Paradigma Teoritis
Lain hal dengan di Indonesia, yang sudah mengakui secara tertulis (yuridis formal)
tentang profesi pekerjaan sosial, namun masih ragu atau ‘tanggung’ untuk memberikan
kewenangan penuh bagi profesi pekerjaan sosial berpraktek secara profesional, baik yang di
organisasi dikelola oleh pemerintah, apalagi yang dikelola oleh masyarakat atau swasta.
Sebagian besar orang (para akademisi dan praktisi pekerjaan sosial) telah berupaya membuat
praktek pekerjaan sosial merupakan sesuatu yang logis melalui pengembangan pendekatan-
pendekatan teoritis, dan melalui upaya-upaya tertentu tanpa henti untuk membentuk ciri khas
dunia akademik pekerjaan sosial. Namun demikian, tentunya akan menjadi sesuatu tidak
realistik jika pekerja sosial hanya bertumpu pada satu pendekatan saja untuk menjawab
menanggapi semua pertanyaan yang mereka butuhkan.
Dengan demikian pekerja sosial perlu memperoleh sejumlah perspektif teoritis dan
kemampuan untuk menggunakannya sesuai kebutuhan. Mengembangkan sebuah tipologi
teori-teori pekerjaan sosial secara komprehensif tentunya tidak dapat dicakup dalam tulisan
ini. Meski demikian secara realitas, dapat dikemukakan secara singkat trend teoritis yang
mempengaruhi pekerjaan sosial selama bertahun-tahun dan terus menerus saling berhadapan
untuk secara dominan menjelaskan kompleksitas tugas-tugas pekerjaan sosial dan
menjelaskan konsekuensinya setepat mungkin. Apa yang akan dikemukakan berikut ini,
memang sangat singkat, sebagai ulasan singkat tentang kerangka teoritis dan konsep-konsep
yang umumnya dipergunakan dalam pemikiran pekerjaan sosial.
Kita ketahui keadilan sosial mempunyai beberapa isu antara lan dan kita sebagai
seorang sosial diharapkan dapat mengatasi isu-isu yang ada mengenai keadilan sosial, antara
lain :
a. Rasisme
Rasime adalah sebuah ideologi yang menyelenggarakan dominasi sosial terhadap
satu kelompok ras oleh kelompok ras lain. Untuk melegitimasi posisi mereka, para
pendukung rasisme sering mengklaim bahwa ras-ras yang mereka beri cap rendah adalah
rendah secara genetic atau budaya.
Sejumlah kelompok rasial di Amerika Serikat terus berjuang melawan dampak
dari diskriminasi rasial dan ketidaksetaraan yang membahayakan. Meskipun berbagai
upaya telah dilakukan untuk memberantas diskriminasi dan kesejenjangan rasial,
keyakinan rasis tetap tentram. Diskriminasi juga berlanjut karena kecenderungan
masyarakat mempertahankan secara kuat dan melembaga struktur sosial yang
menguntungkan bagi kepentingan diri, kelompok dan lembaga. Keanggotaan kelompok
rasial dominan didalam masyarakat melakukan diskriminasi terhadap kelompok ras
lainnya termasuk pembatasan dalam hal kedudukan sosial dan mobilitas.
Menurut Tidwell, 1987 dalam DuBois dan Miley (2005 : 139) “deskriminasi
rasial memanifestasikan dirinya pada tiga tingkatan yang berbeda yaitu, secara
individual, organisasional dan struktural”. Diskriminasi secara individual ditunjukkan
dengan sikap dan perilaku yang merugikan. Contoh : Kepala bagian personalia suatu
lembaga melakukan diskriminasi secara rasial ketika menyaring surat-surat pemohonan
kerja berdasarkan ras tertentu, Contoh diskriminasi secara organisasional ditunjukkan
dengan sikap dan perilaku yang merugikan : Praktik personalia yang tidak mengikuti
pedoman tindakan afirmatif dapat mengakibatkan penempatan pegawai sesuai dengan
keinginan sendiri. Akhirnya, ditingkat struktural, praktik diskriminasi dalam salah satu
lembaga sosial membatasi kesempatan pada orang lain. Contoh : Menolak akses
kesempatan pendidikan membatasi pilihan pekerjaan yang pada gilirannya membatasi
pilihan dalam perumahan atau akses ke perawatan kesehatan. Praktik diskriminasi
menghasilkan distribusi kesempatan yang tidak merata dan bermanfaat.
