Anda di halaman 1dari 13

RESUME by Ida Nurul Chasanah

QUEER THEORY
Annamarie Jagose

MELBOURNE UNIVERSITY PRESS


AUSTRALIA
1996
1

Pendahuluan

Istilah queer dulunya adalah slang untuk homoseks dan merupakan bentuk makian
dari para homofobia. Namun belakangan, queer sering diartikan berbeda. Salah
satunya adalah sebagai istilah untuk menggambarkan model teoretis yang lahir
dari pengembangan penelitian tentang gay dan lesbian yang sudah ada
sebelumnya. Satu hal yang sudah jelas, queer merupakan kategori dalam proses
pembentukan. Ia tidak sekedar memperkuat profil yang telah ada.
Membuat suatu pendahuluan untuk fenomena queer nampaknya adalah hal
yang sia-sia, karena sebagian kekuatan semantis queer bergantung pada
resistensinya terhadap definisi, dan pada bagaimana ia menolak mempertaruhkan
haknya. Semakin ia mengarah ke disiplin akademis normatif, maka queer theory
akan menjadi semakin tidak queer (Halperin, 1995: 113). Judith Butler (1994: 21)
juga mengingatkan bahwa normalisasi queer adalah akhir yang menyedihkan.
Sementara itu, Lauren Berlant dan Michael Warner menyatakan bahwa karena
hampir semua hal yang dapat disebut sebagai queer theory sangat ditunggu-
tunggu kemunculannya, maka usaha untuk membuat dunia menjadi nyata, atau
usaha apa pun untuk meringkasnya, menjadi berat sebelah (1995: 344). Buku ini
mencoba untuk memetakan mobilitas bidang identifikasi queer, dan
menempatkannya dalam sejarah kelompok seks. Di sini, queer diasumsikan
sebagai sebuah zona kemungkinan (Edelman, 1994: 114).
Perkembangan penelitian tentang gay dan lesbian yang begitu cepat pada
1990-an sejajar dengan peningkatan penggunaan istilah queer. Karena queer tidak
bersekutu dengan kelompok identitas khusus mana pun, maka ia bisa dibahas di
berbagai macam diskusi. Dalam sejarah pembentukan disipliner, penelitian
tentang gay dan lesbian terhitung cukup baru, dan queer theory merupakan
transformasi institusionalnya yang paling baru. Banyak jurnal yang kemudian
mengkhususkan diri pada penelitian tentang gay dan lesbian, dan isu-isu lain yang
2

terkait dengan queer theory. Jurnal yang mengkhususkan diri pada penelitian gay
dan lesbian diantaranya adalah jurnal dari Amerika Utara, GLQ: A Journal of
Lesbian and Gay Studies (terbit pertama kali 1993), dan jurnal dari Australia,
Critical InQueeries (terbit pertama kali 1995), sedangkan jurnal non-spesialis
yang membahas isu-isu yang berkaitan dengan queer theory antara lain adalah
Sociological Theory (musim panas 1994), Socialist Review (vol. 22, no. 1, 1992)
dan Social Text (vol. 9, no. 4, 1991).
Karena tidak adanya konsensus mengenai batasan pengertian queer,
outline-nya seringkali dijadikan bahan perdebatan. Secara umum, queer
mendeskripsikan model-model analitis yang mendramatisir ketidakkoherenan
dalam hubungan antara chromosomal sex, gender dan nafsu seks, yang diduga
stabil. Jadi ia fokus pada ketidaksepadanan antara seks, gender dan nafsu. Secara
institusional, queer seringkali diasosiasikan dengan subyek-subyek gay dan
lesbian, tetapi kerangka analitisnya sebenarnya juga mencakup topik-topik lain
seperti cross-dressing (laki-laki yang berpakaian seperti perempuan, atau
sebaliknya), hermaproditisme, ambiguitas gender dan operasi untuk mengubah
gender.
Tidak diragukan lagi bahwa penggambaran ulang queer memberikan
dampak yang substansial terhadap penelitian tentang gay dan lesbian. Bahkan The
Lesbian and Gay Studies Reader, buku setebal 650 halaman yang dari judulnya
kelihatan menentang ekspansi queer, juga menutup pendahuluannya dengan
justification berikut: Awalnya sulit sekali menentukan judul untuk antalogi ini.
Kami memilih untuk tidak menggunakan istilah “queer studies”, dan sebaliknya
justru menggunakan istilah “gay/lesbian” dalam judul dan isi penelitian ini.
Pemilihan istilah ini menunjukkan bahwa kami sama sekali tidak bermaksud
untuk membuat penelitian gay/lesbian terlihat kurang asertif dan kurang queer
dari yang sebelumnya (Abelove et al., 1993: xvii). Dengan menyatakan bahwa
queer secara signifikan telah membentuk impuls anti-homofobia, proliferasi
kontemporer queer dimungkinkan untuk terjadi di beberapa bagian buku tersebut.
Kekuatan queer dalam memikirkan ulang penelitian gay dan lesbian merupakan
3

