Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

a. Evaluasi Terhadap Komunitas LGBT di Indonesia


LGBT, atau yang dulu dikenal sebagai homoseksual, telah ada sejak zaman Nabi Luth
a.s., sebagaimana yang dicatat dalam Al-Qur'an Surah Al-A'raf ayat 80-84. Negeri di mana Nabi
Luth tinggal, yaitu Negeri Sadum, mengalami keruntuhan moral yang melibatkan preferensi
hubungan sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki), dengan kurangnya perhatian terhadap kaum
perempuan. Meskipun agama-agama seperti Islam, Yahudi, dan Kristen secara jelas mengutuk
tindakan homoseksual dalam kitab-kitabnya, keberadaan komunitas LGBT tetap ada, bahkan jika
mereka melakukan aktivitas mereka secara rahasia. Stigma negatif terhadap homoseksualitas
mendorong mereka untuk menyembunyikan perilaku seksual mereka.
Bulan Juni memiliki makna khusus bagi komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender) di seluruh dunia, dikenal sebagai Pride Month. Setiap tahun, komunitas LGBT
merayakan identitas mereka selama bulan ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
eksistensi mereka. Ini merujuk kepada sejarah perjuangan kelompok minoritas yang telah
berjuang selama beberapa dekade untuk mengatasi stigma negatif dan diterima sebagai diri
mereka sendiri. Pemilihan Juni sebagai bulan perayaan merujuk pada peristiwa Pemberontakan
Stonewall pada Juni 1969 di New York City, yang menjadi pemicu pergerakan hak-hak gay
modern.
Di hampir semua belahan dunia, komunitas LGBT tumbuh seiring dengan meningkatnya
pertentangan terhadap mereka. Di Indonesia, perlawanan terhadap LGBT terjadi di berbagai
lapisan masyarakat, termasuk dalam konteks agama, ideologi politik, dan kelas sosial. Gerakan
gay dan lesbian di Indonesia adalah salah satu yang tertua dan terbesar di Asia Tenggara.
Lambda Indonesia, sebagai salah satu kelompok, pernah mengorganisir pertemuan sosial dan
upaya peningkatan kesadaran, tetapi dibubarkan pada tahun 1990-an. Ada juga kelompok seperti
Gaya Nusantara yang fokus pada isu-isu homoseksual, terutama yang terkait dengan AIDS, serta
Yayasan Srikandi Sejati yang didirikan pada tahun 1998 dengan fokus utama pada kesehatan
transgender. Kelompok-kelompok ini memberikan konseling HIV/AIDS dan menyediakan
kondom gratis bagi pekerja seks transgender di klinik kesehatan gratis. Saat ini, lebih dari tiga
puluh kelompok LGBT aktif di Indonesia (Erick, 2001: 40).
Diskriminasi yang ditunjukkan melalui tindakan kekerasan eksplisit dan homofobia
umumnya dilakukan oleh kelompok ekstremis agama, sementara diskriminasi lebih halus dan
marginalisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di antara teman-teman dan keluarga,
di tempat kerja, atau di sekolah. Orang-orang LGBT sering menjadi korban pelecehan oleh
polisi, namun sulit untuk mendokumentasikannya karena banyak korban enggan mengungkapkan
orientasi seksual mereka. Mereka juga sering ditangkap atau dituduh atas dasar orientasi seksual
mereka. Di dalam penjara, kaum gay sering mengalami pelecehan seksual akibat orientasi
seksual mereka, tetapi seringkali tidak melapor karena takut menghadapi lebih banyak kekerasan
jika mereka melaporkannya. Majelis Ulama Indonesia telah mengambil sikap bahwa kaum
transgender harus tetap pada jenis kelamin yang mereka miliki saat lahir. Anggota Majelis
menyatakan bahwa jika kaum transgender tidak mau menjalani penyembuhan medis dan agama,
mereka harus siap menerima nasib mereka yang mungkin menghadapi cemoohan dan pelecehan
(Erick, 2001: 40).
Lebih kurang lima persen atau kurang dari populasi dewasa dikategorikan sebagai
individu biseksual aktif yang telah terlibat dalam hubungan seksual dengan sesama jenis dalam
tahun sebelumnya. Penelitian oleh Eccles dan rekan-rekan (2004: 11-18) serta Igartua dan kolega
(2009: 602-608) menjelaskan identitas seksual sebagai persepsi individu tentang peran
seksualnya yang dipengaruhi oleh tahapan kematangan pribadi.
