Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH PRIVILEGE SOSIAL DAN BUDAYA PATRIARKI TERHADAP PEREMPUAN

Trisnawati (2120601057)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tidar

Trisnawatiar04@gmail.com

Abstract

In general, privilege is a right owned by the bourgeoisie based on social interests and political
interests. However, the social process of privilege in the field is not in accordance with interests.
Social privilege is misused to oppress the community, especially women. Social privilege has a
relationship with patriarchal culture which will certainly make the position affected by these two
things more cornered. So it is necessary to deal with the influence of social privilege on women
so that in the future the same thing will not be repeated to emphasize that the existence of
privilege and patriarchal culture will not reduce the view in the eyes of the law.

Keywords : privilege, patriarchy, influence, society

Abstrak

Pada umumnya privilege merupakan hak yang dimiliki kalangan borjuis berdasarkan
kepentingan-kepentingan sosial dan kepentingan politik. Akan tetapi proses sosial privilege di
lapangan tidak sesuai dengan kepentingan. Privilege sosial disalahgunakan untuk melakukan
penindasan terhadap kalangan masyarakat khususnya pada perempuan. Adapun privilege
sosial memiliki kaitan dengan budaya patriaki yang tentu akan membuat posisi yang terkena
dampak dua hal tersebut semakin terpojok. Maka perlu adanya penanganan terhadap pengaruh
privilege sosial terhadap perempuan agar kedepannya tidak akan terulang hal yang sama untuk
menjadi penegas bahwa dengan adanya privilege dan budaya patriaki tidak akan mengurangi
pandangan dimata hukum.

Kata kunci : privilege, patriarki, pengaruh, masyarakat

Pendahuluan

Masyarakat merupakan suatu perkumpulan orang/individu berkembang sesuai dengan


zaman. Antara individu dan masyarakat memiliki peran dan faktor masing-masing dalam setiap
perkembangan. Pada hakikatnya manusia diciptakan dengan derajat yang sama. Tidak ada
faktor yangmenjadi penyebab lebih tingginya derajat manusia yang satu dengan yang lainnya.
Karena itu, manusia baik laki-laki maupun perempuan dapat saling menghargai dan diharapkan
tidak ada kesenjangan. Baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki kesempatan yang
sama dalam berbagai hal dan pembagian pekerjaan yang merata. Meskipun keduanya memiliki
banyak perbedaan, baik yang dapat dipertukarkan maupun yang tidak dapat dipertukarkan.
Karena, pada dasarnya mereka pasti hidup bersama dalam lingkup masyarakat, yang mana
mereka harus saling melengkapi serta menghargai satu sama lain.1 pada akhir-akhir ini privilege

1
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
menjadi pembahasan yang sedang naik daun di kalangan masyarakakat dan media sosial.
Privilege sendiri ialah hak istimewa sosial, dimiliki oleh seseorang dengan keuntungan suatu
akses atau keuntungan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Degan kata lain, secara sosiologis
dan fakta di lapangan, privilege sosial muncul dari hasil perjenjangan (stratifikasi) untuk
memperoleh hak yang sama namun diistimewakan karena adanya perbedaan yang mencolok
antara kasta lapisan masyarakatyang terbentuk akibat proses seleksi sosial. Privilege dalam
perkembanganya menjadi permasalahan baru di dalam kalangan masyarakat.

Hadirnya pembedaan kelas sosial ditambah dengan adanya kombinasi antara privilege
sosial dan budaya patriarki.Tentu seperti yang diketahui dari zaman ke zaman budaya patriarki
selalu tenar dalam eksistensinya. Hal ini cukup menimbulkan pengaruh terhadap pola pemikiran
bahwa adanya privilege dengan budaya patriarki akan membentuk suatu kekuatan sosial.
Kekuasaan patriarki menjadi penyebab utama terjadinya diskriminasi atau kekerasan terhadap
perempuan. Dalam budaya patriarki terdapat kepatuhan, pembedaan kekuasaan antara laki-laki
dan perempuan, serta dominasi. Budaya patriarki diperkuat oleh institusi politik dan sosial.
Lahirnya privilege akibat adanya kesepakatan masyarakat terhadap pandangan bahwa laki-laki
lebih unggul dan merasa bahwa perannya lebih besar daripada peran perempuan. Akan tetapi,
perlu diperhatikan kembali bahwa adanya kaitan budaya patriarki dengan privilege
menimbulkan sifat keegoisan dan faktor lain yang menyebabkan sesama perempuan dengan
perbedaan privilege juga berdampak pada kejahatan diskriminasi sesama perempuan

