Anda di halaman 1dari 17

PAPER

“ TEOLOGI QUEER “

Dosen Pengampu : Pdt. Dr. Agus Supratikno, M. Th

Disusun Oleh :

712021130_SHINTYA ANJELIKA Y.K. BANI

712021140_VILMA DANIATY NENOTEK

712021154_ANDREW WAHYU BANTAIKA

712021172_MARGARETHA SISILIA BOLING

712021176_FERDINAND ONESIMUS MARBUN

712021243_SEPTIANI SUBU

712019047_FERNI KRISANTI PONTOH

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA 2022
BAB I

PENDAHULUAN

Queer hadir dari bagian kelompok yang dikatakan aneh, ganjil, dan berperilaku
berbeda, dalam kelompok ini adalah LGBTIQ (lesbi, gay, biseksual, transeksual, interseksual
dan queer).Tetapi terdapat perbedaan antara queer dan gay/lesbi. Perbedaan ini dapat dilihat
dari perbedaan istilah  kedua kelompok tersebut, dimana gay/lesbi muncul sebagai
konsekuensi dari teologi kebebasan. Sedangkan teologi queer dipengaruhi oleh komitmen
filosofis dari teori queer yang berpendapat bahwa arti dari Bahasa manusia, identitas kedirian,
dan konsep gender, semuanya merupakan hasil dari rekonstruksi sosial. Teologi queer ini
hadir dengan upaya memahami dan memaknai Allah dari perspektif kaum LGBTIQ, dan
menegaskan bahwa semua hal yang kita pahami saat ini adalah hasil dari sebuah konstruksi
masyarakat pengendali sejarah, artinya masyarakat mayoritas lah yang memberi arti atau
makna terhadap sesuatu apakah positif atau negative. Teologi ini (queer) menuntut agar
doktrin-doktrin utama dari gereja harus dirubah ulang agar memberikan tempat bagi kaum
LGBT agar dapat tempat dalam merayakan karya keselamatan Allah bersama-sama dengan
saudara-saudara mereka yang laki-laki dan perempuan (heteroseksual).

Gereja menangani permasalahan ini tetap memperhatikan kedua aspek, baik dalam
tinjauan kasus-kasus yang ada dalam PL dan PB dimana Yesus mengasihi setiap orang  dan
membenci dosa perbuatannya dan memberikan kasih karunia kepada orang tersebut untuk
menerima dirinya kembali sebagaimana Yesus menerima mereka. Dan memperhatikan
mental orang-orang yang terikat dalam ikatan LGBT. Dalam metode sakramen pernikahan
kudus mereka tetap tidak bisa diterima walaupun dalam peribadatan mereka bisa
mengikutinya. Gereja juga harus memperhatikan keberadaan mereka disaat ada dalam Gereja,
alangkah baiknya Gereja melakukan pendekatan personal sehingga mereka dapat nyaman dan
merasa aman. Jemaat pun tidak akan mencampuri dengan meluas, sehingga saat mereka bisa
menerima diri mereka terlebih dahulu sesuai dengan kehendak Allah tentunya disaat mereka
menceritakan kehidupan mereka kepada jemaat yang lain mereka sudah pulih dan menyadari
hidup mereka merupakan Kasih Karunia yang telah Allah berikan sehingga mereka dapat
mencintai diri mereka sebagaimana Allah juga mencintai dan memandang mereka berharga.

 
 

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI TEOLOGI QUEER

Queer memiliki arti aneh, ganjil, dan berperilaku berbeda dan dalam kelompok yang
aneh atau ganjil ini adalah LGBTQ (lesbi, gay, biseksual, transeksual, interseksual dan
queer). Homoseksual berkembang menjadi praktik hubungan seksual dengan sesama jenis.
Homoseksual adalah orang-orang yang memiliki ketertarikan dengan sesama jenis untuk
melakukan hubungan seksual sesama jenis. Direktorat kesehatan jiwa mengatakan bahwa
homoseksual merupakan rasa tertarik secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional),
dan secara erotik baik secara predominan maupun eksklusif terhadap orang-orang yang
berjenis kelamin sama. Perilaku seksual sesama jenis bisa terjadi baik kepada laki-laki
dengan laki-laki maupun perempuan dengan perempuan. Perilaku seksual sesama jenis atau
kelompok homoseksual juga biasa disebut dengan LGBT. Sebutan LGBT mulai digunakan
dari sejak tahun 1990-an untuk menggantikan nama dari kelompok gay.  Dalam arus ujaran
queer sering disinonimkan dengan gay/lesbi atau kaum homoseksualitas. Ketika istilah
teologi dan queer disamakan maka teologi queer itu merujuk pada upaya memahami dan
memaknai Allah dari perspektif kaum LGBTIQ. Jadi secara singkat teologi queer itu
membahas tentang pemikiran dan pemahaman akan makna Allah menurut pandangan kaum
LGBT atau homoseksual.

Teologi ini (queer) menuntut agar doktrin-doktrin utama dari gereja harus dirubah
ulang agar memberikan tempat bagi kaum LGBT agar dapat tempat dalam merayakan karya
keselamatan Allah bersama-sama dengan saudara-saudara mereka yang laki-laki dan
perempuan (heteroseksual). Teologi Queer dipengaruhi oleh komitmen filosofis dari teori
queer yang berpendapat bahwa arti dari bahasa manusia, identitas kedirian dan konsep gender
semuanya merupakan hasil dari rekonstruksi sosial. Teologi queer (gay/lesbi) yang
mengungkapkan dosa-dosa heteroseksisme dan ketakutan terhadap homoseksual 
(homophobia).
LGBT dalam dunia klinis merupakan suatu penyakit atau pengaruh kelainan hormon
terhadap seseorang, hal ini bisa disembuhkan dengan merangkul individu tersebut. Menurut
pandangan alkitab sendiri LGBT merupakan sebuah perilaku yang menyimpang, Tuhan juga
telah menurunkan perintah bahwa menyukai sesama adalah hal yang salah, tuhan juga
menghukum sodom dan gomorah karena penyimpangan seksual yang sering terjadi. Akan
tetapi bukan berarti kita harus menjauhi mereka atau memberikan label kepada mereka, tetapi
kita juga harus membantu mereka keluar dari belenggu dosa sehingga mereka mengalami
pemulihan.