bukti bahwa ia mampu menempatkan dirinya secara retrospektif dalam inti


penelitian tersebut.
Queer bukan hanya merupakan perluasan evolusioner dari penelitian gay
dan lesbian yang konvensional, tetapi ia juga merupakan nenek moyang dari
penelitian tersebut. Hal ini terbukti dalam edisi pertama dan kedua Between Men:
English Literature and Male Homosocial Desire karya Eve Kosofsky Sedgwick.
Buku yang diterbitkan pertama kali pada 1985 dan dicetak ulang pada 1992 ini
menguraikan evolusi hubungan antara gay dan queer yang ambivalen tetapi
produktif. Dalam edisi 1992, Sedgwick memperbarui kata pengantar bukunya
dengan menguraikan bahwa antara tahun 1985 dan 1992, muncul komunitas
queer yang sangat produktif, yang dasar eksplisitnya adalah identifikasi saling
silang antara gender, ras dan definisi seksual (1992: x). Meskipun Sedgwick
menganggap queer sebagai sebuah struktur baru yang energi dan efektifitasnya
berkembang dari model gay dan lesbian yang telah ada, tetapi pada kalimat
terakhirnya ia menyusun ulang narasi tersebut dengan menempatkan queer
sebagai sumber, dan bukannya tujuan, dari penelitian gay dan lesbian.
Buku ini tidak secara tegas merepresentasikan queer sebagai sesuatu yang
progresif dan reaksioner. Sebaliknya, buku ini justru beranggapan bahwa queer
tidak punya nilai yang tetap. Usaha-usaha untuk mengevaluasi kerangka
konseptual dan terminologi baru ini mengabaikan fakta bahwa sejak akhir abad
ke-19, pengetahuan tentang seksualitas selalu terbentuk dari kelompok-kelompok
yang ditentang (lihat, misalnya, Chauncey, 1982). Marilyn Farwell (1992: 165)
menyatakan bahwa transformasi penelitian gay dan lesbian dari fenomena
underground ke area wacana akademis memunculkan satu gangguan: definisi.
Queer theory meneliti wacana homoseksualitas yang berkembang pada abad
terakhir ini untuk menempatkan queer dalam konteks historisnya.
4

Pembahasan Teori Hasrat Seks Sesama Jenis

Apa yang sebenarnya dimaksud dengan homoseksualitas?


Homoseksualitas umumnya digunakan untuk menggambarkan ketertarikan
seksual terhadap orang lain yang memiliki jenis kelamin yang sama. Nampaknya
memang tidak ada yang salah dengan definisi di atas, tetapi keberanian teoretis
untuk memutuskan apa yang termasuk dalam homoseksualitas ―atau secara lebih
pragmatis, siapa yang bias disebut sebagai homoseks― nampaknya juga bukan
sesuatu hal yang mudah untuk diwujudkan. Sebagian populasi pria dan wanita
dapat dengan mudah diidentifikasi sebagai homoseks, namun tidak demikian
dengan sebagian lainnya. Misalnya apakah seorang pria yang tinggal bersama istri
dan anak-anaknya, yang kadang-kadang berhubungan seks dengan pria lain, dapat
disebut sebagai homoseks? Banyak pria semacam ini yang ketika diinterview
untuk keperluan penelitian AIDS menolak untuk disebut sebagai homoseks.
Salah satu interviewee mengatakan bahwa tidak penting apa identitas
seksualnya. Ia hanya sekali-sekali melakukannya dengan pria. Yang penting, ia
menikah dan mencintai kehidupannya. Menurutnya, apa yang ia lakukan bukanlah
urusan orang lain (Bartos et al., 1993: 27). Seorang interviewee lain juga secara
eksplisit menolak untuk disebut gay. Ia hanya melakukan seks gay 2-3 kali
seminggu, atau kurang lebih 1-2 jam seminggu. Jadi sebenarnya ia lebih banyak
menghabiskan waktu sebagai pria heteroseksual yang telah menikah dan
berkeluarga (ibid: 29).
Selain itu, muncul pula pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah wanita
yang diidentifikasi sebagai lesbian, tetapi melakukan hubungan seks dengan
seorang pria, dapat dianggap sebagai homoseks (cf. Califia, 1983; Clausen,
1990)? Termasuk dalam kelompok seks manakah perempuan yang melakukan
hubungan seks dengan pria gay (Schramm-Evans, 1993)? Mungkinkah kita
5

