xvii – xxi)
Pendahuluan
hubungan secara sistematis, dan merupakan representasi terpadu dari sosiologi seni yang
dalamnya dewasa ini. Meski demikian, hal itu bukanlah sesuatu yang “menghabiskan
tenaga”, karena tindakan semacam itu tentunya mensyaratkan totalitas pandangan yang
hanya akan bisa dicapai melalui sebuah sudut pandang imajinatif artistik. Oleh karena
seni (dengan mengutip salah satu karya saya sendiri) selalu berada dalam konteks
pencapaiannya sendiri (sementara sains senantiasa berputar-putar pada keadaan yang tak
pernah ada penyelesaian tuntasnya), pernyataan bahwa diskusi yang terdapat di sini
merupakan yang pertama-tama muncul darinya, itu tidak berarti bahwa berbagai
permasalahan sosiologi seni telah diabaikan pembahasannya hingga saat ini, atau bahwa
hal-hal tersebut telah ditolak tanpa mempertimbangkan hasil penelitian yang masuk akal.
Terdapat perlakuan tak terhingga, baik yang sifatnya monograf maupun perlakuan
terhadap bagian-bagian dari karya yang lebih luas, yang sebagiannya sangat informative
(bahkan tak akan bisa dihindari pembahasannya), sehingga karya yang ada di hadapan
Anda saat ini tak akan mungkin terselesaikan tanpanya; bahkan, mungkin saja tak akan
pernah ada tanpanya. Penulis merasa sangat berhutang pada tulisan-tulisan Diderot,
Lessing, Mme de Staël, Marx, dan Hegel, juga pada tulisan-tulisan para kritikus maupun
Wilson, Walter Benjamin, Georg Lukács, dan Adorno hingga sampai yang sekarang ini—
1
di mana prosesnya mengalami keterputusan dari waktu ke waktu, namun tidak pernah
benar-benar terputus.
Sama halnya dengan berbagai usaha yang telah ditempuh hingga sekarang ini,
karya ini pun tidak bermaksud untuk menawarkan solusi final yang tak terbantahkan, atau
solusi yang tak akan pernah berubah, terhadap berbagai permasalahan yang ada.
Sebaliknya, karya ini mencakup hal-hal yang masih kurang (karena setiap upaya untuk
mendapatkan solusi merupakan suatu kebutuhan yang diperoleh dari sudut pandang
khusus yang terkondisi secara sosial maupun historis, dan berbagai sudut pandang yang
muncul dalam cara ini membentuk sebuah spiral dan lingkaran di sekeliling objek yang
tengah diamati, ketimbang membuat sebuah garis lurus darinya). Seperti halnya berbagai
upaya mutakhir yang secara objektif memiliki kisah prasejarah yang panjang dan berliku-
liku demi mencapai simpulan dalam sejumlah fase perkembangan independen, sebegitu
dan diklarifikasi secara bertahap. Karya-karya saya yang sebelumnya, mewakili berbagai
kajian, persiapan, dan pendahuluan terhadap jawaban akan pertanyaan utama tersebut.
Tetapi, hal ini muncul berkaitan dengan pekerjaan saya pada sebuah perusahaan
korporasi film, dan dalam pengaruh sebuah peristiwa di mana sejarah—sejak permulaan
kelahiran seni baru yang (oleh karena saya harus mempublikasikan film-film tersebut)
dapat saya amati dalam kondisi serupa laboratorium. Tugas dalam menilai hubungan di
antara produksi dan resepsi sejak semula telah menempatkan hasil penelitian dalam
wilayah sosiologi. Hasil penelitian tersebut awalnya tergabung dengan basis pengalaman
dan persepsi yang selalu tertidur dalam waktu yang cukup lama dan yang hanya digali
2
dan dipakai setelah lewat bertahun-tahun lamanya. Semula saya hanya tertarik untuk
mengkaji seni yang justru sangat jarang terkait dengan masyarakat: ketertarikan saya
akan hal itu murni formalistik, dalam konteks prinsip Wölfflin dan dalam kurun waktu
yang cukup lama, sudut pandang estetik saya tetap seperti semula, berkenaan dengan
signifikansi formalisme dan kurang terbatasnya validitas realisme dalam seni, yang
disebut Chekhov, dalam salah satu karyanya—cara berkisah mot (dengan menggunakan
kata-kata atau kalimat yang tepat) yang luar biasa, di mana kita telah membantu orang
lain hanya dengan cara menunjukkannya—apapun hasil yang akan keluar dari proses
tersebut—sebagai hal-hal yang menjadi ciri-ciri alamiahnya. Semula hal itu hanya
merupakan salah satu bahasan dalam buku saya, yang kemudian terwujud dalam The
Social History of Art dan yang telah menyita waktu dan energi saya sepanjang tahun 1940
hingga 1950, sehingga saya menjadi lebih sadar akan adanya implikasi penuh terhadap
fakta-fakta sosiologis pada perkembangan sejarah seni. Namun konsepsi, pilihan materi,
dan pengorganisasian buku ini jelas-jelas sederhana dan tentu saja tidak selalu konsisten
sebuah kelompok kerja, yang tentu saja tak terkait dengan hasil penelitian. Dalam jalan
lain, banyak hal lainnya yang muncul dari sekadar niat maupun harapannya semula. Pada
awalnya, proyek ini berangkat dari sebuah pertanyaan yang tak lebih dari sekadar sebuah
pendahuluan ekstensif terhadap antologi yang akan dikumpulkan dari berbagai tulisan
mengenai fungsi sosial seni dan karya tersebut, dan jika mungkin, ditujukan untuk
3
tampak bahwa selain dari laporan-laporan fragmenter yang lebih singkat dan bervariasi
nilainya, tak ada lagi karya ekstensif terhadap subjek penelitian. Bahwa hal itu boleh
dikatakan hampir seluruhnya menawarkan dirinya, sebagaimana yang disebut oleh L’art
bahwa sang penulis tak akan mengatakan apa-apa lagi mengenai subjek yang
didiskusikan selain dari apa yang sudah tertera di dalam judul. Hal itu juga menunjukkan
bahwa sebuah sejarah berkelanjutan dari teori sosiologi seni bukanlah sesuatu yang bisa
muncul begitu saja: awalnya hal itu pun merupakan hasil konstruksi. Komponen-
komponennya harus diambil dari keseluruhan perkembangan seni dan budaya, dan dari
fragmen-fragmen ini bisa dibuat sebuah jalinan yang hampir seluruh bagiannya
sebuah karya dua-jilid yang setiap lima ratus halamannya memunculkan dan
penyusunan karya selanjutnya. Memang sudah tiada lagi ruang untuk sebuah pengantar
yang akan menjelaskan mengenai prinsip-prinsip metodologis, yang menjadi dasar bagi
“pengantar” yang sangat luas ini. Hal semacam itu harus dikesampingkan sebagai kajian
lebih lanjut, dan setelah dibuat pertimbangan sejarah-filosofis yang lebih tajam, yang
dulunya dipublikasikan dengan judul The Philosophy of Art History (1958) dan
(Modern Methods of Viewing Art). Di sinilah untuk pertama kalinya saya mendefinisikan
dan batasan-batasan sosiologi seni dari pondasi ideologis dari sasaran-sasaran, dari
4
pergerakan dalam hal rasa dan gaya (style), dari sudut pandang artistik, dari kontradiksi
sudut pandang sosiologis dan psikologis yang menjadi sandaran dibuatnya penilaian
estetik, dari sebuah fiksi “sejarah seni tanpa nama”, dan juga dari perkembangan seni
yang sifatnya imanen dan endogenik, yang pada akhirnya menjadi asal-usul dan
perkembangan konvensi, yang tetap bersifat fundamental hingga sampai pada konstruksi
permasalahan sosiologis seni, saya rasa akan lebih baik jika saya menyibukkan diri
dengan sebuah permasalahan sejarah seni tertentu secara lebih menyeluruh. Hal yang
menjadi perhatian saya adalah penjelasan pertama mengenai konsep stilistik dari kriteria
dan berbagai komplikasi perubahan gaya pada suatu zaman, saat terjadi salah satu krisis
seni yang paling serius, pelebaran yang disebut dengan mannerism (suatu aliran seni dan
arsitektur yang muncul sebagai aliran dominan di Itali pada akhir abad ke-16, yang
ditandai dengan bentuk terstilisasi dan warna-warna yang hidup), dalam perkembangan
yang berlangsung antara zaman Renaisans dan Barok, yang (seperti halnya krisis seni
masa kini) tampaknya mengancam banyak pihak dengan jatuhnya seni. Karena buku
yang saya tulis mengenai hal ini, yakni yang berjudul Der Ursprung der modernen Kunst
und Literature: Die Entwicklung des Manierismus seit der Krise der Renaissance (1964)
[The Origin of Modern Art and Literature: The Development of Mannerism since the
Crisis of the Renaissance], menaruh perhatian pada konsep gaya, maka seni murni pun
menjadi kajian utamanya, terutama karena penciptaan dan perubahan stilistik merupakan
aspek yang paling nyata dalam sejarah seni. Akan tetapi, hal-hal itu tidak lagi mendapat
perhatian atau posisi khusus dalam buku ini ketimbang dalam buku-buku yang lain.
5
Dalam Sociology of Art terkini, orang mungkin bahkan mempertanyakan (lantaran daya
tariknya yang lebih frekuen dalam aspek ideologis ketimbang dalam aspek wujudnya), di
mana kita bisa membahas tentang predominansi literatur: ini mungkin akan menjadi
sesuatu yang sama-sama tak berdasarnya, seperti halnya asumsi atau prasangka yang
mengarahkan saya dalam penyusunan tulisan ini, lebih lanjut harus saya akui bahwa
sosiologi bagi saya selalu menjadi alasan untuk memandang seni dari suatu sudut
baru atau berkekurangan. Dalam konteks terkini, yakni bahwa dari sudut pandang
semacam ini, segala sesuatu yang berpijak pada hubungan-hubungan yang masuk akal
pada objek diskusi yang bisa diikutsertakan, kita bisa menyebut karya itu—berdasarkan
bentuknya—sebagai sebuah esai, kecuali sejak semula kita memang telah merasa
The Sociology of Art sebagaimana yang hadir sekarang ini didasarkan (dalam satu
hal maupun hubungan lainnya) pada karya-karya saya yang telah diterbitkan sebelumnya.
tentunya membentuk landasan yang lebih tepat bagi pengujian yang baru dan ekstensif
ini, yang paling mungkin untuk dilanjutkan di dalam keadaan yang tengah berlangsung.
Namun, beberapa konsep fundamental yang telah dipertahankan secara esensial di dalam
yang dengan pasti mengungkap bahwa sudut pandang final tidak akan mungkin bisa
dicapai tanpa modifikasi semacam itu. Di antara berbagai modifikasi tersebut, dan di atas
6
semuanya itu, adalah perbedaan antara Marxisme teoritis dan politis, dalam antitesisnya
munculnya prinsip heretis, bahwa kita mungkin sepaham dengan Marxisme sebagai
sebuah filsafat sejarah-dan-masyarakat, tanpa harus menjadi seorang Marxis dalam artian
aktivis politis, tentunya, juga tanpa harus menjadi penganut paham sosialis dalam
pandangan yang lebih sempit. Landasan yang lain adalah bahwa interpretasi “teoritis”
Marxis dari beban metafisik yang terikat pada prognosis “masyarakat tanpa kelas”.
berkenaan dengan teori materialisme historis. Bahwa segala bentuk ideologi dan sikap
intelektual yang terkondisi secara ideologis dan terbentuk secara material—dan oleh
sebab itu, secara sosial dan ekonomi—akan mampu bertahan secara alamiah. Akan tetapi,
terdapat penekanan lebih terhadap sudut pandang yang telah disebutkan sebelumnya:
terdiri dari konstituen material dan interpersonal, tetapi juga dari konstituen intelektual,
asumsi yang disebut sebagai mediasi, terhadap jarak sikap dan tindakan yang berbeda
bertahap terhadap jarak pergerakan tersebut (yang menurut dugaan umum) bersifat
objektif dan subjektif secara simultan, berangsur-angsur, dan tak terduga: yakni, secara
7
Representasi proses yang ada sekarang ini berbeda dari pendahulunya, dalam artian
bahwa representasi itu menyatakan konsep mediasi yang tengah diperbincangkan sebagai
sebuah fiksi, dan menerjemahkan setiap langkah dari hal yang serupa itu, betapapun
singkat dan sementara, sebagai sebuah lompatan yang mengarah pada sesuatu yang baru,
tanpa menyangkal fungsi awalnya sebagai sebuah batu loncatan. Tahapan yang tampak
dari transisi di antara fase-fase perkembangan suksesif pada teori yang terdahulu muncul
dari jarak yang cukup besar dari mana proses tersebut dipandang. Perubahan pada suatu
bentuk kesadaran menuju bentuk lainnya tidak berbeda secara signifikan menurut
kompleksitas sikap intelektualnya. Jarak antara kebiasaan dan adat dari dua periode
sejarah secara berturut-turut hampir tidak kurang besarnya dari jarak antara norma-norma
moral maupun legal. Perkembangan dalam hal-hal itu dalam berbagai kasusnya tidak
baru—jika tidak mengalami perubahan secara tegas. Proses pemikiran maupun metode
kerja seluruhnya tetap bersifat dialektis dalam pemahaman ortodoks: namun relevansi
dialektis tersebut terkadang meluas maupun menyempit. Sedari awal, kita harus
memahami sosiologi sebagai doktrin dialektis yang murni dan sederhana, karena
pemikiran yang terkait dengan perkembangan historis dan yang mendasari norma-
normanya kurang lebih berorientasi dialektis secara esensial. Sikap-sikap yang terkondisi
secara historis seringkali lebih terlibat dengan jelas dalam dialektik antinomy, juga dalam
konflik maupun rekonsiliasinya, alih-alih terlibat dalam proses berpikir yang terkait
dengan praktik maupun tindakan yang terwujud secara kritis. Akan tetapi, tidak semua
hal yang terjadi bersifat historis dan dialektis; banyak darinya yang semata bergerak ke
8
arah diskursif yang kontinu, yang sekadar membedakan sudut pandangnya yang
terdahulu. Dialektika itu sendiri bahkan tidak memperluas pembahasan pada seluruh
wilayah yang disebut sebagai suatu hal yang historis. Ada tahapan perkembangan yang
tidak bersifat dialektis secara alami dan yang mengarah pada konstelasi, di mana berbagai
kemungkinan yang muncul tidak berlawanan satu dengan yang lain, namun bercabang-
cabang dan memungkinkan kita untuk membuat pilihan di antara dua alternatif yang ada.
darinya harus dipilih sebagai sebuah antinomy, namun sebuah perkembangan signifikansi
yang tegas akan terjadi hanya jika berbagai antinomy tersebut memaksa kita untuk
Catatan Penerjemah:
Antinomy adalah hasil paradoks, yakni simpulan yang sifatnya kontradiktif dan tidak
logis, yang dihasilkan oleh dua fakta atau pernyataan yang tampak sama-sama benar
Arnold Hauser
Maret, 1974
9
(Hal. 3 – 17)
Bagian 1 LANDASAN
Apa yang dipahami sebagai totalitas kehidupan di sini adalah hubungan langsung
dari proses ada dan mengada, di mana manusia terlibat di dalamnya, dengan segenap
semacam itu muncul sebanyak dua kali dalam seluruh bidang aktivitas manusia: yang
pertama adalah di dalam warna-warni dan keruhnya kompleks eksistensi keseharian yang
tak terpecahkan, dan yang satunya adalah dalam wujud homogenitas tunggal seni.
alamiahnya yang konkrit dan sensual, yang tampak dengan jelas dalam segala
manifestasinya. Dibandingkan dengan kontinuitas tak terputus, tak terbedakan, dan tak
diatur yang ada pada keseharian kehidupan, atau dibandingkan dengan imanensi seni
(yang bersifat konkrit, memanjakan pancaindera, dan mampu mencukupi dirinya sendiri),
wujud-wujud semacam itu selalu menghasilkan efek keadaan yang lebih maupun kurang
tak sempurna, dan bersifat abstrak, yang diambil dari makhluk hidup dan berbagai
pengalaman personalnya.
sistematis, sosial, dan moral. Dalam rangkaian waktu, proses peminjaman ini cenderung
untuk melipatgandakan diri. Hal-hal yang bersifat konkrit, heterogen, dan teratomisasi
dari pengalaman praktik-praktik yang wajar tersebut menunjukkan pada segala sisi, akan
Akan tetapi, terlepas dari intrusi prinsip-prinsip yang asing bagi kehidupan tersebut, hal
dari wujud aslinya, serta menentang adanya regulasi dan sistematisasi. Alih-alih, hal itu
mewakili kompleksitas dari begitu banyak aspek, yang di dalamnya terkandung elemen-
elemen konkrit dan spontan yang selalu menonjol, namun dari dalamnya juga, abstrak
dan fungsi reflektifnya tak pernah hilang secara keseluruhan. Dari segala wujud
kesadaran, seni adalah satu-satunya hal yang sejak semula menentang segala bentuk
sensitivitas). Seni menolak segala sesuatu yang semata bersifat pemikiran, sistem,
maupun generalisasi, juga segala sesuatu yang bersifat ideal maupun murni intelektual.
Seni berupaya untuk menjadi objek visi langsung, kesan sensual sejati, dan pengalaman
nyata.
berhubungan dengan totalitas kehidupan yang konkrit, praktis, dan tak terpisahkan. Juga
selama hal itu menjadi kendaraan ekspresi dan medium empati bagi “keseluruhan
persona”, dan selama mampu merangkul jumlah pengalaman yang berasal dari praktik
11
manusia dari totalitas kehidupan—proses dinamik di mana subjek kreatif maupun
reseptifnya tak terpisahkan dari dunia, juga dengan kehidupan nyata yang sungguh-
sungguh ditinggalinya. Bahwa bukanlah karya seni yang objektif dan terobjektivikasi
yang memisahkan dirinya dari subjek, yang sesudahnya bisa diamati, diinterpretasi, dan
pengalaman serupa, yang terhubung dengan keberadaannya dan terlibat dalam seluruh
eksistensinya, yang akan mampu menjadi nilai emosional sejati terhadap individu dan
memiliki kualitas pembentuk dan peningkat hidup. Karya seni di dalam dirinya sendiri—
sebuah keretakan dalam proses estetik hidup, dan hal ini merupakan hal yang tak
pencerapan dan nilai, dan dihapus dari fungsi yang telah diputuskan sebagai peran dalam
kehidupan seseorang. Dalam pemenuhan diri dan isolasinya, karya seni akan berakhir
sebagai mainan yang tak berguna, betapapun memesonanya, dan akan kehilangan makna
Seni akan mencerminkan realitas secara penuh (terutama dalam caranya yang
yang paling nyata. Untuk sejumlah hal di mana seni menolak hal-hal tersebut,
penetrasi langsung dan bukan dari keberlimpahan tiada akhir dari karakteristik-
12
sensualitas penuh seni, juga keseluruhan mutlak, dengan mana, seni (berkat “batasan
diwarisi dari tiap-tiap bagiannya. Kekuatan individu akan sebuah karya seni merupakan
suatu hal yang sifatnya serupa dengan totalitas dan kesatuannya; masing-masing darinya
telah mengalami kejenuhan dengan hidup, dengan mana struktur keseluruhannya telah
terisi. Oleh karenanya, sementara sains kehabisan tenaga dalam “totalitas ekstensif” yang
dikejarnya (kapan dan di manapun juga), seni justru bisa mencapai tujuannya di manapun
realitas yang ia cerminkan. Itu sebabnya, tidaklah benar jika dalam konteks seni, tak ada
melainkan bahwa apapun perubahan ataupun peringkasan yang mungkin dibuat, karya
tersebut mampu mempertahankan vitalitas total dan kesatuan intinya, dan akan tetap
Wawasan seni terpenting ditilik dari sudut pandang sosiologi seni adalah
wawasan yang didasarkan pada fakta bahwa seluruh pemikiran, perasaan, dan kehendak
kita diarahkan pada satu dan realitas yang sama—bahwa, pada dasarnya kita selalu
dihadapkan pada fakta-fakta, pertanyaan, dan kesulitan yang sama, dan bahwa kita semua
permasalahan akan eksistensi yang menyatu dan tak terpisahkan. Apapun yang kita
lakukan, dan dalam bentuk apapun itu, kita selalu berupaya untuk memahami dengan
lebih baik, akan sebuah realitas yang (dalam segala maksud maupun tujuannya) bersifat
kacau-balau, penuh teka-teki, dan seringkali mengancam, untuk menilainya dengan lebih
13
akurat dan menghadapinya dengan berhasil. Segala upaya kita berkisar pada tujuan ini,
dan kesuksesan kita dalam kehidupan ini bergantung terutama pada akurasi penilaian kita
terhadap berbagai kondisi keberadaan dan evaluasi kita terhadap permasalahan yang ada
padanya. Kita mencobanya di dalam seni, sebagaimana yang kita lakukan di dalam
praktik-praktik wajar dan dalam pengetahuan seseorang, untuk menemukan sifat dasar
dunia yang dengannya harus kita hadapi dan bagaimana kita bisa paling bertahan di
dalamnya. Karya-karya seni adalah simpanan dari berbagai pengalaman dan diarahkan
dilakukan upaya-upaya khusus dan dalam kondisi sosiohistoris yang khusus pula, seni
bisa dipisahkan dari hubungan eksistensial di mana ia berakar. Dan hanya dalam
keadaaan-keadaan khusus saja ia bisa dipisahkan dari praktik general dan noesis
(karakteristik) yang terpadu dengannya. Barulah kemudian seni bisa dinilai dan ditangani
sebagai sebuah aktivitas independen yang memiliki hukum dan nilai-nilainya sendiri.
Seni sama sekali tidak terpisah secara radikal dari pengalaman praktis dan pemahaman
teoritis, sebagaimana kita cenderung memahaminya. Baik seni maupun sains menaruh
perhatian pada pemecahan masalah yang timbul dari tugas-tugas, penderitaan, maupun
berbagai kebutuhan hidup dan yang berkisar di seputar perjuangan eksistensi; dan oleh
sebab itu, keduanya (seni dan sains) membentuk sebuah elemen yang tegas, dan pada
dan mengambil alih pada suatu pokok (di mana pengetahuan yang lebih mendalam bisa
14
diperoleh darinya) hanya di sepanjang jalur-jalur yang tak bisa ditelusuri di luar seni.
Melalui seni-lah kita bisa menuju pada pemahaman yang memperluas pengetahuan kita,
misalnya saja, uraian berbagai hubungan spasial atau wujud-wujud stereometrik sebuah
lukisan tidak selalu bersifat valid, selama kealamiahan visualnya tetap terjaga, lukisan itu
tidak mengandung informasi yang terlampau jauh melebihi signifikansi teori dari
yang dihasilkan oleh seni terkait dengan berbagai fenomena (yang karena kurangnya
sarana, hanya bisa diinvestigasi oleh sains) merupakan suatu hal yang benar-benar
jalan bagi investigasi ilmiah. Tak diragukan lagi, inilah yang ada dalam benak Marx saat
karya-karya Balzac, ketimbang dari buku-buku sejarah yang ia lahap sepanjang hidupnya.
Tentu saja, bukan fakta-fakta sejarah yang dimaksud oleh Marx, melainkan analisis dari
mana sejarah kontemporer dan ilmu pengetahuan sosial tak mampu memahaminya
dengan baik—dan oleh karenanya, tidak memiliki aparat konseptual yang memadai. Di
sisi lain, Balzac menyadari adanya kekuatan dan hukum gerakan yang terdapat dalam
fakta-fakta sejarah, yang barulah kemudian diformulasikan dan dijelaskan secara ilmiah.
Ini pula yang menegaskan, bahwa permulaan era novel modern dan landasan sosiologi
(dalam pengertian modernnya) menemukan titik temu, dan bahwa seni dan sains
mempunyai nilai-nilai dan bahasa yang sama, yang kemudian menjadi bukti bahwa
15
imajinasi terliar seorang seniman sekalipun tak akan terlalu ‘kelewat/keluar batas’ dan
Tak ada yang lebih kentara, bahwa seni (sebagai seni itu sendiri) berawal dari
sebuah titik di mana ia menyimpang dari kebenaran-murni sains. Seni tidak berangkat
dari sains, pun tak akan berakhir sebagai sains. Alih-alih, ia lahir pada permulaan
berada sejajar dengan sains, dan yang kelak akan berakhir pada jalur yang sama, yakni
menerjemahkan sekaligus memandu keberadaan manusia. Akan tetapi, jika karya seni
(sebagai sebuah wujud) selalu berhasil mencapai tujuan-tujuannya, tidak demikian halnya
Seni dan sains terkait erat terutama karena keduanya—dari seluruh struktur
yang lain, kurang lebih dengan sadar mengubah berbagai fenomena menjadi persoalan
mengidealisasikan realitas, sama halnya ketika sains yang sifatnya paling eksak
tetap terikat pada realitas objektif, atau fakta-fakta sahih yang terkandung pada praktik
vital normal. Dalam hal ini, seni pun menjadi sama realistisnya dengan sains. Sudah tentu
hal ini tak berarti bahwa tidak didapati adanya ketegangan antara visi artistik dengan
realitas empiris, atau bahwa jarak antara subjek kreatif dan fakta objektif perlu disangkal.