Perilaku seksual diartikan sebagai sikap dan tindakan yang mengarah pada interaksi
seksual dengan orang lain, baik dengan laki-laki, wanita, atau keduanya. Dalam konteks ini,
perilaku seksual merujuk pada aktivitas seksual individu. Sementara itu, American Psychological
Association (2008) mendefinisikan orientasi seksual sebagai kondisi emosional berkelanjutan
yang mencakup daya tarik romantis dan seksual yang berlangsung lama terhadap orang lain, baik
laki-laki, wanita, atau keduanya (Ignartua, 2009: 602-608).
Kartini Kartono (2009) mengemukakan beberapa teori yang menjelaskan penyebab
homoseksualitas dan lesbianisme, termasuk: Faktor herediter, yang melibatkan
ketidakseimbangan hormon seks, sering disebut sebagai teori "gay gene." Walaupun, pada tahun
1999, Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario Kanada mengatakan bahwa tidak ada
bukti genetik yang mendukung homoseksualitas. Pengaruh lingkungan yang tidak mendukung
perkembangan seksual yang normal. Pengalaman traumatis selama masa remaja, seperti
pengalaman yang mengganggu dengan orang tua atau perasaan negatif terhadap jenis kelamin
tertentu.
Selain itu, ada beberapa faktor yang dapat mendorong seseorang menjadi bagian dari
komunitas LGBT, termasuk : Pengalaman atau trauma keluarga pada masa kecil, seperti
kekerasan oleh orang tua yang mungkin menyebabkan rasa benci terhadap jenis kelamin tertentu.
Pengaruh lingkungan sosial, termasuk kurangnya kasih sayang dalam keluarga dan pandangan
negatif terhadap pembicaraan tentang seks. Faktor biologis yang dapat memengaruhi orientasi
seksual, seperti faktor genetik dan hormon. Pengetahuan dan pemahaman agama yang lemah,
yang dapat mempengaruhi cara individu memahami orientasi seksual mereka (Kartini, 2009).
Faktor keluarga merupakan salah satu pengaruh yang signifikan terhadap perilaku seksual
pranikah remaja. Remaja yang terlibat dalam hubungan seksual sebelum menikah lebih sering
ditemukan di keluarga yang telah bercerai atau memiliki konflik keluarga yang tinggi. Hubungan
antara orang tua dan remaja memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perilaku
seksual pranikah remaja (Winarsih, 2013).
Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah remaja termasuk
hubungan dengan orang tua, tekanan dari teman sebaya, tingkat religiusitas, dan paparan media
pornografi. Selain itu, remaja menghadapi transisi sosial yang membuat mereka merasa tidak lagi
menjadi anak-anak, tetapi belum sepenuhnya mampu mengekspresikan potensi mereka, karena
masyarakat di sekitar mereka mungkin tidak menerima mereka sebagai orang dewasa (Winarsih,
2013).
Kehidupan remaja saat ini seringkali penuh dengan ketidakpastian, terutama ketika
mereka mencoba memahami jati diri mereka sendiri. Lebih lanjut lagi, jika mereka tidak
memiliki panduan atau dukungan yang memadai, risiko terjadinya permasalahan selama tahap
perkembangan ini semakin besar. Ini tidak hanya berhubungan dengan kesulitan dalam
menemukan identitas pribadi, tetapi juga terkait dengan proses pencarian orientasi seksual
mereka (Tucker, 2008: 387-389). Oleh karena itu, telah banyak penelitian yang dilakukan untuk
memahami orientasi seksual yang berkembang selama masa remaja dan bagaimana hal ini terkait
dengan identitas pribadi, terutama dalam konteks komunitas LGBT. Penelitian ini akan berfokus
pada analisis pandangan Immanuel Kant yang berbasis deontologi terkait dengan isu LGBT.

b. LGBT dalam Pandangan Deontologi


Dalam pandangan etika Immanuel Kant, pembicaraan mengenai penilaian berkaitan
dengan konsep baik dan buruk, bukan tentang benar atau salah. Sesuatu yang dianggap baik oleh
satu individu belum tentu dianggap baik oleh individu lain, dan sebaliknya. Begitu pula dengan
sesuatu yang dianggap baik, belum tentu benar. Sebagai contoh, lukisan erotis dapat dianggap
bagus oleh beberapa orang yang tidak menentangnya, tetapi dianggap tidak benar oleh orang
yang pura-pura moral. Membantu pada prinsipnya dianggap baik, tetapi membantu seseorang
dalam tindakan kriminal dianggap tidak benar.
