A. Fitrah Perempuan
Secara etimologis pengertian perempuan berasal dari kata empu yang artinya “tuan”, orang yang
mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar. Dalam buku Zaitunah Subhan, perempuan berasal
dari kata “empu” yang artinya dihargai. Para ilmuwan seperti Plato, mengatakan bahwa perempuan ditinjau
dari segi kekuatan fisik maupun spiritual, mental perempuan lebih lemah dari laki-laki, tetapi perbedaan
tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam bakatnya, sedangkan secara biologis, dari segi fisik,
perempuan dibedakan atas perempuan lebih kecil dari laki-laki, suaranya lebih halus, perkembangan tubuh
perempuan terjadi lebih dini, sikap pembawaan yang kalem, bahkan lebih cepat menangis. Dalam konsep
gender, hal tersebut dikatakan bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik kaum laki-laki maupun
perempuan merupakan hasil dari konstruksi sosial dan kultural. Perempuan menurut kodratnya merupakan
orang (manusia) yang dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Dari pengertian tersebut
menghadirkan kesadaran akan kebesaran Allah SWT. terhadap makhluk ciptaan-Nya yang disebut
perempuan.
Sejalan dengan perkembangan tata kehidupan berbangsa dan bernegara di lingkungan dunia
internasional, maka suatu negeara dalam mempertahankan eksistensi atau kelangsungan hidupnya
memerlukan perjuangan seluruh bangsa untuk mencapai atau mempertahankan kelestarian teritorialitas atau
kedaulatan teritorialnya. Menyadari adanya kompleksitas permasalahan, baik isu mengenai tapal batas
(border), keamanan nasional (national security) atau keamanan manusia (human security) perlu adanya satu
pemahaman wawasan nusantara didalam menentukan kebijakan. Guna mengatasi berbagai permasalahan-
permasalahan tersebut di atas dan menghadapi pengaruh perkembangan lingkungan strategis yang diwarnai
arus globalisasi dan gelombang reformasi, maka diperlukan suatu rumusan kebijakan/strategi geopolitik
Indonesia yang handal.
Kondisi ini juga membawa dampak yang sangat besar bagi perempuan sesuai dengan perkembangan
zaman dan peradaban. Kondisi perempuan masih sangat diperhitungkan dalam segala aspek, sosial, budaya,
dan politik. Pembatasan ruang dan waktu perempuan menjadi asset yang sangat berharga, dimana posisi
perempuan masih didomestifikasikan baik dalam ruang publik maupun ruang privat. Manusia berjenis
kelamin perempuan tidak mampu menentukan hidupnya sendiri, anggapan-anggapan umum tentang
perempuan yang lemah, lembut, patuh, penurut, penyabar, penyayang, dan justifikasi lainnya. Membuat
perempuan terlemahkan secara sistematis ditambah prasangka ini telah mendapat penguatan secara struktur
masyarakat terwujud dalam bentuk kebiasaan dan menjadi norma-norma yang berlaku saat ini.
Sebagai paradigma Islam, Al-Qur’an diposisikan sebagai sumber aturan (norma dan nilai) yang
universal, yang bersendikan keadilan, kemaslahatan dan menghargai harkat dan derajat kemanusiaan. Al-
Qu’an sebagai wahyu yang adil, kemudian pada abad ke-7 M diturunkan di kawasan Arabia yang secara
sosiologis mesyarakatnya memiliki konstruk dan persepsi kebudayaan yang diskriminatif mengenai
perempuan. Kebiasaan yang bisa dicatat dari budaya tersebut terhadap perempuan adalah pembunuhan
bayi, pelecehan sesksual terhadap perempuan, peniadaan hak waris bagi kaum perempuan, poligami tanpa
batas, bahkan sampai menceraikan perempuan sesuai lelaki, dan lain sebagainya.
