Abstrak
Manusia merupakan makhluk hidup yang memenuhi segala ciri dan aspek-aspek di
dalamnya. Manusia sendiri merupakan sekumpulan makhluk sosial sehingga aspek
sosial juga menjadi hal yang penting untuk dikaji terkait adanya orientasi terhadap
seksualitas seseorang. Salah satu orientasi seksualitas seseorang, yaitu berjenis
homoseksual. Homoseksual adalah perasaan tertarik seksual dengan manusia sesama
jenis, yang artinya laki-laki secara seksual dan emosional merasa tertarik kepada pria
lain. Hal tersebut bisa memicu prasangka terhadap sekitar lingkungannya. Ditambah
juga, terdapat tiga faktor lain yang dapat mempengaruhi prasangka, yaitu cultural
humility, right-wing. authoritarianism, dan intergroup threat. Penelitian ini bertujuan
untuk menguji dan menjelaskan prasangka terhadap homoseksual dalam hubungan
antara cultural humility dan right-wing authoritarianism yang ditinjau dari intergroup
threat sebagai mediator oleh masyarakat di Surabaya. Penelitian menggunakan sampel
sebanyak 399 masyarakat di Surabaya berumur 17-50 tahun yang dipilih dengan teknik
accidental sampling. Alat ukur yang digunakan untuk mengambil data adalah Attitude
Toward Lesbian and Gay (ATLG) Scale, Cultural Humility Scale (CHS), Very Short
Authoritarianism (VSA), dan Perceived Threat of Homosexuals Scale (PTHS). Data
dianalisis digunakan untuk menguji hipotesis adalah uji mediator Structural Equation
Modelling (SEM). Hasil dari analisis cultural humility terhadap intergroup threat
sebagai mediator yang berhubungan dengan prasangka memiliki pengaruh positif (p
< .001). Untuk right-wing authoritarianism hasil analisis sama, yaitu memiliki pengaruh
yang positif (p < .001). Pada analisis tambahan, tingkat prasangka dapat dipengaruhi
oleh pendidikan, berteman dengan homoseksual, keberadaan homoseksual di sekitar
lingkungannya, terdapat interaksi terhadap homoseksual, serta pandangan diri sendiri
dan orang tua terhadap homoseksual.
Abstract
Humans are living creatures that fulfill all the characteristics and aspects within them.
Humans themselves are a group of social creatures, so social aspects are also
important to study regarding orientation towards a person's sexuality. One of a
person's sexual orientations is homosexual. Homosexuality is a feeling of sexual
1
attraction to people of the same sex, which means that men feel sexually and
emotionally attracted to other men. This can trigger prejudice towards those around
them. Plus, there are three other factors that can influence prejudice, namely cultural
humility, right-wing. authoritarianism, and intergroup threat. This research aims to
examine and explain prejudice against homosexuals in the relationship between
cultural humility and right-wing authoritarianism in terms of intergroup threat as a
mediator by society in Surabaya. The research used a sample of 399 people in
Surabaya aged 17-50 years who were selected using accidental sampling technique.
The measuring instruments used to collect data were the Attitude Toward Lesbian and
Gay (ATLG) Scale, Cultural Humility Scale (CHS), Very Short Authoritarianism
(VSA), and Perceived Threat of Homosexuals Scale (PTHS). The analyzed data used to
test the hypothesis is the Structural Equation Modeling (SEM) mediator test. The
results of the cultural humility analysis of intergroup threat as a mediator related to
prejudice have a positive influence. For right-wing authoritarianism, the results of the
analysis are the same, namely that it has a positive influence. In additional analysis, the
level of prejudice can be influenced by education, friends with homosexuals, the
presence of homosexuals in the environment, interactions with homosexuals, and the
views of oneself and one's parents towards homosexuals.
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk hidup yang memenuhi segala ciri dan aspek-aspek di
dalamnya. Manusia sendiri merupakan sekumpulan makhluk sosial sehingga aspek sosial juga
menjadi hal yang penting untuk dikaji terkait adanya orientasi terhadap seksualitas seseorang.
Menurut Dwijoseputro (2023) makhluk hidup didefinisikan sebagai segala sesuatu yang
mengadakan proses metabolisme, mengadakan gerak serta mengadakan pertumbuhan dan
perkembangan maupun bereproduksi secara responsif. Salah satu ciri ataupun aspek yang dekat
dengan kehidupan manusia adalah seksualitas. Dalam hal ini, seksualitas juga memaparkan dan
membahas tentang bagaimana dorongan seseorang untuk menjaga kesehatan dan membuktikan
organ reproduksi serta orientasi seksual yang dimiliki.
