Anda di halaman 1dari 18

“TANTANGAN PEREMPUAN DALAM MENGISI RUANG-RUANG KEPEMIMPINAN

NASIONAL”

Ladin Takulani

HMI Cabang Semarang

adhin1604@gmail.com/082137537692

ABSTRAC
Basically women's leadership is not a big problem, because a quality leader
does not lie in gender but how a leader implements it. The challenge for women
from the past and even today is the patriarchal culture that is cultivating in the
world community, this is what sometimes makes the role of women always
marginalized in the general areas of society. Currently, with the emergence of
several female leaders in the world, even in Indonesia itself, it shows that
women have a deeper place and role in society. Due to differences in physical,
psychological, and different functions, women's leadership tends to be different
from men's.

Keywords : Tantangan, Kepemimpinan, Perempuan


I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah patriarki yang mengkultur dimasyarakat menjadi isu seksi yang perlu
dibahas karena telah merenggut kebebasan kaum perempuan. Sistem patriarki yang
mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan
ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan
manusia. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat,
sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak
memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat, baik secara ekonomi,
sosial, politik, dan psikologi, bahkan termasuk di dalamnya institusi pernikahan.
Sampai saat ini, gagasan untuk menciptakan kesetaraan gender tampaknya masih
menjadi perdebatan. Setidaknya, pada banyak tempat termasuk untuk posisi
kepemimpinan perempuan masih dianggap tidak mampu bahkan tidak pantas.
Memang terdapat perbedaan kecenderungan dalam gaya kepemimpinan laki-laki
dan perempuan karena sifatnya. Tuhan pun menciptakan perempuan berbeda dengan
pria secara fisik dan kejiwaan serta dengan fungsi yang berbeda pula.

Di Indonesia sendiri budaya patriarki masih melekat di kehidupan masyarakat.


Hal inilah yang membuat kaum perempuan merasa tersisihkan dari berbagai aspek
kehidupan termasuk ruang kepemimpinan diberbagai sektor. Padahal demokrasi
mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki,
maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah
dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan.
Keterwakilan perempuan di Indonesia dalam jabatan publik yaitu parlemen telah
diatur didalam UU No. 8 Tahun Selain menetapkan jumlah calon di masingmasing
daerah pemilihan, diatur juga bahwa calon-calon yang diusulkan harus memenuhi
keterwakilan perempuan 30%, hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 55.

Ketimpangan perempuan dalam parlemen menjadikan mereka semakin tersisih


perannya sebagai anggota masyarakat. Dalam hal ini perlu pendidikan bagi
perempuan untuk belajar public speaking agar menyadari dirinya berharga dalam
kehidupan di masyarakat. Pendidikan perempuan menjadi salah satu alternatif untuk
meningkatkan harkat dan martabat perempuan salah satunya melalui forum diskusi
atau organisasi. Oleh karena itu kaum perempuan harus mempunyai ambisi untuk
menunjukan bahwa mereka tidak hanya berperan dilingkungan domestik tetapi
perempuan pun bisa berperan diruang-ruang publik terutama pada bidang politik.

Dalam perspektif Islam dijelaskan bahwasannya manusia sebagai makhluk


sosial memerlukan hubungan dengan manusia yang lain, kemudian mereka
membentuk kelompok-kelompok baik kecil maupun besar, dimana dalam sebuahh
kelompok memerlukan seorang pemimpin. Dijelaskan dalam Q.s Al-Baqarah ayat 30
bahwasanya manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi yang berarti sebagai
wakil tuhan untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam kepemimpinannya.

Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka rumusan masalah dalam jurnal ini
yaitu:

1. Apa saja tantangan dalam kepemimpinan perempuan?


2. Bagaimana gambaran kepemimpinan di Indonesia dan diluar negeri?
3. Mengapa perempuan belum mampu mengiisi kuota 30% di parlemen?
4. Bagaimana perspektif Islam dalam kepemimpinan perempuan?

Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dalam penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui tantangan-tantangan yang dihadapi dalam kepemimpinan


perempuan.
2. Untuk menguraikan gambaran kepemimpinan di Indonesia dan diluar negeri.

