QUEER THEORY
Annamarie Jagose
Pendahuluan
Istilah queer dulunya adalah slang untuk homoseks dan merupakan bentuk makian
dari para homofobia. Namun belakangan, queer sering diartikan berbeda. Salah
satunya adalah sebagai istilah untuk menggambarkan model teoretis yang lahir
dari pengembangan penelitian tentang gay dan lesbian yang sudah ada
sebelumnya. Satu hal yang sudah jelas, queer merupakan kategori dalam proses
pembentukan. Ia tidak sekedar memperkuat profil yang telah ada.
Membuat suatu pendahuluan untuk fenomena queer nampaknya adalah hal
yang sia-sia, karena sebagian kekuatan semantis queer bergantung pada
resistensinya terhadap definisi, dan pada bagaimana ia menolak mempertaruhkan
haknya. Semakin ia mengarah ke disiplin akademis normatif, maka queer theory
akan menjadi semakin tidak queer (Halperin, 1995: 113). Judith Butler (1994: 21)
juga mengingatkan bahwa normalisasi queer adalah akhir yang menyedihkan.
Sementara itu, Lauren Berlant dan Michael Warner menyatakan bahwa karena
hampir semua hal yang dapat disebut sebagai queer theory sangat ditunggu-
tunggu kemunculannya, maka usaha untuk membuat dunia menjadi nyata, atau
usaha apa pun untuk meringkasnya, menjadi berat sebelah (1995: 344). Buku ini
mencoba untuk memetakan mobilitas bidang identifikasi queer, dan
menempatkannya dalam sejarah kelompok seks. Di sini, queer diasumsikan
sebagai sebuah zona kemungkinan (Edelman, 1994: 114).
Perkembangan penelitian tentang gay dan lesbian yang begitu cepat pada
1990-an sejajar dengan peningkatan penggunaan istilah queer. Karena queer tidak
bersekutu dengan kelompok identitas khusus mana pun, maka ia bisa dibahas di
berbagai macam diskusi. Dalam sejarah pembentukan disipliner, penelitian
tentang gay dan lesbian terhitung cukup baru, dan queer theory merupakan
transformasi institusionalnya yang paling baru. Banyak jurnal yang kemudian
mengkhususkan diri pada penelitian tentang gay dan lesbian, dan isu-isu lain yang
2
terkait dengan queer theory. Jurnal yang mengkhususkan diri pada penelitian gay
dan lesbian diantaranya adalah jurnal dari Amerika Utara, GLQ: A Journal of
Lesbian and Gay Studies (terbit pertama kali 1993), dan jurnal dari Australia,
Critical InQueeries (terbit pertama kali 1995), sedangkan jurnal non-spesialis
yang membahas isu-isu yang berkaitan dengan queer theory antara lain adalah
Sociological Theory (musim panas 1994), Socialist Review (vol. 22, no. 1, 1992)
dan Social Text (vol. 9, no. 4, 1991).
Karena tidak adanya konsensus mengenai batasan pengertian queer,
outline-nya seringkali dijadikan bahan perdebatan. Secara umum, queer
mendeskripsikan model-model analitis yang mendramatisir ketidakkoherenan
dalam hubungan antara chromosomal sex, gender dan nafsu seks, yang diduga
stabil. Jadi ia fokus pada ketidaksepadanan antara seks, gender dan nafsu. Secara
institusional, queer seringkali diasosiasikan dengan subyek-subyek gay dan
lesbian, tetapi kerangka analitisnya sebenarnya juga mencakup topik-topik lain
seperti cross-dressing (laki-laki yang berpakaian seperti perempuan, atau
sebaliknya), hermaproditisme, ambiguitas gender dan operasi untuk mengubah
gender.
