Anda di halaman 1dari 18

TUGAS PRAKTIKUM ASUHAN KEBIDANAN

PENGENALAN PEREMPUAN DALAM KAJIAN MULTIPRESPEKTIF


PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN SEMESTER 1

DISUSUN OLEH :
 CICI SEKAR ARUM (202106080081)
 LIANA WAFIQ NABILLATUN NADYA (202106080079)
 VIVITRI YULINDA (202106080086)
 TIRA GUSTIARA DEWI (202106080080)
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih kepada Ibu Weni Tri Purnani, S.ST., M.Kes. selaku
dosen pengampu mata kuliah Asuhan Kebidanan, juga kepada kedua orang tua
kami, teman-teman kami, dan rekan satu tim kami yang telah memberiksn
motivasi dan dukungan dalam proses penyusunan makalah yang berjudul
“Pengenalan Perempuan Dalam Kajian Multi Prespektif”
Kelompok kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi mahasiswa ilmu kesehatan
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
kami. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kediri, 7 Oktokber 2021


Kelompok 2
BAB 1
PENDAHULUAN

Selama berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran tentang


perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus
direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika ia mekar, tetapi
kemudian dicampakkan begitu saja begitu ia layu. Tubuh perempuan identik dengan daya
pesona dan kesenangan, tetapi dalam waktu yang sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan
keuntungan. Perempuan dipuji sebagai “tiang negara”. Ketika menjadi ibu, masyarakat
muslim memujinya: “surga di telapak kaki ibu”. Tetapi pada saat yang lain, ketika ia menjadi
seorang isteri, menurut sebuah teks agama, dia harus tunduk sepenuhnya kepada suami, dia
tidak boleh ke luar rumah sepanjang suami tidak mengizinkannya, meski untuk menengok
orang tuanya yang tengah sakit bahkan sampai meninggal sekalipun. Isteri juga tidak boleh
menolak manakala suami menginginkan tubuhnya, kapan dan di mana saja.
Pengakuan dan penghormatan terhadap perempuan sebagai mahluk ciptaan Tuhan
merupakan hak asasi perempuan yang inherent (melekat) pada diri perempuan yang tidak bisa
dipisahkan. Pemahaman ini menjadi sangat penting untuk memberi posisi bagi perempuan
sebagai manusia yang bermartabat. Perempuan memiliki perbedaan secara biologis dengan
laki-laki dengan demikian peran dan fungsinya sebagai manusia tentu juga akan berbeda,
namun dalam hal tetentu antara perempuan dan laki-laki tentunya juga memiliki kesamaan
sebagai manusia ciptaan Tuhan dan sebagai warga negara, perbedaan ini tidaklah berarti
bahwa perempuan akan selalu menjadi orang kelas dua dalam menjalanakan kehidupan atau
dalam menjalankan perannya. Perempuan dalam situasi tertentu merupakan bagian dari
kelompok rentan terhadap berbagai pelanggaran HAM, ketidak adilan dalam peperangan dan
konflik bersenjata tidak sedikit menjadi korban terbesar pelanggaran HAM, seperti
pemerkosaan, pengungsi, perdagangan budak, prostitusi, kerja paksa, dan sebagainya,
(Vasuki Nesiah dalam Majda El Muhtaj, 2008: 235)
Secara politik selama ini ada anggapan bahwa dunia politik identik dengan dunia laki-
laki. Anggapan ini muncul akibat adanya “image” yang tidak sepenuhnya tepat tentang
kehidupan politik; yaitu bahwa politik itu kotor, keras, penuh intrik, dan semacamnya, yang
diidentikkan dengan karakteristik laki-laki. Akibatnya, jumlah perempuan yangterjun di
dunia politik kecil, termasuk di negara-negara yang tingkat demokrasinya dan persamaan hak
asasinya cukup tinggi. Selain itu, kesan semacam itu muncul karena secara historis,
khususnya pada tahap awal perkembangan manusia, kaum pria selalu identik dengan
“lembaga” atau aktivitas kerja di luar rumah, sementara perempuan bertugas menyiapkan
kebutuhan keluarga di dalam rumah seperti memasak, mengasuh anak, dan melayani suami.
Masih belum optimalnya kesetaraan dan keadilan gender ini bisa dibaca pada realitas
partisipasi perempuan dalam jabatan-jabatan publik di dunia internasional yang ternyata
masih sangat minim dan begitu memprihatinkan. Hal ini ditandai dari 418 partai politik di 86
negara, perempuan yang menduduki posisi sebagai presiden/ketua partai hanya 10,8%, deputi
presiden/wakil ketua 18,7%, sekretaris jenderal 7,6%, juru bicara partai 9%. Menurut sensus
yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan di Indonesia
adalah 101.625.816 jiwa atau 51 persen dari seluruh populasi atau lebih banyak dari total
jumlah penduduk di ketiga negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun demikian,
jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga-
lembaga pembuat/pengambil keputusan politik di Indonesia.
Pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum, dapat dikatakan bahwa perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan hak khusus
di bidang politik yang sifatnya sementara (affirmative action) telah tercapai. Pada satu sisi
kebijakan ini sesungguhnya sangat menguntungkan bagi kaum perempuan di Indonesia,
sebab dengan kebijakan amandemen Undang-undang tersebut, perempuan dapat
meningkatkan partisipasi politiknya yang terlihat dalam peningkatan representasi perempuan
di parlemen sekurang-kuangnya 30 persen. Hal ini tercermin secara implicit pada Pasal 65
ayat (1) yang berbunyi: “Setiap partai politik peserta pemilihan umum dapat mencalonkan
anggota DPR/DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan
memperhatikan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”. Namun pada sisi yang lain,
justru akan menjadi kendala bagi perempuan itu sendiri, institusi-institusi yang akan mereka
tempati manakala kesiapan dan penerapannya tidak sejalan dengan tuntutan dari keijakan
Undang-undang tersebut.
Menurut kajian agama, Mahmud Syaltut, mantan Syaikh Al-Azhar menulis dalam
bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan
hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan
sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki potensi dan kemampuan yang cukup untuk
memikul tanggung jawab dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan
aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun
meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli,
mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan dan yang itu
(perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin,
melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulul albab yang berzikir dan memikirkan
kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut mengantarkan
manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Mereka yang dinamai ulul albab tidak
terbatas pada kaum lelaki saja, melainkan juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari
lanjutan ayat di atas yang menguraikan tentang sifat-sifat ulul albab, QS Ali Imran ayat 195.
Namun ada saja yang masih memosisikan perempuan sebagai makhluk yang lemah
dan melarangnya beraktivitas di luar rumah dengan dalih bahwa perempuan kemana pun
pergi harus disertai dengan mahram walaupun untuk keperluan menuntut ilmu sekalipun. Di
sisi lain ada juga yang berpandangan bahwa perempuan tidak boleh bekerja tetapi sebaiknya
berada di rumah untuk mengurus rumah dan mendidik anak. Sehingga terjadi disharmoni di
dalam rumah tangga yang dapat menyebabkan perceraian antara kedua belah pihak.
BAB 2
PEREMPUAN DALAM KESETARAAN GENDER