B. ENAM TUNTUTAN UNTUK PEMBAHARUAN TEOLOGI

Ketika masyarakat Mayoritas bersedia menerima kalangan queer, dikarenakan mereka


juga merupakan bagian dalam jangkauan Allah, maka masyarakat harus bisa melakukan
enam hal yang menjadi tuntutan dalam pembaharuan, yaitu :

1.  Dekonstruksi (menata ulang) bahasa dan pemaknaan realitas. Sebuah ide dan juga makna
memiliki sejarah. Mengapa demikian? Karena itu semua membutuhkan proses dan waktu
yang lama, contohnya seperti ide tentang laki-laki dan perempuan tidak muncul begitu saja,
melainkan semuanya itu terbentuk melalui suatu proses sejarah yang ada dalam waktu yang
lama. Kemudian ada tugas dekonstruksi yang ditawarkan oleh teologi queer yaitu perlu
dibuat analisa tentang bagaimana kita dapat mengetahui pengetahuan tentang sesuatu atau
identitas yang kita berikan terhadap sesuatu yang dibentuk itu. Tugas tersebut dapat berguna
untuk mengetahui siapa saja yang memperoleh keuntungan.

Para pejuang teologi queer menegaskan bahwa hukum-hukum, pandangan-pandangan


religius dan klaim-klaim tentang keilmuan ternyata didefinisikan oleh kaum heteroseksual
atau orang-orang yang melakukan hubungan seks dengan lawan jenis. Definisi tersebut
tentunya menguntungkan orang heteroseksual tetapi disisi lain justru hal tersebut
memojokkan mereka yang homoseksual.

2.  Arti (meaning). Para pionir teologi queer menolak adanya pemahaman yang bersifat
kekal, sekali untuk selamanya di dalam Alkitab.  Hal ini dikarenakan mereka percaya bahwa
arti dari sebuah kata, kalimat, atau klaim tentang kebenaran selalu ada dalam proses interaksi
antara manusia dalam suatu konteks. Contohnya “Perkawinan adalah antara dua orang dari
jenis kelamin yang berbeda”. Kita mengenal kata perkawinan, itu bukan karena kata itu sudah
memiliki arti yang tetap dan berlaku untuk semua hal, tetapi itu dapat kita belajar dari
pengalaman di mana ada dua orang dengan dua jenis kelamin yang berbeda tinggal bersama.
Tetapi bagaimana ketika kita mengucapkan kata kawin terhadap interaksi antara tanaman.
Tentu saja dalam hal ini arti kata kawin antara dua orang dengan jenis kelamin yang berbeda
sudah tidak berlaku, hal ini dikarenakan pengertian yang dimaksud di sini adalah dua bagian
pada bunga dari pohon yang sama. Disini dapat dilihat bahwa arti kata perkawinan ternyata
tidak statis dan kaku melainkan kata itu memiliki arti dalam proses interaksi dalam konteks.

 Para pionir teologi queer menegaskan bahwa arti dari ungkapan-ungkapan dalam Alkitab
juga tidak bisa dilepaskan dari konteks ungkapan pada saat diucapkan. Contohnya seperti
meskipun Alkitab mengatakan bahwa perkawinan itu berlaku antara laki-laki dan perempuan,
tetapi Alkitab tidak mencela atau menghukum hubungan antara dua orang dengan jenis
kelamin yang sama, seperti Daud dan Yonathan, yang dicela oleh Paulus dalam 1 Timotius
1:10 dan 1 Korintus 6:9. Yang sebenarnya bukan karena persetubuhan sesama jenis,
melainkan pada kultus prostitusi.

3. Gender. Menurut para penggagas teologi queer gender tidak ditentukan oleh perbedaan
bentuk fisik, dan bukan sesuatu yang ada secara alami. Tetapi mereka berpendapat bahwa
gender merupakan hasil konstruksi manusia dan oleh karena itu setiap hasilnya berbeda-beda.
Judith Butler berpendapat bahwa Ia tidak setuju dengan klaim bahwa bentuk fisik dan organ-
organ yang dapat dilihat menjadi tolak ukur untuk menentukan seksualitas dan gender, tidak
hanya yang disebut laki-laki dan perempuan sebagai identitas gender adalah sebuah hasil
interpretasi dalam konteks percakapan di antara  manusia heteroseksual, tetapi orang dari
sesama jenis kelamin sekalipun bisa memiliki gender yang berbeda.

4. Discourse atau percakapan bukan saja berfungsi untuk saling tukar informasi, tetapi lebih
penting untuk memproduksi dan mengontrol subjek-subjek, kemudian dalam percakapan
orang-orang juga menentukan aturan untuk menghasilkan pengetahuan dari percakapan yang
dilakukan. Pengetahuan yang dimaksud bersifat nilai-nilai yang menentukan kebenaran
seperti apa yang dipakai dalam suatu situasi. Misalnya dalam percakapan tentang gender
orang menetapkan bahwa jantan dan betina adalah hal normatif untuk gender, kemudian
ketika berbicara tentang jenis ketiga diluar jantan dan betina dianggap seperti sebuah lelucon,
aneh, bahkan memalukan.