3. Untuk mengetahui alasan dibalik tidak terpenuhinya kuota 30% tersebut.

4. Untuk menjelaskan pandangan Islam dalam kepemimpinan perempuan


II. PEMBAHASAN

2.1 TANTANGAN PEREMPUAN DALAM MENGISI RUANG-RUANG


KEPEMIMPINAN NASIONAL

A. Budaya Patriarki

Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai


pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan
politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam domain
keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan,
anak-anak dan harta benda.

Merriam Webster, Patriartki adalah organisasi sosial yang ditandai dengan


supremasi ayah dalam klan atau keluarga, ketergantungan hukum terhadap
istri dan anak, serta penghitungan keturunan dan warisan dalam garis
keturunan laki-laki.

Your Dictionary, Pengertian patriarki adalah suatu bentuk organisasi sosial


di mana ayah atau laki-laki tertua diakui sebagai kepala keluarga atau suku,
keturunan dan kekerabatan dilacak melalui garis laki-laki. Dalam hal ini
segenap pemerintahan, aturan, atau dominasi laki-laki, seperti dalam keluarga
atau suku. Sehingga sistem sosial dalam masyarakat di mana laki-laki adalah
kepala rumah tangga, memegang kekuasaan paling besar dan di mana garis
keturunan keluarga diteruskan melalui laki-laki.

Patriarki sendiri artinya kekuasaan sang ayah atau patriarch. Hal itu
berkaitan dengan sistem sosial, dimana sang ayah menguasai semua anggota
keluarga, semua harta milik serta sumber-sumber ekonomi dan membuat
semua keputusan penting. Sejalan dengan sistem sosial tersebut adalah
kepercayaan atau ideologi bahwa lelaki lebih tinggi kedudukannya dibanding
perempuan1

1
Kamla Dahsin dan Nighat Said Khan. 1995. Feminisme dan Relevansinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Secara historis, patriarki telah terwujud dalam organisasi sosial, hukum,
politik, agama dan ekonomi dari berbagai budaya yang berbeda. Bahkan ketika
tidak secara gamblang tertuang dalam konstitusi dan hukum, sebagian besar
masyarakat kontemporer adalah, pada praktiknya, bersifat patriarkal.

Kini istilah itu secara umum digunakan untuk menyebut “kekuasaan laki-
laki”, khususnya hubungan kekuasaan antara laki-laki terhadap perempuan
yang di dalamnya berlangsung dominasi laki-laki atas perempuan yang
direalisasikan melalui bermacam-macam media dan cara. Perempuan sendiri
diartikan sebagai induk atau ahli sehingga tersirat nilai penghormatan
didalamnya.2 Namun kenyataan akan adanya perbedaan antara perempuan
dan laki-laki dari berbagai aspek, telah mendorong para aktivis untuk berjuang
dan upaya untuk menghilangkan pandangan yang mengakibatkan perbedaan
itu.3 Jika kita lihat, sistem budaya patriarki seakan-akan sudah menjadi alamiah
dari asal muasalnya. Karena itu pula, anggapan bahwa kaum perempuan
secara kodrati memang lebih lemah dari kaum laki-laki juga seakan-akan
merupakan cara pandang yang sudah menjadi kodrat bawaan sejak lahir.

Berdasarkan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya


patriarki ialah suatu sistem sosial yang mengkultur pada masyarakat yang tidak
terlepas dari history dikenalnya patriarki itu sendiri, hubungan timbal balik

anatara laki dan perempuan pertama-tama bersifat sosial4, hanya karena


budaya masyarakat dunia yang menganggap bahwa kodrat seorang
perempuan itu lebih rendah atau tepatnya dibawah laki-laki. Padahal
perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada awalnya hanya terletak pada

pakaian mereka.5

Patriarki di negara Indonesia sendiri, memperlihatkan mengenai kedudukan


seorang laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sejarah nasional pun
menguak sebuah fakta dimana kaum perempuan tidak diperbolehkan untuk
menempuh pendidikan (kecuali perempuan tersebut berasal dari kalangan

