Anda di halaman 1dari 321

BAB I

NORMALITAS DAN ABNORMALITAS

Kepribadian adalah target praktik terapi psikososial. Karena itu, konsep tentang
kepribadian dan komponen-komponen signifikannya perlu dipahami secara baik yang
pada gilirannya konsep tentang normal atau abnormalnya suatu kepribadian dan
keberfungsian klien menjadi fokus dari praktik terapi psikososial (Tungga.Y.E.M,
2008). Seperti dikatakan dalam Andi Mappiere A.T (2006) bahwa “ seorang individu
dapat menjadi normal pada satu aspek pribadi dan dapat menjadi tidak normal pada
aspek pribadi lain.” Kenyataan pada pengalaman-pengalaman sehari-haripun
memperlihatkan adanya perilaku-perilaku individual yang secara kontekstual normal
atau tidak normal. Pembedaan diantara kedua konsep yaitu normal dan tidak
normal/abnormal adalah hal yang sangat esensial dalam pemahaman terhadap situasi
klien sehingga tidak salah dalam menentukan suatu intervesi.
Turner Francis J (1978) dalam terjemahan dan interpretasi Tungga, Y.E.M (2008),
bahwa seorang penolong harus mengembangkan serangkaian konsep-konsep kerja
yang berkaitan dengan keberfungsian normal dan sehat dan konsep-konsep sebaliknya
yaitu keberfungsian abnormal / tidak sehat. Walapun konsep-konsep normal dan
patologis telah dikritisi sebagai penghakiman terhadap model berbasis medis, tidak ada
cara untuk menghindari beberapa bentuk rangkaian pemahaman terhadap
keberfungsian normal dan abnormal. Bahkan ketika istilah normal dan abnormal
ditolak, beberapa istilah yang terkait harus dikembangkan untuk menggantikan kedua
istilah itu. Terlepas dari sudut pandang konseptual orang, terdapat permintaan-
permintaan praktik terapeutik yang bertanggung jawab. Kemudian, bahwa tiap klien
yang diases pandangan tentang diri dan potensinya memiliki kemampuan untuk
berkontribusi dan berfungsi secara memuaskan. Juga berkontribusi dalam mengakses

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
dan menggunakan sumber-sumbernya untuk mencegah terjadinya kedisfungsian. Itulah
mengapa terapis harus secara konstan mempertanyakan apa sebenarnya keadaan klien
dan situasinya, apakah pertumbuhannya menguat dan keberfungsiannya normal atau
abnormal. Jika terapis psikososial tidak memiliki konsep-konsep kerja yang
berhubungan dengan dikotomi ini, maka ia akan kekurangan pedoman konseptual yang
memberI petunjuk kepadanya tentang klien mana yang perlu dicemaskan, merasa puas
terhadap orang lain, merasakan kapan klien mengalami kemajuan atau kemunduran
dalam keberfungsian psikososialnya. Dapat dipahami bahwa telah ada resistensi kuat
dalam profesi pertolongan untuk menggunakan kategori-kategori atau klasifikasi-
klasifikasi konsep
Pada bab ini penulis mereview konsep normalitas dan abnormalitas menurut kamus
istilah konseling dan terapi dalam Mappiare A.T (2006); Nevid Jeffrey S, Rathus
Spencer A & Greene Beverly (2005); MIF Baihaqi, Sunardi, Riksma N.Ridalti Akhlan
dan Euis Heryati (2005); Kartini Kartono (2009); Turner Francis J (1978); dan Davison
Gerald C, Neale John.M dan Kring Ann M (2006).
A. Normalitas
Nevid Jeffrey S, Rathus Spencer A dan Greene Beverly (2005), dalam
pembahasannya tentang perilaku abnormal pada anak dan remaja, mengutip
(USDHHS, 1999a) bahwa usia anak dan latar belakang budaya turut menentukan suatu
perilaku apakah tergolong normal atau abnormal. Karena itu, menurut mereka defenisi
normalitas amat bergantung pada cara anak bertingkahlaku baik dilihat dari segi usia
anak atau budaya yang berlaku. Pada usia tertentu, misalnya ketika anak baru mulai
masuk bangku sekolah, anak tersebut merasa takut untuk bertemu dengan orang baru
maka hal ini dipandang normal tetapi ketika anak tersebut telah beranjak besar dan
masih merasakan ketakutan yang sama maka hal tersebut dapat dilihat sebagai perilaku
yang abnormal. Kemudian jika perilaku anak dapat diterima secara sosial maka

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
perilaku tersebut dipandang normal dan sebaliknya bila perilaku seorang anak tidak
dapat diterima menurut nilai atau norma-norma yang berlaku maka perilaku tersebut
tergolong abnormal.
Tingkah laku yang normal adalah tingkah laku yang adekuat yang bisa diterima
oleh masyarakat pada umumnya. Artinya bahwa tingkah laku yang tercermin dalam
sikap hidup seseorang sesuai dengan pola kelompok masyarakat disekitar individu
tersebut. Sikap hidup ini menolong individu yang bersangkutan untuk mencapai suatu
relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan (Kartini Kartono, 2009).
Selanjutnya, menurut Kartini Kartono bahwa secara relatif pribadi yang normal dekat
sekali dengan integrasi jasmani dan rohani yang ideal dimana kehidupan psikisnya
relatif bersifat stabil dan tidak menyimpan konflik-konflik batin sehingga ia selalu
memiliki ketenangan juga sehat secara jasmaniah.
Secara lebih rinci, Kartini Kartono (2009), mengemukakan kriteria– kriteria yang
merupakan ukuran ideal bagi pribadi yang normal menurut Maslow dan Mittelman
sebagai berikut: Pertama, pribadi yang normal memiliki perasaan aman (sense of
security) yang tepat. Perasaan aman memampukan pribadi yang bersangkutan untuk
mengadakan kontak dengan orang lain dalam pekerjaan, pergaulan dan keluarga.
Kedua, memiliki peniliain diri (self evaluation) dan wawasan (insight) yang
rasional. Disamping itu, pribadi yang normal memiliki harga diri yang cukup atau tidak
berlebihan maupun kekurangan harga diri. Juga memiliki perasaan sehat secara moril,
tanpa ada perasaan berdosa, memiliki kemampuan untuk menilai tingkah laku asosial
dan tidak manusiawi dari orang lain.
Ketiga, memiliki spontanitas dan emosionalitas yang tepat. Hal ini terlihat pada
kemampuan individu untuk menciptakan hubungan yang erat, kuat dan lama seperti
persahabatan, komunikasi sosial dan hubungan cinta. Individu tersebut juga mampu
mengekspresikan rasa kebencian dan kekesalan hatinya tanpa kehilangan kontrol diri.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Ia juga memiliki kemampuan berempati, bisa tertawa gembira, menghayati arti
penderitaan dan kebahagiaan tanpa lupa diri.
Keempat, mempunyai kontak dengan realitas secara efesien, yakni kontak
dengan dunia fisik/ matriil tanpa berfantasi secara berebihan. Individu yang normal
mempunyai kontak dengan dunia sosial, karena memiliki pandangan hidup yang
realistis dan cukup luas tentang dunia manusia. Ia memiliki kemampuan untuk
menerima berbagai cobaan dan kejutan-kejutan hidup seperti sakit, fitnah, malapetaka,
dukacita dan nasib-nasib buruk lainnya dengan kebesaran hati. Secara internal (dengan
dirinya sendiri), ia mampu berkontak secara riil dan efesien. Kemudian mampu untuk
beradaptasi, merubah dan mengasimilasikan diri jika dunia eksternal tidak dapat
diubahnya. Ia juga bisa melakukan kerjasama dengan keadaan yang tidak bisa ia tolak
(“ cooperation with the inevitable” ).
Kelima, Individu yang normal adalah pribadi yang memiliki dorongan-dorongan
dan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat, dan memiliki kemampuan untuk memenuhi dan
memuaskan dorongan-dorongan tersebut dengan sikap yang sehat, memiliki
kemampuan untuk menikmati kesenangan hidup seperti menikmati benda-benda dan
pengalaman-pengalaman fisik (makan, tidur, rekreasi) tanpa menjadi budak dari
dorongan-dorongan dan nafsu-nafsunya, serta bisa cepat pulih dari perasaan kelelahan.
Dapat memenuhi nafsu-nafsu seks yang sehat tanpa perasaan takut berdosa dan juga
tidak dengan cara atau keinginan yang berlebih-lebihan. Dorongan-dorongan yang
sehat ini terlihat pula pada adanya gairah untuk bekerja secara tidak berlebih-lebihan,
tahan menghadapi kegagalan-kegagalan, kerugian-kerugian dan kemalangan.
Keenam, Mempunyai pengetahuan tentang diri sendiri yang memadai, yakni;
menghayati motif-motif hidupnya dalam status sadar. Kemudian menyadari nafsu-
nafsu dan hasratnya, cita-cita dan tujuan hidupnya yang realistis, dan dapat membatasi
ambisi-ambisi dalam batas-batas normal. Selanjutnya, pengetahuan yang memadai ini