Dalam konteks ini, penilaian melibatkan hubungan antara subjek (individu) dan objek
(sesuatu yang dinilai). Tidak ada objek yang memiliki nilai intrinsik di dalamnya. Nilai suatu
objek baru muncul ketika seorang subjek memberikan penilaian terhadapnya. Misalnya, bunga-
bunga akan tetap ada walaupun tidak ada manusia yang melihatnya, tetapi nilai keindahan bunga
tersebut muncul ketika ada pandangan manusia yang mengaguminya. Dengan kata lain, nilai
timbul saat ada hubungan antara manusia sebagai subjek dan objek.
Aksiologi, dalam berbagai definisi terminologisnya, merupakan kajian tentang nilai-nilai
yang mencoba untuk mengungkap makna, karakteristik, asal usul, jenis, kriteria, dan status
epistemologis nilai-nilai tersebut. Aksiologi adalah cabang filsafat yang mencari jawaban atas
pertanyaan, "Apa itu nilai?"
Nilai dapat memiliki berbagai makna dan konotasi. Nilai dapat berarti kegunaan,
kebaikan, atau keindahan. Nilai juga dapat berarti objek yang diinginkan atau memiliki kualitas
tertentu yang membuat orang menganggapnya bernilai. Aksiologi berusaha untuk mengungkap
hakikat nilai dengan mengidentifikasi ciri-ciri, asal usul, jenis, ukuran, dan kedudukan
epistemologis nilai-nilai tersebut.
Makna nilai dapat bervariasi dari berbagai sudut pandang. Nilai dapat diartikan sebagai
pemenuhan hasrat, kesenangan, minat, keinginan rasional murni, dan pemahaman tentang
karakteristik dari pengalaman kesatuan pribadi. Nilai juga dapat berhubungan dengan hubungan
antara benda-benda sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau akibat yang diinginkan. Hakikat
nilai, menurut Mulyana, adalah acuan dan keyakinan dalam membuat pilihan, yang dapat
berwujud dalam bentuk norma, etika, peraturan, adat istiadat, aturan agama, dan referensi
lainnya. Dalam intinya, makna nilai yang sejati adalah sesuatu yang diinginkan atau tidak
diinginkan.

Tidak ada konsep tentang baik dan buruk, benar dan salah, atau baik dan buruk yang
bersifat mutlak. Nilai selalu bersifat ideal, sementara apa yang tampak hanyalah fakta atau
keberadaan, dan nilai hanya bisa dirasakan atau dihayati.
Kehidupan manusia melibatkan kompleksitas nilai-nilai yang melibatkan berbagai
komponen, seperti psikologis, kepentingan, situasi, materi, dan sebagainya. Penilaian dan
penimbangan nilai-nilai dalam kehidupan sosial bergantung pada subjektivitas dan objektivitas.
Namun, penilaian dan pertimbangan ini tidak selalu bersifat subjektif atau irasional. Mereka
berhubungan dengan realitas dan melibatkan berbagai pandangan serta cara kita melihat sesuatu.
Oleh karena itu, realitas bukanlah sesuatu yang objektif secara apriori, tetapi sesuatu yang
muncul melalui interaksi antara individu (intersubjektivitas) dan lingkungan sosial serta budaya
(Alfan, 2013:242).
Dalam kehidupan, kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan yang melibatkan
pertimbangan baik atau buruk. Setiap individu memiliki perasaan-nilai mereka sendiri terhadap
suatu situasi. Jika kita tidak membuat pilihan, maka lingkungan sosial atau situasi akan
menentukan pilihan untuk kita. Pertanyaannya bukan apakah kita harus memiliki ukuran,
keyakinan, kesetiaan, atau idealisme dalam mengatur kehidupan, melainkan apakah kita
konsisten dalam menerapkan ukuran-ukuran yang telah terbentuk, dan apakah kita
mengembangkan atau merusak sistem nilai dalam kehidupan (Alfan, 2013: 252).
Teori nilai dalam filsafat terkait dengan masalah etika dan estetika. Etika sendiri memiliki
dua makna, yaitu pengetahuan tentang penilaian terhadap tindakan manusia dan predikat yang
digunakan untuk membedakan tindakan atau tingkah laku. Nilai-nilai dapat bersifat objektif atau
subjektif. Nilai dianggap objektif ketika nilai-nilai tidak bergantung pada subjek atau kesadaran
yang menilai, sementara nilai dianggap subjektif ketika subjek berperan dalam memberikan
penilaian. Dalam kasus nilai subjektif, penilaian didasarkan pada perasaan seperti suka atau tidak
suka (Amsal, 2009).