Hal itu semata menunjukkan bahwa seni merupakan suatu hukum yang—betapapun
struktur secara keseluruhannya telah diutak-atik sehingga bersifat fantastis, atau absurd—
16
elemen-elemen penyusun karya seninya berakar dari dunia pengalaman nyata, dan bukan
dari dunia ide yang sifatnya supersensual ataupun supernatural. Adalah suatu fakta yang
pertama dengan novel-novelnya ber-genre naturalis, juga sebagai pakar dalam realisme
artistik, dalam pengertian yang sering dirujuk oleh Marx dan Engels) sering
karakter, fisiognomi, bentang alam, dan interior yang ia klaim pernah diobservasinya
dalam kehidupan nyata. Meskipun demikian, metode Balzac ini menggunakan teori
Engels sebagai paradigma atas “kejayaan Realisme” dan sebagai sebuah tipikal
“kecerdasan” dengan bantuan kebenaran yang mampu ditembus seni lewat pintu
terhadap realitas, yang bersifat tak terreduksi dan tak bisa dibandingkan antara satu
bahwa dalam refleksi ilmiah akan realitas, representasi fakta lebih dapat dipercaya,
ketimbang dalam refleksi lainnya, yang mungkin akan dijelaskan kurang-lebih sebagai
tentang dunia tidaklah lebih mendekati kenyataan ketimbang konsepsi artistik, dan bahwa
seni itu sendiri (sebagai sebuah prinsip) tidak lebih jauh menetapkan dirinya sendiri dari
realitas dibandingkan dengan sains. Namun, jika kita menengok peranan konstitutif dari
berbagai kategori subjek pembeda yang terdapat pada pengetahuan ilmiah, kita
cenderung menaksir terlalu tinggi elemen kreatif, dan sebaliknya, menaksir terlalu tinggi
elemen mimesis dalam seni. Unsur kesadaran seni dalam semua objektivisasinya
17
menghadapi sebuah realitas independen, yang (meskipun demikian) tetap benar-benar
bersifat independen. Namun, tidak terdapat bentuk kesadaran di mana realitas tetap
bersifat “bebas” dari berbagai pelekatan kategori. Bahkan saat kita mungkin
dibandingkan dengan bentuk lain, kita lebih sering membahasnya atas nama moralitas
dan hukum, ketimbang sebagai seni itu sendiri. Terlepas dari segala bentuk fantasi dan
meski dalam cara yang berbeda. Struktur-struktur seni selalu dibangun dari susunan-
susunan realitas, bahkan meski rancangannya telah dipisahkan dari realitas. Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Brecht (dalam Uber Lyrik), “Tak ada yang mencegah Cervantes
dan Swifts, betapapun realisnya mereka, untuk melihat prajurit yang sedang bertempur
di atas kudanya, dengan latar kincir-kincir angin, juga kuda-kuda yang pulang kembali
yang bebas-lepas, seni pun seakan memiliki kebutuhan untuk selalu berpijak pada fakta
Tak ada yang lebih signifikan ketimbang peranan yang dimainkan oleh realisme
di dalam seni, dibandingkan dengan titik tolak dalam penciptaan A la recherché du temps
perdu karya Proust, di mana realitas diyakini penulisnya sebagai pemegang peranan
utama dalam keseluruhan karyanya. Itu terjadi saat Proust (setelah bertahun-tahun
menelusuri dan mencari-cari) menemukan apa disebutnya sebagai “realitas sastra”, dan
tiba-tiba ia menjadi sadar akan kemampuannya untuk menangkap dan berpegang teguh
pada realitas ini. Pada dasarnya, hal semacam ini merupakan sebuah pertanyaan yang
18
muncul dari sebuah penemuan dan pencatatan akan berbagai kesan yang sebenarnya
sangat sederhana namun juga vital, yang sifatnya membingungkan karena usikannya
yang sensual, juga karena teka-tekinya yang konseptual. Kesan-kesan itu merasuki Proust
semasa ia masih belia, dan selalu memunculkan perasaan yang mengganggu sekaligus
membahagiakannya, di mana ia merasa telah mengalami sesuatu yang tak bisa dijelaskan
dengan kata-kata. Dia seolah merasa turut serta dalam pengalaman yang sangat berharga,
yang akan menjadi bahan pertimbangannya, baik dalam apresiasi maupun penggambaran
menuliskannya (terutama karena menyadari bahwa ia tak becus dalam bidang lainnya),
dan secara esensial ia merasa bahwa apa-apa yang ada di dalamnya berfungsi untuk
dilihatnya di Hudimésnil, tak jauh dari Balbic, juga barisan puncak menara gereja di
perjalanan menaiki kereta, dan—sebagai aspek yang paling menonjol dari seluruh
pengalaman itu—rasa kue Madeleine yang dicelupkan ke dalam secangkir teh. Adalah
sebuah pertanyaan juga, untuk menemukan dari mana perasaan “sejahtera” yang tak
berkesudahan itu bermula, yang terhubung dengan cerapan-cerapan itu. Yang mana yang
tersembunyi, yang kesemuanya pasti ada di dalamnya, sehingga terasa begitu signifikan
dan menjanjikan. Tahun-tahun penuh kegelapan mengikuti periode saat Proust mendapati
untuk mengenyahkan semua itu dari ingatannya, tahun-tahun yang dilalui dengan
penderitaan tanpa suara, tanpa rasa, dan tanpa tujuan. Dan tiba-tiba terbukalah sebuah
19
pintu yang sebelumnya telah ia ketuk ribuan kali dengan sia-sia. Mendadak ia bagai
dibanjiri dengan perasaan “penuh”, disergap oleh realitas hal-hal tersebut. Ia dikuasai
oleh kejutan, bahwa ketinggian yang berbeda dari dua batu-jalan bisa menyulap dan
menghadirkan kenangan akan Venesia, di sepanjang trotoar gereja baptis Saint Mark,
juga bagaimana suara denting sendok di atas piring bisa mengingatkannya akan suara
palu yang diketuk-ketukkan di sepanjang rel kereta api, dan demikian membuat ia
terkenang akan stasiun-stasiun nun jauh di sana yang pernah disinggahinya selama
kakunya rajutan handuk tangan yang pernah ia gunakan bertahun-tahun silam saat berada
di sebuah hotel di tepi laut. Sebuah memori yang terisi dengan realitas yang begitu
menusuk perasaan itu mampu membentangkan sebuah pemandangan akan lautan biru-
kehijauan yang terhampar di depan matanya pada saat itu. Kini Proust telah mencapai
tingkatan yang dulunya tak pernah berhasil diraihnya, yakni tingkatan sebagai seorang
seniman yang telah dikaruniai berkah yang tak bisa dijelaskan, seorang seniman yang
Apa lagi yang bisa dikatakan mengenai kenyataan menyenangkan ini, selain
bahwa hal-hal tersebut begitu nyata, begitu “aktual”? Terkait dengan realitas ini, dengan
lebih singkat dan mengesankan, Goethe berhasil mengekspresikan sifat “realisme” yang
tak-acuh, stilistik, yang secara kualitatif tak terreduksi lagi. Karya-karya paling penting
dari para sastrawan atau tokoh besar—Homer dan Dante, Shakespeare dan Cervantes,
Rubens dan Rembrandt, Stendhal dan Balzac, Dostoevsky dan Tolstoy, Cézane dan Van
Gogh—semuanya “realistis” dalam pengertian yang sama: kesemuanya haus akan (dan
pada saat yang sama, ‘meneguk’) sari-sari realitas. Ketika Cézane¹ dan Proust² sama-
20
sama menggunakan istilah réaliser untuk menjelaskan tujuan dan metode seni, keduanya
merujuk pada realisme, yakni tindakan realisasi yang kita bahas ini. Mereka tak pernah
berhasil mengungkapkannya dengan lebih tepat. Benar bahwa Proust mungkin cenderung
aktualnya, ataupun dengan karakter sejati dari seninya. Realitas yang ia coba untuk
gumuli dari “masa yang hilang” tak berkaitan dengan sebuah eksistensi yang lebih
substansial, yang mengandung kebenaran yang lebih tinggi ataupun ide yang lebih murni.
yang diletakkan pada perspektif yang unik. Kesulitan yang tak berkesudahan untuk
kondisi yang lebih dalam dan esensial. Sebenarnya ini merupakan sebuah pertanyaan
(sebagaimana halnya pada setiap karya seni), untuk melepaskan berbagai fenomena
langsung yang bersifat sensual dan bisa dipahami (yang telah dialami dalam berbagai
kepelikan kualitatifnya) dari segala sesuatu yang bersifat abstrak, universal, dan ideal,
juga dari semua sifat tak-berkesudahan dan tak-mendunia. Penciptaan artistik bukan
gagasan, esensi, dan ke-universal-an. Dapat dipahami mengapa Plato sangat paham
Sebagaimana yang dijelaskan oleh seorang pakar bahasa pada seorang penulis
muda, bahwa seni pertama-tama dan terutama adalah berkaitan dengan kesan-kesan
21
sensual yang jernih, tajam, dan lengkap. Menurut pandangan pakar bahasa ini, si penulis
harus mampu menulis dengan baik, sehingga pembaca seolah-olah bisa mendengar suara
uang logam yang dilemparkan pada pemain orgel jalanan dari jendela bawah, hingga
kepingan itu jatuh di jalan. Proust (dengan Platonisme latennya) tentu saja memahami hal
ini. Setiap tokoh realis hebat pun telah berpikir dengan cara yang sama-sama sadar dan
objektifnya, dan telah mengamati segala sesuatu dengan sama-sama netral dan jujurnya.
Mulai dari Homer, yakni saat tokoh Telemachus membicarakan sang ayah, Odisseus,
yang diyakini telah mati, sebagai orang asing yang “Tulang-belulang putihnya membusuk
oleh guyurran hujan, di sebuah pantai gelap entah di mana.” Juga Balzac, yang tidak
mengatakan apa-apa tentang jasad Lucien de Rubempré yang tergantung, selain dengan
menyebutkan bahwa ia tergantung bagai jas yang disampirkan pada sebuah kaitan, dari
tiang jendela tempatnya menggantung dirinya sendiri. Naturalisme yang sedang kita
bahas di sini sebaiknya tidak dipahami sebagai seni dalam konteks petits faits vrais,
melainkan sebagai seni yang oleh Balzac (sebagai contohnya) diungkapkan sebagai fakta,
bahwa bahkan Eugénie Grandet juga merupakan sesuatu yang bersifat “Grandet”.
Deskripsi cara hidupnya sesudah kematian sang ayah merupakan salah satu dari
kemenangan besar yang dicapai oleh seni hebat yang beraliran tragis ini, dan tetap
bertahan seperti itu, terlepas dari segala “remeh-temeh” yang menyertainya. Si Tua yang
dengan sepupu (si gadis) yang miskin, namun sangat dicintainya itu. Selain hal itu, wujud
hampir tak cukup berarti untuk dibahas. Hal semacam itu semata bertujuan untuk
22
menghadirkan kepada pembaca, kesadaran akan atmosfir yang begitu dingin dan
merupakan perjuangan antara hidup dan mati, yang tak ternyatakan, namun juga tak
berkesudahan. Hal itu tak cuma terletak pada sang ayah yang bengis, yang kapan saja rela
menukar puterinya, anak satu-satunya itu, dengan satu ons emas, tetapi juga pada
Eugénie, si gadis yang sabar dan patuh itu, yang pada suatu ketika hampir saja
membunuh ayahnya sendiri. Ini terdapat pada moment, di mana sang ayah yang naik
pitam merampas lukisan portret kekasih si gadis (yang selama ini disembunyikan oleh si
gadis), terutama setelah mendapati bahwa bingkai lukisan itu terbuat dari emas. Setelah
semua yang terjadi, saat akhirnya berada dalam ketidakbahagiaan dan kebingungan,
dengan warisan sebesar jutaan franc, si gadis tetap tidak mau menyalakan pemanas
ruangan di rumahnya, antara pertengahan Maret dan akhir Oktober, meski udara begitu
dingin menggigit. Itu bukan karena ia berniat menghemat uang, namun semata karena
yang berlebih itu berasal dari pembedaan realisme dan naturalisme. Hal ini terutama
menyangkut pertanyaan akan perbedaan derajat. Apa yang secara umum dipahami
sebagai naturalisme (sebagai lawan dari realisme) adalah sesuatu yang semata buruk,
ilmiah, dan oleh karenanya, menjadi sebuah “realisme” yang tidak mencukupi secara
artistik. Dalam sejarah seni, batasan antara realisme dan naturalisme bersifat mengalir—
jika sebenarnya tidak menyesatkan, dan tak ada gunanya membuat perbedaan di antara
keduanya. Keduanya terutama menggambarkan, paham yang berkebalikan dari apa yang
disebut sebagai aliran klasik, formalistik, dan distilistisasi secara kaku; mereka
23
merupakan sebuah aliran yang terpadu, lebih bebas, dan lebih dekat hubungannya dengan
realitas pengalaman. Tentunya akan lebih bijak untuk mendefinisikan seluruh trend
realis-naturalis sebagai naturalisme, sebagaimana yang ditempuh oleh sejarah seni, dan
mempertahankan istilah realisme untuk merujuk pada pandangan umum dunia, sebagai
kebalikan dari irasionalisme dan idealisme aliran romantik. Dalam hal ini, naturalisme
tetap menjadi sebuah istilah untuk gaya seni secara murni dan juga sebuah kategori
estetik yang bersifat tegas. Realisme (yang jika dipandang sebagai sebuah aliran hanya
permasalahan semu dalam kritik seni) semestinya lebih dipertalikan dengan sebuah
pandangan filosofis.
Penciptaan artistik yang dikenal pada masa-masa awal, yakni lukisan gua pada
periode Paleolitikum, merupakan citra orisinil dan prototipe dari semua aktivitas artistik.
Mereka mewakili sarana praktikalitas, yang berkaitan erat dengan cara penunjang hidup.
Penciptaan artistik itu berakar dari para pemburu primitif yang hidup di sebuah dunia
membiasakan mereka pada kondisi-kondisi, di mana seluruh energi yang ada ditujukan
instrumen dari teknik sederhana yang berorientasi pada tujuan, dan menggambarkan
sebuah jebakan di mana binatang yang akan diburu dan dibunuh harus bisa terperosok ke
dalamnya, jika tujuan magisnya cukup harmonis/sesuai dengan alam. Kreasi mereka tidak
bersandar pada sebuah tindakan yang bersifat simbolik, relijius, ataupun estetik; tidak
juga pada imitasi sembrono atau gambaran akan sebuah ritual pengorbanan, melainkan
pada sebuah aktivitas praktis terang-terangan yang sederhana, di mana di dalamnya (dari
24
aspek virtual) tak perlu memunculkan pertanyaan semacam efek dekoratif ataupun
keindahan murni tanpa unsur kegunaan. Yang belakangan tampaknya paling tepat untuk
menjadi sebuah “hasil sampingan” dari praktik magis yang hanya dimaksudkan untuk
Paleolitik dengan bentuk-bentuk seni yang mula-mula (yang tak lagi dapat dikenali),
mereka sebenarnya hampir-hampir tak identik. Apakah mereka (jika mungkin) mewakili
prototipe refleksi artistik dari realitas, dalam kasus pemisahannya yang paling ekstrim
sekalipun, tentunya tak pernah hadir tanpa mengandung suatu maksud ataupun fungsi.
melekat padanya, tak ketinggalan pula struktrur kategorisnya yang tidak umum akan
sekundernya, baik secara historis maupun psikologis. Sedangkan apa yang termasuk ke
umumnya dalam usaha manusia untuk menjadi sadar dengan realitas dan bertahan dalam
perjuangan eksistensi. Seni, terutama, terlepas dari sifatnya yang bermain-main, tak-acuh,
fantastis, dan berlebih-lebihan, juga berfungsi (tidak hanya secara tak langsung, yakni
dengan mempertajam cerapan realitas) sebagai instrument magis, yang bersifat ritual dan
propaganda, dalam penciptaan senjata dalam pejuangan meraih eksistensi. Jauh dari
memasang jebakan yang paling berbahaya bagi musuh dan saingan mereka, di balik
tampilan niat-niat damai. Mereka menyusun peralatan perang yang paling mematikan
justru pada saat mereka tampak seolah tengah beristirahat dan melakukan gencatan
senjata. Kedamaian dan harmoni boleh jadi merupakan hasil-sampingan dari sebuah
25
karya seni, namun keduanya justru jarang menjadi sumber dari seni itu sendiri.
Kebohongan dan kegilaan/obsesi, kejutan dan penaklukan, adalah senjata yang jauh lebih
sering dikobarkan oleh seni, ketimbang persuasi yang ramah dan konversi damai. Seni
seringkali hanya mencapai gencatan senjata di antara dua kubu, yakni dalam bentuk jeda
menarik nafas untuk menghimpun kembali kekuatan yang masih ada, dan bertindak
sebagai narkotik atau candu untuk menenangkan jiwa dan untuk mengenyahkan segala
syak-wasangka.
bahwa dunia ini—sebagaimana yang diucapkan oleh Van Gogh, adalah “an unfinished
sketch” (=sketsa yang belum selesai), tak akan ada seni sama sekali. Seni sama sekali
bukanlah merupakan produk dari sebuah sikap kontemplatif murni yang sekadar
dengan pasif. Alih-alih, seni (secara langsung maupun tidak) merupakan sarana untuk
menguasai dunia dengan kekuatan atau kecerdikan, guna meraih hegemoni atas manusia,
dengan cinta atau kebencian, guna mencengkeram para korban/mangsa yang telah
menangkap, dan membunuh mereka. Dalam cara yang sama, gambar yang dibuat oleh
anak-anak tidaklah menghadirkan pandangan yang sifatnya “netral dan tak berpihak”
akan realitas; gambar-gambar itu juga mengejar tujuan magis, mengekspresikan cinta
atau kebencian, dan bertindak sebagai cara memperoleh kekuasaan atas orang yang
digambar. Oleh sebab itu, kita mungkin saja menggunakan seni sebagai sebuah sarana
26
keinginan-keinginan yang bersifat destruktif. Kita bisa menggunakan seni untuk
karakternya yang suram dan tak bergairah, juga terhadap kesiaa-siaan maupun ke-tanpa-
tujuannya. Apapun alasannya, seni tetaplah bersifat realistis dan aktivis, dan hanya dalam
Terdapat gambaran tak terpisahkan akan sebuah kelompok yang homogen secara
sosiohistoris. Usaha untuk memisahkan berbagai wilayah yang berbeda pada kebudayaan
kelompok tersebut satu sama lain—sungguhpun hal itu sangat menggiurkan dan
bermanfaat dari sudut pandang analisis struktural atau teori kognisi—tentunya bukannya
tidak membahayakan dari segi sosiologis. Ekonomi, hukum, moralitas, sains, dan
kesenian hanya merupakan berbagai kekuatan atau aspek yang berbeda dari sikap
terhadap realitas, yang terpadu secara esensial. Secara hakiki, hal ini bukanlah sebuah
dalam kehidupan, namun hanyalah sekadar pertanyaan dalam membentuk gambaran yang
memiliki (sebagai fungsinya) perolehan dari berbagai petunjuk yang bisa dijadikan
perjuangan melawan kekacauan yang membingungkan dan anarki eksistensi yang lemah,
bukan saat mereka telah memperoleh mata pencaharian mereka, tetapi biasanya dengan
kehidupan, baik melalui penguasaan wilayah, agama, moral, pengetahuan, dan seni,
adalah salah satu sangkaan dalam pengertian keamanan, dan oleh karenanya, dalam
27
Sains mungkin lebih universal, lebih objektif, dan lebih otonom ketimbang seni,
dan mungkin juga lebih independen daripada berbagai kepentingan yang ada pada
masyarakat, yang berubah menurut situasi historis yang sudah ada; meski demikian, sains
merupakan tujuan ideal seni, setipis apapun tujuan praktis yang hendak diwujudkannya.
Pada teorinya, netralitas juga bukanlah perkiraan dari keberhasilan artistik. Keberpihakan
dan prasangka paling tepat digunakan untuk menggambarkan reaksi seniman terhadap
kesan-kesan dan tantangan yang dialaminya. Subjek kognitif yang berorientasi ilmiah
harus menolak kesempatan, yakni berbagai karakteristik variabel individual pada manusia
biasa dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan cara inilah dia bisa mengambil
tindakan kognisi yang objektif, normatif, dan patut dicontoh, yang bebas dari impuls
psikologis sesaat, juga dari motif individu yang sangat bersyarat. Di sisi lain, berbagai
keadaan yang unik tersebut, yang berbeda-beda menurut tempat dan waktunya,
merupakan suatu sumber orisinalitas dan individualitas bagi cara berekspresi sang
seniman yang kreatif. Kepada hal-hal itulah, seniman berhutang akan bertambahnya
pengetahuan (yang didapat oleh dunia gagasan dan imaji) melalui karyanya.
Keberpihakan dan prasangka personal yang muncul dari asumsi akan sebuah pendirian
tertentu, perspektif yang berubah secara konstan, baik secara psikologis maupun
ideologis, merupakan sumber pengalaman yang senantiasa baru dan tak terduga bagi sang
seniman, dari persepsi individu yang tak terbandingkan dan sangat dibutuhkan. Dalam
28
hal ini, kepribadian sang seniman tak perlu untuk di-desubjektivikasi dan diubah sifatnya
dengan tujuan meraih signifikansi bagi hal-hal lainnya: sebaliknya, semakin subjektif dan
khas karakteristik sebuah karya seni, (secara artistik) semakin signifikan-lah karya itu.
Karena sifat mimesisnya, seni dan sains merupakan struktur makna yang paling
dekat satu sama lain dibandingkan dengan semua struktur makna lainnya. Mereka (seni
dan sains) dibedakan secara tajam oleh fakta bahwa seni-lah yang paling mengungkap
dengan human nature, sementara sains justru paling sedikit menunjukkan karakteristik-
karakteristik tersebut. Sains mengisyaratkan pada sebuah subjek, sifat abstrak, polos (tak
berwarna), yang bisa dibilang sebagai kesadaran transparan. Secara kontras, seni
terhubung dengan manusia qua manusia, pada individu sebagai makhluk khas yang tak
terbandingkan, sebagai hasil dari kombinasi tak terulang dari watak dan berbagai
tendensinya.
Sejak masa Renaisans dan sejalan dengan munculnya divisi buruh dan spesialisasi
kerja yang progresif, interpretasi filosofis dari sikap dan capaian-capaian menjadi makin
didominasi secara eksklusif oleh gagasan otonomi dan imanensi. Hingga akhir abad
dalam kasus seni dan sains), bahwa mereka harus memulai dari individualitas dan isolasi
mereka, dan meyakini bahwa mereka dapat menemukan di dalamnya semacam kebenaran
valid, atau nilai yang mengikat, yakni sebuah tipe fundamental dari bentuk dan norma
yang independen dan sama-sama tidak dapat dipertukarkan. Semakin tinggi ranking yang
konstitutifnya, juga dari nilai-nilai yang menentukannya. Dari seluruh sistem yang ada,
29
kedaulatan yang paling lengkap telah diklaim bagi kategori estetik, setidaknya sejak era
romantik. Seni semestinya (menurut apa yang telah diajarkan dan diyakini) tak berkaitan
dengan kebaikan atau keburukan, kebenaran atau kepalsuan, ataupun dengan apa-apa
yang diinginkan atau dicela secara politis. Meskipun realistis dan (diduga) rasionalistis,
kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan realitas. Seniman mengasingkan diri dari
dorongan asosialnya. Dia menciptakan bagi dirinya sendiri, dalam lingkaran seni yang
tak nyata, suatu kompensasi akan tempat yang tak dimilikinya dalam dunia nyata.