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
menyangkut pengetahuan untuk menanggapi segala pantangan-pantangan sosial,
melakukan kompensasi positif, menghindari pertahanan diri negatif sejauh mungkin
dan bisa menyalurkan rasa inferiornya.
Ketujuh, mempunyai tujuan/obyek hidup yang adekuat. Artinya, tujuan hidup
tersebut bersifat realistis dan wajar, juga individu yang bersangkutan memiliki keuletan
sehingga dapat mencapai tujuan tersebut dengan kemampuan diri sendiri berefek baik
dan bermanfaat bagi masyarakat.
Kedelapan, memiliki kemampuan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman
hidupnya, yang meliputi kemampuan menerima dan mengolah pengalaman-
pengalamannya secara fleksibel, sanggup belajar secara spontan, bisa mengadakan
evaluasi terhadap kekuatan-kekuatan sendiri dan situasi yang dihadapinya, agar ia
sukses, menghindari mekanisme-mekanisme pelarian diri (escape mekanisme) yang
keliru, dan memperbaiki cara kerjanya guna mencapi sukses yang lebih besar.
Kesembilan, memiliki kemampuan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dan
kebutuhan-kebutuhan dari kelompoknya. Artinya ia sanggup mengikuti adat, tata cara,
dan norma-norma dari kelompoknya, mampu mengendalikan nafsu-nafsu dan
keinginan-keinginannya yang dianggap tabu oleh kelompoknya, mampu
memperlihatkan dan melaksanakan aktifitas-aktifitas fundamental dari ambisi
kelompoknya dengan menunjukkan sikap persahabatan yang konsisten, tanggung
jawab yang besar, loyalitas dan mampu melakukan aktifitas rekreasi yang sehat dan
lain-lain.
Kesepuluh, memiliki: sikap emansipasi yang sehat kepada kelompok dan
kebudayaannya dengan tetap memiliki originalitas (keaslian) dan individualitas yang
khas; kemampuan untuk membedakan antara perbuatan buruk dan yang baik;
kesadaran terhadap kebebasan yang terbatas untuk beropini atau berpendapat didalam
kelompoknya; derajat toleransi dan apresiasi yang cukup besar terhadap kebudayaan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
bangsanya dan perubahan-perubahan sosial yang ada. Selain itu, pribadi yang ada
dalam kriteria kesepuluh ini juga tidak memiliki: kesombongan, sifat munafik, tidak
mencari muka, dan tidak memiliki hasrat untuk menonjolkan diri.
Terakhir (kesebelas), pribadi yang normal adalah pribadi yang memiliki integritas
dalam kepribadiannya. Artinya, pribadi ini mengalami perkembangan dan
pertumbuhan jasmani-rohani yang utuh sehingga mampu melakukan asimilasi dan
adaptasi terhadap perubahan sosial, memiliki minat terhadap berbagai aktifitas,
memiliki moralitas dan kesadaran yang tidak kaku (bersikap fleksibel terhadap
kelompok dan masyarakat), mampu berkonsentrasi dalam satu usaha, tidak memendam
konflik-konflik internal (dalam diri sendiri), dan tidak mengalami dissosiasi terhadap
lingkungan sosialnya.
Turner Francis J (1978) menguraikan bahwa dalam tradisi psikososial, seseorang
dikatakan normal jika ia memiliki keseimbangan biopsikososial, perasaan kuat
terhadap diri sendiri, kemampuan untuk menggunakan diri sendiri dalam rangkaian
kapabilitas/ kemampuan untuk berfungsi dalam keinginan-keinginannya yang dapat
diterima oleh sistem dan subsistem masyarakat dan memiliki akses yang rasional
terhadap orang-orang, barang-barang, pelayanan-pelayanan masyarakat dimana ia
tinggal dengan cara yang dapat diterima oleh nilai-nilai masyarakat.
Normalitas adalah sebuah konsep rumit termasuk elemen-elemen normatif dan
relatif. Normalitas bukanlah sebuah konsep yang memberikan dirinya sendiri pada
definisi yang pasti. Terdapat enam elemen yang berisi pada deskripsi di atas: Pertama,
“ fungsi kepribadian normal” tidak memiliki makna yang sama dengan fungsi ideal,
yakni, konsep ini tidak membutuhkan seorang individu untuk memiliki semua kualitas
manusia dalam sebuah keadaan yang sempurna namun pada tingkat itu di mana hal
tersebut dianggap cukup. Sebuah analogi pada kondisi fisik kita menolong untuk
mengklarifikasikan hal ini. Kita semua mengetahui bahwa bahkan ketika seseorang

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
dianggap berada dalam sebuah keadaan fisik pengizinan dilakukan bagi bermacam-
macam kekurangan-kekurangan fisik, keberfungsian yang kurang dan tidak sempurna;
selanjutnya terdapat variasi yang luas antar orang. Sebuah pengujian fisik yang cermat
dari orang-orang yang paling sehat akan memunculkan beragam kondisi yang meliputi
berat badan, gigi, mata, postur, dan pencernaan yang tidak akan menjadi ideal namun
tentunya baik dalam rentang keberfungsian yang sehat dan normal. Konsep kecukupan
yang sama ini dibawakan pada sebuah persepsi keberfungsian kepribadian.
Elemen kedua dalam konsep normalitas adalah bahwa ia berbeda dari konsep rata-
rata. Ini merupakan sebuah poin penting. Ia menolong praktisi menghindari
memandang situasi-situasi sebagai hal yang tidak dapat diubah atau tidak
membutuhkan perubahan karena mereka adalah kondisi umum yang dialami banyak
orang. Merupakan hal penting untuk mengetahui potensi investasi manusia dan kondisi
manusia sebagaimana untuk secara cukup menilai situasi-situasi yang tidak normal
walaupun mereka dimiliki sejumlah besar orang.
Elemen ketiga normalitas berkaitan pada investasi biologis yang dimiliki orang. Ini
meliputi dua konsep: investasi fisiknya dan investasi inteleknya. Kedua faktor tersebut
meliputi dua konsep yang lebih jauh lagi: satu, bahwa tidak ada kekurangan-
kekurangan atau abnormalita serius dalam diri organisme-organisme sendiri, dan
kedua, mereka berfungsi dengan baik. Contohnya, seseorang dapat secara keseluruhan
memiliki tubuh kencang yang tidak berfungsi dengan baik karena penyakit. Di sisi lain,
seseorang dapat secara serius mengalami kelumpuhan karena ketiadaan atau malfungsi
kaki atau sebuah organ.
Elemen keempat normalitas mempertimbangkan citra diri seseorang, secara lebih
umum identitasnya yang terbentuk, yakni, seseorang yang normal adalah orang yang
mengetahui siapa dirinya dan menyukai dirinya sendiri seperti apa adanya. Hal ini
meliputi beberapa elemen, seperti menjadi bebas dari penderitaan internal akut,

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
kegelisahan, ketakutan-ketakutan, kompulsi-kompulsi, kemarahan atau komplain-
komplain psikosomatik. Hal ini juga meliputi kepemilikan citra kebergunaan, akan
mengetahui bahwa ia terikat di suatu tempat, bahwa ia adalah bagian sesuatu yang
signifikan dan penting dalam pandagannya. Berkaitan dengan hal ini adalah
kepemilikan citra kebergunaan, perasaan bahwa seseorang melakukan sesuatu yang
berharga, yakni yang mengarah pada sebuah tujuan yang diinginkan dan diterima
olehnya.
Sebuah faktor yang lebih jauh dalam identitas diri mempertimbangkan kepemilikan
citra pengendalian diri, kendali atas kehidupan seseorang bagian dalam dan luar. Secara
lebih jelas, “ kendali” tidak berarti sebuah citra absolut namun secara lebih umum,
citra manajerial, yakni, saya berada dalam kendali saya dan hal-hal di sekitar saya
dalam hampir sebagian besar area dalam kehidupan saya.
Elemen kelima normalitas dari sudut pandang psikososial berkaitan dengan
kemampuan untuk berfungsi dalam ekspektasi-ekspektasi dan tuntutan sosial. Ide
tentang kemampuan ditekankan di sini untuk menghindari konsep normatif yang
menyatakan bahwa keberfungsian normal meliputi keberfungsian dalam sebuah cara
yang berguna secara sosial atau dalam sebuah cara yang membutuhkan seseorang untuk
secara utuh menggunakan potensinya dalam cara yang mencapai pertumbuhan. Dengan
jelas, hal ini menggerakkan kita dalam dunia norma-norma dan nilai-nilai kultural. Bagi
ahli terapi, komponen pentingnya adalah apakah orang yang bersangkutan mampu
berfungsi dalam ekspektasi-ekspektasi jika ia memang memilih, bukan apakah ia
memang berfungsi. Tentunya, jika seseorang memilih untuk melatih otonominya dalam
sebuah cara yang diketahui dan diinginkan membawanya ke dalam konflik dengan
masyarakat, kita tidak bias menyebutkan hal ini sebagai abnormal bahkan jika ia secara
potensial menyakitkan orang yang terlibat, berbahaya bagi orang lain dan secara kuat
ditolak oleh orang-orang signifikan lain dalam kehidupan.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Elemen keenam dan terakhir dari konsep normalitas berkaitan dengan sebuah akses
individu terhadap orang-orang atau hal-hal di luar dirinya sendiri. Berkaitan dengan
sistem psikososial adalah sebuah ide yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk
yang berorientasi sosial yang menemukan identitas dan pemenuhannya dalam
hubungan dengan orang lain dan dalam kenikmatan sumber-sumber daya material dan
kultural. Apa yang cukup dalam area ini adalah sesuatu yang didefinisikan secara amat
kultural namun konsepnya jelas. Agar keberfungsian seseorang dianggap normal ia
harus memiliki akses terhadap para individu lain yang ada dalam hubungan mereka,
memiliki keterbagian materi dan pelayanan cukup yang tepat pada kebudayaan dan
waktu dan mampu secara nyaman berpartisipasi dalam sumber-sumber daya
masyarakat di mana ia tinggal. Pentingnya akses pada orang-orang lain dan sumber-
sumber daya merupakan sebuah penentu yang penting bagi keberfungsian psikososial
normal yang dicerminkan dalam perhatian yang diberikan dalam terapi psikososial
pada perubahan-perubahan dalam lingkungan eksternal klien.