5. Identitas. Identitas manusia selalu berubah dan tidak stabil kemudian masih ada dalam
sebuah proses. Dalam pemikiran barat yang dipengaruhi oleh pandangan Plato bahwa ada
kepribadian yang stabil dalam diri setiap orang, hal ini ditolak oleh para pionir. Menurut para
pionir teologi queer kepribadian itu berlangsung dalam bahasa, percakapan dan kondisi
material yang dia hadapi. Namun ketika seseorang terus-menerus mendengar bahwa dirinya
baik dan bisa melakukan sesuatu, maka dia akan berada dalam proses menjadi baik dan
mampu melakukan tugas yang dipercayakan kepadanya.

6. Penundukan. Penundukan terhadap seseorang selalu berdampak pada perjuangan dari


orang yang ditundukkan untuk menjadi subyek. Banyak sekali cara yang dilakukan orang-
orang untuk menguasai dan menundukkan sesamanya, salah satunya adalah melalui bahasa
dan dalam percakapan, pada saat itu mereka yang merasa berkuasa dan mengarahkan sesama.
Tetapi pada saat yang sama mereka yang ditundukan berusaha untuk membebaskan diri dari
tekanan yang ada untuk menjadi individu. Dengan adanya reaksi yang dilakukan mereka
yang ditindas ini untuk menjadi subyek dalam relasi dengan mereka yang menindas ini sangat
berguna untuk kita memahami bagaimana kaum gay/lesbi memberontak terhadap penindasan
yang dilakukan oleh kaum heteroseksual. Pemberontakan itu dapat mereka lakukan dengan
merumuskan identitas mereka untuk tetap bertahan hidup dan diterima di dalam masyarakat.

C. ALKITAB TENTANG HOMOSEKSUALITAS

Menurut Alkitab Allah memerintahkan manusia untuk menikah. Dan pernikahan itu
adalah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kaum gay dan lesbi adalah sama
jenis kelaminnya. Jelas mereka melanggar perintah Allah. Yesus hadir dalam perkawinan
seorang kerabatNya di Kanan. Perkawinan itu antara seorang laki - laki dan perempuan (Yoh
2:9). Kehadiran Yesus ini jelas menunjukkan bahwa dia mengakui perkawinan yang
ditetapkan Allah. Yesus hadir di pernikahan di Kana adalah bentuk pengakuan Dia terhadap
pernikahan, tetapi tidak berarti Yesus mempersalahkan mereka yang tidak menikah. 
Mengenai pernikahan Alkitab memang menegaskan persekutuan hidup seorang laki -
laki dan seorang perempuan . Persekutuan yang kelihatan ini menunjuk kepada persekutuan
yang tidak tampak secara langsung , yakni persekutuan antara Yesus Kristus dan jemaat (Ef
5:23). Itu berarti perkawinan adalah sebuah perbuatan simbolis. Arti sesungguhnya dari
perkawinan bukan pada apa yang kita lihat terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan,
melainkan apa yang terjadi dalam persekutuan Kristus dan jemaat. Karl Barth katakan bahwa
perkawinan Adam dan Hawa dalam Kejadian 2 bukan pertama tama bersaksi tentang
perkawinan seperti yang kita pahami. Persekutuan laki - laki dan perempuan yang diceritakan
di situ menggambarkan persekutuan antara Allah dan manusia yang akan nyata dalam Yesus
Kristus dan Gereja. 
Dari penjelasan ini kita menemukan dua cara pandang terhadap Kejadian 2 dalam
hubungan dengan Efesus 5. Pertama , perkawinan dilihat dari sudut pandang penciptaan ,
yang berarti persekutuan antara seorang laki - laki dan perempuan . Kedua , dilihat dari sudut
pandang penebusan , yakni persekutuan antara Kristus dan jemaat . Dari sudut pandang ini
terbuka ruang bagi sesuatu yang baru . J. Koopmans menulis :" Kehidupan rumah tangga
tidak boleh hanya dilihat dari sudut pandang penciptaan. Ia juga harus dilihat dari sudut
pandang penyelesaian akhir . Itu sebabnya salib berdiri di tengah - tengah dunia. " Kalau
Kristus adalah mempelai laki-laki (dalam arti queer), sedangkan jemaat yang adalah
mempelai perempuan justru terdiri dari orang laki – laki, orang perempuan , gay dan lesbi
maka terbuka ruang untuk kita memahami perkawinan lebih dari sekedar persekutuan antara
laki - laki dan perempuan.

Ada tujuh tempat di dalam Alkitab yang menegaskan larangan dosa dalam Alkitab
karena sampai hari ini selalu dipakai untuk menghukum bahkan membunuh gay dan lesbi.
Tujuh tempat yang menegaskan larangan homoseksualitas itu secara berturut - turut adalah :
Pertama Kejadian 19 Disebutkan bahwa " orang - orang laki - laki dari kota itu , dari yang
muda sampai yang tua , bahkan seluruh kota tidak ada yang terkecuali , datang mengepung
rumah itu " supaya mereka memakai kedua tamu Lot itu . Kata Ibrani kami pakai adalah
ned'ah yang berasal dari kata yada' yang memang biasa dipakai untuk persetubuhan. Jadi
laki-laki dari seluruh kota Sodom meminta dua orang asing itu dari Lot untuk disetubuhi.
Tidak mungkin seluruh penduduk kota Sodom yang laki-laki adalah homo. Kalau benar
semua laki - laki Sodom adalah homo bagaimana mungkin bisa ada bayi - bayi yang lahir ?
Juga eksplisit disebutkan bahwa ada dua laki-laki Sodom yang menjadi bakal menantu Lot
(Kej 19:14 ). Jadi, walaupun benar penduduk Sodom terlibat homoseksual tentulah bukan
semua laki – lakinya. Ayat-ayat lain tentang Sodom yang sudah kita periksa menyebutkan
dosa kota Sodom adalah perzinahan, ketidakjujuran, ketidakpeduliaan terhadap orang asing,
Jadi bukan melulu dosa homoseksualitas.