A. PEREMPUAN DAN GENDER


Perempuan adalah manusia, mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki ciri dan
potensi tersendiri yang berbeda dengan laki-laki, ciri dan potensi perempuan ini
merupakan kodrat yang diberikan oleh Tuhan yang perlu mendapat perhatian bagi
pemerintah dan masyarakat, sedangkan gender adalah seperangkat peran yang seperti
halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita
adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini yang mencakup
penampilan, sikap, kepribadian, bekerja di dalam atau di luar rumah tangga,
seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya-secara bersama-sama memoles
“peran gender” setiap individu.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan dulu antara gender dengan
kata sex (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin tertentu yang secara permanen tidak berubah dan
merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau
kodrat. (Muhammad Kusuma, Perempuan, HAM, dan Permasalahannya diunduh hari
Senin, 27 Februari 2017 https://ninanurmilah.wordpress.com/2013/12/11/perempuan-
ham-dan-permasalahannya/ )
Konsep gender, yakni sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa
perempuan dikenal dengan sifat lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan.
Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu
sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang
emosional, lemah lembut, dan keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat,
rasional, dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat
laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, berbeda dari kelas
ke kelas lainnya, itulah yang dikenal sebagai konsep gender. Konsep gender ini tidak
lain adalah bagaiaman mengatasi kebeutuhan praktis gender yaitu kebutuhan-
kebutuhan perempuan dan laki-laki untuk dapat melaksanakan perannya secara lebih
mudah, lebih efektif, dan efesien dan biasanya kebutuhan itu dapat diidentifikasi oleh
mereka sendiri. Masalah gender pada dasarnya menganut prinsip kemitraan dan
keharmonisan, meskipun dalam kenyataannya sering terjadi perlakuan diskriminasi,
marjinalisasi, sub ordinasi, beban ganda, dan tindak kekerasan dari satu pihak kepihak
lain baik di dalam maupun di luar kehidupan keluarga. Perlakuan yang merupakan
hasil akumulasi dan akses dari nilai sosiokultural suatu masyarakat tanpa ada
klarifikasi yang rasional, akan mengakibatkan seluruh kesalahan sering ditimpakan
pada kaum laki-laki yang telah mendominasi dan memarjinalkan kaum perempuan
tanpa menjelaskan mengapa budaya tersebut terjadi.
B. PERAN GANDA PEREMPUAN DALAM KONTEKS KESETARAAN
GENDER: REFLEKSI FILOSOFIS
Perempuan boleh memiliki banyak peran (multi peran) selama ia punya
komitmen terhadapkebenaran dan keadilan. Keterpurukan pada dikotomi
semacam ini dapat diatasi bila paradigma yangdigunakan diubah dengan cara
pandang pada sisi kemanusiaan yang bersifat universal. Salah seorangtokoh
feminis, Naomi Wolf, mengatakan bahwa upaya untuk memperbaiki kehidupan
perempuan membutuhkan keberanian untuk secara terus-menerus mensosialisasikan
gagasan feminis secara rasionaldan simpatik. “Menjadi feminis” bagi Wolf harus
diartikan “menjadi manusia”, karena feminis adalahsebuah konsep yang
mengisahkan harga diri pribadi dan harga diri seluruh kaum perempuan
(Wolf,1997: x). Laki-laki dan perempuan tidak dilihat semata-mata pada kelaki-
lakiannya dan keperempuannya, tetapi dilihat secara umum sebagai manusia.
Keduanya merupakan agen keadilan dan kebenaran serta mempunyai peluang
yang sama dalam membangun peradaban. Konsep yang bersandar pada paradigma
semacam ini lebih memfokuskan perbincangan pada pemahaman yang
komprehensif dan integralterhadap wilayah-wilayah peran itu sendiri. Jika
perempuan mengkonsentrasikan diri dalam peran domestik, tidak berarti ia harus
meninggalkan peran publiknya, demikian juga sebaliknya. Konsep peran
komprehensif universal tidak hanya berlaku bagi perempuan tapi juga laki-laki.
Dengan demikian peran keduanyabisa produktif dan bermanfaat bagi semua
pihak. Oleh karena yangdibidik di sini adalah sisi kemanusiaannya yang universal,
maka titik berangkatnya mau tidak mau harus berangkat dari kodrat kemanusiaan.
Segala sesuatu diciptakan Tuhan dengan kodrat. Kodrat diartikan sebagai ukuran-
ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Tuhan bagi segala sesuatu. Dengan demikian, laki-
laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin tentu memiliki kodrat masing-
masing. Tetapidari tabiat kemanusiaan secara umum tidak ada perbedaan.Laki-laki
dan perempuan dari sisi kemanusiaan mengemban kewajiban kodrati yang sama,
yakni sebagai hamba Tuhan dan khalifah di muka bumi. Dengan bersandar pada
asumsi dasar bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dengan berpasang-pasangan,
makakeberadaan laki-laki dan perempuan dengan segenap potensinya diharapkan
dapat berkoeksistensi secarasinergis mewujudkan tugas mulia yang diembannya.
Keberadaan laki-laki dan perempuan bukan dipahami sebagai sesuatu yang
dipertentangkan (dikotomis) tetapi sebagai hal yang berpasangan.
Konsep “paritas” (keberpasangan) diharapkan dapat kecenderungan
wacana tidak hanya berkutatpada “kesumpekan”gender yang dikotomis.
Keberpasangan dapat diibaratkan burung dengan sepasangsayapnya. Sayapkiri burung
tidak lebih rendah dan atau lebih buruk dari sayap kanan burung. Jika tidakdemikian
maka si burung tetap tidak dapat terbang dengan sempurna. Sayap kiri adalah
kekuatan lainyang harus disadari oleh sayap kanan. Ia harus diterima dan
dijadikan sebagai pasangan dengan sadardan diharmonisasi gerakannya. Namun
keberpasangan tidak harus mengandung makna seperti sayap-sayapburung
tersebut. Keberpasangan dapat pula dianalogikan dengan kunci. Kunci adalah
kesatuanantara anak kunci dan lubang kunci. Sebuah anak kunci tentu hanya akan
benar-benar fungsional untukmembuka atau menutup sesuatu jika ia dimasukkan
pada lubang yang memang ditetapkan untukdimasukinya. Anak kunci bisa saja
masuk pada lubang-lubang kunci lain yang bukan pasangannya,tapiia hanya bisa
masuk dan tidak dapat diputar. Pintu terkunci pun bisa saja dibuka tanpa kunci
dengancara dibongkar atau didobrak (Risang Ayu, 1999: 63-64). Bentuk kunci
tentu jelas berbeda denganlubang kunci. Fungsionalisasinyapun tidak seperti
sayap yang serempak, tapi justru lubang kunci yangkelihatannya diam dan
submisif yang mengaktifkan kunci. Karena itu cara kerja kunci adalah
dinamikakeharmonisan yang lebih tidak kasat mata jikadibandingkan dengan
dinamika keharmonisan sayap burung.
Keberpasangan laki-laki dan perempuan sering mengalami
penyederhanaan hanya sebagaikeberpasangan sayap burung, padahal tidak selalu
demikian. Sering terjadi keberpasangan kuncilah yanglebih cocok. Dari kompleksitas
keberpasangan laki-laki dan perempuan tersebut, ada satu hal yapasbahwakelemahan
selalu mengandaikan kelebihan dalam segi lain. Seandainya memang kelemahan
perempuan yang sebenar-benarnya masihada, maka tentu itu bukan kelemahan dari
segi kualitas fisik (Risang Ayu,1999:65). Hebatnya laki-laki yang sanggup bekerja
fisik terus-menerus tanpa terhalangoleh menstruasitentu tidak dapat dibandingkan
dengan hebatnya perjuanganperempuan dalam melahirkan anak.
Dalam banyak bidang pekerjaan, mekanisasi telah membuat pekerjaan
otot berganti menjadipekerjaan memencet tombol saja.Ini jelas menetralisasi
kelemahan fisik perempuan.Laki-laki danperempuan adalah sebanding, sejajar
tapi tidak sama. Laki-laki dan perempuan adalah diri yang satuyang menempati
dua raga yang Supartiningsih, Peran Ganda Perempuan53berbeda. Perbedaan ini
jikadihayati secara jeli akan bermuara pada pengalamankerinduan akan
keutuhan. Pengalaman kerinduanini sama proporsinya antara laki-laki dan
perempuan. Kerinduan akan keutuhan yang horisontal inipentingdalam kacamata
spiritual. Hanya melalui Tuhan, manusia baik laki-laki atau punperempuan
dapatmemahami kerinduan akan keutuhan yang lebih besar, yaitukerinduan
transenden. Kerinduan untukselalu bersama-sama dan selalu utuhdengan Yang
Mutlak (Risang Ayu, 1999: 25). Keyakinan dan upayauntuk merealisasikan bahwa
laki-laki dan perempuan adalah satu diri merupakan suapembebasan palingradikal
yang dapatdilakukan oleh laki-laki maupun perempuan sebagai seorang manusia.
Keyakinan inidapat membebaskan laki-laki dan perempuan dari penjara raganya
yangsementara, dikotomi menjadikesatuan yang utuh, pasangan manusia.
Dariinteraksi saling mengutuhkan dan mengimanenkan kembaliantar
pasanganmanusia maka kemampuan bertanggungjawab, kedewasaan bersikap,
danketenangan akandapat tercapai (Risang Ayu, 1999: 57). Bila ini ditarik pada
konteks gerakan-gerakan yang peduli kaumperempuan maka akan tampak benang
merahnya. Ide dasar gerakan tersebut tentu sangat luhur, yakniuntukmemanusiakan
perempuan. Perempuan adalah juga manusia, sama dengan lakilaki.
Keduanyasama-sama dititipi ruh, memiliki potensi untuk cenderung ke
arahkebaikan dan sebaliknya, berpotensiuntuk mencapai ketinggian ilmu
dansebaliknya, dan berpotensi untuk mencapai kemuliaan tertinggi.Karena
itu,dalam konteks memanusiakan perempuan, perempuan harus diakui sebagai
subjek yangpunya kehendak, kebaikan, dan kebijakan dari dalam dirinya sendiri.
BAB III
PEREMPUAN DALAM KAJIAN PSIKOLOGI