2
Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda tetapi Setara. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
3
Elsina Titaley. 2012. Perempuan Naulu: Tradisionalisme dan Kultur Patriarki. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
4
Ivan Illich dan Heyday Books. 1998. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
5
V. Dwiyani. 2007. Manusia Laki-Laki dan Manusia Perempuan. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.
priyayi atau bangsawan), apalagi memiliki sebuah profesi diluar rumah atau ikut
berpartisipasi dalam birokrasi. Maka, muncul gerakan dari seorang bangswan
kelahiran Jepara, R.A Kartini yang memperjuangkan emansipasi perempuan di
bidang pendidikan. Sebagaimana yang telah dijelaskan sejarah bahwa
perempuan adalah kaum yang termarginalkan, paradigma terus terhegomoni
sampai sekarang sehingga perempuan selalu dianggap kaum lemah dan tidak
berdaya. Inilah faktanya bahwa seberapa kuat gerakan feminisme di Indonesia
namun budaya patriarki yang sudah dipegang erat oleh masyarakat Indonesia
sulit untuk dihilangkan. Walaupun perempuan saat ini sudah dapat menempuh
pendidikan dengan bebas namun kembali lagi jika sudah berumah tangga
harus dapat membagi peran, sebenarnya bias gender seperti ini muncul
karena konstruksi masyarakat itu sendiri.

Sedangkan dinegara lain seperti korea selatan yang mempunyai


perekonomian maju, ternyata masyarakatnya masih memiliki persoalan
ketidaksetaraan gender. Ketimpangan antara perempuan dan laki-laki hampir
terjadi di segala bidang, misalnya dalam bidang pendidikan, pekerjaan hingga
politik.

Berdasarkan Data Organization for Economic Cooperation and


Development (OECD), hanya 55 persen perempuan Korea dari usia 15 hingga
64 tahun berada dalam angkatan kerja dibandingkan dengan rata-rata 65
persen untuk negara-negara OECD. Tingkat partisipasi angkatan kerja
perempuan (LFPR) Republik Korea secara substansial tertinggal dari laki-laki
yang tingkat partisipasinya sekitar 77 persen. Persentasi tersebut mendekati
rata-rata OECD sebesar 79 persen.

Dalam fenomena patriarki yang kini telah menjadi salah satu budaya yang
melekat dikalangan masyarakat dunia, budaya patriarki sendiri malah seolah
tidak menjadi suatu problematika yang harus diselesaikan masyarakat dunia
karena telah berjalan pada kodratnya, padahal kalau konsep patriarki itu
dipahami, maka akan menjadi suatu isu yang central dibahas oleh kalangan
masyarakat dunia, terkhususnya perempuan. Namun saat ini banyak
perempuan dunia yang tidak tahu patriarki itu sendiri. Terkadang kaum
feminisme hadir untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan dengan
sistem patriarki ini.6

Filosofi yang diwariskan kepada kita sejak zaman perbudakan hingga


sekarang sedikit atau banyak telah mengalami perubahan sebagaimana
berubahnya sistem politik, ekonomi, termasuk perubahan pemahaman akan
nilai-nilai keagamaaan, moral, hubungan internasional dan individu.7

Kendala histori juga menjadi salah satu aspek central yang memicu
kuatnya budaya patriarki, berdasarkan data dari Survei Angkatan Kerja
Nasional (Sakernas), BPS, 2020 menunjukkan bahwa perempuan menerima
upah 23 persen lebih rendah dari laki-laki. Walaupun sama-sama mengantongi
ijazah sarjana, rata-rata perempuan mengantongi gaji sebesar Rp3,7 juta,
sementara laki-laki bisa mencapai Rp5,4 juta. Hal ini menunjukan bahwa
kesenjangan sosial benar-benar terlihat dikalangan masyarakat.

B. Money politic
Money Politic atau jual beli suara pada dasarnya adalah membeli
kedaulatan rakyat. Selain itu, rakyat yang menerima uang sebenarnya
menggadaikan kedaulatannya untuk masa waktu tertentu.

Menurut M. Abdul Kholiq dalam Gustia (2015 : 28) politik uang adalah
suatu tindakan membagi-bagikan uang atau materi lainnya baik milik pribadi
dari seorang politisi (calon Legislatif/calon presiden dan wakil presiden, calon
kepala daerah) atau milik partai untuk mempengaruhi suara pemilu yang
diselenggarakan.

