Anda di halaman 1dari 16

KELEMBAGAAN KOPRI

Oleh: Tim Penyusun Modul

A. Fitrah Perempuan
Secara etimologis pengertian perempuan berasal dari kata empu yang artinya “tuan”, orang yang
mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar. Dalam buku Zaitunah Subhan, perempuan berasal
dari kata “empu” yang artinya dihargai. Para ilmuwan seperti Plato, mengatakan bahwa perempuan ditinjau
dari segi kekuatan fisik maupun spiritual, mental perempuan lebih lemah dari laki-laki, tetapi perbedaan
tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam bakatnya, sedangkan secara biologis, dari segi fisik,
perempuan dibedakan atas perempuan lebih kecil dari laki-laki, suaranya lebih halus, perkembangan tubuh
perempuan terjadi lebih dini, sikap pembawaan yang kalem, bahkan lebih cepat menangis. Dalam konsep
gender, hal tersebut dikatakan bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik kaum laki-laki maupun
perempuan merupakan hasil dari konstruksi sosial dan kultural. Perempuan menurut kodratnya merupakan
orang (manusia) yang dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Dari pengertian tersebut
menghadirkan kesadaran akan kebesaran Allah SWT. terhadap makhluk ciptaan-Nya yang disebut
perempuan.
Sejalan dengan perkembangan tata kehidupan berbangsa dan bernegara di lingkungan dunia
internasional, maka suatu negeara dalam mempertahankan eksistensi atau kelangsungan hidupnya
memerlukan perjuangan seluruh bangsa untuk mencapai atau mempertahankan kelestarian teritorialitas atau
kedaulatan teritorialnya. Menyadari adanya kompleksitas permasalahan, baik isu mengenai tapal batas
(border), keamanan nasional (national security) atau keamanan manusia (human security) perlu adanya satu
pemahaman wawasan nusantara didalam menentukan kebijakan. Guna mengatasi berbagai permasalahan-
permasalahan tersebut di atas dan menghadapi pengaruh perkembangan lingkungan strategis yang diwarnai
arus globalisasi dan gelombang reformasi, maka diperlukan suatu rumusan kebijakan/strategi geopolitik
Indonesia yang handal.
Kondisi ini juga membawa dampak yang sangat besar bagi perempuan sesuai dengan perkembangan
zaman dan peradaban. Kondisi perempuan masih sangat diperhitungkan dalam segala aspek, sosial, budaya,
dan politik. Pembatasan ruang dan waktu perempuan menjadi asset yang sangat berharga, dimana posisi
perempuan masih didomestifikasikan baik dalam ruang publik maupun ruang privat. Manusia berjenis
kelamin perempuan tidak mampu menentukan hidupnya sendiri, anggapan-anggapan umum tentang
perempuan yang lemah, lembut, patuh, penurut, penyabar, penyayang, dan justifikasi lainnya. Membuat
perempuan terlemahkan secara sistematis ditambah prasangka ini telah mendapat penguatan secara struktur
masyarakat terwujud dalam bentuk kebiasaan dan menjadi norma-norma yang berlaku saat ini.
Sebagai paradigma Islam, Al-Qur’an diposisikan sebagai sumber aturan (norma dan nilai) yang
universal, yang bersendikan keadilan, kemaslahatan dan menghargai harkat dan derajat kemanusiaan. Al-
Qu’an sebagai wahyu yang adil, kemudian pada abad ke-7 M diturunkan di kawasan Arabia yang secara
sosiologis mesyarakatnya memiliki konstruk dan persepsi kebudayaan yang diskriminatif mengenai
perempuan. Kebiasaan yang bisa dicatat dari budaya tersebut terhadap perempuan adalah pembunuhan
bayi, pelecehan sesksual terhadap perempuan, peniadaan hak waris bagi kaum perempuan, poligami tanpa
batas, bahkan sampai menceraikan perempuan sesuai lelaki, dan lain sebagainya.
Islam hadir dengan weltanschauung (pandangan hidup). Sebab ketentuan-ketentuan kultural dalam
ketimpangan penilaian antara perempuan dan laki-laki, akan bertentangan dengan skala fungsi al-Qur’an
sendiri ynag bersifat universal, lintas kultural, melampaui batas ruang dan waktu. Dalam pemahaman
demikian, kita akan menemukan optimisme bahwa Islam melalui al-Qur’an dan Hadist bertendensi ke arah
pembebasan perempuan. Ajaran-ajaran tampak kritik dan koreksi terhadap budaya dominasi laki-laki atas
perempuan. Perempuan didudukkan secara setara dengan laki-laki (Q.S. al-Baqarah (2): 228). Baik laki-
laki maupun perempuan di hadapan Allah adalah sama; mereka memiliki asal usul hidup yang sama (Q.S.
an-Nisa (4):1), sama-sama makhluk (ciptaan) Allah yang mengemban fungsi ganda sebagai hamba Allah
(‘abdillah) (Q.S. adz-Dzariyat (51):56) dan khalifah Allah (khalifatullah fi al-ardl) (Q.S. al-Baqarah
(2):30). Keduanya dimuliakan Allah secara setara (Q.S. al-Isra’ (17):70), dan satu sama lain ibarat pakaian
yang saling membutuhkan, melengkapi dan menyempurnakan; tak akan sempurna tanpa kehadiran yang
lain (Q.S. al-Baqarah (2): 187).
Perbedaan mereka dihadapan Allah adalah masalah kualitas kerja, amal, iman, dan ketakwaan, bukan
karena faktor jenis kelamin (Q.S. al-Hujurat (49):13). Adapun keunggulan yang diberikan Allah kepada
satu sama lain atau kepada laki-laki dan perempuan, sebagaimana dinyatakan dalam surat an-Nisa’ (4):34,
bukanlah superioritas jenis kelamin. Itu karena fungsi-fungsi sosial yang telah dikonstruksi sedemikian
rupa oleh kebudayaan masyarakat yang berkembang.
Dengan demikian, perempuan kembali kepada fitrahnya. Al-Qur’an berusaha menekankan kembali
titik perhatian paling essesial, yakni keadilan sosial dengan priorotas utama pembebasan kelompok-
kelompok lemah dan massa tertindas, termasuk didalamnya kaum perepmpuan; pembentukan kembali
masyarakat yang bebas dari kepentingan-kepentingan primordialistik (pandangan terhadap ras, agama,
suku, jenis kelamin, dan sebagainya ynag melekat dalam individu sejak lahir). Muaranya adalah terciptanya
masyarakat “tanpa kelas” atau “masyarakat religius”, yang menjadi tujuan sejati dari “masyarakat tauhid”.
B. Persoalan Gender
Istilah kesetaraan dalam kajian isu gender lebih sering digunakan dan disukai, karena makna
kesetaraan laki-laki dan perempuan lebih menunjukkan pada pembagian tugas yang seimbang dan adil dari
laki-laki dan perempuan. Untuk lebih memberikan pemahaman akan makna kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, yang dalam hal ini sering juga disebut dengan istilah kesetaraan gender.
a. Gender
Secara Etimologi kata Gender berasal dari bahasa Inggris gender, yang berarti “jenis kelamin”
bahwa yang dimaksud dengan gender adalah : “pembagian peran, kedudukan dalam tugas antara
laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki
yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat”.
Berdasarkan definisi di atas, maka yang dikategorikan dengan gender, misalnya hal-hal berikut :
 Perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki- laki dianggap tidak pantas;
 Tugas utama laki-laki mengelola kebun, tugas perempuan ‘hanya membantu;
 Menjadi pemimpin masyarakat (lembaga adat, kepala desa, dsb) lebih pantas oleh laki-laki;
 Kegiatan PKK dan program kesehatan keluarga, lebih pantas oleh perempuan.
Gender memiliki perbedaan bentuk antara satu masyarakat dengan masyarakat lain
karena norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda.
Misalnya :

