Anda di halaman 1dari 9

PERMASALAHAN TERHADAP HAK PEREMPUAN PADA PEDALAMAN SUKU

BADUY
PROBLEMS AGAINST WOMEN'S RIGHTS IN THE HINTERLAND OF THE BADUY
TRIBE

AUTHOR’S NAME:
FELICIA ANGGRAENI (010002100155), KHANZA POETRI (010002100217),
LUTHFIAH ZAIN (010002100228), MELITA CAHYANI (010002100246)

CORESPONDENT AUTHOR’S:
DR. HJ. WAHYUNI RETNOWULANDARI, S.H., M.Hum.
DR. INDRA KRESTIANTO, S.H., M.H.

Abstrak
Perempuan memiliki hak hak kesetaraan dalam menjalankan kehidupan sebagai masyarakat
yang sempurna, hak yang terdapat dalam perempuan merupakan bagian dari hak asasi manusia
dan lahir karena atas dasar berkembangnya pemikiran terhadap pentingnya perlindungan serta
pemenuhan hak terhadap kaum perempuan yang merupakan kelompok rentan dan juga
terhadap kesetaraan gender. Masyarakat pada suku baduy dalam hingga saat ini dianggap
sebagai masyarakat tradisional dan tertinggal, mengacu pada kepercayaan hukum adat serta
terdapat unsur-unsur tradisional dalam hal kehidupan masyarakat pada suku baduy dalam
menganggap bahwa posisi laki laki dan perempuan memiliki keseimbangan dan merupakan
salah satu bentuk keharmonisan serta keutuhan dalam menjalani kehidupan.
Kata Kunci: Perempuan, Suku Baduy Dalam, Hak Perempuan.

Abstract
Women have the right to equality in living their lives as a perfect society, the rights contained
in women are part of human rights and were born on the basis of developing thinking regarding
the importance of protecting and fulfilling the rights of women who are a vulnerable group and
also regarding gender equality. Until now, Baduy society is considered a traditional and
underdeveloped society, referring to traditional legal beliefs and there are traditional elements
in the life of the Baduy people in considering that the position of men and women has balance
and is a form of harmony and harmony. integrity in living life.
Key Word: Women, Inner Baduy Tribe, Women's Rights.
I. PENDAHULUAN

Perempuan sering kali diibaratkan sebagai sosok yang lemah, tidak sama dengan laki
laki yang dianggap sebagai sosok yang sangat kuat untuk melakukan hal – hal yang
berhubungan dengan otot atau kekuatan fisik. Hal ini dipengaruhi oleh sistem budaya, dan
sosial yang ada di Indonesia. Indonesia sebagai Negara yang menggunakan kebiasaan
ketimuran sangat membatasi perempuan untuk berkarya dan meningkatkan derajatnya.
Seorang perempuan disini sering mendapatkan simbol sebagai sosok yang memiliki ciri
sebagai orang yang memiliki sifat kehalusan. Selan kehalusan tadi perempuan juga sangat
identik dengan keterpurukan dan penindasan. Sebagai contoh kecil bahwa perempuan
merupakan perempuan sangat sering ditindas, yaitu tentang perjuangan pahlawan wanita yang
sering disebut – sebut oleh kaum perempuan yaitu R.A. Kartini. R.A. Kartini merupakan sosok
perempuan yang memiliki jiwa untuk meningkatkan derajat kaum laki – laki. Hal ini ditulis
dalam buku “habis gelap terbitlah terang”. 1
Selain itu perempuan memiliki hak hak yang harus menjunjung tinggi, perempuan
harus dijauhi dari tindakan diskriminasi terutama bagi para perempuan yang tinggal di
pedesaan yang kental dengan budaya patriarkinya. Menurut ketentuan CEDAW Pasal 1
disebutkan “diskriminasi terhadap perempuan” berarti perbedaan, pengucilan atau pembatasan
yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun lainnya oleh
kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-
laki dan perempuan”.
Pada jurnal kali ini kami akan membahas mengenai suku baduy pada umumnya
bertempat tinggal di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Rangkasbitung,
Banten. Suku baduy terdiri atas beberapa kampung antara lain Kampung Cikeusik, Gajebo,
Cibeo, dan Cikertawana mayoritas masyarakat pada suku baduy bertempat tinggal pada
wilayah perbukitan, lembah, dan hutan. Dalam hal tersebut terbagi kedalam dua kelompok pada
masyarakat suku baduy yaitu suku baduy luar dan suku baduy dalam. Pada mulanya kelompok
suku baduy hanya terdapat pada suku baduy dalam namun adanya istilah suku baduy luar
terjadi karena terdapat pelanggaran adat yang dilakukan oleh masyarakat baduy dalam
sehingga harus dikeluarkan dari kelompok masyarakat suku baduy dalam.
Modernisasi berdampak pada proses peralihan kehidupan tradisional yang terisolir
menjadi kehidupan yang terbuka. Namun, modernisasi menjadi tantangan dalam
mempertahankan budaya leluhur tertentu. Hal ini berdampak pada integrasi pribadi, kinerja,
dan produktivitas yang tinggi sebagai ciri manusia modern. 2
Seperti masyarakat pada umumnya masyarakat baduy pria memegang peran penting
baik bidang sosial maupun religi, pimpinan suku, upacara selamatan dan lain sebagainya.
Sedangkan wanita baduy memiliki peran yang berbeda dengan pria baduy, wanita baduy

