Tidak ada konsep tentang baik dan buruk, benar dan salah, atau baik dan buruk yang
bersifat mutlak. Nilai selalu bersifat ideal, sementara apa yang tampak hanyalah fakta atau
keberadaan, dan nilai hanya bisa dirasakan atau dihayati.
Kehidupan manusia melibatkan kompleksitas nilai-nilai yang melibatkan berbagai
komponen, seperti psikologis, kepentingan, situasi, materi, dan sebagainya. Penilaian dan
penimbangan nilai-nilai dalam kehidupan sosial bergantung pada subjektivitas dan objektivitas.
Namun, penilaian dan pertimbangan ini tidak selalu bersifat subjektif atau irasional. Mereka
berhubungan dengan realitas dan melibatkan berbagai pandangan serta cara kita melihat sesuatu.
Oleh karena itu, realitas bukanlah sesuatu yang objektif secara apriori, tetapi sesuatu yang
muncul melalui interaksi antara individu (intersubjektivitas) dan lingkungan sosial serta budaya
(Alfan, 2013:242).
Dalam kehidupan, kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan yang melibatkan
pertimbangan baik atau buruk. Setiap individu memiliki perasaan-nilai mereka sendiri terhadap
suatu situasi. Jika kita tidak membuat pilihan, maka lingkungan sosial atau situasi akan
menentukan pilihan untuk kita. Pertanyaannya bukan apakah kita harus memiliki ukuran,
keyakinan, kesetiaan, atau idealisme dalam mengatur kehidupan, melainkan apakah kita
konsisten dalam menerapkan ukuran-ukuran yang telah terbentuk, dan apakah kita
mengembangkan atau merusak sistem nilai dalam kehidupan (Alfan, 2013: 252).
Teori nilai dalam filsafat terkait dengan masalah etika dan estetika. Etika sendiri memiliki
dua makna, yaitu pengetahuan tentang penilaian terhadap tindakan manusia dan predikat yang
digunakan untuk membedakan tindakan atau tingkah laku. Nilai-nilai dapat bersifat objektif atau
subjektif. Nilai dianggap objektif ketika nilai-nilai tidak bergantung pada subjek atau kesadaran
yang menilai, sementara nilai dianggap subjektif ketika subjek berperan dalam memberikan
penilaian. Dalam kasus nilai subjektif, penilaian didasarkan pada perasaan seperti suka atau tidak
suka (Amsal, 2009).
Immanuel Kant, seorang filsuf terkenal, membagi filsafat Yunani menjadi tiga bagian:
logika, fisika, dan etika. Dalam etika, Kant mengembangkan model filsafat yang berbeda. Dia
mengakui bahwa akal murni yang menghasilkan ilmu pengetahuan hanya mampu mencapai
pengetahuan tentang objek fenomena dan terbatas dalam memahami objek noumena. Untuk
masuk ke wilayah noumena, yang merupakan dunia "pikiran itu sendiri," Kant berpendapat
bahwa kita harus mengandalkan akal praktis. Ini adalah dasar dari pemikirannya dalam etika
(Zubaedi, 2010: 68).
Dalam pemikiran Kant, terdapat tiga postulat kategoris yang harus diterima dan
dipercayai dalam akal praktis. Pertama, kebebasan kehendak, yang berarti kebebasan untuk
membuat pilihan, merupakan aspek mendasar dari kepribadian manusia. Kedua, kekekalan jiwa,
yang berkaitan dengan konsep kebaikan tertinggi. Jiwa harus abadi untuk mencapai kebaikan
tertinggi. Ketiga, eksistensi Tuhan, yang merupakan dasar moralitas. Pemahaman ini melibatkan
pemikiran tentang hakikat nilai dan etika dalam pemikiran Kant.
Immanuel Kant meyakini bahwa Tuhan adalah kebaikan tertinggi, dan oleh karena itu,
kepercayaan pada eksistensi Tuhan adalah suatu keharusan. Dalam tulisannya, ia
mengungkapkan, "Tercapainya kebaikan tertinggi di dunia ini merupakan objek niscaya dari
suatu kehendak yang dapat ditentukan oleh hukum moral. Dalam kehendak tersebut, kesesuaian
secara menyeluruh keinginan dengan hukum moral merupakan kondisinya paling tinggi dari
kebaikan tertinggi" (Kant, 1956: 202).
Kant adalah seorang pendukung deontologi dalam filsafat etika, yang berarti ia menilai
tindakan berdasarkan kewajiban moral dan tidak hanya mempertimbangkan konsep yang baik.
Bagi Kant, melakukan kewajiban adalah norma dari perbuatan baik. Sebagai contoh, ia
menganggap perbudakan sebagai tindakan buruk karena menggunakan manusia sebagai alat, dan
memperlakukan pembantu rumah tangga dengan kasar juga merupakan tindakan buruk karena
menjadikan manusia sebagai hewan (Nainggolan, 1997: 68).
Kant percaya bahwa hukum moral harus diikuti dengan kata hati. Untuk Kant,
menjalankan kewajiban moral merupakan norma dari perbuatan baik. Ia membandingkannya
dengan bagaimana alam berfungsi secara tertib, dan menekankan bahwa hukum moral juga harus
berjalan dengan tertib (Encyclopedia Amerika, 1997: 71).
Kant mengaitkan konsep moral dengan hukum alam, dan ia berpendapat bahwa
pemahaman tentang kebaikan harus menjadi kewajiban sebagaimana anak harus berbuat baik
kepada ayahnya. Kant melihat bahwa untuk mencapai kebahagiaan, seseorang harus menjaga
keharmonisan hubungan alam, termasuk perilaku manusia, dengan Tuhan. Hal ini berkontribusi
pada pemahaman Kant tentang moral dan bagaimana moralitas terkait dengan kebahagiaan
(Encyclopedia Amerika, 1997: 221).
Dalam konteks ilmu pengetahuan, Kant menekankan pentingnya kesucian hati sehingga
seseorang bisa memiliki pengetahuan yang baik. Kebahagiaan seseorang dapat ditemukan ketika
mereka dapat menyatu dengan fenomena alam yang telah diatur oleh Tuhan, yang merupakan
makna dari kesucian hati. Dengan demikian, setiap individu memiliki kemampuan untuk
membimbing diri mereka sendiri dalam konteks moral dengan memahami pandangan moral
mereka sendiri (Encyclopedia Amerika, 1997: 222).
Dalam hubungannya dengan etika dan ilmu pengetahuan, Kant percaya bahwa keduanya
harus berjalan beriringan. Ilmu yang tidak memperhitungkan etika dapat menjadi tidak terkendali
dan mengabaikan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk mengintegrasikan etika
dan ilmu pengetahuan. Etika harus kritis, metodologis, dan sistematis agar bisa dianggap ilmu,
dengan dasar yang kuat, metode penelitian yang tepat, dan pendekatan yang terstruktur dalam
pemikiran ilmiah (Makmurtono, 1989: 16).