Tempat kedua dan ketiga yang berbicara tentang Sodom adalah Yeremia 23:14 dan
Yehezkiel 16 : 49-57 . Yeremia menunjuk kepada dosa Sodom . Kita berasumsi bahwa dosa
itu adalah homoseksual , tapi dengan catatan bahwa bukan itu satu - satunya kejahatan
mereka dan tidak semua laki - laki di situ adalah homo . Yehezkiel 16 menyebut daftar dosa
lain dari orang Sodom : kecongkakan , makanan yang berlebihan , kesenangan hidup , tidak
menolong orang sengsara dan miskin . Yang menarik dari Yehezkiel bukan hanya
diumumkan hukuman tetapi juga pemilihan Allah atas Sodom . Jadi sama seperti dosa - dosa
lain, homoseksualitas juga adalah dosa yang tidak berada di luar kasih pengampunan Allah.
Imamat 18:22 dan 20:13 adalah tempat keempat yang menunjukkan tegasnya Alkitab
menyatakan larangan terhadap homoseksualitas. Kita tidak punya penjelasan untuk mencari
arti lain dari dua teks ini . Yang jadi masalah adalah adanya larangan lain yang sejajar seperti
Imamat 11:7 tentang larangan makan daging babi, juga Imamat 19:19 tentang jangan
mengawinkan dua jenis ternak , tanami kebun dengan dua jenis benih atau memakai pakaian
dengan dua jenis bahan . Sepertinya ada sikap mendua dalam teologi kita. Larangan makan
babi , kawin silang pada binatang , benih ganda di kebun , memakai pakaian dengan dua jenis
bahan kita anggap sudah digenapi oleh Kristus sehingga tidak berlaku lagi. Tetapi larangan
homoseksualitas tidak bisa digenapi Kristus dan karena itu masih tetap berlaku . Teks kelima
adalah Roma 1 : 26-27 . Homo dan Lesbian mendapat sorotan tajam dalam teks ini tapi harap
jangan salah sangka. Ayat ini bukan merupakan larangan untuk menghindari kehidupan
homoseksualitas . Bukan ! Hubungan seks yang menyimpang ini ( homoseksualitas ) adalah
akibat dari dosa yang dilakukan oleh penduduk Roma, yakni penyembahan berhala
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 25. Menurut Paulus homoseksualitas bukan
penyakit , bukan juga pilihan bebas penduduk Roma . Allahlah yang menghukum para
penyembah berhala di Roma dengan keinginan homoseksualitas. Jadi homoseksualitas adalah
dorongan atau keinginan hati yang Allah bangkitkan dalam hati penduduk Roma . Jadi
menurut Paulus keinginan homoseksualitas itu berasal dari Allah . Ini tentu hal yang sangat
membingungkan. Allahlah yang membuat laki-laki tertarik kepada laki-laki, dan perempuan
tertarik kepada perempuan. Mengapa Paulus sampai mengatakan hal yang kita anggap keji
sebagai yang mungkin oleh Allah ? Cranfield yang baru saja kita kutip memberikan kepada
kita solusi berikut. Bentuk hukuman dari Allah berupa penyerahan kepada homoseksualitas
adalah pandangan Paulus yang belum sepenuhnya lepas dari pendapat saudara-saudara
sebangsanya orang Yahudi. Sebagaimana kita tahu pandangan tentang hidup dalam paham
Yudaisme terbagi dalam binary opposition seperti bersih / najis , profan / sakral dan lainnya. 
Teks terakhir ( keenam dan ketujuh ) adalah 1 Korintus 6 : 9-10 dan 1 Timotius 1:10.
Di Makassar ( 2008 ) waktu penulis membawakan materi pembekalan Majelis Jemaat
mengenai ajaran predestinasi kristen, seorang penatua mengatakan bahwa gay dan lesbi
pastilah akan dibuang Allah ke api neraka. Dia menunjuk kepada dua ayat tadi. Tidak cukup
dia hanya berkomentar lisan. Komentar itu ditulis dalam selembar kertas lalu memberikannya
kepada penulis. Sampai sekarang, catatan itu masih penulis sisipkan di Alkitab penulis . Itu
karena dia tidak setuju dengan pendapat penulis bahwa cinta kasih Allah lebih besar dari dosa
apapun termasuk homoseksualitas Memang dua ayat itu tegas mengatakan bahwa para
pemburit ( burit = bagian belakang , buntut , dubur ) tidak akan mendapat bagian dalam
Kerajaan Allah. Baiklah kita memahami kata ini bukan dari terjemahan melainkan dari kata
aslinya dalam bahasa Yunani, mengingat penerjemah seringkali dipengaruhi oleh persepsi
yang ada dalam dirinya, bukan yang ada dalam teks yang diterjemahkan. Kata bahasa Yunani
yang dipakai untuk banci adalah malakoi sedangkan pemburit diterjemahkan dari
arsenokoitai . Mengenai banci atau malakoi artinya laki - laki yang lembek , yang feminin
tidak semua orang banci adalah homo dan perempuan yang tomboy ( waria ) itu lesbi. Ada
banyak orang banci dan waria yang menikah dengan pasangan yang berbeda jenis kelamin,
memiliki anak dan membangun keluarga yang sehat. Kita perlu ingat bahwa identitas seksual
tidak selalu jatuh sama dengan perilaku seks. Ada orang yang berjenis laki-laki tetapi
berperilaku sebagai perempuan. Stephen Suleeman menunjukkan bahwa kemungkinan
malakoi yang dipakai Paulus untuk banci dimaksud adalah para pelacur di kuil Korintus yang
menyediakan dirinya untuk melakukan hubungan seks dengan peserta ibadah di kuil itu.
Dalam I Korintus 6 : 9-10 dan 1 Timotius 1 :3-10 tidak serta - merta menunjuk kepada
kaum homoseksual . Mengatakan bahwa orang - orang homoseksual tidak mendapat bagian
dalam Kerajaan Allah sebagaimana yang dikatakan dalam teks tadi harus dikenakan juga
kepada Daud dan Yonatan, dua laki - laki dewasa yang saling mencintai dengan cinta yang
lebih dari cinta kepada perempuan (2 Sam 1:26).
D. YESUS DALAM PANDANGAN TEOLOGI QUEER

