Anda di halaman 1dari 35

MENGARAH KE AKSI

Buku Panduan Partisipasi


Politik untuk Perempuan

Mahnaz Afkhami
Ann Eisenberg
WLP (Women’s Learning Partnership)

Perjuangan mencapai hak-hak perempuan seringkali digambarkan sebagai perjuangan antara


tradisi dan modernisasi. Di banyak negara di dunia, kekuatan-kekuatan agama, suku, dan
konservatif, demikian juga berbagai tradisi dan adat-istiadat, memaksa perempuan hanya aktif
di lingkungan privat saja, artinya tinggal di rumah dan berperan sebagai ibu rumah tangga,
sedangkan pria aktif di lingkungan publik, menempatkan mereka dalam posisi turut mengatur
dan menentukan kondisi politik, ekonomi dan sosial masyarakat local.

... maka tradisi, atau bahkan budaya, bukanlah suatu benda statis yang retak jika ditiup angin
keras.Tradisi dan budaya, sebagaimana kita tahu, telah berjalan sejak permulaan zaman. Kedua-
duanya akan berkembang, sesuai dengan kondisi masyakarat baru, sehingga bisa menjadi lebih
kuat.

Partisipasi perempuan di arena publik dan politik merupakan suatu langkah sangat penting ke
arah membangun kembali kondisi ekonomi, politik dan sosial untuk mencapai persamaan bagi
perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan peluang dan mencapai kemajuan.

... partisipasi politik perempuan menghancurkan dikotomi atau konsep lingkungan


privat/publik, sehingga kekuatan dan kepemimpinan politik berada di tangan perempuan
sendiri.

... berdasarkan pengalaman, paritas dalam jumlah perempuan yang menempati posisi
kepemimpinan, meskipun hal itu sangat penting, tidaklah cukup.

Mengapa perempuan, terutama di negara-negara berkembang, tidak diberi kesempatan yang


setara di bidang politik, seperti halnya di hampir semua bidang, meskipun mereka diberi hak-
hak yang setara?

... mengalami tekanan patriarki dan rintangan yang serupa dalam hal partisipasi politik.

Karena perempuan hidup dalam masyarakat, yang dari segi budaya dan sosial berbeda, maka
praktek-praktek politik tidaklah mungkin sama bagi setiap orang. Tetapi ensi-esensi politik dan
partisipasi kurang lebih sama bagi setiap orang

1
Politik ada kaitannya dengan kekuasaan, yaitu kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain.
Kekuasaan adalah konsep yang lebih luas daripada politik. Kekuasaan adalah suatu segi dari
hubungan manusia pada semua tingkat interaksi antara manusia.

setidak-tidaknya ada dua cara yang umum untuk mempengaruhi perilaku orang lain, yaitu
dengan jalan kekerasan, dengan ancaman atau tindakan menghukum, atau alternatif lainnya
ialah menciptakan suatu lingkungan, di mana apa yang kita minta dianggap wajar dan diterima
secara sukarela, sehingga tidak perlu menggunakan kekerasan.

... perempuan, lebih menyukai opsi kedua atas dasar moral dan emosi. Menolak kekerasan juga
karena alasan praktis. Pada umumnya, perempuan tidak memiliki sarana-sarana kekerasan.
Meskipun andaikata memilikinya, menggunakan kekerasan bukan merupakan cara yang paling
efektif untuk menjalankan kekuasaan

Kondisi otoritas perempuan ditentukan dan dibatasi oleh sejarah kita, terutama tradisi dan
kerangka hukum yang bersama-sama menentukan batas-batas hak-hak, kewajiban dan
kebebasan perempuan. Karena kebanyakan perempuan hidup dalam masyakarat yang patriarki,
maka kewajiban perempuan seringkali mengalahkan hak-hak dan kebebasan mereka.

Tetapi perempuan bukannya tidak berkuasa sebagaimana disebutkan dalam analisa ini. Sebagai
ibu, istri, kakak atau adik perempuan dan anak perempuan, perempuan dinilai memiliki
kedudukan moral. Di kebanyakan negara, perempuan diakui sebagai warga negara atas dasar
hak mereka sendiri. Dalam beberapa puluh tahun belakangan, pendidikan perempuan telah
semakin tinggi. Di banyak negara, lebih banyak perempuan yang masuk universitas daripada
laki-laki. Perempuan sekarang mempunyai hak untuk turut campur dalam masalah-masalah
yang menyangkut pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan agama, yang dalam beberapa
masyarakat telah menyebabkan timbulnya reaksi patriarkal.

Tetapi perempuan masih menghadapi rintangan-rintangan sulit, dan yang paling sulit adalah
yang berasal dari nilai-nilai patriarkal di mana masyarakat bersosialisasi. Nilai-nilai ini
sebagian besar berasal dari tradisi yang tertanam dalam jiwa masyarakat. Dan nilai-nilai
tersebut seringkali menimbulkan konflik dalam diri perempuan antara pikiran dan emosi.
Perempuan menyadari bahwa hak-hak mereka terbatas di luar akal mereka, tetapi disamping
itu, akal mereka tunduk terhadap kekuatan emosi sesuai dengan lingkungan mereka dibesarkan
dan terhadap kewajiban yang ditanamkan kepada mereka agar kita mempertahankan
kehormatan keluarga, komunitas dan masyarakat.

... proses perubahan yang mengkonsiliasikan kehormatan, hak-hak, dan kebebasan perempuan
tanpa memecah-belah masyarakat atau merusak ada-istiadat.

Untuk mencapai semua tujuan itu (kesetaraan dan keadilan gender), perempuan harus tentu
saja ikut berperan dalam politik. Sepintas lalu, peluang-peluang perempuan mungkin tidak
terlalu memberi harapan. Jika politik ada sangkut pautnya dengan kekuasaan, maka perempuan

2
berada pada posisi yang tidak menguntungkan sebab kekurangan dalam segala factor yang
membuat seseorang berkuasa:
Pertama: tidak memiliki kekuatan, bahkan tidak menghendaki andaikan memiliki kekuatan tsb,
Kedua: perempuan secara historis tidak dilahirkan dengan diberi otoritas traditional karena
hidup dalam kultur yang bersifat patriarkal, di mana otoritas ada di tangan orang laki-laki
Ketiga: dalam masa modernpun hukum yang mengatur kehidupan kita pada umumnya
diberlakukan oleh orang laki-laki yang berada dalam posisi memiliki otoritas, di mana biasanya
perempuaqn tidak termasuk, maka seringkali perempuan diperlakukan tidak sama, meskipun
kalau hukum itu dibuat atas dasarkriteria yang rasional.
Jika politik ada kaitannya dengan kekuatan dan kekuatan didefinisikan sebagai kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi orang lain berbuat sesuai dengan garis yang dikehendaki orang
itu, maka jelas politik pada dasarnya terkait dengan komunikasi. Kecuali jika kita berkomunikasi,
kita tidak akan pernah bisa menyampaikan apa yang kita inginkan, dan jika kita tidak
memberitahu orang lain apa yang kita inginkan, maka kita tidak dapat mendorong mereka
untuk berbuat apa yang kita anggap diinginkan atau tidak mendorong mereka berbuat apa yang
kita anggap tidak diinginkan. Jadi komunikasi adalah penting bagi proses politik

... landasan-landasan komunikasi politik. Yang pertama ialah kita harus mau berkomunikasi.
Kemudian harus ada sesuatu untuk berkomunikasi. Kita harus memiliki sarana untuk
berkomunikasi. Harus ada seseorang dengan siapa kita berkomunikasi. Dan kita harus
menyusun pesan kita sehingga cocok dengan sarananya dan penerimanya

... tuntutan perempuan untuk memperoleh hak-hak, bukanlah suatu permainan di mana
ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Tuntutan perempuan untuk mendapatkan
hak-hak adalah menguntungkan kedua-duanya, pihak perempuan dan pihak laki-laki.

Ini terutama sangat penting dalam masyarakatmasyarakat Muslim, di mana selama berpuluh-
puluh tahun ada perbedaan antara peran perempuan di arena publik dan kedudukan
perempuan di arena non-publik. Di banyak masyarakat demikian itu, perempuan bekerja keras
di luar rumah untuk menambah pendapatan keluarga. Mereka itu berpendidikan, dan yang
paling penting ialah mereka sadar akan hak-hak individu mereka. Tetapi kedudukan hukum
mereka di rumah dan dalam hubungannya dengan pihak luar tetap tidak banyak berubah.

... perbedaan yang terdapat itu terutama berakar pada sejarah bukan budaya. Perempuan telah
menjadi subjek pembagian hak-hak dan tanggungjawab terhadap pihak laki-laki di seluruh
dunia, sepanjang masa dan di semua budaya. ... tidak ada di bagian dunia mana saja
perempuan dapat dengan bebas mencari lapangan kerja, mendapat pendidikan, kawin,
mempunyai anak, memberi suara dalam pemilihan atau dipilih dalam sesuatu jabatan
pemerintah. Pemerintah Swiss memberi hak pilih kepada perempuan pada tahun 1970. ...
masyarakat dan budaya berubah dari waktu ke waktu.

3
GENDER 2015
“Perspektif Gender dalam Skenario Pengembangan Karir Aparatur Sipil Negara”
Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara, Pusat Kajian dan Pendidikan dan
Pelatihan Aparatur II Makassar (PKP2A II – LAN)

Isu gender merupakan salah satu masalah utama dalam pembangunan, terkhusus
pembangunan sumber daya manusia. Mengutip laporan United Nations (2002), konsep gender
merujuk pada atribut, peran sosial, serta hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki,
termasuk anak perempuan dan anak laki-laki, yang terbentuk berdasarkan konstruksi sosial dan
dipelajari melalui proses sosialisasi. Peran dan hubungan gender ini bersifat dinamis karena
sangat dipengaruhi oleh konteks, waktu, dan perubahan. Gender merujuk kepada apa yang
diharapkan, diperbolehkan, dan dinilai dalam diri seorang perempuan dan laki-laki dalam suatu
konteks tertentu.

Gender tidak dapat dilepaskan dari kesetaraan dan keadilan. Kesetaraan gender yang
diterbitkan ILO (2000) diartikan sebagai keadaan di mana perempuan dan laki-laki memiliki
kondisi yang setara untuk dapat merealisasikan haknya yang penuh sebagai manusia dan untuk
dapat memberikan kontribusi kepada, serta memperoleh manfaat dari pembangunan
pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan politik. Dengan kata lain,
kesetaraan gender mengacu pada pemenuhan hak-hak, kesempatan, dan perlakuan yang adil
oleh laki-laki dan perempuan dari semua kelompok umur di segala tahapan kehidupan dan
pekerjaan. Sementara itu, keadilan gender merujuk pada perlakukan yang adil terhadap laki-laki
dan perempuan berdasarkan kebutuhan mereka. Hal ini mencakup adanya perlakukan yang
setara, maupun perlakukan yang berbeda tetapi bersifat sebanding (equivalent) dalam hal hak,
manfaat, kewajiban, dan kesempatan.

Di Indonesia, tolok ukur untuk mengevaluasi keberhasilan pembangunan dalam mewujudkan


kesetaraan dan keadilan gender antarprovinsi di Indonesia adalah Indeks Kesetaraan dan
Keadilan Gender (IKKG). IKKG dibangun untuk dapat melengkapi Indeks Ketidaksetaraan Gender
(IKG) yang dikembangkan oleh UNDP.

Hasil perhitungan Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) tahun 2007 dan 2010 yang
dilakukan Bappenas melalui Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan
Perlindungan Anak pada tahun 2012 lalu menunjukkan 20,7 persen kerugian/kegagalan
pencapaian pembangunan terjadi akibat dari adanya ketidaksetaraan gender pada aspek
kesehatan reproduksi, pencapaian pendidikan, partisipasi ekonomi, keterwakilan dalam jabatan
publik, serta perlindungan terhadap kekerasan

Permasalahan Gender terlihat pada perbedaan peranan dan fungsi yang melahirkan perbedaan
status sosial di masyarakat, dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan melalui
konstruksi sosial. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan dibentuk melalui sosial
kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan budaya.

4
Perbedaan jenis kelamin sering dipergunakan masyarakat untuk membentuk pembagian peran
kerja laki-laki dan perempuan. Dalam pembagian peran yaitu peran domestik dan peran publik.
Peran domestik cenderung tidak menghasilkan uang, kekuasaan, dan pengaruh. Peran ini lebih
banyak diserahkan kepada kaum perempuan, sedangkan peran publik yang menghasilkan uang,
kekuasaan dan pengaruh diserahkan kepada kaum laki-laki. Akibat pembagian kerja yang tidak
seimbang melahirkan ketimpangan peran laki-laki dan perempuan yang berakibat ketidakadilan
gender yang merugikan perempuan.