Cita-cita kebebasan dan keadilan bagi semua warga negara membuat perjuangan
untuk mencapai kesetaraan sungguh ironis. Ketika orang mengharapkan “keadilan bagi
semua”, ketidakadilan justru lebih terasa. Sepanjang sejarahnya, masyarakat Amerika
Serikat menolak akses kelompok-kelompok rasial yang bersatus miniolitas dieskploitasi
secara politik dan ekonomi. Kaum minioritas ditempatkan pada posisi-posisi yang lebih
rendah yakni status yang diberikan kepada individu-individu didalam kelompok ketika
mereka lahir karena rasnya. Akhirnya banyak kelompok rasial dan etnis meneruskan
perjuangan mereka untuk mencapai keadilan dan kebebasan. Diskriminasi kelembagaan
yang tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan sosial, mempertahankan perbedaan status
antara ras mayoritas dan ras minioritas.
Pada tahun 1960-an, para aktivis sosial membawa persoalan penderitaan
kelompok rasial untuk mendapat perhatian nasional dan melakukan tekanan bagi
penerima undang-undang hak sipil. Hasilnya adalah kebijakan undang-undang yang
melarang pemisahan sekolah, undang-undang anti diskriminasi, kesempatan yang sama
dan tindakan-tindakan yang menegaskan anti diskriminasi ditempat kerja. Untuk
menghadapi diskriminasi kelembagaan, gerakan hak-hak sipil mendorong kesempatan
yang sama dalam pendidikan dan pekerjaan bagi kelompok-kelompok minioritas. Namun
undang-undang hak-hak sipil itu sendiri belum memperbaiki diskriminasi dalam hal
mengatasi hambatan-hambatan yang terdapat dalam kemajuan lapangan kerja dan
pendidikan karena penindasan dan ketidakberdayaan. Apa yang dibutukan selain
perubahan-perubahan struktural tidak dapat dijadikan undang-undang yaitu suatu
kesadaran sosial yang tidak akan membiarkan sikap-sikap prasangka buruk yang
mengarah kepada diskriminasi dan penindasan. ( Tidwell, 1987 dalam DuBois dan
Miley, 2005 : 140)
Sebagai seorang pekerjan sosial dalam mengatasi ketidakadilan rasisme,
seharusnya menginformasikan sejak dini tentang pemahaman secara perseptual (persepsi
kelompok/masyarakat terhadap perilaku rasisme) dan konseptual (sesuatu yang disusun
secara terperinci terencana dengan matang, punya dasar teori yang kuat, latar belakang
yang jelas, rencana yang baik dan tujuan yang jelas terhadap perilaku rasisme ini) agar
kelompok/masyarakat ini tau apa saja dampak dari diskriminasi rasial ini memiliki efek
yang berkepanjangan/terus-menerus terhadap kelompok/masyarakat.
b. Elitisme
Elitism atau kelasisme, mengacu kepada sikap prasangka buruk yang
menganggap orang di kelas social ekonomi yang lebih rendah adalah “pemalas” yang
kurang layak dan kurang kompeten dibandingkan dengan kelas atas. Sementara Amerika
Serikat negara yang ideal menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama, dalam
kenyataanya, masyarakat Amerika Serikat memandang sebagian warga negara lebih
merata daripada sebagian warga negara yang lain. Ironisnya, ide-ide kesetaraan dan amal
memperkuat elitism dan ketidaksetaraan.
Struktur kelas jelas tidak menyiratkan stratifikasi orang dimana orang-orang yang
baik adalah di atas mereka yang buruk. Namun kaum elit sering mencirikan orang-orang
di strata yang lebih rendah sebagai bodoh dan tidak mampu. Stratifikasi social hasil dari
ketidaksetaraan yang berhubungan dengan kekayaan, kekuasaan, dan prestise. Sebuah
hirarki social berkembang bahwa kelompok orang-orang dalam strata atau lapisan seperti
divisi. Stratifikasi ini membedakan “kaya” dari “miskin”. Kunci utama dalam masyarakat
adalah orang-orang yang tidak hanya memiliki sumber daya social dan ekonomi, tetapi
juga memiliki kendali atas kesempatan social dan ekonomi masyarakat. Di sisi lain,
orang miskin memiliki sedikit sumber daya dan akses peluang terbatas. Posisi rakyat
dalam hirarki ini kemudian menentukan potensi mereka untuk mengakses sumber daya
lebih baik atau mengalami hambatan dalam usaha untuk mendapatkan keuntungan
penawaran masyarakat.
Gerakan rakyat miskin, terutama kesejahteraan organisasi hak asasi, mengakui
hambatan sistemik dan berusaha untuk mengatasinya melalui reformasi social.
Memperluas kesempatan pendidikan dan ekonomi dan mengambil tindakan hukum yang
diperlukan di antara upaya reformasi. Kelompok reformasi mengakui ketimpangan social
sebagai masalah politik dan bukan masalah pribadi dan mengakui classism sebagai isu
tataran public, bukan masalah pribadi.