Orang-orang yang termasuk dalam Queer, mereka tidak menolak akan adanya Yesus.
Mereka mengakui Yesus dalam hatinya dan juga menunjukkan dalam hidupnya bahwa Yesus
adalah Juruselamat bagi mereka. Mereka mengakui adanya Yesus, dan mereka percaya
bahwa Yesus peduli pada semua umat manusia, tanpa kecuali dan tidak memandang apakah
orang tersebut gay/lesbi. Bahkan mereka juga menganggap bahwa Yesus termasuk dalam
queer, aneh dan ganjil. Pandangan ini bukan berarti bahwa mereka menganggap Yesus
tergolong dalam seorang gay/lesbi. Mereka tetap menganggap bahwa Yesus adalah seorang
laki-laki, tetapi queer yang dimaksud disini yaitu yesus berbeda karena Ia berani untuk tidak
sama pemahamanNya dengan pandangan mayoritas dan budaya dominan. Yesus hadir untuk
membongkar dan memberombak pandangan-pandangan umum yang berlaku pada masanya,
baik dalam bidang politik,agama, maupun gender melalui solidaritas-Nya dengan orang-
orang yang bergaulat untuk memperoleh kebebasan dari berbagai penindasan, bukan hanya
kemiskinan, penjajahan politik, tetapi juga penindasan paham yang berhubungan dengan
penindasan gender dan ketakutan mayoritas terhadap homoseksual. Oleh sebab itu Yesus
disebut sebagai seorang queer.

Eleanor McGlaughlin yang merupakan seorang teologi feminis, yang menunjukkan


bahwa yang meminta minum dari seorang perempuan samaria yang dikucilkan atau berlutut
seperti seorang budak perempuan dalam membasuh kaki para murid, hal ini secara tidak
langsung menunjukkan bahwa Yesus adalah seorang banci. Tetapi pandangan ini bukan
menunjukkan Yesus merupakan banci, tetapi Ia membuat diri-Nya satu dengan para Banci.
Kita dapat melihat perbedaan Yesus dengan manusia yaitu dalam kelahiran-Nya, bukan saja
pada inkarnasi di Betlehem, tetapi juga pada kelahiranNya dalam kekekalan, dimana Ia lahir
dari seorang Bapak tanpa Ibu. Keanehan-keanehan itu dijalani Yesus karena cinta kepada
manusia dan demi menyelamatkan ciptaan.

E. PENDALAMAN

Teologi Queer lahir sebagai pengembangan dari sebuah teori yang bernama Teori
Queer. Teori ini di kembangkan oleh beberapa tokoh terkenal di era 1990 an diantaranya
adalah Lauren Berlant, Leo Bersani, Judith Butler, Lee Edelman, dan Halberstam. Nama teori
queer sendiri mulai dikenal luas sejak seorang feminis dan teori film Italia bernama Teresa de
Lauretis menciptakan istilah “teori queer” dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan di
Universitas California, Santa Cruz pada tahun 1990 yang kemudian dirangkum dalam sebuah
jurnal yang berjudul “A Journal of Feminis Cultural Studies” . Sejak itu kata teori queer
mulai lazim digunakan untuk mengistilahkan semua teori yang menyangkut LGBT.

         Teori Queer ini beranggap bahwa adanya pemisahan gender pria dan wanita
sebenarnya adalah suatu yang dibangunkan dengan maksud politik saja. Artinya, adanya
pemisahan dan perbedaan antara pria dan wanita bukanlah suatu yang alami melainkan
paksaan oleh oknum-oknum tertentu, misalnya Negara dan para penguasanya. Sedikit banyak
teori ini memberi kontribusi atas munculnya gagasan bahwa gender adalah suatu yang
bersifat fluid atau cair, artinya gender dapat berganti dapat berganti tergantung dari keadaan
sosial, budaya dan kesukaan masing-masing individu.