Tidak diragukan lagi bahwa penggambaran ulang queer memberikan
dampak yang substansial terhadap penelitian tentang gay dan lesbian. Bahkan The
Lesbian and Gay Studies Reader, buku setebal 650 halaman yang dari judulnya
kelihatan menentang ekspansi queer, juga menutup pendahuluannya dengan
justification berikut: Awalnya sulit sekali menentukan judul untuk antalogi ini.
Kami memilih untuk tidak menggunakan istilah “queer studies”, dan sebaliknya
justru menggunakan istilah “gay/lesbian” dalam judul dan isi penelitian ini.
Pemilihan istilah ini menunjukkan bahwa kami sama sekali tidak bermaksud
untuk membuat penelitian gay/lesbian terlihat kurang asertif dan kurang queer
dari yang sebelumnya (Abelove et al., 1993: xvii). Dengan menyatakan bahwa
queer secara signifikan telah membentuk impuls anti-homofobia, proliferasi
kontemporer queer dimungkinkan untuk terjadi di beberapa bagian buku tersebut.
Kekuatan queer dalam memikirkan ulang penelitian gay dan lesbian merupakan
3
menjadi seorang homoseks tanpa sekali pun melakukan hubungan seks, atau
bahkan sekedar niat untuk melakukan itu?
Sampai pada tingkat tertentu, perdebatan mengenai apa yang termasuk
dalam homoseksualitas dapat dipahami sebagai negosiasi antara esensialis dengan
konstruksionis. Esensialis menganggap identitas sebagai sesuatu yang alami,tetap
dan bersifat bawaan, sedangkan konstruksionis mengasumsikan identitas sebagai
sesuatu yang berubah-ubah, yang merupakan efek dari pemeliharaan sosial, dan
merupakan model kultural untuk memahami diri sendiri. Edward Stein (1992b:
325) menulis bahwa esensialis menganggap orientasi seks seseorang bersifat
culture-independent, obyektif dan intrinsik, sedangkan konstruksionis
menganggapnya bersifat culture-dependent, relasional, dan mungkin tidak
obyektif. Selain itu, esensialis berasumsi bahwa homoseksualitas hidup dari waktu
ke waktu sebagai fenomena universal yang memiliki sejarah yang termarjinalkan,
tetapi berkelanjutan dan koheren. Sebaliknya, konstruksionis justru berasumsi
bahwa homoseksualitas tidak sama dari waktu ke waktu, karena kegiatan seks
sesama jenis memiliki makna kultural yang berbeda pada konteks historis yang
berbeda. Sebagai contoh, konstruksionis tidak akan menganggap seorang pria
berbohong ketika ia mengatakan bahwa dirinya bukan gay. Menurut pria tersebut,
jika ia memang gay, ia pasti akan mencium pria yang berhubungan seks
dengannya. Tetapi kenyataannya, ia tidak pernah melakukannya (Bartos et al.,
1993: 29).
Pemahaman esensialis mengenai homoseksualitas seringkali dianggap
konservatif, sedangkan pemahaman konstruksionis justru dianggap progresif dan
bahkan radikal. Esensialis menyatakan bahwa beberapa orang memang terlahir
sebagai homoseks, dan ini digunakan oleh kelompok anti-homofobia untuk
menjaga hak asasi para homoseks. Sebaliknya, konstruksionis memandang
homoseksualitas sebagai sesuatu yang harus diperbaiki. Kombinasi kedua posisi
ini sering digunakan secara bersama-sama baik oleh kelompok homofobia
maupun anti-homofobia.
Munculnya International Heterosexual Foundation merupakan contoh dari
hal ini. Yayasan kontroversial yang berbasis di Queensland tersebut bertujuan
6
Penemuan Homoseksualitas
Model konstruksionis yang banyak digunakan dalam penelitian gay dan lesbian
belakangan ini banyak didasarkan pada gagasan sejarawan Perancis, Michael
Foucault, meski sebenarnya pada 1968, Mary McIntosh pernah mengajukan
gagasan bahwa homoseks seharusnya dianggap sebagai sebuah peran sosial,
bukan sekedar sebagai suatu keadaan (1992: 29). Dalam bukunya yang sangat
berpengaruh terhadap penelitian-penelitian gay dan lesbian, The History of
Sexuality volume 1, Foucault memberikan narasi historis yang persuasif mengenai
pembentukan identitas homoseksual modern.