Berdasarkan dimensi sosial, adanya seksualitas dapat dilihat dari bagaimana hal ini
muncul di dalam sebuah hubungan antar manusia. Pengaruh lingkungan sosial yang
mempengaruhi manusia sebagai makhluk sosial pada akhirnya akan membentuk sebuah
pandangan tentang seksualitas yang nantinya akan berpengaruh terhadap pembentukan perilaku
seksual seseorang. Hal inilah yang kemudian berhubungan dengan hadirnya penyimpangan
seksual ataupun masalah terhadap orientasi seksual yang kerap kali menjadi fenomena marak
belakangan ini. Orientasi seksual yang berbeda dengan menyukai sesama jenis sebenarnya
2
merupakan sebuah permasalahan yang sudah cukup lama terjadi. Namun, permasalahan ini
semakin marak dibicarakan karena banyaknya pengikut kaum homoseksual saat ini.
Istilah homoseksual merupakan kata terdahulu dari LGBT yang telah diganti sejak
tahun 1990-an (Yudhianto, 2016). Homoseksual adalah jenis orientasi seksual yang tertarik
dengan sesama jenis kelamin (laki-laki dengan laki-laki sedangkan perempuan dengan
perempuan) (Mastuti dkk, 2012). Terdapat beberapa jenis homoseksual, yaitu gay, lesbian, dan
biseksual (Tobing, 1987). Homoseksual ini telah meningkat pesat di Indonesia. Berdasarkan
data dari KemenKes pada tahun 2012, adanya kaum homoseksual di Indonesia sebanyak
1.095.970 orang. Bahkan bisa diprediksi angka tersebut akan meningkat tiap tahunnya. Sejauh
ini hanya 3% dari masyarakat Indonesia yang mengakui sebagai homoseksual.
Hal ini didukung oleh penelitian Arus Pelangi (dalam Papilaya, 2016) kelompok LGBT
Indonesia sebanyak 89,3% pernah mengalami adanya kekerasan akibat dari identitas
seksualnya. Masyarakat LGBT di Indonesia sebanyak 79,1% pernah mengalami bentuk-bentuk
kekerasan psikis dan 45,1% nya mengalami kekerasan secara fisik.
Dalam sebuah kondisi yang tergolong dosa dan menyimpang ini banyak respon yang
bertebaran di tengah masyarakat. Salah satunya yang paling banyak adalah respon negatif.
Terutama hal ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memberikan stereotype buruk bagi
kaum homoseksual. Seseorang yang merasa dirinya terancam pada harga dirinya dapat
memunculkan sterotype negative untuk menghina anggota kelompok yang ber-sterotype
sehingga dirinya juga merendahkan orang lain dengan merasa dirinya lebih baik (Maryam,
2019). Dengan demikian, bahwa jika individu yang berjenis kelamin bukan dari golongan
homoseksual biasanya akan mencela kaum homoseksual atau penyuka sesama jenis sehingga
menurut kaum heteroseksual dirinya merasa paling benar dalam hal orientasi seksual.
Masalah tentang orientasi seksual yang bernama homoseksual ini kerap kali dianggap
sebagai hal yang tabu di masyarakat luas di Indonesia. Kentalnya ajaran agama diduga kuat
menjadi penyebab utama dari bagaimana kondisi ini kemudian terjadi. Perlu diketahui terlebih
dahulu bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan nilai agama yang sangat kental di
tengah kehidupan masyarakatnya. Hal ini bisa terjadi karena tidak adanya keterbukaan
mengenai perbedaan orientasi seksual di sebagian besar masyarakat Indonesia. Hubungan
seksual sesama jenis ataupun penyimpangan orientasi seksual yang bernama homoseksual ini
sebenarnya sebuah permasalahan yang ditentang oleh norma serta ilmu keagamaan.
Pandangan tentang bagaimana hadirnya homoseksual yang menentang nilai-nilai agama
kemudian menimbulkan adanya persepsi mengenai hal ini sebagai sebuah dosa. Bahkan banyak
dari masyarakat yang sebenarnya mengalami gangguan orientasi seksual menutupi hal tersebut
karena menganggap ini merupakan sebuah masalah yang akan menimbulkan rasa malu. Padahal
3
hadirnya hal ini merupakan sebuah penyakit secara psikologi yang memiliki kecenderungan
untuk diatasi. Namun, lingkungan yang terkadang menekan adanya kebebasan untuk berbicara
dan mengklasifikasikan diri dari segi orientasi seksual menjadikan banyak masyarakat Indonesia
yang merupakan kaum homoseksual terancam dan kehadirannya harus ditutupi sebagai sebuah
aib. Hal ini tentunya sangat berbeda jika kita melihat kepada negara-negara lain yang sudah
sangat maju dari segi pemikiran seperti Amerika Serikat. Di sana para pasangan penyuka
sesama jenis dapat dengan mudah untuk mengekspresikan bagaimana mereka berhubungan
karena nilai agama yang tidak cukup kuat dan kental di sana. Nilai agama yang cukup kuat di
Indonesia sendiri diyakini sangat kuat akan menimbulkan sebuah prasangka yang bersifat
negatif yang dibuktikan pula oleh beberapa penelitian.