         Dalam buku berjudul ‘Foucault and Queer Theory’,Spargo menjelaskan bahwa teori
queer bukan merupakan suatu konsep yang berdiri sendiri melainkan suatu kesatuan dari
pemikiran-pemikiran intelektual yang berhubungan dengan seks, gender dan hasrat seksual.
Menurut queer theory merupakan suatu bentuk pemikiran yang sangat tidak ortodoks atau
sangat tidak tradisional. Landasan berfikir ini awalnya lahir dari pemikiran seorang filsuf
Prancis, sejarawan ide, ahli teori sosial, ahli bahasa dan kritikus sastra terkenal zaman
pertengahan tahun 1900, Michel Foucault, yang karya-karyanya hingga kini banyak dipakai
oleh para akademisi dan psikolog klinis. Michel Foucault pertama kali menuliskan
pemikirannya mengenai hubungan seksual sejenis dalam bukunya yang berjudul The  History
of  Sexuality, yang diterbitkan dalam 3 seksual dimulai dari tahun 1976. Dalam buku The
History of Sexuality I, tertuang pemikirannya yang beranggapan bahwa pada era
pemerintahan Victoria(Inggris) yang mempengaruhi banyak Negara didunia sekitar abad 18,
terjadi represi seksualitas dimana segala sesuatunya harus serba teratur, sopan, dan semua
yang terkait dengan seks dengan seks tabu untuk dibicarakan di public. Padahal sebelum abad
ke-17, kata-kata dan kegiatan terkait seks bukan sesuatu yang tabu untuk dilakukan dan
diucapkan dengan bebas.

         Seiring berjalannya waktu, teori queer mulai diterima oleh sebagian besar masyarakat
di negara-negara maju yang mayoritas merupakan Negara penganut keKristenan.
Bertambahnya umat Kristen dengan gaya hidup dan identitas LGBT inilah kemudian menjadi
batu pijakan lahirnya Teologi Queer. Teologi Queer dirasa mampu memberi afirmasi bagi
tindakan para penganut LGBT beragama Kristen sehingga  mereka dapat tetap beribadah di
gereja tanpa perlu mengubah identitas atau orientasi seksual mereka. Dengan memberikan
argumentasi yang dilengkapi dengan ayat-ayat Alkitab, mereka berharap agar sesama tubuh
kristus dapat mengakui bahwa apa yang mereka lakukan bukan sesuatu hal yang bertentangan
dengan Firman Tuhan dan bukan merupakan suatu dosa(walaupun berdosa, adalah jenis dosa
yang setara dengan dosa lainnya seperti ketamakan dan kerakusan).

          Berdasarkan fakta-fakta ini dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga hal utama yang
melatarbelakangi berkembangnya Teologi Queer dengan massif di Negara-negara maju;

  Pertama:  Negara-negara maju di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Kristen


seperti  Amerika dan Inggris telah melegalkan pernikahan jenis secara sah dalam hukum
pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah harus siap pula mengkoordinir lembaga-lembaga
agama di Negara masing-masing untuk berjalan sesuai dengan ketetapan pemerintah
menyangkut pelegalan pernikahan sejenis. Pernikahan sejenis seperti pernikahan heteroseks
pada umumnya, memerlukan upacara pemberkatan pernikahan yang melibatkan seorang
pendeta untuk memberkati serta restu jemaat gereja sebagai bagian dari tubuh kristus. Karena
Firman Tuhan dan teologi yang mengafirmasi tindakan LGBT tentu sangat diperlukan.

Kedua: Tidak sedikit jumlah kaum milenial pelaku LGBT yang berasal dari keluarga Kristen
yang telah terbiasa beribadah dan berkomunitas di gereja lokal. Oleh karena itu mereka rasa
perlu diterima seutuhnya oleh gereja, komunitas Kristen dan oleh Tuhan, namun disaat yang
sama mereka merasa tidak mampu atau tidak mau meninggalkan perilaku dan identitas LGBT
mereka. Sebagai bentuk kepedulian dan harapan agar mereka dapat tetap berada di komunitas
dengan tenang, gereja merasa perlu bersikap lebih fleksibel dan melihat serta mengartikan
ulang beberapa ayat Alkitab.

Ketiga: Dengan semakin bermunculannya para pendeta dan hamba Tuhan yang juga
memiliki orientasi seksual LGBT,tentu perlu ditemukan adanya pengakuan dan persetujuan
dari Firman Tuhan bahwa identitas LGBT mereka bukanlah suatu dosa sehingga mereka
dapat tetap berdiri di atas mimbar untuk berkhotbah, mengajar, melayani sakramen-
sakramen, dalam memimpin jemaat.

  Sikap gereja dan orang Kristen terhadap LGBT terutama di dunia barat juga mengalami
pergeseran dari waktu ke waktu. David Greenberd meragukan 4 milestone perubahan sikap
gereja yang secara umum terjadi di daera barat terhadap LGBT sejak jaman kekaisaran
Romawi hingga saat ini yaitu;

1.      Era Selingan (Distraction Era).

    Terjadi pada masa kekaisaran Romawi sekitar abad pertengahan, dimana
perilaku homoseksual dianggap sebagai suatu selingan semata seperti halnya
masturbasi dan karenanya ada sikap toleransi terhadap perilaku ini.

2.      Era kelainan (Perversion Era)

    Terjadi pada abad 14 hingga permulaan abad 19, dimana perilaku
homoseksual dianggap sebagai perilaku yang tidak wajar dan pelakunya ditindak
dan didiskriminasi seperti kelompok minoritas lainnya.

3.      Era penyakit( Illness Era)


     Terjadinya pada akhir abad 19 hingga tahun 1970 an, dimana homoseksual
dipandang sebagai sebagai suatu penyakit/kelainan jiwa yang bisa disembuhkan
melalui berbagai macam metode terapi, salah satunya dengan metode inverse.