Foucault berpendapat bahwa homoseksualitas memerlukan adanya
pembentukan modern, karena meskipun sebelumnya ada hubungan seks sesama
jenis, tetapi tidak ada kelompok identifikasi yang sesuai. Ia mengingatkan bahwa
7
sebuah institusi yang tidak hanya menyediakan harta benda, tetapi juga kepuasan
emosional dan kebahagiaan (ibid). Sementara itu, Jeffrey Weeks (1977: 2)
berpendapat bahwa cara terbaik untuk memahami kemunculan definisi baru
homoseksualitas dan homoseks adalah dengan melihatnya sebagai bagian dari
restrukturisasi hubungan seks dan keluarga dalam keberhasilan urbanisasi dan
kapitalisme industri.
Semua cerita penemuan homoseksualitas di atas berkaitan dengan
pembentukan homoseksualitas pria. Hal ini sebagian disebabkan karena para
teoretikus tersebut memang memusatkan perhatian pada contoh-contoh pria, dan
sebagian disebabkan karena pembentukan homoseksualitas wanita atau
lesbianisme tidak persis mengikuti pembentukan homoseksualitas pria. Dalam
wacana hukum dan kedokteran, homoseksualitas wanita tidak menduduki posisi
yang sama seperti halnya homoseksualitas pria. Menurut sistem peradilan Inggris,
yang pada masa kolonial Inggris banyak diadopsi oleh negara-negara lain,
homoseksualitas pria adalah suatu tindak kriminal, tetapi tidak demikian dengan
homoseksualitas wanita. Karena perbedaan kriminalisasi inilah, maka
homoseksualitas wanita membutuhkan waktu yang lebih lama, bila dibandingkan
dengan homoseksualitas pria, untuk menjadi dasar identitas subkultural yang
manual.
Buku tentang perkembangan identitas lesbian modern yang paling
berpengaruh dan detil adalah buku tulisan Lillian Faderman, Surpassing the Love
of Men (1985). Untuk menunjukkan bahwa di budaya barat, hubungan seksual
atau hubungan kasih sayang yang intens antar wanita itu ada di mana-mana,
Faderman menguraikan serangkaian teks sejarah dan sastra dari abad ke-16
hingga abad ke-20. Menurutnya, sebelum abad ke-20, hubungan romantis antar
wanita ―baik yang seksual maupun tidak― secara sosial diperbolehkan.
Dalam bukunya tersebut, Faderman berulang kali menunjukkan
keterkejutannya terhadap tidak adanya hukuman bagi hubungan romantis antar
wanita. Ia mempertanyakan bagaimana hubungan semacam itu bisa dilarang di era
sekarang, tetapi diperbolehkan di era sebelumnya. Padahal pada era sebelumnya
tersebut, hubungan romantis antar wanita yang terjadi juga memiliki kualitas dan
9
intensitas emosi yang tidak jauh berbeda dengan yang ada di era sekarang (ibid:
19). Menurut Faderman, perubahan sikap ini disebabkan oleh respon terhadap
gelombang pertama feminisme, serta meningkatnya kecenderungan untuk
menganggap homoseksualitas wanita sebagai sebuah penyakit.
Sama seperti Faderman, Valerie Traub juga menguraikan sejarah tentang
perkembangan identitas lesbian modern. Jika buku Faderman didasarkan pada
model esensialis, maka buku Traub ini justru didasarkan pada model
konstruksionis. Dalam analisanya terhadap wacana-wacana erotis antar wanita
sebelum 1800, Traub mengatakan bahwa antropologi kolonial Eropa, narasi
perjalanan dan teks anatomi terus menerus mengaitkan klitoris dengan tribadisme
―moyang dari lesbianisme― dan sejak itu, keterkaitan keduanya membayangi
wacana modern (Traub, 1995: 82, 94).