Prasangka yang terjadi pada kelompok homoseksual masih banyak diperbincangkan
baik di Indonesia maupun di negara lainnya. Menurut Myers dan Twenge (2016) menjelaskan
bahwa prasangka merupakan sebuah penilaian yang negatif pada setiap individu terhadap suatu
kelompok tertentu. Penilaian tersebut dapat terjadi saat individu mengeluarkan ekspresi atau
tindakan yang mencela. Selanjutnya, masyarakat umum biasanya tabu dengan status
homoseksual untuk dibahas karena hal tersebut menentang keras ajaran agama maupun norma
sosial yang ada pada masyarakat Indonesia.
Hadirnya prasangka ataupun pandangan serta persepsi yang diberikan oleh masyarakat
terhadap para kaum homoseksual atau LGBT di Indonesia sangat dipengaruhi oleh adanya
budaya dan nilai-nilai yang tertanam di masyarakat. Karena secara umum seseorang akan
memberikan penilaian dan prasangka ataupun persepsi dari diri mereka kepada suatu hal sesuai
dengan pandangan dan nilai-nilai yang tertanam di dirinya. Dalam penjelasan secara ilmu
psikologi sejatinya terdapat dua hal yang diduga kuat dapat berpengaruh terhadap hadirnya
kecenderungan prasangka yang diberikan seseorang mengenai homoseksual. Kedua hal tersebut
di antaranya adalah cultural humility yang berhubungan dengan adanya kemampuan untuk
mempertahankan sikap interpersonal. Ditambah juga, adanya right-wing authorianism yang
berhubungan dengan sifat kepatuhan individu merasa bahwa pihak berwenang harus diikuti.
Adanya berbagai pandangan yang menyangkut tentang agama serta norma sosial menjadi kunci
utama dari bagaimana dua aspek ini dipercaya bisa berpengaruh terhadap prasangka yang
diberikan untuk mereka yang mengalami ataupun merupakan kaum homoseksual. Karena
homoseksual dan permasalahan berbau seks merupakan suatu hal yang sangat tabu terutama di
Indonesia, maka sangat mungkin untuk seseorang menyamakan atau mencocokan terlebih
dahulu diri mereka dengan sebuah hal atau fenomena yang ada.
Cultural humility merupakan kemampuan untuk mempertahankan sikap interpersonal
yang berorientasi pada orang lain (Bogi & Tondok, 2023). Selain itu, terdapat definisi menurut
4
Hook et al (2013), cultural humility merupakan sebuah kemampuan individu dalam
mempertahankan sikap terbuka mengenai aspek identitas budaya orang lain. Latar belakang
dapat mempengaruhi dalam perilaku cultural humility, jika individu dapat memunculkan
pengembangan kerendahan hatinya maka individu tersebut dapat belajar dari suatu hal tersebut.
Hal tersebut bisa dipengaruhi oleh faktor sistematik dengan artian bahwa adanya
ketidakseimbangan kekuatan dalam mempengaruhi individu tersebut. Dengan demikian,
konsekuensi yang diterima adalah adanya perspektif cultural humility yang rendah dengan
mempromosikan hubungan dan menghormati interaksi lintas budaya (Visintin & Rullo, 2021).
Hubungan tersebut bisa ditandai dengan adanya sikap terbuka terhadap ide-ide dan perspektif
baru dalam percakapan. Cultural humility juga dapat dikatakan sebagai sebuah kondisi di mana
seseorang kemudian mempertanyakan bagaimana kebenaran apa yang diyakininya dengan
dirinya sendiri. Hal ini dirasa akan memberikan pengaruh terhadap prasangka yang diberikan
oleh seseorang mengenai suatu hal. Sebab dengan adanya kesamaan atau perbedaan terhadap
diri mereka secara pribadi akan membuat seseorang kemudian merasa hal tersebut benar atau
salah. Dalam hal LGBT hal ini diyakini cukup sama karena hadirnya fenomena ini akan
membuat seseorang bertanya-tanya dalam diri mereka apakah orientasi seksualnya saat ini
sudah sesuai dengan diri mereka atau belum. Dalam hal ini sudah dapat dikatakan bahwa
kehadiran dari sebuah cultural humility berpengaruh terhadap hadirnya sebuah prasangka yang
diberikan oleh seseorang.