        Periode ini ditandai dengan dihapuskannya larangan praktik homoseksual pada tahun
1967 di Inggris yang kala itu masih merupakan Negara protestan yang kuat, diikuti oleh
Amerika, sehingga homoseksual tidak lagi dianggap sebagai sebuah penyakit melainkan
sebagai salah satu variasi dalam seksualitas.[1]

F. IMPLEMENTASI DALAM  GEREJA MASA KINI

Implementasi gereja masa kini terhadap teologi queer

Teologi queer yang didalamnya yaitu LGBTQ menjadi sebuah fenomena dan
persoalan yang cukup serius, karena harus diakui bahwa sejak abad pertama, sejak Gereja
berdiri, hal-hal ini telah mendapatkan perhatian juga dalam Kitab Suci dan Gereja mula-mula.
Masalah tentang LGBT ini seringkali menjadi bahan pembicaraan di berbagai kalangan,
seperti kalangan medis, masyarakat, psikolog, bahkan agama. Masalah ini menimbulkan pro
dan kontra, termasuk di kalangan agama Kristen. Sampai saat ini banyak gereja yang selalu
membicarakan tentang LGBT, antara yang menerima dan menolak kaum LGBT, dengan
alasan yang berbeda-beda. Dosa yang sama dengan perilaku LGBT ini dituliskan dalam
Alkitab melalui kisah Sodom dan Gomora.

Gereja menangani permasalahan ini tetap memperhatikan kedua aspek, baik dalam
tinjauan kasus-kasus yang ada dalam PL dan PB dimana Yesus mengasihi setiap orang
dengan membenci dosa perbuatannya dan memberikan kasih karunia kepada orang tersebut
untuk menerima dirinya kembali sebagaimana Yesus menerima mereka. Dan memperhatikan
mental orang-orang yang terikat dalam ikatan LGBT. Dalam metode sakramen pernikahan
kudus mereka tetap tidak bisa diterima walaupun dalam peribadatan mereka bisa
mengikutinya. Gereja juga harus memperhatikan keberadaan mereka disaat ada dalam Gereja,
alangkah baiknya Gereja melakukan pendekatan personal sehingga mereka dapat nyaman dan
merasa aman. Jemaat pun tidak akan mencampuri dengan meluas, sehingga saat mereka bisa
menerima diri mereka terlebih dahulu sesuai dengan kehendak Allah tentunya disaat mereka
menceritakan kehidupan mereka kepada jemaat yang lain mereka sudah pulih dan menyadari
hidup mereka merupakan Kasih Karunia yang telah Allah berikan sehingga mereka dapat
mencintai diri mereka sebagaimana Allah juga mencintai dan memandang mereka berharga.
Contoh implementasi Gereja terhadap kaum LGBTQ yaitu dari Pandangan Gereja JKI
Oikos Pelangi Kasih Terhadap Kaum LGBT Gereja JKI Oikos Pelangi Kasih memiliki
pandangan terhadap jemaatnya yang LGBT, bahwa aktivitas perilaku kaum LGBT itu adalah
dosa, dan kaum LGBT itu sama dengan semua manusia yang berdosa. Namun yang
membedakan kaum LGBT dengan manusia yang lainnya adalah perilaku kaum LGBT yang
terlihat dari bentuk perilaku seksual yang tidak wajar. Misalnya kaum LGBT yang
melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, melakukan hubungan seksual dengan dua
lawan jenis laki-laki dan perempuan, bahkan ada juga berusaha mengganti gandernya. Semua
manusia tidak ada yang tidak luput dari dosa baik itu yang LGBT maupun yang tidak. Oleh
karena itu kasih Tuhan harus disampaikan kepada semua manusia termasuk kaum LGBT.
Gereja JKI Oikos Pelangi Kasih sudah lama melayani para kaum LGBT dan sudah banyak
kaum LGBT yang mereka layani dan mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Gereja
ini melayani kaum LGBT tidak fokus untuk merubah statusnya, misalnya, mereka yang gay
kembali menjadi laki-laki normal, atau yang bisa menyukai lawan jenisnya; yang lesbian
kembali menjadi perempuan yang normal, yang menyukai lawan jenisnya. Gereja JKI Oikos
Pelangi Kasih lebih fokus kepada bagaimana supaya kasih Tuhan dan firmanNya dapat
tersampaikan kepada kaum LGBT, dan bagaimana supaya kaum LGBT menerima firman
Tuhan dengan baik; karena itulah tugas gereja dan para hamba Tuhan. Kaum LGBT tidak
bisa dipaksakan untuk menunjukkan suatu perubahan karena hanyalah bersifat sementara,
namun jika diterima apa adanya dan dibimbing dengan baik dan benar maka, akan adanya
perubahan dari diri mereka sendiri.[2]

G. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEOLOGI QUEER

Teologi Queer dipakai dengan istilah Teologi dan Queer di samakan maka teologi
queer itu merujuk pada upaya memahami dan memaknai Allah dari perspektif kaum
LGBTIQ. Teologi Queer berperan secara singkat dalam membahas tentang pemikiran dan
pemahaman akan makna Allah menurut pandangan kaum LGBT atau homoseksual. Kurang
lebih Kelebihan dari Teologi ini (queer) menuntut dengan perubahan agar paradigma yang
sudah ada dari gereja harus dirubah ulang agar memberikan tempat bagi kaum LGBT dalam
mendapatkan ruang merayakan karya keselamatan Allah bersama-sama dengan saudara-
saudara mereka yang laki-laki dan perempuan (heteroseksual). Kemudian Teologi Queer
berperan dalam tugas dekonstruksinya yaitu perlu dibuat analisa tentang bagaimana kita
dapat mengetahui pengetahuan tentang sesuatu atau identitas yang kita berikan terhadap
sesuatu yang dibentuk itu. Dari sini Teologi Querr menjadi jalan alternatif dalam diskursus di
Indonesia, yang merujuk kepada penerimaan yang ramah terhadap LGBT sekaligus dimensi
subversif (perlawanan) kepada system heteronormatif. Sedikit kekurangan dari Teologi
Queer, kurangnya kajian Teologi Queer itu sendiri di Indonesia yang masih sangat minim
dijumpai sebagai diskursus gender dan seksualitas. Dan juga Teologi Queer tidak begitu
mudah untuk beradaptasi terhadap konteks lokal dengan subversif oleh Anti LGBT.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