Islam hadir dengan weltanschauung (pandangan hidup). Sebab ketentuan-ketentuan kultural dalam
ketimpangan penilaian antara perempuan dan laki-laki, akan bertentangan dengan skala fungsi al-Qur’an
sendiri ynag bersifat universal, lintas kultural, melampaui batas ruang dan waktu. Dalam pemahaman
demikian, kita akan menemukan optimisme bahwa Islam melalui al-Qur’an dan Hadist bertendensi ke arah
pembebasan perempuan. Ajaran-ajaran tampak kritik dan koreksi terhadap budaya dominasi laki-laki atas
perempuan. Perempuan didudukkan secara setara dengan laki-laki (Q.S. al-Baqarah (2): 228). Baik laki-
laki maupun perempuan di hadapan Allah adalah sama; mereka memiliki asal usul hidup yang sama (Q.S.
an-Nisa (4):1), sama-sama makhluk (ciptaan) Allah yang mengemban fungsi ganda sebagai hamba Allah
(‘abdillah) (Q.S. adz-Dzariyat (51):56) dan khalifah Allah (khalifatullah fi al-ardl) (Q.S. al-Baqarah
(2):30). Keduanya dimuliakan Allah secara setara (Q.S. al-Isra’ (17):70), dan satu sama lain ibarat pakaian
yang saling membutuhkan, melengkapi dan menyempurnakan; tak akan sempurna tanpa kehadiran yang
lain (Q.S. al-Baqarah (2): 187).
Perbedaan mereka dihadapan Allah adalah masalah kualitas kerja, amal, iman, dan ketakwaan, bukan
karena faktor jenis kelamin (Q.S. al-Hujurat (49):13). Adapun keunggulan yang diberikan Allah kepada
satu sama lain atau kepada laki-laki dan perempuan, sebagaimana dinyatakan dalam surat an-Nisa’ (4):34,
bukanlah superioritas jenis kelamin. Itu karena fungsi-fungsi sosial yang telah dikonstruksi sedemikian
rupa oleh kebudayaan masyarakat yang berkembang.
Dengan demikian, perempuan kembali kepada fitrahnya. Al-Qur’an berusaha menekankan kembali
titik perhatian paling essesial, yakni keadilan sosial dengan priorotas utama pembebasan kelompok-
kelompok lemah dan massa tertindas, termasuk didalamnya kaum perepmpuan; pembentukan kembali
masyarakat yang bebas dari kepentingan-kepentingan primordialistik (pandangan terhadap ras, agama,
suku, jenis kelamin, dan sebagainya ynag melekat dalam individu sejak lahir). Muaranya adalah terciptanya
masyarakat “tanpa kelas” atau “masyarakat religius”, yang menjadi tujuan sejati dari “masyarakat tauhid”.
B. Persoalan Gender
Istilah kesetaraan dalam kajian isu gender lebih sering digunakan dan disukai, karena makna
kesetaraan laki-laki dan perempuan lebih menunjukkan pada pembagian tugas yang seimbang dan adil dari
laki-laki dan perempuan. Untuk lebih memberikan pemahaman akan makna kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, yang dalam hal ini sering juga disebut dengan istilah kesetaraan gender.
a. Gender
Secara Etimologi kata Gender berasal dari bahasa Inggris gender, yang berarti “jenis kelamin”
bahwa yang dimaksud dengan gender adalah : “pembagian peran, kedudukan dalam tugas antara
laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki
yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat”.
Berdasarkan definisi di atas, maka yang dikategorikan dengan gender, misalnya hal-hal berikut :
Perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki- laki dianggap tidak pantas;
Tugas utama laki-laki mengelola kebun, tugas perempuan ‘hanya membantu;
Menjadi pemimpin masyarakat (lembaga adat, kepala desa, dsb) lebih pantas oleh laki-laki;
Kegiatan PKK dan program kesehatan keluarga, lebih pantas oleh perempuan.
Gender memiliki perbedaan bentuk antara satu masyarakat dengan masyarakat lain
karena norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda.
