kepentingan-kepentingan dan problematikanya sendiri. Seperti

halnya perjanjian sosiopolitis yang dibawa oleh produsen (karya seni) antara aktivitas

propagandistik dan kewajiban ideologisnya, begitu juga halnya dengan simpati yang

dibawa oleh subjek reseptif antara solidaritas kelas tak sadar dan kesadaran yang tak

terhitung, atau kecenderungan-kecenderungan, aspirasi, dan tingkatan kehendaknya yang

terendah yang sifatnya setengah-sadar. Baik penghasil maupun penikmat sebuah karya

tergabung bersama secara ideologis dalam sebuah cara yang kurang-lebih bersifat

117
ambigu, dan jaringan ini sering diperbolehkan untuk menegaskan dirinya sendiri hanya

dalam alasan resistansi internal dan eksternal yang kuat.

Akan tetapi, jika suatu ideologi tertentu (bahkan jika ia disembunyikan atau

ditekan) akan tampak kentara di balik setiap kreasi artistik, kita bisa membahas perjanjian

hanya saat sang seniman berdiri secara sadar (dan tanpa oposisi inti) di atas sebuah cita-

cita sosiopolitis. Dia—tanpa dakwaan apapun—boleh jadi menghasilkan propaganda bagi

berbagai kepentingan yang berbeda-beda, yang mungkin beberapa di antaranya benar-

benar asing baginya, dan dia boleh jadi secara sadar memalsukan kebenaran atau

membengkokkan keadilan. Dia terikat hanya saat ia mengidentifikasikan dirinya dengan

ideologi yang ia tegaskan dalam karyanya. Identifikasi ini mungkin merupakan hasil dari

sebuah hubungan-rumit yang ekstrim, antara faktor-faktor yang bertentangan, betapapun

ambigu sudut pandang finalnya, dengan identifikasi pembaca dengan karakter-karakter

dalam sebuah drama atau novel, bergantung pada kompleksitas dan motif-motif

antagonisme-nya yang serupa. Interpretasi pembaca sering bergerak, dari suatu level ke

level yang lain; di mana pada setiap level kesadaran yang dikembangkan dengan lebih

tinggi, mungkin akan terdapat sejumlah aspek yang berbeda. Mungkin Machbeth adalah

seorang pembunuh yang menjijikkan, sedangkan Othello adalah si bodoh yang egois,

Lear adalah si tua tolol, Hamlet seorang sadis yang berbahaya, sementara Antony adalah

alat permainan (bulan-bulanan) seorang sundal; tetapi mereka semua merupakan sosok-

sosok ideal, penjelmaan dari kekuatan tak tertolak dari sebuah kehendak tetap, contoh

dari kesetiaan pada sebuah penyebab, betatapun penyebab itu bisa dipertanyakan dan

seberat apapun penyebab itu terbebani olehnya sendiri. Hubungan antara produsen dan

konsumen (karya seni) berkembang menjadi semakin rumit pada saat simpati dan

118
solidaritas ideologis saling berkonflik. Kaum borjuis yang keras kepala mendapati para

penulis seperti Stendhal, Flaubert, Baudelaire, Proust, dan Kafka sebagai orang-orang

yang menjijikkan; tetapi, di atas semua perbedaan mereka, masing-masing penulis

tersebut tetap terikat erat dengan kaum borjuis itu sendiri; tak satupun dari mereka yang

bisa benar-benar berhasil menyangkal ideologi borjuis mereka.

Salah satu alasan mengapa solusi fundamental terhadap permasalahan seni untuk

seni menjadi suatu hal yang sulit, terletak pada fakta bahwa seni memang berbeda dengan

sendirinya dalam kaitannya dengan jangkauan-jangkauan wilayahnya yang mungkin,

sarana ekspresi mereka, juga fungsi sosialnya. Kepentingan-kepentingan, pendirian,

komitmen, dan usaha-usaha yang diekspresikan tanpa banyak keributan di dalam sastra

juga bisa dieskpresikan dalam seni murni, dan terutama dalam musik, hanya saja secara

tidak langsung, dan seringkali dalam cara-cara fragmenter yang tak umum. Meski

demikian, perbedaannya hanya merupakan salah satu derajatnya saja. Karena, sama

halnya sastra yang mengandung elemen-elemen yang sekadar memiliki fungsi dan

elemen dekoratif yang murni, tidak pasti, serta membangkitkan ingatan (yang sifatnya

konseptual dan bisa dikomunikasikan segera), maka begitu pun juga halnya yang

terkandung di dalam musik, di sepanjang komponen-komponen formalnya, yang tak

terdefinisikan secara konseptual, selain dari yang beranjak melampaui batasan-batasan

formal dan yang jelas-jelas mengandung makna manusiawi. Benar, bahwa ada sejumlah

komposisi instrumental yang secara langsung bisa dikaitkan dengan suatu permasalahan

tertentu, dan hal ini (jarang) menjadi yang terbaik darinya. Musik, sudah pastinya

mengekspresikan suatu emotivitas tertentu ketimbang emosi-emosi khusus, dan kita tak

perlu menunggu perkembangan libretto (kata-kata nyanyian) untuk mengetahui apa yang

119
akan dihadirkan oleh sang komposer. Dalam Fidelio, contohnya, kuartet G-mayor dari

babak pertama telah menampakkan sublimitas karya tersebut.

Selain itu, bagi seorang master sekelas Beethoven, sebuah komposisi yang

mentransendensikan bentuk tak harus selalu berupa sebuah opera. Stravinsky menyatakan

bahwa peran Napoleon dalam Eroica bersifat murni eksternal, dan bahwa Beethoven

mungkin saja telah terinspirasi untuk menggubah karya serupa dengan motif yang

berbeda. Tidak juga monarki absolut ataupun Persekutuan Suci dengan konsep kebebasan

mereka yang tak-mencukupi, juga gagasan-gagasannya (akan hak asasi manusia) yang

dipertanyakan, yang bisa memunculkan karya serupa ini. Siapapun yang tidak sadar akan

adanya latar belakang dari penciptaan komposisi Eroica tidak bisa sampai padanya,

hanya sekadar dari struktur musiknya saja; akan tetapi, Revolusi dan Napolen tak cuma

menjadi milik sejarah karya seni itu, tetapi juga milik prasyarat bagi keadaan artistiknya.

Diketahui atau tidak, fakta-fakta politik berada sebagai basis bagi upaya mental dari

mana karya itu lahir. Setelah kita menyadari hal ini, tak akan ada lagi keraguan bahwa

mereka memainkan peranan yang menentukan dalam mengaitkan elemen musik dengan

elemen-elemen nonmusikal, bahkan jika mereka bukan satu-satunya pendorong bagi

penciptaan karya seni tersebut.

120

Anda mungkin juga menyukai