Anda di halaman 1dari 11

1.Kata identitas berakar dari bahasa Latin yakni idem (sama).

Dalam Meyers Groβes Taschenlexikon


didefinisikan kesetaraan sempurna (vollkommene Gleichheit) dalam hubungan dengan hal dan orang,
kesetaraan esensi (Wesensgleichheit) seorang pribadi. Dalam perkembangannya pengertian dasar ini
mengalami perluasan makna setelah digunakan dalam berbagai kesempatan. Dalam diskusi terkini,
identitas tidak lain adalah jawaban pada pertanyaan “siapakah saya ini?”, “siapakah kita ini?”. Artinya
identitas adalah penyampaian diri tentang saya dan kita dalam bingkai biografi sebagai kelangsungan
dan ingatan.2
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan, maka dari itu gender berkaitan dengan proses
bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak (atau laku sejati) sesuai dengan
tata nilai yang terstruktur dalam masyarakat. Gender merupakan pembedaan peran, fungsi dan
tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, perlu dipahami bahwa di dalam
kehidupan ini ada wilayah nature dan wilayah kulture. Kedua istilah tersebut merupakan derivasi dari
bahasa Inggris yang sekarang banyak dipakai masyarakat Indonesia.3 Mengutip dari buku Psikologi
Keluarga Islam oleh Dra. Hj. Mufidah bahwa Lips mengartikan gender sebagai cultur expectation for
women and men atau harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Secara umum tidak
bisa dikatakan bahwa gender itu tidak berlaku universal (umum). Artinya setiap masyarakat, pada waktu
tertentu memiliki sistem kebudayaan (culture system) tertentu yang berbeda dengan masyarakat lain
dan waktu yang lain. Sistem kebudayaan ini mencakup eleman deskriptif dan preskriptif.4 Pada
umumnya label maskulin dilekatkan pada laki-laki yang dipandang sebagai yang lebih kuat, lebih aktif
dan ditandai oleh kebutuhan yang besar akan pencapaian dominasi, otonami agresi. Sebaliknya, label
feminin dilekatkan pada perempuan yang dipandang sebagai lebih lemah, kurang aktif dan lebih
menaruh perhatian kepada keinginan untuk mengasuh dan mengalah.5 Kata gender, secara persis tidak
didapati dalam al-Qur‟an, namun kata yang dipandang dekat dengan kata gender jika ditinjau dari peran
fungsi dan relasi adalah kata al-rijal dan an-nisa’. Kata al-rijal bentuk jama‟ dari kata rajulun6 diartikan
dengan laki-laki, lawan dari perempuan. Sedangkan al-Nisa’ adalah bentuk jama‟ dari al-mar’ah berarti
perempuan yang telah dewasa, sepadan dengan kata al-rijal.7 Gender adalah sebuah konstruksi sosial
yang bersifat relatif, tidak berlaku umum atau universal. Analisis gender menginginkan sebuah tatanan
sosial yang egaliter sekaligus mengenyahkan tatanan sosial yang timpang atau tidak adil. Oleh sebab itu,
analisis gender dilakukan dengan mencari penyebab kesenjangan dan ketimpangan. Ini berlaku pada
berbagai tingkat; misalnya individu, keluarga, masyarakat.8
Dalam pandangan psikologi sering terjebak dalam tradisi “memandang sebelah mata” terhadap
persoalan perempuan karena perspektif biologis, yaitu bahwa maskulinitas ditandai dengan kekuatan,
dominasi, dan keberanian. Dengan demikian, penyerangan laki-laki seringkali dianggap sebagai bentuk
kewajaran, atau dengan kata lain itu semua adalah hal yang biasa. Konsep atau kepercayaan ini
menimbulkan bias-bias gender antara lain adalah; penekanan pada peran gender tradisional, secara
langsung maupun tidak langsung mengindikasikan bahwa perempuan adalah objek seksual laki-laki dan
harus menyesuaikan diri dengan peran tersebut. Studi gender pada dasarnya memperhatikan konstruksi
budaya dari dua makhluk hidup, laki-laki dan perempuan. Gender sering diartikan atau bahkan
dipertentangkan dengan seks, yang secara biologis didefinisikan dalam kategori laki-laki dan perempuan.
Secara awam, keduanya bisa diterjemahkan sebagai “jenis kelamin”, namun konotasi keduanya tetap
berbeda. Seks lebih merujuk kepada makna biologis sedangkan gender merujuk pada makna sosial. Studi
gender tak lepas dari kajian antropologi. Saat bayi lahir, mereka sudah mempunyai jenis kelamin, namun
belum mempunyai kejeniskelaminan (gender). Jenis kelamin biologis seseorang ditentukan berdasarkan
pandangan anatomis fisik, secara budaya ini menjadi akar dari pengalaman, perasaan dan perilaku
berdasarkan pengaitan orangdewasa. Dengan cara pembedaan jenis kelamin inilah yang kemudian
memunculkan kejenis-kelaminan pada seseorang. Secara biologis lakilaki dan perempuan memiliki organ
dan hormon kelamin yang berbeda, juga perbedaan dalam besar dan tinggi rata-rata. Walaupun hanya
dengan dasar seperti ini semua citra kolektif sudah meluas, misalnya tentang stereotip atau pelabelan
dan ideologi telah menjadi tindakan yang menuju kearah perbedaan dalam pengasuhan anak dan
penandaan peran, bahkan ke perbedaan jenis kelamin dalam sejumlah

