0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan3 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang dilematika emansipasi perempuan Hindu di Bali. Gerakan emansipasi perempuan bertujuan untuk memperbaiki ketimpangan gender dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, hukum adat Bali yang sangat dipengaruhi ajaran Hindu masih memberikan peran dan hak yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, warisan, dan pengambilan keputusan masyarakat. Ini menimbulkan dilema
Dokumen tersebut membahas tentang dilematika emansipasi perempuan Hindu di Bali. Gerakan emansipasi perempuan bertujuan untuk memperbaiki ketimpangan gender dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, hukum adat Bali yang sangat dipengaruhi ajaran Hindu masih memberikan peran dan hak yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, warisan, dan pengambilan keputusan masyarakat. Ini menimbulkan dilema
Dokumen tersebut membahas tentang dilematika emansipasi perempuan Hindu di Bali. Gerakan emansipasi perempuan bertujuan untuk memperbaiki ketimpangan gender dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, hukum adat Bali yang sangat dipengaruhi ajaran Hindu masih memberikan peran dan hak yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, warisan, dan pengambilan keputusan masyarakat. Ini menimbulkan dilema
Permasalahan ketidaksetaraan gender merupakan hal yang umum untuk
diperbincangkan diberbagai bidang baik pendidikan, politik, ekonomi dan bahkan menjadi wacana yang serius maupun ringan ditengah-tengah masyarakat. Wacana yang timbul dari doktrin budaya patriaki selama tiga ribuan tahun berdasarkan pernyataan Fritjof Capra yang mengatakan “laki-laki dengan kekuatan, tekanan langsung, atau melalui ritual, tradisi, hukum, dan bahasa, adat kebiasaan, etiket, pendidikan, dan pembagian kerja menentukan peran apa yang boleh dan tidak dimainkan oleh perempuan dimana perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki” (Capra; 14) yang seakan tampak sebagai hukum alam dan mempengaruhi serta melekat pada pemikiran masyarakat secara menyeluruh yang lebih menjunjung tinggi laki-laki daripada kaum perempuan yang memiliki kesamaan yakni sama-sama ciptaan tuhan. Perbincangan tiada akhir, tanpa batas, dan ketidaksetaraan gender yang tidak ada habisnya dan seakan tidak bisa diselesaikan mendorong munculnya gerakan emansipasi wanita di berbagai belahan dunia. Gerakan emansipasi perempuan ini umumnya bertujuan untuk memperbaiki tatanan masyarakat maupun pemerintahan yang cukup kondusif menciptakan gejala ketimpangan perlakuan antara perempuan dan laki-laki.
Beberapa contoh gerakan emansipasi wanita diberbagai belahan dunia
adalah Gerakan emansipasi wanita di Amerika pada abad ke-19 yang dibuktikan dengan diadakannya konvensi pada tanggal 19-20 Juli 1848 oleh Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton yang membahas tentang hak sipil,sosial, dan agama kaum perempuan yang menghasilkan satu dekralasi yang dinamakan “ The Declaration of Sentiment” dan berlanjut dengan terbentuknya National Women Suffrage Association serta mendorong munculnya gerakan bagi kaum perempuan seperti American Women Suffrage Association, The Women Trade Union League, The Women Temperance Union, dan gerakan kaum perempuan lainnya. Didorong oleh gerakan emansipasi yang terjadi di Amerika, mulai mendorong kesadaran emansipasi pada berbagai negara seperti: di Cile yang terjadi pada tahun 1919 yang memperjuangkan hak pendidikan pada kaum perempuan; Gerakan perempuan di Filipina yang disebabkan oleh terjadinya penindasan dan eksploitasi perempuan berdasarkan jenis kelamin; serta didirikannya organisasi perempuan yang pertama di Australia yang menuntut amandemen terhadap hak pilih perempuan. Gerakan-gerakan kaum perempuan yang terjadi seperti diatas menandakan dan memperlihatkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan pada kala itu tidak memiliki hak yang sama dalam hal politik, sosial, pendidikan maupun hak-hak dibidang lainnya. Hal ini juga terjadi di Indonesia, ketidaksetaraan gender ini sangat terlihat jelas di Indonesia pada masa kolonial penjajahan Belanda pada abad ke-19. Pada masa itu, masyarakat masih terkekang dengan budaya adat istiadat setempat yang sangat menentang pendidikan bagi kaum perempuan dan hanya menekankan kewajiban dan tanggungjawab perempuan yang harus menurut pada suami atau laki-laki dan mengurus pekerjaan rumah tangga lainnya. Perempuan dianggap the second sex yang hanya bertugas membantu suami saja. Mengacu pada gerakan emansipasi perempuan yang terjadi di berbagai belahan dunia, dan permasalahan hak diskriminasi pendidikan di Indonesia, mendorong RA. Kartini dan tokoh emansipasi perempuan lainnya untuk melakukan pemberontakan terhadap budaya serta adat istiadat yang melarang pendidikan bagi kaum perempuan di Indonesia.