1
Faqih, Mansur. Analisis Gender dan Transformasi sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm 13
2
Sapriya, Sadjarudin Nurdin dan Susilawati, Konsep Dasar IPS, (Bandung: Laboratorium
Pendidikan Kewarganegaraan, 2008), hlm. 101
umumnya memiliki peran untuk mengasuh anak, melayani suaminya dan mengurus urusan
rumah tangga. Seiring berjalannya waktu peran serta perempuan baduy bukan hanya sekedar
dari mengurus urusan rumah tangga saja tetapi perempuan baduy saat ini sudah banyak yang
melakukan pekerjaan seperti menjadi petani di ladang dan bekerja di luar baduy. Namun tak
jarang seorang perempuan mendapatkan diskriminasi karena mencakup peran serta perempuan
sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sementara peran transisi meliputi pengertian
perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Pada peran
transisi wanita sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomi. Serta perempuan
seringkali dihadapkan pada konsep “kesetaraan” yang dalam kenyataan sehari-hari belum
seperti yang diharapkan. Wanita dalam masyarakat pada umumnya, digariskan untuk menjadi
istri dan ibu sejalan dengan hal itu, stereotip yang dikenakan pada wanita (istri) adalah makhluk
yang emosional, pasif, lemah, dependen, dekoratif, tidak asertif, dan tidak kompeten, kecuali
dalam tugas rumah tangga. Sementara itu pria (suami) harus menanggung keluarga sehingga
status mereka lebih tinggi dan bahkan mempunyai hak mengendalikan wanita. Hubungan
semacam itu dalam masyarakat jawa misalnya, memunculkan ungkapan bahwa wanita
merupakan Kanca Wingking (teman dibelakang) malah ada pemeo “Swarga nunut neraka
katut” ‘ke surga ataupun ke neraka, istri hanya mengikuti suami3 .
Masyarakat perempuan baduy saat ini sudah banyak yang melakukan pekerjaan dengan
alasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya seperti narasumber bernama Teh
A yang melakukan pekerjaan sebagai petani di ladang padi bersama suaminya. Disamping
meladang itu teh A yang bekerja sebagai petani sembari mengasuh anaknya.

II. POKOK PERMASALAHAN

Berpijak pada pemikiran yang melatarbelakangi adanya pembuatan jurnal yang mengangkat
judul “Hak Perempuan Pada Pedalaman Suku Baduy”. Beberapa hal yang perlu disajikan
dalam jurnal diantaranya.
1. Apa Hak-hak Perempuan dalam Undang - Undang serta Permasalahan Hak Perempuan
di Baduy?
2. Bagaimana Hak-hak Perempuan Pekerja di Baduy dan Faktor Penyebab Perempuan
Baduy Bekerja?

III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1 Hak hak Perempuan dalam Undang Undang serta Permasalahan Hak Perempuan di
Baduy

3
R. Cecep Eka Permana, Kesetaraan Gender dalam Adat Inti Jagad, (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2005), hlm. 2
Di Indonesia pengaturan tentang hak perempuan dapat ditemui dalam Pasal 45-51 UU
No. 39 Tahun 1999. Selain itu Indonesia juga telah meratifikasi sejumlah perjanjian
internasional yang berkenaan dengan hak perempuan seperti: Convention on the Elimination
of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) melalui UU No. 7 Tahun 1984.
Secara kelembagaan, Indonesia juga telah membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Peraturan Presiden No. 181 Tahun 1998
tanggal 9 Oktober 1998 yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun
2005
Menurut Krisnalita hak perempuan sendiri mencakup berbagai jenis hak yang
cakupannya cukup luas seperti :
1. Hak-hak di bidang politik, antara lain: Hak untuk berpartisipasi dalam pemerinta ha n
dengan ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan;
Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk menentuka n
wakil rakyat di pemerintahan; dan Hak untuk ambil bagian dalam organisasi- organisas i
pemerintahan dan non pemerintahan dan himpunan– himpunan yang berkaitan dengan
kehidupan pemerintahan dan politik negara tersebut.
2. Hak-hak kewarganegaraan. Setiap perempuan mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan kewarganegaraan suatu negara ketika mereka dapat memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang- undangan di negara terkait.
3. Hak atas pendidikan dan pengajaran.
4. Hak atas pekerjaan.
5. Hak di bidang kesehatan.