Teori pertukaran memiliki asumsi dasar sebagai mahluk yang rasional,


memperhitungkan untung rugi. Teori pertukaran melihat bahwa manusia terus
menerus terlibat dalam memilih diantara perilaku-perilaku alternatif, dengan
pilihan mencerminkan cost and reward (biaya dan ganjaran) yang diharapkan

6
Hooks, Obell. 2020. Feminisme untuk Semua Orang. Sleman: Odise Publishing.
7
Nawal al-Sa’dawi dan Hibah Izzat. 2004. Perempuan, Agama dan Moralitas. Jakarta: Erlangga.
berhubungan dengan garis-garis perilaku alternatif tersebut, dimana dapat
dikatakan bahwa suatu tindakan adalah rasional berdasarkan perhitungan
untung rugi.
Politik uang ini marak terjadi di masyarakat. Bahkan sudah menjadi hal
yang biasa. Bahkan sebagian masyarakat berpandapat agar tidak memilih
peserta yang tidak memberikan mereka uang. Rasanya miris sekali
mendengarkan masyarakat yang berkata seperti itu. Masyarakat seakan-akan
sudah tidak perduli siapa yang akan menjadi pemimpin daerah mereka.
Mereka hanya perduli sebarapa banyak uang yang mereka dapatkan jika
memilih calon tersebut.
Salah satu contoh money politic ketika Satuan Reserse Kriminal Polres
Karo beserta Bawaslu melakukan rilis operasi tangkap tangan money politic
terhadap 5 orang yang diduga merupakan tim pemenangan calon legislatif dari
salah satu partai. Barang bukti uang tunai senilai lebih dari Rp 200 juta juga
dirilis pada Selasa (16/4/2019) dini hari di halaman Mapolres Karo.
Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa money
politic adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja, modus
yang biasanya dipakai dengan memberi dan menjanjikan uang atau materi
lainnya. Sesuai beberapa sumber yang mengatakan money politic marak
terjadi dikalangan masyarakat, ini menandakan bahwasannya demokrasi di
Indonesia masih bisa dipertaruhkan atau diperjual belikan, yang juga membuat
proses pemilu di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan nilainya.
Money politic dengan demikian adalah suatu bentuk pemberian ataupun
janji kepada seseorang, agar orang itu tidak menjalankan haknya untuk
memilih maupun supaya ia menjalankan dengan cara tertentu pada saat pesta
demokrasi. Walaupun praktik money politic yang dijalankan/dilakukan oleh
para calon yang akan dipilih, tapi amatlah sukar untuk membuktikan hal
tersebut, karna bagaimanapun si penerima uang dari calon yang akan dipilih
tidak akan berani membuka mulut.

2.2 Gambaran Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah proses memotivasi orang lain untuk bekerja dalam


rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 8 Beberapa aspek
kepemimpinan mempengaruhi perilakunya, proses pengarahan,seni
mempengaruhi, memotivasi pengikut, perolehan dukungan, dan proses

8 Susarto Wijono. 2018. Kepemimpinan dalam Perspektif Organisasi. 2018. Jakarta: Prenada
pelayananannya9. Tipologi kepemimpinan disusun dengan titik tolak interaksi
personal yang ada dalam kelompok . Tipe-tipe pemimpin dalam tipologi ini
dapat dikelompokkan dalam kelompok tipe berdasarkan jenis-jenisnya antara
lain:
1. Tipe Otokratis
Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi, mengidentikkan tujuan
pribadi dengan tujuan organisasi, menganggap bawahan sebagai alat semata-
mata, tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat, terlalu tergantung kepada
kekuasaan formalnya, dalam tindakan penggerakkannya sering mempergunakan
pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
2. Tipe Militeristis.

Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering


dipergunakan, juga dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada
pangkat dan jabatannya, senang pada formalitas yang berlebih-lebihan,
menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan, sukar menerima kritikan
dari bawahannya, menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
3. Tipe Paternalistis.
Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis
ialah seorang menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa,
bersikap terlalu melindungi (overly protective), jarang memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mengambil keputusan, jarang memberikan
kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif, jarang memberikan
kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan
fantasinya, dan sering bersikap maha tahu.
4. Tipe Karismatik.
Pemimpin yang mempunyai daya tarik yang amat besar dan pada
umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar, meskipun para
pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi
pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab
musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik, maka sering hanya
dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib
(supra natural power). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat
dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma.