A. KARAKTERISTIK FISIOLOGIS PEREMPUAN


Untuk memahami psikologi perempuan secara komprehensif, terlebih dahulu
perlu memahami karakteristik fisiologis mereka yang mengandung perbedaan dan
persamaan dengan laki-laki. Perlakuan yang berbeda dan ketidak-adilan yang diterima
perempuan selalu berpangkal dari perbedaan secara anatomis fisiologis antara
perempuan dan laki-laki. Meski perbedaan fisik perempuan merupakan takdir dengan
istilah Freud yang terkenal Anatomi is destiny, tetapi tidak meniscayakan relasi antar
jenis kelamin yang berbeda itu menimbulkan kesenjangan dan bersifat hirarkhis,
karena relasi antar kedua makhluk Tuhan itu bukan takdir, tetapi dikonstruksi secara
sosial. Sinergi dari dua karakteristik fisik yang berbeda dari perempuan dan laki-laki
itu akan melahirkan kehidupan harmoni yang saling mendukung satu sama lain, ibarat
tangan kiri dan kanan yang bergantian menjuntai ke depan dan ke belakang dalam
berjalan, sehingga perjalanan akan sampai kepada satu tujuan, tanpa diartikan bahwa
tangan kanan lebih penting dari tangan kiri, atau sebaliknya.
Terdapat perbedaan bersifat internal dan substansial yang jelas antara
perempuan dan laki-laki ditinjau dari segi fisik, seperti dalam pertumbuhan tinggi
badan, payudara, rambut, organ genitalia internal dan eksternal, serta jenis hormonal
yang mempengaruhi variasi ciri-ciri fisik dan biologisnya. Terjadinya perbedaan
secara fisik antara perempuan dan laki-laki ditentukan sejak masa konsepsi, yaitu saat
sel telur (ovum) yang mengandung 22 pasang kromosom sejenis (22 AA) dan
sepasang kromosom seks XX bergabung dengan sel sperma (spermatozoa) yang
mengandung 22 pasang kromosom sejenis (22 AA) dan sepasang kromosom seks XY.
Jika kromosom seks dari perempuan bergabung dengan kromosom seks X dari laki-
laki, melahirkan bayi perempuan, dan jika kromosom seks dari perempuan bergabung
dengan kromosom seks Y dari laki-laki, melahirkan bayi laki-laki. Berdasarkan
perbedaan jenis kromosom seks yang dimiliki perempuan dan yang dikeluarkan oleh
laki-laki, menghasilkan jenis kelamin tertentu (Hurlock, 1980).
Dengan demikian, kromosom yang dimiliki ibu dan ayah berbeda,
demikianpun anak yang dihasilkan dari jenis kromosom berbeda dari ayah dan ibunya
akan menghasilkan perbedaan struktur fisiologis dan biologis yang kemudian
berkembang sebagai genitalia perempuan dan laki-laki pada sekitar minggu keenam
masa dalam kandungan (pranatal). Kromosom dari ayah dan ibu yang sudah
bergabung itu membentuk sel yang disebut testis. Awal berkembangnya testis hanya
terjadi pada embrio yang mengandung kromosom seks XY. Testis tersebut mulai
memproduksi hormon seks. Pada testis yang mengadung kromosom XX
memproduksi hormon progesteron dan estrogen, dan testis yang mengandung
kromosom XY menghasilkan hormon androgen. Ketiadaan hormon androgen pada
testis yang mengandung kromosom XX menghasilkan telur dan kelenjar gonad yang
membentuk menjadi indung telur dan perkembangan genitalia eksternal dan internal
janin perempuan, dan pada testis yang mengandung kromosom XY mengembangkan
organ eksternal dan internal janin laki-laki (Friedman & Schutack, 2008).
Dengan demikian, hormon memegang peranan penting dalam perkembangan
genitalia perempuan dan laki-laki, termasuk mempengaruhi organisasi otak dan
kelenjar pituatari yang mengendalikan sekresi hormon gonad pada masa pubertas
(Otten, 1985).
Keberadaan hormon androgen yang memiliki karakteristik berbeda dengan
hormon lainnya telah menarik perhatian para ahli untuk melakukan penelitian
eksperimen pada hewan dan pada manusia yang mengalami anomali genetik atau
hormonal selama masa pranatal.
Oleh karena itu terjadilah kontroversi dalam memandang eksistensi
perempuan. Para ahli terus mencari tahu dan mencari buktibukti seberapa besar
disposisi fisiologis dan biologis berpengaruh terhadap perbedaan gender dalam
kepribadian feminin dan maskulin. Menurut pandangan para ahli kontemporer yang
telah melakukan penelitian terhadap psikologi perempuan diketahui bahwa perbedaan
kepribadian perempuan dan laki-laki banyak dipengaruhi oleh ekspektasi dan
sosialisasi dari orangtua daripada oleh faktor fisiologis. Faktor fisiologis dan biologis
hanya mempersiapkan berlangsungnya tahapan-tahapan penting yang mempengaruhi
kepribadian. Faktor biologis bukanlah penyebab semua perbedaan gender seseorang.
Citra fisik tidak meniscayakan citra non fisik antara perempuan dan lakilaki. Oleh
karena itu, kita wajib menyingkirkan citra bias gender yang hanya didasarkan pada
perbedaan biologis semata yang simplistik. Hendaknya manusia menerima perbedaan
fisik tanpa pembedaan perlakuan. Itulah cita-cita perempuan dalam pencitraan
terhadap sosoknya.