 Pekerjaan rumah tangga di hampir semua masyarakat manapun dilakukan oleh perempuan;
sedangkan di masyarakat perkotaan, mulai dianggap lumrah laki - laki dan perempuan
membagi tugas rumah tangga karena perempuan juga bekerja mencari nafkah keluarga;
 Menjadi tukang batu dianggap tidak pantas dilakukan oleh perempuan, tetapi di Bali
perempuan biasa menjadi tukang batu;
 Di kebanyakan masyarakat petani, bekerja kebun adalah tugas laki - laki, sedangkan di
sejumlah masyarakat Irian, kerja kebun merupakan tugas utama perempuan, karena berburu
adalah tugas utama laki-laki.
Gender berubah dari waktu ke waktu karena adanya perkembangan yang mempengaruhi
nilai-nilai dan norma-norma masyarakat tersebut, misalnya:

 Di Jawa Barat, sudah ada perempuan yang menjadi kepala desa karena meningkatnya
pendidikan;
 Di Sumba, laki-laki mulai membantu-bantu tugas perempuan di rumah tangga;
 Di Indonesia, sekarang sudah mulai banyak perempuan menjadi dokter, insiyur, dan
pengusaha.
Sehingga menghasilkan suatu konsepsi dasar bahwasanya Gender merupakan konstruksi
sosial, ia dibangun dan dilestarikan melalui nilai-nilai budaya, pola asuh, sistem pendidikan,
norma hukum, dan interpretasi ajaran agama.

Istilah gender seringkali tumpang tindih dengan kata seks (jenis kelamin), padahal dua
kata itu merujuk pada bentuk yang berbeda. Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua
jenis kelamin manusia yang di ditentukan secara biologis. Sedangkan gender merupakan suatu
sifat yang melekat baik untuk kaum laki-laki ataupun perempuan yang dikontruksikan secara
sosial maupun kultural. Berikut tabel perbedaan antara keduanya:

Seks Gender

Biologis, dibawa sejak lahir (nature) Dibentuk oleh sosial (nurture)