9
Agus Wijaya, N. Purnomolastu, A.J. Tjahjoanggoro. 2015. Kepemimpinan Berkarakter. Sidoarjo: BrilianInternasional.
5. Tipe Demokratis.
Dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat
bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia, selalu berusaha
mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan
tujuan pribadi dari pada bawahannya, senang menerima saran, pendapat, dan
bahkan kritik dari bawahannya, selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan
teamwork dalam usaha mencapai tujuan, ikhlas memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian
diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih
berani untuk berbuat kesalahan yang lain, selalu berusaha untuk menjadikan
bawahannya lebih sukses daripadanya, dan berusaha mengembangkan
kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.10

Peran wanita dalam kehidupan bermasyarakat dalam konsumen


pembangunan bukan hanya sebagai proses pembangunan, tapi juga sebagai
fondasi yang berstruktur kuat. Namun, perubahan kian berkembang dengan
pesat, perjuangan akan figur R.A.Kartini dapat dirasakan dengan adanya
pergerakkan emansipasi wanita. Keberadaan peran wanita sebagai pimpinan
kini mulai dihargai dan disetarakan. Dalam sejarah Indonesia saja Megawati
Soekarno Putri saja berhasil menjadi salah satu pemimpin Indonesia. Hal ini
merupakan bukti nyata bahwa wanita mampu menjadi seorang pemimpin
apalagi menjadi seorang Kepala Negara, dijelaskan bahwa pemimpin tidak
dapat dipisahkan dengan kelompok, tetapi dapat dipandang sebagai suatu
posisi yang memiliki potensi yang tinggi di bidangnya. Karakter seorang
pemimpin mampu mengubah, mempengaruhi dan mengarahkan orang lain
dalam mencapai satu tujuan yang memiliki visi dan misi yang kuat.

Di Indonesia sendiri contoh pemimpin perempuan ada pada Ibu Megawati


Soekarnoputri yang terpilih sebagai presiden pada tahun 2001. Ia
menggantikan pemerintahan Abdulrachman Wahid yang menjabat mulai
tahun 1999. Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi presiden perempuan
pertama di Indonesia. Figur Megawati sendiri lahir karena kerinduan
masyarakat akan pemimpin yang mendengarkan detak hati rakyat, melindungi
dan memberi keteduhan11. Dilansir dari Sejarah Nasional Indonesia (2008)

10 http://irmansiswantoaceh.blogspot.com/2015/04/tipologi-kepemimpinan.html
11
Neng Dara Aifah.2017.Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas. Jakarta: Anggota IKAPI DKI Jaka
MC Ricklefs, krisis ekonomi masih terasa di masa pemerintahan Megawati.
Namun, ada kemajuan di masa pemerintahannya seperti investasi yang
mengalir baik dari dalam maupun luar negeri.
Tujuannya adalah agar menyelamatkan perekonomian RI dari inflasi yang
semakin memuncak. Hasilnya perekonomian Indonesia stabil dan
pertumbuhan ekonomi di masa pemerintahannya naik hingga mencapai 5
persen. Di samping itu, pada massa pemerintahan Megawati mampu
menurunkan persentase penduduk yang berada di garis kemiskinan menjadi
18 persen, dari sebelumnya 28 persen. Keamanan negara Presiden Megawati
juga berfokus pada kebijakan melawan teroris. Ia menggalang kerjasama
internasional khususnya negara-negara di Asia Tenggara untuk memerangi
terorisme. Hasilnya pada masa pemerintahannya ia berhasil menciptakan
Perpu tentang anti terorisme, yang disahkan menjadi UU Anti Terorisme.
Melalui Undang- undang ini, pelaku bom Bali yang terjadi pada tahun 2002
berhasil ditangkap dan dihukum mati, meskipun hubungan Indonesia dan
Australia pada masa itu merenggang dimulainya Referendum Timor-Timur.