Sebagai seorang pekerja social, dalam mengatasi ketidakadilan social elitism
yaitu berusaha mengubah perspektif masyarakat dengan sosialisasi agar tidak ada
prasangka dan pemikiran bahwa kelas social ekonomi yang lebih rendah kurang
kompeten dibandingkan kelas atas. Kemudian meningkatkan kualitas pendidikan dan
ekonomi dengan menghubungkan dengan system sumber.
c. Seksisme
Seksisme adalah keyakinan bahwa satu jenis kelamin lebih unggul daripada yang
lain. Seksisme paling sering bermanifestasi sebagai prasangka terhadap sikap dan
tindakan diskriminatif terhadap perempuan, memberikan hak istimewa gender untuk
laki-laki. Orang-orang yang menunjukkan seksisme membuat asumsi tentang
kemampuan pria dan wanita hanya berdasarkan gender, tanpa mempertimbangkan
karakteristik individu. Seksisme melembagakan dominasi pada semua aspek masyarakat,
termasuk keluarga serta ekonomi, politik, kesejahteraan, dan struktur keagamaan (Day,
2003).
Seksisme memiliki akar dalam sosialisasi gender. Orangtua mengajar anak-anak
mereka dari masa kanak-kanak bagaimana berperilaku sebagai laki-laki atau perempuan.
Sosialisasi gender membentuk bagaimana kita memahami peran dan menetapkan
identitas diri kita. Sosialisasi ini juga mengatur “gender yang sesuai” pilihan untuk pria
dan wanita. Sikap dan praktik seksis mendukung laki-laki dan secara istimewa
menganggap sifa-sifat maskulin dan perilaku. Pandangan ini memberikan kekuasaan dan
otoritas pada laki-laki dan membuang perempuan dalam status kelas dua. Struktur sosial
seksis mendevaluasi perempuan. Diskriminatif mereka secara ekonomi, dan menghalangi
partisipasi penuh mereka dalam masyarakat. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin,
ditambah dengan diskriminasi yang sudah disebutkan berdasarkan ras atau kelas,
memiliki efek bahaya ganda pada minoritas dan perempuan miskin (McGoldrick, Garcia-
Preto, Hines, & Lee, 1989).
Sebagai seorang pekerja sosial, dalam menangani ketidakadilan sosial seksisme
seharusnya mengidentifikasi praktek itu sendiri. Setelah itu meyakinkan dua hal, bahwa
laki-laki dan perempuan itu berbeda dan memiliki tugas dan peran masing-masing.
Seorang pekerja sosial mampu menginternalisasikan perbedaan tugas dan peran tersebut
sehingga tidak membuat peran salah satunya lebih penting dari peran lainnya.
d. Heteroseksisme
Heteroseksisme adalah diskriminasi dan/atau kebencian terhadap seseorang yang
bergantung terhadap homoseksualitas. Ini adalah sistem sikap, prasangka, dan
diskriminasi yang mendukung seksualitas berbeda jenis dan hubungan
Heteroseksisme didefinisikan sebagai “kepercayaan bahwa satu mencintai (lelaki
dengan perempuan) secara alami lebih unggul dibandingkan bentuk mencintai yang lain,
dan dengan demikian mendapatkan hak atas dominasi kultural” (Sanders dan Kroll,
2000, h. 435). Meskipun homofobia dapat terlihat sebagai masalah yang lebih jelas,
sesungguhnya heteroseksismelah yang menyebabkan lebih banyak masalah bagi gay dan
lesbian
Heteroseksisme mengandalkan orientasi heteroseksual, sedangkan homofobia
adalah prasangka yang dirasakan sangat kuat terhadap orang-orang yang orientasi
seksual berbeda dari heteroseksual. Homoseksual mewakili sekitar 6 persen dari
populasi. Kecuali untuk orientasi heteroseksual, mereka sama dengan heteroseksoal.
Namun, karena orientasi seksual mereka, pria gay dan lesbian mengalami diskriminasi
institusional, pencemaran nama baik, perendahan, dan stigma
Identitas Heteroseksual menggabungkan seksualitas sebagai salah satu aspek dari
identitas pribadi, orang asering secara sempit mendefinisikan identitas homoseksual
sebagai tindakan seks yang menyimpang. Pembenaran diri dengan benar didasarkan pada
interpretasi ajaran agama dan perintah moral menjadi bahan bakar kemarahan publik
terhadap homoseksual. Akibatnya homoseksual sering mengalami despersonalisasi selain
stigma sosial.
Karena banyak orang menganggap homoseksual sebagai individu bermasalah
atau menyimpang, mereka tidak mungkin untuk mengidentifikasi homoseksual sebagai
kelompok sosial yang tertindas. Penindasan berkisar dari pengucilan sosial atas kekerasn
antigay dan kejahatan kebencian.