Tidak dapat diubah Dapat diubah


Bersifat universal Berbeda disetiap budaya

Sama dari waktu ke waktu berbeda dari waktu ke waktu

b. Konsep Kesetaraan Gender


Dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan seperti ditegaskan allah Swt. Dalam QS An-
Nahl: 97 yang artinya : “Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka dengan pahala yang lebih dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Munculnya isu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dilatarbelakangi adanya ketidakpuasan
perlakuan terhadap kaum perempuan. Tidak jarang dijumpai kasus-kasus yang mendeskriditkan kaum
perempuan, bahkan menghilangkan makna keberadaannya. Akan tetapi apabila melihat
kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam hal mencapai kemuliaan disisi Allah Swt., secara
tegas dalam QS al-Ahzab:35 yang artinya : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kepada laki-laki dan perempuan tidaklah dibeda-
bedakan berdasarkan jenis kelamin untuk memperoleh kedudukan yang mulia di sisi-Nya. Kedua-
duanya mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pahala maupun kedua- duanya dapat tergelincir ke
dalam dosa. Berdasarkan ayat tersebut di atas, timbul pertanyaan apakah jenis kelamin
mempengaruhi gender ? Seringkali muncul kebingungan tentang arti kodrat bagi laki-laki dan
perempuan. Kodrat perempuan menyebabkan ia memiliki tugas tertentu, begitu juga laki-laki.
c. Bias Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan (Bias Gender)
Bias gender terjadi apabila salah satu pihak dirugikan, sehingga mengalami ketidakadilan.
Yang dimaksud ketidakadilan disini adalah apabila salah satu jenis gender lebih baik keadaan, posisi,
dan kedudukannya. Bias gender tersebut bisa saja terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Akan
tetapi khususnya di Indonesia, bias gender ini lebih dirasakan oleh kaum perempuan. Sebenarnya
ketimpangan gender yang merugikan perempuan itu, secara tidak langsung dapat merugikan
masyarakat secara menyeluruh. Apabila perempuan diposisikan tertinggal, maka perempuan tidak
dapat menjadi mitra sejajar laki-laki, sehingga hubungan kedua pihak akan menjadi timpang.
Akibatnya, terjadilah ketidakserasian dan ketidakharmonisan dalam kehidupan bersama
antara laki-laki dan perempuan, baik dalam lingkungan kehidupan berkeluarga maupun dalam
lingkungan kehidupan masyarakat secara umum. Lebih jauh lagi dengan semakin tingginya tuntutan,
kesadaran, dan kebutuhan perempuan terhadap pengembangan diri, timbullah konflik, karena
perempuan membutuhkan kesempatan yang sama untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Munculnya bias gender ini (lebih banyak menimpa perempuan) diakibatkan oleh nilai-nilai dan
norma-norma masyarakat yang membatasi gerak langkah perempuan serta pemberian tugas dan peran
yang dianggap kurang penting dibandingkan jenis gender lainnya (laki-laki). Ada lima bentuk
diskriminasi yang sering terjadi yaitu : konsep teori gender By Dra, Sri Sundari.
 Marjinalisasi , yaitu Proses atau perlakuan peminggiran seseorang khususnya karena perbedaan
jenis kelamin masih terjadi. Kurangnya pemahaman seksualitas khususnya pada sistem
reproduksi kerap menjadi sasaran utamanya. Misalkan ketika seorang buruh pabrik perempuan
hamil atau melahirkan, jika ia izin tidak masuk bekerja bisa diancam potong gaji atau bahkan
pemutusan hubungan kerja. Atau masih ada anggapan suatu profesi yang dilakoni perempuan
adalah lebih cocok yang berjabatan rendah dan tidak terlalu tinggi. Alasan pandangan tersebut
adalah laki-laki akan menjadi tersingkirkan dan merasa direndahkan pula. Padahal akar
permasalahan yang memang salah adalah penyebab kuatnya budaya patriarki
 Subordinasi, Seseorang berhak meraih kesempatan yang sama dalam politik, ekonomi, sosial,
pendidikan, jabatan dan karier. Memprioritaskan penyerahan jabatan kepada seorang laki-laki
daripada perempuan yang juga memiliki kapabilitas yang sama adalah salah satu contoh
ketidakadilan. Tidak hanya menomorduakan, pandangan superioritas terhadap laki-laki untuk
sebuah jabatan tertentu harus diubah. Kemampuan kecerdasan bekerja tidak ditentukan oleh jenis
kelamin, melainkan ditentukan oleh kapasitas dan kesanggupannya memikul tanggung jawab.
 Pelabelan negatif (stereotype), Banyak stigma atau label yang melekat pada diri kita karena
konstruksi sosial di masyarakat. Misalkan saja, perempuan harus bekerja pada ranah domestik,
sedangkan laki-laki pada sektor publik. Anak laki-laki yang mudah menangis dianggap sebagai
laki-laki yang lemah atau cengeng, bukannya dianggap sebagai ungkapan emosi yang wajar.
Anak perempuan sudah sewajarnya mudah menangis dan harus selalu diberi kelembutan dan
pengistimewaan. Padahal pandangan seperti itu adalah salah karena menggeneralisasikan satu
sifat tertentu kepada semua orang. Pandangan atau label yang diberikan selama ini harus diubah
dan membutuhkan pendewasaan untuk tatanan gender yang baik di masyarakat
 Kekerasan (Violence), Seseorang yang diperlakukan kasar bukan dianggap sebagai subjek, tetapi
objek yang wajar dijadikan pelampiasan. Telah banyak kasus yang tercatat bahwa perempuan
sering dijadikan objek kekerasan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Tindakan tersebut
terjadi karena masih ada anggapan kuasa dan superioritas laki-laki terhadap perempuan.
 Beban berlebih (Double burden), Biasanya sering terjadi dalam ranah rumah tangga, perempuan
yang berkarier di luar harus mengurus urusan domestik juga tanpa bantuan siapapun. Pembagian
kerja tanpa kesepakatan seperti ini masih sering dialamatkan kepada perempuan sebagai
korbannya. Bukannya malah saling membantu, ada pula laki-laki atau suami yang tidak
membantu urusan rumah tangganya sendiri.
C. Landasan Teologis
Pertama, ditinjau dari kejadian perempuan dan laki-laki, yang merupakan kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan, saling melengkapi, Allah berfirman “yang telah menciptakan kamu dari satu, dan
darinya Allah ciptakan istrinya” (Q.S An-Nisa:1). Demikian pula dalam proses penciptaan Allah SWT.
menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan mengalami pengusiran dari Surga bersama-sama, keduanya
terkena godaan syetan yang mengatakan: “Sesungguhnya aku adalah termasuk yang memberi nasihat
kepada kamu berdua” (Q.S Al-A’raf:21), “Maka keduanya memakan buah dari pohon itu” (Q.S. At-
Thaha: 121).
Kedua, ditinjau dari nilai dan kualitas, baik positif maupun negatif, laki-laki dan perempuan
“sesungguhnya laki-laki dan perempuan yag muslim dan muslimat, laki-laki perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kemaluannya, laki-laki dan perempuan yang banayak menyebut (nama) Allah, untuk mereka
Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab: 35).
Demikian pula Allah telah mengatakan bahawa tolak ukur amal utama dalam Islam adalah
ketaqwaan kepada Allah dan seberapa dekat dan jauh dariNya, seperti tercantum dalam Q>S AL-Hujurat:
13, “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara sisi kamu disisi Allah adalah orang yang saling bertaqwa diantara
kamu.”
D. Sejarah KOPRI
Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Putri (KOPRI) memiliki perjalanan cukup panjang dalam
perkembangannya. Berdirinya Badan Semi Otonom (KOPRI) tidak berbarengan dengan PMII, namun
yang lahir dan ada saat itu hanya sebuah departemen Keputrian, tepatnya pada Kongres III PMII pada
tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur. Hal ini disebabkan, bukan karena peran perempuan
yang dianggap lebih kecil dari laki-laki, melainkan dari kepraktisan semata. Dimana seorang perempuan
dalam departemen keputrian hanya memiliki fokus memusatkan perhatiannya untuk menangani masalah-
masalah yang berkaitan dengan dunianya sendiri. Namun, tidak menutup kemungkinan perempuan juga
bisa menempati posisi di Struktur PMII meski hanya dengan jumlah yang minoritas.