B. BIAS DALAM PSIKOLOGI PEREMPUAN


Pada umumnya perempuan dicitrakan atau mencitrakan dirinya sendiri sebagai
makhluk yang emosional, mudah menyerah (submisif), pasif, subjektif, lemah dalam
matematika, mudah terpengaruh, lemah fisik, dan dorongan seksnya rendah.
Sementara laki-laki dicitrakan dan mencitrakan dirinya sebagai mahluk yang rasional,
logis, mandiri, agresif, kompetitif, objektif, senang berpetualang, aktif, memiliki fisik
dan dorongan seks yang kuat.
Masalahnya, citra fisik perempuan acapkali dipersepsikan sebagai citra
kepribadian perempuan. Pandangan Freud bahwa perbedaan anatomi sebagai takdir
berimplikasi pada pandangan bahwa kepribadian perempuan dan laki-laki itu sangat
berbeda sesuai dengan takdir anatomisnya. Perempuan yang mengalami perubahan
siklus hormon ketika mengalami haidh, lazim dipersepsikan memiliki kepribadian
yang tidak stabil yang berbeda dengan laki-laki. Citra perempuan yang emosional,
tidak stabil, dan mood yang berubah dipersepsikan disebabkan oleh siklus hormonal
perempuan pada masa haidh. Ketidak-stabilan hormonal yang mempengaruhi mood
dan emosional perempuan menjadi sebuah stereotip yang dikembangkan di
masyarakat hingga saat ini bahwa perempuan lemah dan tidak stabil, sehingga
membatasi ruang gerak perempuan untuk terlibat dalam berbagai bidang, seperti:
politik, ekonomi, kemiliteran, maupun eksplorasi ruang angkasa. Kondisi tersebut
menimbulkan pengkotakan, mana area yang pantas dan tidak pantas untuk
perempuan.
Akibat citra fisik yang dimiliki, perempuan dicitrakan sebagai makhluk yang
tidak sempurna (the second class), makhluk yang tidak penting (subordinate),
sehingga selalu dipinggirkan (marginalization), dieksploitasi, dan mereka diposisikan
hanya mengurusi masalah domestik dan rumah tangga
(domestication/housewivezation), seperti masalah dapur, kasur, dan sumur, meski
dalam mengurus masalah domestik sekalipun, kaum perempuan tetap tidak memiliki
kedaulatan penuh karena dikendalikan oleh kaum laki-laki dalam kondisi budaya
patriarkhis, sehingga seringkali menghadapi tindakan kekerasan secara fisik, seksual,
ekonomi, dan pelecehan. Sejak kecil anak perempuan dikendalikan oleh ayah,
saudara-saudara laki-laki, paman, atau walinya. Setelah dewasa perempuan
dikendalikan oleh suaminya, dan jika berkarir dikendalikan oleh majikannya dan
peraturan kerja yang patriarkhis.
Perempuan yang menderita akibat perlakuan laki-laki atau sistem yang
patriarkhis itu dipandang lumrah dan lazim, sehingga perempuan tidak memiliki
pilihan untuk tinggal di rumah atau ke luar rumah. Kedua dunia itu sama-sama tidak
memberi tempat yang aman dan nyaman untuk perempuan. Akibatnya banyak
perempuan yang tetap bertahan dalam rumah tangganya, apapun keadaannya.
Fenomena perempuan yang bertahan menerima nasib yang menyakitkan ini dianggap
sebagai citra perempuan yang memiliki sifat masokhism, suatu yang dicitrakan Freud
kepada perempuan yang mampu bertahan dalam kesakitan dan penderitaan. Oleh
karena masokhism dipandang sebagai citra perempuan, ini mengindikasikan
penegasan akan kelaziman dominasi dan hegemoni laki-laki terhadap perempuan.
Pencitraan yang bias ini telah menimbulkan stereotip peran gender yang berbeda
antara perempuan dan laki-laki. Pencitraan yang bias ini sudah melembaga terstruktur
dalam budaya, hampir tanpa gugatan dan kritikan.
Feminitas dan maskulinitas seringkali dipandang sebagai citra yang bersifat
internal dan menetap, padahal sebenarnya merupakan produk budaya yang dinamis
dan berkembang. Oleh karena dicitrakan oleh lingkungan dan budaya yang dinamis
dan berkembang, maka pencitraan perempuan dan laki-laki berdasarkan gender
berbeda antara satu budaya dengan budaya lain, dan berbeda antar waktu dan tempat.
Terdapat beberapa bias dalam psikologi perempuan dapat dikemukakan,
antara lain sebagai berikut:
a) Pertama, psikologis perempuan dipandang dependen, berwatak mengasuh, dan
merawat. Pandangan tersebut mengandung bias karena sulit dibuktikan
kebenarannya, sebab dalam realitas kehidupan cukup banyak laki-laki yang
berwatak pengasuh, dan cukup banyak perempuan yang mandiri, tidak seperti
yang dicitrakan secara baku dan kaku (Eagly, 1978).
b) Kedua, psikologis perempuan selalu mengalah, menyetujui, menyesuaikan diri,
dan menyenangkan orang lain. Perilaku kasar, asertif, suka berkelahi, dan agresif,
termasuk agresif secara verbal dipandang sebagai citra laki-laki yang dikonstruksi,