menjadi seorang homoseks tanpa sekali pun melakukan hubungan seks, atau
bahkan sekedar niat untuk melakukan itu?
Sampai pada tingkat tertentu, perdebatan mengenai apa yang termasuk
dalam homoseksualitas dapat dipahami sebagai negosiasi antara esensialis dengan
konstruksionis. Esensialis menganggap identitas sebagai sesuatu yang alami,tetap
dan bersifat bawaan, sedangkan konstruksionis mengasumsikan identitas sebagai
sesuatu yang berubah-ubah, yang merupakan efek dari pemeliharaan sosial, dan
merupakan model kultural untuk memahami diri sendiri. Edward Stein (1992b:
325) menulis bahwa esensialis menganggap orientasi seks seseorang bersifat
culture-independent, obyektif dan intrinsik, sedangkan konstruksionis
menganggapnya bersifat culture-dependent, relasional, dan mungkin tidak
obyektif. Selain itu, esensialis berasumsi bahwa homoseksualitas hidup dari waktu
ke waktu sebagai fenomena universal yang memiliki sejarah yang termarjinalkan,
tetapi berkelanjutan dan koheren. Sebaliknya, konstruksionis justru berasumsi
bahwa homoseksualitas tidak sama dari waktu ke waktu, karena kegiatan seks
sesama jenis memiliki makna kultural yang berbeda pada konteks historis yang
berbeda. Sebagai contoh, konstruksionis tidak akan menganggap seorang pria
berbohong ketika ia mengatakan bahwa dirinya bukan gay. Menurut pria tersebut,
jika ia memang gay, ia pasti akan mencium pria yang berhubungan seks
dengannya. Tetapi kenyataannya, ia tidak pernah melakukannya (Bartos et al.,
1993: 29).
Pemahaman esensialis mengenai homoseksualitas seringkali dianggap
konservatif, sedangkan pemahaman konstruksionis justru dianggap progresif dan
bahkan radikal. Esensialis menyatakan bahwa beberapa orang memang terlahir
sebagai homoseks, dan ini digunakan oleh kelompok anti-homofobia untuk
menjaga hak asasi para homoseks. Sebaliknya, konstruksionis memandang
homoseksualitas sebagai sesuatu yang harus diperbaiki. Kombinasi kedua posisi
ini sering digunakan secara bersama-sama baik oleh kelompok homofobia
maupun anti-homofobia.
Munculnya International Heterosexual Foundation merupakan contoh dari
hal ini. Yayasan kontroversial yang berbasis di Queensland tersebut bertujuan
6