B. Abnormalitas
Menurut kamus istilah konseling dan terapi psikososial dalam Mappiare AT (2006,
hal. 3), abnormalitas merupakan suatu konsepsi yang membedakan antara kondisi tidak
normal dari kondisi normal individu. Namun tidak mudah untuk mendefenisikan
perilaku normal (Davison Gerlad C, Neale John M dan Kring Ann M (2006: 4).
Disamping itu, banyak kalangan mungkin enggan mengkatetgorikan perilaku abnormal
karena alasan untuk mnehindari stigma. Meskipun demikian, dikotomi kedua kondisi
ini, yaitu normal dan abnormal sangat perlu dalam pemahaman dan penungkapan
tentang perilaku disfungsi atau malfungsi. Karena itu, sangat perlu bagi para pekerja
sosial untuk memahami perilaku manusia dari beberapa karakteristik yang
mengindikasikan perilaku abnormal menurut Davison dkk, 2006, hal.5-7. Karkteristik

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
yang dimaksud terlihat pada perilaku yang: jarang ditemukan; melanggar norma;
distress pribadi; yang mengalami disfungsi & disabilitas; dan perilaku yang tidak
diharapkan. Perilaku abnormal tidak memunculkan hanya satu karakteristik, tetapi
biasanya memunculkan beberapa karakteristik sekaligus.
Sementara itu Kartini Kartono (2009) dan MIF Baihaqi,Sunardi,Riksma N.Ridalti
Akhlan dan Euis Heryati tentang konsep abnormalitas dari 3 sudut pandang menurut
Saanin (1976), yakni abnormalitas dipandang dari sisi patologis (pathological view),
statistik (statistical view) dan kultur/budaya (cultural view).
Penulis memadukan penjelasan Davison dkk, MIF Baihagi dkk, dan Kartini
Kartono sebagai pandangan multi demensi tentang abnormalitas, yaitu;
1. Pandangan dari segi patologis tingkah laku abnormal, merupakan akibat
dari suatu kecelakaan, penyakit atau status kepribadian yang kacau (disordered state).
Perilaku seperti ini dijumpai pada penderita-penderita dengan simtom klinis
tertentu seperti ketakutan dan kecemasan kronis yang tidak beralasan pada penderita
psikoneurosa, gejala delusi, ilusi dan halusinasi pada pendertia psikosa dan tingkah
laku anti sosial pada penderita sosiopatik. Penulis setuju bahwa berdasarkan
pengalaman banyak orang yang mengalami ketegangan mengalami simtom-simtom
klinis atau sindroma-sindroma yang bersifat temporer seperti ketakutan berlebih dan
tidak beralasan. Sehingga tidak mudah menentukan situasi kepribadian yang abnormal.
Bagaimanapun, penilaian terhadap abnormalitas dapat dilakukan dengan menilai
gejala-gejala atau sindroma-sindroma yang komplek dan melekat lama pada pribadi
yang mengalami gangguan. Nampaknya, karakteristik distress pribadi, disabilitas atau
disfungsi perilaku dan perilaku yang tidak diharapkan menurut Davis dkk dapat di
kelompokkan dalam pandangan patologis ini. Sebagai contoh dari salah satu
karakteristik yaitu perilaku distress yang penulis cermati memiliki esensi yang sama
seperti penjelasan di atas meskipun diartikulasi secara berbeda. Distress pribadi seperti

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
kecemasan dan depresi merupakan hint untuk memahami karakteristik perilaku
abnormal.
2. Pandangan tentang abnormalitas dari segi statistik merupakan pendekatan
secara grafis (tertulis dan terlihat dalam gambar) dan secara matematis mengenai
masalah normal dan abnormal seperti yang terlihat pada kurve distribusi normal
berikut ini.

Gambar 1. Kurva normal

Abnormal Garis Normal Garis Abnormal


inferior perbatasan perbatasan superior

Melalui prosedur statistik yaitu dengan melakukan pengukuran dan penilain akan
terlihat adanya gangguan yang sering terjadi, rata-rata terjadi dan terjadi sekali-sekali.
Kemudian hasil penilaian di visualisasikan melalui grafik yang biasa dideskripsikan
dalam bentuk kurva lonceng. Davison dkk (2006) menggambarkan penggunaan
kurva normal ini pada pegukuran intelligence quotient (IQ) untuk mendiagnosa
retardasi mental dan mengatakan bahwa;
“ kurva normal atau kurva berbentuk lonceng menempatkan mayoritas manusia di
bagian tengah dalam kaitannya dengan karakteristik tertentu, dan sangat sedikit yang
berada di kedua bagian ekstrim yaitu sisi inferior dan superior. Seseorang dianggap
normal bila orang tersebut tidak menyimpang jauh dari rata-rata pola trait atau perilaku
tertentu. ”

3. Pandangan tentang abnormalitas dari sisi kultural/kebudayaan


Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Secara kultural, tingkah laku dan sikap hidup individu dianggap normal atau
abnormal bergantung pada mileu sosial atau lingkungan kebudayaan dimana individu
yang bersangkutan tinggal. Masyarakat cenderung tidak mentolerir tingkah laku yang
menyimpang dari norma umum yang berlaku, sehingga masyarakat merupakan hakim
yang “ keras” dan “ kejam” terhadap tingkah laku para anggotanya. Disatu sisi,
individu diberi kesempatan untuk berekspresi secara bebas tapi normatif, namun disisi
lain apabila terjadi penyimpangan yang bersifat radikal dan dapat menimbulkan
kekacauan bagi perorangan dan lingkungan, individu tersebut di kecam dan dianggap
abnormal. MIF Baihaqi dkk & Kartini Kartono mencatat pendapat Saanin bahwa
“ masyarakat adalah tuan yang kejam dan memiliki tendensi untuk menjadi gusar
terhadap penyimpangan-penyimpangan yang menggoncangkan orang di sekitar dan
menghakimi individu yang berperilaku menyimpang tersebut sebagai pribadi yang
abnormal.” Terdapat 2 faktor berpengaruh pada sikap menghakimi tersebut, yaitu,
pertama, kelompok masyarakat. Pola-pola kebudayan dalam pergaulan global atau luas
menimbulkan pencampuraduknya adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan, sehingga sikap-
sikap dalam suatu masyarakat yang dipandang sebagai normal tetapi pada masyarakat
lainnya perilaku tersebut dipandang abnormal. Kedua, Zeitgeist (jiwa dari zaman) yaitu
apa yang dianggap normal pada generasi yang lalu, mungkin menjadi abnormal pada
sekarang. Davies dkk, juga mengakategorikan perilaku melanggar norma sosial atau
mengancam dan mencemaskan orang sebagai perilaku abnormal. Pria/wanita tuna
susila adalah salah satu contoh dari orang yang berilaku abnormal.
Turner F.J. (1978) menjelaskan bahwa konsep abnormalitas meliputi kemungkinan
ketidaknormalitas atau abnormalitas. Dalam menilai sebuah situasi, ciri-ciri normalitas
diterapkan dalam situasi itu. Berkaitan dengan praktik Turner dkk, mereka menemukan
orang-orang yang mengalami kekurangan kemampuan mereka untuk berfungsi karena
kekurangan-kekurangan dalam penanaman fisik dan intelektual mereka. seperti sebuah

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
penyakit kecil sementara dapat mempengaruhi mood, sikap, dan kemampuan untuk
menyelesaikan masalah, berhubungan dengan orang lain, dan menarik peran-peran
yang diharapkan. Pengaruh-pengaruh ini diperbesar ketika seseorang mengalami
gangguan secara sementara atau permanen dengan sebuah disorder fisik atau mental.
Dalam situasi-situasi yang lebih patologis, kita melihat kedalaman-kedalaman
penderitaan dalam gejala-gejala seperti depresi, kehilangan kepribadian, atau paranoia.
Sebagai tambahan, para keluarga dan kelompok dapat berada dalam tekanan dari
sudut pandang persepsi mereka akan diri mereka sendiri. Orang-orang dapat bingung
dan gelisah tentang siapa diri mereka; mereka dapat merasa amat dipengaruhi dengan
kegelisahan, merasa tertahan karena merasakan ketidakbergunaan, terimobilisasi oleh
perasaan-perasaan tidak dicintai, ditolak, dan tidak terpenuhi, atau tidak diinginkan.
Perasaan-perasaan ini dapat beragam dari reaksi-reaksi kecil dan transisional yang
merupakan bagian semua kehidupan kita pada tahap di mana secara jelas mereka
berada di luar dunia keberfungsian normal dan dapat menimbulkan rasa sakit,
penderitaan, dan kehilangan potensi yang dapat secara tepat dianggap sebagai
abnormal.
Orang-orang juga dapat berada dalam tekanan karena ketidakmampuan mereka
untuk berada bersama dengan orang lain, untuk berfungsi dalam peran-peran dipilih
oleh mereka dalam masyarakat, atau untuk beroperasi sebagai hasil dari persepsi
masyarakat akan dirinya, dan transaksi-transaksi yang terjadi antara individu dan
individu-individu lain dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Yakni, perilaku
orang-orang yang dianggap beragam bagi setiap orang karena sejumlah alasan yang
telah dan terus menjadi sumber perspesi-persepsi nilai laten orang.
Serangan-serangan pada keberfungsian kepribadian normal juga dapat merupakan
hasil kurangnya materi-materi dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk
berfungsi. Secara lebih jelas, terdapat komponen relatifistik yang kuat pada apa yang