Right-wing authoritarianism merupakan sifat kepatuhan individu yang merasa bahwa
pihak berwenang harus diikuti (Altemeyer, 1986). Terdapat sifat patuh yang biasanya
masyarakat terlalu mencela kelompok yang kurang pantas menurut mereka. Masyarakat
khususnya di Indonesia ini masih tabu tentang kelompok, seperti lesbian dan gay. Akan tetapi,
terdapat beberapa orang yang menerima kondisi ini dan di Indonesia juga banyak pasangan
LGBT pada saat penelitian ini dibuat. Dalam hal ini cenderung seseorang akan mengikuti apa
yang dianggap benar oleh pihak berwenang dalam memberikan pandangan mereka terhadap
sebuah hal seperti layaknya LGBT. Sehingga dalam hal ini sudah dapat dikatakan bahwa
seseorang.
tradisional atau konvensionalitas (Myers & Twenge dalam Rahardjo & Tondok, 2022). Hal ini
5
dapat dikatakan bahwasannya terdapat korelasi yang positif terhadap prasangka pada
homoseksual dinilai dari jenis kelamin laki-laki lebih berprasangka daripada perempuan.
homoseksual banyak sekali diperlakukan tidak adil oleh masyarakat sering dikucilkan oleh
dan dijauhi oleh masyarakat di sekitar lingkungannya. Hal tersebut sering kali dibahas maupun
dibicarakan dengan men-judgement bahwasannya tidak tahu dosa, tidak taat peraturan hukum,
dan masih banyak hal lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Visibiton & Rullo menjelaskan
bahwa right-wing authoritarianism dan cultural humility berkorelasi dengan prasangka. Latar
belakang yang diteliti berbeda, tetapi konteks yang dijelaskan sama. Hal ini dilihat bahwa
individu yang terbuka dengan perbedaan jenis dapat menunjukkan sikap yang toleran terhadap
orang atau kelompok lain.Namun sejauh ini belum ada penelitian yang menguji hubungan
secara bersamaan. Dengan demikian, penelitian tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kuantitatif survei. Banyaknya
partisipan pada penelitian ini adalah 399 orang di Surabaya yang berusia minimal 17 tahun.
Karakteristik dari populasi yang menjadi target dalam penelitian ini merupakan semua
masyarakat heteroseksual, laki-laki maupun perempuan, yang berdomisili di Surabaya, dan
berpendidikan (minimal tamat sekolah dasar). Dapat dilihat dari jenis kelamin perempuan
254 orang (64.66%) lebih banyak dibandingkan jenis kelamin laki-laki 141 orang
(35.34%). Pendidikan partisipan yang paling banyak pada penelitian ini adalah pendidikan
tingkat SMA atau SMK sebanyak 244 orang (61.16%). Sedangkan, untuk pendidikan yang
paling sedikit, yaitu pendidikan tingkat SD sebanyak 0 orang (0%). Partisipan pada
penelitian ini berdasarkan teknik sampling non probability sampling dan accidental
sampling. Penelitian menggunakan website Raosoft Sample Size Calculator gunanya
6
menghitung jumlah sampel yang akan diperlukan. dengan margin error sebesar 5%, dan
sebesar 95% untuk level confidence-nya.
Teknik pengambilan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
kuesioner dan skala untuk mendapatkan informasi dari responden. Pada kuesioner ini akan
ada beberapa pertanyaan berisi 4 instrumen yang telah ditetapkan mengenai prasangka
terhadap homoseksual, cultural humility, right-wing authoritarianism, dan intergroup
threat. Pada penelitian prasangka terhadap homoseksual digunakan alat ukur ATLG
(Attitude Toward Lesbians and Gay Men) Scale oleh Herek (1988). Terdapat dua aspek
dalam prasangka, yaitu attitudes toward lesbian dan attitudes toward gay men. Alat ukur
ini memiliki jumlah butir sebanyak 20 item yang terbagi dalam 13 item favorable dan 7
item unfavorable. Dalam sistem skoring menggunakan skala Likert mulai dari 1 sangat
setuju (SS), 2 setuju (S), 3 netral (N), 4 tidak setuju (TS), dan 5 sangat tidak setuju (STS).
Hasil dari nilai Cronbach’s Alpha pada ATLG Scale sebanyak 0.887 dengan simpulan
bahwa alat ukur ini reliabel.