Di Indonesia, ketimpangan gender terlihat dari segala aspek antara lain dalam lingkungan
keluarga, kependudukan, pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan dalam pemerintahan.
Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang ini juga sangat
dipengaruhi oleh budaya dan kultural masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak etnis dan
suku.

Sekarang ini perempuan sudah berkembang melangkah ke wilayah publik. Profesi yang dulu
dominan untuk laki-laki seperti pilot, profesi yang berkaitan dengan teknis, politisi dan profesi
lainnya saat ini perempuan pun bisa menempatinya. Banyak alasan mengapa perempuan
terdorong untuk maju melangkah ke ranah publik dan tidak stagnan di ranah domestik.
Keikutsertaaan perempuan dalam wilayah publik bukan tanpa tujuan atau hanya sekedar
menyamakan posisi dengan laki-laki. Keberadaan perempuan dalam ranah publik contohnya
dalam posisi-posisi penting sebagai pembuat kebijakan, setidaknya diharapkan dapat
memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik. Jika
perempuan pada posisi pembuat kebijakan maka diharapkan keberadaannya membantu dalam
pembuatan kebijakan-kebijakan yang sadar gender. Di sisi lain keikutsertaan perempuan dalam
ranah publik memiliki tujuan utama yaitu bekerja, meskipun bekerja bukan menjadi kewajiban
utama tetapi perempuan bekerja karena ingin berkembang, ingin mandiri tidak bergantung
pada pasangannya. Jika hal ini terwujud maka keterlibatan perempuan dalam lingkup publik
akan semakin bertambah dan usaha keikutsertaan perempuan dalam ranah publik akan
membangun negara ke arah yang lebih baik dan maju (Panani, 2013).

Meski sadar akan kemampuannya di sektor publik, tidak dipungkiri bahwa tingkat keikutsertaan
perempuan di wilayah publik yang identik sebagai bidang maskulin masih rendah. Hal ini
ditunjukkan oleh hasil penelitian Bappenas yang pada 2012 lalu menemukan bahwa dalam
aspek keterwakilan dalam jabatan publik, kesenjangan gender antara pencapaian laki-laki dan
pencapaian perempuan secara umum di Indonesia maupun secara khusus di seluruh provinsi
sangat lebar. Pencapaian pembangunan dalam aspek keterwakilan dalam jabatan publik pada
laki-laki adalah sebesar 80,7 persen, sementara pencapaian yang sama pada perempuan hanya
19,3 persen.

Keterwakilan perempuan dan laki-laki dalam jabatan publik yang tidak berimbang tersebut
tidak sebanding dengan jumlah perempuan dan laki-laki secara kependudukan. Data Badan
Pusat Statistik tahun 2009-2013 menunjukkan perbandingan persentase jumlah antara
perempuan dan laki-laki yang sangat tipis. Tahun 2009 persentase jumlah perempuan 50,47
persen dan laki-laki 49,53 persen.

5
Di tahun 2013 persentase jumlah perempuan sedikit mengalami penurunan hingga mencapai
49,75 persen sedangkan laki-laki naik menjadi 50,25 persen. Jumlah yang hampir setara
tersebut menunjukkan pentingnya peran serta perempuan dalam pembangunan sumber daya
manusia

Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan baik dalam ranah
publik maupun privat. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi
termarjinalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik
sebagai wilayah laki-laki mengakibatkan kiprah perempuan di ranah publik pada umumnya
berada pada posisi subordinat laki-laki. Contoh yang paling dekat dalam ranah politik. Secara
aturan persentase keterwakilan perempuan dipersyaratkan berada pada persentase 30 persen,
tapi pada pelaksanaannya jumlah legislatif perempuan hanya terisi 11,5 persen pada Pemilu
tahun 2004. Di jajaran eksekutif, hingga tahun 2014 hanya terdapat 1 gubernur perempuan dari
34 propinsi di Indonesia dan 14 Bupati/Walikota dari 542 kabupaten/kota.

Pada jajaran eksekutif, jumlah Pegawai Negeri Sipil tahun 2009-2013 menunjukkan adanya
pergeseran persentase jumlah PNS laki-laki. Hal ini terlihat di tahun 2009, dari 4.524.205 PNS di
Indonesia, 2.455.269 diantaranya adalah PNS laki-laki (54 persen) dan 2.068.936 PNS
perempuan (46 persen). Pergeseran persentase tersebut terlihat di tahun 2010-2013 mencapai
2.260.608 untuk PNS laki-laki (52 persen) sedangkan PNS perempuan mencapai 2.102.197 (48
persen). Meningkatnya persentase jumlah PNS perempuan memperkuat argumentasi tentang
pentingnya untuk memikirkan dan mencari solusi bagi persoalan yang dihadapi oleh PNS yang
berjenis kelamin perempuan.

Terkait jabatan struktural dalam pemerintahan, BPS (dalam www.statistik.go.id) mencatat


bahwa PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural atau eselon sangat sedikit
dibandingkan dengan laki-laki. Tahun 2007 hingga 2013, jabatan struktural yang dijabat oleh
PNS perempuan masih berada pada posisi 30 persen sedangkan PNS laki-laki berada pada posisi
70 persen. Berdasarkan eselonisasi semakin tinggi jabatan eselon semakin kecil persentase
pejabat PNS perempuan. Secara rasio dari 10 pejabat eselon IV dan V, tiga diantaranya adalah
perempuan, sedangkan dari 10 pejabat eselon I,II dan III, dua diantaranya adalah perempuan.
Sedikitnya perempuan dalam jabatan struktural secara persentase dapat menjelaskan bahwa
perempuan menjadi marginal dalam posisi strategis kepegawaian.

Contoh di atas senada dengan yang dinyatakan Kanter (1977, dalam Ira Maya Hapsari, 2013).
Kanter melalui Tokenism Theorynya menyatakan bahwa perempuan memang lebih banyak
menjumpai halangan dalam pencapaian karirnya. Perempuan, menurutnya, di sebagian tempat,
seperti di negara-negara yang memegang adat ketimuran dengan kuat masih harus
menghadapi budaya yang “memilihkan” karir bagi dirinya, mana yang boleh dikerjakan, mana
yang harus dihindari. Hal ini tentu saja sangat membatasi karir perempuan, sementara pria
dengan bebas dapat memilih pekerjaan apa saja yang mereka kehendaki. Perempuan yang
akhirnya dapat mencapai kesuksesan dalam karir jarang mendapatkan pengakuan yang berarti,
bila dibandingkan dengan apabila pria meraih keberhasilan yang sama.

6
Tinjauan Pustaka:
Konsep Gender

1. Istilah Gender

Gender diperkenalkan oleh para ilmuan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan
dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan
budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting,
karena selama ini sering sekali mencampur adukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati
dan yang bersifat bukan kodrati (gender). Perbedaan peran gender ini sangat membantu
kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah
melekat pada manusia perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender
yang dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan
laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan
peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.
Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita, sehingga kita
sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana
permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki (Herien
Puspitawati, 2013).

Dalam sejarah, konsep gender pertama kali dikembangkan secara empiris oleh Margaret
Mead, ahli antropologi Amerika yang melakukan penelitian pada tiga masyarakat primitif di
Papua Nugini yaitu masyarakat Arapesh, Mundugumor, dan Tchambuli pada tahun 1932.
Meskipun Mead waktu itu belum mempergunakan kata “gender”, tetapi hasil temuannya
diakui para pakar ilmu sosial maupun para teoris seksiologi sebagai penelitian pertama yang
mempermasalahkan hubungan gender. Buku hasil penelitiannya yang berjudul Sex and
Temperament in Three Primitive Societies (1935) menyebutkan bahwa pada masyarakat
Arapesh tidak ditemukan adanya perbedaan psikologi antara pria dan perempuan. Pria dan
perempuan Arapesh sama-sama memiliki kepribadian dan perilaku yang lembut, halus dan
pasif. Sebaliknya pada masyarakat Mundugumor, pria dan perempuannya sama-sama
memiliki kepribadian dan perilaku yang keras, kasar, aktif dan agresif. Pada masyarakat
Tchambuli, memang ditemukan adanya perbedaan psikologi antara pria dan perempuan,
tetapi sifat-sifat keras, kasar, aktif dan agresif serta mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang
berat dimiliki oleh perempuannya, sedangkan kaum prianya lebih memfokuskan diri pada
kesenian, ritual keagamaan, dan suka bersolek diri. Kesimpulam Mead dari penelitiannya,
menyatakan bahwa perbedaan kepribadian dan perilaku antara perempuan dan pria
bukanlah merupakan perbedaan yang bersifat universal dan natural, melainkan perbedaan
yang ditentukan oleh kebudayaan, sejarah dan struktur sosial masyarakat yang
bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1990, dalam Nahiyah Jaidi Faraz, 2013)

Pengertian Gender adalah “konstruksi sosial tentang peran laki-laki dan perempuan
sebagaimana dituntut oleh masyarakat dan diperankan oleh masing-masing mereka”

7
(Hafidz, 1995, dalam akhmad Harum, 2013). Gender berkaitan dengan pembagian peran,
kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat
berdasarkan sifat yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut norma, adat,
kepercayaan dan kebiasaan masyarakat (Buddi, dkk, 2000, dalam akhmad Harum, 2013).

Berdasarkan ideologi yang dianut, masyarakat kemudian menciptakan pembagian peran


antara laki-laki dan perempuan yang bersifat operasional (Ortner, dalam Saptari & Holzner,
1995, dalam akhmad Harum, 2013). Dalam pembagian peran gender ini, laki-laki diposisikan
pada peran produktif, publik, maskulin, dan pencari nafkah utama; sementara perempuan
diposisikan pada peran reproduktif, domestik, feminim, dan pencari nafkah tambahan
(Fakih, 1997, dalam akhmad Harum, 2013). Menurut Slavian (1994, dalam akhmad Harum,
2013), penelitian-penelitian kross-kultural mengindikasikan bahwa peran seks itu
merupakan salah satu hal yang dipelajari pertama kali oleh individu dan seluruh kelompok
masyarakat memperlakukan laki-laki dengan cara yang berbeda dengan perempuan.
Dalam prakteknya, menurut Fakih (1996, dalam akhmad Harum, 2013), dikotomi peran ini
kemudian ternyata memunculkan berbagai bentuk ketidakadilan gender, seperti adanya
marjinalisasi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja
yang lebih panjang dan lebih banyak (burden) dan sosialisasi ideologi nilai peran gender.

2. Perspektif Gender

Identitas gender mulai berkembang pada saat seorang bayi berinteraksi dengan orang-
orang tertentu yang berada di sekitarnya, baik ayah, ibu, maupun pengasuh. Perilaku orang
dewasa dalam berinteraksi dengan seorang bayi secara tidak disadari sepenuhnya akan
dipengaruhi oleh stereotip yang berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari, stereotip dan
preferensi orang tua akan banyak menentukan caranya berkomunikasi terhadap anak-
anaknya.

Berdasarkan hasil penelitian, orang tua akan lebih memberikan responnya terhadap anak
yang memiliki jenis kelamin yang sama dan cenderung bermain dengan anak yang
bersangkutan, utamanya jika bayi tersebut anak pertama. Pelajaran yang dapat dipetik dari
hasil penelitian tersebut adalah bahwa dalam melakukan interaksi dengan anak sejak bayi,
orang tua akan secara nyata maupun tanpa disadari sepenuhnya memiliki harapan-harapan
yang berbeda sebagai perempuan dan laki-laki.

Hubungan interaksi antara orang tua dengan anak juga dipengaruhi oleh gambaran ayah
dan ibu mengenai diri si anak tersebut. Pengembangan identitas gender sangat erat
kaitannya dengan aspek biologis, sehingga hal ini merupakan bagian yang esensial dari
konsep dan persepsi diri seseorang. Identitas gender seseorang mencakup sikap tentang
dirinya yang berlangsung secara sadar maupun tidak.

Kenyataan biologis yang membedakan dua jenis kelamin melahirkan dua teori besar yaitu
teori nature dan nurture (Nugroho, 2011: 22). Teori nature menganggap bahwa perbedaan

8
peran antara perempuan dan laki-laki bersifat kodrati (nature). Anatomi biologis antara laki-
laki dan perempuan yang berbeda menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial
kedua jenis kelamin ini. Laki-laki memiliki peran utama di dalam masyarakat karena
dianggap lebih kuat, lebih potensial, dan lebih produktif. Organ reproduksi yang dimiliki
oleh perempuan dinilai membatasi ruang gerak perempuan, seperti hamil, melahirkan, dan
menyusui, sementara itu laki-laki tidak mempunyai fungsi reproduksi tersebut. Perbedaan
ini menimbulkan pemisahan fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki memiliki peran di sektor publik dan perempuan mengambil peran di sektor
domestik.