Dalam upaya untuk mewujudkan pemenuhan hak perempuan, salah satu prinsip yang
diperkenalkan dan dikembangkan adalah prinsip kesetaraan gender. Istilah gender sendiri
diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki- laki
yang bersifat kodrati dan yang merupakan hasil bentukan budaya. 4

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini selalu dikaitkan dengan budaya dengan
menunjuk kepada perbedaan status dan peranan laki-laki dan perempuan yang terbentuk dalam
proses sosial dan budaya yang panjang.5 Prinsip kesetaraan gender ditandai dengan kondisi
bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak- haknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi,
sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional serta kesamaan dalam
menikmati hasil pembangunan. Kesetaraan gender juga meliputi meliputi penghapusan
diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Hukum mengenai hak hak perempuan mempunyai tujuan untuk mewujudkan tata tertib
dalam masyarakat dan kepastian hukum, dan keadilan. Dalam istilah “keadilan” terdapat istila h
“adil” yang menjadi kata dasarnya. Kamus Besar Indonesia, adil diartikan sebagai: (1). sama
berat; tidak berat sebelah; tidak memihak; (2). berpihak kepada yang benar; berpegang pada
kebenaran; (3). sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan
tidak ada lagi diskriminasi terhadap hak hak perempuan. Terutama pada perempuan yang hidup
kental dengan adat istiadat.
[
Berdasarkan perspektif masyarakat Baduy permasalahan terkait dengan hak hak
perempuan terjadi pada konsep 'kesejajaran' pria dan wanita belum seperti yang diharapkan.

4
Nazia Maulia Amini, Interaksi Sosial Perempuan Pekerja Baduy, (Januari 2019)
5
Baiq Setiyana, Fungsi dan Peran Wanita dalam Masyarakat Baduy, Vol. 3, (Agustus 2006)
Umumnya, wanita digariskan untuk menjadi istri dan ibu. Sejalan dengan itu, stereotip yang
dikenakan pada wanita (isteri) adalah makhluk yang emosional, pasif, lemah, dependen,
dekoratif, tidak asertif, dan tidak kompeten kecuali untuk tugas rumah tangga. 6 Sementara itu
pria (suami) harus menanggung keluarga sehingga status mereka lebih tinggi daripada wanita
dan bahkan mempunyai hak untuk mengendalikan Wanita. Peran besar kaum wanita dalam
pekerjaan dan pendapatan tidak selalu diikuti oleh meningkatnya kedudukan, otonomi ataupun
kekuasaan mereka dalam rumah tangga dan masyarakat. Sering kali keterampilan kerja wanita
dalam praktiknya tidak berbeda dengan pria, misalnya pada buruh, namun ruang geraknya
dibatasi oleh nilai-nilai gender di rumah tangga dan di tempat kerja.
Salah satu aset leluhur tersebut dapat dijumpai pada masyarakat Baduy. Masyarakat ini
bermukim dalam wilayah administratif Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten Selatan, Jawa Barat. Masyarakat Baduy menganggap dirinya sebagai penghuni
dan pemelihara pancer bumi atau pusat dunia. Mereka menjalankan kehidupan secara bersahaja
dengan menggantungkan hidupnya terutama dari bercocok tanam padi sederhana di ladang.
Pada masyarakat Baduy, pria dan wanita masing- masing mempunyai peranan dan kedudukan
yang penting. Bahkan wanita memiliki berbagai keunggulan dalam kehidupan bermasyarakat.
Wanita sebagai mitra sejajar pria sangat kentara pada masyarakat ini.
7 Hal ini disebabkan ada beberapa konsep budaya dalam masyarakat Baduy yang

mampu “menetralisir kekuasaan” pria tersebut, yakni :