Sebagai jawaban dari adanya keinginan-keinginan yang dimiliki perempuan untuk memiliki ruang
sehingga dapat bergerak, beraktivitas serta berpendapat dengan bebas. Korps Pergerakan mahasiswa Islam
Indonesia Putri (KOPRI) lahir pada 25 November 1967 di Semarang dengan status semi otonom. Selain itu,
adanya KOPRI juga sebagai follow up atas dilaksanakannya training Kursus Keputrian di Jakarta pada 16
Februari 1966 yang melahirkan panca norma KOPRI. yang berisi sebagai berikut:

a. Tentang Emansipasi
 Emansipasi wanita berarti memberikan hak-hak dan kesempatan kepada wanita
sederajat, setingkat dan seirama dengan kaum pria. Bukan merupakanpemberian hak-hak
istimewa karena penghargaan atau perbedaan naluri fitriahnya justru karena dia wanita
 Tuntutan akan hak-hak wanita, meliputi segala segi kehidupan baik politik sosial
ekonomi, maupun kebudayaan. Hak-hak ini diberikan adalah merupakan tuntutan nurani
yang mendorong manusia berkeinginan, berkehendak dan berbuat sebagai realisasi dan
manifestasi dari pada ajaran Islam.
 Perjuangan hidup baik di dalam bidang politik, sosial ekonomi maupun kebudayaan
adalah suatu tuntutan yang bagi kita mempunyai ukuran-ukuran yaitu yang didasarkan
atas perbedaan struktur rohaniah jasmaniah dan kondisi ruang dan waktu.
 Pembatasan atas hak adalah kewajiban yaitu suatu langkah dan tindakan yang harus
ditempuh lebih dulu. Ini berarti bahwa kewajiban harus mendapat tempat yang lebih
utama daripada tuntutan akan hak.
 Manifestasi daripada itu ialah pengorbanan kaum perempuan untuk berjuang menyelami
dan terjun dalam langkah perjuangan politik, sosial ekonomi, kebudayaan, dalam mana
kewajiban seorang putri telah terpenuhi dan akan berjalan seiring dengan hak-hak yang
dituntutnya.
b. Tentang Etika Wanita Islam
 Ajaran tentang hak batal, benar salah, baik buruk, bermoral immoral adalah suatu
persoalan etika. Etika yang dimaksudkan adalah Al-Qur‟an dan Assunnah, yaitu etika
Islam. Etika yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan, baik dalam bentuk
pengabdian kepada Tuhan maupun berhubungan antar manusia dengan manusia, dan
perkembangan kebudayaannya.
 Pengabdian kepada Tuhan adalah suatu bentuk pengabdian yang tertinggi dan
merupakan gerak hidup yang disandarkan atas taqwallah dengan beramar ma‟ruf nahi
munkar membabat jiwa keimanan, keikhlasan serta tawadlu‟ dan khusuk.
 Hubungan antar manusia diperlukan keharmonisan, keserasian dan penyesuaian akan arus
perkembanagan dan perubahan zaman berpegang kepada ajaran agama dan etiket
pergaulan adalah suatu kemutlakan, sehingga pprinsip perorangan yang tidak hanyut
terseret oleh arus yang tanpa arah dapat terkendalikan secara positif.
 Etiket pergaulan yang diartikan dengan “Tata Cara Pergaulan” mempunyai arti relatif,
anggapan sopan bagi suatu bangsa akan berbeda dengan bangsa lain, dan pandangan
benar bagi suatu ajaran pun menempatkan hal yang sama. Garis penegas yang positif bagi
realisasi bentuk-bentuk itu adalah pandangan agama, suatu ajaran yang mempunyai
norma-norma hukum nasional maupun internasional.
 Arus budaya yang senantiasa berkembang akan senantiasa mendapatkan tempat dalam
masyarakat. Posisi menarik bukan lebur tertarik adalah suatu norma bagi PMII,
perkembanagn budaya sebagai hasil pikiran harus diarahkan, diisi dan dijiwai ajaran
agama, moral nasional dan kepribadian bangsa.