Seniman menjalani suatu keberadaan yang sama terasingnya dari realitas, sebagaimana
yang diciptakan oleh penderita neurosis dalam alam sakit jiwanya yang terpisah dari alam
nyata. Freud membahas dalam kedua kasus tersebut, adanya faktor/keadaan “hilangnya
menyerupai seorang psikosis ketimbang neurosis. Namun, Freud juga mengakui bahwa
untuk melakukan proses “back to nature” (kembali pada keadaan semula). Dengan kata
lain, ia bukanlah korban dari ilusionisme yang senantiasa menghantuinya, terlepas dari
30
mengencangkan atau melonggarkan hubungannya dengan fakta-fakta itu, dan terutama
Fleksibilitas ini adalah salah satu dari berbagai gejala karakteristik dari sikap-
dalam penegakan dan pembongkaran simulasi dan penipuan diri, dan mendatangkan
dalam rentetannya, suatu fluktuasi konstan dalam hubungan antara ilusi dan kenyataan,
dari puisi dan kebenaran, dan dari penerimaan atau penolakan fakta-fakta. Namun, Freud
terlalu kuat menekankan hubungan tak terputus antara seniman dengan kenyataan,
dengan tujuan menyeimbangkan dengan harmoni orisinalnya dengan hal itu. Signifikansi
akibat dari sifat ahistoris doktrinnya. Pengasingan sang seniman, yang ditekankannya
merupakan satu kesatuan dengan situasi historis tertentu yang ia (dan generasinya
sendiri) dapati, dan tak berkaitan dengan hukum biologis universal yang disangkanya.
Konsep alienasi Freud itu sendiri terkondisi secara historis, dan tanpa adanya era
romantik (yang paling sering diasosiasikan dengan doktrin Freud), konsep itu tentu saja
Periode terpanjang dalam sejarah hanya mengenal kegiatan artistik yang berkaitan
dengan praktikalitas dan yang ditujukan pada keberhasilan instan: akan terasa sia-sia
hilangnya realitas. Sebelum datangnya era romantik, belumlah dikenal adanya konsep
seni sebagai kepuasan pengganti dan kompensasi untuk sesuatu yang lebih nyata,
bernilai, namun lebih tidak-tercapai. Seni mungkin telah mewakili pemenuhan harapan
31
dan fantasi yang melebihi dunia keseharian; seni bukanlah pengganti yang akan diterima
menggila”, gagasan akan terbang dari realitas ke dalam dunia rekaan, benar-benar asing
bagi pandangan seni pada era praromantik. Hanya era romantik-lah yang mengubah
penolakannya ke dalam kondisi bagi keberhasilan artistik, yang kemudian mulai mereka
kontraskan dengan keberhasilan eksternalnya. Sejak saat itu, seni tak lagi sekadar
menjadi sebuah kompensasi bagi apa-apa yang hilang dalam hidup; seni hanya memiliki
nilai dan makna bagi mereka-mereka yang telah kehilangan kesempatan untuk memiliki
dan menikmati kehidupan. Seni telah menjadi sebuah legenda kehidupan, di mana
manusia merasa dikucilkan. Hal itu tak lebih dari sebuah simbol, bukan lagi sebuah
kemiripan. Sang penyair hanya membicarakan apa yang bukan dirinya, dan apa-apa yang
tak ia miliki. Cinta, keteguhan, dan kepahlawanan, menurut Flaubert, hanya bisa
dilukiskan jika Anda bukanlah seorang pencinta, orang alim, atau pahlawan. Siapapun
yang termasuk ke dalam salah satu/bagian dari ketiganya, hanya memiliki sedikit minat
untuk membicarakan watak, cinta, dan hasratnya. Hanya orang yang gagal dalam
hidupnya-lah yang memiliki kecemasan untuk melakukannya, dengan kata lain, orang
yang tak mampu menjadi apa yang ia inginkan dan harus berupaya sekuat tenaga untuk
Kesadaran yang dimiliki oleh generasi terbaru akan status sosial mereka beserta
implikasinya telah memunculkan krisis artistik yang muncul sejak era romantik dan
merebaknya doktrin l’art pour l’art (seni untuk seni). Ini merupakan sebuah krisis di
mana seni telah menanggalkan dirinya sendiri lebih jauh dan semakin jauh dari berbagai
32
kepentingan praktis, pertimbangan moral, sudut pandang ilmiah, dan sekadar menjadi
sebuah fenomena sosiohistoris, yakni sebuah gejala dari spesialisasi dan atomisasi
progresif dari tugas-tugas vital. Sebagai akibatnya, telah terlihat bahwa asumsi dari
eksistensi seni yang tertutup bersifat tak dapat dipertahankan dalam kehidupan yang
terpadu, yang dalam seluruh tujuan praktisnya bersifat tak terpisahkan/tak terbagi, yang
demikian, gagasan bahwa seni dan sains mengaitkan dirinya sendiri dengan dua tipe
pengalaman yang berbeda, akan tetap dan selamanya ada. Namun, keyakinan bahwa
dalam seni kita bisa mengucapkan perpisahan final pada kehidupan normal, berbagai
gaungnya. Dengan pemahaman bahwa manusia menjalani eksistensi sosial yang hakiki,
sosiologi telah bergerak ke pusat pemikiran ilmiah; sosiologi telah menjadi ilmu pusat
dan telah mengambil alih (di dalam sistem budaya) fungsi pemersatu yang sebelumnya
menjadi milik filosofi dan agama. Seni memiliki orientasi baru ini berkat tumbuhnya
Refleksi sosiologis atas asal-usul yang terpadu dan dependensi mutual dari
berbagai sikap intelektual dan keterputusan (yang menyertai otonomi dari selera kriteria
penekanan atas otonomi nilai-nilai yang merupakan hasil sebuah perkembangan yang
panjang, dan penutupan dari sebuah periode historis yang panjang, sebuah era di mana
33
sejumlah sikap yang berbeda terhadap realita, dan hukum inti dari bentuk konseptual,
cara-cara berpikir, dan evaluasi yang berkaitan dengannya. Tetapi, jika kita ingin dengan
memisahkan dengan tegas berbagai sikap tersebut dan menyatukannya kembali), kita
Diferensiasi gradual dari sikap-sikap individu dari satu dengan lainnya dan dari kompleks
praktik kehidupan yang tak terbedakan tentunya telah menuntut waktu yang tak terhitung
dan telah terjadi jauh sebelum gagasan independensi mereka diformulasikan. Pemisahan
tugas produktif dari keajaiban, dari sains dengan agama, dari hukum dengan moral, dari
penemuan artistik dan sekadar doa yang dipanjatkan demi tujuan-tujuan magis, animistis,
atau ritualistis, merupakan sebuah proses yang tak diragukan, yang tersebar pada hampir
sepanjang awal sejarah budaya. Perkembangan itu agaknya meraba-raba dengan ragu-
ragu, dengan mengambil sedikit langkah maju dan (justru) banyak langkah mundur.
sebagaimana adanya, dan tahapan yang baru saja diraih tentunya tak bisa dibedakan
secara sekilas dengan tahapan yang mendahuluinya. Tahapan itu semestinya merupakan
bagian dari sifat dasar kegiatan artistik yang muncul dari kebutuhan akan eksistensi
keseharian praktis—dan ini adalah kasus pada setiap fungsi yang perlahan memisahkan
diri dan menjadi independen terhadap praktik kehidupan yang terpadu—bahwa tahapan
itu semula muncul kurang-lebih secara kabur, samar, dan tak terlukiskan, dan bahwa
masa itu. Kita sendiri (jika kita juga melihatnya) mungkin hampir-hampir tak
34
menganggapnya sebagai sebuah karya seni. Karya-karya itu tentunya akan sangat mirip
dengan produk-produk lainnya yang dibuat untuk tujuan praktis lainnya, sehingga kita tak
akan berada pada sebuah posisi untuk menarik garis yang tegas antara apa yang “belum”
kemiripan dengan integrasi sikap dan capaian yang hanya akan bisa terjadi setelah
membuat kita sadar akan adanya asal-usul terpadu dan tujuan umum dari berbagai sikap
dan fungsi) secara alamiah tidak menyatakan keter-kembali-an kepada kesatuan primitif
dari berbagai kepentingan dan sarana pemuasnya yang tak berkembang. Sosiologi hanya
yang berbeda-beda. Sosiologi akan mengabaikan hal-hal itu saat menemukan (dalam
otonomi individual) adanya wilayah kesadaran, dari praktik dan teori, hukum dan moral,
sains dan seni, yang sekadar berupa hipotesis yang bekerja bagi teori kognisi, dari
analisis struktural, dan aktivitas budaya yang terspesialisasi. Namun, sosiologi tidak
menutup adanya perbedaan aktual dari fungsi-fungsi budaya dengan menaruh otonomi
tidak menyangkal adanya kemungkinan dan produktivitas dari pemusatan kesadaran pada
tujuan-tujuan tertentu. Untuk mengabaikan fakta bahwa manusia pada dasarnya berjuang
dengan solusi tugas-tugas yang identik dan berkaitan erat, yang mengarah pada konsep
yang sama sekali salah akan sifat kebutuhan mereka, dan sarana yang berfungsi untuk
begitu sederhana dan terpadu telah memberi tempat bagi sebuah sistem produk yang
35
rumit tak-terbatas dan yang hanya bisa berfungsi di dalam kompleksitas hubungan ini,
memiliki efek yang sama-sama menyesatkannya, dan dapat menyumbangkan sifat coba-
coba pada setiap karya budaya yang sukses. Mengabaikan peranan yang dimainkan oleh
kesatuan dan totalitas masyarakat dalam seluruh usaha manusia, membuat kehidupan dan
kebudayaan menjadi sesuatu yang sia-sia. Pada saat yang sama, peremehan derajat pada
kerja akan menjadi sebuah kemunduran, yang dari situ akan menyebabkan kemajuan
(Halaman 40-70)
Individu dan masyarakat secara historis dan sistematis merupakan bagian yang tak
itu)-lah, satu-satunya representasi dari masyarakat, sama halnya mereka hanya bisa eksis
dalam sebuah masyarakat. Eksistensi individual dan sosial itu sendiri merupakan
penjelmaan simultan, berkembang pada taraf yang sepadan, dan berubah dengan sifat
saling ketergantungan. Hanya dengan basis mutualitas inilah kita bisa membahasnya
sebagaimana apa yang ada. Tak ada yang lebih absurd ketimbang meyakini bahwa
kemudian sebagai anggota dari sebuah masyarakat. Adalah suatu kekeliruan untuk
bawaan asosial orisinal mereka. Adalah keliru juga untuk menganggap bahwa mereka
berubah dari individualis yang independen tanpa kewajiban, menjadi anggota dari sebuah
komunitas sosial di bawah tekanan penderitaan dan kebutuhan, atau sebagai akibat dari
kebiasaan dan pengalaman. Mereka sebenarnya lahir sebagai makhluk sosial yang
menyerupai satu dengan lainnya jauh sebelum mereka saling membedakan satu sama
lain. Mereka mengembangkan ciri-ciri individual hanya dalam keterkaitannya satu sama
lain, dengan perserikatan atau perlawanan, imitasi dan individualisasi, kerjasama dan
Suatu individu yang bebas dari segala ikatan interpersonal dan segala pengaruh
sosial merupakaan rekaan pikiran yang terasing, yang menciptakan abtraksi realitas.
Jikalau tidak, keberadaan semacam itu adalah contoh abnormalitas, sebuah kasus yang
kurang lebih bersifat patologis dari sebuah déraciné (keadaan tercerabut dari akar-
merupakan sebuah eksistensi yang terasing dari masyarakat dan bukannya tidak tersentuh
olehnya. Jika kita menolak pemakaian kategori sosiologis dalam fenomena individual,
kita tidak cuma gagal untuk menyadari, bahwa individu tersebut berkembang hanya
dalam konteks masyarakat, tetapi kita juga gagal menyadari bahwa isolasi tersebut hanya
akan masuk akal jika terkait dengan sebuah eksistensi sosial. Sekadar menjadi sendiri
tentunya adalah suatu hal yang remeh dan tak bermakna: kita sendiri dan merasa
terabaikan hanya ketika kita sadar akan adanya realitas sosial yang meniadakan kita
munculnya pseudoproblem (masalah semu). Hal itu tak cuma lantaran individu (sejak
37
sangat semula) memiliki karakter sosial dan hanya bisa dibayangkan dalam pengertian
pencapaian sosial setiap saat ia berontak dari masyarakat. Ini juga merupakan sebuah
kebenaran bahkan jika berpikir bahwa ia berhutang akan segala sesuatu yang menurutnya
membuatnya berontak pada institusi-institusi sosial yang dipandangnya tak lebih dari
pengasingan jelas-jelas merupakan wujud sikap sosial, yang termotivasi secara ideologis.
Hubungan aktual seniman dengan masyarakat dalam pengertian ini adalah bersifat
Para seniman, sama halnya dengan sesama manusia, adalah makhluk sosial, produk dari
dan pencipta masyarakat, yang tidak sepenuhnya bersifat independen dan tiran, dan
tidaklah pula bersifat tercerabut dan terasing sedari awalnya. Seniman tak lagi menjadi
korban yang terkucil dari masyarakat yang dimanipulasi dengan kejam dan diorganisir
secara tidak fleksibel (yang tidak mereka sadari), dan tempat di mana mereka berusaha
terhadap diri sendiri dibandingkan dengan sesamanya, dan betapapun terasingnya mereka
dari masyarakat, para seniman itu memakai bahasa yang sama, yang diucapkan pada
Kita menarik garis yang terlalu tajam antara elemen individu dan elemen sosial
hukumnya sendiri dan mampu eksis tanpa satu sama lain. Nyatanya, keduanya tak cuma
saling membutuhkan, tetapi juga membentuk dua aspek dari suatu fenomena tunggal
yang serupa. Bukan saja bahwa masyarakat merupakan satu-satunya bentuk di mana
sesuatu seperti keberadaan individu bisa dimengerti, tetapi pada saat yang sama, individu
adalah satu-satunya agen masyarakat, suatu perwakilan aktifnya, suatu ekpresi eksplisit
yang sifatnya se-takterhapuskan seperti halnya elemen sosial dari segala aktivitas
manusia, individu-lah yang berpikir, merasa, dan bertindak, yang menyadari kebenaran,
dan menciptakan karya seni, bahkan jika ia melakukannya sekadar sebagai bagian dari
usaha kooperatifnya.
Individu dan masyarakat berinteraksi dalam kreasi artistik dalam suatu cara yang
beraneka ragam dan rumit sehingga hubungan mutualnya tak bisa sekadar dinyatakan
dalam makna sebuah dualisme sederhana. Untuk bertanya sampai sejauh mana faktor-
faktor individu memberikan sumbangsihnya pada proses artistik, terutama yang paling
penting, dan apa yang berubah dalam hubungan mereka, tentunya hal-hal itu akan
kehilangan tujuan riilnya. Gagasan akan suatu kondisi sosiohistoris (yang bersifat
dipertanyakan) dari suatu style periode objektif atau sebuah tren selera yang patut
dicontoh, juga dari sebuah kepribadian individu yang secara spontan bersifat independen
dalam situasi ini, dan yang secara arbitrer merupakan tugas-tugas moment tersebut.
adalah sumber kesalahan yang luas jangkauannya. Terdapat lebih sedikit independensi
dari faktor-faktor sosial dan asosial di sini, daripada di wilayah aktivitas-manusia lainnya.
39
Lantaran hal ini merupakan sebuah kasus yang tidak sesederhana konsep “di mana tidak
ada masyarakat, di situ juga tidak akan ada individu”, melainkan juga bahwa, bahkan
mewujudkan sebuah reaksi, menerima sebuah tantangan, dan menjawab pertanyaan yang
ditangguhkan. Seorang seniman menjadi seperti dirinya yang sekarang ini dalam
rangkaian penaklukan tugas yang terkondisi secara historis dan sosial, yang ia coba
artistik sebelum tugas itu terpecahkan dan hanya bisa dibedakan dan didefinisikan hanya
dalam keterkaitannya dengan situasi konkret yang diciptakan oleh tugas yang sudah ada
itu. Tanpa masyarakat Renaisans, bumi Italia, dan masa lampau bangsa itu; tanpa
Florenzia dan Roma, quattrocento Florentina (era seni dan kesusasteraan di Italia pada
abad ke-15) dan pencapaiannya, juga dewan pemerintah Romawi beserta segenap aspirasi
dan tampuk kekuasaannya; tanpa Perugino sebagai guru dan Michelangelo sebagai
rivalnya, maka tak akan lahir sosok Rafael. Tetapi, tanpa Rafael, Renaisans tak akan
menjadi Renaisans, dan Romawi pun tak akan menjadi layaknya Romawi yang kita kenal
untuk menuju padanya, baik secara artistik maupun sosial karena lokakarya-lokakarya
para seniman yang telah terorganisir dengan lebih baik, kondisi pasar seninya yang lebih
menguntungkan, juga dukungan material dan intelektual yang diberikan oleh pasar di
tengah-tengah kebudayaannya. Proses itu pun tidak menentukan bahwa Rafael sendiri
menciptakan gaya klasik. Apa yang menentukan justru bahwa Renaisans dan kepribadian
artistik Rafael berkembang secara simultan dan juga pada kecepatan yang sama tanpa
40
menjadi terpisahkan satu dengan yang lainnya. Bukan cuma solusi yang ditujulah—
dalam hal ini, karya seniman-seniman Renaisans-lah, yang menjadi hasil permasalahan
terhadap dirinya sekaligus harus ia pecahkan sendiri dalam satu atau cara lain, bukan
terletak pada bagaimana ia bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat dan berbagai
membebaskan diri dari mereka. Karena sama halnya seorang anak yang semula hanya
menggunakan bahasa dari lingkungan di sekitarnya, begitu juga halnya dengan seniman
yang memulainya dengan meniru yang lain, dengan mengkopi dan memodifikasi
ke bahasa formal yang bersifat lebih individual. Ia berangkat dari ungkapan umum dan
mendekati suatu bentuk ekspresi personal, alih-alih berangkat dari rangkaian yang
sebaliknya. Saat ia membebaskan diri dari berbagai formula konvensional dan solusi
stereotipikal, menjadi jelas bahwa lebih sulit baginya untuk melupakan (ketimbang untuk
memelihara) apa-apa yang ia pelajari dari hal-hal di sekitarnya. Seiring berlalunya waktu,
ia mungkin (atau mungkin juga tidak) menjadi semakin orisinal, namun pada awalnya ia
merupakan sesuatu yang paling tak-orisinal. Memang ada sejumlah sosok berbakat yang
tumbuh matang lebih dini dan sejak masa mudanya telah memiliki kepekaan, ide-ide
nonkonformis, dan nada-nada yang jelas dan tak teragukan lagi. Namun, hampir-hampir
tak ada seniman yang sejak semula sudah mengutarakan bahasa formal yang sifatnya
benar-benar baru. Revolusi artistik aktual jarang muncul dari sosok-sosok muda. Titian,
41
Michelangelo, Rembrandt, Shakespeare, Beethoven, dan Goethe, kesemuanya menjadi
lebih progresif dan inovatif dalam kematangan usia, ketimbang dalam masa mudanya.
berkaitan dengan antithesis antara spontanitas dan konvensi; antithesis ini hanya
merepresentasikan salah satu aspek yang berbeda dari hubungan tersebut. Individu
antinomy dari hal-hal yang bersifat inheren (melekat/menurun) dan asing, juga
mengandung orisinalitas dan norma, ketetapan dan perubahan, dan ia sendiri menjadi
kancah dari perjuangan hal-hal tersebut antara satu dengan yang lain. Kesenjangan antara
apa yang bersifat sosial dengan apa yang asosial tidak berada di dalam batasan-batasan
individu, melainkan justru melampauinya. Karena seperti halnya masyarakat yang tidak
hanya terdiri dari tetapi juga terkandung dalam individu-individu, begitu juga halnya
individu tak hanya terkondisi oleh masyarakat dari luar, tetapi menemukan prinsip sosial
(melalui stimulus atau resistansi) dalam keberadaannya sendiri dan dari segala hal yang
dilakukannya.
Analogi antara seni dan bahasa adalah salah satu paralelisme paling nyata dalam
ekspresi konvensional itu terjalin. Seniman tak hanya memakai bahasa orang lain sampai
dalam sebuah dialek bahasa yang sama. Dalam proses ini, bukan saja bahasanya sendiri
yang berubah, tetapi bahasa kelompok tersebut juga tunduk kepada perubahan itu dan
sejumlah kontribusi individual. Seni, sama halnya dengan bahasa, adalah hasil
42
amalgamasi suatu idiom kolektif tradisional dengan inovasi-inovasi konstan yang
diciptakan oleh individu-individu. Seni vital, seperti bahasa hidup yang vital, membentuk
sebuah jaringan hubungan yang terurai dengan berbagai cara, di mana terdapat banyak
partisipan yang terlibat. Jalinan benang itu terulur dari satu partisipan ke partisipan yang
lain, sampai akhirnya hampir-hampir tak mungkin bagi kita untuk membedakan
bagaimana proses memberi-dan-menerima, yang mana yang properti dan yang mana
yang meminjam, yang mana yang inisiatif dan yang mana yang rutin, karena kesemuanya
menentukan mengenai di mana dan kapan ia memperoleh motif tertentu, memetik dari
peristiwa yang tidak ia alami secara langsung, atau menengok sekilas sebuah gambaran
atau kata, yang menjadi bibit dari buah yang tak diharapkan itu. Ia hampir-hampir tak
mengetahui apa yang ia ambil dari publik, lawan-lawan, atau para pengikutnya, atau juga
peran apa yang ia mainkan dalam tugasnya, dengan pemahaman bahwa ia akan
menemukan (atau berharap akan menemukannya di sana), kritik yang untuknya telah ia
juga untuk mewujudkan suatu keluarga imajiner yang beranggotakan orang-orang yang
setuju dengannya.
individu menjalani perubahan yang cukup fundamental sehingga kita mungkin akan bisa
kebudayaan. Namun, dalam kenyataannya, tak ada tahapan dalam perkembangan budaya
43
di mana fenomena individu menjadi tak dikenali. Tak ada pula fase individualisme di
mana individu tidak mempunyai lawan. Sama halnya komunitas heterogen yang paling
terpadu tersusun atas individu-individu yang berbeda, begitu pun bentuk individualisme
yang paling berbeda dan paling primitif, juga menanggung stempel masyarakat di dalam
dirinya sendiri. Hal itu tidak terletak pada strukturnya sebagai ekspresi dialektika yang
penuh dengan ketegangan, melainkan pada kekuatannya sebagai sebuah kekuatan kreatif,
yang mengalami perubahan dalam rangkaian sejarah. Peranannya boleh jadi cukup besar,
tetapi mungkin juga tidak seberapa. Sejak era Renaisans, peranannya berkembang secara
konstan, dan sejak era romantik, ia telah mendominasi wilayah kehidupan budaya Barat.
esensial dalam pencapaian individual, bahkan ketika pendirian personalnya hampir tidak
kurang lebih bisa dibedakan satu dengan yang lainnya) telah ada sejak sejarah kehidupan
muncul, suatu proses sosialisasi, persatuan sosial, dan antithesis, yang muncul sejak
adanya para pemimpin dan kaum yang dipimpin, para pengatur dan yang diatur. Awal-
mula diferensiasi jelas-jelas kembali ke keadaan alam pada era prehistoris, di mana kita
pemimpin yang masih benar-benar berada dalam satu kesatuan dengan kelompok yang
atau menguraikan, meskipun di situ terdapat suatu otoritas yang dijalankan. Tetapi
individu semacam ini (bahkan sosok yang secara khusus aktif atau mampu) adalah suatu
44
hal; seseorang yang sadar akan bakat dan kemampuannya untuk bertindak, mengakui
merupakan suatu hal yang lain sifatnya. Perubahan dari sekadar fakta individualitas ke
Bahkan sekadar kesadaran “menjadi beda” dari yang lain pun (sejauh hal itu
terkait dengan klaim akan prestise dan keistimewaan khusus) dapat menciptakan sebuah
ketegangan antara individu dan seluruh komunitas, dan bisa mengarah ke kendornya
kesatuan di dalam kelompok tersebut. Di Mesir, pada era New Kingdom (periode sejarah
Mesir kuno, dari dinasti ke-18 hingga ke-20, yakni sekitar tahun 1580-1090 Sebelum
Masehi), dan yang lebih mencolok, yakni pada masa Kekaisaran Helenistik, situasi ini
telah menunjukan tanda-tanda yang mengingatkan kita akan atomisasi budaya pada masa
kini. Tetapi, tidak lama sampai era Renaisans, terjadilah krisis kebudayaan sesungguhnya
sebagai bagian paling awal dari sebuah persaingan intelektual. Ini terjadi bersamaan
kesadaran individual refleksif menggantikan apa yang terdahulu, yang kurang-lebih tetap
individu dibarengi dengan jatuhnya pandangan otoriter era medieval (pertengahan) akan
iman dengan pengetahuan, hukum dan moralitas, seni dan kerajinan. Sebagai akibatnya,
ketegangan antara individu dan masyarakat berkembang menjadi sebuah antithesis sejati,
yang mengancam individu dengan hilangnya tempat yang terjamin dalam masyarakat.