Misalnya :
Pekerjaan rumah tangga di hampir semua masyarakat manapun dilakukan oleh perempuan;
sedangkan di masyarakat perkotaan, mulai dianggap lumrah laki - laki dan perempuan
membagi tugas rumah tangga karena perempuan juga bekerja mencari nafkah keluarga;
Menjadi tukang batu dianggap tidak pantas dilakukan oleh perempuan, tetapi di Bali
perempuan biasa menjadi tukang batu;
Di kebanyakan masyarakat petani, bekerja kebun adalah tugas laki - laki, sedangkan di
sejumlah masyarakat Irian, kerja kebun merupakan tugas utama perempuan, karena berburu
adalah tugas utama laki-laki.
Gender berubah dari waktu ke waktu karena adanya perkembangan yang mempengaruhi
nilai-nilai dan norma-norma masyarakat tersebut, misalnya:
Di Jawa Barat, sudah ada perempuan yang menjadi kepala desa karena meningkatnya
pendidikan;
Di Sumba, laki-laki mulai membantu-bantu tugas perempuan di rumah tangga;
Di Indonesia, sekarang sudah mulai banyak perempuan menjadi dokter, insiyur, dan
pengusaha.
Sehingga menghasilkan suatu konsepsi dasar bahwasanya Gender merupakan konstruksi
sosial, ia dibangun dan dilestarikan melalui nilai-nilai budaya, pola asuh, sistem pendidikan,
norma hukum, dan interpretasi ajaran agama.
Istilah gender seringkali tumpang tindih dengan kata seks (jenis kelamin), padahal dua
kata itu merujuk pada bentuk yang berbeda. Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua
jenis kelamin manusia yang di ditentukan secara biologis. Sedangkan gender merupakan suatu
sifat yang melekat baik untuk kaum laki-laki ataupun perempuan yang dikontruksikan secara
sosial maupun kultural. Berikut tabel perbedaan antara keduanya:
Seks Gender
Sebagai jawaban dari adanya keinginan-keinginan yang dimiliki perempuan untuk memiliki ruang
sehingga dapat bergerak, beraktivitas serta berpendapat dengan bebas. Korps Pergerakan mahasiswa Islam
Indonesia Putri (KOPRI) lahir pada 25 November 1967 di Semarang dengan status semi otonom. Selain itu,
adanya KOPRI juga sebagai follow up atas dilaksanakannya training Kursus Keputrian di Jakarta pada 16
Februari 1966 yang melahirkan panca norma KOPRI. yang berisi sebagai berikut:
a. Tentang Emansipasi
Emansipasi wanita berarti memberikan hak-hak dan kesempatan kepada wanita
sederajat, setingkat dan seirama dengan kaum pria. Bukan merupakanpemberian hak-hak
istimewa karena penghargaan atau perbedaan naluri fitriahnya justru karena dia wanita
Tuntutan akan hak-hak wanita, meliputi segala segi kehidupan baik politik sosial
ekonomi, maupun kebudayaan. Hak-hak ini diberikan adalah merupakan tuntutan nurani
yang mendorong manusia berkeinginan, berkehendak dan berbuat sebagai realisasi dan
manifestasi dari pada ajaran Islam.
Perjuangan hidup baik di dalam bidang politik, sosial ekonomi maupun kebudayaan
adalah suatu tuntutan yang bagi kita mempunyai ukuran-ukuran yaitu yang didasarkan
atas perbedaan struktur rohaniah jasmaniah dan kondisi ruang dan waktu.
Pembatasan atas hak adalah kewajiban yaitu suatu langkah dan tindakan yang harus
ditempuh lebih dulu. Ini berarti bahwa kewajiban harus mendapat tempat yang lebih
utama daripada tuntutan akan hak.