Diluar negeri sendiri terdapat contoh pemimpin perempuan seperti PM


Selandia Baru Jacinda Ardern, perempuan yang saat menjabat PM pada usia
37 tahun ini bahkan masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh
versi Time (Time 100 Most Influential People 2019). Jacinda Ardern dipuji
secara internasional atas penangangan terhadap aksi teroris di Christchurch,
Selandia Baru pada 15 Maret 2019. Ardern dinilai sebagai figur pemimpin
dengan rasa empati tinggi. Ardern sempat menyatakan sebuah kalimat yang
membela umat muslim di negaranya. Bahkan dikutip oleh banyak warganet
termasuk Hillary Clinton, mantan kandidat Presiden Amerika Serikat (AS).
"Banyak dari mereka yang telah terdampak langsung oleh penembakan
kemungkinan adalah migran di Selandia Baru. Mereka mungkin pengungsi di
sini. Mereka telah memilih untuk menjadikan Selandia Baru rumah mereka dan
ini adalah rumah mereka. Mereka adalah kita. Orang yang melakukan
kekerasan ini bukan (termasuk bagian dari kita)," kata Ardern, yang telah
dikutip oleh banyak orang. Ardern merupakan perdana menteri termuda
dalam lebih dari satu abad. Ia pun menduduki posisi kepala pemerintahan
mulai 26 Oktober 2017. Meski muda tetapi kaya pengalaman. Ia telah menjadi
anggota parlemen sejak November 2008. Karier politiknya dinilai stabil. Pada
Agustus 2017, ia dinobatkan sebagai Ketua Partai Buruh setelah lima bulan
menjabat sebagai wakil pimpinan partai politik. Ia juga dikenal sosok yang
tidak pernah takut untuk berbicara tentang diskriminasi perempuan. Ia
menentang perlakuan tidak adil yang dihadapi oleh sejumlah koleganya,
sesama politikus perempuan.
Kepemimpinan dari dua tokoh diatas ini memiliki jenis kepemimpinan
yang hampir sama, yaitu dalam mengatasi terorisme yang terjadi di negaranya
masing-masing, tipe kepemimpinan seperti ini terkesan memimpin dengan tipe
militerisasi yang tegas dalam membasmi kejahatan apalagi yang sampai
mengancam hidup warga negaranya bahkan negaranya. Pada pemerintahan
Megawati juga, ia fokus bahkan berhasil membuat Indonesia yang saat itu
sedang di terpa inflasi yang memuncak keluar dari zona tersebut. Sementara
Jacinda Ardern adalah sosok yang selalu berani berbicara perihal diskriminasi
perempuan.

2.3 KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PARLEMENTER

Ketika parlemen Indonesia yang pertama dibentuk, perwakilan perempuan


di lembaga itu bukan karena pilihan rakyat, tetapi pilihan dari pemuka-pemuka
gerakan perjuangan, khususnya bagi mereka yang dianggap berjasa dalam
pergerakan perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Demikian
seterusnya, sampai pada zaman orde baru, ketika perempuan hanya
diberikan status sebagai pendamping suami, organisasi perempuan terbesar
waktu itu, yaitu PKK dan Dharma Wanita tidak memberi kontribusi dalam
pengambilan keputusan politis, tetapi lebih menjadi alat pelaksanaan program
pemerintah yang selalu cenderung “top down”. Ada anggapan bahwa
pengelompokan organisasi perempuan terjadi karena hanya ingin memisahkan
dirinya dari organisasi laki-laki, seiring dengan pendapat yang ada dalam
masyarakat mengenai perbedaan peranan perbedaan laki-laki dan perempuan
berkenaan dengan tugas dan fungsi biologis perempuan, yaitu mengandung,
melahirkan, menyusui, membesarkan anak-anak, atau peran-peran domestik
perempuan yang lainnya.