c. Tentang Watak PMII Putri dalam Kesatuan dan Totalitas Berorganisasi


 PMII Putri adalah bagian dan organ organisasi yang tak terpisahkan dari PMII. Ia sebagai
organ bukan merupakan kesatuan yang terpisahkan dan berdiri sendiri dalam kesatuan
tubuh. Tetapi ia merupakan suatu paduan dan persenyawaan yang tanpa melarutkan sifat
dan ciri-ciri kewanitaannya yang dibawanya sebagai fitrah dan kondisi potensial yang
dimilikinya.
 Sebagai organ yang tak terpisahkan ia melakukan perjuangan yang senada dan seiring,
selangkah dan seirama, maju dalam berbagai bidang tujuan organisasi, bidang
kepemimpinan dan interdepartemental merupakan suatu bentuk-bentuk lapangan
perjuangan yang mendapat sorotan dan hak memanfaatkan akan perjuangan yang
mendapat akan tuntutan sosial wanita dimana tugas-tugas dan peranan organisasi tak
dibedakan.
 Sebagai mahasiswa putri Islam, walaupun merupakan kesatuan organ yang tak
terpisahkan, tetapi ia mempunyai sikap hidup dan pandangan dan langkah serta tindakan
yang berbeda dengan mahasiswa-mahaiswa di luar islam, bahkan berbeda dengan
mahasiswa-mahasiswa putri di luar Ahlussunnah Wal Jamaah
 Suatu kesatuan dalam totalitas berorganisasi adalah suatu bentuk antara PMII putri dan
PMII putra merupakan suatu paguyuban. Tetapi garis pemisah yang terbatas dengan
norma dan kaedah-kaedah agama suatu tuntutan mutlak yang memberikan tabir dan
benteng ukuran moral dan watak positif sehingga moral dan amalan syariat Islam
terjamin karenanya.
d. Tentang Partisipasi PMII Putri terhadap Neven-neven Organisasi
 Sebagai organ yang memihak pada ideologi partai maka neven organisasi yang berafiliasi
terhadap partai adalah juga alat perjuangan yang senada dan seirama, seiring dan
berdampingan dalam mencapai tujuan bersama dan tujuan yang sama.
 Sikap masa bodoh, sikap rendah diri, sikap penakut dan nrimo adalah suatu bentuk yang
tidak seharusnya ada bagi PMII Putri, justru emansipasi wanita maka sifat-sifat
kerendahan itu dapat dilenyapkan.
 Atas dasar tanggungjawab yang mendalam terhadap agama, bangsa dan revolusi, maka
partisipasi terhadap neven-neven organisasi sebagai alat partai dan revolusi terutam
organisasi wanita adalah kemutlakan yang tak dapat dielakan adanya.
 Usaha-usaha konkrit kearah itu dapat dilakukan ialah turut meningkatkan kemampuan-
kemampuan dan daya perjuangan dalam berorganisasi khususnya terhadap Muslimat,
Fatayat, IPPNU baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, perkembanagan kebudayaan,
maupun dalam bidang-bidang yang lebih luas dengan didasarkan atas kondisi, tempat dan
waktu sekarang.
 Bidang-bidang praktis yang dapat dilakukan dlam usaha partisipasi ini meliputi bidang-
bidang organisasi, administrasi, latihan-latihan kepemimpinan, pendidikan dan
pengajaran, keubudayaan, dakwah Islam dalam perkembangan organisasi, maupun dalam
berbagai bentuk sosial kemasyarakatan yang lain yang menyangkut peri hidup wanita
dalam hubungannya dengan perjuangan agama dan revolusi.
e. Tentang Partisipasi PMII Putri terhadap Kegiatan-kegiatan Masyarakat
 Pengabdian kepada masyarakat adalah merupakan suatu amanat Tuhan. Ia merupakan
amal ibadah kalau pengabdiaannya itu diiringi niat yang ikhlas danpembaktian kepada
Tuhan. Jurang pemisah anatara perkuliahan dan masyarakat mutlak ditolak dan organisasi
berarti jembatan emas penghubung antara keduanya.
 PMII Putri sebagai mahasiswa dan anggota masyarakat, akan menyatukan dwi tunggal
antara ilmu dan amal, antara teori dan perbuatan, berusaha merelaisasikan satunya kata
dan perbuatan serta ikut serta secara aktif dalam seluruh kegiatan dan aktifitas
masyarakat selagi ia tidak bertentangan dengan norma-norma agama.
 PMII Putri sebagai wanita realistik, mampu menyelesaikan tugas-tugas kemasyarakatan,
dan tugas-tugas ini akan diselesaikan kalau tugas-tugas dan bentuk-bentuk kegiatan-
kegiatan masyarakat itu semata-mata mengarah kepada kepentingan agama, nusa, bangsa
dan revolusi.
 Secara konkrit ia akan mendharmabaktikan dalam seluruh bentuk kehidupan, baik dalam
bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan maupun dalam perkembangan kebudayaan.
 Suatu pembaktian yang mesti dituntut lebih dahulu agar tidak menyimpang dari norma-
norma agama, revolusi dan kemasyarakatan, adalah usaha mutlak untuk mempelajari
hukum-hukum dan ajaran agama. Doktrin revolusi dan pengetahuan masyarakat
Indonesia.