Alat ukur yang digunakan pada variabel cultural humility adalah Cultural Humility
Scale dikembangkan oleh Hook (2013). Pada penelitian ini, instrumen yang disesuaikan
untuk konteks homoseksual sehingga dilakukanlah prompting. Terdapat dua aspek yang
tersusun dalam alat ukur yakni positive cultural humility dan negative cultural humility.
Pada item yang dimiliki oleh alat ukur ini sebanyak 12 butir dengan 12 favorable dan tidak
ada unfavorable. Alat ukur ini menggunakan skala Likert dengan 5 pilihan jawaban, yaitu 1
(sangat setuju), 2 (setuju), 3 (netral), 4 (tidak setuju), dan 5 (sangat tidak setuju).
Sedangkan, Alat ukur yang digunakan pada variabel ini adalah Very Short
Authoritarianism (VSA) Scale dikembangkan oleh Bizumic & Duckitt (2018). Aspek-
aspek yang digunakan pada variabel VSA adalah authoritarian submission,
conventionalism, dan authoritarian aggression. Jumlah butir yang ada pada alat ukur ini
sebanyak 6 item dengan 5 pilihan jawaban. Jenis butir dibagi menjadi 2 yaitu 3 item
favorable dan 3 item unfavorable. Pemilihan jawaban pada skala Likert dengan 1 (sangat
tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), dan 5 (sangat setuju). Hasil dari nilai
Cronbach’s Alpha pada CHS Scale sebanyak 0.889 dengan simpulan bahwa alat ukur ini
reliabel.
Dalam alat ukur yang digunakan pada variabel right-wing authoritarianism adalah
Very Short Authoritarianism (VSA) Scale dikembangkan oleh Bizumic & Duckitt (2018).
Aspek-aspek yang digunakan pada variabel VSA adalah authoritarian submission,
conventionalism, dan authoritarian aggression. Jumlah butir yang ada pada alat ukur ini
sebanyak 6 item dengan 5 pilihan jawaban. Jenis butir dibagi menjadi 2 yaitu 3 item
7
favorable dan 3 item unfavorable. Pemilihan jawaban pada skala Likert dengan 1 (sangat
tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), dan 5 (sangat setuju). Hasil dari nilai
Cronbach’s Alpha pada VSA Scale sebanyak 0.972 dengan simpulan bahwa alat ukur ini
cukup reliabel.
Pada variabel integroup threat menggunakan alat ukur Perceived Threat of
Homosexuals Scale (PTHS). Alat ukur ini dikembangkan oleh Tjipto et al (2019) dengan
dua aspek didalamnya. Alat ukur yang dipakai ternyata disusun menggunakan konsep
Intergroup Threat Theory milik Stephan et al. (2016). Aspek tersebut mencakup realistic
threat dan symbolic threat. Total butir pada alat ukur ini sebanyak 7 item dengan 5 pilihan
jawaban. Alat ukur ini tidak mempunyai jenis butir unfavorable, tetapi 7 item tersebut
mengarah pada jenis favorable. Pemilihan jawaban skala Likert dengan 1 (sangat tidak
setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), dan 5 (sangat setuju). Hasil dari nilai
Cronbach’s Alpha pada PTHS sebanyak 0.896 dengan simpulan bahwa alat ukur ini
reliabel.
Sebelum melanjutkan ke pengujian hipotesis dilakukan uji asumsi yang mencakup
uji normalitas dan uji linearitas. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan
aplikasi JASP 0.18.1 dengan menerapkan teknik analisis data menggunakan uji mediator.
Uji mediator diaplikasikan menggunakan SEM (Structural Equation Modelling) untuk
menguji hubungan antara variable dependen (prasangka terhadap homoseksual) dengan
variabel independent (cultural humility dan right-wing authoritarianism) melalui variabel
intergroup threat yang dianggap sebagai faktor bersamaan memengaruhi atau berkaitan.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan uji reliabilitass dengan mengacu pada
Cronbach’s Alpha dari setiap instrumen yang digunakan. Reliabilitas suatu instrumen dianggap
baik jika memiliki nilai Cronbach’s Alpha 0.7.
Tabel Hasil Uji Reliabilitas Prasangka terhadap Homoseksual
8
Lesbian lesbian
and Gay
Scale
Attitudes
toward
gay men
Dalam tabel x, terdapat informasi bahwa skala Attitudes Toward Lesbian and Gay Scale
memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0.887, menandakan cukup reliabel pada skala tersebut.
Dalam proses pengujian terdapat dua butir yang gugur dari skala ini, yakni butir nomor 2 dan 9
karena setelah butir-butir tersebut dihapus, nilai Cronbach’s Alpha meningkat.