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
memadai, apa yang penting, apa yang diinginkan, dan apa yang tidak tepat. Dalam
masyarakat kita, perbedaan antara kebutuhan-kebutuhan penting dapat beragam dalam
tempat-tempat, dalam jarak pendek dengan satu sama lain. Contohnya, elevator-
elevator dalam apartemen tinggi perkotaan dapat tampak sebagai hal penting, namun
mobil-mobil salju akan menjadi sesuatu yang mewah dalam tempat tersebut. Walaupun
demikian, hanya beberapa mil jauhnya, bagi sebuah keluarga daerah pinggiran mobil
salju adalah sebuah kebutuhan penting dan elevator adalah kemewahan yang tidak
berguna. Selanjutnya tidak dalam cara apapun kebutuhan-kebutuhan ini dapat dianggap
bisa saling ditukarkan. Ketiadaan sumber-sumber daya ini bagi kedua keluarga yang
terlibat akan menjadi hal kritis dari sudut pandang pertahanan hidup dalam situasi
krisis.
Relativitas kebutuhan inilah yang mempersulit perencanaan dalam program-
program bantuan publik di Amerika Utara. Sebuah contoh relativitas program-program
ini tampak dalam perjalanan terbaru ke Arktik/kutub selatan. Salah satu tempat yang
dikunjungi adalah sebuah pusat detensi hukuman bagi para pria dewasa yang dihukum.
Satu bagian dari tuntutan pusat program tersebut adalah alat perburuan tahanan,
termasuk senapan, untuk pergi ke lahan luas dan berburu caribou (rusa Amerika Utara),
yang secara bergantian digunakan untuk persediaan daging bagi orang tua dalam panti
yang tidak mampu berburu lagi. Hal ini secara amat jelas adalah sebuah program yang
akan secara sulit diikuti dalam pusat koreksional di perkotaan.
Tujuan utama terapi psikologi adalah memfasilitasi keberfungsian yang
memuaskan, dan berorientasi pada pertumbuhan psikologi. Tampak jelas bahwa
terdapat faktor-faktor yang akan dapat menghalangi atau membatasi keberfungsian
optimal sebuah kepribadian yang berkembang dalam konsep keberfungsian normal.
Berkaitan dengan penghalang yang mungkin membatasi pertumbuhan psikologi
sehingga membatasi keberfungsian optimal klien, Turner tidak bermaksud bahwa para

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
ahli terapi psikososial sedang berupaya mengembangkan sebuah dunia khayalan; lebih
daripada itu, ia berkomitmen untuk menghadapi situasi-situasi yang dapat diubah di
mana terdapat keinginan besar untuk berubah. Dalam pendekatan praktik psikoterapik
ini, sebuah masalah tampak sebagai situasi yang menghasilkan tekanan di mana ia
menghalangi keberfungsian memuaskan dan di mana seorang individu atau kelompok
tidak memiliki sumber-sumber daya kehidupan yang cepat untuk digunakan dalam
menghadapi masalah.
Situasi-situasi ini merupakan target intervensi yang tepat, yang dapat
diklasifikasikan dalam empat kategori utama: defisiensi sebuah penanaman atau
ketidakmampuan untuk menggunakan potensi seseorang. Dua sisi lainnya adalah
eksternal bagi orang tersebut; kurangnya sumber-sumber daya cukup yang membatasi
pencapaian potensi orang dan kurangnya akses pada sumber-sumber daya yang telah
ada.
Ahli terapi psikososial berkomitmen untuk memahami kepribadian dan penyebab-
penyebabnya sebagaimana hal-hal dalam pribadi dan masyarakat yang berkontribusi
pada pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini sama juga seperti hal-hal yang
berkontribusi terhadap masalah-masalah keberfungsian dan penderitaan.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
BAB II
KONSEP PSIKOSOSIAL

Penulis mereview beberapa hal dari pembahasan, Payne Malcom (1997), Maquire
Lambert (2002) dan Newman Barbara M dan Newman Philip R (2006) tentang
pendekatan psikososial sebagai berikut:

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Payne Malcolm (1997:79) mereview Wood & Hamilton (1950) bahwa elemen-
elemen krusial dalam terapi psikososial adalah ide tentang “ the person in
Situation/environment (PIE)” dan beberapa penulis yang mengikuti teori ekologi kini
merujuk juga pada pemikiran tentang PIE ini. Penekanan terapi psikososial pada PIE
secara langsung mengakui bahwa lingkungan atau sering juga disebut sistem
merupakan faktor yang tidak terpisahkan dari perkembangan dan kemampuan individu
dalam melaksanakan keberfungsian sosialnya. Karena itu seperti yang direview oleh
Payne Malcolm tentang ide Hamilton yang juga diikuti oleh para pengikut teori ekologi
menjadi dasar pembahasan Payne di halaman 80 yang pada awalnya dikaitkan dengan
casework. Dikatakannya bahwa casework adalah hal tentang perbaikan hubungan-
hubungan antara orang-orang dalam siatuasi kehidupan mereka – pribadi dalam situasi
(person in situation).
Diakui oleh Payne bahwa pekerja sosial telah selalu mempertimbangkan dan harus
mempertimbangkan proses psikologis, faktor eksternal sosial dan bagaimana faktor-
faktor tersebut mempengaruhi satu sama lainnya. Orang-orang mengalami pengaruh
tekanan-tekanan dari lingkungan dan stress dari konflik diantara mereka sendiri.
Pekerjaan sosial bertujuan mengatasai masalah-masalah yang muncul dari ketidak
seimbangan (disequilibrium) antara orang dalam lingkungannya. ( Wood & Holis, 1990
dalam Payne Malcolm 1997:80). Para klien mungkin dipengaruhi oleh masalah-
masalah dalam berbagai sistem sosial atau masalah yang ada diantara mereka sendiri.
Tekanan dan stress berinteraksi satu sama lain dalam cara yang rumit.
Terdapat penekanan yang kuat pada kepribadian yang tergambarkan dalam struktur
istilah psikodinamika, yakni id, ego dan superego. Ego adalah fokus utama untuk
berurusan dengan dunia luar. Payne Malcolm menilai bahwa mekanisme pertahanan
diri sangat penting untuk pemahaman tentang bagaimana orang-orang berinteraksi
dengan lingkungannya. Karena itu, pekerja sosial akan bertindak secara sukses dan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
mempengaruhi lingkungan secara langsung, tetapi jarang dilakukannya. Karena
menurut Wood dan Holis biasanya pekerja sosial sebagai terapis diharuskan untuk
melakukan penanganan langsung pada sikap-sikap dan reaksi-reaksi klien.
Berdasarkan afirmasi ini maka lebih lanjut Payne Malcolm mengatakan bahwa
adalah penting untuk memodifikasi keseimbangan tekanan-tekanan yang
mempengaruhi klien. Penulis setuju pada pemikiran Payne Malcom bahwa konsep-
konsep sosiologis yang paling signifikan seperti teori peran dan masalah komunikasi
adalah relevan untuk digunakan dalam praktik dengan individu atau praktik
penanganan psikososial.
Pemaparan dari Payne Malcolm mengenai sumber-sumber distress berikut ini bisa
menjadi gambaran (hint) bagi kita untuk memahami bagaimana masalah yang
dihasilkan oleh interaksi antara faktor internal dalam diri individu dan faktor eksternal
sosial. Adapun sumber-sumber yang dimaksud adalah: Pertama, tekanan dari
lingkungan dalam situasi kehidupan sekarang (press from the environment in current
life situations). Misalnya, Sandra, seorang ibu muda kuatir karena ia sedang marah dan
memukul anak-anaknya. Stres yang ia alami berasal dari kebutuhannya untuk mengatur
sebuah rumah tua di sebuah jalan yang lembab dan berkabut dimana terjadi pencurian
besar-besaran di rumah tersebut. Ini berarti Sandra tidak dapat memenuhi keinginan
dan kebutuhannya untuk menjadi orangtua yang baik dan sukses.
Kedua, ketidakmatangan keberfungsian ego dan superego. karena warisan
keturunan atau masalah-masalah perkembangan. (immature ego or superego
functioning from hereditary or developmental problems). Kebutuhan-kebutuhan dan
dorongan-dorongan yang kuat pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi sampai
masa tua yang menyebabkan munculnya keinginan-keinginan atau tuntutan-tuntutan
terhadap situasi yang tidak beralasan. Misalnya, pada masa kecil Christine merasa
tertolak oleh ibu dan ayahnya yang bersikap dingin terhadapnya karena mereka sibuk.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Ia terus mencari cinta dan afeksi yang menyebabkan suaminya merasa tidak cukup
mampu untuk meresponnya. Pada kasus lain, George seorang pria dengan gangguan
kemampuan belajar, yang telah dilindungi oleh ibunya secara berlebihan sehingga ia
tidak belajar tentang cara-cara yang bisa diterima untuk menjalin relasi dengan
perempuan. Pada suatu hari di pusat pertemuan, ia menjadi agresif dan berafeksi secara
berlebihan. Perilaku ini menunjukkan bahwa ia tidak pernah belajar untuk mengelola
hubungan dengan orang-orang dan hal-hal di luar dirinya secara baik.
Ketiga, mekanisme pertahanan diri atau fungsi-fungsi superego yang terlalu kaku
(defence mechanisms or superego functions which are too rigid). Misalnya, John
memiliki orangtua yang memaksakan standar-standar perilaku di meja makan (table
manner) yang terlalu tinggi, sehingga ketika suatu waktu John tidak dapat
menyesuaikan diri maka orangtuannya segera membawanya ke kamar tidur. Karena
lapar, John mengambil sendiri makanan dari dapur. Orangtuanya melaporkan ia
kepolisi sebagai kasus pencurian. Standar-standar yang kaku ini berasal dari masa
kanak-kanak yang membuat mereka mengalami kesulitan untuk berelasi dengan John
anaknya.
A. Konsep Dasar Teori Psikososial
Teori psikososial menjelaskan perkembangan manusia sebagai suatu produk
interaksi antara kebutuhan-kebutuhan biologis dan psikologis individu dan
kemampuan-kemampuan pada suatu sisi dan harapan-harapan atau tuntutan sosial pada
sisi lain. Teori ini memperhitungkan pola-pola perkembangan individual yang muncul
dari proses biopsikososial.
Teori psikososial terkait dengan istilah evolusi psikososial, sebuah gagasan yang
diusulkan oleh Julian Huxley (1941.1942) untuk merujuk pada serangkain
kemampuan-kemampuan manusia yang memudahkan kita untuk mengumpulkan
informasi dari para pendahulu dan mentransferkannya kepada generasi berikutnya.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Praktik pengasuhan anak, pendidikan, dan mode komunikasi adalah contoh-contoh dari
mekanisme yang menyalurkan informasi dan cara berpikir, dan cara-cara pengajaran
baru dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada saat yang bersamaan orang-orang
menemukan informasi baru, cara berpikir baru, dan cara mengajarkan tentang
penemuan-penemuan kepada orang lain. Dalam hal ini, evolusi psikososial telah
berjalan pada suatu langkah yang cepat, membawa perubahan dalam teknologi dan
ideologi yang memudahkan untuk menciptakan dan memodifikasi lingkungan
psikologis dan sosial.
Teori psikososial yang dijelaskan oleh Newman Barbara M dan Newman Philip
R ini, mengusulkan kerangka kerja organisasi untuk mempertimbangkan
perkembangan dalam perspektif yang luas tentang evolusi psikososial. Transmisi nilai-
nilai dan pengetahuan-pengetahuan lintas generasi mempersyaratkan kematangan
individu yang mampu menciptakan pengetahuan, membuat simbolisasi tentang
pengetahuan tersebut, menyesuaikannya, mentransfernya kepada orang lain. Pada
waktu yang bersamaan, masyarakat berubah, memunculkan tantangan-tantangan baru
bagi adaptasi. Orang-orang berubah dan bertumbuh, meningkatkan potensi mereka
untuk mengangkat diri mereka sendiri dan mensukseskan generasi selanjutnya.
Teori psikososial memperhitungkan perubahan sistematik sepanjang daur
kehidupan melalui enam konsep dasar, yaitu (1) tahapan perkembangan, (2) Tugas-
tugas perkembangan, (3) krisis-krisis psikososial, (4) proses sentral penanganan krisi
pada setiap tahap, (5) menyebarkan jaringan relasi yang signifikan dan (6)
mengelolah/coping perilaku-perilaku orang yang baru guna menghadapi tantangan-
tantangan baru.
Gambar 2 berikut ini menunjukkan perkembangan sebagai suatu proses yang
menggabungkan enam gagasan teori psikososial. Gambar ini digambar kembali sesuai
aslinya dalam Newman-Newman (2006). Strukturnya berkembang lebih luas seperti

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
radius dari relasi-relasi signifikan yang memperluas dan pencapaian-pencapaian pada
tahap awal terintegrasi dalam perkembangan perilaku pada tahap selanjutnya.

Gambar 2. Enam konsep dasar teori psikososial

Krisis psikososial

Menyebar relasi-relsi signifikan


Tugas-tugas
perkembangan

Perilaku
coping

Proses sentral

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
B. Sistem Psikologis, Biologis dan Sosial (biopsikososial)
Newman Barbara M dan Newman Philip R (2006) mencatat Erik Erikson (1963)
bahwa kehidupan manusia sebagaimana pengalaman-pengalaman individu
dihasilkan dari interaksi dan modifikasi dari tiga sistem utama, yakni; sistem
biologis (the biological system), psikologis (the Physicological system) dan sistem
sosial kemasyarakatan (the societal system). Secara lebih rinci Erik Erikson
menguraikan interaksi ketiga sistem ini sebagai berikut;
1. Sistem biologis termasuk semua proses penting bagi keberfungsian fisik dari
organism seperti yang terlihat pada gambar 3.
Proses biologis berkembang dan berubah sebagai suatu konsekuensi dari;
pertama, kematangan yang dikendalikan secara genetika; sumber-sumber
lingkungan seperti gizi, dan sinar matahari; pengaruh buruk dari lingkungan;
mengalami kecelakaan dan penyakit; pola-pola perilaku dan gaya hidup,
termasuk olah raga, makan, tidur, penggunaan obat-obatan.
Newman Barbara M dan Newman Philip R menggambarkan sistem bilogis
ini melalui kasus Patrick Jonathan Carmichael. Kasus ini memberikan petunjuk
tentang dua contoh pengaruh sistem biologis dalam pengalaman-pengalaman
hidup Patrick, yaitu umur panjang dan kekuatan fisik. Sejak lama Patrick hidup
dalam kesehatan yang baik dan tidak biasa mengalami kesengsaraan.
Kombinasi antara genetika dirinya yang baik, dengan latihan hidup yang tepat,
dan gaya hidup yang sehat berkontribusi kedalam kemampuannya untuk
menahan tuntutan fisik dalam hidupnya dan mencapai banyak tujuan-tujuan
karirnya, sembari memberi dukungan kepada keluarganya.
Sistem biologis berubah setiap waktu terlepas dari akibat dari proses
pematangan/penuaan dan hasil dari interaksi dengan fisik dan lingkungan
sosial. Kultur membedakan dukungan terhadap pertumbuhan fisik dan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
kesehatan tergantung pada ketersediaan sumber-sumber gizi yang memadai,
tritmen terhadap penyakit, dan pengaruh-pengaruh buruk lingkungan beracun
dan kondisi-kondisi berbahaya. Suatu perkembangan dari tubuh informasi
berakumulasi untuk membantu orang-orang membuat pilihan-pilihan gaya
hidup yang meningkatkan kesehatan dan umur panjang

Gambar 3. Sitem biologis

Genetic
Skeletal
Motor
Respiratory
Endocrine
Circulatory
Waste
elimination
Sexual
reproductive

Change
factors

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Life style
Genetically eating
guided sleeping
maturation exercises
drugs

Environmental
Environmental toxin Accident
resources and
(nutrition, disseasses
sunlight)

2. Sistem psikologis
Sistem psikologis termasuk semua proses mental yang berpusat pada
kemampuan seseorang untuk mengartikan pengalaman-pengalamannya dan
mengambil tindakan seperti yang terlihat pada gambar 4.
Emosi, memori, persepsi, pemecahan masalah, bahasa, kemampuan-
kemampuan simbolik dan orientasi terhadap masa depan, semuanya
mengharuskan penggunaan proses psikologis. Dalam kasus Patrick, pengaruh
dari sistem psikologis dapat dihargai ketika seseorang mempertimbangkan
motivasinya, ketekunannya, kemampuan akademiknya, kelihaiannya, tujuan-
tujuannya, dan perasaan terhadap disiplin dirinya. Sistem psikologis
menyediakan sumber-sumber untuk memproses informasi dan sumber-sumber
untuk mengarungi realitas.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Seperti proses biologis, proses psikologis berkembang dan berubah
sepanjang daur kehidupan. Perubahan dikendalikan sebagian oleh informasi
generik. Kemampuan untuk keberfungsian intelektual dan arah kematangan
kognisi dikendalikan secara genetik. Sejumlah penyakit-penyakit yang tertular
secara genetik berakibat pada perusakan intelektual dan suatu kemampuan
belajar yang berkurang. Perubahan juga diakibatkan dari akumulasi
pengalaman-pengalaman dan pengalaman berhadapan dengan berbagai seting
pendidikan. Proses psikologis ditingkatkan oleh banyak pengalaman-
pengalaman hidup seperti, berolahraga, kemping, bepergian, membaca dan
berbicara dengan orang-orang. Akhirnya, perubahan dikendalikan oleh diri
sendiri. Seseorang dapat memutuskan untuk mengejar suatu kepentingan,
belajar bahasa lain, atau mengadopsi serangkaian ide-ide baru. Melalui
wawasan terhadap diri sendiri, seseorang dapat mulai berpikir tentang dirinya
sendiri dan orang lain dalam suluh atau sorotan baru.