Pengalaman kerenggangan gay dan lesbian dari keluarga dan teman teman,
kehilangan pekerjaan, diskriminasi dalam perumahan, pengecualian dari organisisai
keagamaan, lrangan perkawinan sesama jenis, dan penghinaan publik. Dalam profesi
pekerjaan sosial, baik NASW dan CSWE memiliki gugusan tugas pada isu gay dan
lesbian.
Sebagai seorang pekerja sosial, dalam mengatasi ketidakadilan sosial
heteroseksisme, seharusnya dapat melakukan intervensi terhadap individu-individu yang
memiliki paham heteroseksisme, agar mereka tidak harus membenci komunitas atau
individu-individu yang memiliki paham seks yang berbeda dengan mereka.
e. Ageism
Robert Butler (1969) dalam DuBois dan Miley (2005) pertama menggunakan
frase “umur-isme” untuk menggambarkan sikap negatif umum di Amerika Serikat
terhadap penuaan. Meskipun ageism biasanya mengacu pada sikap prasangka tentang
orang dewasa yang lebih tua, usia prasangka bisa diarahkan pada setiap kelompok umur.
Misalnya anak-anak bergegas tumbuh terlalu cepat dan memuliakan gaya dewasa,
seksualitas dan perilaku, ahkirnya mengurangi nilai masa anak-anak dan kanak-kanak.
Ageism khususnya menyolok sebagai respons terhadap orang-orang yang lebih
tua. Diarahkan pada genarasi tua, hal ini mengurangi kemampuan mereka untuk
berkontribusi pada masyarakat luas, menumbuhkan streotip yang menyulitkan untuk
memandang orang dewasa lebih tua sebagai individu, mendorong orang dewas yang
lebih tua untuk merendahkan diri mereka sendiri, dan melanggengkan rasa takut
penuaan.
Ageism khususnya menyolok sebagai respons terhadap orang-orang yang lebih
tua. Diarahkan pada generasi tua, hal ini mengurangi kemampuan mereka untuk
berkontribusi pada masyarakat luas, menumbuhkan streotip yang menyulitkan untuk
memandang orang dewasa lebih tua sebagai individu, mendorong orang dewasa yang
lebih tua untuk merendahkan diri mereka sendiri, dan melanggarkan rasa takut penuaan
kelompok usia lainnya. Sederhana, sebagai orang-orang bertambah tua, mereka lebih
mungkin berbeda
Kesalahpahaman lain menyatakan bahwa “kepikunan” adalah bagian dari
penuaan. Kepercayaan ini sebagai penurunan kecerdasan sosial/umum, memori, dan
pemecahan masalah dengan penuaan. Meskipun beberapa orang tua yang megalami
kerusakan mental, faktor yang sangat penting tampaknya status kesehatan bukan usia
(Berk, 2004 dalam DuBois dan Miley 2005). Jika pekerja sosial percaya kesalahpahaman
bahwa “orang tua yang pikun”, mereka tidak percaya bahwa orang dewasa yang lebih tua
usaha mreka layak. Label “pikun” topeng kemampuan kita untuk mengidentifikasi
potensi orang dewasa yang lebih tua.
Perubahan menjadi tua lebih mungkin berkaitan dengan pengalaman masalalu
dan sifat-sifat individu daripada kronologis usia. Orang-orang dpat dan melakukan
perubahan sepanjang masa hidupnya mereka. Umur yang berhubungan dengan masalah
sebuah tantangan bagi semua masyarakat dan memunculkan pertanyaan penting tentang
keadilan sosial. Maggiekhun, pendiri Graey Panthers, sebuah organisasi aktifis yang
mempromosikan kepentingan dan hak-hak oarng tua, merekomendasikan pendidikan
untuk kepekaan orang Amerika terhadap konsekuensi sosial dari Aggeime, dan
mendesak reformasi politik da ekonomi dan pemeriksaan sistem perawatan kesehatan AS
(Khun, 1987 dalam DUBOis dan Miley 2005).
Sebagai seorang pekerja sosial harus dapat memberikan pelayan dan
pendampingan serta memnuntun seorang lanjut usia untuk dapat mendapatkan haknya
dan melaksanakan kewajibannya, seorang pekerja sosial harus melakukan perbuatan
khusus kepada seorang lanjut usia, karena seorang lanjut usia memiliki banyak
keterbatasan dan kekurangan dikarenaken usia yang semakin bertambah,
f. Handicapisme
Menurut Organisasi Kesehan Indonesia (WHO) Handicap (cacat) adalah
kerugian sosial yang diakibatkan adanya impairment atau disabilitas. Suatu handicap
“mencerminkan konsekuensi sosial dari disabilitas” (Scheer dan Groc, 1988 dalam
DuBois dan Miley, 2005).