Teori nurture beranggapan perbedaan relasi gender antara laki-laki dan perempuan tidak
ditentukan oleh faktor biologis melainkan oleh konstruksi masyarakat. Dengan lain
perkataan, bahwa menurut penganut paham nurture¸peran sosial yang selama ini dianggap
baku dan dipahami sebagai doktrin keagamaan, sesungguhnya bukanlah kehendak Tuhan
dan tidak juga sebagai produk determinasi biologis, melainkan sebagai produk konstruksi
sosial. Oleh karena itu, nilai-nilai bias gender yang banyak terjadi di masyarakat yang
dianggap disebabkan oleh faktor biologis, sesungguhnya tidak lain adalah konstruksi
budaya.

3. Pembagian Kerja berdasarkan Gender

Pembagian Kerja Berdasarkan Gender (Gender Division of Labour) adalah semua konsep dan
praktik pada masyarakat tertentu yang membagi peranan dan pekerjaan berdasarkan jenis
kelamin. Pembagian pekerjaan berdasarkan gender ini berbeda-beda antara satu
masyarakat dan budaya dengan masyarakat dan budaya lainnya, dan bisa berubah karena
adanya perubahan kondisi ekternal dan perubahan waktu. Dengan pembagian ini, dalam
konteks tertentu pola-pola “siapa bekerja apa” berdasarkan gender dan “bagaimana” hasil
pekerjaan tersebut diberikan penghargaan.

Pembagian kerja berdasarkan gender sebenarnya sudah terjadi di awal-awal kehidupan.


Pada waktu manusia masih berpikir sangat sederhana, mereka belajar dari apa yang mereka
lihat dalam hidup. Mereka membutuhkan pembagian kerja untuk kelangsungan hidup.
Mulailah pembagian kerja atas dasar biologis. Perlu dipertanyakan, mengapa pembagian
kerja didasari faktor biologis? Pelajaran sejarah dan antropologi budaya dapat membantu
menemukan jawabannya (Murniati, 2004).

Dalam hidup bermasyarakat, banyak hal yang harus diatur, seperti hubungan kekerabatan
di antara keluarga, tatanan di bidang pemenuhan kebutuhan untuk hidup (ekonomi),
tatanan di bidang hubungan antarkelompok di masyarakat (sosial), tatanan dalam
melaksanakan hubungan manusia dengan Allah (agama), tatanan yang mengatur
bagaimana pendidikan dilaksanakan, dan sebagainya.

Sejarah mencatat bahwa sejak zaman dulu telah terjadi pembagian kerja berdasarkan jenis
kelamin. Dari situ kemudian muncul perbedaan jenis pekerjaan luar (publik) dan pekerjaan

9
dalam (domestik). Dari perbedaan tersebut, tatanan yang membentuk struktur ini, dalam
pendidikan keluarga, terlihat dari kegiatan anak laki-laki yang dididik untuk agresif, pergi
keluar, dan bermain di luar rumah. Sementara anak perempuan dididik untuk memasak,
kerasan di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah, melayani ayah dan saudara laki-lakinya.
Pendidikan ini akan membentuk struktur: laki-laki dilayani dan perempuan melayani.
Apabila perempuan bekerja di luar rumah, struktur tersebut tetap mengikat sehingga
perempuan terus diingatkan pada pekerjaan domestiknya.

Perubahan budaya matriarkhat menjadi patriakhat terjadi pada waktu laki-laki mengenal
peternakan. Sifat peternakan yang menciptakan harta, membutuhkan pelimpahan harta
sebagai warisan. Karena kebutuhan pelimpahan ini, laki-laki mulai mencari keturunannya
untuk diberi hak waris. Sejak itu, anak dikenal dari garis keturunan ayah,. Perubahan yang
awalnya wajar-wajar saja, karena peternakan merupakan penyangga pangan juga. Namun
dalam proses berikutnya, pandangan manusia mengenai hak milik diperluas, bukan hanya
hak milik atas barang-barang, tetapi juga hak untuk mengambil keputusan dalam kehidupan
pada waktu yang sama. Maka terjadilah perampasan hak perempuan dalam pengambilan
keputusan, peristiwa perampasan ini menjadi semakin kuat ketika manusia menghargai nilai
harta lebih tinggi dari nilai manusiawi.

Perjalanan budaya patriarhi makin kuat dan mantap ketika terjadi perubahan sosial ke
masyarakat feodal. Perubahan ke tahap feodalisme menggeser kedudukan dan peranan
perempuan lewat ajaran raja-raja. Kemudian masyarakat ini berkembang menjadi
masyarakat capitalism dan kemudian dikunci dengan system militerisme. Akibat perubahan
sosial tersebut, dalam masyarakat terdapat pandangan bahwa norma manusia yang
dianggap benar apabila dipandang dari sudut laki-laki. Semua ini berlaku di berbagai aspek
kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan bahkan agama.

Pekerjaan pelayanan bagi perempuan ini ternyata meluas ke sektor pekerjaan publik. Sektor
publik yang bersifat pelayanan membutuhkan tenaga perempuan. Sekretaris melayani
manajer, perawat melayani doker, banyak perempuan menjadi pelayan took, pembantu
rumah tangga, dan sebagainya. Sebaliknya, laki-laki harus menjadi kepala rumah tangga,
pemimpin, tidak pantas menangis, harus menghidupi keluarga, harus mengambil semua
keputusan, dan lain-lain.

Ada dua golongan besar dalam diskursus feminism mengenai konsep keseteraan gender,
dan keduanya demikian bertolak belakang. Pertama, kelompok feminisme yang berasumsi
bahwa bias gender yang menimpa mereka adalah akibat dari konstruksi sosial hasil budaya
yang sangat mengakar dan membentuk pola relasi antara laki-laki dan perempuan
cenderung ke arah patriarkhi dan misoginis (membenci perempuan). Kelompok ini
menganggap pola-pola relasi yang terbangun selama ini adalaah hasil dari upaya sistematis
berbagai kalangan untuk mengondisikan tatanan dunia. Tataran filosofis yang sangat lumrah
adalah bahwa perempuan cenderung feminine dan laki-laki dengan kemaskulinannya yang
diakomodasi dan diusahakan melalui berbagai jenis UU dan kebijakan sosial. Perempuan
harus tinggal di dalam rumah, memasak, mengurus anak, dan mengatur rumah tangga,

10
sementara para lelaki bertugas mencari nafjah dan menjadi kepala rumah tangga serta
bebas mengaktualisasikan dirinya di sektor publik. Kelompok yang berorientasi budaya ini
diwakili oleh feminism liberal, feminism sosialis dan Marxis, serta feminism radikal. Mereka
menganggap bahwa adanya differensiasi peran (division of labor) antara pria dan
perempuan bukan disebabkan oleh perbedaan nature biologis, sehingga peran-peran yang
selama ini digeluti perempuan seperti mengasuh anak, membersihkan rumah dan aktivitas
sejenis lainnya adalah bentuk diskriminasi dan pensubordinatan perempuan.

Kelompok kedua adalah golongan yang beranggapan perbedaan jenis kelamin (nature) akan
memberi dampak baik langsung ataupun tidak langsung terhadap konstruksi sosial,
sehingga akan selalu ada pekerjaan-pekerjaan atau aktivitas- aktivitas yang bernuansa
gender. Kelompok ini berusaha “merasionalisasikan” idenya dengan asumsi bahwa tidak
selalu kesetaraan gender berarti memaksakan diri menjadi seperti pria, mendapat
perlakuan sama tanpa dispensasi apapun dan menyifati diri dengan maskulinitas yang
memang menjadi dominasi kaum pria.

Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dapat dibagi dalam tiga peran gender (triple
role), yaitu:
a. Kerja produktif adalah semua pekerjaan yang berkaitan dengan produksi barang dan
jasa untuk mendapatkan penghasilan dan subsitensi (pemenuhan kebutuhan dasar).
Jenis pekerjaan kategori inilah yang paling utama diakui dan dianggap lebih bernilai
sebagai pekerjaan baik oleh individu maupun masyarakat, secara umum yang paling
banyak dimasukkan ke dalam statistik ekonomi nasional. Perempuan dan laki-laki sama-
sama bekerja untuk pekerjaan produktif, namun tidak semua dari jenis pekerjaan ini
sama nilai atau harganya.
b. Kerja reproduktif adalah pekerjaan yang berkaitan dengan perawatan dan pemeliharaan
rumah tangga dan anggotanya, seperti memasak, mencuci, membersihkan, merawat,
menjaga dan membesarkan anak, memelihara tempat tinggal, dan seterusnya. Jenis
pekerjaan ini sangat dibutuhkan dan penting sifatnya, akan tetapi sering dianggap tidak
sama nilainya dengan pekerjaan produktif. Pekerjaan ini penting bagi keberlangsungan
hidup manusia serta berguna untuk pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja, namun
jarang sekali dianggap sebagai pekerjaan ‘riil’. Sebagai contoh, ketika orang ditanya apa
pekerjaan mereka, tanggapan mereka adalah biasanya berkaitan dengan pekerjaan yang
dibayar atau pekerjaan untuk peningkatan pendapatan. Biasanya pekerjaan reproduktif
umumnya tidak dibayar dan tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi yang
konvensional. Umumnya pekerjaan ini dilakukan oleh perempuan.
c. Kerja komunitas adalah kegiatan yang dilakukan untuk aktivitas kemasyarakatan seperti
upacara dan perayaan yang tujuannya untuk meningkatkan solidaritas dalam
masyarakat serta mempertgahankan tradisi setempat, serta meningkatkan partisipasi
dalam kelompok atau organisasi sosial, kegiatan politik di tingkat lokal, dan seterusnya.
Tipe pekerjaan ini jarang sekali diperhitungkan dalam analisis ekonomi dan dianggap
sebagai dilakukan sebagai pekerjaan sukarela dan dianggap penting untuk
pengembangan spiritual dan kultural dari suatu komunitas. Baik perempuan dan laki-laki

11
terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan ini, meskipun tidak terlepas dari sistim
pembagian kerja berdasarkan gender.

Jenis kerja komunitas ini diklasifikasi atas dua tipe, yaitu:


i. Pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan komunitas (community-managing
activitis) adalah pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh perempuan sebagai
perpanjangan dari peran reproduktif mereka. Kegiatan ini dilakukan untuk menjamin
adanya pengadaan dan pemeliharaan atas sumber-sumberdaya yang terbatas yang
dimanfaatkan oleh setiap orang seperti air, perawatan kesehatan, dan pendidikan.
Pekerjaan ini bersifat sukarela, dilakukan pada ‘waktu luang’ perempuan.
ii. Pekerjaan yang berkaitan dengan politik masyarakat (community politics) adalah
pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki dalam organisasi politik
formal, seringkali dalam kerangka politik nasional. Umumnya mereka dibayar secara
tunai dalam pekerjaan ini, atau mendapat keuntungan secara tidak langsung dengan
meningkatnya status atau kuasa.

SUMBER PUSTAKA

Akhmad Harum. 2013. Pengarusutamaan Gender dan Konsep Dasar Gender.(online),


(https://bukunnq.wordpress.com, diakses tanggal 9 Maret 2015).

Faraz, 2013. Makalah Penelitian Perspektif Gender. (online), (staff.uny.ac.id/sites/default/files,


diakses 9 Maret 2015).

Herien Puspitawati, 2013. Konsep, Teori dan Analisis Gender. (Online),


(kk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/gender.pdf, diakses tanggal 19 Maret 2015).

Nugroho, Riant. 2011. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia. Cetakan ke-2.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Panani. 2013. Artikel Transisi Perempuan dari Ranah Domestik ke Publik. (online),
(rifkaanisa.blogdetik.com,diakses tgl 9 Maret 2015).

PENELITIAN PERSPEKTIF GENDER


Dr. Nahiyah Jaidi Faraz M.Pd
nahiyah@uny.ac.id

Salah satu kebutuhan untuk mewujudkan kondisi kesetaraan dan keadilan gender adalah
melakukan penelitian yang berbasis gender. Sejak awal permasalahan yang ada di masyarakat
harus diteliti secara adil, dimana penelitian yang dilakukan tidak hanya melihat kondisi yang
dialami salah satu jenis kelamin tetapi keduanya laki-laki dan perempuan. Sehingga hasil
12
penelitiannya nanti akan terlihat objektif dan sangat memadai sebagai data yang akan
dipergunakan oleh pemerintah pusat atau daerah dalam pembuatan kebijakan. Model
penelitian yang seperti itu dinamakan penelitian yang berperspektif gender.

Konsepsi Gender

Sebelum membahas masalah penelitian pespektif gender ada baiknya dideskripsikan disini
tentang apa itu konsep gender, sehingga kita akan lebih mudah memahami penelitian yang
perspektif gender.

Dalam sejarah, konsep gender pertama kali dikembangkan secara empiris oleh Margaret Mead,
ahli antropologi Amerika yang melakukan penelitian pada tiga masyarakat primitif di Papua
Nugini (masyarakat Arapesh, Mundugumor, dan Tchambuli) pada tahun 1932. Meskipun Mead
waktu itu belum mempergunakan kata “gender”, tetapi hasil temuannya diakui para pakar ilmu
sosial maupun para teoris seksologi sebagai penelitian pertama yang mempermasalahkan
hubungan gender (Koentjaraningrat, 1990).