dibenarkan, dan disosialisasikan secara turun temurun antar generasi dalam
struktur budaya sehingga mengilhami perilaku laki-laki. Aktivitas berbicara yang
keras, memaksa, mendikte, menginterupsi, menginstruksi, mengancam, menolak
permintaan orang lain, memprotes, mengkritik, mencemooh, menguasai, adalah
merupakan bibit yang secara sengaja maupun tidak, telah membentuk karakter
maskulin yang diharapkan kepada laki-laki. Ada fakta bahwa kebanyakan laki-laki
terlibat dalam perkelahian, tawuran, peperangan, dan kejahatan dengan kekerasan
merupakan citra laki-laki, padahal partisipasi perempuan dalam kejahatan bengis
sekarang ini semakin tampak meningkat. Menurut Whiting & Edwards (1988),
perempuan dipandang sebagai makhluk lemah dan laki-laki dipandang agresif,
karena diharapkan dan dikonstruksi oleh masyarakat seperti itu.
c) Ketiga, psikologis perempuan itu emosional dan mudah menangis. Berdasarkan
studi observasi terhadap perempuan dan laki-laki, ditemukan bahwa anak laki-laki
lebih sering menangis ketika masih bayi dan sedang belajar berjalan dengan
tertatih daripada anak perempuan, tetapi perempuan dewasa dan tua lebih sering
menangis daripada laki-laki yang seusianya (Nicholson, 1993).
d) Keempat, psikologis perempuan yang penakut dan sensitif. Berdasarkan
penelitian, anak perempuan dan laki-laki prasekolah samasama berjiwa petualang
dan berani. Namun semakin besar, anak perempuan sering ditakut-takuti dan
dibenarkan untuk takut, sementara laki-laki dicemooh saat mengakui dan
menunjukkan rasa takut. Demikian pula saat dewasa, laki-laki cenderung tabu
mengaku takut dan cemas menghadapi sesuatu, padahal obat penenang dan minum
banyak dikonsumsi kaum laki-laki sebagai pelampiasan dari kecemasannya.
Berdasarkan penelitian, bayi perempuan lebih mudah menangis ketika bayi lain
menangis. Perempuan lebih baik dalam menginterpretasikan emosi yang
ditampilkan seseorang di foto dan lebih baik dalam mengekspresikan emosi,
sehingga mereka sendiri dapat diinterpretasikan oleh orang lain dengan mudah.
Temuan ini menunjukkan, perempuan lebih peka terhadap emosinya sendiri
maupun emosi orang lain
e) Kelima, psikologis perempuan yang lemah dan tidak berprestasi. Minimnya
jumlah perempuan yang ahli di bidang sains, politik, dan ekonomi dipandang citra
perempuan yang lemah disebabkan ketidakmampuannya dalam mengejar prestasi
seperti yang dicapai laki-laki.
f) Keenam, psikologis perempuan yang mudah terpengaruh dan mudah dibujuk
untuk mengubah keyakinannya. Menurut Maccoby & Jacklin (1974), dalam
situasi yang tidak ada kontak dengan pembujuk sekalipun, perempuan lebih
bersedia menyesuaikan diri daripada lakilaki berdasarkan pertimbangan
konsekuensi yang diasumsikannya.
g) Ketujuh, psikologis perempuan lebih sensitif terhadap perilaku non verbal.
Berdasarkan observasi, perempuan memiliki kemampuan dalam mengekspresikan
dan memahami pesan-pesan non verbal. Perempuan lebih mampu memahami
perangai wajah atau gerak orang lain dan lebih mampu mengekspresikan pesan-
pesan nonverbal secara tepat, khususnya ekspresi wajah, seperti tatapan mata,
senyuman, tarikan garis alis, tarikan bibir, kerutan kening, maupun pandangan
yang kosong, bersahabat, gembira, sedih, kaget, benci, atau marah kepada orang
lain. Menurut Hall & Hallberstadt (1986), perempuan xxxii Psikologi Perempuan
Dalam Berbagai Perspektif lebih banyak tersenyum dan melakukan tatapan mata
dibanding laki-laki.
h) Kedelapan, psikologis perempuan lebih ekspresif. Perempuan sering dicitrakan
berperilaku cenderung ekspresif, sedangkan laki-laki berperilaku instrumental
dikaitkan dengan interrelasi di lingkungan sosial. Perempuan lebih lekat dan
mampu melakukan relasi interpersonal daripada laki-laki. Perilaku instrumental
maupun ekspersif samasama menuntut keterampilan dan diharapkan ada pada
setiap individu. Oleh karena itu, menjadi ekspresif tidak berarti hanya didorong
oleh emosi dan tidak kompeten, demikianpun berperilaku instrumental tidak
berarti hanya didorong oleh ratio dan lebih kompeten.(Hyde & Lynn, 1986).
i) Kesembilan, psikologis perempuan itu pasif dalam masalah seks dan hanya
menjadi objek seks laki-laki. Laki-laki dicitrakan secara stereotip dalam masalah
seksual adalah lebih dominan, lebih aktif, memiliki dorongan lebih besar, mudah
tergugah, lebih agresif, dan selalu memulai aktivitas seksual lebih dahulu.
Perempuan lebih submisif, pasif, menunggu, lebih lama tergugah, malu-malu,
kurang berminat, sulit tergugah secara fisik.