Handicapisme adalah prasangka dan diskriminasi terhadap orang-orang yang
cacat mental atau fisik. Orang sering menganggap mereka yang cacat sebagai “berbeda”
dan tidak dapat melakukan kegiatan apapun sebaik orang yang “mampu” melakukan
kegiatan apapu. Mereka memperlakukan para Penyandang Disabilitas selah-olah mereka
cacat dalam segala hal. Bagi orang-orang cacat, handicapism mengarah ke isolasi sosial
dan marjinalitas sosial. Orang-orang Penyandang Disabilitas merupakan kelompok yang
kehilangan haknya terbesar di Amerika Serikat yaitu mencapaii 19,3 % penduduk
Amerika atau sekitar 50 juta dengan tingkat kecatatan (Biro Sensus AS, 2003 dalam
DuBois dan Miley, 2005). Sejumlah organisasi mewakili kepentingan tertentu dari
kelompok pemilih dengan kondisi serupa, seperti National Association ofthe Deaf,
American Diabetes Association, cacat Veteran Amerika dan Asosiasi Epilepsi.
Hanya melalui tindakan-tindakan politik kolektif bahwa kebijakan public akan
melindungi hak sipil para Penyandang Disabilitas dan menciptakan pemampuan
lingkungan dalam pendidikan, pekerjaan dan latar sosial. Akhirnya muncullah American
with Disabilities Act tahun 1990 membuktikan perjuangan kebijakan untuk
pertimbangan kesamaan dalam semua aspek kehidupan. Ini poin cara untuk pemahaman
bahwa hidup dengan kecatatan dapat sama-sama berharga sebagaimana hidup tanpa
kecatatan dan mereka yang cacat berhak untuk sarana yang memungkinkan mereka
berpartisipasi dalam masyarakat “(Asch and Mudrick, 1995 dalam DuBois dan Miley,
2005).
Sebagai seorang pekerjan sosial dalam mengatasi ketidakadilan handicapisme
seharusnya, pekerja sosial melakukan intervensi terhadap individu, kelompok dan
masyarakat tentang perilaku handicapisme ini, agar individu, kelompok dan masyarakat
tidak berprasangka buruk dan tidak meremehkan/mengesampingkan orang-orang yang
memiliki kecacatan/disabilitas. Karena sikap dari prasangka tersebut akan menjurus
kepada tindakan diskriminastif sosial yang akan sangat berdampak buruk sekali bagi
orang Penyandang Disabilitas.
g. Kolektifisme
Meskipun masing-masing isme mencerminkan sikap dan perilaku mengenai
kelompok-kelompok tertentu, kolektifisme menyatukan mereka. Populasi kelompok
yang didiskriminasi adalah mereka yang dianggap kurang produktif, dan karenanya
mengganggu tatanan ekonomi, budaya mereka dianggap menyimpang, dan dianggap
bahaya terhadap tatanan budaya, mereka diberi label menyimpang secara psikologis dan
social, dan karenanya merupakan ancaman terhadap keamanan pribadi. Isme ini jelas
mendramatisir ketidakadilan social.
Sebagai seorang pekerja social, dalam mengatasi ketidakadilan social
kolektifisme yaitu, pekerja social dapat menghubungkan masyarakat dengan lembaga
pemberi pelayanan masyarakat seperti Dinas social, Pemberdayaan Masyarakat, dan
Pemerintah agar dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan
bantuan atau layanan masyarakat. Mengkaitkan orang dengan system sumber, membantu
dalam memecahkan permasalah, memberikan saran dan solusi atas permasalahan yang
dihadapi.
Pekerjaan sosial adalah profesi yang mendasarkan dirinya pada nilai. Nilai-nilai yang
diimplementasikan dalam praktik pekerjaan sosial secara tidak langsung sebenarnya telah
menghormati hak-hak manusia sebagai fokus dari profesi pekerjaan sosial ini. Hak asasi
manusia tidak hanya menjadi dominasi profesi hukum atau politik saja (Apsari, 2015), tetapi
pekerjaan sosial pun menggunakan HAM terutama jika dilihat dari 3 generasi HAM
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ife (2001) dalam Apsari (2015: 6-7) berikut ini:
Tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa dalam praktiknya profesi pekerjaan sosial selalu
mempertimbangkan hak asasi manusia, terutama bagi kelompok populasi yang rentan
mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan HAM. Landasan konsep tiga generasi hak
tersebut digunakan oleh seorang pekerja sosial profesional untuk menentukan peran dan
fungsinya sebagai fasilitator pencapaian hak seseorang. Namun demikian, seringkali, “bahasa
hak” adalah terkesan individualistis, sangat egois. Ungkapan “Saya menuntut hak saya”,
“Kami menuntut hak kami”, seolah tanpa mempertimbangkan keberadaan hak orang lain.
