Anda di halaman 1dari 3

Nama : A.

A Sagung Shinta Mahagita

Asal Sekolah : SMP Dwijendra Denpasar

Dilematika Emansipasi Perempuan Hindu Bali

Permasalahan ketidaksetaraan gender merupakan hal yang umum untuk


diperbincangkan diberbagai bidang baik pendidikan, politik, ekonomi dan bahkan
menjadi wacana yang serius maupun ringan ditengah-tengah masyarakat. Wacana
yang timbul dari doktrin budaya patriaki selama tiga ribuan tahun berdasarkan
pernyataan Fritjof Capra yang mengatakan “laki-laki dengan kekuatan, tekanan
langsung, atau melalui ritual, tradisi, hukum, dan bahasa, adat kebiasaan, etiket,
pendidikan, dan pembagian kerja menentukan peran apa yang boleh dan tidak
dimainkan oleh perempuan dimana perempuan dianggap lebih rendah daripada
laki-laki” (Capra; 14) yang seakan tampak sebagai hukum alam dan
mempengaruhi serta melekat pada pemikiran masyarakat secara menyeluruh yang
lebih menjunjung tinggi laki-laki daripada kaum perempuan yang memiliki
kesamaan yakni sama-sama ciptaan tuhan. Perbincangan tiada akhir, tanpa batas,
dan ketidaksetaraan gender yang tidak ada habisnya dan seakan tidak bisa
diselesaikan mendorong munculnya gerakan emansipasi wanita di berbagai
belahan dunia. Gerakan emansipasi perempuan ini umumnya bertujuan untuk
memperbaiki tatanan masyarakat maupun pemerintahan yang cukup kondusif
menciptakan gejala ketimpangan perlakuan antara perempuan dan laki-laki.

Beberapa contoh gerakan emansipasi wanita diberbagai belahan dunia


adalah Gerakan emansipasi wanita di Amerika pada abad ke-19 yang dibuktikan
dengan diadakannya konvensi pada tanggal 19-20 Juli 1848 oleh Lucretia Mott
dan Elizabeth Cady Stanton yang membahas tentang hak sipil,sosial, dan agama
kaum perempuan yang menghasilkan satu dekralasi yang dinamakan “ The
Declaration of Sentiment” dan berlanjut dengan terbentuknya National Women
Suffrage Association serta mendorong munculnya gerakan bagi kaum perempuan
seperti American Women Suffrage Association, The Women Trade Union
League, The Women Temperance Union, dan gerakan kaum perempuan lainnya.
Didorong oleh gerakan emansipasi yang terjadi di Amerika, mulai mendorong
kesadaran emansipasi pada berbagai negara seperti: di Cile yang terjadi pada
tahun 1919 yang memperjuangkan hak pendidikan pada kaum perempuan;
Gerakan perempuan di Filipina yang disebabkan oleh terjadinya penindasan dan
eksploitasi perempuan berdasarkan jenis kelamin; serta didirikannya organisasi
perempuan yang pertama di Australia yang menuntut amandemen terhadap hak
pilih perempuan. Gerakan-gerakan kaum perempuan yang terjadi seperti diatas
menandakan dan memperlihatkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan pada
kala itu tidak memiliki hak yang sama dalam hal politik, sosial, pendidikan
maupun hak-hak dibidang lainnya. Hal ini juga terjadi di Indonesia,
ketidaksetaraan gender ini sangat terlihat jelas di Indonesia pada masa kolonial
penjajahan Belanda pada abad ke-19. Pada masa itu, masyarakat masih terkekang
dengan budaya adat istiadat setempat yang sangat menentang pendidikan bagi
kaum perempuan dan hanya menekankan kewajiban dan tanggungjawab
perempuan yang harus menurut pada suami atau laki-laki dan mengurus pekerjaan
rumah tangga lainnya. Perempuan dianggap the second sex yang hanya bertugas
membantu suami saja. Mengacu pada gerakan emansipasi perempuan yang terjadi
di berbagai belahan dunia, dan permasalahan hak diskriminasi pendidikan di
Indonesia, mendorong RA. Kartini dan tokoh emansipasi perempuan lainnya
untuk melakukan pemberontakan terhadap budaya serta adat istiadat yang
melarang pendidikan bagi kaum perempuan di Indonesia.

Gerakan emansipasi perempuan memang telah banyak terjadi, penguatan


melalui jalur hukum dengan menerbitkan undang-undang dan asosiasi lainnya
telah dilaksanakan namun, hal yang tidak kita bisa pungkiri hingga saat ini adalah
hegemoni budaya patriarki yang melekat pada pemikiran manusia masih tidak
bisa kita hapuskan. Penghapusan dan bahkan gebrakan yang dilakukan RA.
Kartini yang mendobrak budaya Jawa untuk mengizinkan pengenyaman
pendidikan bagi kaum perempuan di Indonesia memang telah berhasil namun,
Indonesia dengan berbagai hukum adat dan istiadatnya masih harus kita
perhatikan dengan seksama. Mendobrak satu budaya bukan berarti mendobrak
budaya lainnya secara mengkhusus. Hal ini kita bisa rasakan sendiri berdasarkan
fakta-fakta yang memperlihatkan bagaimana Hukum Adat di Bali begitu mengikat
dan membelenggu kaum perempuan. Hal ini dapat terlihat dalam hal kedudukan
laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, pewarisan, dan perannya dalam
kehidupan sosial di masyarakat. Dalam kehidupan sosial, laki-laki di Bali
memiliki keistimewaan tersendiri di masyarakat yang dapat dilihat dari
pengambilan keputusan penting di masyarakat yang hanya laki-laki yang berhak
memutuskan, dalam hal pewarisan hanya anak laki-laki yang berhak mewarisi, hal
ini juga terlihat dalam hal terhadap status kepemilikan anak yang semuanya jatuh
pada pihak laki-laki. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan prinsip
kesamaan yang ditekankan dalam kesetaraan gender. Jika kita melihat secara
umum, Hukum Adat dan Istiadat di Bali memang seakan-akan
mengenyampingkan prinsip kesamaan dalam kesetaraan gender namun, jika
dilihat dari kesetaraan gender dalam pandangan Perempuan Bali itu sendiri.
Sebagian besar, perempuan di Bali menganggap atau tidak merasa mengalami
ketidakadilan gender, mereka menganggap dan memaknai setiap perannya sebagai
sebuah kewajiban walaupun sebenarnya mereka merasakan beban kerja akibat
ketimpangan peran yang diterimanya. Hal ini diyakini disebabkan oleh adanya
penafsiran yang salah dalam merefleksikan pemahaman akan konsep purusa dan
pradana dalam wujud laki-laki dan perempuan yang telah menimbulkan adanya
ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan di Bali terutama dalam adat
perkawinan dimana perempuan (predana) dianggap lebih rendah kedudukannya
dari pada laki-laki (purusa) sehingga perempuan di Bali sering dianggap sebagai
“pewaris tanpa warisan”. Hal ini tentunya menjadi dilema, karena jika dikaitkan
dengan kesetaraan gender secara umum, kehidupan sosial masyarakat Bali
khususnya bagi kaum perempuan terlihat tidak memperlihatkan adanya kesetaraan
gender namun, jika dilihat dari hukum adat Hindu di Bali, hal tersebut dianggap
sebagai sebuah kewajiban yang mendarah daging dan menjadi hal yang lumrah
bagi masyarakat Bali.

Anda mungkin juga menyukai