Buku hasil penelitiannya Sex and Temperament in Three Primitive Societies (1935)
menyebutkan, bahwa pada masyarakat Arapesh tidak ditemukan adanya perbedaan psikologi
antara pria dan wanita. Pria dan wanita Arapesh sama-sama memiliki kepribadian dan perilaku
yang lembut, halus dan pasif. Sebaliknya, pada masyarakat Mundugumor, pria dan wanitanya
sama-sama memiliki kepribadian dan perilaku yang keras, kasar, aktif, dan agresif. Dan pada
masyarakat Tchambuli, memang ditemukan adanya perbedaan psikologi antara pria dan
wanita, tetapi sifat-sifat keras, kasar, aktif, dan agresif, serta mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
yang berat dimiliki oleh wanitanya, sedang kaum prianya lebih memfokuskan diri pada
kesenian, ritual keagamaan, dan suka bersolek diri. Mead menambahkan bahwa pada
masyarakat Tchambuli, kaum wanitalah yang menaksir pria bukan sebaliknya, sehingga pria
harus mempercantik diri (bersolek) kalau mau dilirik kaum wanitanya yang umumnya pemilik
akses sumberdaya (Koentjaraningrat, 1990).

Kesimpulan Mead dari penelitiannya, menyatakan bahwa perbedaan kepribadian dan perilaku
antara wanita dan pria bukanlah merupakan perbedaan yang bersifat universal dan natural,
melainkan perbedaan yang ditentukan oleh kebudayaan, sejarah, dan struktur sosial
masyarakat yang bersangkutan. Beberapa puluh tahun kemudian, Ann Oakley (1972) sosiolog
Inggris, merumuskan definisi gender untuk membedakannya dengan konsep seks.

“Sex is word that refers to the biological differences in genitalia, the related difference
in procreative function. „Gender‟ however is a matter of culture; It refers to the social
classification into „masculine‟ and „feminine‟”.

Orang pertama yang memperkenalkan konsep “gender‟ sebenarnya Robert Stoller (1968).
Stoller menggunakan kata gender untuk menyebut sebuah pencirian manusia yang didasarkan

13
faktor sosial-budaya bukan biologis, tetapi Oakley lah yang mengembangkan konsep itu dalam
wacana ilmu sosial dan menjadi referensi paling utama bagi kaum feminist.

Temuan Mead dan pengembangan konsep gender oleh Oakley ini telah mengubah cara
pandang orang terhadap fenomena ketidakadilan yang ada antara laki-laki dan perempuan.
Kaum feminist sebelumnya menganggap bahwa ketidakadilan itu merupakan implikasi dari
budaya patriarki atau menyebutnya sebagai fenomena sexist, dimana perbedaan gender
(gender differences) disebabkan oleh perbedaan seks. Perbedaan peran dan kerja secara
seksual saat itu dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan dianggap sebagai kodrat.

Batasan lainnya di kemukakan Caplan (1987). Menurutnya, gender merupakan “behavioral


differences” (perbedaan perlakuan) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara
sosial. Dengan demikian gender dapat berubah dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu,
bahkan mungkin juga dari kelas ke kelas. Suzanne Williams, Janet Seed, dan Adelina Mwau
(1994) merumuskan proses konstruksi gender sebagai berikut: “…manusia dilahirkan dan
dididik sebagai bayi perempuan dan laki-laki supaya kelak menjadi anak perempuan dan laki-
laki serta berlanjut sebagai

Daftar Pustaka.

Handayani,T dan Sugiarti (2002) .Konsep dan Teknik Penelitian Gender.Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang.
Hesti, R.W.Dr.1996. Penelitian Berspektif Gender. Jurnal Analisis Sosial, Analisis Gender Dalam
Memahami Persoalan Perempuan.AKATIGA, Pusat Analisis Sosial, Bandung, Indonesia.

Huyzer. N. 1998. Gender Sensitivity in Development Planning, Implementation and Evaluation,


APDC:Kuala Lumpur. Jayaratne. 1983. The Value of Quantitatif Methodology for Feminist
Research,dalam Bowles, G and Theories of Women Studies, London:Routledge Paul & Kegan.

Klein. R.D. dkk. 1983. Haw todo What we wont to do: thoughts about Feminist Methodology,
dalam Bowles, G and Dueli Klein, R. (Editors)Theories of Women Studies, London:Routledge
Kegan & Paul.

Mies, M. 1983. Toward of Methodology for Feminist Research. dalam Bowles, G and Dueli Klein,
R. (Editors)Theories of Women Studies, London:Routledge Kegan & Paul Saptari,R dan Holzner,
B.1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.

KONSEP, TEORI DAN ANALISIS GENDER


Puspitawati, H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. PT IPB Press.
Bogor

14
Pengertian Konsep Gender

Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan
perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat
bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting,
karena selama ini sering sekali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan
yang bersifat bukan kodrati (gender). Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk
memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada
manusia perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang dinamis dan
tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Perbedaan konsep gender
secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya.
Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan
bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini
melekat pada cara pandang kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan
sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologis yang
dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.

Kata „gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab
pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang
tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian
gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya
gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya.
Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke
manusia lainnya tergantung waktu dan budaya setempat.

Definisi gender menurut berbagai pustaka adalah sebagai berikut:

1. “Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak,
tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat
dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat.
Tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat
dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat.
2. “Gender refers to the economic, social, political, and cultural attributes and opportunities
associated with being female and male. The social definitions of what it means to be female
or male vary among cultures and changes over time.” (gender merujuk pada atribut
ekonomi, sosial, politik dan budaya serta kesempatan yang dikaitkan dengan menjadi
seorang perempuan dan laki-laki. Definisi sosial tentang bagaimana artinya menjadi
perempuan dan laki-laki beragam menurut budaya dan berubah sepanjang jaman).
3. “Gender should be conceptualized as a set of relations, existing in social institutions and
reproduced in interpersonal interaction“ (Smith 1987; West & Zimmerman 1987 dalam Lloyd
et al. 2009: p.8) (gender diartikan sebagai suatu set hubungan yang nyata di institusi sosial
dan dihasilkan kembali dari interaksi antar personal).

15
4. “Gender is not a property of individuals but an ongoing interaction between actors and
structures with tremendous variation across men‟s and women‟s lives “individually over the
life course and structurally in the historical context of race and class” (Ferree 1990 dalam
Lloyd et al. 2009: p.8) (Gender bukan merupakan property individual namun merupakan
interaksi yang sedang berlangsung antar aktor dan struktur dengan variasi yang sangat
besar antara kehidupan laki-laki dan perempuan „secara individual‟ sepanjang siklus
hidupnya dan secara struktural dalam sejarah ras dan kelas).
5. “At the ideological level, gender is performatively produced” (Butler 1990 dalam Lloyd et al.
2009: p.8) (Pada tingkat ideologi, gender dihasilkan).
6. “Gender is not a noun- a „being‟–but a „doing‟. Gender is created and reinforced
discursively, through talk and behavior, where individuals claim a gender identity and reveal
it to others” (West & Zimmerman 1987 dalam Lloyd et al. 2009: p.8) (Gender bukan sebagai
suatu kata benda–„menjadi seseorang‟, namun suatu „perlakuan‟. Gender diciptakan dan
diperkuat melalui diskusi dan perilaku, dimana individu menyatakan suatu identitas gender
dan mengumumkan pada yang lainnya).
7. “Gender theory is a social constructionist perspective that simultaneously examines the
ideological and the material levels of analysis” (Smith 1987 dalam Lloyd et al. 2009: p.8)
(Teori gender merupakan suatu pandangan tentang konstruksi sosial yang sekaligus
mengetahui ideologi dan tingkatan analisis material).

Dengan demikian gender menyangkut aturan sosial yang berkaitan dengan jenis kelamin
manusia laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis dalam hal alat reproduksi antara laki-laki
dan perempuan memang membawa konsekuensi fungsi reproduksi yang berbeda (perempuan
mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui; laki-laki membuahi dengan
spermatozoa). Jenis kelamin biologis inilah merupakan ciptaan Tuhan, bersifat kodrat, tidak
dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan dan berlaku sepanjang zaman.

Namun demikian, kebudayaan yang dimotori oleh budaya patriarki menafsirkan perbedaan
biologis ini menjadi indikator kepantasan dalam berperilaku yang akhirnya berujung pada
pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol dan menikmati manfaat dari sumberdaya dan
informasi. Akhirnya tuntutan peran, tugas, kedudukan dan kewajiban yang pantas dilakukan
oleh laki-laki atau perempuan dan yang tidak pantas dilakukan oleh laki-laki atau perempuan
sangat bervariasi dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya. Ada sebagian masyarakat yang
sangat kaku membatasi peran yang pantas dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan,
misalnya tabu bagi seorang laki-laki masuk ke dapur atau mengendong anaknya di depan umum
dan tabu bagi seorang perempuan untuk sering keluar rumah untuk bekerja. Namun demikian,
ada juga sebagian masyarakat yang fleksibel dalam memperbolehkan laki-laki dan perempuan
melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya perempuan diperbolehkan bekerja sebagai kuli
bangunan sampai naik ke atap rumah atau memanjat pohon kelapa, sedangkan laki-laki
sebagian besar menyabung ayam untuk berjudi.

Perbedaan Konsep Gender dan Jenis Kelamin

16
Pengertian gender itu berbeda dengan pengertian jenis kelamin (sex).

Konsep gender menjadi persoalan yang menimbulkan pro dan kontra baik di kalangan masyarakat,
akademisi, maupun pemerintahan sejak dahulu dan bahkan sampai sekarang. Pada umumnya
sebagian masyarakat merasa terancam dan terusik pada saat mendengar kata ‟gender‟.
Berdasarkan diskusi dengan berbagai kalangan, keengganan masyarakat untuk menerima konsep
gender disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut

1. Konsep gender berasal dari negara-negara Barat, sehingga sebagian masyarakat


menganggap bahwa gender merupakan propaganda nilai-nilai Barat yang sengaja
disebarkan untuk merubah tatanan masyarakat khususnya di Timur.
2. Konsep gender merupakan gerakan yang membahayakan karena dapat memutarbalikkan
ajaran agama dan budaya, karena konsep gender berlawanan dengan kodrati manusia.
3. Konsep gender berasal dari adanya kemarahan dan kefrustrasian kaum perempuan untuk
menuntut haknya sehingga menyamai kedudukan laki-laki. Hal ini dikarenakan kaum
perempuan merasa dirampas haknya oleh kaum laki-laki. Di Indonesia tidak ada masalah
gender karena negara sudah menjamin seluruh warga negara untuk mempunyai hak yang
sama sesuai dengan yang tercantum pada UUD 1945.
4. Adanya mind-set yang sangat kaku dan konservatif di sebagian masyarakat, yaitu mind set
tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalah sudah ditakdirkan dan
tidak perlu untuk dirubah (misalnya kodrati perempuan adalah mengasuh anak, kodrati laki-
laki mencari nafkah). Namun mind-set ini sepertinya masih terus berlaku meskipun
mengabaikan fakta bahwa semakin banyak perempuan Indonesia menjadi Tenaga Kerja
Wanita (TKW) ke luar negeri dan mengambil alih tugas suami sebagai pencari nafkah utama.

Sejarah Pergerakan Feminisme


...

Konsep Kesetaraan dan Keadilan Gender

1. Kesetaraan gender: Kondisi perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan
memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya
bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Definisi dari USAID menyebutkan bahwa
“Gender Equality permits women and men equal enjoyment of human rights, socially valued
goods, opportunities, resources and the benefits from development results. (kesetaraan
gender memberi kesempatan baik pada perempuan maupun laki-laki untuk secara
setara/sama/sebanding menikmati hak-haknya sebagai manusia, secara sosial mempunyai
benda-benda, kesempatan, sumberdaya dan menikmati manfaat dari hasil pembangunan).

2. Keadilan gender: Suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui proses budaya
dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan

17
laki-laki. Definisi dari USAID menyebutkan bahwa “Gender Equity is the process of being fair
to women and men. To ensure fairness, measures must be available to compensate for
historical and social disadvantages that prevent women and men from operating on a level
playing field. Gender equity strategies are used to eventually gain gender equality. Equity is
the means; equality is the result. (Keadilan gender merupakan suatu proses untuk menjadi
fair baik pada perempuan maupun laki-laki. Untuk memastikan adanya fair, harus tersedia
suatu ukuran untuk mengompensasi kerugian secara histori maupun sosial yang mencegah
perempuan dan laki-laki dari berlakunya suatu tahapan permainan. Strategi keadilan gender
pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesetaraan gender. Keadilan merupakan
cara, kesetaraan adalah hasilnya).