PEMBAHASAN

Pengaruh Privilege sosial

Menurut Kamus Merriam Webster, arti privilege adalah hak istimewa yang diberikan
sebagai suatu manfaat, keuntungan, atau bantuan khusus. Dapat disimpulkan privilege
merupakan keuntungan atau kesempatan khusus untuk melakukan sesuatu, yang tidak dimiliki
kebanyakan orang. Masih banyak perempuan yang menganggap bahwa mempunyai privilege
adalah ketika diperlakukan dengan baik dan setara namun untuk menarik perlakuan dan
perhatian khusus ketika situasi memberikan kekuasaan dan keuntungan untuk mendapatkan
sesuatu tanpa berpikir tentang pembenaran publik dan pembatasan yang ada pada perempuan
yang terdiri :

a. Privilege Gender
Pada umumnya mengacu pada hak berdasarkan jenis kelamin. Misalnya pada
pekerjaan dan karir, privilege ini justru memposisikan laki-laki dan dilayani.
Sehingga perempuan tentu akan dirugikan melalui penindasan yang
terinternalisasi.
b. Privilege Sosial Ekonomi
Konsep yang sangat kompleks karena strata sumber daya sehingga sedikit hak
istimewa ini diberikan. Kenyataanya privilege sosial ekonomi menjurus terhadap
“privilege orang dalam” sehingga membuat kondisi ini lebih menonjol.
c. Beauty Privilege
hak istimewa diperoleh orang-orang yang dianggap lebih cantik atau menarik,
berdasarkan standar kecantikan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat.

Ketiganya menjadi top tiga yang merugikan bagi kaum perempuan. Secara jelas privilege
merugikan bagi sebagian kalangan. Banyaknya masyarakat heterogen dan setiap perempuan
berbeda, keberadaan privilege menghilangkan simpati dan empati, selain itu ketika terpojok
oleh situasi, kebanyakan orang yang memiliki privilege akan melakukan klarifikasi dan
2013), hlm 9.
permohonan maaf kemudian selesai. Makna maaf pun bergeser hanya sebagai formalitas.
Terlebih dalam masyarakat penggunaan nilai norma, agama, dan budaya masih kental perlahan
terkikis akan budaya privilege sosial yang membentuk karakter yang egois, menanng sendiri,
cenderung merendahkan orang lain dan bersikap semena-mena.

Privilege sosial memunculkan dampak semakin tingginya angka diskriminasi. Dimana


diskiriminasi ialah sikap dan perilaku termasuk tindakan diskriminasi ini termasuk memahami,
memahami atau Kecualikan mereka yang punya faktor seperti ras, agama atau gender pada
hakikatnya (Unsriani, 2014). Yang menjadi perbuatan manifestasi terhadap diskriminasi
perempuan karena adanya privilege sosial yang dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan.
Pemerintah sendiri menerbitkan Undang Nomor 7 Tahun 1984 PengesahanKonvensi mengenai
Penghapusan SegalaBentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW)2 memiliki unsur yang
tergolong dalam perbuatan diskriminasi meliputi pandangan dan asumsi pemikiran negatif
kepada perempuan “tanpa penyandang privilege”. Komponen lainnya yaitu niat baik
pemberlakuan diskriminasi adanya privilege sosial mempunyai dampak penghapusan
pengakuan atas hak perempuan. Meski berbagai upaya adanya persamaan hak, tetap saja
tidak akan sejalan. Dilihat dari sudut pandang konflik, prespektif konflik budaya, ekonomi, dan
politik. Privilege sosial tentu akan membentuk suatu klasemen perkumpulan kawanan yang
mampu mendepak seseorang dengan hak nya. Ditegaskan kembali bahwa perempuan yang
dirugikan dalam pandangan privilege khususnya privilege sosial.