Jika HAM bersifat universal, maka seorang individu tidak hanya berhak untuk mendapatkan
hak-haknya, tetapi juga harus menghormati hak orang lain dan memungkinkan orang lain
untuk mendapatkan hak-haknya tersebut. Menerima kerangka hak, berarti tidak dapat
diartikan hanya sikap egois pada bagian diri individu saja, menuntut hanya untuk diri sendiri
sambil tidak menghargai hak orang lain. Ife (2008) menyebutkan adanya kritik terhadap
HAM salah satunya adalah keegois-an, yang menyebutkan bahwa individu menyebutkan
dirinya berhak untuk sesuatu, padahal sesuatu tersebut hanya menunjukkan ‘keinginan’
dirinya sendiri saja, seperti misalnya hak untuk jalan-jalan dengan fasilitas mewah, hak untuk
mendengarkan radio dengan suara keras, dll yang sebenarnya tidak mempengaruhi jati diri
orang tersebut sebagai manusia. Ini menunjukkan ada keterkaitan kewajiban setiap anggota
masyarakat untuk menghormati dan mendukung hak-hak orang lain.
Dalam hal ini, HAM tidak bersifat individualistik, tetapi juga membentuk dasar untuk
kolektivisme: 1. Masyarakat diselenggarakan bersama oleh saling menghormati HAM semua
warganya dan didasarkan pada gagasan saling membutuhkan, 2. Saling mendukung dan
kesejahteraan kolektif. Dengan demikian, berbicara mengenai konsep HAM, artinya tidak
hanya berbicara mengenai “apa yang diperlukan untuk membuat seseorang menjadi manusia
sepenuhnya”, tapi mereka juga “perlu untuk menjadikan manusia sebagai satu masyarakat
yang sepenuhnya manusia”. Kita tidak hanya memiliki HAM untuk kepentingan diri kita
sendiri, tetapi untuk kepentingan masyarakat di mana kita hidup dan untuk ke-manusia-an
secara keseluruhan. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengupas apa itu praktik pekerjaan sosial
berbasis hak dan bagaimana praktik pekerjaan sosial berbasis hak dapat diimplementasikan
oleh para pekerja sosial profesional. Pembahasan Dalam praktiknya, profesi pekerjaan sosial
sangat berhubungan dengan HAM, Ada beberapa pendekatan yang digunakan yang tidak
mengkaitkan praktik pekerjaan dengan HAM.
Terlepas dari pendekatan retributif atau restoratif, definis HAM dalam praktik
pekerjaan sosial dapat dicirikan ke dalam 5 karakteristik sebagaimana yang disebutkan oleh
Ife (2001) dalam Apsari (2015: 71) yaitu:
1. Realisasi hak yang disebut sebagai hak asasi adalah penting bagi seseorang atau
sekelompok orang sehingga mereka mampu mencapai ke-manusia-an mereka
2. Hak yang dinyatakan dapat berlaku bagi semua manusia atau berlaku bagi kelompok
orang-orang kurang beruntung atau terpinggirkan, yang mana pemenuhan hak tersebut
menjadi penting demi kemanusia-an mereka
3. Ada konsensus yang berlaku secara universal
4. Hak tersebut mampu direalisasikan secara efektif
5. Hak yang diklaim tidak bertentangan dengan hak-hak asasi lainnya.
Kriteria tersebut dapat meredam ke-egois-an individu disaat mengklaim “hak” yang
ingin terpenuhinya tersebut dan menjadi pembeda antara hak dan kebutuhan. Seorang
pekerja sosial yang melakukan praktik dengan pendekatan Hak harus memahami kriteria
tersebut, sehingga tidak terjebak dalam kebingungan membedakan antara hak dan
kebutuhan. Dalam konteks praktik berbasis HAM, kebutuhan pada dasarnya bersifat sangat
kompleks dan kontroversial. Para penganut positivisme mengangap kebutuhan adalah
sebagai hak mereka sendiri yang harus mereka dapatkan sebagai sebuah fenomena yang
dapat diidentifikasi dan diukur (Ife, 2002). Kebutuhan memiliki sifat-sifat yang berbeda,
sarat nilai. Nilai-nilai yang berbeda di tiap-tiap tempat inilah yang membuat pandangan yang
berbeda-beda pula mengenai ‘kebutuhan’ dan hal-hal yang ‘dibutuhkan’ dalam situasi atau
kondisi tertentu. Kebutuhan harus dipahami sebagai pernyataan nilai-nilai, ideologi, dan
bukan hanya sekedar laporan ‘fakta'. Dalam pendekatan HAM, hal yang signifikan adalah
hak untuk mendefinisikan sendiri kebutuhannya. Jadi individu itu sendiriah yang mengetahui
mengenai kebutuhannya, bukan pekerja sosial maupun profesi professional lainnya. Dalam
prosesnya, seorang pekerja sosial harus dapat membedakan antara pendekatan berbasis hak
dengan pendekatan berbasis kebutuhan, karena ada beberapa aspek mendasar yang menjadi
pembeda kedua pendekatan tersebut. Pembeda tersebut memunculkan peran dan fungsi yang
bertolak belakang bagi seorang pekerja sosial dalam melakukan praktik pekerjaan sosial.