Manifestasi daripada itu ialah pengorbanan kaum perempuan untuk berjuang menyelami
dan terjun dalam langkah perjuangan politik, sosial ekonomi, kebudayaan, dalam mana
kewajiban seorang putri telah terpenuhi dan akan berjalan seiring dengan hak-hak yang
dituntutnya.
b. Tentang Etika Wanita Islam
Ajaran tentang hak batal, benar salah, baik buruk, bermoral immoral adalah suatu
persoalan etika. Etika yang dimaksudkan adalah Al-Qur‟an dan Assunnah, yaitu etika
Islam. Etika yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan, baik dalam bentuk
pengabdian kepada Tuhan maupun berhubungan antar manusia dengan manusia, dan
perkembangan kebudayaannya.
Pengabdian kepada Tuhan adalah suatu bentuk pengabdian yang tertinggi dan
merupakan gerak hidup yang disandarkan atas taqwallah dengan beramar ma‟ruf nahi
munkar membabat jiwa keimanan, keikhlasan serta tawadlu‟ dan khusuk.
Hubungan antar manusia diperlukan keharmonisan, keserasian dan penyesuaian akan arus
perkembanagan dan perubahan zaman berpegang kepada ajaran agama dan etiket
pergaulan adalah suatu kemutlakan, sehingga pprinsip perorangan yang tidak hanyut
terseret oleh arus yang tanpa arah dapat terkendalikan secara positif.
Etiket pergaulan yang diartikan dengan “Tata Cara Pergaulan” mempunyai arti relatif,
anggapan sopan bagi suatu bangsa akan berbeda dengan bangsa lain, dan pandangan
benar bagi suatu ajaran pun menempatkan hal yang sama. Garis penegas yang positif bagi
realisasi bentuk-bentuk itu adalah pandangan agama, suatu ajaran yang mempunyai
norma-norma hukum nasional maupun internasional.
Arus budaya yang senantiasa berkembang akan senantiasa mendapatkan tempat dalam
masyarakat. Posisi menarik bukan lebur tertarik adalah suatu norma bagi PMII,
perkembanagn budaya sebagai hasil pikiran harus diarahkan, diisi dan dijiwai ajaran
agama, moral nasional dan kepribadian bangsa.
Selanjutnya, KOPRI sebagai wajah mobilisasi perempuan yang berguna untuk mengorganisir
kekuatan perempuan PMII sehingga bisa menopang organasisasi yang menaunginya. Akan tetapi dalam
masalah. Gagasan yang ada menganggap otonomisasi di tingkat pusat melihat adanya dualisme organisasi,
karena KOPRI memliki program dan kebijakan yang berbeda dengan PMII. Beberapa orang berpendapat,
dampak Positif adanya hal tersebut KOPRI telah bergerak membawa PMI menuju organisasi Mandiri.
Namun Negatifnya KOPRI dianggap sebagai pelanggaran konstitusi dan menjadi kendaraan politik menuju
posisi strategis di PMI.
Realitas KOPRI tersebut tidak lepas dari bagaimana paradigma perempuan Indonesia dalam
pergerakannya. Sruktural perempuan yang awalnya devisi keputrian, namun dengan kebutuhan adanya
kualitas dan kuantitas sehingga membentuk KOPRI, sebagai upaya peningkatan partisipasi perempuan serta
pengembangan wawasan Wilayah kerja sosial kemasyarakatan. Orientasi sahabat-sahabat pendiri saat itu,
KOPRI lahir supaya kaum perempuan cukup mampu dalam menentukan kebijakan tanpa harus mengekor
kepada laki-laki. Sehingga artinya KOPRI berdiri dan berkembang bukan berarti hanya terpicu oleh
keinginan pragmatis, meskipun KOPRI bagian dari NU yang saat itu masih menjadi partai, namun itu
semua tidak ada kaitannya sama sekali.