Gambar 4. Sistem psikologis

Motivation, emotion, perception,


Learning, memory, judgement, reasoning,
problem solving,
Terapi Psikososial Suatu Pengantar language skills, symbolic abilities,
self awareness, and reality testing
Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Change
factors

Generic Life experience Self direction


Information including Insight

3. Sistem sosietal/sosial
Sistem sosial termasuk proses-proses melalui mana satu pribadi menjadi
terintegrasi kedalam cara-cara hidup tertentu dari orang-orang dalam suatu
negara, seperti terlihat pada gambar 5.

Pengaruh-pengaruh sosietal termasuk peran-peran sosial; dukungan sosial;


kultur, ritual-ritual, mitos, dan ekspektasi-ekspektasi sosial; gaya
kepemimpinan; pola-pola komunikasi; organisasi keluarga; pengaruh-
pengaruh etnik dan sub-kultur; ideologi politik dan agama; pola-pola

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
kesejahteraan ekonomi atau kemiskinan dan peperangan atau kedamaian;
keterbukaan terhadap rasisme, seksisme, dan bentuk lain dari diskriminasi,
intoleransi, atau permusuhan dalam kelompok. Dampak dari sistem sosietal
terhadap perkembangan psikososial berakibat secara luas dari relasi-relasi
interpersonal dan hubungan-hubungan lain dengan sigficant others. Sistem
sosietal yang diilustrasikan dalam kasus Patrick tentang kepentingan Patrick
pada pengalaman-pengalaman pendidikannya di Institut Snowhill dimana
terdapat praktik diskriminasi yang berakibat pada tidak adanya dana negara
bagi pendidikan orang-orang negro, keterlibatan keluarga-keluarga lain dalam
komunitas untuk mendorong pendidikan bagi anak-anak mereka, donasi amal
dari dermawan di luar komunitas tersebut, dan perubahan sifat-sifat dasar dari
relasi Patrick dengan anaknya. Lewat Undang-undang dan kebijakan publik,
struktur politik dan ekonomi, dan kesempatan pendidikan, masyarakat
mempengaruhi perkembangan psikososial individu dan mengubah jalan hidup
untuk generasi masa depan. (de. Aubin, McAdams, & Kim, 2004 dalam
Newman & Newman, 2006).
Dalam pembahasan ini, Newman Barbara M dan Newman Philip R
mengemukakan bahwa peran kultur ditekankan sebagaimana peran ini
berkontribusi pada pola-pola, langkah dan arah dari perkembangan.
Kebudayaan berbeda dalam pandangan terhadap dunianya, termasuk
penekanan pada kolektifitas dan individualisasi, ide-ide tentang sumber-
sumber utama dari stress dan cara-cara mengatasi stress, dan keyakinan-
keyakinan tentang kelompok mana yang dipandang lebih kuat atau lebih
penting daripada kelompok lainnya (Morrison, Conaway, & Borden, 1994
dalam Newman & Newman, 2006). Kultur berbeda dalam penekanan dan
keyakinannya dalam ilmu pengetahuan, spirituality, dan fatalism. Mereka

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
berbeda dalam ekpektasi-ekspektasi usia mereka yang bermutu tinggi, seperti
ketika seseorang dipertimbangkan untuk menjadi seorang anak, seorang
dewasa, atau orang yang lebih tua. Mereka berbeda dalam defenisi-defenisi
mereka sendiri tentang moralitas, kecantikan, keberanian, kekayaan dan hal-
hal ideal lainnya yang mungkin mendefenisikan aspirasi-aspirasi individu atau
kelompok.
Proses sosietal berubah sepanjang daur kehidupan seseorang. Memasuki
peran-peran baru membawa tuntuta-tuntutan dan perilaku-perilaku baru.
Sebagai contoh, di United States, anak-anak berusia lima tahun diharapkan
untuk masuk taman kanak-kanak dan memiliki kompetensi sosial, fisik dan
emosional untuk berfungsi dalam seting kelompok pendidikan yang besar pada
usia tersebut. Di Finlandia, meskipun banyak anak masuk beberapa bentuk
program pengasuhan anak (child care program), mereka tidak memulai
sekolah dasar sampai berusia 7 tahun. Banyak masyarakat memiliki harapan-
harapan usia bertingkat tentang kompetensi yang diinginkan dan kesempatan-
kesempatan untuk berpartisipasi dalam seting-seting dan peran-peran yang
mengubah tiap tahap kehidupan.
Kajadian-kejadian bersejarah seperti kondisi peperangan atau aman,
menjadi pemenang atau orang-orang yang kalah, tinggal dalam kemakmuran
atau kemiskinan mempengaruhi bagaimana orang-orang yang dalam kultur
yang ada menyadari diri mereka sendiri. Misalnya, kondisi-kondisi pada
perang dunia kedua, pelayanan angkatan militer, berkurangnya ketersediaan
sumber-sumber dan sistem hasil perbandingan, meningkatnya keterlibatan
perempuan dalam dunia kerja, pemboman kota-kota di Eropa, pembongkaran
selubung kekejaman terhadap manusia yang sebelumnya berlum pernah
terjadi, peledakan bom nuklir di Jepang berdampak sangat panjang terhadap

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
nilai-nilai dan ideology masyarakat yang hidup dalam periode tersebut (Elder,
1995 dalam Newman Barbara M dan Newman Philip R, 2006)

Gambar 5 Sistem Sosietal

Interpersonal relationships
Social roles
Rituals
Cultural myths
Social expectations
Leadership styles
Communication patterns
Family Organization
Social Support
Political and religious Ideologies
Patterns of economic prosperity, poverty, war or peace
Patterns of intolerance and discrimintation

Change
factors

Move from one Entry to new Historical Technological


Culture to roles events change
another
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
C. Krisis Psikososial
Newman Barbara M dan Newman Philip R (2006) menjelaskan bahwa
krisis psikososial adalah konsep ketiga dari teori psikososialnya Erik Erikson
(1963), muncul karena seseorang harus membuat usaha-usaha psikologis untuk
menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan lingkungan sosial pada setiap tahap
perkembangan. Kata krisis dalam konteks ini merujuk pada serangkaian stress dan
tekanan-tekanan yang normal dibandingkan dengan serangkaian kejadian-kejadian
luar biasa.
Tuntutan-tuntutan sosietal bervariasi pada setiap tahap. Orang-orang
mengalami tuntutan-tuntutan sebagai hal enteng tetapi konstan memberi petunjuk
tentang harapan-harapan terhadap perilaku. Mereka mungkin menuntut; adanya
penguasaan diri yang lebih besar, keterampilan-keterampilan untuk perkembangan
lebih lanjut, atau komitmen yang lebih kuat untuk mencapai tujuan-tujuan. Sebelum
akhir dari setiap tahap perkembangan, individu mencoba untuk mencapai suatu
resolusi, untuk menyesuaikan diri dalam tuntutan-tuntutan masyarakat, dan pada
saat yang bersamaan menterjemahkan tuntutan-tuntutan tersebut kedalam rencana-
rencana pribadi. Proses tersebut menghasilkan suatu situasi tegang yang mana
individu harus mengurangi ketegangan tersebut agar dapat berlanjut pada tahap
berikutnya.
Penguasaan terhadap tugas-tugas kehidupan dipengaruhi oleh resolusi
terhadap krisis psikososial dari tahap sebelumnya, dan resolusi ini menghasilkan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pengembangan kapabilitas sosial yang baru. Kapabilitas ini mengorientasikan
individu pada pengalaman-pengalaman baru, kecerdasan baru untuk berelasi, dan
perasaan-perasaan baru terhadap keberhargaan pribadi sebagaimana ia menghadapi
tantangan-tantangan dari tugas-tugas perkembangan pada tahap berikutnya. Pada
gilirannya, keterampilan-keterampilan yang ia pelajari selama tahapan-tahapan
khusus sebagai akibat dari tugas-tugas perkembangannya menghasilkan alat untuk
resolusi krisis psikososial di tahap berikutnya. Penyelesaian tugas-tugas
perkembangan dan resolusi krisis berinteraksi untuk menghasilkan sejarah
kehidupan individu.