Dengan adanya kebijakan afirmasi yaitu kuota 30% keterwakilan


perempuan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU
Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol
untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di
12
lembaga perwakilan rakyat . Namun dalam praktiknya, parpol terkesan
setengah-setengah dalam mengimplementasikannya karena dianggap
sebagai persyaratan administratif yang sifatnya hanya formalitas. jumlah
anggota perempuan DPR pusat sejak awal kemerdekaan tidak pernah
melebihi persentase 13% (periode 1987- 1992). Pada pemilu 2019 lalu,
jumlah anggota perempuan di parlemen mengalami peningkatan dibandingkan
pada pemilu sebelumnya, sebanyak 120 kursi atau 20,87 persen di isi oleh
perempuan. Jumlah tersebut meningkat 22 persen dibanding pemilu
sebelumnya, yang ketika itu hanya mengisi 97 kursi. Sementara di Dewan
Perwakilan Daerah ada 45 perempuan. Tujuh puluh persen dari mereka baru
menduduki posisi sebagai wakil rakyat.
Melihat dari fenomena diatas ini menunjukan bahwasannya yang
menjadi masalah utama perempuan tidak dapat memenuhi kuota 30%
tersebut yaitu karena untuk memperoleh suara terbesar diperlukan logistik
juga sumber daya yang besar, yang kadang sering kali tidak di miliki oleh
perempuan. Kenaikan atau peningkatan jumlah perempuan di parlemen juga
menguntungkan perempuan untuk memperjuangkan isu- isu perempuan,
disebagian masyarakat mitra perempuan akan disetarakan dengan laki-
laki apabia mereka mampu menjalankan tugas dan domainnya sebagaimana
13
fungsinya. Ketika kemudian perempuan tidak berargumentasi dengan baik
dalam memperjuangkan isu-isu perempuan, maka orang cenderung
memandangnya tidak substantif yang seringkali mejadi persoalan.

2.4 Kepemimpinan perempuan dalam perspektif Islam

Dalam konteks Islam, dialog tentang keikutsertaan perempuan dalam


ruang publik sudah terjadi pada masa awal Islam, yakni saat Nabi masih
hidup. Terjadinya protes perempuan saat itu lebih disebabkan tuntutan
kesetaraan yang mereka perjuangkan. Perempuan merasa tidak nyaman
dengan kontruksi sosial yang melingkupinya. Aturan, pandangan, keyakinan,
bahkan bahasa agama yang digunakan terkesan mensubordinasi mereka,

12 Dra.Hj. Ida Fauziah, M.Si.2015.GELIAT PEREMPUAN PASCA-REFORMASI.Yogyakarta:PT.LkiS Pelangi Aksara


13 Angga Rahadian dan Yulfita Raharjo. 2020. Kependudukan dan Pembangunan.
akar masalahnya ada pada teks-teks Al- Qur’an dan hadits Rasulullah yang
sebagian umat Islam secara tegas melarang duduknya perempuan sebagai
pucuk pimpinan politik 14 . Dalam konteks kekinian upaya pembebasan
perempuan dari dominasi laki-laki terus diperjuangkan oleh berbagai
kelompok ilmuwan dan akademisi di berbagai negara di dunia. Tidak saja
menjadi wacana dan fenomena bagi kelompok tertentu, namun lebih
merupakan permasalahan global yang lintas ruang dan waktu.

Al-Qur’an telah mengabadikan sejarah kepemimpinan yang dimiliki oleh


seorang perempuan, Ratu Balqis, sebagai pemimpin negeri Saba’.
Kepemimpinan Balqis disandingkan dan disetarakan dengan kepemimpinan
Nabi Sulaiman ketika itu. Ini berarti kepemimpinan seorang perempuan dalam
wacana keagamaan, mempunyai landasan teologis dalam al-Qur’an yang
wajib di imani dan di implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Yang
menjadi masalah ketika QS An-Nisa selalu dijadikan dasar perempuan tidak
diperkenankan berperan besar dalam ranah publik juga hadits nabi yang
melarang perempuan menjadi imam sholat bagi kaum laki-laki.15
Bukti dari kepemimpinan Ratu Balqis menunjukan bahwa perempuan
dalam Islam dapat disetarakan dengan laki-laki, bukan hanya dalam skala
mikro tapi juga dalam skala makro. Pada dasarnya perempuan dan laki-laki
diciptakan Allah swt dari unsur yang satu (nafs wahidah), karena itu mereka
hendaklah berkompetisi menjadi orang yang paling takwa berbuat amal
sebanyak-banyaknya dan dengan cara sebaik-baiknya16.
Hal yang membuat perempuan bisa menjadi pemimpin karena kualitas
amal dan personal dari perempuan tersebut. Gagasan baru dalam menafsirkan
agama yang terbebas dari kelompok tertentu, mestinya harus berpijak pada
runut historis munculnya Islam yang bertujuan mulianya, yakni
memperjuangkan kesetaraan laki- laki dan perempuan.