Pada masa orde baru trend isu suara perempuan turun tensinya untuk menuju pada titik kulminasi
terendah, sangat melemah. Bukan merupakan suatu masalah bagi KOPRI, pada gerakan PMII yang masih
agresif keterpurukan KOPRI bisa ditutupi dengan baik. Kepemimpinan sahabat Khofifah, Jakarta, 28
Oktober 1991 dengan nilai kader koprinya dibentuk pola kaderisasi yakni Latihan Kader Kopri (LKK) dan
Latihan Pelatihan Kader KOPRI (LPKK) kemajuan KOPRI kala itu.
Dalam perkembangannya PMII selangkah lebih maju dari rekapitalisasi gerakan. Lain hal dengan
KOPRI yang mengalami kemunduran kehilangan orientasi dan distorsi paradigma. Sebelum mengalami
masa-masa vakum, KOPRI juga pernah dilakukan pembubaran tepatnya dari tahun 1973 hingga 1988.
Pembubaran KOPRI ini disebabkan karena kegiatannya yang masih tidak berkembang sehingga tidak
melakukan LPJ an. Selanjutnya pada tahun 2000 dengan adanya Kongres XII di Medan KOPRI dibubarkan
berdasarkan hasil voting yang hanya berbeda satu suara saja. Merasa pengalaman pahit itu, terasa bahwa
kader-kader perempuan PMII pasca kongres di Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak
menentu, maka oleh sebab itu kader-kader perempuan PMII menganggap perlu adanya wadah kembali,
Kongres XIII di Kutai Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003 sebagai momentum yang tepat
untuk memprakarsai adanya wadah, terbentuklah Kelompok Kerja (POKJA) Perempuan dan kemudian
lahirlah kembali KOPRI di Jakarta pada tanggal 29 September 2003.
Berdasarkan Kongres XIV Kutai Kertanegara KALTIM membuat pertemuan POKJA perempuan
PMII tanggal 26-29 September 2003 yang menetapkan kembali KOPRI. Dengan visi: Terciptanya masyarat
yang berkualitas berlandaskan kesetaraan dan menjunjungkan tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Misi:
Mengidiologikan nilai gender dan mengkonsolidasikan gerakan perempuan di PMII untuk membangun
masyarakat berkeadilan gender.
1. Landasan Normatif
MUSPIMNAS 2019 No. 14 Tentang PPPK
PO KOPRI bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 & 2
Pasal 2 penjelasan PPPK
Bab II Pasal 3 Tentang Struktur Organisasi
Bab III Pasal IV Pola Hubungan
MUSPIMCAB 2019 No. 13 Tentang KOPRI PC PMII Jember
PO KOPRI bab I pasal 1 ayat 2 pengertian Kopri, ayat 3 tentang badan semi otonom
Bab II Pasal 2 Struktur Organisasi
Bab III Pasal 3 Pola Hubungan
Peraturan KOPRI PB PMII No. 2 Tahun 2014 PPK
Bab II Pasal 2 => Nama Kopri
Pasal 3 => Waktu & Tempat Kedudukan
Bab III Pasal 4 => Status Kopri
Pasal 5 => Tujuan Kopri
“Terbentuknya pribadi muslimah Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap,
dan bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan
Indonesia.”
Bab IV Pasal 6 => Fungsi Kopri
Ayat 1 = berfungsi sebagai badan pengembangan perempuan
Ayat 2 = berfungsi sebagai organisasi mahasiswi
Pasal 7 => Usaha Kopri
Pasal 8 => Peran Kopri : sebagai pendidik dan penggerak PMII putri untuk menegakkan dan mengembangkan
nilai-nilai keilmuan, keIslaman, dan keIndonesiaan.
Anggaran Rumah Tangga (ART) PMII
Bab VII Tentang Kuota Kepengurusan
Pasal 20 : ayat (1) kepengurusan disetiap tingkat harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3
keseluruhan anggota pengurus . ayat (2) setiap kegiatan PMII harus menempatkan anggota perempuan
minimal 1/3 dari keseluruhan anggota.