D. Proses Sentral Penanganan Psikososial


Menurut Newman Barbara M dan Newman Philip R (2006:47) bahwa setiap krisis
psikososial mereflek pada ketidakseusaian antara perkembangan kompetensi seseorang
pada tahap awal perkembangan dan tekanan-tekanan tekanan-tekanan baru dari masyarakat
untuk mendorongnya untuk berfungsi secara lebih efektif dan terintegrasi. Bagaimana
ketidaksesuaian tersebut diatasi? Pengalaman dan proses apa yang mendukung seseorang
untuk menginterpretasikan harapan-harapan dan tuntutan-tuntutan masyarakat, dan
menginternalisasikannya dalam rangka mendukung perubahan-perubahan? untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Newman Barbara M dan Newman Philip R
menawarkan suatu pengembangan dari teori- teori psikososial dengan cara
mengidentifikasi suatu proses sentral dimana tiap krisis psikososial diatasi. Proses sentral
adalah konsep keempat dalam pengorganisasian teori psikososial menyarankan suatu cara
bahwa seseorang terlibat dan memahami harapan-harapan kulural dan menjalani
perubahan-perubahan diri secara adaptif. Istilah proses menyarankan suatu tujuan dan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
perubahan secara perlahan. Proses berkembang sepanjang waktu, terlihat dalam hubungan-
hubungan baru antara diri sendiri dengan masyarakat.
Contohnya, dalam masa kanak-kanak, krisis psikososial menimbulkan pertanyaan
tentang bagaimana anak-anak meningkatkan perasaan otonomi tanpa menimbulkan resiko
yang terlalu banyak yang memicu perasaan malu dan ragu-ragu. Karena itu, Newman
Barbara M dan Newman Philip R mengusulkan bahwa imitasi adalah proses sentral bagi
pertumbuhan psikososial selama masa kanak-kanak, yaitu masa usia 2-3 tahun. Anak-anak
memperluas rentang keterampilan-keterampilan mereka dengan cara meniru orang-orang
dewasa, saudara – saudara kandung, model-model televisi, teman – teman sepermainan,
bahkan binatang. Peniruan memberikan kepuasan yang sangat besar kepada anak-anak
pada usia ini. Sebagaimana mereka mengembangkan kemiripan antara diri mereka dengan
anggota-anggota kelompok sosial yang dikaguminya melalui imitasi, mereka mulai
mengalami dunia sebagaimana orang lain mengalaminya. Mereka berlatih beberapa
pengendalian terhadap kejadian-kejadian yang secara potensial menakutkan dan
membingungkan dengan cara pengimitasian elemen-elemen kejadian dalam permainan
mereka.
Gerakan terhadap suatu perasaan otonomi pada masa kanak-kanak difasilitasi oleh
kesiapan anak untuk meniru dan oleh berbagai model yang tersedia untuk diamati oleh
anak. Melalui aktifitas imitasi secara terus menerus, anak-anak mengembangkan perilaku
inisisasi diri dan pengendalian terhadap tindakan-tindakan mereka. Pengalaman berulang-
ulang terhadap hal ini menghasilkan pengembangan perasaan terhadap otonomi pribadi.
Pengimitasian terhadap perilaku orang lain tidak hanya mendukung otonomi tetapi
juga membantu melindungi kanak-kanak dari terlalu banyaknya pengalaman-pengalaman
akan rasa malu dan ragu-ragu. Perilaku-perilaku yang diamati seseorang dari orang lain
antara lain; kegiatan bermain yang melibatkan anak-anak lain, penggunaan bahasa dalam
anggota-anggota keluarga, atau mencuci tangan. Kegiatan-kegiatan ini biasanya

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
merupakan rangkaian perilaku yang dapat diterima dan ditampilkan. Kanak-kanak dapat
melihat apa yang terjadi pada perilaku seseorang yang sedang menangis. Jika
konsekuensinya disukai, kanak-kanak dapat merasa lebih percaya diri untuk mencoba
perilaku ini.
Proses sentral untuk pengelolaan (coping) terhadap tantangan-tantangan pada
setiap tahap kehidupan menyediakan mekanisme-mekanisme personal dan sosietal untuk
mendapatkan informasi baru dan mengenali informasi yang ada. Hal ini juga mengusulkan
cara-cara yang lebih memungkinkan adanya revisi sistem psikologis agar krisis-krisis pada
tahap tertentu mungkin dapat teratasi. Tip proses sentral terlihat dalam bekerjanya kembali
secara intensif sistem psikologis, termasuk suatu pengorganisasian kembali bondari-
bondari/ batasan-batasan, nilai-nilai dan citra-citra dari diri sendiri dan orang lain. Tabel 1
memperlihatkan proses sentral yang mengakibatkan perolehan keterampilan-keterampilan
baru, resolusi terhadap krisis-krisis psikososial dan coping yang berhasil pada tiap tahap
kehidupan.

Tabel 1
Tahap Kehidupan Proses sentral
Bayi (sejak lahir – 2 tahun) Timbal balik dengan pemberi perawatan
Masa Kanak-kanak (2 dan 3 tahuan) Imitasi
Awal usia sekolah (4-6 tahun) Identifikasi
Usia anak tanggung (6-12 tahun) Pendidikan
Masa remaja awal (12-18 tahun) Tekanan sebaya
Masa remaja akhir (18-24 tahun) Eksperimen / mencoba peran
Masa dewasa awal (24-34 tahun) Kebersamaan dengan teman-teman sebaya
Usia separuh baya (34-60 tahun) Penyesuaian dengan lingkungan dan
kreativitas
Dewasa akhir (60-75 tahun) Introspeksi
Usia lanjut (75 sampai meninggal) Dukungan sosial

E. Radius Relasi-relasi yang Signifikan


Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Prinsip kelima dari pengorganisasian teori psikososial adalah radius dari relasi-
relasi yang signifikan (Erikson 1982 dalam Newman& Newman, 2006). Selanjutnya
Newman Barbara M dan Newman Philip R menjelaskan prinsip radius relasi yang
signifikan seperti berikut. Usia terkait dengan keinginan-keinginan individu
dikomunikasikan melalui relasi-relasi sosial yang menonjol. Misalnya, hukum yang
mensyaratkan bahwa semua anak yang berusia 6 tahun bersekolah, tetapi kalau orang tua
menyekolahkan mereka. Undang-undang mengharuskan anak-anak berusia 16 tahun masih
harus bersekolah tapi apakah teman sebaya, guru-guru, orangtua-orangtua dan remaja-
remaja itu sendiri memiliki aspirasi yang mendorong mereka untuk melanjutkan sekolah?
Keinginan mendesak seseorang melalui elemen-elemen dunia sosial yang
membentuk sistem sosietal. Ego seseorang termasuk suatu sistem sosial yang berproses
yang adalah sensitif terhadap ekspektasi sosial. Pada awalnya, seseorang berfokus pada
sejumlah kecil relasi-relasi. Selama masa kanak-kanak , remaja dan dewasa awal, sejumlah
relasi berkembang, dan kualitas relasi bertambah besar variasinya pada kedalaman &
intensitasnya. Pada masa dewasa akhir, seseorang sering kembali ke sejumlah kecil relasi-
relasi penting secara ekstrim yang menyediakan kesempatan-kesempatan yang besar dan
mendalam, dan keintiman.
Pada setiap tahap kehidupan, jaringan relasi-relasi ini menentukan tuntutan-
tuntutan yang dibuat bagi seseorang, cara orang tersebut akan dirawat, dan makna yang
diperoleh dari relasi-relasi. Jaringan relasi bervariasi dari satu orang ke satu orang lain,
tetapi tiap orang memiliki satu jaringan relasi yang signifikan dan peningkatan kesiapan
untuk kehidupan sosial yang lebih rumit (Vanzetti & Duck, 1996 dalam Zastrow, 1999).
Kualitas relasi ini dan norma-norma interaksi dipengaruhi oleh hakekat/sifat dasar dari
konteks sosial yang spesifik.

KONTEKS PERKEMBANGAN

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Satu cara berpikir tentang dampak sistem sosial adalah untuk mempertimbangkan individu-
individu seperti melekatkan dalam suatu kaledoskop perubahan dan sistem yang saling
berkaitan. Anak-anak adalah anggota-anggota keluarga. Orangtua dan kelompok
komunitas yang dapat mempengaruhi keluarga. Sebagaimana mereka menjadi dewasa,
anak-anak mungkin menjadi anggota dari institusi-institusi lain seperti program-program
perawatan anak, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok agama, komunitas klub-klub atau
tim atletik. Komunitas terkonsentrasi di kota-kota, pedesaan, negara-negara dan bangsa-
bangsa. Pemahaman terhadap perkembangan mensyaratkan wawasan dalam setiap
tingkatan dari organisasi sosial sama seperti lintas budaya sebagai suatu keseluruhan.
Organisasi-organisasi ini mempengaruhi apa yang diharapkan dari setiap pribadi, peran
yang mereka mainkan, kegiatan yang mereka ikuti, sumber-sumber yang tersedia untuk
memenuhi harapan-harapan, dan resiko-resiko yang mereka hadapi.
Konteks perkembangan meliputi faktor-faktor sosial, ekonomi dan sejarah.
Kejadian-kejadian seperti perang, revolusi politik, kelaparan, atau keruntuhan ekonomi
mungkin secara temporer mengubah pemberlakuan nilai-nilai pengasuhan anak,
kesempatan-kesempatan terhadap pendidikan, pekerjaan, dan ketersediaan sumber-
sumber. Selanjutnya, kejadian-kejadian ini mungkin meningkatkan pembukaan terhadap
kekerasan dan perpisahan anggota-anggota keluarga atau menyediakan pembukaan
terhadap stressor-stressor lain yang tidak terduga yang mungkin mengganggu daur
perkembangan. Keluarga, kultur dan kelompok etnik adalah tiga konteks utama melalui
mana radius relasi-relasi signifikan terorganisasikan.