Zaidalkilani (2010) dalam Apsari (2015:76) menyimpulkan perbedaan mendasar antara
pendekatan berbasis hak dengan pendekatan berbasis kebutuhan, sebagai berikut:
Tabel 2 Perbedaan Antara Pendekatan Berbasis Hak dan Pendekatan Berbasis Kebutuhan
Dengan berdasarkan pada perbedaan antara kedua pendekatan tersebut, terlihat bahwa
di masa kini, pekerja sosial yang menggunakan pendekatan berbasis hak bersifat
memberdayakan klien dan mendampingi klien untuk mendapatkan layanan langsung maupun
mengubah kebijakan yang membuat mereka tidak mendapatkan keadilan sosial. Ketika kita
membuat pernyataan kebutuhan, artinya kita sedang mengatakan bahwa ada sesuatu yang
diperlukan agar sesuatu yang lain dapat terjadi. Sebuah tujuan sebenarnya adalah sarana
untuk pecapaian tujuan lain yang diinginkan. Dengan demikian, terdapat dua hal yang perlu
diperhatikan tentang kebutuhan. Pertama, adalah bahwa beberapa tujuan yang diinginkan
dapat dianggap lebih penting daripada yang lain dan yang lainnya mungkin dipertanyakan
mengenai apakah hal-hal yang kita butuhkan itu apa benar-benar ‘dibutuhkan' atau
sebenarnya kebutuhan kita tersebut hanya cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Ketika pekerja sosial membuat pernyataan mengenai kebutuhan, keadaan yang terjadi pada
akhirnya adalah bahwa hakhak kemudian di klaim. Dan ini merupakan esesnsi dari hubungan
antara kebutuhan dan hak-hak dalam praktik pekerjaan sosial. Contohnya saja, saat kita
mengatakan bahwa para masyarakat membutuhkan tempat penitipan anak, maka kita
mendasarkan pernyataan pada asumsi mengenai hak-hak orang tua untuk dapat berpartisipasi
di tempat kerja atau memiliki waktu lain dan anaknya akan mendapatkan pengasuhan yang
cukup dari tempat penitipan anak.
Oleh karena itu, kebutuhan, dalam praktik pekerjaan sosial itu juga merupakan
pernyataan-pernyataan mengenai hak. Masalahnya adalah hak-hak yang terkait hampir selalu
implisit dan tidak tertulis. Kebutuhan dan hak merupakan hal yang sangat mirip dan
terkadang orang-orang mengatakan hal-hal yang dibutuhkannya adalah sebagai haknya. Titik
penting dalam hal ini adalah bahwa antara hak dan kebutuhan tidak mudah untuk ditetapkan
prioritasnya terhadap klaim hak dan bahwa hal ini tidak dapat dilakukan tanpa pemeriksaan
konteks di mana suatu hak diklaim Hasil lain dari perspektif hak dan kebutuhan adalah dalam
masyarakat multikultural, ada kemungkinan berbagai cara di mana HAM dapat dipenuhi dan
dijamin, untuk komunitas budaya yang berbeda. Ada nilai yang jelas dalam keragaman, dan
yang penting adalah bahwa praktik HAM seharusnya tidak berusaha untuk memaksakan
sebuah sistem yang seragam pada seluruh masyarakat yang berbeda. Berbicara mengenai kata
‘kebutuhan’, berasal dari ide yang dibutuhkan, disertai dengan ide sesuatu yang harus
dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Suatu hak dilihat sebagai akhir dan
kebutuhan manusia yang dipandang sebagai suatu hal yang harus dipenuhi agar pencapaian
HAM dapat terealisasi. Perbedaan antara kebutuhan sebagai sarana dan dan kebutuhan
sebagai suatu tujuan dalam hal ini bagaimanapun tidak jelas. Salah satu contohnya adalah
ketika individu memerlukan baju yang dipandang dapat menopang penampilannya untuk
terlihat pintar, tapi terlihat pintar itu bukanlah sebuah akhir (atau hak), itu hanya cara lain
agar orang lain akan percaya dan dapat menghormati individu tersebut dalam pekerjaannya.
Perbedaan antara hak dan kebutuhan demikian penting, dan meskipun dalam beberapa hal
kita menghadapi kesulitan secara konseptual, termasuk permasalahan dalam menentukan
antara sarana dan tujuan.