untuk mempromosikan heteroseksualitas sebagai gaya hidup yang cocok untuk


remaja (Gurvich, 1995: 2). Juru bicara yayasan, Kris Pickering, menjelaskan
bahwa yayasan tersebut didirikan berdasarkan pada model homoseksualitas
esensialis sekaligus konstruksionis. Menurutnya, persentase orang yang menjadi
homoseks karena faktor genetis jumlahnya sangat sedikit. Yang lebih banyak
justru mereka yang menjadi homoseks karena faktor piskologis, misalnya karena
pernah memiliki pengalaman buruk dengan lawan jenis. Selain itu, penyebab
lainnya adalah pengaruh propaganda yang mengembangkan homoseksualitas
(ibid).
Victorian AIDS Council tidak setuju dengan International Heterosexual
Foundation yang mendeskripsikan homoseks sebagai “real people” (ibid). Meski
demikian, juru bicaranya, Eric Timewell, juga menyusun oposisinya berdasarkan
model homoseksualitas esensialis dan konstruksionis. Ia mengatakan bahwa
seseorang bisa menentukan preferensi seksualnya dengan baik setelah usia 11
tahun keatas, sekali pun orang tersebut tidak mengetahuinya (ibid). Jika Pickering
beranggapan bahwa model esensialis dan kosntruksionis bekerja secara bersama-
sama dalam sebuah populasi, maka Timewell justru beranggapan bahwa mereka
bekerja secara berurutan dalam perkembangan seksual individu mana pun.

Penemuan Homoseksualitas
Model konstruksionis yang banyak digunakan dalam penelitian gay dan lesbian
belakangan ini banyak didasarkan pada gagasan sejarawan Perancis, Michael
Foucault, meski sebenarnya pada 1968, Mary McIntosh pernah mengajukan
gagasan bahwa homoseks seharusnya dianggap sebagai sebuah peran sosial,
bukan sekedar sebagai suatu keadaan (1992: 29). Dalam bukunya yang sangat
berpengaruh terhadap penelitian-penelitian gay dan lesbian, The History of
Sexuality volume 1, Foucault memberikan narasi historis yang persuasif mengenai
pembentukan identitas homoseksual modern.
Foucault berpendapat bahwa homoseksualitas memerlukan adanya
pembentukan modern, karena meskipun sebelumnya ada hubungan seks sesama
jenis, tetapi tidak ada kelompok identifikasi yang sesuai. Ia mengingatkan bahwa
7

kelompok psikologis, psikiatris dan medis dari homoseksualitas muncul ketika


homoseksualitas itu sendiri dikelompokkan (1981: 43). Gagasan tentang
homoseks sebagai sebuah tipe orang mulai berkembang sekitar 1870-an. Menurut
Foucault, meskipun hubungan seks sesama jenis sebelum 1870 dilarang oleh
hukum agama dan hukum perdata, tetapi ia hanya dianggap sebagai suatu godaan
yang masih bisa dikalahkan. Hubungan terlarang tersebut dianggap tidak
menunjukkan tipe tertentu seseorang. Baru setelah 1870, hubungan seks sesama
jenis mulai dijadikan bukti dari tipe seseorang. Homoseks pun menjadi sebuah
spesies (ibid).
Keyakinan Foucault dalam menentukan tahun munculnya homoseks
sebagai sebuah spesies memang secara retoris sangat impresif. Namun demikian,
tidak ada konsensus mengenai sejarah yang melahirkan homoseks modern. Dalam
bukunya yang terbit pada 1982, Homosexuality in Renaissance England, Alan
Bray menyarankan tahun kemunculan yang lebih awal, yaitu akhir abad ke-17.
Menurut Bray, sebelum pertengahan abad ke-17, tidak ada yang sesuai dengan
konsepsi modern homoseksualitas. Pada periode ini, membahas apakah seseorang
itu homoseks atau tidak adalah merupakan suatu anakronisme dan bisa sangat
menyesatkan (Bray, 1988: 16-17). Namun demikian, kemunculan
homoseksualitas modern baru terlihat 50 tahun kemudian, pada akhir abad ke-17,
seiring dengan munculnya sub-kultur homoseks urban di area sebelah utara
Sungai Thames (ibid: 84; lihat juga Norton: 1992).
Seperti halnya Foucault, John D’Emilio juga berpendapat bahwa
homoseksualitas modern mulai muncul pada akhir abad ke-19. Jika Foucault
beranggapan bahwa peristiwa penting pada periode tersebut adalah peningkatan
medicalisation of sexuality, maka D’emilio (1992b: 5) justru mengambil
pendekatan Marxis dan menganggap bahwa identitas homoseks dipengaruhi oleh
perkembangan historis kapitalisme, terutama oleh sistem bebas tenaga kerja-nya.
Dalam memetakan pertumbuhan kapitalisme di Amerika Serikat, D’Emilio fokus
pada bagaimana kecukupan diri suatu keluarga atau rumah tangga bisa mengalami
penurunan dalam hal pola produksi dan konsumsi. Keluarga tidak lagi hanya
dianggap sebagai suatu sistem ekonomi, tetapi juga sebagai unit afektif, yaitu
8