14
Mohammad Monib dan Islah Bahrawi. 2011. Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish
Madjid. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

15Djazimah Muqoddas. 2011. Kontroversi Hakim Perempuan pada Peradilan Islam di Negara-Negara Muslim.
Yogyakarta: PT LkiS Printing Cemerlang.

16 Musdah Mulia. 2014. Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: PT Gramedia.


III. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil uraian diatas disimpulkan bahwasannya isu gender


masih menjadi suatu hal yang seksi untuk menjadi pembahasan analisis sosial
dan trend wacana perdebatan mengenai pembangunan dan perubahan sosial.
Ketidakadilan seringkali dipersoalkan karena secara sosial problematika ini
telah melahirkan perbedaan peran, hak dan fungsi serta ruang aktivitas. Hal
inilah yang membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih dalam
perlakuan, akses, partisipasi serta kontrol dalam pembangunan laki-laki dan
perempuan. Beberapa pendapat yang berkembang mengenai pendidikan yang
dilakukan oleh kaum perempuan dalam wacana pemikiran Islam klasik sangat
terpengaruh oleh budaya dan sistem patriarki, sehingga tidak heran produk
pemikiran yang ada masih berpihak pada laki-laki. Dalam konteks ke-
Indonesiaan, sejalan dengan era keterbukaan dan dijunjungnya nilai-nilai
demokrasi, serta semakin terbukanya penafsiran keagamaan yang lebih
moderat dan menjunjung nilai-nilai kesetaraan, peran publik perempuan mulai
diperhitungkan dan diakui oleh masyarakat.
Tidak sedikit perempuan yang menempati pos-pos penting dilembaga
publik. Perubahan ini patut kita syukuri dan terus kita perjuangkan secara
bersama-sama. Karena kepemimpinan saat ini bukan kepemimpinan individu,
melainkan kolektif, jadi kepala negara saat ini bagaikan boneka yang hanya
merupakan simbol karena semua keputusannya sudah di atur bersama.
Sekalipun perempuan boleh menjadi pemimpin dalam masyarakat, namun
bukan berarti perempuan boleh menjadi imam kaum laki- laki dalam shalat.
IV. Daftar Pustaka

Aifah, Neng Dara. 2017.Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas.


Jakarta:Anggota IKAPI DKI Jakarta.
Agus Wijaya, N. Purnomolastu, A.J. Tjahjoanggoro. 2015. Kepemimpinan
Berkarakter.Sidoarjo: Brilian Internasional.

al-Sa’dawi, Nawal & Hibah Izzat. 2004. Perempuan, Agama dan Moralitas.
Jakarta:Erlangga.
Dahsin, Kamla Dahsin & Nighat Said Khan. 1995. Feminisme dan
Relevansinya.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Dwiyani, V. 2007. Manusia Laki-Laki dan Manusia Perempuan. Jakarta: PT Alex


MediaKomputindo.

Fauziah,Ida.2015.GELIATPEREMPUANPASCA-
REFORMASI.Yogyakarta:PT.LkiS Pelangi Aksara.
Hooks & Obell. 2020. Feminisme untuk Semua Orang. Sleman: Odise
Publishing.
Irman Siswanto.2015.Tipologi Kepemimpinan.blogspot.com
Illich, Ivan & Heyday Books. 1998. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Monib, Mohammad & Islah Bahrawi. 2011. Islam dan Hak Asasi
Manusia dalamPandangan Nurcholish
Madjid. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Muqoddas, Djazimah 2011. Kontroversi Hakim Perempuan pada Peradilan Islam


diNegara-Negara Muslim. Yogyakarta: PT LkiS Printing Cemerlang.
Mulia Musdah. 2014. Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: PT Gramedia.
Rahadian, Angga & Yulfita Raharjo. 2020. Kependudukan dan Pembangunan.
Sadli & Saparinah. 2010. Berbeda tetapi Setara. Jakarta: PT Kompas
MediaNusantara.
Titaley, Elsina. 2012. Perempuan Naulu: Tradisionalisme dan Kultur Patriarki.
Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Wijono, Susarto. 2018. Kepemimpinan dalam Perspektif Organisasi. 2018.
Jakarta:Prenada.

Anda mungkin juga menyukai