Wujud Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga

1. Akses diartikan sebagai “the capacity to use the resources necessary to be a fully active and
productive (socially, economically and politically) participant in society, including access to
resources, services, labor and employment, information and benefits”. (Kapasitas untuk
menggunakan sumberdaya untuk sepenuhnya berpartisipasi secara aktif dan produktif
(secara sosial, ekonomi dan politik) dalam masyarakat termasuk akses ke sumberdaya,
pelayanan, tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan manfaat). Contoh: Memberi
kesempatan yang sama bagi anak perempuan dan laki-laki untuk melanjutkan sekolah
sesuai dengan minat dan kemampuannya, dengan asumsi sumberdaya keluarga mencukupi.
2. Partisipasi diartikan sebagai “Who does what?” (Siapa melakukan apa?). Suami dan istri
berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas penggunaan
sumberdaya keluarga secara demokratis dan bila perlu melibatkan anak-anak baik laki-laki
maupun perempuan.
3. Kontrol diartikan sebagai ”Who has what?” (Siapa punya apa?). Perempuan dan laki-laki
mempunyai kontrol yang sama dalam penggunaan sumberdaya keluarga. Suami dan istri
dapat memiliki properti atas nama keluarga.
4. Manfaat. Semua aktivitas keluarga harus mempunyai manfaat yang sama bagi seluruh
anggota keluarga.

Teori Gender atau Aliran Feminisme


....

Pengertian dan Teknik Analisis Gender

Analisis gender adalah suatu metode atau alat untuk mendeteksi kesenjangan atau disparitas
gender melalui penyediaan data dan fakta serta informasi tentang gender yaitu data yang terpilah
antara laki-laki dan perempuan dalam aspek akses, peran, kontrol dan manfaat. Dengan demikian
analisis gender adalah proses menganalisis data dan informasi secara sistematis tentang laki-laki
dan perempuan untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan kedudukan, fungsi, peran dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Syarat utama
terlaksananya analisis gender adalah tersedianya data terpilah berdasarkan jenis kelamin. Data

18
terpilah adalah nilai dari variabel variabel yang sudah terpilah antara laki-laki dan perempuan
berdasarkan topik bahasan/hal-hal yang menjadi perhatian. Data terdiri atas data kuantitatif (nilai
variabel yang terukur, biasanya berupa numerik) dan data kualitatif (nilai variabel yang tidak
terukur dan sering disebut atribut, biasanya berupa informasi).

Analisis gender merupakan alat dan tehnik yang tepat untuk mengetahui apakah ada permasalahan
gender atau tidak dengan cara mengetahui disparitas gendernya. Dengan analisis gender
diharapkan kesenjangan gender dapat diindentifikasi dan dianalisis secara tepat sehingga dapat
ditemukan faktor-faktor penyebabnya serta langkah-langkah pemecahan masalahnya. Analisis
gender sangat penting khususnya bagi para pengambil keputusan dan perencanaan serta para
peneliti akademisi, karena dengan analisis gender diharapkan masalah gender dapat diatasi atau
dipersempit sehingga program yang berwawasan gender dapat diwujudkan. Secara terinci analisis
gender sangat penting manfaatnya, karena:

1. Membuka wawasan dalam memahami suatu kesenjangan gender di daerah pada berbagai
bidang, dengan menggunakan analisis baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
2. Melalui analisis gender yang tepat, diharapkan dapat memberikan gambaran secara garis
besar atau bahkan secara detil keadaan secara obyektif dan sesuai dengan kebenaran yang
ada serta dapat dimengerti secara universal oleh berbagai pihak.
3. Analisis gender dapat menemukan akar permasalahan yang melatarbelakangi masalah
kesenjangan gender dan sekaligus dapat menemukan solusi yang tepat sasaran sesuai
dengan tingkat permasalahannya.

Istilah-istilah yang digunakan dalam Analisis Gender meliputi:

1. Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumberdaya
tertentu.
2. Peran adalah keikutsertaan atau partisipasi seseorang/ kelompok dalam suatu kegiatan dan
atau dalam pengambilan keputusan.
3. Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan.
4. Manfaat adalah kegunaan sumberdaya yang dapat dinikmati secara optimal.
5. Indikator adalah alat ukur berupa statistik yang dapat menunjukkan perbandingan,
kecenderungan atau perkembangan.
6. Kegiatan produktif yaitu kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat dalam rangka mencari
nafkah. Kegiatan ini disebut juga kegiatan ekonomi karena kegiatan ini menghasilkan uang
secara langsung atau barang yang dapat dinilai setara uang. Contoh kegiatan ini adalah
bekerja menjadi buruh, petani, pengrajin dan sebagainya.
7. Kegiatan reproduktif yaitu kegiatan yang berhubungan erat dengan pemeliharaan dan
pengembangan serta menjamin kelangsungan sumberdaya manusia dan biasanya dilakukan
dalam keluarga. Kegiatan ini tidak menghasilkan uang secara langsung dan biasanya
dilakukan bersamaan dengan tanggung jawab domestik atau kemasyarakatan dan dalam
beberapa referensi disebut reproduksi sosial. Contoh peran reproduksi adalah
pemeliharaan dan pengasuhan anak, pemeliharaan rumah, tugas-tugas domestik dan

19
reproduksi tenaga kerja untuk saat ini dan masa yang akan datang (misalnya masak, bersih-
bersih rumah).
8. Kegiatan kemasyarakatan yang berkaitan dengan politik dan sosial budaya yaitu kegiatan
yang dilakukan anggota masyarakat yang berhubungan dengan bidang politik, sosial dan
kemasyarakatan dan mencakup penyediaan dan pemeliharaan sumberdaya yang digunakan
oleh setiap orang seperti air bersih/ irigasi, sekolah dan pendidikan, kegiatan pemerintah
lokal dan lain-lain. Kegiatan ini bisa menghasilkan uang dan bisa juga tidak menghasilkan
uang.

Ada beberapa teknik analisis gender yang sering digunakan, yaitu Model Harvard; Model
Moser; Model SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat) atau Model Kekuatan,
Kelemahan, Kesempatan dan Ancaman; Model GAP (Gender Analysis Pathway) atau Model
Analisis Alur Gender; dan Model ProBA (Problem Based Approach) atau Model Pendekatan
Berbasis Masalah.

ANALISIS KESETARAAN GENDER


DI PEMERINTAHAN KABUPATEN SLEMAN DIY
Farida Hanum, dkk (Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si dan Lutfi Wibawa, M.Pd)
FIP-UNY (FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN, UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA), 2010

Salah satu tujuan pembangunan di Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur
dan sejahtera tanpa membedakan laki-laki atau perempuan. Meskipun telah banyak kemajuan
pembangunan yang dicapai, namun kenyataan menunjukkan bahwa kesenjangan gender
(gender gap) masih terjadi pada sebagian besar bidang pembangunan, terutama bidang
pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Isu kesenjangan gender inilah yang membatasi keterlibatan kaum perempuan dalam
pembangunan dan berdampak terhadap pencapaian kualitas hidupnya.

... perspektif pembangunan berwawasan gender, dimana perempuan dan laki-laki sebagai
anggota masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang sama atas akses, manfaat, partisipasi
dan kontrol dalam pembagunan. Ukuran keberhasilan pembangunan sumber daya manusia
dapat diketahui melalui tiga indikator pencapaian pembangunan yaitu Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IPG).
IPM merupakan indikator komposit dengan beberapa variable utama yaitu pendidikan,
kesehatan dan ekonomi. IPG mengukur pencapaian dalam dimensi yang sama dengan melihat
ketimpangan dan mengakomodasi perbedaan pencapaian antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan IGD mengukur ada tidaknya ketimpangan gender di bidang ekonomi, partisipasi
politik, dan pengambilan keputusan.

Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender


(PUG) dalam Pembangunan Nasional menginstruksikan kepada semua kementerian dan

20
lembaga pemerintah, pemerintah propinsi, dan kabupaten/kota untuk melaksanakan PUG dari
tahapan perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan (monitoring) dan penilaian
(evaluasi), atas kebijakan dan program pembangunan nasional sesuai dengan bidang tugas dan
fungsi, serta kewenangan masing-masing. Tujuan Pelaksanaan strategi PUG antara lain agar
semua komponen masyarakat mendapatkan manfaat yang sama dari pembangunan,
memperoleh akses, partisipasi dan kontrol yang setara antara laki-laki dan perempuan, serta
kelompok-kelompok yang rentan dan selama ini termarjinalkan dalam pembangunan. Tujuan
lainnya agar kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan dapat dikurangi melalui
kebijakan/program/kegiatan yang merespon pengalaman, aspirasi dan permasalahan yang
dihadapi, baik oleh laki-laki maupun perempuan karena adanya peran gender dalam keluarga-
keluarga masyarakat. Akuntabilitas dari tata kepemerintahan yang baik (good governance) dan
terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender juga diharapkan dapat terwujud denga n
melaksanakan PUG secara konsisten.

Konsep Gender

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis
kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya
bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat antara lain memiliki
penis, jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedang perempuan memiliki alat
reproduksi seperti rahim, memproduksi telur, memiliki vagina saluran untuk melahirkan,
mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis
perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat tersebut tidak bisa
dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara
permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering disebut sebagai
ketentuan tuhan atau kodrat (trisakti dan Sugiarti, 2006).

Adapun konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan
yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal
lemah lembut, emosional, cantik dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional,
perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat lain, dari kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Bisa saja di suatu suku tertentu perempuan
pedesaan dianggap lebih kuat dan mengatur keputusan-keputusan keluarga. Sementara pada
beberapa dekade laki-laki di Jawa ataupun di Asia dianggap lebih berkuasa dibanding
perempuan. Jadi sifat yang melekat pada gender tidak tetap tetapi bergantung pada suatu
budaya masyarakat.

Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah
dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu
kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.

Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan
terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-

21
perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat bahkan dikonstruksikan secara sosial dan kultural, melalui ajaran agama maupun
negara. Melalui proses panjang pula, sosialisasi tentang gender tersebut akhirnya dianggap
ketentuan yang kuasa (Tuhan). Seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, tidak
bisa dipertukarkan, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebgai
kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.

Teknik Analisis ...


...

Trisakti H. dan Sugiharti. 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang UMM Press.

KETIDAKSETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN;


Studi Pada Perempuan di Kecamatan Majalaya Kabupaten Karawang1
Rahmi Fitrianti 2 & Habibullah3

Ketidaksetaraan pada sector pendidikan telah menjadi faktor utama yang


paling berpengaruh terhadap ketidaksetaraan gender secara menyeluruh. Hal ini sesuai
dengan yang diungkapkan Suryadi & Idris (2004) latar belakang pendidikan yang belum
setara antara laki-laki dan perempuan menjadi faktor penyebab ketidaksetaraan gender dalam
semua sektor seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah
menyuarakan pendapat. UUD 1945 mengamanatkan, bahwa laki-laki dan perempuan
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan, termasuk pembangunan di
bidang pendidikan.

Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang memuat pasal-pasal yang mendukung kesetaraan pendidikan yang menjamin hak
perempuan untuk memperoleh pendidikan, dalam pasal 48: “wanita berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan”. Pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa sistem pendidikan harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, manajemen pendidikan untuk menghadapi
tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

Pendidikan yang rendah pada perempuan sangat berpengaruh pada akses terhadap

1 Artikel ini diangkat dari penelitian tesis Rahmi Fitrianti di Program Studi Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas
Indonesia dengan judul: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidaksetaraan Gender Dalam Pendidikan (Suatu Studi Pada
Perempuan di Kecamatan Majalaya Kabupaten Karawang)
2 Rahmi Fitrianti, Staf pada Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial RI, Alumni Program Studi Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI dan
Sarjana Psikologi UniversitasPadjajaran. email:revaleezza@yahoo.com
3 Habibullah, Peneliti Muda pada Puslitbang Kesos, Kementerian Sosial RI, Alumni Program Studi Magister Ilmu Kesejahteraan

Sosial FISIP UI danSarjana Sosial, Jurusan Ilmu Sosiatri (Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan) Universitas Gadjah Mada.
email:habibullah792002@yahoo.com

22
sumber-sumber produksi di mana mereka lebih banyak terkonsentrasi pada pekerjaan informal
yang berupah rendah. Selain itu pengaruh pendidikan memperlihatkan kecenderungan semakin
rendah tingkat pendidikan semakin besar ketidaksetaraan gender dalam system pengupahan
(Suryadi & Idris, 2004). Selanjutnya menurut Suryadi (2001) rendahnya tingkat pendidikan
penduduk perempuan akan menyebabkan perempuan belum bisa berperan lebih besar dalam
pembangunan.