1. Konsep Ambu, pada dasarnya merupakan konsep yang bersifat dan berlaku secara
umum, baik dalam kehidupan sebelum turun ke dunia, kehidupan di dunia, kehidupan
di dalam kubur, maupun kehidupan di akhirat kelak. Ambu yang mempersonifikas ika n
sosok wanita (ibu) digambarkan memiliki sifat melindungi, memelihara, dan
mengayomi seseorang atau manusia, mulai dari sebelum turun ke dunia, hidup diatas
dunia, setelah mati (dalam alam kubur), dan sampai di akhirat kelak (kahyangan).
2. Konsep Nyi Pohaci, pada dasarnya lebih bersifat khusus, yakni berkaitan erat dengan
kegiatan perladangan (menanam padi). Orang Baduy menganggap kegiatan
perladangan, khususnya menanam padi, merupakan kewajiban bagi setiap keluarga
Baduy.
3. Konsep Keseimbangan, konsep ini tidak hanya fokus pada wanita, seperti kedua konsep
lainnya, tetapi juga pada pria. Tujuan atas ke semuanya, terutama, menciptaka n
kehidupan yang seimbang dan harmonis, baik dalam hubungan manusia dan manusia,
manusia dan makhluk lain, maupun manusia dan alam lingkungannya. Tidak ada
perbedaan yang tegas dan ketat antara pekerjaan pria dan wanita dalam masyarakat
Baduy.

3.2 Hak-hak Perempuan Pekerja di Baduy dan Faktor Penyebab Perempuan Baduy
Bekerja
Pekerja perempuan suku baduy luar umumnya adalah seorang petani dengan kegiatan
berladang wanita disana dengan sebutan ambu yang berarti wanita. Peran fungsi ambu

6
R. Cecep Eka Permana, Kesetaraan Gender dalam Adat Inti Jagad, (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2005), hlm. 1
7
Setiani, B. (1970, January 1). Fungsi dan Peran wanita Dalam Masyarakat Bad uy. Lex Jurnalica.
memiliki posisi penting dalam suku baduy ini. Seiring berjalannya waktu kebutuhan beban
hidup menjadikan seorang wanita ambu untuk bekerja memenuhi kebutuhannya dan
keluarganya. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara yang dilakukan kepada Jaro Saija yang
merupakan kepala suku Kanekes “Disini wanita baduy rata rata bekerja di ladang membantu
suaminya. Berladang dilakukan sambil mengasuh dan mengurus rumah tangga.”
Berikut ini adalah beberapa wanita baduy diwawancarai mereka merupakan perempuan
yang melakukan pekerjaan atau double burden karena selain mereka mengurus rumah dengan
membersihkan rumah mengurus anak dan suami mereka melakukan pekerjaan yang
menghasilkan uang. Jadi Double burden ini adalah tugas dan tanggung jawab perempuan yang
berat. Dalam artian Double burden ini seorang perempuan memikul dua kewajiban yaitu
mengurus rumah dan anak dan memikul beban mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dan keluarganya. Narasumber pertama bernama Teh A yang berusia 35 tahun ia
merupakan orang baduy luar. Teh A melakukan pekerjaan sebagai petani di ladang padi
bersama suaminya. Disamping meladang itu teh A mengasuh anaknya yang masih balita.
Narasumber kedua bernama Teh M berusia 32 Tahun yang merupakan orang baduy luar yang
melakukan pekerjaan sebagai petani di ladang dan menenun kegiatan tersebut dilakukan
sembari mengasuh anaknya. Narasumber ketiga bernama Teh AD yang merupakan orang
baduy luar yang berusia 45 tahun melakukan pekerjaan petani. Teh AD bekerja untuk
memenuhi kebutuhan dirinya dan dua anaknya karena suaminya telah meninggal dunia.
Faktor yang mempengaruhi wanita pekerja adalah karena kebutuhan hidup yang
meningkat, wanita yang bekerja di luar Baduy disebabkan karena adanya motivasi dalam diri
wanita pekerja. Motivasi dari dalam diri itu seperti ingin membahagiakan keluarga. Hal
tersebut mengharuskan wanita Baduy yang identik dengan berhuma atau bertenun kini beralih
profesi demi keberlangsungan hidup keluarga mereka.
8 Di dalam bekerja umumnya memiliki hambatan-hambatan begitu pula pada wanita

suku Baduy pasti memiliki hambatan-hambatan baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Hambatan yang berasal dari internal, yakni :
1) Motivasi wanita bekerja
2) Beberapa sifat kodrati wanita
3) Kehamilan bagi wanita yang berkeluarga
Faktor eksternalnya adalah:
1) Kurangnya kesempatan
2) Sikap pimpinan/pria pada umumnya
3) Faktor keluarga
Seiring berjalannya waktu meningkatnya kebutuhan membuat beban hidup mereka
yang menjadikan mereka bekerja. Bekerja merupakan kebutuhan orang orang yang sudah
berkeluarga pada umumnya. Namun ada pula sebagian dari mereka yang bekerja bukan
didasari atas alasan keluarga. Jenis pekerjaan yang dapat mereka kerjakan pun beraneka jenis
mulai dari non formal sampai yang bersifat formal pada perusahaan perusahaan ternama. Jika
pada masyarakat kota yang kebutuhannya jauh lebih mudah untuk dipenuhi apalagi dengan