Immanuel Kant, seorang filsuf terkenal, membagi filsafat Yunani menjadi tiga bagian:
logika, fisika, dan etika. Dalam etika, Kant mengembangkan model filsafat yang berbeda. Dia
mengakui bahwa akal murni yang menghasilkan ilmu pengetahuan hanya mampu mencapai
pengetahuan tentang objek fenomena dan terbatas dalam memahami objek noumena. Untuk
masuk ke wilayah noumena, yang merupakan dunia "pikiran itu sendiri," Kant berpendapat
bahwa kita harus mengandalkan akal praktis. Ini adalah dasar dari pemikirannya dalam etika
(Zubaedi, 2010: 68).
Dalam pemikiran Kant, terdapat tiga postulat kategoris yang harus diterima dan
dipercayai dalam akal praktis. Pertama, kebebasan kehendak, yang berarti kebebasan untuk
membuat pilihan, merupakan aspek mendasar dari kepribadian manusia. Kedua, kekekalan jiwa,
yang berkaitan dengan konsep kebaikan tertinggi. Jiwa harus abadi untuk mencapai kebaikan
tertinggi. Ketiga, eksistensi Tuhan, yang merupakan dasar moralitas. Pemahaman ini melibatkan
pemikiran tentang hakikat nilai dan etika dalam pemikiran Kant.
Immanuel Kant meyakini bahwa Tuhan adalah kebaikan tertinggi, dan oleh karena itu,
kepercayaan pada eksistensi Tuhan adalah suatu keharusan. Dalam tulisannya, ia
mengungkapkan, "Tercapainya kebaikan tertinggi di dunia ini merupakan objek niscaya dari
suatu kehendak yang dapat ditentukan oleh hukum moral. Dalam kehendak tersebut, kesesuaian
secara menyeluruh keinginan dengan hukum moral merupakan kondisinya paling tinggi dari
kebaikan tertinggi" (Kant, 1956: 202).
Kant adalah seorang pendukung deontologi dalam filsafat etika, yang berarti ia menilai
tindakan berdasarkan kewajiban moral dan tidak hanya mempertimbangkan konsep yang baik.
Bagi Kant, melakukan kewajiban adalah norma dari perbuatan baik. Sebagai contoh, ia
menganggap perbudakan sebagai tindakan buruk karena menggunakan manusia sebagai alat, dan
memperlakukan pembantu rumah tangga dengan kasar juga merupakan tindakan buruk karena
menjadikan manusia sebagai hewan (Nainggolan, 1997: 68).
Kant percaya bahwa hukum moral harus diikuti dengan kata hati. Untuk Kant,
menjalankan kewajiban moral merupakan norma dari perbuatan baik. Ia membandingkannya
dengan bagaimana alam berfungsi secara tertib, dan menekankan bahwa hukum moral juga harus
berjalan dengan tertib (Encyclopedia Amerika, 1997: 71).
Kant mengaitkan konsep moral dengan hukum alam, dan ia berpendapat bahwa
pemahaman tentang kebaikan harus menjadi kewajiban sebagaimana anak harus berbuat baik
kepada ayahnya. Kant melihat bahwa untuk mencapai kebahagiaan, seseorang harus menjaga
keharmonisan hubungan alam, termasuk perilaku manusia, dengan Tuhan. Hal ini berkontribusi
pada pemahaman Kant tentang moral dan bagaimana moralitas terkait dengan kebahagiaan
(Encyclopedia Amerika, 1997: 221).
Dalam konteks ilmu pengetahuan, Kant menekankan pentingnya kesucian hati sehingga
seseorang bisa memiliki pengetahuan yang baik. Kebahagiaan seseorang dapat ditemukan ketika
mereka dapat menyatu dengan fenomena alam yang telah diatur oleh Tuhan, yang merupakan
makna dari kesucian hati. Dengan demikian, setiap individu memiliki kemampuan untuk
membimbing diri mereka sendiri dalam konteks moral dengan memahami pandangan moral
mereka sendiri (Encyclopedia Amerika, 1997: 222).
Dalam hubungannya dengan etika dan ilmu pengetahuan, Kant percaya bahwa keduanya
harus berjalan beriringan. Ilmu yang tidak memperhitungkan etika dapat menjadi tidak terkendali
dan mengabaikan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk mengintegrasikan etika
dan ilmu pengetahuan. Etika harus kritis, metodologis, dan sistematis agar bisa dianggap ilmu,
dengan dasar yang kuat, metode penelitian yang tepat, dan pendekatan yang terstruktur dalam
pemikiran ilmiah (Makmurtono, 1989: 16).

Anda mungkin juga menyukai