Namun, hal ini adalah sebuah bagian penting dari praktik pekerjaan sosial berbasis
HAM. Dengan menggunakan kriteria hak asasi manusia yang dapat diklaim oleh individu,
seorang pekerja sosial dapat terus berlatih untuk menggunakan bahasa hak daripada
kebutuhan disaat bekerja dengan klien. Dengan menggunakan bahasa dan istilah hak, maka
klien tidak lagi menjadi sasaran pasif yang hanya mengikuti apa yang disarankan oleh
seorang pekerja sosial, tetapi mendorong klien untuk secara aktif mengidentifikasi dan
menentukan arah hubungan kerja klien-pekerja sosial untuk mencapai keadilan sosial.
Simpulan Jika HAM bersifat universal, maka seorang individu tidak hanya berhak untuk
mendapatkan hak-haknya, tetapi juga harus menghormati hak orang lain dan memungkinkan
orang lain untuk mendapatkan hak-haknya tersebut. Menerima kerangka hak berarti tidak
dapat diartikan hanya sikap egois pada bagian diri individu saja, menuntut hanya untuk diri
sendiri sambil tidak menghargai hak orang lain. Dengan demikian, berbicara mengenai HAM,
artinya tidak hanya berbicara mengenai “apa yang diperlukan untuk membuat seseorang
menjadi manusia sepenuhnya”, tapi mereka juga “perlu untuk menjadikan manusia sebagai
satu masyarakat yang sepenuhnya manusia”. Kita tidak hanya memiliki HAM untuk
kepentingan diri kita sendiri, tetapi untuk kepentingan masyarakat di mana kita hidup dan
untuk kemanusiaan secara keseluruhan. Praktisi pekerjaan sosial yang menggunakan
pendekatan berbasis hak, menggunakan deklarasi dan konvensi hak yang merupakan
konsensus bersama sebagai dasar pada saat bekerja bersama klien. Berdasarkan hal tersebut,
maka praktik pekerjaan sosial yang menggunakan pendekatan berbasis hak, secara otomatis
telah mengakomodir hak-hak asasi manusia dan dapat meminimalkan pelanggaran hak asasi
manusia serta mendorong tercapainya keadilan sosial sehingga setiap individu memiliki
kesempatan untuk berfungsi secara sosial dan menjadi sejahtera.
Ife (2008) berpandangan bahwa gagasan Hak Asasi Manusia adalah salah satu yang
paling kuat dalam wacana sosial dan politik kontemporer. Hal ini mudah didukung oleh
orang-orang dari berbagai latar belakang budaya dan ideologi yang berbeda dan digunakan
retoris dalam mendukung sejumlah besar penyebab yang berbeda dan kadang-kadang
bertentangan. Karena daya tarik yang kuat dan kekuatan retoris , itu sering digunakan secara
longgar dan dapat memiliki arti yang berbeda dalam konteks yang berbeda, meskipun mereka
yang menggunakan ide sehingga mudah jarang berhenti untuk merenungkan berbagai arti dan
kontradiksi. Kombinasu dari daya tarik yang kuat dan kontradiksi yang membuat gagasan hak
asasi manusia layak dipertimbangkan lebih dekat terutama bagi pekerja sosial dan profesi
pelayanan manusia lainnya.
Perspektif hak asasi manusia sangat penting bagi pekerja sosial. Membingkai
pekerjaan sosial sebagai profesi hak asasi manusia memiliki konsekuensi tertentu untuk cara
dimana pekerja sosial dikonseptualisasikan dan dipraktekkan. Hak asasi manusia,
bagaimanapun, juga dilombakan dan bermasalah. Untuk mengembangkan dasar hak asasi
manusia untuk pekerjaan sosial mensyaratkan bahwa gagasan hak asasi manusia, dan masalah
serta kritik terkait dengan itu, diperiksa dengan teliti.
HAM Universal
Hukum internasional dan perjanjian yang mengakui hak-hak yang sama dan tidak
dapat dicabut dari semua orang mencerminkan konsensus internasional tentang perlindungan
HAM. Contoh kebijakan HAM internasional termasuk beberapa perjanjian PBB yang
menyatakan keutamaan HAM dan sanksi terhadap pelanggaran HAM (United Nations, 1994
dalam Dubois dan Miley, 2005) yang mencakup:
HAM adalah hak-hak dasar yang diperlukan untuk mengembangkan kepribadian dan
potensi manusia. Hak-hak dasar manusia adalah hak-hak untuk menentukan nasib sendiri dan
untuk keamanan orang tanpa membedakan kelahiran, jenis kelamin, orientasi seksual, ras,
warna kulit, bahasa, asal-usul nasional atau sosial, properti, intelek, ideologi atau kondisi-
kondisi politik.
Para pekerja sosial seringkali menangani konflik antara hak-hak individu dengan
peraturan dan tanggungjawab pemerintah (Schroeder, 1987 dalam DuBois & Miley,
2005 : 138).