Peningkatan taraf pendidikan dan hilangnya diskriminasi gender dapat memberikan


ruang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan dan ikut menentukan kebijakan
dibidang ekonomi, sosial dan politik (Suryadi, 2001). Semakin tinggi tingkat pendidikan
perempuan diharapkan akan semakin tinggi pula kualitas sumber daya manusia. Perempuan
yang berpendidikan tinggi mampu membuat keluarganya lebih sehat dan memberikan
pendidikan yang lebih bermutu pada anaknya. Selain itu perempuan berpendidikan tinggi
memiliki peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Sebaliknya, perempuan yang
pendidikannya rendah akan lebih rentan dan ekonomi yang cenderung lebih rendah (Supiandi,
2001).

Beberapa penelitian menyatakan ketidaksetaraan gender disebabkan karena akses, partisipasi


dan kontrol yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki terhadap sumber daya
(Mosse, 1996). Menurut Suleeman (1995) alasan ketimpangan gender dalam pendidikan
disebabkan ketersediaan fasilitas, mahalnya biaya sekolah, dan investasi dalam pendidikan. Van
Bemmelen (2003) menemukan bahwa ketimpangan gender meliputi akses perempuan dalam
pendidikan, nilai gender yang dianut oleh masyarakat, nilai dan peran gender yang terdapat
dalam buku ajar, nilai gender yang ditanamkan oleh guru dan kebijakan yang bias gender.

Namun dari banyaknya penelitian mengenai gender tersebut, belum banyak yang mencoba
untuk menghubungkan pengaruh faktor-faktor ketidaksetaraan gender tersebut. Penelitian
ini mencoba menghubungkan faktor-faktor ketidaksetaraan gender dalam pendidikan yakni
akses, partisipasi, kontrol, manfaat dan nilai mempengaruhi terciptanya ketidaksetaraan gender
dalam pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:


1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan ketidaksetaraan gender dalam bidang pendidikan bagi
perempuan di Kabupaten Karawang?
2. Bagaimana faktorfaktor tersebut mempengaruhi ketidaksetaraan gender dalam bidang
pendidikan di Kabupaten Karawang?

Sejalan dengan permasalahan penelitian diatas, tujuan yang akan dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1. Menggambarkan faktor-faktor penyebab ketidaksetaraan gender dalam pendidikan bagi
perempuan di Kabupaten Karawang,
2. Menganalisa faktor-faktor tersebut mempengaruhi ketidaksetaraan gender
dalam pendidikan di Kabupaten Karawang.

23
Pendekatan kualitatif merupakan suatu pendekatan yang tepat pada penelitian ini
karena membutuhkan data yang lebih mendalam mengenai ketidaksetaraan gender dalam
bidang pendidikan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat eksplanatif.
Alasan penggunaan jenis penelitian ini adalah untuk mengumpulkan informasi mengenai topik
dan memiliki gambaran yang lebih jelas.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Pertimbangan


pemilihan Kabupaten Karawang menjadi lokasi penelitian karena kabupaten ini merupakan
salah satu kabupaten yang ditemukan ketidaksetaraan gender dalam pendidikan dengan
keadaan posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.

Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling yaitu menggunakan


informan yang terpilih benar-benar menguasai permasalahan, yakni dapat menceritakan
pengalaman mengenai akses, partispasi, kontrol, manfaat dan nilai saat menempuh
pendidikan, sehingga diperoleh data unsur akses, partisipasi, kontrol, manfaat dan nilai
mempengaruhi ketidaksetaraan gender di bidang pendidikan agar informan yang terpilih
benar-benar menguasai permasalahan. Oleh karena itu, kreteria informan yang dipakai yaitu:
1. Wanita yang berusia 30 – 40 tahun, karena untuk usia tersebut pemerintah
sudah mulai menggalakan program wajib belajar,
2. Menikah dan memiliki anak, untuk melihat nilai yang dianut dalam keluarganya,
3. Mempunyai saudara laki-laki untuk melihat apakah adanya perbedaan perlakuan orang tua
dalam partisipasi pendidikan di sekolah formal

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik: studi literatur, In-depth
Interview, dan Observasi. Sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas penelitian kualitatif
maka digunakan triangulasi. Triangulasi dilakukan dengan cara mengecek antara data
yang satu dengan data yang lainnya. Data yang dimaksudkan antara lain berasal dari hasil
wawancara dengan observasi dan data sekunder. Dengan kata lain, triangulasi ini digunakan
untuk mendapatkan kepastian data yang didapat atau untuk mendapatkan gambaran yang
lebih lengkap mengenai data dan informasi.

Pengertian Gender

Menurut Unger & Crawford (1992) gender merupakan perbedaan antara perempuan dan
laki yang dikontruksi secara sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis semata. Hal
yang hampir sama dikemukakan Moser (1993) gender adalah peran sosial yang terbentuk
dalam masyarakat. Perbedaan peran gender ini terbentuk oleh faktor-faktor ideologis, sejarah,
etnis, ekonomi dan kebudayaan. Gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan
perempuan bukan secara biologis, melainkan terbentuk melalui proses sosial dan kultural.
Gender dapat berubah sementara jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah (Grewal &
Kaplan, 2002).

Sementara itu menurut Mosse (1996) gender merupakan seperangkat peran yang diberikan
kepada perempuan dan laki-laki, bukan secara biologis dan peran ini dapat berubah sesuai

24
dengan budaya, kelas sosial, usia dan latar belakang etnis. Gender menentukan berbagai
pengalaman hidup, yang dapat menentukan akses terhadap pendidikan, kerja, alat-alat dan
sumber daya.

Gender berkaitan dengan kualitas dan relasi yang dibentuk dalam hubungan kekuasaan dan
dominasi dalam struktur kesempatan hidup perempuan dan laki-laki, pembagian kerja yang
lebih luas dan pada gilirannya berakar pada kondisi produksi dan reproduksi yang diperkuat
oleh sistem budaya, agama dan ideologi yang berlaku dalam masyarakat (Ostergaard, 1992).
Gender adalah suatu kontruksi sosial yang mengkategorikan perempuan dan laki-laki
berdasarkan persepsi dan perasaan. Gender bervariasi berdasarkan waktu, tempat, budaya
serta pengalaman hidup (Bradley,2007)

Oleh karena itu dapat disimpulkan pengertian gender berbeda dengan jenis kelamin, jenis
kelamin adalah perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, berlaku secara umum,
tidak dapat berubah, dan merupakan kodrat dari Tuhan. Sedangkan gender lebih berhubungan
dengan perbedaan perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial, budaya dan
psikologis.

Ketidaksetaraan Gender dan Bentuk Ketidaksetaraan Gender

Menurut Nurhaeni (2009) ketidaksetaraan gender adalah perlakuan diskriminatif/berbeda


yang diterima perempuan atau laki-laki. Perlakuan ini diberikan bukan berdasarkan
atas kompetensi, aspirasi dan keinginannya sehingga merugikan salah satu jenis kelamin.
Ketidaksetaraan gender adalah ketidakadilan bagi perempuan atau pun laki-laki berdasarkan
sistem dan struktur yang ada. Manifestasi yaitu marjinalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan
dan beban kerja (Fakih, 2008). Ketidaksetaraan gender disebabkan oleh akses, partisipasi dan
kontrol yang tidak seimbang bagi perempuan dalam mencapai sumber daya (Moser, 1993).
Pembagian peran, tidak akan menjadi masalah selama perempuan dan laki-laki
diperlakuan secara adil, sesuai kebutuhannya dan tidak merugikan salah satu jenis kelamin.

Namun apabila pengklasifikasian feminine dan maskulin digunakan sebagai dasar untuk
memperlakukan kedua jenis kelamin secara berbeda dan merugikan salah satu jenis kelamin,
maka telah terjadi ketidaksetaraan gender. Manifestasi ketidaksetaraan gender telah terjadi di
berbagai tingkatan, bidang dan mengakar dari mulai keyakinan di setiap masing-masing orang,
keluarga, hingga tingkat Negara yang bersifat global. Salah satu ketidaksetaraan gender yang
berkembang dalam masyarakat adalah bidang pendidikan.

Gender dan Stereotip

Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan pada suatu kelompok tertentu.
Stereotip yang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu,
yaitu perempuan. Stereotip yang asalnya dari asumsi bahwa perempuan bersolek merupakan
upaya memancing lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual
selalu dikaitkan dengan stereotip ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami perempuan,

25
masyarakat cenderung menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas
utama kaum perempuan adalah melayani suami, stereotip ini menjadi wajar sekali jika
pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.

Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan


....

Faktor-Faktor Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan


....

Suryadi, A, & Idris, E. (2004). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan,


Bandung: PT. Ganesindo

Suryadi, A. (2001). Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan, Jakarta:


Bappenas & WSPII-CIDA

Supiandi, Yusuf. (2001). Kebijakan dan Strategi Pengarusutamaan Gender, Jakarta:


Kantor Meneg PP

Suleeman, E. (1995). Pendidikan Wanita di Indonesia, Dalam T. O. Ihromi, Kajian


Wanita Dalam Pembangunan (hal. 227-248). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Mosse, J. C. (1996). Gender dan Pembangunan, Yogyakarta: Rifka Annisa WCC &
Pustaka Pelajar.

Van Bemmelen, S. (1995). Gender dan Pembangunan: Apakah yang Baru? Dalam T. Ihromi,
Kajian Wanita Dalam Pembangunan, (hal. 175-226). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Unger, R., & Crawford. (1992). Women and Gender a Feminist Psychology, New
York: McGraw_Hill Inc.

Moser, CON. (1993). Gender Planning and Development: Theory, Practice, and
Training, London : Routledge

Grewal, I., & Kaplan, C. (2002). An introduction Women's Studies, New York: McGraw-
Hill Companies Inc.

Ostergaard, L. (1992). Gender and Development Apractical Guide, New York: Routledge.

Bradley, H. (2007). Gender. Cambridge: Polity Press.

Fakih, M. (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Jakarta: Insist Press.

Nurhaeni, I. D. (2009). Reformasi Kebijakan Pendidikan Menuju Kesetaraan dan

26
Keadilan Gender, Surakarta: UNS Press

RELASI GENDER DALAM MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN WAKATOBI


Disampaikan dalam seminar Nasional yang dilaksanakan oleh Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin dengan Kelompok PKK Kabupaten
Wakatobi di Hotel Wakatobi (sesuaikan) tanggal 14 Juni 2011 di Gedung Wanita Kabupaten Wakatobi

Sumiman Udu
Dosen FKIP Univertitas Haluoloe, dan sekaligus menjadi Direktur Eksekutif Pusat Studi Wakatobi Yayasan Udu Kolaborasi Global yang saat ini
masih menjadi mahasiswa S3 di Universitas Gadjah Maga Yogyakarta

http://www.wakatobicenter.com/2012/10/relasi-gender-dalam-masyarakat-dan.html

Kebudayaan Wakatobi – Buton dibangun di atas konsep keseimbangan, walaupun di dalam


kehidupan sehari-hari perempuan sering kali tidak beruntung.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Pim Schoorl bahwa Budaya masyarakat Wakatobi – Buton
pada umumnya selama ini telah memposisikan perempuan dalam ketegangan. Di satu sisi,
budaya Wakatobi – Buton menghargai dan menghormati perempuan, tetapi di sisi lain, budaya
Wakatobi – Buton pada umumnya banyak membelenggu perempuan, terutama untuk
menduduki posisi-posisi tertentu dalam kehidupan bermasyarakat (Schoorl, 2003: 211).

Dalam kehidupan masyarakat Buton, perempuan bertanggung jawab atas beberapa hal, yaitu
(1) merawat anak, (2) membantu suami dalam mencari rezeki, (3) mendidik anak, dan
(melakukan amalan, amala untuk melindungi keselamatan suami disaat berada di luar rumah
(Schoorl, 2003: 218-220).

Namun jika kita menelusuri lebih jauh mengenai kebudayaan Buton, maka kita akan
menemukan begitu besarnya pengaruh perempuan dalam kebudayaan Buton. Mengingat
dalam kedalaman kebudayaan Buton, terdapat paham yang disebut dengan paham kebutonan.
Berangkat dari pondasi dasar kebudayaan Buton yang disebut konsep kangkilo atau kesucian,
maka masyarakat Buton memiliki relasi gender yang adil. Dimana hubungan manusia tidak lagi
dibedakan berdasarkan jenis kelamin, melainkan dibedakan atas kinerja atau karya yang
dihasilkannya.