Bab VIII Tentang Pemberdayaan Perempuan PMII
Pasal 21 : ayat (1) Pemper PMII diwujudkan dengan pembentukan wadah perempuan yaitu KOPRI, dan ayat
(2) wadah perempuan tersebut diatur dalam PO.
2. Visi Misi KOPRI
Visi
Visi kopri adalah terciptanya masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi
nilai nilai kemanusiaan.
Misi
Misi kopri adalah mengideologisasikan nilai keadilan gender dan mengkonsolidasikan gerakan perempuan
di PMII untuk membangun masyarakat berkeadilan gender.
3. Ketua umum KOPRI dari Masa ke Masa
1) Ismi Maryam BA (1967-1970)
2) Zalzilah Rahman BA (1971)
3) Siti Fatimah Bsc ( 1972)
4) Adibah Hamid (1973)
5) Wus’ah Suralaga (1973-1977)
6) Choirunnisa Yafishsham (1977)
7) Fadilah Suralaga (1977-1981)
8) Ida Farida (1981)
9) Lilis Nurul Husna (1981-1984)
10) Iis Kholilah (1985-1988)
11) Iriani Suaida (1988)
12) Dra. Khofifah Indar Parawangsa (1988-1991)
13) Dra. Ulha Soraya (1991)
14) Jauharoh Haddad (1991-1994)
15) Diana Mutiah (1994-1997)
16) Luluk Nur Hamidah ( 1997-2000)
17) Umi Wahyuni (2000-2003)
18) Efri Nasution (2003)
19) Winarti (2003-2005)
20) Ai’ Maryati Shalihah (2005-2007)
21) Eem Marhamah (2008-2010)
22) Irma Muthoharoh (2010-2013)
23) Ai Rahmayanti (2014-2016)
24) Septi Rahmawati (2017-2019)
25) Maya Muizatil Lutfillah (2021-2023)
4. Strategi Pengembangan KOPRI dan Upaya Pemberdayaan Perempuan dalam Organisasi PMII
a. Strategi Internal
Strategi awal yang dilakukan adalah strategi dalam pengembangan internal. Sebuah
organisasi menjadi cukup strategis, karena terdapat sistem yang mengatur bagaimana strategi
dibangun, kepemimpinan bekerja dan mekanisme diatur. Jadi, gerakan betul- betul terarah dan
terpimpin. Dan, semua elemen-elemen penting dalam organisasi tersebut, (tidak peduli apakah
organisasinya besar atau kecil) semua elemen itu harus dikelola. Pengelolaan terhadap elemen-
elemen organisasi itu disebut manajemen organisasi dan ketika menetapkan organisasi sebagai
media gerakan, kita pun harus menatanya sebagai organisasi gerakan. Individu yang bertugas
mengelolanya disebut Manajer Organisasi dan peran ini melekat dalam diri para pengurus
organisasi. Beberapa langkah penting yang seharusnya dilakukaan dalam strategi pengembangan
Internal :
a. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
b. Penguatan Institusi KOPRI
c. Penguatan jaringan alumni KOPRI
d. Penguatan Ideologi dan narasi KOPRI
b. Strategi Eksternal
Pengembangan Organisasi Eksternal adalah upaya aksi dan konsolidasi Gerakan
KOPRI dalam rangka menuju masyarakat yang berkeadilan Gender. Dalam faktor
eksternal, KOPRI merupakan sebuah institusi yang intens dengan persoalan-persoalan
perempuan. Ini menjadi tantangan bagi KOPRI untuk terus melakukan penguatan
organisasi dan individu kader untuk dapat terjun langsung melakukan perubahan dalam
konteks sosial. Bukan hanya itu, KOPRI pun akan dihadapkan dengan lembaga lain yang
juga konsen dengan persoalan-persoalan perempuan (Derpartemen Pemerintahana, LSM,
dll.) KOPRI harus mampu mengkonsolidasikan diri bahkan me-leading baik gagasan
maupun gerakan sampai ke Grass root.