Tabel Hasil Uji Reliabilitas Cultural Humility
Negative
cultural
humility
Dalam skala Cultural Humility Scale (CHS), didapatkan nilai Cronbach’s Alpha
sebesar 0.899, menunjukkan memiliki keandalan pada reliabilitas. Maka dari itu, tidak terdapat
butir yang gugur pada aspek positive cultural humility maupun negative cultural humility.
Tabel Hasil Uji Reliabilitas Right-Wing Authoritarianism
Rentang
No
Item
Nama Alat Jumlah Butir Status
Aspek Rest α
Ukur Butir yang
Correlat
Gugur
ion
9
Authoritarian 5
aggression
Dalam hasil uji reliabilitas variabel RWA (Right-Wing Authoritarianism) pada skala
Very Short Authoritarianism (VSA) Scale didapatkan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0.667.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat reliabilitas pada skala ini cukup reliabel. Terdapat empat
butir yang gugur dari skala ini, yaitu butir nomor 1, 2, 4, dan 5.
Tabel Hasil Uji Reliabilitas Intergroup Threat
No Butir Rentang
Nama Alat Jumlah
Aspek yang Item Rest α Status
Ukur Butir
Gugur Correlation
Sedang 77 19.2%
Tinggi 12 3%
10
Sangat rendah 169 42.36%
Sedang 40 10.02%
Tinggi 0 0%
Sangat Tinggi 0 0%
17 - 21 204 51.13%
22 - 26 154 38.6%
27 - 31 35 8.77%
32 - 36 5 1.25%
> 36 1 0.25%
11
Berdasarkan tabel tertera terlihat bahwa mayoritas usia pada penelitian ini terdapat
dalam usia 17 - 21 tahun mencapai 204 orang (51.13%). Sementara itu, distribusi frekuensi
terendah pada lebih dari 36 tahun sebanyak 1 orang (0.25%).
Tabel Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
SD 0 0%
SMP 2 0.5%
D3 40 10.02%
S1 108 27.07%
S2 5 1.25%
Selain itu, penelitian ini juga meneliti dan memanfaatkan angket terbuka untuk
menggali kemungkinan faktor-faktor tambahan yang berkontribusi terhadap adanya prasangka
terhadap homoseksual. Berikut penjelesan yang dapat peneliti sampaikan.
Tabel Distribusi Frekuensi Keberadaan Homoseksual
Keberadaan Frekuensi Persentase
Ya 233 58.4%
12
Berteman Frekuensi Persentase
Ya 175 43.86%
Sahabat 46 17.42%
Tetangga 3 1.14%
Pasien 1
13
paling sedikit pada jenis hubungan pasien yang berobat di tempat pekerjaan partisipan tersebut
sebanyak 1 orang (0.23%).
Tabel Distribusi Frekuensi Interaksi dengan Homoseksual
Interaksi Frekuensi Persentase
Positif 7 1.75%
14
Negatif 294 73.69%
15
Gambar Grafik Uji Linearitas Prasangka dan Right-Wing Authortarianism
Setiap temuan tidak hanya disajikan dalam bentuk angka, melainkan juga akan dijelaskan
secara mendalam. Interpretasi mengenai signifikansi statistik, arah hubungan, dan implikasi
hasil uji hipotesis akan diberikan dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga pembaca
16
dapat meresapi esensi temuan ini. Pentingnya hasil uji hipotesis ini juga akan dikaitkan dengan
tujuan penelitian dan kerangka teoretis yang telah diperkenalkan sebelumnya. Hal ini bertujuan
untuk memberikan konteks lebih lanjut dan menjelaskan bagaimana setiap temuan dapat
memberikan kontribusi dalam memperkaya pemahaman kita tentang fenomena yang diteliti.
Berikut hasil dari uji hipotesis:
Tabel Uji Hipotesis
Keterangan Variabel Estimate Std. Error z-value p
R² Prasangka 0.358
17
wing authoritarianism terhadap prasangak dapat dijelaskan melalui hubungan secara langsung.
Kemudian, diketahui bahwa nilai sumbangan (R²) pada cultural humility dan right-wing
authoritarianism terhadap prasangka senilai 35.8%. Sedangkan, untuk pengaruh cultural
humility dan right-wing authoritarianism terhadap integroup threat sebesar 26.8%.
1. intergroup threat memiliki peran yang signifikan sebagai mediator dalam hubungan
antara cultural humility dan prasangka terhadap homoseksual. Temuan menunjukkan
bahwa intergroup threat berperan sebagai partial mediator pada hubungan cultural
humility dengan prasangka terhadap homoseksual, mengingat nilai p yang diperoleh
pada analisis mediasi lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian dari
pengaruh cultural humility terhadap prasangka terhadap homoseksual dapat dijelaskan
oleh mediator intergroup threat.