ciri-ciri psikologi.
Agama merupakan salah satu obyek kajian yang sangat menarik ketika mengkaji masalah-masalah
perempuan. Hal ini karena agama yang merupakan way of life sebagian besar umat manusia,
mengandung ajaran, aturan dan hukum tentang posisi dan kedudukan perempuan, baik dalam masalah
peribadatan secara khusus maupun dalam relasi laki-laki dan perempuan. Pandangan yang mengakui
ketidaksetaraan gender dimata para feminis melahirkan perbedaan peran gender secara fungsional
dalam kehidupan sosial, pada akhirnya telah memasung perempuan dalam kehidupannya. Persepsi ini
menyebabkan pandangan bahwa mufassir klasik dianggap tidak
pandai memahami teks-teks keagamaan oleh mufassir feminis tentang perempuan secara utuh.
Mufassir klasik hanya menafsirkan secara tekstual saja, tidak melihat konteks yang terjadi.11

contohnya ; Kedudukan perempuan dalam pandangan umat-umat sebelum Islam sangat rendah dan
hina. Mereka tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang sempurna. Bagi mereka, perempuan
adalah pangkal dari keburukan dan sumber bencana. Hal inilah yang kemudian menjadi landasan kuat
mufassir tentang perempuan. Identitas Gender Dalam Pengaruh Agama Kristen Di dalam alkitab pada
Kejadian 1:27 "Maka Allah menciptakan
manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka" disini
berarti bahwa Allah menciptakan manusia baik perempuan dan lakilaki dengan derajat yang sama dan
menurut gambar Allah, disamping
itu juga menekankan bahwa manusia itu sama hakekat dengan Sang Pencipta.

Hal tersebut berarti bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makluk yang mulia, kudus dan berakal
budi, sehingga manusia bisa berkomunikasi dengan Allah, dan layak untuk menerima mandat dari Allah
untuk menjadi pemimpin dari segala ciptaan Allah. Dari
ungkapan "segambar" dengan Allah ini yang berarti dimiliki tidak hanya laki-laki saja akan tetapi juga
perempuan, dan keduanya mempunyai status yang sama. Oleh karena itu tidak dibenarkan adanya
diskriminasi atau dominasi dalam bentuk apapun hanya dikarenakan perbedaan jenis kelamin.Jika
demikian mengapa muncul diskriminasi atau dominasi antara perempuan dan laki-laki? Alkitab mencatat
bahwa hubungan yang timpang antara laki-laki dan perempun itu terjadi setelah manusia memakan
buah yang dilarang oleh Allah (Kej. 3:12dst).
Adam mempersalahkan Hawa sebagai pembawa dosa, sedangkan Hawa mempersalahkan ular sebagai
penggoda. Tetapi akhirnya Allah menghukum Adam. Adam dihukum bukan hanya
karena Adam ikut-ikutan makan buah yang Allah larang, tetapi juga karena ketika Hawa berdialog
dengan ular sampai memetik buah, Adam ada bersama Hawa. Adam hadir di sana tetapi ia bungkam.
Dengan kata lain, perbuatan Hawa sebenarnya mendapat restu dari Adam. Karena itu kesalahan ada
pada kedua pihak. Itu berarti bahwa Adam dan kaum laki-laki tidak bisa menghakimi Hawa dan kaumnya
sebagai pembawa dosa. Dalam perkembangan selanjutnya peran serta perempuan selalu dibatasi,
sehingga hal ini yang menciptakan

dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dalam berbagai peran, perempuan selalu dibatasi.Kita lihat di
Alkitab yaitu pada masa hidup Yesus, diskriminasi dan dominasi laki-laki atas perempuan masih tetap
berlangsung. Ketika Yesus mulai mengangkat tugas-Nya, Ia bersikap menentang diskriminasi dan
dominasi itu. Suatu ketika pemimpin-pemimpin
agama Yahudi menangkap seorang perempuan yang kedapatan berzinah lalu dibawa kepada Yesus.
Mereka minta supaya perempuan ini dihukum rajam sesuai aturan Yahudi. Tetapi Yesus tidak peduli
terhadap permintaan mereka. Pasalnya, mereka menangkap
perempuan itu tapi tidak menangkap laki-laki yang tidur dengan dia. Yesus berkata kepada mereka:
"Barangsiapa yang tidak berdosa hendaknya ia yang pertama kali merajam perempuan ini". Tidak ada
yang berani melakukannya. Akhirnya Yesus menyuruh perempuan itu
pulang dengan nasihat supaya tidak berbuat dosa lagi (Yoh 8:2-11).28Kesadaran feminis dalam tradisi
Kristen muncul sejak tahun 1820-an. Kesadaran ini terjadi sejalan dengan hasrat yang kuat dari
perempuan Amerika untuk melakukan perubahan social. Pada awal abad ke-20, para sarjana perempuan
di bidang Kitab Suci sudah memperlihatkan kemampuan ilmiah yang kuat
dibidangnya, namun tidak pernah secara sadar bersikap feminis. Baru pada tahun 1970-an anggota
perempuan dari The Society of Biblical Literature (SBL) menegaskan bahwa pendekatan hermeneutic
dari feminis bermanfaat untuk karya mereka. Selama abad ke-19, sebagai respon terhadap penafsiran
Kitab Suci yang merugikan perempuan,
sebagian besar kaum perempuan melakukan sebaliknya, yakni mereka memproduksi strategi-strategi
yang berimplikasi kepada pengagungan dan kultus terhadap kedudukan perempuan. Jika perempuan
dalam agama diciptakan setelah laki-laki dan dibatasi aktivitasnya hanya pada bidang-bidang tertentu
saja, justru inilah letak kekuatan perempuan. Bagi mereka, realitas ini merupakan suatu tantangan dan
merupakan panggilan khusus yang diberikan Tuhan untuk kaum perempuan

2 Gender adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat. Dan peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran
sosial kemasyarakatan.

Kata gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam
lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ada
perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki-namun kebudayaan menafsirkan perbedaan
biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada
gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Kendati tuntutan ini bervariasi di setiap masyarakat, tapi
terdapat beberapa kemiripan yang mencolok. Misalnya, hampir semua kelompok masyarakat
menyerahkan tanggung jawab perawatan anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan
pada laki-laki. Sebagaimana halnya ras, etnik, dan kelas, gender adalah sebuah kategori sosial yang
sangat menentukan jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam masyarakat dan ekonomi. Tidak
semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan ras atau etnis, namun semua masyarakat
mengalami diskriminasi berdasarkan gender-dalam bentuk kesenjangan dan perbedaan-dalam tingkatan
yang berbeda-beda. Seringkali dibutuhkan waktu cukup lama untuk mengubah ketidakadilan ini.
Suasana ketidakadilan ini terkadang bisa berubah secara drastis karena kebijakan dan perubahan sosial-
ekonomi.

Pengertian kesetaraan gender merujuk kepada suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan
dalam pemenuhan hak dan kewajiban.

Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, di seluruh dunia. Ini
adalah fakta meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan
tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di
negara dunia ketiga di mana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan
ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan,
dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban
paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan
semua orang. Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan
pembangunan yang memiliki nilai tersendiri.

Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan,
dan memerintah secara efektif. Dengan demikian mempromosikan kesetaraan gender adalah bagian
utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat (semua orang)-
perempuan dan laki-laki-untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup
mereka.

Pembangunan ekonomi membuka banyak jalan untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam jangka
panjang. Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan memiliki makna yang penting karena setelah
diadopsi maka akan dijadikan acuan secara global dan nasional sehingga agenda pembangunan menjadi
lebih fokus. Setiap butir tujuan tersebut menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan untuk
mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, baik tua mau-pun muda.

Sasaran Global
- Mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan di mana pun

- Menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi,
termasuk perdagangan manusia dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis eksploitasi lainnya

- Menghilangkan semua praktek berbahaya, seperti pernikahan anak, pernikahan dini dan paksa, serta
sunat perempuan

- Menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin
di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat

- Menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, dan hak reproduksi seperti yang
telah disepakati sesuai dengan Programme of Action of the International Conference on Population and
Development and the Beijing Platform serta dokumen-dokumen hasil reviu dari konferensi-konferensi
tersebut

3 Dinamika sosial dan sejarah sudah membuktikan bahwa realitas tak sesederhana ini. Kemudian
mengapa masyarakat masih gagap akan realitas gender hari ini?

“Tak ada Komentar Positif, Apa yang di Banggakan dari Lucinta Luna“, begitulah judul sebuah berita yang
dikutip dari Fimela.com1. Tidak hanya itu, tokoh dunia hiburan serta desainer terkenal, Ivan Gunawan
kerap kali diberitakan miring oleh berbagai media seperti sebuah berita dari JPNN.com yang berjudul
“Niat Menikah, Ivan Gunawan, Aku Pengen Punya Anak”2.

Hadirnya pemberitaan miring terhadap kedua tokoh tersebut disebabkan oleh satu kesamaan, yaitu
pandangan masyarakat Indonesia terhadap identitas gender mereka. Lucinta Luna dan Ivan Gunawan
kerap kali tampil dalam dunia hiburan dengan karakteristik yang berlawanan dengan gender mereka
secara biologis, dimana keduanya merupakan laki-laki dengan karakter feminim.

Berbagai judul pemberitaan di atas secara tidak langsung menggiring pandangan negatif masyarakat
terhadap kelompok-kelompok atau individu yang berbeda secara karakteristik gender. Masyarakat
umumnya memandang gender secara biologis dengan pandangan binary gender identity. Namun,
realitas sosial menunjukkan adanya kelompok-kelompok transgender yang berbeda dari sekedar
karakteristik biologis
Lalu dengan maraknya kelompok tersebut, apakah cara memandang gender secara biologis kini
merupakan hal yang tidak relevan? dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap sebuah identitas
gender?

Pandangan Hitam Putih atas Identitas Gender

Masyarakat umum memandang sebuah identitas gender secara biologis yang bersifat biner atau dikenal
Binary Gender Identity (Cis Gender). Binary atau biner merupakan suatu konsep yang membagi sesuatu
menjadi dua. Dalam konteks gender, identitas gender secara biner terbagi menjadi dua, yaitu laki-laki
atau biasa disebut maskulin dan perempuan atau biasa disebut feminim. Maskulin dilekatkan kepada
mereka yang bertubuh fisik laki-laki (dia yang berpenis) dan feminim kepada mereka yang bertubuh fisik
perempuan (dia yang bervagina)Menurut Irwan Hidayana, Dosen Antropologi FISIP UI, identitas gender
seseorang tidak terbatas dan sesederhana berdasarkan biologis laki-laki dan perempuan. Pada
realitanya, masyarakat terdapat laki-laki yang tidak merasa bahwa dirinya adalah laki-laki meski ia
berpenis atau sebaliknya perempuan yang tidak merasa bahwa dirinya perempuan meski ia bervagina.
Bahkan secara biologis cukup problematis, dimana tidak menutup kemungkinan akan adanya individu
yang terlahir sebagai interseks, seperti seseorang yang terlahir dengan vagina tanpa rahim.