sebuah institusi yang tidak hanya menyediakan harta benda, tetapi juga kepuasan
emosional dan kebahagiaan (ibid). Sementara itu, Jeffrey Weeks (1977: 2)
berpendapat bahwa cara terbaik untuk memahami kemunculan definisi baru
homoseksualitas dan homoseks adalah dengan melihatnya sebagai bagian dari
restrukturisasi hubungan seks dan keluarga dalam keberhasilan urbanisasi dan
kapitalisme industri.
Semua cerita penemuan homoseksualitas di atas berkaitan dengan
pembentukan homoseksualitas pria. Hal ini sebagian disebabkan karena para
teoretikus tersebut memang memusatkan perhatian pada contoh-contoh pria, dan
sebagian disebabkan karena pembentukan homoseksualitas wanita atau
lesbianisme tidak persis mengikuti pembentukan homoseksualitas pria. Dalam
wacana hukum dan kedokteran, homoseksualitas wanita tidak menduduki posisi
yang sama seperti halnya homoseksualitas pria. Menurut sistem peradilan Inggris,
yang pada masa kolonial Inggris banyak diadopsi oleh negara-negara lain,
homoseksualitas pria adalah suatu tindak kriminal, tetapi tidak demikian dengan
homoseksualitas wanita. Karena perbedaan kriminalisasi inilah, maka
homoseksualitas wanita membutuhkan waktu yang lebih lama, bila dibandingkan
dengan homoseksualitas pria, untuk menjadi dasar identitas subkultural yang
manual.
Buku tentang perkembangan identitas lesbian modern yang paling
berpengaruh dan detil adalah buku tulisan Lillian Faderman, Surpassing the Love
of Men (1985). Untuk menunjukkan bahwa di budaya barat, hubungan seksual
atau hubungan kasih sayang yang intens antar wanita itu ada di mana-mana,
Faderman menguraikan serangkaian teks sejarah dan sastra dari abad ke-16
hingga abad ke-20. Menurutnya, sebelum abad ke-20, hubungan romantis antar
wanita ―baik yang seksual maupun tidak― secara sosial diperbolehkan.
Dalam bukunya tersebut, Faderman berulang kali menunjukkan
keterkejutannya terhadap tidak adanya hukuman bagi hubungan romantis antar
wanita. Ia mempertanyakan bagaimana hubungan semacam itu bisa dilarang di era
sekarang, tetapi diperbolehkan di era sebelumnya. Padahal pada era sebelumnya
tersebut, hubungan romantis antar wanita yang terjadi juga memiliki kualitas dan
9

intensitas emosi yang tidak jauh berbeda dengan yang ada di era sekarang (ibid:
19). Menurut Faderman, perubahan sikap ini disebabkan oleh respon terhadap
gelombang pertama feminisme, serta meningkatnya kecenderungan untuk
menganggap homoseksualitas wanita sebagai sebuah penyakit.
Sama seperti Faderman, Valerie Traub juga menguraikan sejarah tentang
perkembangan identitas lesbian modern. Jika buku Faderman didasarkan pada
model esensialis, maka buku Traub ini justru didasarkan pada model
konstruksionis. Dalam analisanya terhadap wacana-wacana erotis antar wanita
sebelum 1800, Traub mengatakan bahwa antropologi kolonial Eropa, narasi
perjalanan dan teks anatomi terus menerus mengaitkan klitoris dengan tribadisme
―moyang dari lesbianisme― dan sejak itu, keterkaitan keduanya membayangi
wacana modern (Traub, 1995: 82, 94).
Walaupun banyak teori pembentukan homoseksualitas modern yang saling
berbeda satu sama lain, tetapi ada satu kesepakatan bahwa homoseksualitas
bukanlah fenomena transhistoris. Kecuali Faderman, semua teoretikus yang kita
bahas sejauh ini membuat perbedaan yang krusial antara perilaku homoseks, yang
ada di mana-mana, dengan identitas homoseks, yang berkaitan dengan kondisi
historis tertentu. Sebagaimana yang ditulis oleh Jeffrey Weeks (1972: 2),
homoseksualitas hidup di sepanjang sejarah, di semua tipe masyarakat, dan di
semua kelas sosial, serta bisa bertahan di bawah pelarangan yang paling keras
sekali pun. Meskipun di dalam masyarakat ada beberapa orang yang berusaha
untuk mencari kontak seksual dengan orang lain dari sesama jenis, tetapi hanya
sedikit diantara mereka yang menjadi homoseks (Halperin, 1990: 46).