2. Sementara itu, dalam konteks hubungan antara Right-Wing Authoritarianism (RWA)
dan prasangka terhadap homoseksual, intergroup threat ditemukan berperan sebagai full
mediator. Penemuan ini didukung oleh nilai p yang lebih besar dari 0,05 pada analisis
mediasi, menandakan bahwa seluruh pengaruh RWA terhadap prasangka terhadap
homoseksual dapat dijelaskan melalui mediator intergroup threat. Hasil ini memberikan
gambaran bahwa intergroup threat memainkan peran penting dalam menghubungkan
RWA dengan prasangka terhadap homoseksual, dan menjelaskan secara menyeluruh
dampak RWA terhadap prasangka tersebut melalui mediator ini.
Saran
Berikut adalah beberapa saran teoritis yang dapat menjadi landasan untuk penelitian
lebih lanjut:
18
1. Eksplorasi Teori Kontak dan Cultural Humility: Penelitian selanjutnya dapat lebih
mendalam dalam menjelajahi teori kontak dan memahami bagaimana interaksi positif
antarindividu dari latar belakang budaya yang berbeda, yang diperoleh melalui
penerapan Cultural Humility, dapat secara lebih spesifik meredakan prasangka terhadap
homoseksual.
2. Pertimbangan Aspek Identitas Individu: Menyelidiki lebih lanjut bagaimana aspek
identitas individu, seperti orientasi seksual responden, dapat memoderasi hubungan
antara variabel-variabel yang diteliti. Ini dapat memberikan pemahaman yang lebih
dalam tentang peran identitas individu dalam membentuk prasangka.
3. Integrasi Teori Sosial dan Psikologis: Penelitian dapat lebih memadukan teori sosial dan
psikologis untuk memahami bagaimana faktor-faktor tingkat individu (seperti RWA)
berinteraksi dengan faktor tingkat kelompok (seperti intergroup threat) untuk
membentuk prasangka terhadap homoseksual.
4. Kajian Terhadap Perubahan Sikap dalam Jangka Waktu Panjang: Penelitian
longitudinal dapat digunakan untuk memahami evolusi sikap dan prasangka terhadap
homoseksual dalam jangka waktu panjang, sehingga memberikan pandangan yang lebih
holistik tentang perubahan opini dan pandangan masyarakat terhadap isu ini.
Pengembangan penelitian dengan mempertimbangkan saran-saran teoritis ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi lebih lanjut dalam memahami faktor-faktor yang memengaruhi
prasangka terhadap homoseksual serta memberikan landasan teoritis yang lebih kuat untuk
intervensi dan kebijakan yang bertujuan untuk menguranginya.
DAFTAR PUSTAKA
Altemeyer, B. (1983). Right-wing authoritarianism. Univ. of Manitoba Press.
Azhari, N. K., Susanti, H., & Wardani, I. Y. (2019). Persepsi Gay terhadap Penyebab
Homoseksual. Jurnal Keperawatan Jiwa V, 7(1), 1–6.
https://doi.org/10.26714/jkj.7.1.2019.1-6
Baydhowi, B., Iskandar, Z., Purwono, U., & Prathama, A. G. (2022). Analisis
Psikometrik Skala Otoritarianisme Sayap Kanan versi Indonesia. Psycho
Idea, 20(1), 11-21.
Bizumic, B., & Duckitt, J. (2018). Investigating Right Wing Authoritarianism With a
Very Short Authoritarianism Scale. Journal of Social and Political Psychology,
6(1), 129–150. https://doi.org/10.5964/jspp.v6i1.835
Captari, L. E., Shannonhouse, L., Hook, J. N., Aten, J. D., Davis, E. B., Davis, D. E.,
Tongeren, D. Van, & Hook, J. R. (2019). Prejudicial and Welcoming Attitudes
toward Syrian Refugees: The Roles of Cultural Humility and Moral Foundations.
Journal of Psychology and Theology, 00(0), 1–17.
https://doi.org/10.1177/0091647119837013
Cohrs, J. C., Kämpfe-hargrave, N., & Riemann, R. (2012). Individual Differences in
Ideological Attitudes and Prejudice : Evidence From Peer-Report Data. Journal of
19
Personality and Social Psychology, 103(2), 343–361.
https://doi.org/10.1037/a0028706
Damayanti, R. (2015). Pandangan Lesbian, Gay Dan Biseksual (LGBT) terhadap Status
Gender dan Persamaan Hak Asasi Manusia Di Jakarta, Bogor, Depok Dan
Tangerang, 2015. In Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.