“Membahas soal perbedaan merupakan hal yang terlalu simplistis karena kemudian kenyataannya
gender seharusnya tidak hanya dari perbedaan seperti maskulin dan feminim, namun gender juga
berupa relasi atau social relation”, jelas Irwan.

Irwan menambahkan bahwa identitas gender terbentuk atas relasi antara laki-laki dan perempuan
dalam susunan masyarakat. Relasi sosial menggambarkan perilaku suatu individu terhadap
lingkungannya. Identitas gender tidak dapat terlepas dari struktur sosial masyarakat setempat. Peran
penting struktur sosial dan relasi dalam mengidentifikasi gender menyebabkan munculnya istilah-istilah
transgender, waria, Queer, dan sejenisnya untuk melabeli mereka yang berperilaku berbeda dari gender
masyarakat umum.

Pergeseran pandangan atas identitas gender memicu terbentuknya berbagai golongan masyarakat yang
berbeda gender, bukan laki-laki dan perempuan. Secara lebih luas, golongan masyarakat ini dapat
disebut sebagai Queer dalam kelompok LGBTQ. Menurut Ais, Co Founder Queer Indonesia Archive
(QIA), Queer is a word that describes people outside straight identities atau orang-orang yang berada di
luar dari identitas normal gender.
Namun, beberapa negara terdapat banyak komunitas selain empat kategori tersebut yang berada diluar
lingkup straight dan cisgender (biner). Contohnya adalah interseks, panseksual, non-binary, dan lain-lain.
Istilah Queer ini akhirnya perlahan-lahan menjadi istilah yang lebih inklusif untuk memayungi orang-
orang yang berbeda secara gender.Queer dan LGBTQ dalam Respon Masyarakat Indonesia

Ais menceritakan perjalanan kelompok Queer dan LGBTQ di Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-9.
Pada masa itu, istilah LGBTQ dan Queer belum muncul untuk menunjukkan individu-individu yang
berbeda secara karakteristik gender. Namun, kelompok-kelompok tersebut sudah ada pada zamannya.
Contohnya di Makassar mengenal istilah bissu dan di Jawa mengenal istilah warok atau keblak.

Pada tahun 1930 an, Pemerintah Hindia Belanda melakukan “pembersihan moral” yang membuat ruang
gerak kelompok ini menjadi terbatas. Ais juga menceritakan tentang perkembangan keberadaan
kelompok ini selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir. Ais berpendapat bahwa pemerintah mulai
lebih konservatif sejak beberapa tahun ke belakang.

“Pemerintah sendiri baru benar-benar tracking down komunitas Queer setelah tahun 2015. Menurut
saya, pemerintah baru bergerak karena masyarakat lebih vokal dan jika dilihat dari prinsip demokrasi
dan politik, lebih baik untuk mengikuti konstituen masyarakat (sebagai pemilik suara). Jika memang
mereka beranggapan untuk mendukung kaum minoritas seksual,” tambah Ais

“Mungkin yang membedakan dengan saat ini, media massa terdahulu memiliki point of view yang lebih
netral dibandingkan dengan media saat ini. Dahulu, orang-orang Queer hanya dilihat sebagai curiosity
atau keingintahuan dari masyarakat karena karakteristiknya berbeda,” jelas Ais.

Ais menambahkan bahwa turning point dari respon masyarakat adalah pada saat masa reformasi.
“Mungkin turning point bagi komunitas Queer dimulai setelah reformasi dimana saat masyarakat diberi
kebebasan untuk menyuarakan politiknya dan pemerintah tidak terlalu tegang dengan unsur-unsur
masyarakat. Secara otomatis, kelompok konservatif yang sebelumnya dikekang akhirnya diberikan
kebebasan sehingga mereka memiliki kuasa untuk membubarkan kelompok Queer,” tambah Ais.

“Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah sepertinya generasi sekarang atau generasi Z ini lebih ingin
tahu dan tidak bersifat judgemental,” ungkap Ais. Ia menambahkan bahwa tetap masih ada beberapa
orang yang antipati, tetapi setidaknya sudah mulai ada inisiatif terhadap kesadaran kelompok Queer. Hal
ini terbukti banyaknya mahasiswa dari BEM atau himpunan yang mulai membicarakan kelompok ini
dalam ranah universitas.LGBTQ dan Queer sebagai Budaya Tandingan

Berdasarkan pendapat Ais bahwa masyarakat Indonesia semakin konservatif, kelompok LGBT dan Queer
saat ini merupakan kelompok minoritas. Mereka sulit mendapatkan pengakuan dan penerimaan secara
luas oleh masyarakat Indonesia. Dalam perspektif sosial, LGBT dan Queer dapat disebut sebagai counter
culture atau budaya tandingan. Counter culture merupakan praktik kebudayaan yang berbeda dengan
tujuan untuk melawan kebudayaan yang dianggap dominan.

Biasanya, counter culture muncul dari kelompok atau komunitas yang bertekad untuk mengkonstruksi
sebuah kebudayaan dan bertujuan untuk melawan kebudayaan yang dianggap dominan atau
mainstream dalam masyarakat. Namun, menurut Irwan, budaya tandingan tidak sepenuhnya berbeda
karena mereka tetap bagian dari budaya dominan.

Umumnya, kelompok ini terbentuk akibat perasaan termarginalisasi yang sering dialami oleh beberapa
orang tertentu. Mereka memiliki budaya tersendiri dan menjauhkan diri dari budaya dominan, serta
berusaha membuat tandingan agar mendapatkan pengakuan dari sistem mayoritas konon sulit untuk
diubah.

Salah satu contoh nyata counterculture berkaitan dengan identitas gender adalah kelompok waria, yang
sebenarnya sudah lama berada di Indonesia. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai counter culture
karena perilakunya yang secara kasat mata cukup berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Mereka
memiliki bahasa yang digunakan secara khusus, yaitu bahasa binan. Banyak diantara mereka yang
menggunakan bahasa dan kata-kata yang mereka kembangkan dan lebih banyak dimengerti secara
eksklusif oleh mereka sendiri.

Kelompok-kelompok transgender, Queer, atau LGBT di Indonesia menjadi counter culture karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama islam. “Tetapi, secara umum kita (masyarakat Indonesia)
dikatakan sebagai yang religius. Ketika kita mengaitkan dengan isu LGBTQ, LGBTQ selalu dikaitkan
dengan persoalan agama, moralitas secara umum dan seksual”, jelas Irwan.

Irwan menambahkan bahwa moralitas seksual di Indonesia merupakan perihal yang heteronormatif.
Apabila terdapat kelompok atau komunitas yang berbeda (non heteroseksual), masyarakat akan
menganggapnya sebagai sesuatu yang berbeda dari mereka. Di Indonesia, isu yang sangat mencolok
untuk dikatakan sebagai budaya tandingan adalah transgender karena sifat dan perilakunya yang tidak
biasa nampak di hadapan masyarakat. Sedangkan, lesbian, gay, dan biseksual masih belum terlihat
secara jelas.

Kelompok-kelompok yang disebutkan sebelumnya yang berbeda secara identitas gender kerap kali
disebut sebagai budaya tandingan atau counter culture. Namun, permasalahan lain yang menjadi
perhatian bahwa banyak sekali terminologi dalam sosial masyarakat untuk melabeli mereka. Mereka-
mereka ini dapat dikenal sebagai transgender, waria, hingga Queer dalam terminologi LGBTQ.
Terkadang, terminologi tersebut tidak hanya sebatas label melainkan terdapat perbedaan respon dan
penerimaan di tengah masyarakat.. Lalu, mengapa hal demikian terjadi di Indonesia?Antara Transgender
dan Queer dalam LGBTQ, Mengapa Penerimaan Keduanya Berbeda?

Menurut Irwan, Penggunaan terminologi tertentu terkadang menciptakan respon yang berbeda dan
terkadang penggunaannya cenderung problematis. “Namun ini menunjukkan bahwa istilah atau
terminologi itu sendiri menjadi problematis karena membatasi. Hal ini merujuk pada kenyataan secara
sosial, bahwa terdapat individu yang tidak bisa dimasukkan ke dalam kotak-kotak gender tersebut,”
tambah Irwan.