Di sisi yang lain, masyarakat Wakatobi memiliki pandangan bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki ruang yang sama untuk bekerja. Tetapi yang berhak mengelola keuangan keluarga
berada di tangan perempuan4. Namun dalam keadaan tertentu, perempuan Wakatobi memiliki
peran yang besar dalam melangsungkan kehidupan keluarganya, hal ini dapat dilihat dari
tanggung jawab perempuan yang ditinggalkan oleh suami mereka selama bertahun-tahun ke
rantau orang. Dalam konteks ini, perempuan Wakatobi berperan sebagai istri, ibu dan kepala
keluarga yang sekaligus bertanggung jawab atas keselamatan dan ekonomi keluarga. Mereka

4
Masyarakat Wakatobi –Buton memandang bahwa laki-laki yang memegang hasil jerih payahnya atau penghasilannya dianggap sebagai laki-
laki yang tidak punya etika atau pake da’o. Sehingga hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu keluarga memiliki dinamika yang menarik,
dimana perempuan mempunyai kontrol pada pengelolaan keuangan keluarga. Dan laki-laki Wakatobi harus meminta kepada istrinya, dan
memiliki kewajiban untuk menyetor uang pada istrinya, jika tidak mau disebut sebagai mia pumake da’o (orang yang berahlak jelek),
wawancara, tanggal 21 Jenuari 2010 dengan La Dama)

27
bekerja di kebun, nelayan dan bahkan pedagang yang harus menghidupi anak-anak dan
keluarganya selama suaminya masih berada di negeri orang (Udu, 2010: 145).

Karena laki-laki dan perempuan merupakan dua sisi mata uang, yang masing-masig hadir untuk
melengkapi yang lainnya. Bukan dalam konteks yang satu hadir untuk membantu, melayani,
tetapi keduanya hadir untuk saling melengkapi dalam konteks menemukan eksistensi
keduannya di dunia dan akhirat. Bahwa relasi gender yang saling membutuhkan, saling
melengkapi dan saling menghargai itulah yang kira-kira akan menjadi manusia-manusia yang
mengisi dunia Wakatobi...

Relasi Gender dalam Tradisi Lisan Masyarakat Wakatobi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI, 2007: 577) jender adalah jenis kelamin.
Sedangkan menurut Salman (2005: 59) jender adalah suatu bangunan kontruksi sosial yang
mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dalam keluarga/masyarakat yang terbentuk
melalui proses sosialisasi. Sedangkan menurut Kementerian UPW (1994) jender adalah
hubungan dalam bentuk pembagian kerja serta alokasi peranan, kedudukan dan tanggung
jawab serta kewajiban, dan pola hubungan yang berubah dari waktu ke waktu dan berbeda
antarbudaya5 (Arif Budiman, Pembagian Kerja Seksual. Jakarta: PT. Gramedia, 1985).

Irwan Abdullah (2001: 23) mengatakan bahwa jender lebih menunjuk pada relasi dimana laki-
laki dan perempuan berinteraksi. Dengan cara ini, focus kajian tidak hanya tertuju pada
perempuan, tetapi juga pada laki-laki yang secara langsung berpengaruh di dalam
pembentukan realitas hidup perempuan maupun laki-laki.

... relasi gender dalam masyarakat Wakatobi memiliki dinamika yang sangat beragam. Misalnya
dalam cerita rakyat Wakatobi kita akan menemukan tokoh Wakinamboro dalam cerita rakyat
Wa Ode Iriwondu, yang memiliki peran dalam kepemilikan harta yang banyak, serta kekuasaan
yang besar dan memiliki akses ke mana-mana. Walaupun di dalam cerita rakyat Wa Ndiu-Ndiu
perempuan sama sekali tidak berdaya, menderita kemiskinan dalam keluarga, sehingga harus
dipukul oleh suaminya hingga ia lari ke laut.

Dalam cerita rakyat Wa ode Iriwondu misalnya, dapat dilihat relasi gender pada peran public
dan peran domestic tokoh-tokoh dala tradisi lisan Wakatobi. Peran publik dalam cerita Wa Ode-
Ode Iriwondu ditemukan pada tokoh laki-laki dan tokoh perempuan. Tokoh laki-laki yang
memiliki peran publik adalah La Ode Kansira Loe-Loe yang bekerja di luar rumah memperbaiki
sampannya di pantai. Sementara Wa Ode Iriwondu dengan ibunya membuat lapa-lapa6 atau
memasak di dalam rumah. Peran ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini.

5
Arif Budiman, Pembagian Kerja Seksual. Jakarta: PT. Gramedia, 1985), hlm. 56
6
Makanan rakyat Buton yang terbuat dari beras dibungkus dengan janur

28
“Sementara suaminya La Ode Kansira Loe-Loe, sesudah berangkat ke pantai, dia
memperbaiki sampan untuk tempat mereka naiki. Semuanya diperiksa, layarnya,
dayungnya, tongkatnya dan timba airnya. Semuanya diperiksa. Setelah semuanya
selesai diperiksa, La Ode pulang ke rumah. Ia memberitahu mertuanya bahwa sampan
telah selesai diperiksa dan sudah siap.

Setelah malam, papa7 Wa Ode Iriwondu telah membuat ketupat dengan lapa-lapa untuk
bekal orang yang akan berlayar besok. Dia membuat ketupat dari beras ketan hitam,
membuat lapa-lapa dari beras ketan merah. Dan dipotongkan ayam untuk lauk-
pauknya.”

Kutipan di atas menunjukkan bahwa La Ode Kansira Loe-Loe melakukan peran publik di luar
rumah. Pekerjaan membuat sampan dan memeriksa seluruh perlengkapannya menandakan
bahwa laki-laki memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk bekerja di luar rumah. Tugas
tersebut merupakan salah satu konstruksi sosial yang disampaikan lewat cerita Wa Ode
Iriwondu yang memaksa perempuan untuk tetap berada di dalam ruang domestik, sementara
laki-laki melakukan pekerjaan yang berada di luar rumah. Pekerjaan La Ode Kansira Loe-Loe
dalam memperbaiki perahu atau sampan di pantai hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Hal
ini disebabkan oleh adanya konstruksi sosial yang mengarahkan perempuan ke daerah
domestik yang hanya mampu memasak, mencuci, hamil, merawat anak dan melayani suami.
Sementara laki-laki di arahkan untuk memiliki keterampilan bekerja di luar rumah sebagai
pencari rezeki (Udu, dkk, 2006: 28).

Kalau dilihat dari nama yang diberikan kepada tokoh-tokoh di dalam cerita Wa Ode Iriwondu,
gelar bangsawan dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Sehubungan dengan hal tersebut Pim
Schoorl (2003: 211) mengatakan bahwa kedudukan perempuan dalam masyarakat Buton
dihormati, tetapi bersamaan dengan itu semua orang lebih suka dititiskan sebagai laki-laki.
Karena dalam kebudayaan Buton ada ketegangan antara adat yang memberi perempuan
kedudukan terhormat dan adat yang tidak memberi mereka kesempatan untuk menduduki
posisi-posisi tertentu jika dibandingkan dengan laki-laki.

Gelar ‘ode’ yang diberikan kepada Wa Ode Iriwondu merupakan bukti pemberian gelar
kehormatan terhadap perempuan, tetapi peran domestik yang digambarkan dalam kutipan di
atas, merupakan bukti bahwa ada ketegangan yang diberikan kepada perempuan, kedudukan
terhormat dan perlakuan untuk mendapatkan eksistensi dirinya yang selalu terkungkung oleh
adat dan budaya Buton yang selalu mengekang perempuan. Padahal kata ‘wa ode’ merupakan
gelar bangsawan Buton yang diberikan untuk orang-orang yang berjasa pada kesultanan Buton.
Dengan demikian, gelar bangsawan ‘ode’ diberikan kepada orang Buton sebagai suatu
penghargaan bagi mereka yang telah berjasa pada kesultanan Buton. Berdasarkan hal tersebut,
Wa Ode Iriwondu semestinya seorang perempuan yang memiliki peran publik yang sama
dengan laki-laki. Hanya saja di dalam cerita rakyat Wa Ode Iriwondu tidak dijelaskan mengapa

7
Panggilan seorang ibu dalam keluarga bangsawan, misalnya ibu yang namanya ada gelar ‘ode’

29
Wa Ode Iriwondu dianugerahi dengan gelar ‘ode’, demikian juga gelar ‘ode’ yang diberikan
pada La Ode Kansira Loe-Loe dan La Ode Randansitagi?

Gelar yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam cerita Wa Ode Iriwondu, yaitu Wa Ode Iriwondu,
La Ode Randansitagi dan La Ode Kansira Loe-Loe bila didasarkan kepada kepemilikan gelar
kebangsawanan di dalam realitas masyarakat Buton, maka mereka memiliki peran publik yang
sama. Tetapi, dalam cerita Wa Ode Iriwondu peran-peran publik sebagai ‘ode’ tidak sesuai
dengan peran ‘ode’ dalam masyarakat Buton yang harus berjasa kepada kesultanan. Sementara
di dalam cerita Wa Ode Iriwondu peran publik ‘ode’ tidak tampak di dalam alur cerita. Bahkan
sebaliknya, yang memiliki peran publik dilihat dari setting atau latar cerita adalah
Wakinamboro, perempuan yang berasal dari rakyat biasa, tetapi mampu bekerja di kebun yang
dapat dikategorikan sebagai ruang publik atau berada di luar rumah.

Hal ini terbukti bahwa yang tinggal di dalam kamali8 adalah Wakinamboro. Tokoh perempuan
Wakinamboro memiliki peran sebagai ratu. Ia memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga ia
mampu merebut suami orang, yaitu suami Wa Ode Iriwondu. Kemampuan merebut suami
orang menunjukkan bahwa Wakinamboro telah keluar dari ruang domestik perempuan yang
hanya dapat bersolek, hamil, melahirkan dan memelihara anak. Wakinamboro telah berubah
menjadi perempuan yang mampu melakukan apa saja sesuai dengan apa yang ia inginkan,
Wakinamboro menjadi perempuan yang bebas. Karena Wakinamboro memiliki kekuatan, baik
secara fisik maupu secara material.

... cerita Wa Kinamboro. Dalam cerita tersebut digambarkan bahwa seorang perempuan
mempunyai tujuh buah istana (Udu, dkk. 2005: 65).

Perjalanan La Ode Randansitagi seorang diri ke luar rumah, untuk mengikuti acara sabung
ayam, walaupun dilarang oleh ibunya merupakan konstruksi jender dalam cerita Wa Ode
Iriwondu bahwa laki-laki memiliki kebebasan untuk beraktivitas di luar rumah. Berbeda dengan
ibunya, Wa Ode Iriwondu walaupun hanya untuk pergi berkunjung ke saudara sepupunya di
kampung sebelah, ia harus ditemani oleh suaminya. Perjalanan mereka ke kampung sebelah
merupakan bagian yang mengarah kepada peran publik, pelarangan Wa Ode Iriwondu untuk
pergi ke rumah keluarganya merupakan salah satu ekspresi budaya yang membelenggu
perempuan di ruang domestik.

... terlihat dengan jelas konstruksi sosial yang mengarahkan perempuan ke ruang domestik dan
laki-laki ke ruang public.

... dalam sejarah masyarakat Wakatobi dan Buton, pernah juga dikenal perempuan Buton yang
paling kaya yaitu Wa Ode Wau. Perempuan yang memiliki sumbangan terbesar dalam
pembangunan benteng Wolio – Buton tersebut, dan kekayaannya sampai sekarang masih

8
Nama istana dalam kesultanan Buton

30
milyaran Gulden9. Wa Ode Wau merupakan tokoh legendaris Buton yang memiliki kekayaan
yang sangat banyak, dan di dalam masyarakat Buton sampai sekarang masih tetap menjadi
legenda.

seorang perempuan hartawan, yaitu Wa Ode Wau10. Ia menguasai perdagangan di Kepulauan


Tukang Besi yang kini menjadi wilayah Wakatobi. Dialah yang membantu membiayai
pembangunan benteng keraton Buton yang sampai kini masih berdiri kokoh. Semua warga
kesultanan Buton sampai hari ini masih berpikir untuk mencari jejak harta karun Wa Ode Wau

... dalam urusan bisnis, perempuan Wakatobi lebih memiliki ruang dibandingkan dengan laki-
laki. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa aktivitas pedagang di dua pasar di Wakatobi, maka
pelaku bisnis tersebut rata-rata adalah perempuan...

... karena menurut para pedagang perempuan, laki-laki memiliki beberapa kelemahan dalam
melakukan tugas belanja di Makassar dan Surabaya yaitu (1) boros, yaitu selalu memiliki dana-
dana lain yang kurang jelas; (2) lemah dalam menghadapi penjaga toko di Makassar dan
Surabaya yang banyak dilakukan oleh perempuan cantik.

...perempuan memiliki peran yang sangat strategis dalam kehidupan bisnis...

... calon sultan Buton sangat di tentukan oleh layak atau tidaknya istrinya dalam menduduki
posisi permaisuri...

Salah satu tugas permairusi dalam sistem kesultanan Buton adalah bertanggung jawab atas
kesejahteraan dan keselamatan kesultanan (Schoorl, 2003: 217). Lebih jauh dijelaskan bahwa
permaisuri dalam kesultanan Buton bertugas untuk: (1) menjadi kepala Sarana Bawina, (Kepala
Dewan Wanita Negara Wolio), (2) menjaga kesejahteraan dan kesehatan sultan11, dan (3)
mendidik perempuan-perempuan di lingkungan kesultanan. Sehingga citra perempuan yang
bekerja dalam teks kaбanti merupakan ekspresi tanggung jawab perempuan dalam menjaga
kesejahteraan keluarga yang ada dalam budaya masyarakat Buton.