Homoseksualitas dan Heteroseksualitas


Mengedepankan proses-proses yang secara historis membentuk homoseksualitas,
berarti secara tidak langsung menyatakan bahwa heteroseksualitas adalah
konstruksi yang lebih alami dan stabil. Asumsi ini dianggap lazim dalam kultur
yang memandang homoseksualitas sebagai bentuk turunan heteroseksualitas yang
kurang berkembang. Pemahaman ini disuarakan dalam berbagai wacana, mulai
dari psikologi populer ―yang menawarkan gagasan tentang homoseksualitas
10

sebagai tahapan yang harus dilalui remaja sebelum ia menjadi dewasa sebagai
heteroseks― hingga definisi “keluarga” menurut agama dan hukum, dimana
pengelompokan keluarga homoseks dianggap haram. Heteroseksualitas tidak
dapat diteliti secara substansial di sini , tetapi banyak teoretikus yang berpendapat
bahwa definisi homoseksualitas yang ada sekarang ini, beserta catatan-catatan
perkembangan historisnya, memberikan implikasi yang penting bagi pemahaman
tentang heteroseksualitas. Meskipun heteroseksualitas sering direpresentasikan
sebagai sesuatu yang tidak luar biasa, tetapi faktanya adalah sekarang ini
homoseks tidak dapat dipisahkan dari kembarannya yang “normal”, yaitu
heteroseks (Cohen: 1993: 211).
Heteroseksualitas adalah konstruksi yang maknanya bergantung pada
perubahan model kultur. Sulit untuk memikirkan bahwa “homoseksualitas”
bukanlah suatu istilah deskriptif, namun lebih sulit lagi untuk memikirkan sejauh
mana “heteroseksualitas” dianggap lazim. Bagaimana pun juga, heteroseksualitas
sudah sejak lama dianggap sebagai keadaan yang alami, murni, tidak bermasalah,
dan tidak memerlukan penjelasan. Di dalam usaha-usaha untuk “menjelaskan”
bahwa homoseksualitas secara konseptual berdasarkan pada heteroseksualitas, ada
kecenderungan untuk mengasumsikan heteroseksualitas sebagai bentuk
seksualitas yang netral. Dalam catatannya tentang pemahaman hasrat seks sesama
jenis sebagai “inversi” pada akhir abad ke-19, Christopher Craft (1989: 223)
mengatakan bahwa karena tidak adanya kemampuan dan kemauan untuk
mendekonstruksi norma heteroseks, catatan-catatan inversi seks Inggris kemudian
terus mengulanginya, membiarkan hasrat secara esensial menjadi heteroseks.
Pada akhir abad ke-20, baik heteroseksualitas maupun homoseksualitas,
sampai pada tingkat tertentu, sepenuhnya dianggap lazim. Sulit untuk membuat
sesuatu seperti seksualitas menjadi tidak lazim, sebab kelaziman itu sendiri
berkaitan dengan perasaan setiap individu, dimana masing-masing memandang
seksualitasnya sebagai sesuatu yang bersifat pokok, mendasar dan pribadi.
Halperin (1990: 53) mengakui adanya kecanggungan ini ketika ia menutup
argumennya tentang seksualitas sebagai konstruksi budaya dengan mengatakan
bahwa heteroseksualitas dan homoseksualitas bukanlah sekedar kelompok
11