Kata “waria” sendiri sudah lama digunakan dalam istilah lokal yang dikenal dengan istilah banci,
sementara kata “gay”, “lesbian”, dan “Queer” adalah istilah asing yang sering dihubungkan dengan
homoseksualitas. Maka dari itu, masyarakat Indonesia menjadi lebih antipati ketika berbicara mengenai
gay-lesbian dan homoseksual ketimbang berbicara mengenai waria.

“Ketika berbicara homoseksualitas, masyarakat lokal juga sering menghubungkannya dengan agama,
dosa, dan amoral. Isu LGBTQ ini dianggap menjadi kepanikan moral dalam masyarakat yang
menganggapnya seolah-olah sesuatu yang laknat, maksiat, dan yang lain sebagainya,” tambah Irwan.

Selain itu, terdapat konstruksi pemikiran di masyarakat bahwa ketika mendengar LGBT langsung
menganggapnya sebagai istilah asing. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat Indonesia cenderung
lebih reaktif pada hal-hal yang sifatnya asing dan berasal dari luar, seperti pengaruh barat dan
westernisasi. Masyarakat memiliki respon yang berbeda ketika berbicara soal waria atau banci karena
hanya dianggap sebagai istilah lokal dan tidak asing.
Sebuah Paradoks dalam Identitas Gender

Permasalahan respons masyarakat terhadap isu identitas gender tidak hanya istilah atau terminologi
yang problematik, melainkan terdapat paradoks tertentu. Dalam dunia entertainment, individu yang
menunjukkan perilaku bertentangan dengan identitas gendernya dianggap wajar karena masyarakat
masyarakat menikmatinya sebagai lelucon dan mereka merasa terhibur.

Irwan menemukan persoalan ini sebagai paradoks semata dimana setiap kali perilaku ini muncul di
televisi, masyarakat merasa terhibur dan tidak pernah ada keluhan terhadap perilaku tersebut. Karakter
kelompok minoritas di dunia entertainment dipahami sebagai bahan lelucon dan bertujuan untuk
menghibur. Terlebih, menurut Irwan, sikap ambivalen masyarakat menjadi penyebabnya dan sikap
ambivalen tersebut muncul akibat normalisasi sebuah masalah moral dengan alasan ekonomi.

“Menurut saya hal itulah yang menjadi paradoks, yaitu bagi dunia entertainment dan berfungsi sebagai
hiburan, masyarakat secara umum dapat menerima tetapi kemudian ketika persoalan tersebut dikaitkan
dengan isu moralitas, agama, dan yang lain sebagainya, masyarakat memiliki pandangan dan sikap yang
berbeda”, tambah Irwan

Queer dan Pandangan Identitas Gender kedepannya

Ais dan Irwan sepakat bahwa masih banyak bentuk penolakan masyarakat terhadap kelompok-
kelompok Queer di Indonesia, bahkan secara terminologi cukup problematik. Ais menekankan bahwa
berbagai bentuk aksi tidak diskriminatif saja tidak cukup, melainkan kelompok-kelompok Queer ini perlu
tindakan afirmatif karena sudah cukup lama berada posisi rentan di masyarakat.

Terlepas dari berbagai tindakan yang perlu diambil, menurut Irwan, masyarakat Indonesia perlu
memahami kembali esensi dari semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan ini tidak hanya memahami
perbedaan bukan hanya etnis, suku, dan agama, melainkan juga identitas gender. Dengan memahami
esensinya, kelompok-kelompok yang berbeda secara gender tidak selamanya menjadi budaya
tandingan.

Irwan kemudian memaparkan bahwa negara ini masih bersifat hetero relatif sehingga ketika
menghadapi isu ini negara memiliki berbagai persoalan dalam cara pandang. Namun bukan berarti
negara tidak bisa mengakomodasi keperluan kelompok – kelompok yang berbeda. Saat ini, pemerintah
terlihat telah memberikan ruang bagi kelompok minoritas. Salah satunya adalah Dirjen Dukcapil dibantu
dengan dukungan LSM yang tengah mengupayakan pembuatan KTP agar kelompok transgender
memiliki identitas resmi dan dapat mengakses bantuan – bantuan sosial seperti layanan BPJS dan
puskesmas.

Anda mungkin juga menyukai