Pengamat yang teliti akan melihat bahwa dependensi individu yang terasing dari realitas
sosial bahkan lebih jelas (tak diragukan) ketimbang dependensi seseorang yang benar-
45
benar berada dalam kesesuaian dengan aturan yang telah ditetapkan dan benar-benar
yakni konsep jenius dan gagasan akan karya seni sebagai ekspresi dari kepribadian
seorang jenius sebagai penemuan besarnya. Abad Pertengahan, yang tak mengenal
konsep persaingan (dan oleh karenanya, sama sekali tak tersentuh oleh gagasan
intelektual atau persaingan ekonomi), tak melihat adanya keuntungan dalam orisinalitas
atau kekurangan apapun dalam stereotipikalitas. Namun, anonimitas prestasi juga bukan
suatu tujuan yang diperjuangkan olehnya. Akan tetapi, gejala yang paling nyata dari
datangnya era Renaisans adalah titik balik dalam sejarah individualisme. Hal itu tak
hanya ditandai oleh fakta bahwa individu kreatif menjadi sepenuhnya sadar akan
oleh fakta bahwa perhatian publik mengalami perubahan yang sesuai dalam orientasi dan
berubah dari karya ke seniman. Ini adalah permulaan dari krisis individualisme—
ketegangan yang memuncak, antara seniman dengan publik, juga kecurigaan mutual yang
pada akhirnya menimbulkan pergolakan dan reaksioner dari kedua belah pihak. Pemujaan
terhadap kecerdasan pikiran yang menandai puncak individualisme pada era Renaisans
(yang darinya seniman memperoleh hak untuk memberontak terhadap tradisi, doktrin,
dan berbagai peraturan) tak cuma memperkenalkan suatu pertimbangan ulang akan nilai-
nilai, sebagai hasil dari suatu keadaan di mana seniman cenderung ingin ditempatkan di
atas karya-karyanya, tetapi juga mempersiapkan sebuah kancah konflik yang sejak
46
semula mengancam untuk menumbangkan keseimbangan genting yang terdapat di antara
menuju pada kemampuan untuk berprestasi, dari sukses dan penuntasan ke gagasan dan
yang teruntai sebagai sebuah tujuan sebelum datangnya era Renaisans, tetapi yang
kemudian secara tak terelakkan ia renggut dari makna apapun segera setelah ia tak lagi
melihat individu sebagai pembawa pesan belaka, tetapi juga penjelmaan dari pesan itu
individu dari berbagai aturan, dan ia mengambil langkah final dalam pendakiannya.
Seniman itu menjadi idola, penjelmaan suatu ideal yang mempersatukan nilai-nilai
tertinggi dalam dirinya. Dia tak lagi perlu mengidentifikasi dirinya sebagaimana keadaan
Kristus”—dikenang sebagai master “suci” sebagaimana ia dulu disebut. Tak ada seniman
yang pernah dikelilingi aura sebagaimana aura yang mengelilingi Michelangelo; tak
satupun yang bisa mewariskan peralatannya untuk melayani Tuhan selain dari karya-
dan sebuah pandangan dunia yang terpadu. Proteksi yang dimiliki serikat sekerja sanggup
mencukupi para pendahulunya, hubungan tak ambigu dengan patronnya, Gereja, dan
aturan-aturan sekuler, kepercayaan penuh terhadap dogma eklesiastik dan tradisi artistik,
kesemuanya itu telah berlalu dan lenyap. Prinsip individualisme membuka berbagai
kemungkinan yang sebelumnya tak pernah diimpikan bagi mereka, dan membawa
47
mereka ke dalam sebuah vacuum kemerdekaan. Jeda spiritual mengandung makna bahwa
mereka tidak dapat mempercayakan diri mereka sepenuhnya pada aturan eksternal, tidak
dan anarki yang lemah, mereka berdiri tak bersenjata dalam menghadapi chaos yang
mengancam akan menenggelamkan mereka, dan yang darinya bahkan seniman terhebat
pun seringkali hanya bisa berhasil melarikan diri melalui suatu tour de force
terbelah/terpisah akan kehidupan, dan berakhir dalam sebuah sikap di mana ikatan
keteraturan dan disiplin, eksibisionisme yang tak terhalang, dan sebuah kesederhanaan
yang genit, yang tampaknya selalu menjanjikan hal yang penuh tipu-daya/rewel. Hal ini
merepresentasikan tahapan akhir dalam sejarah individualisme dan juga tahapan dalam
hanya nilai individualisme saja yang menjadi problematika dan di mana individu itu tak
tahu apa yang harus ia capai, tetapi juga di mana keduanya terlepas dari maknanya. Itu
gerakan antara masa lampau dan masa kini, tradisi dan penemuan baru, peraturan dan
keberubahan, norma klasik dan angan-angan spontan, dan ini menjadi warisan yang
Sebagaimana kita tak bisa mendalilkan entitas kolektif sebagai representasi dari
48
atau mendalilkan fungsi pikiran atau tindakan tanpa turut menyertakan individu-nya,
maka kita tidak dapat mengantisipasi bahwa individu akan berpikir, berkehendak, atau
bertindak sepenuhnya melalui motivasi-diri. Sudah jelas bahwa tak cuma mekanisme
yang ia lakukan atau terjadi (karena ulahnya) terjadi atas keinginannya sendiri, tetapi juga
bahwa ia selalu berbicara dan bertindak atas nama orang lain, bahkan saat ia terlihat
satunya pertanyaan adalah, seberapa banyak dari tingkah-lakunya yang tampaknya murni
psikologis, yang sesungguhnya merupakan suatu hal yang sifatnya sosiologis. Bahwa
berbagai hubungan sosial dan kondisi-kondisi dari subjek psikologis individu atau agen-
agen fiktif dari sebuah kesadaran kolektif, dari sebuah psyche populer atau psyche-
kelompok, atau dari semangat suatu ras, bangsa, atau sebuah periode historis. Terdapat
juga penjelasan ketiga yang lebih jelas, bagi keberadaan objektif mereka dan sifat-
sifatnya yang mengatur: individu-individu (sebagai subjek sosial) tunduk pada suatu
konteks makna khusus, yang berasal dari suatu dasar pemikiran, keteraturan internal, dan
konsistensi proses sosial. Itu merupakan konjungsi dari bermacam pola ingkah-laku, yang
mengondisikan dan menyebabkan satu sama lain, dan yang mengeluarkan hal-hal
lainnya, lalu menghubungkannya dengan subjek empiris konkret. Hal-hal itu membentuk
kesatuan hubungan, yang tidak terlokalisasi secara psikologis, yang asal-usulnya tidak
49
dan kehendak individu yang bersangkutan, begitu dia memasuki lingkup sosial. Oleh
karenanya, meskipun masyarakat tidak pernah berpikir dalam pola pikir individual,
begitu individu mendapati dirinya berada dalam sebuah situasi sosial dan terlibat dalam
yang tidak identik dan kongruen dengan cara berpikirnya sebagai sosok individu secara
variabilitas psikologis dari struktur sosial yang sama lebih besar daripada ketidaktetapan
sosial dari tipe psikologis semacam itu. Ini sudah jelas, karena terdapat lebih banyak tipe
psikologis ketimbang struktur-struktur sosial. Misalnya saja, saat Balzac berkata bahwa
ketamakan berubah, dari sebuah keburukan menjadi kebaikan begitu ia memiliki objek
spesifik, perubahan yang ada dalam benaknya merupakan perubahan yang bersifat moral
dan psikologis: kategori sosioekonomi dari kerakusan, sebagai sebuah sikap pikiran yang
berkaitan dengan akumulasi kepemilikan, akan tetap pada keadaannya semula. Namun,
Balzac tidak bermaksud untuk memberikan kedudukan tinggi pada psikologi ketimbang
pada sosiologi. Ini dilakukan oleh Freud saat dia menegaskan bahwa individu-individu
yang berbeda akan mengambil sikap yang berlainan bahkan di bawah kondisi-kondisi
ekonomi yang sama, dengan mengabaikan fakta bahwa dalam kondisi ekonomi yang
sama, mereka seringkali (bahkan, jauh lebih sering) bertindak serupa dan memunculkan
50
norma-norma prilaku yang sesuai dengan kelas mereka, landasan selera yang baik, dan
Dalam banyak hal, hubungan antara psikologi dan sosiologi terkait dengan
hubungan antara hereditas dan lingkungan. Setiap struktur kultural merupakan karya
individu yang dikaruniai dengan kebiasaan-kebisaan mental, akan tetapi individu tersebut
selalu berada dalam situasi yang dikondisikan oleh ruang dan waktu. Pencapaian-
Sebagai contoh ciri-ciri di luar ciri psikologis dari berbagai proses sosioekonomi,
Georg Simmel mengutip fenomena yang diamati oleh Marx: “Penjelasan dari pergantian
di dalam tulisannya yang lain, bahwa “tidak ada keadaan yang terealisasikan melalui
sekadar mencoba mempertimbangkan motivasi ganda dari berbagai proses historis dan
untuk menunjukkan kesulitan, yang telah ditekankan oleh Engels, bahwa dalam
Feuerbach) untuk bisa teraktivasi. Dependensi mutual antara sosiologi dan psikologi
bekerja sedemikian rupa sehingga apa yang hanya bisa dialami secara psikologis, bisa
muncul efektif secara sosial dan historis. Impuls-impuls psikologis sejak semula memang
51
bersifat interpersonal. Seperti halnya segala sesuatu yang “menggerakkan manusia harus
melewati pikiran terlebih dahulu,” demikian pula halnya, apa-apa yang melewati pikiran
juga harus merujuk pada orang lain. Memang benar, bahwa mekanisme-sosial dari
akumulasi kapitalistik tidaklah identik dengan keserakahan individu, namun tanpa adanya
rangsangan psikologis semacam itu, motif keuntungan tak akan menjadi seefektif itu.
Motivasi sosiologis dan psikologis dari hal-hal ini (dan yang semacamnya) biasanya
muncul secara simultan, berkembang secara bersamaan, dan meraih sukses yang sama.
Tetapi, resiprositas dari berbagai motif itu tidak selalu diekspresikan secara jelas, baik di
dalam rangkaian ataupun di dalam penjelasan proses-proses sejarah. Pada suatu waktu,
makna sosiologis suatu keadaan; sedangkan pada kesempatan yang lain, semua
manifestasi sosial yang terlalu nyata atau penjelasan sosial yang berlebihan akan bentuk-
kasus, psikologi hanyalah sekadar pemikiran di luar sosiologi, yang sifatnya terselubung,
tak terjelaskan dan tidak layak; dalam kasus yang lain, sosiologi tak lebih dari sekadar
psikologi yang tersembunyi, yang tak kasat mata, yang menyelinap ke dalam tendensi
mengekspresikan antithesis kehidupan ksatria dengan lebih hidup dan tak ada yang lebih
signifikan bagi bentuk transisi dari budaya eklesiastikal (gereja Kristen) dari Zaman
52
ksatria terhadap permasalahan cinta, di mana spiritualitas tertinggi dikombinasikan
dengan sensualitas yang paling terang-terangan. Ambivalensi ini bisa dipahami hanya
kontradiktif tersebut. Baru sesudahnya, hal itu nyata-nyata menjadi keterusterangan yang
aneh, yang ditumpahkan ksatria (abad pertengahan) terhadap persoalan cinta. Hal itu
antarkelas, dan bahwa nada baru dalam syair cinta mengisyaratkan kebangkitan kelas
baru, yang terdidik dan termerdekakan. Contoh luar biasa yang serupa dengan itu, akan
sosiologis, terdapat pada narsisisme, yakni sebuah konsep dari mana psikologi
mengambil konsep alienasi. Akan tetapi, konsep ini bisa diperjelas dan dibuat masuk akal
secara ilmiah hanya jika dijelaskan sebagai sebuah krisis dalam hubungan interpersonal
dan sebagai suatu ancaman terhadap akar individu dalam masyarakat. Pada tingkatan
psikologis, hal itu tetap dirundungi oleh gagasan kabur dan ambigu dari perasaan tidak
enak (malaise) pada pribadi seseorang. Keadaan patologis keruh semacam itu (yang
alienasi. Tetapi, persamaan dari kedua fenomena tersebut hanyalah bahwa alienasi
seseorang. Sebagai fenomena historis, adalah mungkin bahwa hal-hal itu merupakan
ekspresi dari krisis spiritual yang sama, dari perasaan yang sama akan keadaan tertinggal,
kepasrahan, dan ketidakberdayaan, tetapi yang menentukan adalah bahwa, saat hal-hal
53
disebabkan oleh sosial, dan bukan sebaliknya. Keadaan krisis psikologis memang
tetapi tak akan ada narsisisme (setidaknya, bukan narsisisme patologis) tanpa adanya
alienasi.
oleh suatu kelas sosial atau yang lainnya. Kini, mereka mendapati bahwa masyarakat
pengetahuan bahwa harapan-harapan yang dijumpai oleh Era Pencerahan dan Revolusi
Perancis pada kaum intelektual dan juru bicaranya, diupayakan supaya tidak disadari.
Para penyair dan filsuf, yang telah kehilangan prestise dan pengaruh politisnya pada era
mendorong pada segala bentuk pelarian yang mereka coba. Masa lampau dan utopia,
masa kanak-kanak dan alam, rasa sakit dan ilusi, rahasia dan keajaiban, ketidaksadaran
apapun yang membuat mereka menjadi antusias atau memasrahkan diri kepadanya,
mereka tetap merupakan para pemberontak, terlepas dari kedekatan mereka dengan
berbagai gagasan tata-tertib medieval dan institusi-institusi tetap, dan mereka menjadi
perintis sebuah revolusi baru yang sejak saat itu telah menjadi sesuatu yang permanen.
Penjelasan psikologis akan pandangan romantik terhadap seni dan dunia (sebagai ragam
berpikir dan merasa yang baru) jelas-jelas tidak mencukupi. Kekecewaan kaum romantik
54
adalah refleksi dari kurangnya keberhasilan sosial mereka. Kaum intelektual pada periode
praromantik bisa mengizinkan diri mereka untuk diperintah oleh orang lain karena
mereka meyakini bahwa hidup bisa diatur dan bahwa keberadaan pemerintah memang
ada manfaatnya. Kaum romantik berjuang melawan segala ikatan karena mereka telah
yang merasa relatif terjamin dan berharap untuk bisa berhasil adalah mereka yang lebih
merasa tak puas dan mencurigai setiap tuntutan yang bersifat tak adil dan hal-hal yang
melanggar hak-hak mereka. Menjadi jelas bahwa psikologi yang mendasari kebutuhan
akan emansipasi ini sifatnya tergantung pada keadaan-keadaan sosial. Seluruh sikap
ditawarkan oleh masyarakat kepada kaum terpelajar yang dikecewakan oleh kegagalan
revolusi. Karena inilah, masyarakat berontak terhadap tatanan dan moral, bukan lantaran
mereka tiba-tiba menyadari betapa tinggi dan agungnya Pegunungan Alpen, atau bahwa
parit-parit di sepanjang lembah mengalir dengan riang dan begitu damai, atau karena
mereka lebih senang menyebut “prajurit” ketimbang “serdadu”. Semua itu terjadi
melainkan karena mereka berpikir dan merasakan segalanya secara begitu berbeda dari
apa yang ada sebelumnya, dan karena tak ada apapun yang mereka miliki selain dari
55
Institusi, prinsip-prinsip moral, dan norma-norma hukum bukanlah hasil dari
hambatan/rintangan merupakan hasil dari kesadaran akan nilai-nilai moral dan institusi
sosial yang sesuai dengan upaya pemeliharaan kesadaran akan seperangkat nilai. Aturan
kepentingan-kepentingan tersebut. Di mana tak ada institusi dan peraturan, maka tak ada
pula larangan atau rintangan. Hanya apa-apa yang mengancam pengabadian sebuah
bersandar pada otoritas, bukan pada perasaan abstrak akan keadilan. Dependensi
merupakan perintis jalan bagi segala bentuk pelengkap dan kepatuhan, beserta segala
ditinjau dari sudut pandang yang lain, akan jauh lebih terlihat sebagai sesuatu yang
disengaja. Tidak semua yang muncul dalam wujud proses-proses psikologis berasal dari
lebih naïf ketimbang asumsi bahwa segala sesuatu yang terjadi di bumi ini merupakan
56
Kaitan yang nyata antara motivasi sosiologis dan psikologis sesungguhnya
didasarkan pada resiprositas total, dan hakikatnya terdiri dari fakta, bahwa suatu
modifikasi sosial dari invariabilitas psikologis pada satu sisi berhubungan dengan suatu
diferensiasi psikologis dari konstanta-konstanta sosial pada sisi yang lain. Hubungan
semacam ini meniadakan kemungkinan kelanjutan atau penghapusan suatu order oleh
order lainnya. Karena inilah, Talcott Parson, yang (memang) mengakui kekhususan dan
otonomi relatif mereka, mengalami kekeliruan dalam memandang hubungan mereka satu
dengan yang lain, saat ia memandang penggabungan dan integrasi mereka sebagai sebuah
pertanyaan akan metodologi dan organisasi karya ilmiah. Masyarakat merupakan sebuah
mengisyaratkan suatu entitas sosial—di mana, hampir tak mungkin untuk menarik
Kita bisa menentukan di dalam seni, sebagaimana halnya di dalam logika dan
etika, urutan ketiga dari struktur-struktur makna yang saling terkait, yang didasarkan
pada kekhususan dari bentuk respektif objektivitasnya. Begitu proses kreasi selesai dan
struktur formalnya tercipta, dan karya tersebut dialami dan dipikirkan sebagai sebuah
struktur formal, maka karya seni segera memerdekakan dirinya dari kepribadian si
pencipta dan dari tanah sosial, yang dari situ ia melepaskan diri melalui kebajikan makna
estetisnya yang imanen. Karakter estetik dan kualitas artistik tidak memiliki kaitan
langsung dengan fakta bahwa sebuah karya mungkin telah melayani penciptanya sebagai
sebuah solusi akan suatu permasalahan personal, atau bahwa karya itu cocok untuk
berfungsi sebagai senjata politik bagi sebuah masyarakat. Sarana ekspresi dan
komunikasi yang paling berbeda secara formal bisa melayani pencipta dan audiens
57
dengan cara yang sama. Bahkan elemen-elemen yang terdapat pada sebuah karya seni
masalah tersulit dan yang tampak paling penting baginya karena peran yang mereka
merupakan manfaat terbesarnya bagi masyarakat), sama sekali tak selalu sama dengan
elemen-elemen yang paling berharga dan signifikan secara artistik. Nilai estetis tidak
memiliki ekuivalensi psikologis ataupun sosiologis. Kepentingan sosial dan tujuan politik
yang sama bisa diekspresikan baik di dalam karya yang paling berhasil, maupun karya
yang paling tidak berhasil. Dengan cara yang serupa, keadaan mental, pengalaman,
sentimental, dan kecenderungan yang sama, bahkan juga gagasan dan upaya artistik yang
sama mendasari produk dari kualitas yang paling berlainan. Hasrat-hasrat seksual,
terhadap order yang ada bisa menginspirasi seniman untuk berkarya dan memberi tenaga
pada mekanisme yang menggerakkannya, tetapi hal-hal itu tidak menyediakan sarana
penciptaan karya baginya. Sarana-sarana ini tidak bersifat psikologis ataupun sosiologis.
yang berhutang pada konteks karya di mana mereka muncul—jadi, bukan rentetan
keberadaan mereka, dalam bahasa T. S. Elliot, “di dalam puisi, dan bukan pada sejarah
penyair”. Seluruh komponen dari sebuah kreasi artistik bisa tampak kosong dan sepele
jika mereka tercerabut dari konteks karya dan berusaha sangat keras dalam proses
pada konsepsi, melainkan pada kelahiran dari rahim sang ibu yang telah mengandungnya.
58
Makin kita dekat dengan asal-usul karya, boleh jadi akan semakin jauh kita dari makna
artistiknya. Jika terdapat interdependensi antara karya dengan biografi sang seniman, hal
itu merupakan interdependensi yang sifatnya mutual dan dialektis. Biografi seorang
penulis ditentukan oleh sifat-sifat karyanya, sebesar karya itu ditentukan oleh sifat-sifat
memprediksi skema karyanya di dalam apa yang dialaminya. Dia mengantisipasi material
dan signifikansi karya dalam biografinya, tetapi kandungan hidupnya hanya terdiri dari
apa yang bisa ia ciptakan sebagai seorang seniman. Ia membuang apapun yang
Sosiologi dan psikologi sama-sama asingnya bagi karya seni sebagai sebuah
struktur estetis. Karya seni sebagai sebuah struktur formal merupakan sebuah sistem yang
mandiri, lengkap dalam dirinya dan tak memerlukan motivasi eksternal. Sebagai sebuah
dokumen psikologis, karya seni tidaklah sangat memerlukan sebuah penilaian estetis-
formal, tidak juga penilaian praktis-sosiologis. Dan sebagai sebuah fenomena sosial,
karya seni tidak menjadi lebih bermakna atau signifikan karena nilai formalnya, atau
dan kendaraan fungsi, sama halnya dengan psikologi yang mendewa-dewakan asal-usul
dan sosiologi atas tujuan terakhir. Untuk dua yang terakhir itu, hal itu hakikatnya adalah
kandungan dan ekspresi, sementara untuk yang pertama adalah bentuk dan dekorasi.
Ketika mereka saling melengkapi satu sama lain, mereka mengingat bahwa seni tentunya
harus terdiri dari kandungan dan ekspresi, namun bahwa seni tak akan bisa terdiri dari
hal-hal itu saja, dan bahwa seni tak pernah sepenuhnya ditentukan dari dalam, tidak juga
59
Kita bisa membahas sosiologi sebagai sebuah disiplin independen hanya jika kita
melekatkan sebuah eksistensi objektif pada lapisan dasar dari berbagai hubungan
interpersonal, konteks, dan fungsi. Objektivitas semacam itu haruslah bebas dari subjek
kolektif memulai suatu wujud eksistensi spesial yang berbeda dari wujud entitas individu
tentara), atau herd (sekawanan gembala). Kata-kata benda tersebut sekadar mewakili
kumpulan person individual atau hewan, dan seperti itulah kurangnya kegamblangan dari
Berbagai konteks, order, dan struktur sosiologis merupakan sintesis integrasi, juga
totalitas-totalitas yang terdiri atas berbagai elemen yang pada dasarnya tidak bersifat
sosiologis, tetapi hanya memulai karakter itu saat mereka dihubungkan satu sama lain.
Namun, pada kenyataannya, suatu kolektif sosial bukanlah sekadar penjumlahan dari
Kolektif sosial tak hanya mengontraskan sebuah elemen baru tetapi juga menambahkan
memiliki warna hijau, maka menghilanglah warna biru dan kuning. Elemen-elemen itu
(warna biru dan kuning) memungkinkan keseluruhan keberadaan (warna hijau) tetapi
tidak mengandungnya. Sama halnya sifat dasar komponen-komponen hilang saat mereka
dalam bagian-bagian komponennya. Akan tetapi, bahkan pada kasus-kasus semacam itu,
60
di mana unsur-unsur elemen tidak sepenuhnya lenyap—misalnya, unsur-unsur tembaga
dan timah pada perunggu—unsur-unsur baru pun bisa muncul, yang disebut dengan
kekerasan, yang benar-benar baru, tidak diperkirakan, dan tidak bisa (secara teori)
dihasilkan begitu saja. Unit-unit sosiologi merupakan bagian dari integrasi semacam ini.
Individu-individu beserta segenap sifat dasar khususnya, juga berbagai kepentingan dan
tujuannya, tidak terhapus begitu saja di dalam struktur sosial, tetapi memulai suatu
keseluruhan perangkat karakteristik baru yang tidak mereka miliki secara perseorangan.