pemikiran, melainkan kelompok respon erotis. Berkaitan dengan akulturasi ke


dalam sistem seks, Halperin mengatakan bahwa jika seseorang berpikir bahwa ia
keluar dari suatu akulturasi, maka itu bukan akulturasi.
Frase-frase seperti “homoseksualitas dalam sense modern” atau
“homoseksualitas sebagaimana yang dipahami sekarang” secara efektif membawa
pergeseran paradigma dari tindakan seksual ke identitas seksual. Sayangnya,
frase-frase tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa homoseksualitas
modern, tidak seperti pendahulunya, bersifat koheren, pasti dan dikenal. Namun
demikian, pengetahuan modern mengenai kelompok identifikasi seksual masih
jauh dari sifat koheren. Eve Kosofsky Sedgwick mengatakan bahwa
perkembangan gay dan lesbian dari perspektif Foucauldian dalam sejarah hasrat
seks sesama jenis memiliki kecenderungan untuk membebaskan pembentukan
homoseksualitas yang ada sekarang dari defamiliarisasi penelitian. Frase
“homoseksualitas sebagaimana yang kita tahu sekarang ini” secara retoris
memberikan titik tumpu bagi denaturalisasi pemikiran yang dibuat oleh banyak
sejarawan di masa lampau (1990: 45).
Untuk mengkritik kecenderungan merepresentasikan homoseksualitas
kontemporer sebagai sesuatu yang terbukti dengan sendirinya, Sedgwick
menunjukkan kontradiksi-kontradiksi logis dalam pemahaman homoseksualitas
masa kini. Kontradiksi pertama adalah kontradiksi antara definisi
homo/heteroseksual sebagai isu kepentingan aktif bagi minoritas homoseks,
dengan definisi homo/heteroseksual sebagai isu kepentingan determinatif dalam
kehidupan orang-orang dari berbagai spektrum seksualitas. Kontradiksi kedua
adalah kontradiksi antara pemilihan obyek seks sesama jenis sebagai masalah
transitivitas antar gender, dengan pemilihan obyek seks sesama jenis sebagai
pencerminan implus separatisme intern masing-masing gender (ibid: 1-2).
Sedgwick berpendapat bahwa krisis definisi homo/heteroseksual yang ada
sekarang ini merupakan konsekuensi dari dua kontradiksi yang tak terpecahkan
tersebut. Keduanya hidup bersama-sama, dan menjamin ketidakkoherenan
konstitusi modern homoseksualitas.
12

Sampai pada tingkat tertentu, krisis yang ditimbulkan oleh AIDS


menunjukkan adanya ketidakkoherenan diskursif yang membentuk pemahaman
mengenai seksualitas modern. Banyak aktivis yang merasa kecewa karena AIDS
sering dikaitkan dengan homoseksualitas. Mereka memaksa agar pemikiran
tersebut dikaji ulang. Pentingnya memisahkan konsep antara identitas homoseks
dengan perbuatan seks sesama jenis dapat dilihat dalam laporan kebijakan
kesehatan dewasa ini, yang menekankan pada sulitnya memperoleh informasi
mengenai seks yang aman dari para pria yang berhubungan seks dengan sesama
jenis, tetapi tidak menganggap diri mereka sebagai gay. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Gary Dowsett (1991: 6-7), para pria yang berhubungan seks
dengan sesama jenis tetapi tidak terikat dengan komunitas gay bukan merupakan
target group. Mereka tidak dapat dikelompokkan seperti gay. Meski sama-sama
memiliki pengalaman berhubungan seks dengan sesama jenis, tetapi mereka tidak
memiliki sense of belonging seperti halnya para pria gay. Sementara itu, walaupun
sampai sekarang belum ada informasi akurat mengenai apakah HIV bisa menular
secara seksual antar wanita (O’Sullivan dan Parmar, 1989), tetapi pemahaman
transitif homoseksualitas terus menerus mengaitkan lesbianisme dengan AIDS.
Wacana tentang AIDS di atas menawarkan contoh ketidakkoherenan
homoseksualitas. Dalam kaitannya dengan pendapat Sedgwick, yang penting itu
bukanlah menentukan apa itu homoseksualitas atau heteroseksualitas, melainkan
memahami bahwa pengetahuan modern tentang homoseksualitas atau
heteroseksualitas tersebut sebenarnya tersusun atas ketidakkoherenan dan
diskontinuitas.

Anda mungkin juga menyukai