Selanjutnya, KOPRI sebagai wajah mobilisasi perempuan yang berguna untuk mengorganisir
kekuatan perempuan PMII sehingga bisa menopang organasisasi yang menaunginya. Akan tetapi dalam
masalah. Gagasan yang ada menganggap otonomisasi di tingkat pusat melihat adanya dualisme organisasi,
karena KOPRI memliki program dan kebijakan yang berbeda dengan PMII. Beberapa orang berpendapat,
dampak Positif adanya hal tersebut KOPRI telah bergerak membawa PMI menuju organisasi Mandiri.
Namun Negatifnya KOPRI dianggap sebagai pelanggaran konstitusi dan menjadi kendaraan politik menuju
posisi strategis di PMI.

Realitas KOPRI tersebut tidak lepas dari bagaimana paradigma perempuan Indonesia dalam
pergerakannya. Sruktural perempuan yang awalnya devisi keputrian, namun dengan kebutuhan adanya
kualitas dan kuantitas sehingga membentuk KOPRI, sebagai upaya peningkatan partisipasi perempuan serta
pengembangan wawasan Wilayah kerja sosial kemasyarakatan. Orientasi sahabat-sahabat pendiri saat itu,
KOPRI lahir supaya kaum perempuan cukup mampu dalam menentukan kebijakan tanpa harus mengekor
kepada laki-laki. Sehingga artinya KOPRI berdiri dan berkembang bukan berarti hanya terpicu oleh
keinginan pragmatis, meskipun KOPRI bagian dari NU yang saat itu masih menjadi partai, namun itu
semua tidak ada kaitannya sama sekali.

Pada masa orde baru trend isu suara perempuan turun tensinya untuk menuju pada titik kulminasi
terendah, sangat melemah. Bukan merupakan suatu masalah bagi KOPRI, pada gerakan PMII yang masih
agresif keterpurukan KOPRI bisa ditutupi dengan baik. Kepemimpinan sahabat Khofifah, Jakarta, 28
Oktober 1991 dengan nilai kader koprinya dibentuk pola kaderisasi yakni Latihan Kader Kopri (LKK) dan
Latihan Pelatihan Kader KOPRI (LPKK) kemajuan KOPRI kala itu.

Dalam perkembangannya PMII selangkah lebih maju dari rekapitalisasi gerakan. Lain hal dengan
KOPRI yang mengalami kemunduran kehilangan orientasi dan distorsi paradigma. Sebelum mengalami
masa-masa vakum, KOPRI juga pernah dilakukan pembubaran tepatnya dari tahun 1973 hingga 1988.
Pembubaran KOPRI ini disebabkan karena kegiatannya yang masih tidak berkembang sehingga tidak
melakukan LPJ an. Selanjutnya pada tahun 2000 dengan adanya Kongres XII di Medan KOPRI dibubarkan
berdasarkan hasil voting yang hanya berbeda satu suara saja. Merasa pengalaman pahit itu, terasa bahwa
kader-kader perempuan PMII pasca kongres di Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak
menentu, maka oleh sebab itu kader-kader perempuan PMII menganggap perlu adanya wadah kembali,
Kongres XIII di Kutai Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003 sebagai momentum yang tepat
untuk memprakarsai adanya wadah, terbentuklah Kelompok Kerja (POKJA) Perempuan dan kemudian
lahirlah kembali KOPRI di Jakarta pada tanggal 29 September 2003.

Berdasarkan Kongres XIV Kutai Kertanegara KALTIM membuat pertemuan POKJA perempuan
PMII tanggal 26-29 September 2003 yang menetapkan kembali KOPRI. Dengan visi: Terciptanya masyarat
yang berkualitas berlandaskan kesetaraan dan menjunjungkan tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Misi:
Mengidiologikan nilai gender dan mengkonsolidasikan gerakan perempuan di PMII untuk membangun
masyarakat berkeadilan gender.