C. PSIKOLOGI PEREMPUAN DALAM PRESPEKTIF ISLAM


Islam memandang sama kepada perempuan dan laki-laki dari segi
kemanusiaannya. Perempuan adalah manusia sebagaimana laki-laki. Islam memberi
hak-hak kepada perempuan seperti yang diberikan kepada laki-laki dan membebankan
kewajiban yang sama kepada keduanya, kecuali terdapat dalil syara yang memberi
tuntutan dan tuntunan khusus untuk perempuan dan laki-laki, yang jumlahnya sangat
sedikit, dan kebanyakan dalil syara tidak diciptakan khusus untuk perempuan atau
khusus untuk laki-laki, melainkan untuk keduanya sebagai insan (QS. Al-Hujurat
[49]:13; QS Al-Najm [53]:45; QS Al-Qiyamah [75]:39 ).
Perempuan dan laki-laki telah diberi potensi yang sama untuk dapat berkiprah
dan beramal secara sinergis dalam asas kemitraan, kerja sama, saling tolong
menolong, saling mendukung, saling memberi penguatan dalam suatu kehidupan di
masyarakat (QS.AlNisa [4]: 7, 32-34,155). Pola kehidupan sinergis itu sudah menjadi
sunnatullah dalam setiap komunitas, kurun, dan generasi manusia karena Allah
menciptakan kemanusiaan manusia yang saling bergantung (interdependency), saling
berhubungan (interconnection), dan saling melengkapi (intercomplementary). Tidak
ada seorang manusiapun yang sempurna, lahir, dan dapat hidup sendiri, tanpa
kehadiran manusia lain (QS Al-Nisa [4]:1; QS Al-A’raf [7]:189 ).
BAB IV
PEREMPUAN DALAM KAJIAN POLITIK