Walaupun banyak teori pembentukan homoseksualitas modern yang saling
berbeda satu sama lain, tetapi ada satu kesepakatan bahwa homoseksualitas
bukanlah fenomena transhistoris. Kecuali Faderman, semua teoretikus yang kita
bahas sejauh ini membuat perbedaan yang krusial antara perilaku homoseks, yang
ada di mana-mana, dengan identitas homoseks, yang berkaitan dengan kondisi
historis tertentu. Sebagaimana yang ditulis oleh Jeffrey Weeks (1972: 2),
homoseksualitas hidup di sepanjang sejarah, di semua tipe masyarakat, dan di
semua kelas sosial, serta bisa bertahan di bawah pelarangan yang paling keras
sekali pun. Meskipun di dalam masyarakat ada beberapa orang yang berusaha
untuk mencari kontak seksual dengan orang lain dari sesama jenis, tetapi hanya
sedikit diantara mereka yang menjadi homoseks (Halperin, 1990: 46).
sebagai tahapan yang harus dilalui remaja sebelum ia menjadi dewasa sebagai
heteroseks― hingga definisi “keluarga” menurut agama dan hukum, dimana
pengelompokan keluarga homoseks dianggap haram. Heteroseksualitas tidak
dapat diteliti secara substansial di sini , tetapi banyak teoretikus yang berpendapat
bahwa definisi homoseksualitas yang ada sekarang ini, beserta catatan-catatan
perkembangan historisnya, memberikan implikasi yang penting bagi pemahaman
tentang heteroseksualitas. Meskipun heteroseksualitas sering direpresentasikan
sebagai sesuatu yang tidak luar biasa, tetapi faktanya adalah sekarang ini
homoseks tidak dapat dipisahkan dari kembarannya yang “normal”, yaitu
heteroseks (Cohen: 1993: 211).
Heteroseksualitas adalah konstruksi yang maknanya bergantung pada
perubahan model kultur. Sulit untuk memikirkan bahwa “homoseksualitas”
bukanlah suatu istilah deskriptif, namun lebih sulit lagi untuk memikirkan sejauh
mana “heteroseksualitas” dianggap lazim. Bagaimana pun juga, heteroseksualitas
sudah sejak lama dianggap sebagai keadaan yang alami, murni, tidak bermasalah,
dan tidak memerlukan penjelasan. Di dalam usaha-usaha untuk “menjelaskan”
bahwa homoseksualitas secara konseptual berdasarkan pada heteroseksualitas, ada
kecenderungan untuk mengasumsikan heteroseksualitas sebagai bentuk
seksualitas yang netral. Dalam catatannya tentang pemahaman hasrat seks sesama
jenis sebagai “inversi” pada akhir abad ke-19, Christopher Craft (1989: 223)
mengatakan bahwa karena tidak adanya kemampuan dan kemauan untuk
mendekonstruksi norma heteroseks, catatan-catatan inversi seks Inggris kemudian
terus mengulanginya, membiarkan hasrat secara esensial menjadi heteroseks.
Pada akhir abad ke-20, baik heteroseksualitas maupun homoseksualitas,
sampai pada tingkat tertentu, sepenuhnya dianggap lazim. Sulit untuk membuat
sesuatu seperti seksualitas menjadi tidak lazim, sebab kelaziman itu sendiri
berkaitan dengan perasaan setiap individu, dimana masing-masing memandang
seksualitasnya sebagai sesuatu yang bersifat pokok, mendasar dan pribadi.
Halperin (1990: 53) mengakui adanya kecanggungan ini ketika ia menutup
argumennya tentang seksualitas sebagai konstruksi budaya dengan mengatakan
bahwa heteroseksualitas dan homoseksualitas bukanlah sekedar kelompok
11