Maka dari itu, individu-individu hanya merupakan representasi agen-agen sosial, dan
bukan kreator atau sumbernya. Tak ada satu orang pun yang sepenuhnya bisa mewakili
makna suatu struktur sosial atau totalitas, dari suatu sarana produksi, dari status kelas dan
wujud-wujud sosial ini selalu dihadirkan oleh subjek-subjek individu dan menemukan
Marx menyadari dengan cukup dini bahwa eksistensi sosial memiliki realitasnya
sendiri dan bahwa “momen-momen individualnya… berasal dari kehendak sadar dan
asing yang berdiri di atasnya: interaksi mutualnya adalah sebuah kekuatan dan proses
yang bersifat independen darinya.” Apa yang ditemukan Marx di sini, adalah fenomena
yang aneh, bahwa saat suatu individu masuk ke dalam situasi saling-mempengaruhi dari
berbagai kekuatan sosial, tingkah-lakunya membawa motivasi sebagai efek yang dengan
61
jelas berasal darinya tetapi yang tidak memperoleh makna atau arahnya dari berbagai
niat, kepentingan, dan tujuannya. Korelasi yang muncul dalam cara ini mendasari sebuah
realitas yang berbeda dari realitas individu, namun tak mengandung substansialitas
supernatural.
hadirnya sebuah “realitas sosial sui generis,” dia terutama hendak menjelaskan bahwa
“sosial” di sini merupakan prinsip final tak-tereduksi yang hanya bisa diambil dari
tesisnya adalah melalui pernyataannya mengenai fenomena bunuh diri, peningkatan yang
sepenuhnya didasarkan (sebagaimana yang ia tunjukkan) pada realitas sosial. Bunuh diri
tidaklah bisa dimotivasi oleh konstitusi psikologis ataupun fisiologis dari pihak yang
terlibat, tidak juga oleh rasa tau kebangsaan mereka, atau oleh pekerjaan atau tingkat
beradaptasi dengan order sosial dalam sejumlah situasi-situasi tak umum. Mereka
melakukan itu di bawah tekanan motif-motif yang berbeda (dan bahkan yang bersifat
antithesis), yang muncul bersamaan satu sama lain sampai pada taraf di mana motif-motif
memunculkan dorongan bunuh diri, dan dia menyatakan sebuah tipe sosial dari individu
pribadi yang menjadi tuan dari takdirnya sendiri. Berkat realitas sosial yang sama, Paul
Lacombe menyatakan sebuah “institusi” dari suatu kejadian tunggal (événement), sebuah
struktur permanen dari suatu penemuan yang tak terduga, suatu aturan estetis dari sebuah
ide spontan. Irama seperti heksameter, genre seperti sonata, skema komposisi seperti
62
“kesatuan dramatis” merupakan institusi-institusi—dari jenis yang mengubah suatu kasus
Dasar pemikiran khusus dari proses sosial (yang dianggap Marx sebagai kekuatan
yang melekat dalam realitas sosial) muncul pada setiap bentuk interpersonal,
konvensional, dan konstitusional. Tak ada yang menyatakan ini dengan lebih jelas selain
dari hukum pasar, yang bagi semuanya (baik sebagai produsen maupun konsumen)
merupakan subjek pada setiap kesempatan. Setiap pembeli-baru menaikkan harga dan
menjadi korban dari sebuah dasar pemikiran yang melawan tujuan aktualnya sendiri.
Orang-orang melibatkan dirinya sendiri setiap hari, bahkan setiap jam, dalam berbagai
antusiasme, rasa takut, atau kekuatan yang sesuai dengan kondisi pikiran dari kelompok
Realitas sosial (yang sedang kita bahas di sini) bukanlah esensi melainkan
keadaan, bukan suatu hal melainkan sebuah hubungan, bukan sesuatu yang telah diatur
dan ditetapkan melainkan sebuah proses: realitas itu mengada dan mengaktifkan dirinya
sendiri saat individu berkontak dengan individu-individu lain dan menciptakan hubungan
menjadi lengkap, melainkan tetap menjadi sebuah sistem hubungan yang selalu berada
pada proses “direalisasikan”. Hal ini berkaitan dengan sebuah konsep fungsi, alih-alih
63
Sebagai makhluk sosial, orang tak perlu bertindak untuk memajukan tujuan-
tujuan akhir personalnya sendiri. Pada umumnya, mereka bertindak dan berpikir
berdasarkan prinsip-prinsip itu, yakni prinsip yang menjamin eksistensi dan kesejahteraan
berkelanjutan kelas mereka, tetapi yang sering samar bagi mereka dan hanya terkait
secara mediasi dengan kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Mereka tak selalu sadar
akan kelas dalam pemikirannya, bahkan saat mereka bertindak sesuai dengan
kepentingan-kepentingan kelasnya.
Kesadaran kelas merupakan contoh paling mencolok dari sebuah dasar pemikiran
sosial yang bersifat bijak tetapi bebas dari pilihan. Kesadaran ini merefleksikan sebuah
konsistensi pemikiran dan kehendak yang tidak memancar dari suatu organisasi
kelompok yang bersifat disengaja atau direncakanan, politik atau taktik yang berlaku. Hal
itu hanyalah sekadar persetujuan spontan, yakni sikap-sikap individual di mana perasaan
solidaritas mutual yang sama dan jarak dari kelas yang lain seolah terbangun dalam
seluruh representasi mereka, yang kesemuanya tidak memiliki tujuan apa-apa selain dari
Berbagai realitas dan dasar pemikiran sosial semacam kesadaran kelas tak hanya
sudah ada. Meskipun demikian, saat kita mendefinisikan kesadaran kelas, kita harus
tepat), hanya individu konkret tunggal-lah yang dikontrol dan dipengaruhi oleh sebuah
kesadaran.
64
Sebagaimana yang diucapkan oleh Geog Lukács, kesadaran kelas merupakan
“kemungkinan untuk menjadi sadar”, alih-alih “menjadi sadar”. Dengan kata lain, hal itu
merupakan sebuah potensialitas alih-alih suatu aktualitas, dan hanya ada lantaran
yang menggerakkan mereka sebagai anggota sebuah kelas) tak harus menyadari hal itu.
“Itu bukanlah sebuah pertanyaan,” ucap Marx dalam Holy Family, “mengenai apakah
anggota yang ini atau yang itu dari kaum proletariat, atau (sejauh yang terkait dengannya)
akan apakah itu sebenarnya dan apa yang secara historis terpaksa ia lakukan menurut
entitas ini.” Orang bersikap baik atau buruk terhadap satu sama lain berdasarkan kondisi
sosioekonomi mereka. “Mereka tidak mengetahui hal ini, tetapi mereka melakukannya.”
Jika dari sudut pandang seorang aktivis politik bahwa hal terpenting adalah untuk
membuktikan apakah kesadaran kelas bersifat sadar secara empiris dan psikologis atau
tidak, maka dari sudut pandang fenomenologi sosial, hal itu tidaklah memunculkan
perbedaan esensial. Alternatif psikologis, baik sadar maupun tidak, berada dalam taraf
yang berbeda dengan perbedaan antara motif-motif sosial yang dikejar oleh individu-
individu tersebut secara sadar, atau apa-apa yang menjadikannya sebagai instrumen
Secara psikologis, ketidaksadaran hanya akan menjadi masuk akal saat dikaitkan
dengan individu, dan “ketidaksadaran kolektif” versi Jung bersifat lebih tak riil
dibandingkan dengan kesadaran kolektif, baik dalam pengertian romantik atau psikologis.
65
Tetapi, jika dalam pikiran, represi-represi yang berakar dari ketidaksadaran berhenti
menjadi efektif pada saat asal-usulnya ditemukan, maka rintangan-rintangan yang berasal
dari kesadaran kelas pada hakikatnya akan tetap ada bahkan setelah mereka terungkap
sebagaimana adanya. Sebagai konsekuensinya, perjuangan kelas (terlepas dari sifat dasar
kesadaran kelas yang bersifat kabur, secara impersonal maupun parsial) secara tidak
operasi ini sama-sama samar dan kaburnya dengan asal-usul represi, rasionalisasi, dan
Ideologi sebagai saripati dari sebuah pandangan dunia, dari sebuah perasaan akan
kehidupan dan nilai dan norma-norma dari suatu kelas sosial, merupakan sebuah konsep
yang berkaitan dengan kesadaran kelas. Ideologi dan kesadaran kelas membedakan diri
satu dengan yang lain di atas semuanya, yakni bahwa pengaruh ideologi pada pikiran dan
kehendak efektif dari subjek-subjek individual, bersifat lebih jelas dan konkret ketimbang
terdefinisi dengan lebih tajam. Perbedaan yang lebih jauh adalah bahwa ideologi
hanyalah sekadar sarana bagi perjuangan kelas dan kesadaran kelas. Konsekuensinya,
ideologi bersifat lebih dekat dengan konsep psikoanalisis dari rasionalisasi dan kesadaran
ditunjukkan berulang kali. Ideologi sebagai “kesadaran palsu” (yang dengannya anggota-
anggota dari sebuah kelas sosial akan bertahan, menyembunyikan, atau menutupi
66
kesalahan dari motif-motif tindakan mereka yang sesungguhnya) adalah bagaikan
Ideologi hanya sering berubah menjadi sebuah bentuk propaganda yang sifatnya eksplisit
maupun ambigu.
justifikasi, atau ekspos berbagai ideologi, tentunya cukup diprasangkai dan tidak
dihalangi untuk membenarkan parodi ideologis terhadap kebenaran jika terdapat segala
keraguan, atau dia harus memiliki keberanian untuk menyatakan perang terhadap fiksi
dan kebohongan yang terkait dengannya. Jika tidak, ia harus berdusta secara tak sadar,
mengkontradiksi dirinya sendiri, menutupi gambaran realitas yang ia lukis dan dengan
karyanya, “namun mereka tidak tahu jika mereka tengah menciptakannya.” Proses ini
yang menciptakan jalannya sejarah ini tidak menyadari apa yang sedang mereka lakukan,
karena bukan tujuan dan kepentingan sadar, atau prinsip dan nilai-nilai yang mereka
sahkan-lah, yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi, melainkan motif-motif yang
seringkali ditutupi atau yang seharusnya dikurangi. Secara umum, kekuatan nyata dari
sejarah terdapat di dalam wujud yang tertutupi ini sehingga orang-orang tak mengetahui
materialisme) memunculkan sebuah konsepsi sifat proses kultural yang sama kelirunya
tidak menciptakan ideologi dengan seenaknya dan tanpa sejumlah dalil tertentu, dan
tepatnya pada penciptaan ideologi-lah, terlihat jelas bahwa mereka berpikir dalam suatu
konteks bentuk dan fungsi yang asing bagi mereka sebagai individu-individu. Masyarakat
tidak menciptakan ideologi berdasarkan kesukaan atau apa-apa yang akan memuaskan
mereka: mereka tunduk dalam proses menuju pada suatu objektivitas, meskipun tidak
Kesadaran kelas borjuis terikat erat dengan sebuah epos khusus, sama eratnya
dengan naturalisme, dan seperti halnya naturalisme, meskipun pada dasarnya ia bersifat
kolektif, ia direpresentasikan dalam berbagai cara berbeda oleh berbagai individu dari
periode yang bersangkutan. Satu fenomena tak lagi merupakan sebuah kreasi dari
sebagaimana yang diucapkan oleh Ernst Gall (yang khususnya merujuk pada seni era
Gothik), tidaklah “ditemukan”; dengan kata lain, aliran artistik tidak dihasilkan secara
spontan sebagai sebuah pencapaian pribadi atau berdasarkan rencana khusus dari seorang
seniman tertentu. Akan tetapi, entah bagaimana, pada suatu saat aliran itu pastinya telah
muncul dari sebuah ide kreatif pribadi individu, bahkan jika ide ini tidak bisa dirunut
pada arus pemikiran tertentu, yakni sebuah visi yang hanya bisa muncul dengan satu
individu tunggal.
Dari semua sudut pandang lainnya, suatu kategori sosiologis seperti kesadaran
kelas, ideologi, atau tata-cara produksi ekonomi, berbeda secara esensial dengan konsep
68
aliran semacam Renaisans atau naturalisme. Suatu gaya/aliran berkembang secara
konstan; ia tak akan pernah sempurna, dan tak akan pernah bisa direalisasikan sebagai
suatu totalitas-tentu. Pada sisi lain, kesadaran kelas mungkin saja lebih atau kurang
setara dalam output dari seluruh era (dalam karya berskala luas maupun kecil, pada karya
monumental maupun ornamen terkecilnya), tentunya akan menjadi suatu gagasan yang
tak realistis dan tak dapat dipertahankan. Seperti halnya seorang seniman tidak selalu
mengekspresikan dirinya dengan intensitas dan konsentrasi yang sama, begitu juga
manifestasinya, dengan kejernihan dan daya meyakinkan yang sepadan. Setiap gaya
merupakan konsep perbatasan yang tak pernah hadir secara keseluruhan dalam karya
tunggal ataupun dalam kasus individu lainnya. Konsep itu memiliki sejumlah
karakteristik yang sama dengan apa yang dipahami Max Weber sebagai “tipe ideal”,
nilai permanen, atau sebuah norma sahih tanpa syarat. Tipe-tipe ideal dari kapitalisme,
kerajinan, atau dari kota pertengahan, bagi Weber bukanlah “esensi” fenomena individual
berlebihan mereka, yaitu suatu abstraksi yang (tanpa harus menjadi lebih baik atau
sempurna) tak pernah terjadi dalam kenyataan. “Idealitas” mereka tidak terdapat pada
sifat-sifat dasarnya yang “patut dicontoh”, tapi semata-mata pada fakta bahwa (setelah
dibersihkan dari karakteristik-karakteristik asing atau tak esensial, dan bebas dari
69
aksesori-aksesori yang menjelekkannya), mereka menunjukkan karakteristik properti tipe
Bahkan sebuah gaya semacam suatu tipe ideal, merupakan semacam “utopia”
lantaran ia dihadirkan secara penuh dan final oleh sebuah karya tunggal. Sama sekali tak
ada realitas, melainkan hanya fungsi heuristik saja, yang bisa dianggap berasal dari
sebuah tipe ideal, karena hal itu pada kenyataannya tak lebih dari sekadar “bantuan
mengklasifikasikan hal-hal konkret. Gaya pada suatu periode (bagi seniman dan audiens)
sendiri, suatu gerakan yang yang bisa diuraikan terperinci dan independen, dan yang
memiliki seperangkat aturannya sendiri. Subjek bisa terbawa oleh gerakan itu, bisa
menerima ataupun melawannya, tetapi dalam berbagai kasus, hal itu lebih dari sekadar
konsep kolektif, suatu konstruk pemikiran, atau suatu gagasan tanpa substansi. “Sang”
kota medieval tak pernah ada dalam hal ini: yang ada hanyalah “kota-kota” medieval,
yang padanya-lah, tipe ideal dari kota medieval berada dalam hubungan yang sama
berada dalam gaya individu yang berbeda-beda. Misalnya saja, pada era Renaisans atau
naturalisme, yang bukanlah sekadar abstraksi, bahkan jika mereka tak pernah bisa
dirasakan. Sama halnya pada kenyataannya, tak ada sesuatu sebagai “seni”, maka tak ada
pula “style”—yang ada hanyalah “styles” (berbagai macam gaya). Begitu juga halnya,
hanya ada berbagai bahasa, atau lebih tegasnya, berbagai dialek, dan bukan “bahasa” itu
konkret dari suatu bentuk dasar yang tidak eksis. Seni pun berbicara dalam dialek-dialek.
70
“Style” merupakan sebuah abstraksi, sama halnya bahasa Esperanto sebagai suatu artefak
dengan aturan-aturannya yang terkondisi secara historis dan geografis. Formasi kata yang
dari style “itu” sendiri sebagai kategori seni teoritis universal, gaya seni historis tertentu,
dan karya individual seni, merepresentasikan tiga tahapan mengada yang muncul dari
konsep genre tak riil sempurna menuju ke sebuah realitas hit et nunc dari hal-hal konkret
yang sifatnya unik dan empiris. Gaya artistik individu (seperti Renaisans dan
naturalisme) berada di tengah-tengah skala ini. Sifatnya tidaklah langsung ataupun nyata
seperti sebuah lukisan atau patung, melainkan menjadi (berbeda dengan suatu tipe ideal)
beragam, juga pada objek pengalaman sensual dan pemikiran abstrak, individu maupun
kolektif, juga pada fakta-fakta historis maupun abadi. Representasi suatu gerakan stilistik
pada berbagai kasus bersikap seolah-olah mereka digerakkan oleh suatu impuls tertentu
untuk mencapai tujuan tertentu. Benar jika doktin Hegel mengenai “kecerdikan alasan”
kekuatan penggerak aktual, yang muncul dari konsep yang hanya disusun untuk tujuan-
tujuan spekulatif. Akan tetapi, fenomena semacam gaya ideologi atau historis hanya bisa
suatu rasionalitas yang tidak keluar dari kesadarannya sendiri, yang tidak selalu mereka
sadari, dan yang boleh dibilang, memanifestasikan dirinya sendiri melampaui dirinya
masing-masing.
71
Tingkat kesulitan yang mengelilingi pembentukan sebuah konsep gaya/aliran
adalah sama besarnya dengan tingkat kesulitan yang mengelilingi definisi konseptual dari
struktur-struktur sosial. Kita juga harus memahami gaya sebagai suatu hal yang umum,
suatu pola yang terpisah dari individu beserta karya-karyanya, tanpa sekaligus
individu-individu. Gaya bukanlah suatu konsep dasar yang akan tetap dan tak berubah
sepanjang masa. Ia juga bukan konsep dasar yang menggolongkan fenomena dari sifat
dasar yang kurang umum. Gaya juga bukan konsep logis tertinggi yang darinya bisa
dan rasional, yang berubah secara konstan menurut kandungan, jangkauan, dan lingkup
validitas, dan ini pun akan berubah dengan kehadiran setiap karya yang memiliki nilai
yang penting. Sudah semestinyalah jika kita tidak memandangnya sebagai suatu
entelechy (eksistensi penuh/kekuatan pemberi hidup) yang terkait dengan gagasan Hegel
akan “semangat/ruh dunia” (Weltgeist). Gaya tidak berkaitan dengan tujuan atau rencana
supernatural dari sejumlah gagasan intuitif. Gaya tak lain dan tak bukan merupakan hasil
dari suatu momen yang sudah ada pada produk-produk individu murni, yakni suatu hasil
yang memiliki bentuk yang berbeda dari masa ke masa. Produk-produk itu sendiri selalu
ditujukan pada tugas langsung dan konkret; secara individual, mereka punya tujuan yang
selalu dijaga, tetapi (tujuan finalnya) tidak mereka sadari. Suatu gaya tidak pernah
terwujud dalam kesadaran pencetusnya, lebih dari sebuah langkah pada suatu waktu yang
sama. Dengan kata lain, gaya tidak memasuki kesadaran individu yang memunculkan
72
Sikap kolektif yang diekspresikan dalam sebuah gaya artistik menyadari sesuatu
yang tidak “dikehendaki” dan direalisasikan oleh siapapun juga, lebih dari individu
manapun yang menghendakinya. Apa yang dikehendaki pada suatu waktu adalah sebuah
karya seni tunggal khusus—misalnya, lukisan Last Supper karya Leonardo atau Sistine
Madonna karya Raphael, jadi bukan “High Renaissance.” Meski demikian, gaya
merupakan suatu entitas yang bisa kita bahas tanpa realisme konseptual apapun dan tanpa
Gaya bukanlah hal tunggal konkret, bukan juga konsep kolektif; ia tak bisa
dibandingkan dengan apa yang terekspresikan di dalam karya yang menyusunnya. Gaya
tidaklah terkandung di dalam karya ataupun sebaliknya, karya terkandung di dalam gaya.
Cara yang paling tepat untuk menjelaskannya adalah melalui terminologi tema musical,
di mana hanya berbagai variasinya saja yang masih bisa ditemukan. Tema yang harus
diciptakan kembali tak akan menjadi penjumlahan berbagai variasi ataupun juga seleksi
dari berbagai karakteristiknya, dan juga bukan merupakan kompilasi abstrak dari
mengandung lebih dari apa yang sudah ada sebelumnya, sedangkan abstraksi selalu
bersifat kurang dari itu, dan tak ada yang lebih jauh ketimbang elemen-elemen yang
menyusunnya. Tema dan variasi brsifat saling melampaui satu sama lain, meskipun
keduanya saling terikat. Tak cuma berbagai variasi tetapi juga berbagai macam
73
sini) berkaitan dengan bermacam definisi dari gaya yang sudah ada—sekadar berkisar
Observasi psikologi Gestalt terhadap fenomena struktur yang tak berubah (yang
memiliki bermacam-macam sifat) juga valid untuk diterapkan pada konsep gaya (di mana
konsep gaya itu sendiri jelas-jelas juga merupakan sebuah konsep Gestalt). Psikologi
Gestalt menekankan fakta bahwa kita merasakan melodi bahkan jika ia dimainkan
dengan kunci yang berbeda dari kunci yang sebelumnya kita dengar pertama kali.
Struktur, koherensi, dan rangkaian interval dinyatakan melalui (tetapi bukan di dalam)
nada, dan inilah yang membuatnya bisa dikenali, meski segala sesuatu yang terdengar
(dalam bentuk bunyi-bunyian yang nyata) telah berubah. Struktur ini tidaklah kurang riil
dibandingkan dengan nada yang dimainkan secara terpisah, bahkan jika struktur itu tidak
bisa dipahami oleh indera kita. Dalam berbagai kasus, kita mengalaminya secara
spekulasi. Kita dihadapkan pada sebuah fenomena serupa dalam kasus gaya artistik.
Sama seperti struktur musik, ada juga gaya Renaisans yang merupakan suatu struktur
kolektif objektif yang tidak terkandung dalam berbagai karya Leonardo atau Raphael,
Dalam rangka membentuk gagasan simbol yang tepat dari hal-hal semacam ini,
kita harus senantiasa mengingat (pada satu sisi) bahwa mereka memiliki kekurangan
substansi empiris dan metafisik, bahwa realitas mereka tidaklah bijak/pantas ataupun juga
transendental, dan (pada sisi yang lain) bahwa mereka memiliki pokok isi dan
objektivitas mereka yang khas. Kita tidak boleh lupa bahwa di dalam hal-hal itu, kita
berhadapan dengan struktur-struktur, yang tidak bisa disebut sebagai hal-hal atau sekadar
74
konstruksi belaka. Kaum positivis yang tidak kritis gagal mengenalinya dalam semua
lingkup budaya, dalam semua objektivasi valid dan interpretasi eksistensi yang bisa
dibuktikan, cara berpikir dari makna koheren dan konsistennya—dari sebuah “rationale”
(dasar pemikiran). Idealism yang terasing dari pengalaman juga gagal untuk mengetahui
hubungan objektif yang berubah dari suatu kasus ke kasus yang lain. Pengaruh otoriter
mereka terletak pada fakta bahwa mereka membentuk wadah quasi-institusional, di mana
subjek yang telah terbentuk oleh tradisi dan konvensi dan yang terhubung oleh kondisi
aspeknya, maka Anda tak akan pernah bisa membayangkan seperti apa Sparta,” kita tak
pernah bisa menerka individualitas dari seniman tertentu, hanya dari karakteristik-
karakteristik sebuah gaya. Betapapun tepatnya pengetahuan kita akan Renaisans, kita
tidak bisa mengetahui berbagai kemungkinan yang melekat pada representasi tunggal
sebuah gaya. Hubungan yang serupa juga terdapat dalam sejarah budaya antara setiap
artistik serupa dengan struktur-struktur sosial yang mencegah kita pada kedua kasusnya,
semacam ini (secara tak terhindarkan) akan mengorbankan sifat-sifatnya yang khas,
Sama halnya totalitas sosial terwujud bukan melalui penjumlahan akhir dari sikap-sikap
individual, melainkan dari fungsi yang dijalankan oleh individu-individu tersebut, hanya
75
jika mereka sudah berkontak dengan satu sama lain, maka begitupun juga halnya dengan
kesatuan dan totalitas karya seni tidaklah semata muncul sebagai jumlah dari kata-kata,
nada, baris, dan warna. Alih-alih, mereka merupakan hasil dialektis dari ketegangan yang
diperbarui, dipertinggi, dan dipertajam dari kata ke kata, nada ke nada, sapuan-kuas ke
(Halaman 89-97)
Pengantar
Saat membicarakan sosiologi seni, kita lebih cenderung untuk berpikir akan
pengaruh yang bermula dari seni (dan yang ditujukan pada masyarakat), ketimbang
pengaruh yang berasal dari masyarakat, yang menemukan ekspresinya di dalam seni. Hal
semacam ini terlepas dari fakta, bahwa seni memengaruhi maupun dipengaruhi oleh
ia sendiri berubah bersama dengan perubahan sosial tersebut. Seni dan masyarakat
tidaklah terkait secara monolitik; masing-masing bisa menjadi objek maupun subjek.