Pengaruh Budaya Patriarki

Patriarki memandang laki-laki sebagai pemegang kekuasaan peran utama dan dominan
dalam kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan properti. Di dalam keluarga,
seorang tokoh disebut “ayah” (ayah) mempunyai wewenang atas perempuan, anak-anak, dan
harta benda. Dominasi budaya patriarki sudah mendarah daging dalam masyarakat kontributor
utama penghapusan posisi dan peran wanita. Artinya ketidakadilan telah terjadi dan
perempuanlah yang paling menderita. Banyak orang menjadi korban ketidakadilan tersebut. 3
Model patriarki inilah yang kemudian membentuk psikologi masyarakat,pelaku ekonomi,
intelektual dan pengambil keputusan politik dalam pengobatan perempuan, sehingga
menjadikannya sebuah budaya. Budaya patriarki ini menjadikan perempuan sebagai kelompok
yang dirugikan berbagai bidang kehidupan, terutama dalam pengambilan kebijakan. Budaya
patriarki hanya mengedepankan superioritas laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Dalam
bahasa Banjar, tugas perempuan diartikan dengan istilah dapur (memasak), sumur (mencuci),
dan alas tidur (melahirkan/mengasuh anak). Masih banyak orang salah memahami kedudukan
perempuan, dipresepsikan bahwa perempuan lemah, memiliki batasan, HSP (highl sensitive
person) dan tidak mampu memimpin dan mengambil keputusan. Semodern apapun
perkembangan zaman, budaya patriarki telah mendarah daging di kehidupan masyarakat kota
maupun desa. Dapat dilihat kemiskinan, taraf pendidikan rendah, tingginya angka
pengangguran juga disebabkan oleh budaya patriarki.selain itu kejahatan dan kekerasan,
pelecehan, incest, dan eksploitasi seksual merupakan dampak lain dari konstruksi budaya
patriarki.

Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sampai perbedaan tersebut


muncul.diskriminasi dan ketidaksetaraan antar gender. Namun, dalam banyak kasus memang
ada perbedaan gender telah menimbulkan kesenjangan dan perempuan yang paling banyak
menjadi korban. Dalam masyarakat Jawa laki-laki benar diagungkan. Dimana segala sesuatu

2
Sarah apriliandra,Hesti Krisnani, Perilaku Diskriminatif pada Perempuan akibat kuatnya Budaya Patriarki di
Indonesia Ditinjau dari Preskpektif Konflik, ,Vol.3 JURNAL KOLABORASI RESOLUSI KONFLIK, hlm 5
3
Ibid, hlm 39.
yang dilakukan akan dimaklumi dalam perilaku “penghinaan” terhadap perempuan dianggap
fakta meski 90% perempuan mengerjakan pekerjaan rumah, mengejar pendidikan dan kair
demi masa depan merupakan haknya, nyatanya pengaruh privilege sosial dan budaya patriarki
tetap tidak dapat dihapuskan. Walaupun pada dasarnya kodrat perempuan disamping laki-laki,
stigma terhadap perempuan tidak dapat dikendalikan. Hal ini tidak benar jika ada yang
menganggap gerakan kesetaraan dan kesetaraan gender merupakan upaya untuk
menghancurkan tatanan sosial yang ada. Padahal, kesetaraan dan keadilan gender harus
menciptakan tatanan sosial yang adil dan manusiawi. Inilah sebabnya mengapa laki-laki dan
perempuan harus berjuang melawan sistem yang tidak adil.

Salah satu upaya untuk mencegah hal tersebut terjadi diskriminasi terhadap perempuan,
serta upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender yang bertujuan untuk memberdayakan
perempuan. Sebab pemberdayaan beerkesinambungan dengan kekuasaan. Tentu adanya
strategi ini akan membuat stereotip di masyarakat terbuka dan tidak berpegang pada privilege
dan patriarki. Strategi Pemberdayaan perempuan di Indonesia dapat dicapai melalui tiga
tahapan, yaitu:

1. Rekonstruksi model
Model adalah model atau cara memvisualisasikan suatu objek diterima secara
luas, sehingga menjadi dasar untuk eksplorasi subjek lebih dalam. Model menjadi
landasan berpikir manusia dengan cara memvisualisasikan, menganalisis, bahkan
menjustifikasi sesuatu yang pada akhirnya menjadi dasar penentuan tindakan. Dalam
konteks perempuan dan relasi kekuasaan, model pembangunan di masyarakat selalu
dipengaruhi oleh patriarki dan harus direvisi dengan membangun model baru yang
lebih sensitif gender. Misalnya saja dengan melihat hubungan perempuan dan agama
dari sudut pandang yang lebih positif, setidaknya dari sudut pandang kekhawatiran
terhadap kekerasan terhadap perempuan,memperjuangkan kehormatan dan
martabat perempuan.

2. Pengarusutamaan gender
Pengarusutamaan gender merupakan salah satu kebijakan pada era ini
pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Berdasarkan instruksi Ketua Nomor 9
Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG).Kebijakan ini merupakan strategi
pembangunan yang dilaksanakan untuk mencapai kesetaraan dan kesetaraan gender
melalui inklusi pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan
laki-laki dalam perencanaan kebijakan, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Tujuan
akhir dari pengarusutamaan gender adalah pengurangan atau mengurangi kesenjangan
gender. Misalnya saja kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan ditandai
dengan rendahnya peluang bagi perempuan di sektor-sektor strategis seperti
pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, pengakuan dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia Hak Asasi Manusia (HAM) bagi perempuan. Oleh karena itu,
perencanaan bersifat sensitif gender.

3. Penguatan Kapasitas Perempuan


Penguatan kapasitas perempuan memerlukan pemberdayaanperempuan, dari
perspektif pluralistik, harus dibuat untuk meresponsnya permasalahan yang berkaitan
dengan lemahnya kapasitas perempuan. Tujuannya adalah proses membantu
kelompok dan individu sosial yang kurang beruntung bersaing secara lebih efektif
dengan kepentingan lain dengan membantu mereka belajar dan menggunakan
keterampilan lobi, menggunakan media yang melibatkan tindakan politik, dengan
memahami cara kerja sistem (aturan main). 4 Dengan kata lain, pemberdayaan
masyarakat adalah upaya untuk mengajarkan individu atau kelompok bagaimana
bersaing dalam aturan Pilihan perempuan ada di hadapan mereka jika mereka
menginginkannya adalah seorang ibu rumah tangga, wanita karir, atau ingin berperan
ganda(multitask). Umumnya perempuan berasal dari daerah pedesaan atau keluarga
miskin menghadapi kerugian ekonomi, mereka pasrah pada nasib dan pilihan mereka
satu-satunya hal adalah menjadi ibu rumah tangga. Namun bagi para wanita...tergolong
terpelajar, mereka masih mempunyai banyak pilihan. Keistimewaan ini tidak selalu harus
mengenai sesuatu yang istimewa, unggul, sukses, unggul atau penting. Namun, dalam
kasus sebaliknya, sesuatu juga dapat dipahami sebagai suatu keistimewaan. Antara
lain, seharusnya setiap manusia mampu memilah dan menempatkan sesuatu pada
tempatnya tanpa merendahkan, tanpa melakukan diskriminasi dan tanpa melakukan
tindakan tercela lainnya hanya karena presepsi tentang privilege sosial maupun budaya
patriarki yang menjarah masyarakat.

Penutup

Faktanya, Allah SWT menganugerahkan keistimewaan istimewa kepada setiap orang.


Entah itu kelebihan atau kekurangannya. Kelemahan atau kelebihan yang sama-sama kita
miliki berpotensi membantu kita menjadi orang sukses. Itu semua tergantung pada bagaimana
kita mencoba mengelola hak istimewa ini dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, terdapat
persepsi yang bias mengenai hak istimewa dalam kehidupan sosial dibandingkan dengan
bentuk ketidakadilan. Pasalnya, beberapa pihak yang disebutkan diberi keistimewaan tersebut
ternyata mendapatkannya secara sepihak. Soal privilege, keterbatasan ketidakmampuan
bersaing, semua menghadapi keresahan yang sama antara rasa takut, inferior, bahkan rasa iri
karena privilege yang dimiliki oleh orang lain. Apapun perjalanan masyarakat khususnya
perempuan dalam kondisi apa pun dengan miskin/kaya, IQ tinggi/standar, masing-masing dari
cenderung fokus pada hak setiap masing-masing dan saling menghargai. Tentu sebagai
perempuan masa kini kesadaran terhadap dampak privilege sosial harus dapat memilah mana
yang tepat ataupun kurang tepat sehingga dapat meminimalisir kerugian yang akan menimpa.