Tabel sejarah Gerakan KOPRI

No Periodesasi Gerakan Gagasan

1. 1960 – 1966 Devisi keputrian Gerakan perempuan PMII lebih


fokus memusatkan perhatian menangani
masalah-masalah perempuan dan sebatas
menjahit, memasak dan
mengenai masalah dapur.
2. 16 Februari 1966 Training Korsus Keputrian Panca Norma KOPRI dan menelurkan
gagasan pembentukan badan Semi
Otonom PMII (KOPRI)
3. 25 November 1967 Dibentuk KOPRI Mengorganisir kekuatan kader perempuan
PMII serta menjadi ruang
gerak dalam mengeluarkan pendapat dan
beraktifitas sebatas emansipasi
perempuan dalam bidang sosial dan
masyarakat.

4. 1973-1988 KOPRI dibubarkan Dengan alasan kegiatannya stagnan


sehingga tidak melakukan LPJ
5. 1988 Sistem Kaderisasi LKK & Dibentuk sistem kaderisasi yang
LPKK sistematis terdiri dari Kurikulum dan
Pelaksanaan LKK (Latihan Kader
KOPRI) dan LPKK (Latihan Pelatih
Kader KOPRI).
Adanya panduan KOPRI berupa PDPRT
6. 28 Oktober 1991 Lahirnya NKK Lahir NKK (Nilai Kader KOPRI) Buku
Perempuan di Garis Depan

7. 2000 KOPRI mengalami Buku KOPRI Menantang Perubahan


kevakuman (Kongres XIII,
di Medan)
8. 2000 KOPRI vakum Penvakuman KOPRI pada Kongres XIII
tahun 2000 di Medan.
9. 2003 (Kongres XIV) Kaltim Kongres XIV di Kutai Kertanegara
Amanat Pertemuan POKJA Kalimantan Timur mengamanatkan
Perempuan membuat pertemuan POKJA Perempuan
PMII
10. 26-29 September 2003 Gagasan dilahirkan kembali Gagasan dilahirkan keorganisasian wadah
perempuan.
11. 29 September 2003 Lahirnya kembali Dibentuk kembali keorganisasian wadah
perempuan yang bernama
KOPRI (Korps PMII Putri) dengan Visi
terciptanya masyarakat yang
berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan Misinya adalah
mengidiologisasikan gender dan
mengkonsolidasikan gerakan perempuan
di PMII untuk membangun masyarakat
yang
berkeadilan gender.
12. 2008 KOPRI PB KOPRI menyelenggarakan
konsolnas di Jakarta, sosialisasi draft
modul kaderisasi KOPRI (namun
sayang modul tersebut tidak
terdokumentasi terlebih
diimplementasikan karena diberikan di
akhir kepengurusan dan tidak
disampaikan di forum yang mengikat
seperti Muspimnas atau Kongres).
-Sosialisasi Buku “Mengurai
Kepemimpinan Perempuan”.

13. 2011 KOPRI PB KOPRI menyelenggarakan


konsolnas di Bekasi,
salah satu rekomendasi komisi kaderisasi
adalah harus diadakan SKK
(Sekolah Kader KOPRI) yang dibawa ke
kongres Kalsel dan menjadi mandat dari
keputusan kongres.
14. 2011-2014 KOPRI Uji coba pelaksanaan SKK di
beberapa region. KOPRI daerah masing-
masing membuat sistem kaderisasi
KOPRI (Tidak
terkonsentrasi pada buku/modul tunggal
kaderisasi KOPRI karena
belum dalam bentuk buku/modul baru
sebatas kerangka kurikulum).
15. 2014 Kongres XVII Lahirnya Ideologi Politik KOPRI PB PMII menyusun panduan PPK
Organisasi KOPRI Dan (Penyelenggaraan dan
Narasi Gerakan Perempuan Pelaksanaan KOPRI)
Feminisme ASWAJA
16. 2015 KOPRI KOPRI PB PMII mensistematiskan buku
tunggal kaderisasi nasional
KOPRI menunaikan mandat
kongres Jambi.

17. 2015 KOPRI KOPRI PB PMII membuat buku dakwah


KOPRI sebagai panduan
dalam melakukan gerakan kultural
KOPRI dalam mengahadapi kencangnya
islam transnasional dan
arus globalisasi.
18. 2015 KOPRI KOPRI PB PMII membuat buku panduan
advokasi sekaligus lembaga
LP3A (Lembaga Perlindungan dan
Pemberdayaan Perempuan & Anak)
19. 2016 KOPRI KOPRI PB PMII menyusun modul SIG
(Sekolah Islam dan Gender) sebagai
ikhtiar untuk menyamakan persfektip
Gender di tubuh KOPRI-
PMII tentunya dalam bingkai Islam Ahlu
Sunnah Waljama‟ah.