Pengaruh seni dalam masyarakat bahkan bukan merupakan suatu kekuatan yang lebih
dominan atau signifikan dalam hubungan mutual ini. Pengaruh yang bermula dalam
masyarakat dan yang ditujukan pada seni menentukan sifat dasar dari hubungan tersebut,
(dan hampir-hampir tidak) dipengaruhi oleh seni. Dalam tahapan sejarah yang lebih
maju, bahwa tak cuma seni yang sejak permulaannya telah menampakkan ciri-ciri sosial,
artistik atau artistik-magis. Itu sebabnya, kita harus selalu membahas hal ini dalam ranah
Dalam proses interaksi antara seni dan masyarakat, kita tak bisa memastikan yang
mana dari keduanya yang memulai langkah paling awal. Stimuli artistik akan tetap
kembali pada “sungai terdasar” di mana asal-usulnya berada, dan menciptakan produk
dari rahim yang telah melahirkan eksistensi mereka. Hal semacam ini sama sekali tidak
Permasalahan “primum mobile” merupakan sesuatu yang tak relevan; satu-satunya hal
yang menjadi soal adalah bahwa setiap efek dalam hubungan antara seni dan masyarakat
bereaksi terhadap, dan secara konstan mengubah penyebab dari mana mereka muncul.
Tentu saja, predominansi sosial dinyatakan dalam fakta bahwa pertukaran di antaranya
kepentingan sosial dan artistik dikombinasikan) akan tetap dan senantiasa ada.
Sejauh yang bisa kita telusuri dari sejarah manusia, kita menaruh perhatian bukan
pada pengaruh yang dimiliki oleh seni (yang lengkap secara sosial) terhadap masyarakat
yang belum terkena dampak seni. Alih-alih, kita lebih mempertimbangkan adanya
keterkaitan, peningkatan silang dan mutual, ataupun melemahnya pengaruh yang ada.
Dengan kata lain, ini terletak pada permasalahan akan batasan seni oleh masyarakat yang
77
nyata-nyata bisa menunjukkan komponen-komponen artistiknya, juga perubahan
masyarakat oleh produk-produk artistik yang dengan sendirinya adalah produk sosial.
Akan tetapi, sifat-dasar khusus dari hubungan tersebut tak hanya terkandung dalam
Hal yang paling signifikan dari seluruh keadaan yang bermasalah ini adalah
dualitas motivasi, yang kontras dengan kausalitas satu-sisi yang ditampilkan dalam
independensi, apakah itu komponen tetap atau komponen bebasnya (pada satu sisi), atau
apakah itu (pada sisi yang lain) merupakandependensi mutual dari suatu variabel pada
setiap kasusnya. Seberapapun problematisnya sifat konsep kausalitas itu di dalam dirinya
sendiri, tak diragukan bahwa proses di mana dua fenomena terhubung satu dengan yang
lain (dalam kasus-kasus yang tak terkira jumlahnya) ditentukan dan ditampakkan dari
satu sisi/pihak saja. Sebagai contoh: matahari—saat melelehkan salju—itu sendiri tidak
Simmel), kita tak pernah dihadapkan pada kausalitas satu-sisi semacam ini. Sesosok
juga) pada gilirannya akan menentukan secara sepihak. Sebuah karya seni, semata
78
Dalam kasus proses sosio-historis yang menampakkan paralelisme dan
fungsionalisme resiprok dari berbagai fenomena heterogen, tetap tak ada gunanya jika
kita berupaya mencari pusat-hubungan kausalnya. Karena dalam hal ini, proses-proses
tersebut tak bisa diulangi, dan kita tak bisa mengadakan percobaan dengan menghapus
kekuatan-kekuatan individual. Tak ada satupun faktor yang bisa dipisahan secara arbitrer
dari suatu konstelasi historis, tanpa mengubah seluruh keadaan hal-ikhwalnya. Artefak
kondisi sosial (bahkan jika kondisi-kondisi tersebut memiliki manifestasi artistik yang
berbeda) bisa seluruhnya bersifat penuh makna, dan sedikit pun tak harus bersifat
kebetulan belaka. Masyarakat borjuis modern bukanlah penyebab utama dan satu-satunya
dari kemunculan novel-novel ber-genre naturalis: namun, ini pun tak berarti bahwa
kemunculan kaum borjuis modern dan novel-novel naturalis yang bersamaan itu tak
mengandung makna apapun atau terjadi begitu saja. Keduanya terlibat di dalam banyak
kompleks sosioartistik lainnya, yakni dalam keadaan di mana suatu kombinasi tak
sebab itu menjadi tak relevan lagi), maka sosiologi seni harus benar-benar membatasi
dirinya sendiri, yakni hanya pada penelaahan pengaruh sebuah karya dari latihan-latihan
seni terhadap orang-orang yang menjalani keberadaan sosial. Dan hal ini akan menjadi
sedikit melebihi sebuah cabang psikologi sosial dan filosofi moral. Hanya motif-motif
masyarakat bisa terpengaruh oleh berbagai sarana, dan seni (sebagai salah satu dari
sarana-sarana tersebut) menunjukkan sedikit dari sifat-sifat sosial yang dimilikinya. Hal
ini bukanlah untuk menegaskan bahwa hubungan antara seni dan masyarakat (jika
dipandang dari sisi yang lain)—dari asal-usul sosial akan kreativitas artistiknya—
menyibak gambar-penuh-makna yang utuh, yang sangat menyedot tenaga dari proses
estetik-nya yang nyata. Kita sampai pada sebuah gambar yang utuh, hanya jika kedua
aspek itu terpenuhi. Bahkan suatu karya yang tak penah dipublikasikan oleh
gaya bicara dan kemajuan teknis yang telah dicapai secara kolektif—tetapi juga karena ia
menujukan dirinya sendiri (meski secara tak sadar) pada sumber-sumber yang lain itu.
Ketika berbagai stimuli berpotongan, salah satu atau yang lainnya akan muncul
sebagai sesuatu yang paling menonjol. Pada suatu saat, pengaruh masyarakat atas karya
seni, dan pada kesempatan yang lain, partisipasi karya seni dalam metamorfosis
masyarakat, akan tampil paling mencolok. Epos-epos karya Homer, Divine Comedy,
drama era Elizabeth, dan novel naturalis menyatakan dengan lebih jelas, era dan
masyarakat di mana mereka lahir. Sementara itu, tragedi Athena, tragédie classique, dan
karya-karya sastra zaman Pencerahan sifatnya lebih propagandis empatis, mendikte, dan
provokatif. Apa yang bertahan di atas segala keraguan, terletak pada kenyataan bahwa
kita bisa saja membayangkan adanya masyarakat tanpa seni, tetapi tidak demikian halnya
untuk membayangkan keadaan, di mana seni bisa muncul tanpa masyarakat. Seniman
80
senantiasa berada dalam lingkup agen-agen masyarakat, bahkan jika ia berupaya untuk
memengaruhinya. Dalam hal ini, terulanglah kembali resiprositas antara “ada” dengan
“kesadaran”, antara hal-hal dengan persepsi, juga antara kesan sensori objektif dengan
aparat kategoris subjektif. Apa yang bersifat menentukan bagi determinasi proses
sosioartistik (yang asal-usulnya tetap tak diketahui) bukan terletak pada urutannya,
reaksi. Mereka tak cuma saling memengaruhi. Setiap perubahan dalam suatu lingkup
terkait dengan perubahan dalam lingkup yang lain dan menggerakkan perubahan lebih
lanjut dalam sistem tempat bermulanya seluruh perubahan tersebut. Terdapat multiplikasi
dan intensifikasi stimuli yang bersifat konstan, sebuah serbuan dan pacuan yang datang
artistik yang (tanpanya) akan memunculkan karakter dialektis. Tidak ada perjuangan
aktual antara posisi-posisi yang berseberangan itu, melainkan kontradiksi terdalam yang
membangkitkan kontradiksi yang tak tertahankan, berupa konflik parah yang timbul
penyelesaian berbagai antithesis. Bertentangan dengan hal ini, jiwa dan raga, sebagai
contoh, sejak semula mewakili dua prinsip yang berinteraksi satu dengan yang lain,
namun tak akan pernah bisa disatukan. Mereka bukanlah kekuatan-kekuatan yang saling
bertentangan, dan bukan juga komponen-komponen dari sebuah sintesis, terlepas dari
fakta bahwa keduanya tak bisa diturunkan satu dari yang lainnya, dan sifatnya tak
terreduksi secara mutual. Dualitas jiwa dan raga bersifat tak terdamaikan, sebanding
dengan tak terpatahkannya sifat kebersesuaian mereka. Hubungan antara masyarakat dan
seni dalam beberapa hal memang mirip dengan hubungan antara jiwa dan raga: mereka
tidak saling bertentangan, tetapi juga tak akan pernah berada dalam keharmonian.
Perkembangan dialektis seni, apakah itu dalam penciptaan karya-karya individual, dalam
tindakan resepsi, atau dalam rangkaian sejarah gaya (style), tidaklah muncul dari
penyelesaiannya, serta sarana representasinya, yang saling bersinggungan satu sama lain.
Pendeknya, hal itu merupakan hasil dari suatu diferensiasi individual, dari perubahan
selera dan gaya, di mana perkembangan sosial hanya menyediakan sarana pemacunya,
tetapi tidak berasal dari kontradiksi antara seni dan masyarakat. Sikap antithesis bukanlah
suatu antagonisme, dan sebuah interaksi juga bukan merupakan perdebatan dialektis. Ada
berbagai antagonisme dalam seni maupun masyarakat itu sendiri (secara terpisah), tetapi
Di satu sisi, fakta bahwa masyarakat memengaruhi seni dan seni di sisi yang lain
juga memengaruhi masyarakat, tidaklah berarti bahwa sebuah perubahan pada satu pihak
82
memiliki keterkaitan dengan perubahan pada pihak yang lain. Seni dan masyarakat hadir
sebagai dua realitas yang berlainan (meski tak harus terisolasi satu dengan yang lain),
yang sifatnya seiring sejalan. Keduanya, seperti halnya jiwa dan raga, memang tak
terpisahkan, tetapi tak memiliki tujuan atau makna yang sama. Sebab itu, hubungan
resiprok antara keduanya cukup berbeda dengan hubungan (di dalam seni) antara
spontanitas dan konvensi, antara kehendak menuju ekspresi dan sarananya, juga antara
bentuk dan isi. Di sanalah kita mendapati antithesis yang secara konstan menyangkal satu
sama lain, yakni antithesis yang mengarah pada keadaan-keadaan ekuilibrium yang baru,
dan juga pada sintesis di mana tak satupun premisnya tetap tak berubah, melainkan di
mana tak satupun darinya benar-benar hilang. Meski demikian, seni muncul bukan
sebagai “negasi” masyarakat ataupun “negasi dari negasi tersebut”, dan dalam
sejumlah faktor yang berbeda-beda. Produksi karya seni ditentukan oleh alam dan
kebudayaan, keadaan geografis dan ras, waktu dan tempat, biologis dan psikologis, dan
juga oleh kelas ekonomi serta sosial. Sama halnya dengan tipe-tipe etnografis yang
mewakilinya. Faktor-faktor yang terlibat dalam tindakan artistik yang sifatnya kreatif
atau reseptif memperoleh karakter konkrit mereka hanya dalam cara membatasi satu
sama lain—jika diukur dengan totalitas pengalaman artistik, mereka tak lebih dari
dalam pembentukan konsep estetik, tak satupun dari mereka (yang menunjukkan dalam
dirinya masing-masing kualitas spesial) yang mengubah sebuah struktur menjadi sebuah
karya seni.
Berbagai komponen dari keseluruhan artistik (apakah itu produk objektif atau
pengalaman subjektif) sebagiannya dimiliki oleh kelas fenomena yang natural dan
konstan (atau konstan secara relatif), dan sebagian yang lainnya lagi merupakan bagian
dari kelas fenomena kultural, sosial, yang bisa diubah secara historis. Seiring sejalan
dengan spontanitas, variabilitas, dan fleksibilitas dari upaya yang dikerahkan, konstistusi
statis dari data natural eksternal dan juga dari properti organik intinya memainkan
peranan yang sama dalam tindakan artistik, sebagaimana yang selalu dimainkannya
dalam setiap proses kultural. Jika kita memberikan keunggulan pada kekuatan-kekuatan
natural di dalam proses kultural, kita mengubah genesis dari struktur kultural menjadi
suatu “proses natural yang misterius.” Di sisi lain, jika kita memberikan keunggulan pada
kesadaran, kita menciptakan (dari lapisan terdasar ini) suatu keganjilan yang tak berisi.
Pada kesadaran kreatif, sifat dasar yang pasif dan buta adalah sama misteriusnya dengan
84
Sekilas, kreasi artistik tampaknya terdiri dari interaksi berbagai faktor yang
sebagiannya variabel (bersifat tidak tetap) dan yang sebagian lagi invariabel (bersifat
tetap), dalam suatu proses yang melibatkan berbagai kekuatan yang sama-sama saling
tergantung (pada) dan tidak tergantung satu sama lain. Tugas sosiologi seni akan
terseleseikan dengan esensial jika kita bisa menemukan sebuah “variabel independen”,
dari perkembangan yang bisa dimodifikasi dari keterpaduannya sendiri dan yang bisa
dijadikan untuk tergantung pada berbagai perubahan pada faktor-faktor yang lain.
Sebenarnya, kreasi artistik tidak tergantung baik pada faktor tidak tetap maupun faktor
tetap independen dalam berbagai jenisnya. Hal itu seluruhnya merupakan hasil dari
elemen kultural dari suatu tindakan artistik menegaskan dirinya sendiri dalam sebuah
sebagai sebuah hambatan bagi kebebasan gerakan individu; sedangkan bagi para
fungsi-fungsi sosial.
Setiap subjek konkret (secara historis) yang bisa berpikir dan bertindak, akan
mendapati dirinya dalam sebuah situasi yang riil, temporal, dan ditentukan oleh
lokailitasnya, yakni sebuah milieu (lingkungan tempat seseorang tinggal dan menerima
pengaruh) objektif yang telah ada dari dulu. Potensialitas intinya selalu terkait dengan
seperangkat kondisi-eksternal statis. Namun, hal ini tidaklah berarti bahwa faktor-faktor
dinamis dan statis dari proses historisnya sekadar bersifat komplementer, atau bahwa
85
fundamental. Faktor-faktor yang tampaknya konstan berubah menjadi dinamis dan
pada saat itu juga, sementara komponen-komponen yang secara esensial bisa diubah,
(menjadi suatu objek sederhana, seolah-olah memang sudah ada sejak semula), dan
membentuk struktur otonom yang membebaskan mereka dari akar dan kondisi eksistensi
orisinal mereka. Kendaraan yang diciptakan oleh manusia dalam pengelompokan sosial
dan pembentukan budaya, konvensi dan institusi, norma dan nilai-nilai, tata-prilaku dan
hukum yang mengatur pemikiran, termasuk tren stilistik dan wujud-wujud ekspresi,
berubah menjadi prinsip-prinsip tegas yang berlawanan dengan spontanitas murni dan
kebebasan individu.
Kelemahan serius dan mendalam dari sosiologi seni yang bersifat kabur (secara
metodologis) dan tidak kritis, yakni prototipe dari teori milieu Taine, berada pada
kurangnya suatu prinsip yang bisa membedakan faktor-faktor yang alami dan yang
kultural, yang statis dan dinamis, juga faktor-faktor perkembangan dari berbagai variabel
yang bisa diubah secara esensial atau yang benar-benar tak berubah. Bagi Taine, konsep
mentah, dari berbagai kondisi natural (terutama secara iklim-geografis), kultural, dan
interpersonalnya. Konsep ini mengabaikan interaksi antara berbagai faktor yang berbeda
yang berada dalam proses terkait. Di manapun efek itu muncul, Taine serta-merta
secara tajam dalam asumsi, bahwa terdapat sebuah dependensi unilateral antara data fisik
dan sikap intelektual, dan bahwa keduanya membentuk sebuah nexus (penghubung).
86
Akibat kurangnya kejernihan metodologis inilah, seluruh klasifikasi pretensius
dari berbagai faktor perkembangan artistik ke dalam ras, milieu, dan momen, menjadi
sesuatu yang sia-sia belaka. Apa yang dipahami Taine sebagai “ras” memang benar nyata
dan jelas, tetapi peranan yang ia sandangkan pada faktor ini, sejak semula bersifat
maknanya dari waktu ke waktu. Konsep dari faktor rasial boleh jadi bersifat tidak
berubah/tak bisa diubah)nya-lah, faktor ini menjadi tidak riil alias imajiner. Dalam
pengertian Taine, tidak ada ras yang konstan. Fleksibilitas dari dua prinsip Taine lainnya
justru berangkat dari kurangnya kejelasan akan hal yang didefinisikannya. Taine
memaknai “milieu” sebagai totalitas dari berbagai kondisi eksternal, di mana kekhususan
membedakan ketiga faktor tersebut dalam perkembanganya. Yang paling tidak samar di
antara kesemuanya itu adalah, apa sebenarnya yang ditandai oleh momen (dalam versi
Taine) dalam hubungan ini. Jika dengan ini kita memahami poin waktu munculnya
sebuah karya atau tren stilistik, maka kategori tersebut harus ditempatkan dalam sebuah
konsep urutan yang berbeda dari dua faktor lainnya. Oleh sebab itu, “moment” di sini
tidak menjadi sebuah “faktor” di dalam struktur yang akan dianalisis, melainkan hanya
sebagai medium di mana dua kategori lainnya menjalankan fungsinya. Dengan kata lain,
jika kita hendak memahami istilah tersebut sekadar sebagai sebuah titik dalam rangkaian
waktu, maka hal itu hanyalah sebuah varian milieu. Oleh sebab itu, jika kita
menetapkannya sebagai suatu kategori dasar dari konstruksi artistik, tentu saja itu adalah
suatu hal yang berlebih-lebihan dan tak bermakna. Pendeknya, apa yang bisa
87
dipertahankan dari seluruh teori Taine adalah fakta bahwa sastra terkondisi oleh lokasi
sang penulis, dalam dimensi ruang dan waktunya. Namun, itu bukanlah suatu penemuan
yang baru dalam era Taine: Mme de Staël sudah pernah berada dalam jalur ini.
Meski demikian, analisis terhadap teori Taine ini tidak secara langsung mengarah
pada sebuah pandangan akan signifikansi terbesarnya. Memang tak ada yang sanggup
terhadap kreasi artistik. Setiap usaha untuk menjelaskannya dalam cara ini adalah
bersifat menentukan bagi sifat sebuah produk final. Tetapi, mereka yang berargumen
waktu yang berbeda-beda dan dalam titik tolak yang berbeda pula, di sepanjang jalan
yang dilaluinya, yang akan mengarahkannya secara langsung dari ide orisinalnya ke
sebuah solusi final. Gagasan bahwa fase pertama dari proses tersebut merupakan faktor
yang paling menentukan bagi wujud final sebuah produk, adalah suatu kekeliruan yang
berakar pada pemikiran ilmiah dan formasi konsep biologis. Pada kenyataannya, hasil
dari setiap perkembangan historis seringkali menjadi produk sampingan yang termediasi
secara beraneka ragam dari kekuatan-kekuatan karya dalam proses tersebut. Setiap teori
genetik dari pembentukan budaya yang berangkat dari berbagai kondisi natural (apakah
itu geografis, etnografis, ataupun psiko-fisiologis) cenderung untuk menaksir rendah akan
deviasi yang dimunculkan oleh perkembangan dari tendensi orisinalnya. Hanya sebuah
metode yang secara prinsip diorientasikan kepada interaksi dan dengan sebuah konstruk
88
kultural (yakni hasil yang muncul secara bertahap dari berbagai faktor yang menciptakan
kemungkinan untuk mengarah pada penemuan sebuah elemen yang akan menciptakan
dan membentuk hasil final, yang bisa membenahi gambaran genetik unilateral yang
salah-kaprah itu.
Faktor-faktor Natural
Kita bisa membahas sejarah dan masyarakat hanya dalam konteks asumsi, bahwa
suatu lingkaran sejarah. Keberadaan alam yang ahistoris dan asosial bukan saja satu-
satunya prasyarat yang dengannya kita bisa memahami sejarah dan masyarakat, tetapi
juga suatu hal yang esensial bagi fondasi material yang menjadi sandaran budaya sebagai
sebuah superstruktur.
(halaman 308-327)
Konsep bahwa seni adalah suatu godaan yang membahayakan tentunya sama
tuanya dengan gagasan pendidikan estetis dalam sejarah manusia. Pada masa klasikisme
Yunani, (dalam berbagai kasus) masih belum ada teori seni yang muncul sebagai alat
89
pendidikan yang bersifat lebih ekspresif dan mengarah-langsung, dibandingkan dengan
larangan dan pengasingan Platonik terhadapnya, dari keadaan ideal sang filsuf. Sejak itu,
kebermanfaatannya, juga makna dan nilai edukasi estetiknya. Apakah semuanya itu
masyarakat?
ilusionisme terhadap berbagai gagasan, sudah cukup lama menjadi hal yang tak relevan.
Tesisnya akan sifat-alami sensual dari representasi artistik, serta kesesuaiannya untuk
menstimulasi indera dan melemahkan kemauan, (pada sisi yang lain) telah
Platonik yang dalam. Sikap antiartistik dari para Pemimpin Gereja yang terutama
menyerang sensualitas, lebih mengingatkan kita akan para filsuf yang kafir (menyembah
berhala dan tak mengakui Tuhan), ketimbang mengingatkan kita pada para rasul.
pengabdian sebagai bentuk keburukan sensual dari sosok spiritual suci. Permusuhan yang
ditujukan oleh semua kaum sektarian pada Zaman Pertengahan terhadap seni (bahkan
pemujaan tersebut. Savonarola dan juga kaum anabaptis menyatakan (dalam tabir
90
ikonoklasme) perlawanannya terhadap masyarakat yang ada dan kelas-kelas yang tengah
berkuasa. Mereka melakukan hal ini dengan lebih nyata dibandingkan dengan para
pendahulunya, yang hampir-hampir tak menyadari fakta bahwa dalam melawan hierarki
spiritual dan institusi eklesiastikal, pada saat yang sama mereka juga tengah berjuang
tampak semakin jelas dalam rangkaian perkembangan historis. Hal itu juga telah menjadi
sesuatu yang makin nyata pada era Pencerahan, yakni pada saat peranan Platonisme
telah menjadi salah satu ciri-ciri permanen dari kebudayaan Barat, dan dalam kamp-kamp
yang radikal politis, telah terdapat kecurigaan terhadap seni sebagai candu yang bersifat
contohnya dalam aliansi sosialisme dengan naturalisme pada sekitar pertengahan abad
ke-19. Sementara itu, semakin estetistik bangsa Barat, maka semakin tinggilah
perlawanan seni terhadap dominasi kehidupan, sehingga tak perlu kiranya menunggu
gerakan Dadaisme dan antiseni (pada masa kini) dalam rangka mencari makna dan tujuan
seni yang dipertanyakan (bahkan) oleh para senimannya sendiri. Bukankah Flaubert
(yang menganggap bahwa seni-lah hal yang paling berharga dalam hidup) telah bertanya
pada dirinya sendiri, “Bukankah ekspresi nihilisme yang ketakutan—yakni kekuatan yang
mengasingkan?”
sebuah pengujian dan ringkasan dari pengutukan terhadap seni, tanpa mengaitkan peran
91
sosial atau moralnya dengan kreasi-kreasi individualnya. Adalah zaman Renaisans-lah
(sebagai sebuah periode yang membuat astetisisasi secara tegas) yang pertama kali
sampai pada gagasan, bahwa seni yang dihasilkan oleh master-master hebat itu sendiri
bersifat memuliakan, dan bahwa efek edukasional yang ditimbulkan oleh seni tumbuh
dari keberhargaan artistiknya. Pada Masa Pertengahan, tidak ada nilai moral yang
disandangkan pada kualitas artistik semacam itu, meskipun tentunya tetap terdapat
sensitivitas terhadapnya dan tampaknya hanya ada sedikit diferensiasi antara dua urutan
nilai tersebut. Kaum visionari religius (yang menolak seni secara fundamental)
dan para penguasa temporal maupun spiritual yang bertujuan memakainya sebagai sarana
propaganda tidak menilai seni berdasarkan nilai estetiknya. Sama halnya ketika
penolakan terhadap seni tak harus selalu dipandang sebagai tanda nonreseptivitas atas
pesonanya, maka pihak-pihak yang mempekerjakan dan melindungi para seniman pun
tak harus selalu dipandang sebagai para pakar seni itu sendiri.
tidaklah (dalam pengertian sosiologis) termasuk ke dalam golongan para estetis, yang
menilai kehidupan dari pertimbangan seni dan ‘mengabaikan’ kehidupan demi seni itu
sendiri. Tak satupun dari mereka yang memiliki kepercayaan diri dalam edukabilitas-
masyarakat melalui seni. Karena baik para estetis maupun para ikonoklasik memisahkan
keduanya satu sama lain, maka tak ada hal semacam itu yang bisa terjadi. Seni
menampakkan dirinya sebagai makna yang efektif secara sosial (dalam pengertian yang
positif maupun negatif, konstruktif atau destruktif, apologetik ataupun kritikal) hanya saat
92
ia ditujukan pada sebuah urutan kekuasaan tertentu, tetapi tidak saat ia mendapati dirinya
sendiri dikonfrontasikan dengan kehampaan sosial oleh humanitas. Seni itu sendiri
tidaklah bermanfaat atau membahayakan per se. Tetapi, dalam kondisi-kondisi tertentu,
seni—yang tak cuma merefleksikan realitas sosial tetapi juga mengkritik masyarakat—
terkandung di dalamnya.