A. PERAN PEREMPUAN DALAM ORGANISASI POLITIK


Kedudukan perempuan di dalam berbagai organisasi baik kemasyarakatan
maupun politik diperhatikan secara khusus oleh Rosbeth Moss Kanter’s.
Menurutnya, ketimpangan peran gender di dalam berbagai organisasi disebabkan
karena perempuan mempunyai berbagai keterbatasan, bukan saja karena secara alami
laki-laki, menurut teori fungsionalis struktural, dipersepsikan sebagai kaum yang
lebih unggul, atau berbagai stereotipe gender lainnya, tetapi juga karena perempuan
ditemukan kurang terampil daripada laki-laki.
Dalam kendali organisasi menurut Lips, posisi perempuan lebih
mengkhawatirkan daripada laki-laki, sehingga dalam pola relasi gender masih
seringkali terjadi ketimpangan.
Teori konflik yang mendasarkan pandangannya kepada pertentangan antar
kelas di dalam masyarakat, beranggapan bahwa relasi gender sepenuhnya ditentukan
oleh lingkungan budaya. Ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan
merupakan salah satu bentuk penindasan. Teori ini paling tegas menolak semua
anggapan bahwa perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan ditentukan
oleh faktor biologis. Menurut Karl Marx, yang juga mendapat dukungan Friedrich
Engels, relasi gender yang terjadi di dalam masyarakat sepenuhnya merupakan
rekayasa masyarakat (social construction). Teori ini dinilai oleh kalangan penganut
teori fungsionalis struktural terlalu bercorak ekonomi di dalam memberikan penilaian
terhadap kedudukan perempuan.
Teori-teori feminis yang lebih prihatin terhadap nasib perempuan beranggapan
bahwa sebenarnya kodrat perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis tetapi oleh
budaya dalam masyarakat. Ketimpangan peran dan relasi gender dinilai perlu ditinjau
kembali, tetapi alternatif yang ditawarkan ternyata berbeda-beda. Sehingga muncul
berbagai aliran feminis agaknya masih memerlukan perjuangan panjang karena
diantara gagasan-gagasannya ada yang dinilai kurang realistis, karena dunia politik
merupakan bagian dari dunia publik (public word), yang secara umum masih
didominasi olehlaki-laki meminjam istilah Valerie Bryson

B. KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK


Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan
rakyat sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang
membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik penting.
Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan
publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, serta lingkungan, moral
yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola
waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa
perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-
kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok
pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian.
Argumen tersebut tidak hanya ideal sebagai wujud modal dasar kepemimpinan
dan pengalaman organisasi perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan,
argumen tersebut juga menunjukkan perempuan dekat dengan isu-isu kebijakan
publik dan relevan untuk memiliki keterwakilan dalam jumlah yang signifikan dalam
memperjuangkan isu-isu kebijakan publik dalam proses kebijakan, terutama di
lembaga perwakilan rakyat.
Bila dicermati lebih jauh, keterlibatan perempuan dalam politik formal di
Indonesia mulai memperoleh ruang sejak dikeluarkannya UU No.12 tahun 2003
tentang Pemilu, yang menyebutkan pentingnya aksi affirmasi (affirmative action)
bagi partisipasi politik perempuan dengan menempatkan jumlah 30% dari seluruh
calon partai pada parlemen, baik di tingkat nasional maupun lokal. Keterwakilan
perempuan secara Nasional mengalami kenaikan dari pemilihan umum 1999 sebesar
9%. Diawali dengan keputusan Negara mengenai perpolitikan diNegeri ini, tepatnya
pada tanggal 4 Januari 2008 dengan di undang-undangkannya Lembaran Negara
No.2 tahun 2008 yang mengatur tentang keterwakilan perempuan didalam partai
politik, berbagai hal diatur didalam undang-undang ini. Pemerintah mengeluarkan
kebijakan tentang Pemilu yang memperkuat keterlibatan perempuan dalam politik
formal yaitu: UU Pemilu No.10 tahun 2008 pada pasal 8 ayat (1) butir (d)
menyatakan bahwa partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi
persyaratan dan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan
pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu
Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit
30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga
menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan
persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media
massa cetak harian dan elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol
disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan
perempuan. Lebih jauh, di Pasal 20 tentang kepengurusan parpol disebutkan juga
tentang penyusunannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah
30%.
Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004
seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah
62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu,
dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari
500 anggota DPR yang terpilih (9%).
BAB V
PEREMPUAN DALAM KAJIAN AGAMA

A. PEREMPUAN DALAM KAJIAN AGAMA ISLAM


Sebelum Islam datang, perempuan sangat menderita dan tidak memiliki
kebebasan hidup yang layak. Dalam peradaban Romawi misalnya, wanita
sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya, setelah kawin, kekuasaan
tersebut pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan
menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. segala hasil usaha wanita,
menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki. Dalam Undang-undang India juga
perempuan tidak memiliki hak untuk menyukai dan mencintai. Semenjak kecil
mereka diharuskan untuk mengikuti kemauan orang tuanya. Pada masa mudanya
mereka harus mengikuti kemauan suaminya dan ketika suaminya meninggal
mereka harus mengikuti semua keinginan putra-putranya. Dalam masyarakat
Makkah di masa Jahiliah, seorang ayah boleh saja membunuh anaknya sekiranya
lahir perempuan. Pada zaman itu ada keyakinan bahwa setiap anak perempuan
yang lahir harus dibunuh, karena khawatir nantinya akan kawin dengan orang
asing atau orang yang
berkedudukan sosial rendah misalnya budak atau mawali. Begitu juga halnya di
Eropa, kondisi perempuan tidak lebih baik dari sebelumnya, misalnya pada abad
kelima atau sebelas Masehi, di Inggris kaum laki-laki terbiasa menjual istrinya.
Penguasa Gereja telah memberikan hak kekuasaan pada para suami untuk
memberikan istrinya kepada laki-laki lain untuk sementara waktu, baik dengan
mendapatkan upah maupun tidak.
Begitu Islam datang, perempuan diberikan hak-haknya sepenuhnya yaitu
dengan memberi warisan kepada perempuan, memberikan kepemilikan penuh
terhadap hartanya, bahkan tidak boleh pihak lain ikut campur kecuali setelah
mendapat izin darinya. Dalam tradisi Islam, perempuan mukallaf dapat melakukan
berbagai perjanjian, sumpah, dan nazar, baik kepada sesama manusia maupun
kepada Tuhan, dan tidak ada suatu kekuatan yang dapat menggugurkan janji,
sumpah, atau nazar mereka sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Ma‟idah {5}:
89.
Perempuan juga diberikan kebebasan secara penuh dalam menentukan
pasangan hidupnya, bahkan walinya dilarang menikahkannya secara paksa, maka
sebuah pernikahan seorang gadis tidak akan terlaksana apabila belum
mendapatkan izin dan persetujuannya. Perempuan dan laki-laki mempunyai
kedudukan yang sama di depan hukum, bahkan Islam memberikan hak yang sama
kepada perempuan dalam mengakhiri kehidupan berumah tangga yaitu dengan
cara “ khulu‘.