Seperti disebutkan sebelumnya, patriarki dapat dianggap sebagai ciri budaya


masyarakat Indonesia. Memang konsep patriarki telah diajarkan dan diwariskan dari generasi
ke generasi tanpa disadari. Patriarki kemudian membentuk psikologi masyarakat dan menjadi
norma dan standar dalam menilai seseorang. Laki-laki dan perempuan dianggap memiliki sifat
dan status yang sama, sehingga tidak ada gender yang dianggap superior. Memahami
kesetaraan gender sebagai wujud upaya dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Kesetaraan gender menjamin persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.
Dengan adanya kesetaraan gender, masyarakat dapat secara obyektif mengakui perbedaan
antar jenis kelamin. Dengan adanya patriarki yang terus menerus merendahkan harkat dan
martabat perempuan maka perlu adanya sebuah pemahaman tentang kesetaraan gender.
Kesetaraan gender harus ditanamkan sejak dini, agar kedepannya budaya patriarki dapat
tergantikan dengan konsep kesetaraan gender. Untuk mencapai kemajuan dalam mendorong
kesetaraan gender, diperlukan peran dan partisipasi banyak pihak, terutama orang tua dan
lembaga pendidikan. Selain itu, kesetaraan gender juga dapat ditanamkan melalui pendidikan.
Seringkali para pendidik tidak menyadarinya dan mengelompokkan siswanya berdasarkan
gender. Misalnya, laki-laki dianggap lebih kuat sehingga menjadi ketua kelas, sedangkan
perempuan hanya menjadi wakil ketua kelas. Padahal, lembaga pendidikan seharusnya
mengajarkan bahwa setiap gender mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi
4
Saidah Sakwan, dkk., Politik Perempuan dalam Ormas Keagamaan (Jakarta: IRCOS, 2007), hlm. 44-52.
pemimpin, atau menjadi apapun di kehidupan bermasyarakat. . Apapun motifnya antara laki-laki
dan perempuan tidak terjadi perpecahan kesetaraan Sebab privilege sosial dan budaya patriarki
akan menjadi motivasi dan dorongan yang menguntungkan bergantung pada setiap laki-laki
maupun perempuan dalam memahami keduanya serta memberikan makna positif sehingga
posisi antara laki-laki ataupun perempuan setara saling menghargai dan sesuai dengan
porsinya. Peningkatan sumber daya manusia pada kemampuan memahami secara mendalam
mengenai privilege sosial dan budaya patriarki akan tercipta pribadi yang terbuka, mampu
menalar setiap peristiwa dan memiliki rasa mawas diri dengan menjaga martabat manusia
melalui hati nurani dan kepribadian yang bijaksana.

Daftar Pustaka

BIBLIOGRAPHY Apriliandra Sarah, K. H. (n.d.). Perilaku Diskriminatif Pada Perempuan Akibat Kuatnya
Budaya Patriarki di Indonsia Ditinjau Dari Prespektif Konflik. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik ,
5.

Dwi, A. (2020). Melihat Konsultasi Gender Dalam Proses Modernisasi di Yogyakarta. Jurnal Populika, 3.

Halizah Rahma, F. E. (2023). Budaya Patriarki dan Kesetaraan Gender. Jurnal UIN Antasari Banjarmasin,
23.

Laili, S. '. (2021). Preverention of Consecuences of Social Stratification between Husband and Wife
Through Gender Role Harmonization. Al-Maiyyah, 17.

Mansour, F. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siti, H. m. (2023). Beauty Privilege : Benarkah Sebagai Penentu Potensi Kepercayaan Diri Siswa? Journal
of Student Research, 17.

Anda mungkin juga menyukai