1. Landasan Normatif
MUSPIMNAS 2019 No. 14 Tentang PPPK
PO KOPRI bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 & 2
Pasal 2 penjelasan PPPK
Bab II Pasal 3 Tentang Struktur Organisasi
Bab III Pasal IV Pola Hubungan
MUSPIMCAB 2019 No. 13 Tentang KOPRI PC PMII Jember
PO KOPRI bab I pasal 1 ayat 2 pengertian Kopri, ayat 3 tentang badan semi otonom
Bab II Pasal 2 Struktur Organisasi
Bab III Pasal 3 Pola Hubungan
Peraturan KOPRI PB PMII No. 2 Tahun 2014 PPK
Bab II Pasal 2 => Nama Kopri
Pasal 3 => Waktu & Tempat Kedudukan
Bab III Pasal 4 => Status Kopri
Pasal 5 => Tujuan Kopri
“Terbentuknya pribadi muslimah Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap,
dan bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan
Indonesia.”
Bab IV Pasal 6 => Fungsi Kopri
Ayat 1 = berfungsi sebagai badan pengembangan perempuan
Ayat 2 = berfungsi sebagai organisasi mahasiswi
Pasal 7 => Usaha Kopri
Pasal 8 => Peran Kopri : sebagai pendidik dan penggerak PMII putri untuk menegakkan dan mengembangkan
nilai-nilai keilmuan, keIslaman, dan keIndonesiaan.
Anggaran Rumah Tangga (ART) PMII
Bab VII Tentang Kuota Kepengurusan
Pasal 20 : ayat (1) kepengurusan disetiap tingkat harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3
keseluruhan anggota pengurus . ayat (2) setiap kegiatan PMII harus menempatkan anggota perempuan
minimal 1/3 dari keseluruhan anggota.
Bab VIII Tentang Pemberdayaan Perempuan PMII
Pasal 21 : ayat (1) Pemper PMII diwujudkan dengan pembentukan wadah perempuan yaitu KOPRI, dan ayat
(2) wadah perempuan tersebut diatur dalam PO.
2. Visi Misi KOPRI
 Visi
Visi kopri adalah terciptanya masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi
nilai nilai kemanusiaan.
 Misi
Misi kopri adalah mengideologisasikan nilai keadilan gender dan mengkonsolidasikan gerakan perempuan
di PMII untuk membangun masyarakat berkeadilan gender.
3. Ketua umum KOPRI dari Masa ke Masa
1) Ismi Maryam BA (1967-1970)
2) Zalzilah Rahman BA (1971)
3) Siti Fatimah Bsc ( 1972)
4) Adibah Hamid (1973)
5) Wus’ah Suralaga (1973-1977)
6) Choirunnisa Yafishsham (1977)
7) Fadilah Suralaga (1977-1981)
8) Ida Farida (1981)
9) Lilis Nurul Husna (1981-1984)
10) Iis Kholilah (1985-1988)
11) Iriani Suaida (1988)
12) Dra. Khofifah Indar Parawangsa (1988-1991)
13) Dra. Ulha Soraya (1991)
14) Jauharoh Haddad (1991-1994)
15) Diana Mutiah (1994-1997)
16) Luluk Nur Hamidah ( 1997-2000)
17) Umi Wahyuni (2000-2003)
18) Efri Nasution (2003)
19) Winarti (2003-2005)
20) Ai’ Maryati Shalihah (2005-2007)
21) Eem Marhamah (2008-2010)
22) Irma Muthoharoh (2010-2013)
23) Ai Rahmayanti (2014-2016)
24) Septi Rahmawati (2017-2019)
25) Maya Muizatil Lutfillah (2021-2023)
4. Strategi Pengembangan KOPRI dan Upaya Pemberdayaan Perempuan dalam Organisasi PMII
a. Strategi Internal
Strategi awal yang dilakukan adalah strategi dalam pengembangan internal. Sebuah
organisasi menjadi cukup strategis, karena terdapat sistem yang mengatur bagaimana strategi
dibangun, kepemimpinan bekerja dan mekanisme diatur. Jadi, gerakan betul- betul terarah dan
terpimpin. Dan, semua elemen-elemen penting dalam organisasi tersebut, (tidak peduli apakah
organisasinya besar atau kecil) semua elemen itu harus dikelola. Pengelolaan terhadap elemen-
elemen organisasi itu disebut manajemen organisasi dan ketika menetapkan organisasi sebagai
media gerakan, kita pun harus menatanya sebagai organisasi gerakan. Individu yang bertugas
mengelolanya disebut Manajer Organisasi dan peran ini melekat dalam diri para pengurus
organisasi. Beberapa langkah penting yang seharusnya dilakukaan dalam strategi pengembangan
Internal :
a. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
b. Penguatan Institusi KOPRI
c. Penguatan jaringan alumni KOPRI
d. Penguatan Ideologi dan narasi KOPRI
b. Strategi Eksternal
Pengembangan Organisasi Eksternal adalah upaya aksi dan konsolidasi Gerakan
KOPRI dalam rangka menuju masyarakat yang berkeadilan Gender. Dalam faktor
eksternal, KOPRI merupakan sebuah institusi yang intens dengan persoalan-persoalan
perempuan. Ini menjadi tantangan bagi KOPRI untuk terus melakukan penguatan
organisasi dan individu kader untuk dapat terjun langsung melakukan perubahan dalam
konteks sosial. Bukan hanya itu, KOPRI pun akan dihadapkan dengan lembaga lain yang
juga konsen dengan persoalan-persoalan perempuan (Derpartemen Pemerintahana, LSM,
dll.) KOPRI harus mampu mengkonsolidasikan diri bahkan me-leading baik gagasan
maupun gerakan sampai ke Grass root.

Anda mungkin juga menyukai