Ekehammar, B. O., Akrami, N., Gylje, M., & Zakrisson, I. (2004). What Matters Most
to Prejudice : Big Five Personality , Social Dominance Orientation , or Right-Wing
Authoritarianism ? European Journal of Personality, 18, 463–482.
https://doi.org/10.1002/per.526
Fauzi, H., & Rahmani, I. S. (2017). Pengaruh Kepribadian Right Wing Authoritarian
Personality, Religious Orientation dan Identitas Sosial terhadap Prasangka Agama
pada Mahasiswa. TAZKIYA Journal of Psychology, 22(1), 41–52.
Fuchs, C. (2018). Authoritarian capitalism, authoritarian movements and authoritarian
communication. Media, Culture and Society, 40(5), 779–791.
https://doi.org/10.1177/0163443718772147
Golo, T. (2022). Analisis Yuridis Batas Usia Dewasa Pasien dalam memberikan
Persetujuan Tindakan Kedokteran di Indonesia. Jurnal Kertha Semaya, 10(11),
2540–2556.
Hakim, L. N. (2020). Urgensi Revisi Undang-Undang tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 11(1), 43–55.
https://doi.org/10.22212/aspirasi.v11i1.1589
Herek, G. M. (1988). Heterosexuals ’ Attitudes toward Lesbians and Gay Men :
Correlates and Gender Differences. The Journal of Sex Research, 25(4), 451–471.
https://doi.org/10.1080/00224498809551476
Herek, G. M., & Mclemore, K. A. (2014). Sexual Prejudice. Annual Review of
Psychology, September 2012. https://doi.org/10.1146/annurev-psych-113011-
143826
Kite, M. E., & Whitley, Jr., B. E. (2020). Age, Ability, and Appearance. In Psychology
of Prejudice and Discrimination. https://doi.org/10.4324/9781315623849-19
Kusumowardhani, R. P. A., Fathurrohman, O., & Ahmad, A. (2013). Identitas Sosial,
Fundamentalisme, dan Prasangka terhadap Pemeluk Agama yang Berbeda:
Perspektif Psikologis. Jurnal Multikultural & Multireligius, 12(1), 18–29.
https://jurnalharmoni.kemenag.go.id/index.php/harmoni/article/view/262
Maryam, S. (2022). Homoseksualitas : Pelanggaran terhadap Fitrah Kemanusiaan (Studi
Komparasi Kitab al- Qur ’ an dan Alkitab). Alif Lam: Journal of Islamic Studies
and Humanitie, 2(2), 11–28.
https://doi.org/https://doi.org/10.51700/aliflam.v3i1.292
Mastuti, R. E., Winarno, R. D., & Hastuti, L. W. (2012). Pembentukan Identitas
Orientasi Seksual pada Remaja Gay. Prediksi, 1(2), 194.
http://journal.unika.ac.id/index.php/pre/article/view/271
Musti’ah. (2016). Lesbian Gay Bisexual and Transgender (LGBT): Pandangan Islam,
Faktor Penyebab, dan Solusinya. SOSIAL HORIZON: Jurnal Pendidikan Sosial,
3(2), 258–273.
Nelson, T. The Psychology of Prejudice. Boston: Allyn & Bacon. 2002.
Normina. (2014). Masyarakat dan sosialisasi. Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI
Kalimantan, 12(22), 107–115.
Nurkholis. (2013). Pendidikan dalam Upaya Memajukan Teknologi. Jurnal
20
Kependidikan, 1(1), 24–44.
Rahardjo, V. R., & Tondok, M. S. (2022). Prasangka terhadap Homoseksual: Peran
Fundamentalisme Agama dan Identitas Sosial. Keluwih: Jurnal Sosial Dan
Humaniora, 3(1), 40–49. https://doi.org/10.24123/soshum.v3i1.5226
Sani, M. R. (2017). Konsep Pendidikan Multikutural dan Implementasinya dalam
Pembelajaran. Jurnal Tawadhu, 1(2), 220–243.
Sherif, M., & Sherif, C. W. (1953). Groups in harmony and tension. New York: Harper.
Visintin, E. P., & Rullo, M. (2021). Humble and Kind: Cultural Humility as a Buffer of
the Association between Social Dominance Orientation and Prejudice. Societies,
11(4), 1–10. https://doi.org/10.3390/soc11040117
Yudiyanto. (2016). Fenomena Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender
(LGBT) di Indonesia serta Upaya Pencegahannya. NIZHAM, 5(1), 62–74.
21