B. PERAN PEREMPUAN DALAM ISLAM


Pandangan-pandangan yang melarang sama sekali perempuan keluar rumah
tidak dapat bertahan atau dipertahankan. Mengabaikan perempuan dan tidak
melibatkannya dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat berarti menyia-
nyiakan paling tidak setengah dari potensi masyarakat.
Bahkan pada zaman dahulu banyak sekali perempuan yang aktif bekerja dan
beraktivitas dan Nabi sendiri tidak melarangnya. Dalam bidang perdagangan
misalnya, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang
sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang
perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjuk-petunjuk jual-beli.
Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit binatang dan hasil usahanya
itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibnu
Mas‟ud sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu
mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Sementara itu, Al-Syifa‟, seorang
perempuan yang pandai menulis ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai
petugas yang menangani pasar kota Madinah.

C. KEDUDUKAN WANITA DALAM AGAMA KRISTEN


Awal abad ke-19, banyak orang menggunakan kitab suci untuk
mempertahankan kemapanan. Ahli kitab dengan sangat hati-hati menafsirkan teks
secara harfiah untuk merumuskan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan.kadang-kadang perbedaan ini meninggikan status perempuan, namun
sering kali tidak. Biasanya fakta bahwa perempuan diciptakan sesudah atau dari
Adam dijadikan bukti bahwa perempuan inferior terhadap laki-laki.
Sejarah dogma, perempuan umumnya dipersalahkan karena jatuh tergoda dan
memimpin seluruh manusia ke dalam dosa asal. Banyak tabu dan ritual yang
mengelilingi kehidupan perempuan memperkuat pemahaman bahwa perempuan
tidak suci dan lebih rendah dari laki-laki. Beberapa teks Perjanjian Baru
menyetujui perempuan sebagai manusia kelas dua: "Tetapi aku mau, supaya kamu
mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari
perempuan ialah laki-laki dan kepala Kristus ialah Allah... Sebab laki-laki tidak
berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki." (1 Kor 11:3,8),
"Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku
tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya
memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama
dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda,
melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa." (1Tim 2:11-
14)
Pada tahun 1830-an dan 1840-an, banyak perempuan di Amerika menyadari
perlunya pemahaman yang berbeda terhadap bahan-bahan Kitab Suci. Sarah
Grimke, penceramah antiperbudakan dan penulis hak asasi perempuan yang
terkemuka, menduga keras bahwa bias maskuli dari penafsiran Kitab Suci turut
terlibat dalam penindasan perempuan. pada tahun 1837 ia mendesak agar
diadakan ilmu pengetahuan feminis baru. Beberapa tahun berikutnya, Antoinette
Brown, salah satu dari antara perempuan-perempuan pertama yang kuliah teologi
di Oberlin College, membahas surat-surat Rasul Paulus dengan pertanyaan
feminis, dan mendapat jawabannya: "Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau
orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau
perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus." (Gal 3:28)
Pembahasan mengenai peran wanita dalam Alkitab sangatlah kompleks,
karena dalam memahami Kitab Suci dibutuhkannya penafsiran yang harfiah.
Sehingga, para kaum feminis memperjuangkan kedudukannya tidak hanya
bersumber dari Kitab Suci saja, melainkan juga sejarah teologi, studi
perbandingan agama, ilmu filsafat, dan ilmu pengetahuan, peristiwa-peristiwa
historis, interaksi sosial masa kini, dan pengalaman kaum perempuan.
Gaya kepemimpinan sinode-sinode gereja Protestan, membuat keragaman
dalam penafsiran feminis. Sehingga ada yang pro dan kotrak terhadap kedudukan
perempuan yang bukan berada di kelas bawah. Salah satu gereja yang pro
terhadap kaum feminis adalah Gereja Babtis. Gereja Babtis yang mengakui
kesetaraan martabat perempuan, namun tetap mengukuhi adanya perbedaan fungsi
antara laki-laki dan perempuan. laki-laki dan perempuan sama dan sederajat di
hadapan Allah sebagai makhluk ciptaan dan di dalam penebusan Kristus sebagai
ciptaan yang baru. Meskipun demikian, kesamaan dan kesetaraan ini tidak
meniadakan perbedaan fungsi dan peran kaum laki-laki dan perempuan. laki-laki
berperan sebagai kepala; perempuan berperan sebagai penolong sepadan.
DAFTAR PUSTAKA

Hanap, A. (2015). PERAN PEREMPUAN DALAM ISLAM. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-
Raniry Banda Aceh, 16-21.

Kasmawati, A. (2017). PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DALAM PERSFEKTIF KEADILAN GENDER.


Hak Perempuan dan Keadilan Gender, 539-540.

Marantika. (2017, November 13). PERAN WANITA DALAM RUANG PUBLIK: PERSPEKTIF ISLAM DAN
KRISTEN. Diambil kembali dari REPOSITORY UIN RADEN INTAN LAMPUNG:
http://repository.radenintan.ac.id/3109/1/SKRIPSI_MARANTIKA.pdf

Nurhayati, E. (2020, Agustus 18). Psikologi Perempuan dalam Berbagai Perspektif. Diambil kembali
dari IAIN SYEKH NURJATI CIREBON REPOSITORY: http://repository.syekhnurjati.ac.id/3598/

Wibowo, D. E. (2012, October 11). PERAN GANDA PEREMPUANDAN KESETARAAN GENDER. Diambil
kembali dari MUWAZAH:
http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/6

Zamroni, M. (2013). PEREMPUAN DALAM KAJIAN KOMUNIKASI POLITIK DAN GENDER. Jurnal
Dakwah, Vol. XIV, No. 1 , file:///C:/Users/Acer/Downloads/277-466-1-PB.pdf.

Anda mungkin juga menyukai