         Teologi Queer ini hadir untuk mengajak kita sebagai sesama ciptaan Tuhan untuk
saling menghargai sesama kita, dalam konteks ini adalah menghargai kaum LGBTQ, mereka
yang dianggap aneh, ganjil, dan berperilaku berbeda. Hal ini dikarenakan mereka juga
merupakan ciptaan Tuhan yang sama dengan yang lainnya, di dalam diri mereka juga mereka
tidak menolak adanya Tuhan,. Mereka mengakui Yesus dalam hatinya dan juga menunjukkan
dalam hidupnya bahwa Yesus adalah Juruselamat bagi mereka. Mereka mengakui adanya
Yesus, dan mereka percaya bahwa Yesus peduli pada semua umat manusia, tanpa kecuali dan
tidak memandang apakah orang tersebut gay/lesbi. Tujuan adanya Teologi Queer ini agar kita
juga dapat memahami dan memaknai Allah dalam perspektif kaum LGBTQ. Sehingga kita
tidak saja mendiskriminasi mereka dalam relasi kehidupan kita. Kaum LGBT juga
merupakan bagian dari gereja, oleh karena itu gereja harus memberikan tempat bagi kaum
LGBTQ dalam mendapatkan ruang merayakan karya keselamatan Allah bersama-sama
dengan saudara-saudara mereka yang laki-laki dan perempuan (heteroseksual), karena kasih
Allah tidak pernah berpihak patut ditunjukan Gereja kepada semua manusia tanpa terkecuali.

ANALISIS KELOMPOK

         Dalam hal ini kelompok mencoba untuk menganalisa pembahasan mengenai Teologi
Queer, Dengan adanya Teologi Queer kami setuju, karena Teologi Queer berperan sebagai
jalan alternatif, atau menjadi payung baru terhadap pandangan-pandangan mengenai
Heteroseksual dan seksualitas dalam masyarakat dan agama. Seiring dengan perkembangan
waktu Teologi Queer menjadi perjuangan dalam kebebasan hak seksualitas. Pandangan para
queer dan teolog queer yang dianggap berbeda ini membuat mereka dianggap orang aneh dan
dicap sebagai queer. Istilah ini adalah sebuah ejekan bagi para teolog queer. Pergerakan
queer dan teologi queer juga didukung oleh pergerakan Teologi Feminis. Teologi
Pembebasan.  Salah satu perjuangan mereka adalah penerimaan masyarakat dan agama
terhadap kaum homoseksual secara utuh. Selama ini, kaum homoseksual dianggap aneh,
penyakit, dan orang berdosa. Dari anggapan ini, mereka dikucilkan dari masyarakat dan
agama, terutama di dalam gereja. Dengan adanya kelompok Seksualitas Queer ini menjadi
kelompok pendukung terhadap mereka yang terlibat. Menjadi pertanyaan besar apakah
mereka yang terlibat dapat diterima oleh gereja terhadap esensinya. Dengan hal ini Teologi
Queer berpadangan dan memberi payung baru terhadap mereka yang terlibat. Pertama,
Kelompok Seksualitas Queer haruslah tetap ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
gereja, atau dengan kata lain tidak menjauh atau meninggalkan gereja. Dengan demikian
kelompok seksualitas Queer dapat menunjukkan sikap positif terhadap warga gereja, bahwa
memiliki seksualitas Queer bukan berarti berada diluar (Lingkungan atau aktivitas) gereja.
Kedua, Kelompok seksualitas queer bersama dengan gereja harus cukup terlibat aktif untuk
mensosialisasikan pemahaman serta pengetahuan agar paradigma warga gereja dapat
mengetahui pemahaman yang benar tentang gender dan seksualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Elvina Valencia Kesumadjaya, “Teologi Queer Dipandang Dari Sudut Pandang Teologi Injil
( kajian teologi Filosofis Tentang Perilaku Homoseksual dan Orientasi Seksual LGBT)”
Jurnal Teologi.

I Nuban Timo, Ebenhaizer. Polifonik Bukan Monofonik. Salatiga: Satya Wacana University
Press 2015.

Katrina So, dkk, “ jurnal teologi kharismatika Pelayanan Pastoral bagi Kaum Lesbian, Gay,
Bisexual, dan Transgender di Gereja Jemaat Kristen Indonesia Oikos Pelangi Kasih
Semarang”, vol. 4, No. 1, (Juni 2021), hal 47-48, diakses pada Selasa, 07 Nov 2022,dari
https://ojs.sttrealbatam.ac.id/index.php/diegesis/article/view/54/30.
 

[1] Elvina Valencia Kesumadjaya, “Teologi Queer Dipandang Dari Sudut Pandang Teologi
Injil ( kajian teologi Filosofis Tentang Perilaku Homoseksual dan Orientasi Seksual LGBT)”
Jurnal Teologi, (30 Juni  2020) hal-35-37

[2] Katrina So, dkk, “ jurnal teologi kharismatika Pelayanan Pastoral bagi Kaum Lesbian,
Gay, Bisexual, dan Transgender di Gereja Jemaat Kristen Indonesia Oikos Pelangi Kasih
Semarang”, vol. 4, No. 1, (Juni 2021), hal 47-48,diakses pada Selasa, 07 Nov 2022, dari
https://ojs.sttrealbatam.ac.id/index.php/diegesis/article/view/54/30. 

Anda mungkin juga menyukai