Peranan yang dimainkan oleh seni dalam pembentukan masyarakat tidak selalu
penting dan muncul secara berimbang. Tidak harus para seniman besar (master pemahat
patung Yunani dan katedral Gotik, bukan juga Leonardo atau Michaelangelo, Rubens dan
Rembrandt, bahkan juga bukan para manipulator pengaruh artistik pada masyarakat,
fundamental dan terang-terangan, melainkan para kritikus sosial seperti Breughel, Callot,
Hogarth, Goya, Miller, dan Daumier-lah, yang melakukannya. Dalam kasus mereka (di
mana hal itu muncul sebagai pertanyaan akan kritisisme sosial dalam pengertian serangan
langsung terhadap sebuah sistem sosial—sebagai suatu keseluruhan atau kelas individual,
institusi tertentu, dan konvensi, penyalahgunaan, dan dalam hal mengungkapkan dan
penuduhan dan dakwaan ditujukan), usaha untuk mengubah masyarakat menjadi jelas
dan lebih berhasil ketimbang dalam karya yang (pertama dan terutama) merupakan
menuju pencerahan (yang sudah ada dalam masyarakat), karya-karya tersebut merupakan
produk, dan bukan produsen dari berbagai kondisi sosial. Sebagai kritik sosial, seni
adalah pencipta berbagai keadaan ini, hanya sejauh ia bereaksi atas masyarakat dengan
93
impuls yang telah ia terima darinya dan yang terkondisi oleh berbagai kontradiksi,
tegangan, dan konflik yang ada. Sebagaimana yang kita ketahui, setiap kritik sosial akan
tetap bertahan sebagai kritik-diri masyarakat. Matthew Arnold tampaknya tidak berpikir
tentang kritik sosial apapun dalam pengertian ini, ketika ia menyebut sastra sebagai
“kritik kehidupan”. Alih-alih, ia beranggapan bahwa sastra sejak semula dan tanpa henti
akan terus mencari eksistensi utopia ideal, dan bahwa keadaan (yang tak dapat ia
perubahan (dalam esensinya) oleh kehidupan, sama kecilnya dengan perubahan yang
muncul dalam kehidupan akibat pengaruh sastra. Kehidupan akan tetap menjadi sebuah
objek yang memerlukan kritisisme, yakni sastra sebagai organ seni yang bersifat
mencukupi dirinya sendiri. Aforisme Oscar Wilde bahwa seni tidak meniru kehidupan
tetapi justru sebaliknya, tampaknya beranjak pada sebuah tingkatan yang cukup berbeda
dari aforisme bahwa sastra merupakan “kritik kehidupan”. Apa yang mirip darinya
dengan kritik kehidupan yang disampaikan oleh Arnold terdapat pada ciri-ciri
semua orang tak mampu memahami wujud dan makna hal-hal tanpa melihatnya
(ditunjukkan secara langsung) di depan mata. Kehidupan tampaknya meniru karya, dan
tampaknya seni tidaklah tampil sebagai bentuk kritik dan koreksi terhadapnya, melainkan
sebagai contoh dan ukuran realita. Akan tetapi, fungsi seni tidak sekadar terkandung di
dalam membukanya mata orang-orang, tetapi juga dalam mencegah mereka dari menutup
mata akan berbagai fakta, tugas-tugas sulit, solusi-solusi yang tak nyaman, dan alternatif
yang bersifat tragis. Wilde mungkin telah merenungkan segala sesuatu yang terkait
dengan peran penyibak yang dimainkan oleh seni, namun ia tampaknya telah
94
mengabaikan untuk mempertimbangkan responsibilitas yang ditempatkan oleh seni pada
Sementara itu, bagi masyarakat, seni bersifat normatif sekaligus tipikal, tidak
saat ia menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru, termasuk juga moral, juga cara berpikir
dan merasa, yang bisa diterima dan dihargai. Seni menjadi sebuah faktor sosial ketika
menjadi sebuah kekuatan revolusioner. Tetapi, jika pengaruh masyarakat pada seni
seringkali tetap tak terungkap dan tak terlihat, efek seni (betapapun kecilnya) mau-tak-
mau akan tampak ‘mencolok’ mata. Itu sebabnya, seni bersifat immaterial, terlepas
apakah dampak finalnya tetap tersembunyi di dalam pangkuan masyarakat atau apakah ia
akan terungkap; karena tujuan dan arahnya bersifat jelas dan langsung terasa.
Efek sosial seni, juga perannya sebagai faktor dalam produksi masyarakat, tampak
paling jelas saat ia menjadi kekuatan pendorong dari gangguan, pembaharuan, dan
ada dan mengancamnya dengan sebuah penghancuran. Tetapi, seni tampaknya juga
berperan sebagai penenang, untuk menstabilisasi kondisi yang ada, dan untuk
menstabilkan konflik-konflik yang meletus, tak hanya saat ia mencoba muncul sebagai
sebuah apologia untuk merekonsiliasi strata masyarakat yang lebih luas (dengan ideologi
yang lebih terbatas), tetapi juga pada saat ia menegaskan prinsip-prinsip seleranya yang
95
dibandingkan dengan struktur-struktur ideologis lainnya, dan yang bersifat lebih cocok
Tetapi, akan menjadi suatu hal yang sifatnya romantisis murni, untuk
karena ia memisahkan orang-orang menurut karya apa saja yang mampu mereka apresiasi
dalam berbagai lingkungan yang berbeda, dalam proses di mana ia sama sekali bukan
merupakan karya terpenting yang memiliki pengikut terbanyak. Akan tetapi, hal yang
berkebalikan dari itu tampaknya menjadi aturan yang berlaku. Nilai estetik dan fungsi
penentu sosial dari hasil-hasil artistik—dalam hubungan ini pula—berdiri dalam sebuah
proporsi yang berlawanan satu sama lain. Bukanlah Richardson, bukan pula Jane Austen,
Béranger, Baudelaire atau Alfred de Vigny, yang memiliki pengaruh yang lebih besar
dalam pembentukan masyarakat mereka. Dalam berbagai kasus, adalah keliru untuk
menganggap pribadi seniman sebagai faktor sosial positif yang benar-benar bekerja
sebagai semacam pelipur sosial, sama kelirunya untuk memandang seni secara tak-
bersyarat sebagai elemen penghibur dan pemersatu dalam masyarakat. Dalam banyak hal,
seni dengan jujur tampil sebagai sebuah kekuatan yang memusuhi masyarakat, sebuah
sumber perselisihan, disintegrasi, dan keretakan. Jika seniman tampak menaruh perhatian
pada masyarakat yang harmonis, ia secara umum hanya berpikir akan suatu kebulatan
yang mengikutinya; ambisinya mendorongnya untuk membedakan diri dari yang lain,
untuk menjadi unik dan tak terbandingkan. Perjuangannya menuju kesuksesan ditentukan
oleh rasa iri hati, kecemburuan, juga sentimen yang ia tujukan pada saingan, kritikus,
maupun lawan-lawannya, sama seringnya perjuangan itu ditentukan oleh hasrat akan
simpati, solidaritas, dan pemahaman dari semua lainnya. Sejak periode romantik,
96
seniman—dengan subjekivitas, kondisi patologisnya sebagai orang asing di luar
masyarakat, kurangnya fungsi publik di dalam diri, serta alienasi fatalnya—telah menjadi
makhluk asosial yang murni dan sederhana, prototipe dari pribadi yang mempunyai hak-
hak istimewa, yang dalam masyarakat mempunyai hak untuk menjalani semacam
eksistensi ekstrateritorial. Tak ada yang lebih signifikan bagi situasi sosial yak tak stabil
dan nilai yang senantiasa dipertanyakan dari keberadaan semacam ini, ketimbang makna
paling sulit, dan dalam banyak hal, paling menentukan di dalam sosiologi seni, lantaran
klaim disiplin prinsip itu terhadap validitas ilmiah, yang akan bangkit atau jatuh menurut
jawaban yang tersedia untuknya. Jika posisi “seni untuk seni” bisa dipertahankan dan
sebuah karya seni dinilai sebagai sebuah sistem tertutup yang sifat mikrokosmiknya
terancam oleh segala jenis hal yang transendental, oleh segala pelanggaran terhadap
berbagai batasannya (sekecil apapun itu), maka klaim bahwa makna dan tujuan seni bisa
ditentukan secara sosiologis, akan tampak tak sah dan tak dapat dilaksanakan. Apakah
esensi dan nilai sebuah karya seni akan ditemukan di dalam struktur inti dan daya pikat
konstitutifnya, varietas dan semangat yang hidup dalam wujud optik dan akustiknya,
dalam struktur harmonis dan élan melodisnya, kehebatan warna dan musik bahasanya?
Ataukah, esensi dan nilai karya seni terletak di dalam fungsi-fungsinya—sebagai sebuah
97
ajaran, sebagai seruan dan amanat, sebagai interpretasi, sebagai kritik dan koreksi atas
hidup? Dengan kata lain, apakah seni sekadar sebuah sarana sampai pada sebuah titik
yang berada di luar batasan-batasan sekaligus lingkup estetisnya sendiri? Pertanyaan itu
berujung pada apakah seni adalah sebuah tujuan dan maksud di dalam dirinya sendiri,
ataukah ia hanya sarana untuk mencapai hasil akhir yang terletak di luar dirinya.
Dari sudut pandang materialisme historis, ketidaksesuaian antara fungsi sosial dan
estetis terkait dengan kontradiksi yang mungkin terdapat di antara signifikansi artistik-
kualitatif dari sebuah karya dan keserasiannya dengan pemenuhan berbagai kewajiban
sosial dan moral. Sebuah lukisan mungkin saja dilukis tanpa cacat, namun di sisi lain
sama sekali bersifat acuh terhadap sekelilingnya; sebuah novel boleh jadi ditulis dengan
sangat brilian, namun di satu sisi juga bersifat sembrono dan merusak akhlak. Nilai
kebermanfaatan sosial, juga nilai moral dan kemanusiaan sebuah karya seni tak ada
lazim. Yang memberikan signifikansi sosial, moral, dan kemanusiaan pada sebuah karya
seni bukan terletak pada motif-motif, aksi, karakter-karakter, ataupun maksud implisit
hidup. Seni yang tak bermakna atau tak berbobot bukanlah seni yang mengangkat
sebuah pendirian remeh-temeh dan palsu vis-à-vis tugas kehidupan, yang oleh karenanya
menyesatkan orang-orang ke perkiraan fakta-fakta yang keliru atau ceroboh, dan justru
membawa mereka pada penipuan-diri dan kemunduran. Protes terhadap doktrin “seni
untuk seni” merupakan protes terhadap prinsip romantik yang menganjurkan untuk
98
melenggang pergi dari kewajiban hidup yang riil dan menghindari berbagai kesulitan
genesisnya, untuk menjadi bagian akhir di dalam dirinya sendiri, untuk meng-
interpersonal, menjadi sesuatu yang bernilai abstrak, apakah itu dalam wujud sebuah
pergolakan, untuk menjadi sebuah kompleksitas bentuk yang harus diinterpretasi dan
yang paling serius dari pandangan kaum utilitarian, tepatnya karena fakta bahwa
metamorfosis ini sesungguhnya bisa dicapai dan bahwa karya seni tersebut bisa
dipandang sebagai sebuah struktur formal independen, yang tertutup dan kompleks di
berdasarkan basis kohesi intinya masing-masing. Oleh karenanya, menurut doktrin seni
untuk seni ini, asal-usul psikologis dan tujuan sosial-moral sebuah penciptaan artistik
dinilai tidak signifikan, dan interpretasi genetis atau teleologisnya akan menjadi sesuatu
yang dicela, karena hal itu tak hanya akan membuat struktur formal intinya menjadi tak
99
berhubungan satu sama lain. Doktrin yang berakar dari sifat ketercukupan seni dan yang
berpegang teguh pada gagasan bahwa asal-usul psikologisnya adalah suatu permasalahan
kelalaian, dan efek-efek sosialnya yang tak berujung menyesuaikan dengan konsep
romantik, yang terletak pada seniman yang “hanyalah sekadar” pencipta karya-karyanya.
Pada kenyataannya, seorang seniman tidaklah lebih eksis ketimbang seorang pembaca
atau penonton, yang semata berperan sebagai penampung kesan-kesan artistik. Hanya
anak sekolah dan penggemar (bukan pakar) seni yang menulis puisinya dalam vacuum
(keadaan bebas dari apa-apa) semacam ini; merekalah representasi termurni dari prinsip-
prinsip seni untuk seni. Sementara itu, seniman yang benar-benar matang selalu bekerja
di tengah-tengah situasi sosial, senantiasa meneriakkan atas orang lain (dan di saat yang
sama, juga bagi dirinya sendiri). Mereka juga menaruh perhatian pada solusi
permasalahan hidup yang tak hanya berdampak bagi diri mereka sendiri. Kesulitan untuk
karya seni selalu dihasilkan dari tuntutan atau kebutuhan sosial yang sifatnya
interpersonal, tetapi sekaligus juga memiliki kualitas estetiknya sendiri, yakni sebuah
nilai khusus yang tak terreduksi, agar ia bisa menjadi efektif. Jadi, karya-karya seni bisa
eksponen dari kualitas spesial, yang bersifat mencukupi-diri dan tidak tak terreduksi.
Teori l’art pour l’art tak menghendaki adanya keterkaitan dengan berbagai
kontradiksi tersebut. Ia tak hanya menyangkal kegunaan moral dan sosial dalam seni,
tetapi juga segala fungsi praktis yang mungkin muncul darinya. “Tak akan ada yang
menulis puisi,” ucap Eugenio Montale, “jika permasalahan sastra terdapat pada upaya
untuk membuatnya (seseorang itu) dipahami.” Bahkan terdapat juga keraguan, pada
100
apakah kapasitas untuk membuat seseorang dipahami, komunikasi perasaan dan
pengalamannya yang terang, terdapat dalam kekuatan seni. Apa yang ditegaskan oleh
Eduard Hanslick tentang musik (di dalam Von musikalischem Schönen), bahwa
keterkaitannya dengan segala sesuatu yang bersifat nonmusikal, yakni segala sesuatu
yang memiliki kandungan emosional dan ideal, adalah sesuatu yang samar dan tidak
menegaskan apa-apa, dan bahwa pandangan ini dalam taraf tertentu juga berlaku dalam
bentuk seni apapun. Sama halnya musik yang mengekspresikan sesuatu yang tak bisa
diterjemahkan dalam bentuk lain apapun, begitu juga halnya dengan sastra yang lebih
menggunakan sesuatu yang terkunci di dalam kata-kata dan struktur sintaktik. Begitupun
juga, kandungan tak terjemahkan dari sebuah lukisan, sebuah gagasan bergambar, sebuah
visi, hanya bisa ditangkap dan dipelihara dalam bentuk-bentuk optik. Komposer berpikir
dalam wujud nada, pelukis dalam wujud goresan dan warna, penyair dalam wujud kata-
kata, gaya bahasa dan ritma. Tak diragukan lagi, hal itu tidaklah sepenuhnya benar;
Bahwa akan tetap ada sebuah nilai intrinsik yang bisa diterjemahkan ke dalam berbagai
bentuk.
Tesis bahwa setiap medium seni bersifat tunggal dan homogen, bisa disandangkan
sebagian pada aparatus konseptual dari teori seni untuk seni, dan berdiri dalam kebutuhan
akan sebuah koreksi fundamental. Tesis ini juga terlalu tajam memisahkan bentuk dari
seluruh struktur artistiknya, dan menyatakan bentuk sebagai sesuatu yang tak terreduksi,
tak terjemahkan, dan tak tergantikan. Dengan adanya pemindahan realitas heterogen
kepada medium homogen dari seni individual, varietas eksistensi yang membingungkan
sampai taraf tertentu akan menjadi tak terkontrol, tetapi juga menjadi sesuatu yang tak
101
akan pernah berhenti. Penjelasan kreativitas artistik sebagai proyeksi dari berbagai
penjelasan yang sifatnya parsial dan metaforikal. Karena dalam proses menciptakan
sebuah objektivitas yang terpadu secara sensual dari material pengalaman empiris yang
semrawut, sang seniman tak cuma melihat bagaimana kaleidoskop material akan sesuai
dengan kategori-kategori homogen dari suatu organ makna atau organ lainnya. Struktur
homogen, sama halnya dengan struktur mikrokosmik, adalah sebuah faktor esensial
dalam sebuah karya seni, tetapi bukan merupakan faktor yang harus ada; kesatuan tak
lebih dari sekadar sebuah bagian dari segala bentuk artistik, ketimbang dari sebuah
Menurut ucapan terkenal dari Max Liebermann, sebonggol kubis yang dilukis
dengan baik tentu saja lebih bernilai (dalam dirinya sendiri) ketimbang lukisan kepala
Madonna yang dilukis dengan amburadul. Kepala Madonna akan menjadi lebih bernilai
jika dilukis dengan lebih baik dan hanya akan menjadi sebuah objek artistik jika dilukis
dengan baik. Namun, bahkan pernyataan semacam ini pun (sama halnya dengan reduksi
kualitas artistik ke dalam satu medium homogen) tidak mengandung kebenaran penuh;
pernyataan tersebut harus diperluas untuk menunjukkan bahwa lukisan kepala Madonna
yang dilukis dengan baik mungkin saja naik ke wilayah yang semata tak bisa dimasuki
oleh lukisan sebongkah kubis. Tetapi bagaimana kita bisa sampai pada pertimbangan
semacam itu, yakni bahwa subjek Madonna menempati tempat yang lebih tinggi, jika
kualitas lukisan merupakan sebuah kriteria nilai yang tak bersyarat? Atau sebaliknya:
bagaimana bisa kita menyimpulkan bahwa kualitas lukisan menjadi suatu hal terpenting,
jika Madonna—atau, dalam hal itu, elemen manusia secara umum—mewakili sebuah
102
nilai yang spesial? Di sinilah nyata-nyata terletak inkongruitas standarnya: bahwa
manusia dan gambar termasuk ke dalam dua lingkup hal yang berbeda dan mewakili
nilai-nilai yang tak terreduksi satu sama lain—kebesaran/keunggulan yang satu boleh jadi
Inkonsistensi ini bisa diwakili oleh sebuah imej: sebuah karya seni adalah
bagaikan sebuah jendela yang dengannya kita bisa mengamati dunia tanpa
beling jendela, tetapi kita juga bisa memfokuskan perhatian pada jendela tanpa harus
menjadi waspada dengan wujud dan makna objek yang ditampakkan melaluinya. Dengan
cara ini, akan selalu muncul di hadapan kita, dua aspek dan kita bisa bergerak kesana-
kemari di antara keduanya. Terkadang, kita memandang sebuah karya sebagai hasil
pembuatan yang mencukupi-diri, lepas dari realitas dan semua objektifikasi lainnya, dan
yang lain sebagai cermin realitas yang terikat erat dengan keberadaan manusia dan
membantu kita untuk merasa, memahami, dan menilainya. Dari sudut pandang
yang esensial bagi sebuah karya seni; ia hanya mampu menciptakan ilusi total dan
menjadi gambaran totalitas yang kredibel saat ia memerdekakan dirinya dari segala
sesuatu yang berdiri di luar lingkupnya yang semestinya. Akan tetapi, ilusi sama sekali
tidak menyusun keseluruhan kandungan sebuah karya seni dan seringkali memainkan
peranan yang tak menentukan bagi efek yang ia timbulkan. Seni adalah—dan akan tetap
dengan realitas, sekaligus mengubah jarak darinya. Seni hanya akan eksis sejauh ia
membedakan diri dari realita, pada satu sisi, dan terlibat di dalamnya, pada sisi yang lain.
103
Seni tak cuma merefleksikan tetapi juga meninggalkan dan menggantikan realitas; adalah
bagian dari esensi seni untuk menjaga kesadaran refleksi, fakta penipuan-diri, yang akan
tetap ada dengan secara konstan menyinggung kebenaran yang direfleksikannya. Tak ada
karya seni otentik yang memiliki kekurangan akan perbedaan realitas, dan karya-karya
yang paling penting seringkali merupakan diskusi langsung dari eksistensi manusia,
beserta permasalahan dan tugas-tugasnya dalam kehidupan nyata. Tujuan dari karya-
karya ini pastinya bukan untuk membius pembaca atau penonton, atau membawa mereka
signifikansinya. Karya seni yang otentik sedari awal telah menolak ilusionisme yang
memperdaya, yang ditimbulkan oleh mikrokosmos dan sikap artistik yang berpusat-pada-
diri, melalui sebuah poin yang melebihi jangkauan estetisnya sendiri. Karya-karya itu
tersebut. Bagaimana makna bisa muncul di luar kehidupan itu sendiri? Bagaimana kita
bisa berpartisipasi dalam makna ini? Bagaimana kita (hanya sebagai diri kita apa adanya)
Keputusan akan apakah sebuah karya seni harus dipahami sebagai suatu wujud
seruan, tesis, atau makna, tentu saja tak selalu bergantung pada sikap sang pencipta
karya. Setiap karya-penting kurang-lebih akan memenuhi kedua fungsi tersebut. Bahkan,
representasi realitas yang bersifat paling politis atau penuh prasangka moral, bisa
dinikmati sebagai seni murni, sebagai sebuah struktur formal yang murni, jika hal itu
sepenuhnya bersifat relevan secara estetis. Di sisi lain, produk yang tampaknya paling
104
artistik sekalipun (bahkan jika kreatornya tak memiliki tujuan praktis apapun) bisa
berfungsi sebagai kritik sosial tersembunyi. Aktivisme Dante tak lebih meniadakan
apresiasi estetik murni dalam Divine Comedy karyanya, dibandingkan dengan estetisisme
dan formalism Flaubert, yang meniadakan sebuah interpretasi sosiologis dalam Madame
prinsip seni untuk seni; dia beranggapan bahwa prinsip ini telah benar-benar dipenuhi
ceramah moral. Akan tetapi, hampir seluruh karya Flaubert justru mengekspresikan
filosofi hidup yang dikelilingi oleh permasalahan moral dan sosial. Madame Bovary,
pemalsuan yang dilakukannya terhadap seseorang dan realitas, yang tak semestinya kita
ditimbulkan oleh warna, nada, atau kata-kata di dalamnya. Prasyarat bagi kualitas artistik
dan fungsi yang harus dipenuhi oleh seni merupakan bentuk keberhasilannya. Semua
bentuk seni berangkat dari sini, meski jika mereka semua tak akan berakhir padanya.
Tanpa wujud pemuas, seni tak bisa berhubungan dengan tugas ekstra-estetik apapun.