Gerakan emansipasi perempuan memang telah banyak terjadi, penguatan
melalui jalur hukum dengan menerbitkan undang-undang dan asosiasi lainnya telah dilaksanakan namun, hal yang tidak kita bisa pungkiri hingga saat ini adalah hegemoni budaya patriarki yang melekat pada pemikiran manusia masih tidak bisa kita hapuskan. Penghapusan dan bahkan gebrakan yang dilakukan RA. Kartini yang mendobrak budaya Jawa untuk mengizinkan pengenyaman pendidikan bagi kaum perempuan di Indonesia memang telah berhasil namun, Indonesia dengan berbagai hukum adat dan istiadatnya masih harus kita perhatikan dengan seksama. Mendobrak satu budaya bukan berarti mendobrak budaya lainnya secara mengkhusus. Hal ini kita bisa rasakan sendiri berdasarkan fakta-fakta yang memperlihatkan bagaimana Hukum Adat di Bali begitu mengikat dan membelenggu kaum perempuan. Hal ini dapat terlihat dalam hal kedudukan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, pewarisan, dan perannya dalam kehidupan sosial di masyarakat. Dalam kehidupan sosial, laki-laki di Bali memiliki keistimewaan tersendiri di masyarakat yang dapat dilihat dari pengambilan keputusan penting di masyarakat yang hanya laki-laki yang berhak memutuskan, dalam hal pewarisan hanya anak laki-laki yang berhak mewarisi, hal ini juga terlihat dalam hal terhadap status kepemilikan anak yang semuanya jatuh pada pihak laki-laki. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan prinsip kesamaan yang ditekankan dalam kesetaraan gender. Jika kita melihat secara umum, Hukum Adat dan Istiadat di Bali memang seakan-akan mengenyampingkan prinsip kesamaan dalam kesetaraan gender namun, jika dilihat dari kesetaraan gender dalam pandangan Perempuan Bali itu sendiri. Sebagian besar, perempuan di Bali menganggap atau tidak merasa mengalami ketidakadilan gender, mereka menganggap dan memaknai setiap perannya sebagai sebuah kewajiban walaupun sebenarnya mereka merasakan beban kerja akibat ketimpangan peran yang diterimanya. Hal ini diyakini disebabkan oleh adanya penafsiran yang salah dalam merefleksikan pemahaman akan konsep purusa dan pradana dalam wujud laki-laki dan perempuan yang telah menimbulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan di Bali terutama dalam adat perkawinan dimana perempuan (predana) dianggap lebih rendah kedudukannya dari pada laki-laki (purusa) sehingga perempuan di Bali sering dianggap sebagai “pewaris tanpa warisan”. Hal ini tentunya menjadi dilema, karena jika dikaitkan dengan kesetaraan gender secara umum, kehidupan sosial masyarakat Bali khususnya bagi kaum perempuan terlihat tidak memperlihatkan adanya kesetaraan gender namun, jika dilihat dari hukum adat Hindu di Bali, hal tersebut dianggap sebagai sebuah kewajiban yang mendarah daging dan menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat Bali.