8
Nazia Maulia Amini. (2017, July 28). Interaksi Sosial Wanita Pekerja Baduy (Studi Kasus para Wanita Baduy
Yang Bekerja di Luar Wilayah Baduy).
masyarakat yang berada di pedesaan. Mereka tentunya akan berusaha keras untuk menjaga
keseimbangan perekonomian keluarga dengan cara bekerja apapun. Ini tercermin pada wanita
Baduy yang bekerja, dimana mereka rela membanting tulang bekerja di sektor non formal.

IV. KESIMPULAN

4.1 Hak hak Perempuan dalam Undang Undang serta Permasalahan Hak Perempuan di
Baduy

Menurut Krisnalita hak perempuan sendiri mencakup berbagai jenis hak yang
cakupannya cukup luas seperti :
1. Hak-hak di bidang politik, antara lain: Hak untuk berpartisipasi dalam pemerinta ha n
dengan ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan;
Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk menentuka n
wakil rakyat di pemerintahan; dan Hak untuk ambil bagian dalam organisasi- organisas i
pemerintahan dan non pemerintahan dan himpunan– himpunan yang berkaitan dengan
kehidupan pemerintahan dan politik negara tersebut.
2. Hak-hak kewarganegaraan. Setiap perempuan mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan kewarganegaraan suatu negara ketika mereka dapat memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang- undangan di negara terkait.
3. Hak atas pendidikan dan pengajaran.
4. Hak atas pekerjaan.
5. Hak di bidang kesehatan.

Hukum mengenai hak hak perempuan mempunyai tujuan untuk mewujudkan tata tertib
dalam masyarakat dan kepastian hukum, dan keadilan. Dalam istilah “keadilan” terdapat istila h
“adil” yang menjadi kata dasarnya. Kamus Besar Indonesia, adil diartikan sebagai: (1). sama
berat; tidak berat sebelah; tidak memihak; (2). berpihak kepada yang benar; berpegang pada
kebenaran; (3). sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan
tidak ada lagi diskriminasi terhadap hak hak perempuan. Terutama pada perempuan yang hidup
kental dengan adat istiadat.

4.2 Hak-hak Perempuan Pekerja di Baduy dan Faktor Penye bab Perempuan Baduy
Bekerja

Faktor yang mempengaruhi wanita pekerja adalah karena kebutuhan hidup yang
meningkat, wanita yang bekerja di luar Baduy disebabkan karena adanya motivasi dalam diri
wanita pekerja. Motivasi dari dalam diri itu seperti ingin membahagiakan keluarga. Hal
tersebut mengharuskan wanita Baduy yang identik dengan berhuma atau bertenun kini beralih
profesi demi keberlangsungan hidup keluarga mereka.
Di dalam bekerja umumnya memiliki hambatan-hambatan begitu pula pada wanita suku
Baduy pasti memiliki hambatan-hambatan baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Hambatan yang berasal dari internal, yakni :
1. Motivasi wanita bekerja
2. Beberapa sifat kodrati wanita
3. Kehamilan bagi wanita yang berkeluarga
Faktor eksternalnya adalah:
1. Kurangnya kesempatan
2. Sikap pimpinan/pria pada umumnya
3. Faktor keluarga
DAFTAR PUSTAKA

Amini, N. M. (2019 ). Interaksi Sosial Perempuan Pekerja Baduy .

B, S. (1970). Fungsi dan Peran wanita dalam Masyarakat Baduy. lex jurnalica.

Badruzaman, D. (2019). Fenomena Perkawinan Suku Pedalaman Menyoroti Praktek Budaya


dan Gender dalam Tradisi Suku Baduy.

Bangun, B. H. (2020 ). Hak Perempuan dan Kesetaraan Gender dalam Perspektif Filsafat
Hukum .

Mansur, F. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial . Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Muhammad, N. (2017). Peran Wanita Baduy dalam Pmenuhan Kebutuhan Keluarga .

Permana, R. C. (2005). Kesetaraan Gender dalam AdatInti Jagad. Jakarta: Wedatama


Widya.

Prantiasih. (2012). Hak Asasi Manusia bagi Perempuan .

Sadjarudin, S. (2008). Konsep Dasar IPS . Bandung.

Setiyana, B. (2006). Fungsi dan Peran Wanita dalam Masyarakat Baduy .

Anda mungkin juga menyukai