Dalam feminis-Marxis menyoroti masalah penindasan perempuan terjadi melalui produk


politik, sosial dan struktur ekonomi yang berkaitan erat dengan sistem yang disebut kapitalisme
(Arivia, 2003: 111). Perempuan yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas lebih kurang
mendapatkan perlakukan yang lebih jelek dibandingkan dengan kelas proletar, sehingga
penguasaan aspek-aspek ekonomi menjadi suatu solusi untuk mengeluarkan perempuan dari
ketergantungan dan penindasan dari kaum laki-laki (Abdullah, 2001: 111-112).

9
Dalam salah satu postingan yang diberikan oleh Yusran Darmawan, ia mengatakan bahwa kekayaan Wa Ode Wau masih sangat besar dan saat
ini dihibahkan kepada salah satu bank yang ada di Eropa
10
Harta Wa Ode Wau sampai dengan hari ini masih menjadi legenda dalam masyarakat Buton. Orang-orang Buton masih percaya bahwa harta
karun Wa Ode Wau masih ada dalam beberapa tempat
11
salah satu pertimbangan dalam pemilihan sultan adalah kelayakan seorang istri untuk menjadi permaisuri. Hal ini disebabkan oleh
pandangan bahwa kesejahteraan dan kesehatan sultan dan seluruh warga masyarakat berada di tanggung jawab permaisuri. Salah satu syarat
permaisuri adalah harus berpendidikan dan menguasai ilmu kebatianan, amala

31
Kemiskinan yang diwariskan secara turun-temurun. Kemiskinan kultural, mereka tidak
mendapatkan pekerjaan disebabkan mereka tidak memiliki keterampilan yang dapat
menunjang masa depannya. Ini juga disebabkan oleh pendidikan mereka yang rata-rata hanya
tamat SD atau bahkan ada yang buta huruf (bdk. dengan Sasono, 1995: 40).

Perempuan sebagai bagian dari masyarakat desa Longa menjadi lebih menderita, karena ketika
suami mereka merantau, maka perempuan bukan saja menjaga dan merawat anak-anaknya,
tetapi melakukan pekerjaan untuk menutupi kebutuhan keluarga mereka.

Kondisi lahan pertanian yang tidak mendukung memaksa penduduk Wakatobi menjadi
masyarakat migran ke berbagai daerah di Indonesia termasuk sampai ke manca negara. Bahkan
ada yang menyebutkan bahwa pelaut-pelaut Buton telah sampai ke Philipina, Australia,
Kepulauan Pasifik, Madagaskar dan bahkan sampai ke Cina (Munaafi, 2001: 85; Zuhdi, 1994;
Djarudju, 1995). Aktifitas pelayaran orang Wakatobi di atas merupakan sarana mobilisasi
ekonomi yang mendukung berlangsungnya kehidupan di kepulauan itu

Saat suami mereka merantau rata-rata perempuan Wakatobi bertanggung jawab atas
keselamatan dan kesejahteraan keluarga (Rabani, 1997: 27). Banyak ibu-ibu yang bekerja
melebihi batas kerja laki-laki (bdk. Mosse, 2003: 37-38). Mereka membangun rumah,
membesarkan anak-anak, berkebun dan pergi melaut.

Di sinilah ruang relasi gender di dalam masyarakat Wakatobi, dimana laki-laki dan perempuan
saling mendukung dalam mempertahankan eksistensi keluarganya, perempuan membantu
suaminya dan laki-laki berjuang keras dalam mempertahankan keluarganya di luar rumah
(dirantau orang) sementara perempuan tetap mempertahankan keluarganya dengan cara
membanting tulang agar anak-anaknya tetap makan

Keterlibatan perempuan dalam dunia bisnis atau dunia kerja membuat perempuan Wakatobi
dewasa ini bukan saja mengakibatkan mereka terbebas tetapi juga menciptakan suatu kondisi
dimana laki-laki dapat merasakan bagaimana merawat anak dan menjaga toko yang
ditinggalkan perempuan. Kondisi ini membantu pemahaman dan kesadaran kedua belah pihak
dalam menghadapi hari-hari mereka dalam kehidupan keluarga. Laki-laki akan memahami
tanggung jawab sebagai perawat anak, dan perempuan akan memahami dunia luar. Mereka
akan saling memahami atas peranan mereka masing-masing. Lebih jauh perempuan akan
memiliki akses dalam pengambilan keputusan ekonomi keluarga.

... perempuan telah mendominasi aspek pertanian dan pemasaran di kabupaten Wakatobi.
Banyak perempuan yang terlibat dalam aktivitas bisnis, dan bahkan laki-laki (suami) mereka
tinggal di rumah untuk menjaga anak-anak.

Pustaka:
Salman, Ismah. 2005. Keluarga Sakinah dalam Aisyiah: Diskursus Jender di Organisasi
Perempuan Muhammadiyah. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP)
Muhammadiyah.

32
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Press

Udu, Sumiman, dkk. 2005. Cerita Rakyat Buton dalam Prespektif Gender. Kendari: Proyek
Penulisan Cerita Rakyat Buton Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

Udu, Sumiman. 2009. Perempuan dalam Kaбanti: Tinjauan Sosiofeminis; Yogyakarta: Penerbit
Diandra

Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP).

Munafi, La Ode Abdul. 2001. Langke dalam Kehidupan Orang Buton di Sulawesi Tenggara
(Kajian Strukturalisme tentang Pranata Migrasi. Bandung : Tesis Program Pascasarjana
Universitas Padjajaran

Djarudju, La Ode Sirajuddin. 1995. Buton dalam Kilasan Sejarah. Kendari: Fisip Unhalu.

Rabani, La Ode. 1997. Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Kepulauan
Tukang Besi Kabupaten Buton 1961-1987. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gajah
Mada.

Mosse, Julia Cleves. 2003. Gender dan Pembangunan Diterjemahkan oleh Hartian Silawati.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

SEJARAH DAN KEBUDAYAAN SUKU BUTON – SULAWESI TENGGARA


http://dunia-kesenian.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-dan-kebudayaan-suku-buton.html

Dalam hubungan kekerabatan masyarakat Suku Buton, seorang laki-laki bertugas mencari
nafkah, sedangkan wanita menyiapkan makan, melakukan pekerjaan rumah tangga, membuat
barang-barang dari tanah liat, menenun dan menyimpan uang yang telah dikumpulkan oleh
kaum laki-laki.

Sejak dulu, orang Buton juga sangat mementingkan pendidikan. Pendidikan yang baik terhadap
anak laki-laki dan perempuan membuat mereka memiliki kesusasteraan yang maju

Setelah menikah, pasangan akan tinggal di rumah keluarga wanita sampai sang suami anggup
mendirikan rumah sendiri. Tanggup jawab membesarkan anak ada di bahu ayah dan ibu.

... pentingnya pemilihan tanah (perempuan) dalam teks kabanti di atas, mengacu pada salah
satu pertimbangan bahwa kelayakan seorang calon sultan untuk menjadi sultan adalah dilihat
dari kelayakan seorang istri untuk menjadi permaisuri (Shcoorl, 2003: 227).

33
Masyarakat Buton dalam kehidupannya terikat kuat oleh tradisi lisan. Tradisi lisan tersebut
berupa tuturan yang memberi ciri khas terhadap individu atau kelompok penuturnya. Salah
satu bentuk tradisi lisan yang memberi ciri khas terhadap penuturnya adalah sastra lisan. Sastra
lisan masyarakat Buton yang ditemukan di antaranya cerita, kisah, nasihat, petuah, hukum
adat, ungkapan, peribahasa yang tumbuh dan berkembang secara lisan yang disampaikan dari
orang tua ke anak, dari nenek ke cucu, paman ke kemenakan, dan hubungan sosial di
lingkungannya. Salah satu sastra lisan masyarakat Buton adalah cerita Wandiudiu.

Wandiudiu diceritakan dengan bahasa daerah Buton yang penuh kiasan dan sarat dengan
sindiran yang mengatakan kebenaran berupa petuah atau nasihat. Dalam cerita Wandiudiu,
juga diungkap mengenai pendidikan baik langsung maupun tidak langsung yang berhubungan
dengan sikap, tingkah laku, pola pikir, dan moral masyarakat.

Secara ringkas cerita Wandiudiu menceritakan tentang seorang perempuan malang yang rela
menerima siksa dari lelaki pilihannya sendiri. Kasih sayang yang besar pada anak-anaknya
menyebabkan ia rela diperlakukan kasar oleh lelaki yang seharusnya mengasihinya. Wandiudiu
tidak tega melihat anaknya menjadi sasaran perlakuan kasar dari suaminya. Wandiudiu selalu
melindungi anak-anaknya dalam rengkuh dekap pelukannya dari pukulan dan tendangan yang
tidak lain adalah ayah mereka. Wandiudiu perempuan sabar bernasib tragis yang diikat takdir
dalam kemiskinan yang memiriskan hati, dalam derita berbungkus cinta yang perih dari lelaki
pembual.

Cerita Wandiudiu diambil dari cerita masyarakat tentang sosok ibu rumah tangga yang
meninggalkan rumah dan keluarganya kemudian berubah menjadi seekor ikan, yaitu yang
dikenal oleh masyarakat Buton dengan sebutan Putri Duyung (Wandiudiu).

... wacana otoritarian ayah pada anak yang dijabarkan dalam cerita Wandiudiu.

Wacana otoritarian ayah pada anak dalam penelitian ini adalah diskursus yang menjelaskan
motivasi atau perilaku orang tua terutama ayah yang menjalankan pola-pola kehidupan
keluarga patriarki yang ditandai oleh adanya dikotomi posisi yang dilihat dari relasi kekuasaan
atau mekanisme dominasi dan subordinasi. Seorang ayah yang otoriter adalah penguasa dalam
sebuah rumah tangga. Dengan status sebagai pemimpin, sang ayah berhak melakukan apa saja
yang dianggapnya sebagai cermin kekuasaan.

Wacana otoritarian ayah pada anak dalam penelitian ini adalah diskursus yang menjelaskan
motivasi atau perilaku orang tua terutama ayah yang menjalankan pola-pola kehidupan
keluarga patriarki yang ditandai oleh adanya dikotomi posisi yang dilihat dari relasi kekuasaan
atau mekanisme dominasi dan subordinasi. Seorang ayah yang otoriter adalah penguasa dalam
sebuah rumah tangga. Dengan status sebagai pemimpin, sang ayah berhak melakukan apa saja
yang dianggapnya sebagai cermin kekuasaan. Ayah yang otoriter berkuasasendiri, membuat

34
keputusan sepihak berdasarkan kekuasaaa yang dimilikinya, dan bertindak sewenang-wenang.
Kekuasaan membuat ayah mendikte, memerintah, mengkritik, dan menghakimi anak bahkan
melakukan kekerasan dengan dalih pendidikan dan pendisiplinan. Dalam perspektif sosiologi
menurut Kartasapoetra (1992:166), anak diartikan sebagai makhluk yang senantiasa
berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan
sebagai kelompok sosial yang mempunyai status sosial yang lebih rendah. Karena itu anak
adalah objek kekuasaan sang ayah yang harus tunduk dan dengan rela menerima apapun
sebagai keputusan sang ayah sebagai pemimpin. Dalam konteks budaya patriachi yang
hegemonik otoritarian sang ayah mendapatkan tempat dan didukung oleh nilai-nilai dan
pranata sosial.

Masyarakat Buton

Seperti kebanyakan masyarakat di Sulawesi Tenggara, masyarakat Buton juga merupakan


masyarakat pelaut atau lebih dikenal dengan orang Buton atau suku Buton. Orang-orang Buton
sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran
kecil yang hanya dapat menampung lima orang hingga perahu besar yang dapat memuat
barang sekitar 150 ton. Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah
kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah itu kini telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di
Sulawesi Tenggara, di antaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara,
Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten Muna. Namun, kini masyarakat
Muna lebih senang menyebut diri mereka sebagai orang Muna dibandingkan dengan orang
Buton.

Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Buton sejak zaman dahulu sudah mengenal
pertanian. Komoditas yang ditanam, antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas,
kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sektor
perdagangan sudah menggunakan alat tukar uang bernama kampua. Orang Buton terkenal pula
dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di
wilayah Kesultanan Buton, di antaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng
terbesar di dunia. Istana Malige merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh
setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun. (Anwar, 2003, 60—90).

Kekuasaan dan pengetahuan memiliki hubungan timbal balik, artinya kekuasaaan menemukan
bentuknya dalam pengetahuan dan terus menerus menghasilkan pengetahuan.

35

Anda mungkin juga menyukai