Efek artistik tentunya juga memiliki ambang penerimaan syarat estetik, sebuah titik
105
minimum formal yang yang harus dicapai supaya karya tersebut memasuki lingkup seni,
tetapi yang juga jauh dari kondisi “cukup” baginya untuk menembus wilayah-wilayah
seni yang tertinggi dan terdalam. Fakta bahwa apa-apa yang benar dan tepat dari segi
politis, sosial, dan kemanusiaan, hanya bisa direalisasikan dalam karya yang (secara
sine qua non (syarat mutlak) ontologis dari kualitas estetisnya. Nilai-nilai kemanusiaan
dan sosial yang tak muncul di dalam bentuk yang sukses secara estetis merupakan suatu
menandakan sebuah formalisme satu-sisi, melainkan justru sekadar berarti bahwa bentuk
dari transmisi kandungan (isi) harus tersedia dan bisa digunakan oleh sang seniman. Di
samping itu, keunggulan aksiologis dari “isi” tidak mengurangi pentingnya “bentuk”,
karena di sini kita berhubungan dengan kandungan yang hanya bisa diekspresikan secara
memadai dalam suatu bentuk tertentu dan bukan dalam bentuk yang lain, dan yang
(dalam rangkaian prosesnya) mengalami perubahan sebanyak yang dialami oleh bentuk
yang digunakannya. Yang membuat seseorang menjadi seorang “seniman” bukanlah hal
yang sedang ia coba untuk lukiskan, untuk ia rekomendasikan, dan untuk ia puja,
melainkan pada cara bagaimana ia melakukan kesemuanya itu. Tetapi, yang membuat
seseorang menjadi seniman besar adalah hal, di mana ia berdiri untuknya, dan untuk itu ia
Identifikasi bentuk dan isi terletak terutama pada ketakberpisahannya, bukan pada
keduanya paling terlukiskan oleh fakta, bahwa pemisahannya terhadap satu sama lain
106
akan (pertama-tama) dianggap sebagai sebuah pembagian tugas. Tetapi, fungsi terpisah
bahwa pembagian tersebut tidak terjadi pada sebuah moment yang telah ada tetapi sejak
semula merupakan proses dialektika estetik. Sintesis dari bentuk dan isi tidak
keadaan pengabaian yang ada di antara keduanya sering dianggap sebagai mediasi antara
sebuah prinsip formal intelektual dan sebuah prinsip sensual, material yang manusiawi.
tahap khusus oleh Hegel, dan (dalam pengertian yang sama) tahap tipikal, oleh Lukács.
Bentuk dan isi adalah dua hal yang benar-benar berbeda—yang paling masuk akal
untuk tampak berbeda—meski mereka hanya bisa dipahami dalam kaitannya satu sama
lain. Perbedaan keduanya (bahkan sifat-sifatnya yang bertentangan) tak serta-merta bisa
dihapuskan dari seni, yang mungkin didefinisikan sebagai sebuah ketegangan yang ada di
antara keduanya. Tak ada satupun karya seni yang semata murni bentuk ataupun murni
isi. Keinginan Flaubert untuk menulis sebuah buku tanpa suatu objek, yakni sebuah buku
tanpa kandungan yang akan menjadi suatu bentuk murni, akan selamanya menjadi sebuah
khayalan; dalam berbagai kasus, hal semacam itu hanya akan menjadi sekadar latihan
lima-jari sebagaimana seluruh formalisme murni lainnya. Kandungan (isi) tak akan
pernah bisa “dihapuskan dari Bentuk”, ujar Schiller. (73) Sama halnya ketika setiap
objek artistik hanya menciptakan kesan melalui wujud yang ia gunakan, bahkan bentuk
yang paling sederhana dan mendasar memperoleh efeknya dari ketegangan antara
107
Sebuah bentuk bisa dibilang berhasil jika ia berhubungan (dalam taraf tertentu)
dengan isi yang diekspresikannya. Bentuk tak akan pernah menjadi sekadar fungsi
ditiadakan sebagai sesuatu yang tidak layak. Jadi, akan ada lebih dari satu bentuk yang
mengungkapkan sesuatu terikat erat dengan apa yang harus ia katakan. Jika seorang
seniman modern, sebagai contoh, mengekspresikan dirinya sebagai sesuatu yang “tak
ambiguitas dari bahasa formalnya merupakan hal yang tak terpisahkan dari permasalahan
yang ia angkat. Teapi, bahasa yang ia gunakan harus menjelaskan bahwa ia hendak
mengekspresikan sesuatu yang tak jelas dan tak bisa dijelaskan. “Oedipus Complex”
Hamlet tak akan dinamai semacam itu jika saja Shakespeare bisa menamainya dengan
jelas. Kita juga hanya mampu memaknai cinta Pangeran Myshkin pada Nastasya
pembaca. Tak seorangpun yang bisa memastikan lingkup di mana cerita-cerita Franz
Kafka bisa diperankan dengan lebih tepat, ketimbang oleh penulisnya sendiri. Suatu
elemen material tentunya akan terungkap lebih dulu oleh sarana-sarana formal, sama
halnya bentuk akan pertama kali muncul saat ia dihadapkan pada latar-belakang material.
Tujuan dari upaya artistik tampaknya merupakan kesegeraan total dari isi dan bentuk,
gabungan absolut dari pikiran dan perasaan yang dikomunikasikan dalam medium
komunikasi. Meski demikian, hal itu tetap merupakan sebuah tanda dari apa yang
sifatnya artistik, bahwa bentuk bukanlah isi, dan isi pun juga bukan bentuk.
108
Kemunculan/gabungan satu prinsip dengan prinsip yang lainnya tak lebih dari sekadar
Seni jelas-jelas berubah saat terjadi perubahan isi. Sebuah konsep moralitas,
kewajiban, atau penghargaan yang sifatnya baru, boleh jadi akan benar-benar mengubah
perkembangan novel dari segi epos; sebuah bentuk sensibilitas yang baru boleh jadi akan
memunculkan cara ekspresi liris yang baru. Tetapi, bentuk tetap mengandung arti sesuatu
di luar tingkatan material, sesuatu yang tak bisa direduksi pada material, dan sesuatu
yang tak bisa diambil darinya. Bentuk bisa mengandung elemen-elemen spontan, tetapi ia
juga merupakan suatu rintangan, perbatasan, dan bahkan juga antithesis dari spontanitas
resiprositas tunggal dari bentuk dan isi beserta ketakterpisahan mereka, juga kurangnya
identitas yang resultan, keunggulan dari apa yang dialami dan apa yang material, juga
desakan mutlak dari elemen formal—termasuk di dalamnya dan di mana mereka akan
selalu berada. Bentuk dan isi terstimulasi dan termajukan satu sama lain dalam
perkembangannya. Kelengkapan formal akan dicapai saat suatu isi ditolak, dan dengan
demikian apa yang tersisa menjadi sesuatu yang bisa dilukiskan. Perkembangan bentuk
dan isi merupakan serangkaian pertanyaan dan jawaban, dari permasalahan yang lebih
menjerat dan dari solusi yang sifatnya lebih tak-terjangkau, juga dari persangkaan yang
lebih terbedakan, dan efek-efek yang jauh lebih rumit. Untuk menyebut proses ini sebagai
kemunculan yang satu ke dalam yang lainnya tak cuma tidak menjelaskan apa-apa, tetapi
juga menyembunyikan fakta bahwa meski bentuk dan isi bisa memengaruhi satu sama
lain, mereka juga tak akan pernah bisa berubah dari satu ke yang lainnya.
109
Akan bisa dibenarkan sepenuhnya untuk mempertanyakan, akan tenggelam
menjadi apakah nantinya, karya-karya tragedi Yunani atau Shakespeare, juga Divine
Comedy atau Don Quixote, novel-novel Dostoevsky atau Tolstoy, jika mereka ditarik dari
kandungan moralnya. Juga, akan jadi apa nantinya jika kita hanya menarik signifikansi
moral darinya. Jawaban stereotip bahwa bentuk dan isi bersifat tak-terpisahkan satu
dengan lainnya tentunya akan menjadi hal yang tak sepenuhnya memuaskan. Memang
ada contoh-contoh tak terhitung dari keberhasilan formal dari seni di mana kandungannya
tak memiliki signifikansi tertentu, tetapi tak ada karya yang menerima nilai artistiknya
sepenuhnya dari signifikansi, sebesar apapun kita menilai bagian kandungannya dalam
peningkatan nilai formalnya. Sebuah puisi yang bernilai secara artistik terdiri dari
sejumlah larik yang cemerlang, namun larik-larik yang cemerlang itu tidak menghasilkan
Perbedaan antara sarana artistik dan makna isi, yang diajukan dengan begitu
menarik oleh Valéry, memiliki sejarah yang panjang. Tampaknya, ia bermula pada
konsep arkhaisme (ungkapan kuno) Yunani yang berkaitan dengan gagasan (yang pada
masa itu tentu saja tidak begitu dikembangkan) bahwa karya seni bukanlah sebuah sarana
pada akhirnya, yang sampai pada poin tersebut mereka tampak eksklusif sebagaimana
adanya, tetapi bahwa mereka adalah maksud dan tujuan dalam diri mereka sendiri.
Sebelumnya, segala bentuk seni merupakan seni terapan, yakni perangkat magis dan
agama, sarana untuk mempengaruhi dewa-dewa, roh-roh, dan masyarakat; pada titik
sejarah ini, dalam bagiannya, seni menjadi bentuk yang murni tak-memihak—seni demi
seni itu sendiri, dan demi keindahannya. Segera setelah sikap-sikap tersebut dipisahkan
satu dari yang lainnya, dan pengetahuan akan dunia yang sampai sekarang ini tak
110
terbedakan membagi secara adil pada sektor-sektor budaya individual, jarak antara
realitas praktis dengan lingkup etis-relijius, filosofis-ilmiah, dan juga dalam lingkup
praktikalitas tak pernah benar-benar dicapai, dan bahwa perjuangan untuk re-kreasi dari
gambaran semesta yang terpadu dan telah tertutup diperbarui secara konstan.
Tak ada suatu karya seni asli sejati yang semata dialami dalam kontemplasi,
dalam penerimaan pasif, dan hanya dengan penikmatan “tak memihak” akan bentuk
artistiknya. Bahkan struktur musik yang murni (yang tak memiliki kandungan konseptual
atau objektif) adalah lebih dari sekadar “bentuk”; mereka pun juga membutuhkan (di
dalam subjek reseptifnya) sebuah kesiapan dan kecenderungan untuk mengangkat suatu
sikap yang lebih terbuka, lebih langsung dan lebih baik, terhadap takdir manusia; mereka
juga menghadirkan tantangan moral dan humanistis dan menghadirkan sebuah gambaran
akan keberadaan yang masuk akal dan yang telah mencapai tujuan dan titik
sendirinya) memainkan peranan yang besar dalam kreativitas artistik sejati. Tetapi, jika
satu-satunya motif adalah kepuasan dan sang seniman kehilangan seluruh minat dalam
dalam pengertian teori pertunjukan; singkatnya, aktivitasnya terkait erat dengan teori seni
111
untuk seni. Sejarah seni menawarkan rangkaian contoh-contoh yang hampir tak
untuk menyangkal teori seni untuk seni dan pertunjukan tersebut tampak pada aktivitas
kreatif David, yang sangat representatif secara sosial dan formal, yang karya-karyanya
menunjukkan nilai-nilai artistik dan politik praktis yang senantiasa lekat satu sama lain.
semakin kuat karyanya berakar secara sosial, maka semakin terang-terangan pulalah ia
akan makna, nilai, dan tujuan dari keberadaan manusia—dan jalan menuju solusinya, tak
cuma tak terpisahkan dari kriteria-kriteria formal pencapaian artistiknya, tetapi juga
seringkali disyaratkan oleh bentuk itu sendiri. Dalam kasus seorang pelukis seperti
Greuze atau seorang komposer semacam Tchaikovsky, tidaklah sulit untuk mengaitkan
bagaimana kita bisa mendeskripsikan signifikansi universal dari karya seni Bach atau
Cézanne, di mana kita tak bisa menunjuk pada kandungan sifat humanistiknya tanpa
bermakna? Jawaban dari permasalahan hidup yang harus dipecahkan, daya tarik, pesan-
pesan bagi umat manusia terkandung di dalam struktur formal karya tersebut. Karena
struktur karya tak sekadar merepresentasikan solusi dari pemasalahan teknisnya, tetapi
Dalam sebuah karya seni yang penting, eksistensi dihindarkan dari sifat-sifat
112
berai muncul ke dalam sebuah pola yang bijak dan terstruktur dengan jelas. Jika berbagai
kontradiksi maupun konflik yang mengisi karya tersebut tidak akan ditekan dan
krisis-krisis ini tak serta-merta berarti bahwa sang seniman telah berhasil mengalahkan
kekacauan yang memunculkan penderitaan tersebut, bahwa dia telah mencapai sebuah
keberhasilan formal yang berdampak pada dirinya sendiri; kemenangannya itu juga
berdampak pada pendengar atau penonton dengan sebuah kekuatan yang memurnikan
dan sebuah desakan di mana tak akan ada manipulasi yang dimunculkan oleh “bentuk”
Siapapun yang membuat pendekatan secara tepat terhadap berbagai karya, akan
merasa terinspirasi untuk mengukur hingga sampai pada tuntutan-tuntutannya, bahwa dia
akan memandang hidup dan dirinya sendiri dengan serius, bahwa dia akan sampai pada
sebuah pemahaman akan dirinya sendiri untuk mengatur keadaan di dalam hidupnya,
untuk membersihkan segala yang ambigu dan suram, baik pada dirinya sendiri maupun
lingkungannya, sama halnya yang dilakukan oleh sang seniman (sebagai pencipta karya
tersebut) terhadap hal-hal duniawi. “Keteraturan” sang seniman tampaknya tak sekadar
suatu estetik formal, tetapi juga merupakan sebuah pencapaian moral. Keteraturan tak
bisa serta-merta habis oleh bentuk pengalaman sensualnya. Setiap karya seni yang riil
(sebagai sebuah struktur formal) merepresentasikan penolakan terhadap teori seni untuk
seni. Daya tarik moral dan pesan-pesan kemanusiaan yang disampaikan oleh tidaklah
113
melainkan pada seruan untuk mengadopsi sebuah sikap serius, tenang, dan masuk akal,
terhadap dunia, kehidupan, dan segala sesuatu yang hidup bersama dengan yang
dinyatakan oleh orang-orang lainnya. Seni menantang kita untuk ikut serta dan
melakukan reformasi, tetapi ia tak melakukannya dalam suatu cara langsung atau melalui
diapresiasi oleh indera, sebagai contoh, saat Rilke mendeskripsikan “Torso arkhaik
Apollo” (arkhaik=kuno) sebagai salah satu symbol nilai-nilai dan perintah yang
dipersonifikasikan oleh seni. Kita tak bisa mengukur “kepalanya yang tak terceritakan”
bagaikan “kulit bulu pada dada si mangsa” dan tiba-tiba terbuka “keluar, bebas lepas dari
segala ikatan, bagai sebuah bintang”—“tak ada tempat yang tak menghadap ke arahmu”.
Segala sesuatu menjadi tampak dan terlihat jelas dan transparan. Segala sesuatu berbicara
padamu, tetapi ia hanya berbicara sebagai sebuah bentuk, sebuah kurva, sebagai
perputaran, sebagai kulit bulu yang berkilauan, dan bintang yang cemerlang. Apa yang
dimaksud si penyair dengan semuanya itu adalah ajaran yang terkandung di dalam setiap
karya seni sejati—“kamu harus mengubah hidupmu”—dan ini harus dibaca dimanapun
juga antara baris-barisnya tetapi hanya diucapkan secara langsung pada akhir puisi
tersebut. Tuduhan bahwa kita tak bisa meneruskan hidup dengan cara yang kita jalani
hingga saat sebelumnya, hasrat untuk merealisasikan dalam eksistensi keseriusan kita
114
sendiri, keteraturan, dan pesona dari sebuah karya seperti torso ini, merupakan nilai
Setiap karya seni mewakili sebuah citra dari aspirasi dan gagasan kehidupan.
Setiap masing-masing adalah pemenuhan akan sebuah harapan, semacam legenda atau
utopia, bahkan saat ia melukiskan gambaran eksistensi termurung sekalipun; itu akan
membuka dunia yang lebih bijak, dan bisa dimengerti, sesuatu yang tanpanya akan
menjadi hal yang tak bisa didekati, suatu dunia di mana manusia menjalani kehidupan
beserta seganap kapasitasnya. Bahkan sebuah bentuk seperti tragedi juga dapat
di mana yang lainnya hanya terdapat ketidakteraturan dan kekacauan. Tragedi pun
tegas, tak berubah, jelas, juga prinsip-prinsip keteraturan yang tak termusnahkan
mendominasi, di mana seseorang beserta seluruh takdir, sekejam apapun itu, dan di mana
tragedi-lah, sifat-sifat yang tak bisa dipertahankan dari teori seni untuk seni dan relevansi
humanistic dan moral seni terungkap dengan paling jelas. Gagasan katarsis yang
yakni “kamu harus mengubah hidupmu”, yang merupakan aksis dari seluruh pokok/arti
artistiknya.
Akan tetapi, hal itu menjadi sesuatu yang dipertanyakan, terutama pada apakah
kita bisa beranjak sejauh berkaitan dengan fungsi praktik seni—daya tarik manusiawi dan
115
pesan sosial sebagai kendaraannya—untuk bisa melihatnya di dalam kualitas estetisnya,
segala sesuatu yang lebih dari sekadar bujukan. Keindahan sebagai umpan semata akan
berkaitan dengan pandangan alam, di mana bunga tampak berwarna-warni dan buah beri
tampak merah supaya bisa memikat kawanan burung dan lebah. Dalam hal ini, Freud
menyederhanakan hubungan antara efek estetik dengan efek praktis yang dimunculkan
oleh seni saat ia menginterpretasi penikmatan artistik sebagai sebuah kenikmatan seksual
tujuan seni—dia tidak menegakkan prinsip, bahwa setiap pengalaman artistik harus
menimbulkan efek yang membebaskan, tidak juga bahwa pengalaman tersebut semata
terdiri dari pra-kenikmatan. Dia hanya sekadar menjelaskan bahwa kenikmatan estetik
bisa memenuhi berbagai fungsi yang bahkan tak diperdulikan oleh subjek kreatif ataupun
estetisnya, penjelasan tersebut tidak berbeda secara esensial dari doktin sosiologi seni,
yang menyatakan bahwa seniman itu sendiri tidak selalu sadar akan adanya efek praktis
dari seni yang diciptakannya dan tak mesti bertujuan akan hal itu. Bahwa seni harus
melayani tujuan-tujuan yang ada di luar kualitas estetiknya sendiri, dan bahwa seniman—
secara sadar ataupun tidak—digerakkan oleh motif-motif yang berada di luar lingkup
seni.
Sama halnya dengan materialisme sejarah yang bisa benar-benar berdamai dengan
ketidakcocokan antara nilai-nilai sosial dan estetis, begitu juga halnya dengan
alasan/pijakan yang sama di mana seniman dan masyarakatnya bertemu, yang lebih luas
116
dari sekadar pihak politis atau kelas sosial tertentu yang melingkupinya. Penolakan
terhadap sudut pandang seni untuk seni dan perasaan yang sama akan hic tua res agitur
tidak mensyaratkan bahwa audiens akan mengasingkan dirinya dari pandangan politik si
kelas dengan karakter yang diciptakan di situ. Adalah humanisme, humanitas, ketulusan
yang mengizinkannya untuk menaruh minat pada subjek, problematika, dan nasib/takdir
dari karakter-karakternya, yang mungkin (kurang-lebih) juga asing secara sosial baginya.
Memang sejauh itulah sulitnya mendirikan sebuah komunitas, dan mensyaratkan peranan
yang lebih jauh pada sisi penulis, di saat jarak ideologis antara sudut pandang si penulis
dengan ideologis subjek reseptifnya juga semakin lebar. Empati, solidaritas, dan
pemahaman estetis pada sisi masyarakat membentuk sebuah fenomena kompleks yang
tak umum, yang seringkali dihasilkan semata sebagai hasil dari motif-motifnya yang
saling berlawanan. Pembaca, pendengar, atau penonton seringkali harus berjuang dengan
sama kerasnya untuk mencapai pandangan yang layak akan karya tersebut, sebagaimana
yang harus mereka lakukan untuk sampai pada sebuah sikap sosial yang sesuai, atau
halnya perjanjian sosiopolitis yang dibawa oleh produsen (karya seni) antara aktivitas
propagandistik dan kewajiban ideologisnya, begitu juga halnya dengan simpati yang
dibawa oleh subjek reseptif antara solidaritas kelas tak sadar dan kesadaran yang tak
terendah yang sifatnya setengah-sadar. Baik penghasil maupun penikmat sebuah karya
tergabung bersama secara ideologis dalam sebuah cara yang kurang-lebih bersifat
117
ambigu, dan jaringan ini sering diperbolehkan untuk menegaskan dirinya sendiri hanya
Akan tetapi, jika suatu ideologi tertentu (bahkan jika ia disembunyikan atau
ditekan) akan tampak kentara di balik setiap kreasi artistik, kita bisa membahas perjanjian
hanya saat sang seniman berdiri secara sadar (dan tanpa oposisi inti) di atas sebuah cita-
benar asing baginya, dan dia boleh jadi secara sadar memalsukan kebenaran atau
ideologi yang ia tegaskan dalam karyanya. Identifikasi ini mungkin merupakan hasil dari
dalam sebuah drama atau novel, bergantung pada kompleksitas dan motif-motif
antagonisme-nya yang serupa. Interpretasi pembaca sering bergerak, dari suatu level ke
level yang lain; di mana pada setiap level kesadaran yang dikembangkan dengan lebih
tinggi, mungkin akan terdapat sejumlah aspek yang berbeda. Mungkin Machbeth adalah
seorang pembunuh yang menjijikkan, sedangkan Othello adalah si bodoh yang egois,
Lear adalah si tua tolol, Hamlet seorang sadis yang berbahaya, sementara Antony adalah
alat permainan (bulan-bulanan) seorang sundal; tetapi mereka semua merupakan sosok-
sosok ideal, penjelmaan dari kekuatan tak tertolak dari sebuah kehendak tetap, contoh
dari kesetiaan pada sebuah penyebab, betatapun penyebab itu bisa dipertanyakan dan
seberat apapun penyebab itu terbebani olehnya sendiri. Hubungan antara produsen dan
konsumen (karya seni) berkembang menjadi semakin rumit pada saat simpati dan
118
solidaritas ideologis saling berkonflik. Kaum borjuis yang keras kepala mendapati para
penulis seperti Stendhal, Flaubert, Baudelaire, Proust, dan Kafka sebagai orang-orang
tersebut tetap terikat erat dengan kaum borjuis itu sendiri; tak satupun dari mereka yang
Salah satu alasan mengapa solusi fundamental terhadap permasalahan seni untuk
seni menjadi suatu hal yang sulit, terletak pada fakta bahwa seni memang berbeda dengan
komitmen, dan usaha-usaha yang diekspresikan tanpa banyak keributan di dalam sastra
juga bisa dieskpresikan dalam seni murni, dan terutama dalam musik, hanya saja secara
tidak langsung, dan seringkali dalam cara-cara fragmenter yang tak umum. Meski
demikian, perbedaannya hanya merupakan salah satu derajatnya saja. Karena, sama
halnya sastra yang mengandung elemen-elemen yang sekadar memiliki fungsi dan
elemen dekoratif yang murni, tidak pasti, serta membangkitkan ingatan (yang sifatnya
konseptual dan bisa dikomunikasikan segera), maka begitu pun juga halnya yang
formal dan yang jelas-jelas mengandung makna manusiawi. Benar, bahwa ada sejumlah
komposisi instrumental yang secara langsung bisa dikaitkan dengan suatu permasalahan
tertentu, dan hal ini (jarang) menjadi yang terbaik darinya. Musik, sudah pastinya
mengekspresikan suatu emotivitas tertentu ketimbang emosi-emosi khusus, dan kita tak
perlu menunggu perkembangan libretto (kata-kata nyanyian) untuk mengetahui apa yang
119
akan dihadirkan oleh sang komposer. Dalam Fidelio, contohnya, kuartet G-mayor dari
Selain itu, bagi seorang master sekelas Beethoven, sebuah komposisi yang
mentransendensikan bentuk tak harus selalu berupa sebuah opera. Stravinsky menyatakan
bahwa peran Napoleon dalam Eroica bersifat murni eksternal, dan bahwa Beethoven
mungkin saja telah terinspirasi untuk menggubah karya serupa dengan motif yang
berbeda. Tidak juga monarki absolut ataupun Persekutuan Suci dengan konsep kebebasan
mereka yang tak-mencukupi, juga gagasan-gagasannya (akan hak asasi manusia) yang
dipertanyakan, yang bisa memunculkan karya serupa ini. Siapapun yang tidak sadar akan
adanya latar belakang dari penciptaan komposisi Eroica tidak bisa sampai padanya,
hanya sekadar dari struktur musiknya saja; akan tetapi, Revolusi dan Napolen tak cuma
menjadi milik sejarah karya seni itu, tetapi juga milik prasyarat bagi keadaan artistiknya.
Diketahui atau tidak, fakta-fakta politik berada sebagai basis bagi upaya mental dari
mana karya itu lahir. Setelah kita menyadari hal ini, tak akan ada lagi keraguan bahwa
mereka memainkan peranan yang menentukan dalam mengaitkan elemen musik dengan
120