Keluarga
Di seluruh dunia, anak-anak dibesarkan oleh kelompok kecil atau keluarga.
Keluarga adalah konteks sosial primer yang universal bagi kanak-kanak. Keluarga terus
menjadi konteks yang berarti sepanjang kehidupan, terutama seperti yang kita pikirkan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
tentang relasi orang-orang dewasa dengan orangtuanya yang lanjut usia, formasi keluarga-
keluarga baru dan masa dewasa, hubungan-hubungan sepanjang hidup diantara saudara-
saudara kandung. Secara historis, istilah keluarga telah merujuk pada sekelompok orang,
biasanya yang memiliki hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Pengertian psikososial
dari keluarga terus didefinisikan sebagai inidividu-individu yang berbagi untung/nasib
bersama dan yang mengalami perasaan keakraban emosi. Orang-orang dalam keluarga
peduli terhadap satu sama lain dan mengurus satu sama lainnya (McKenry & Price,2000
dalam Newman-Newman, 2006)

Kultur
Budaya merujuk kepada cara-cara berpikir, perasaan dan tindakan anggota masyarakat
yang terstandarisasi secara sosial (Thomas, 1999 dalam Newman & Newman,2006).
Selanjutnya, Newman Barbara M dan Newman Philip R menjelaskan bahwa budaya/kultur
meliputi konsep-konsep, kebiasaan-kebiasaan, keterampilan-keterampilan, seni-seni,
teknologi, agama dan pemerintahan. Hal ini meliputi juga peralatan dan sistem simbol yang
memberikan struktur dan arti terhadap pengalaman. Berkaitan dengan perkembangan
manusia, kultur memiliki teori yang implisit tentang tahap-tahap kehidupan, harapan-
harapan bagi perilaku-perilaku sebagai orang dewasa, dan hakekat kewajiban seseorang
terhadap anggota-anggota kelompok-kelompok budaya yang lebih tua dan lebih muda.
Suatu budaya sangat mempengaruhi secara langsung melalui keluarga dan juga melalui
organisasi sosial seperti gereja dan sekolah.

Kelompok-kelompok etnik
Sub-kultur mempengaruhi setiap orang yang bertumbuh atau tinggal dalam jangka waktu
yang lama di suatu lingkungan yang menekan dan membentuk kehidupan sehari-hari anak-
anak dan orang-orang dewasa. Suatu masyarakat terbentuk dari beragam kultur dari

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
berbagai dunia yang disebut sub-kultur. Orang-orang yang menjadi bagian dari suatu sub-
kultur berbagi cara-cara berpikir, berperasaan, dan bertindak yang terstandarisasi secara
sosial dengan anggota lain dalam kelompoknya.

BAB III
KONSELING DAN TERAPI PSIKOSOSIAL

A. PENGERTIAN KONSELING DAN TERAPI PSIKOSOSIAL


1. Konseling
Konseling adalah proses di mana seorang profesional terlatih memberikan
dukungan dan pedoman pada orang lain dalam sebuah tatanan individu atau kelompok.
Konseling menyediakan sebuah bentuk bantuan ketika seseorang mengalami tekanan
dalam kehidupan mereka, setelah kejadian-kejadian hidup traumatis seperti
pengangguran atau ditinggal mati oleh orang terdekat, atau setelah kejadian-kejadian
umum-contohnya, pernikahan yang tidak bahagia, masalah-masalah kemiskinan atau
tempat tinggal. Konseling juga meliputi pemberian nasihat, seperti dalam pedoman-
pedoman karir atau pedoman bagi Departemen Penasihat Penduduk. Walaupun
demikian, di samping pengunaan istilah baru tersebut, inti dari makna terbarunya
adalah memudahkan orang yang berkonsultasi untuk memegang kendali kehidupan
mereka pribadi melalui pemahaman yang lebih besar dan sebuah penilaian realistik
pengalaman emosional dan interpersonal. Konseling adalah sebuah bidang yang
meluas dengan amat cepat dan menjadi terprofesionalisasi. (The British Association of
Counselling dalam Thomas Martin dan Pierson John. 1999).

2. Terapi psikososial

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Kata terapi sringkali digunakan dalam bidang medis dan dalam konseling. Kata ini
sering dipakai secara bergantian dengan kata psikoterapi dan secara umum merujuk pada
pada suatu proses korektif dan kuratif/penyembuhan. Sedangkan psikososial adalah
dimensi sosial dari perkembangan kepribadian menurut E.Erikson.Teori ini
menggabungkan terori Freud tentang psikoseksual dengan tekanan-tekanan sosial
sepanjang tahap kehidupan dan melahirkan teori tentang krisis sepanjang perkembangan
pribadi (Andi Mappiare A.T:2006). Seperti yang telah dikatakan oleh Mappiare bahwa
istilah terapi sering ditukar pakai dengan istilah psikoterapi maka penulis menegaskan
bahwa makna dari terapi dan psikoterapi adalah sama.
Selanjutnya, menurut Collins Educational psikoterapi adalah pendekatan psikologi
secara sistematis yang dilakukan seorang terapis untuk menolong orang-orang yang
menderita masalah-masalah kesehatan mental,kesulitan melakukan hubungan/relasi,
permasalahan perilaku dan permasalahan kehidupan. Pekerja sosial, konselor,psikolog,
psikiater dan profesional di bidang medis dapat menjadi psikoterapis. Praktik
psikoterapi/terapi ini dapat dilakukan secara langsung bagi individu, keluarga dan
kelompok.
Karena praktik konseling dan terapi psikososial adalah bagian dari intervensi pekerjaan
sosial secara langsung kepada individu, keluarga dan kelompok, maka terapi psikososial
dapat disefenisikan sebagai praktik pertolongan korektif dan kuratif untuk menolong
individu, keluarga dan kelompok yang mengalami gangguan kesehatan mental, kesulitan
melakukan hubungan/relasi, permasalahan perilaku dan permasalahan kehidupan agar
dapat melaksanakan keberfungsian sosialnya secara memadai.

B. PENDEKATAN-PENDEKATAN KONSELING DAN TERAPI PSIKOSOSIAL


Zastrow (1999), menjelaskan sebelas pendekatan dalam konseling dan terapi
psikososial dengan mengutip berbagai penulis, yaitu; terapi berpusat pada klien,

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
perilaku, perpspektif feminis, tritmen spesifik prominen, realitas, rasional,
psikoanalisis, transaksional, program neuro linguistic, dan terapi & konseling seks.
Pada bagian ini penulis membatasi deskripsi pada enam pendekatan/perspektif yaitu;
terapi berpusat pada klien, perilaku, terapi berdasarkan perspekif feminis, realitas,
rasional dan program neuro linguistik.

1. TERAPI YANG BERPUSAT PADA KLIEN


Seorang pekerja sosial yang efektif harus memiliki pengetahuan teori-teori
konseling yang komperhensif dan teknik-teknik yang terspesialisasi untuk secara persis
mendiagnosa masalah-masalah apa saja yang ada secara tepat dan bagaimana untuk
melakukan intervensi secara efektif. Terdapat sejumlah pendekatan konseling
kontemporer yang komperhensif, termasuk psikoanalisis, terapi yang berpusat pada
klien, terapi rasional, modifikasi perilaku, intervensi feminis, terapi realitas, dan analisa
transaksional. Pendekatan-pendekatan terapi ini pada umumnya menampilkan materi
teoritis pada (1) teori kepribadian, atau bagaimana perkembangan psikososial terjadi;
(2) patologi perilaku, atau bagaimana masalah-masalah emosional dan perilaku
muncul; dan (3) terapi, atau bagaimana mengubah masalah-masalah emosional dan
behavioral.
Seorang konselor yang efektif pada umumnya mengetahui beberapa pendekatan
tritmen dan, bergantung pada serangkaian masalah unik yang ditampilkan oleh klien,
mampu mengambil dan memilih dari sebuah “ tas tipuan” strategi intervensi yang
cenderung memiliki kemungkinan keberhasilan yang tinggi. Sebagai tambahan pada
pendekatan-pendekatan konseling komperhensif, terdapat sejumlah teknik tritmen
terspesialisasikan bagi msalah-masalah spesifik: pelatihan keasertifan bagi orang-
orang yang malu atau agresif secara berlebihan, pelatihan relaksasi otot bagi orang-
orang yang mengalami stres atau mengalami stres yang berkaitan dengan masalah-

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
masalah, dan pelatihan efektifitas bagi orang tua dan anak yang mengalami kesulitan-
kesulitan hubungan. Seorang pekerja sosial yang efektif bertujuan untuk memperoleh
suatu pengetahuan kerja tentang berbagai teknik-teknik terapi yang luas untuk
meningkatkan kemungkinan-kemungkinan menjadi mampu untuk menolong klien.
Secara praktis tidak mungkin bagi seorang pekerja sosial untuk memperoleh suatu
pengetahuan kerja tentang semua pendekatan intervensi yang komprehensif dan dan
spesialis yang tersedia.

Penemu dan Konsep inti terapi berpusat pada klien


Carl Rogers adalah penemu terapi berpusat pada klien. Ia dilahirkan di Oak Park,
Illinois pada tahun 1902. Ia mendapatkan gelar doktor dalam psikologi klinis pada
tahun 1931 dari Universitas Columbia-New York. Kemudian ia bekerja di sebuah
klinik bimbingan komunitas di Rochester, New York selama 12 tahun. Pekerjaannya
adalah mendiagnosis dan membuat rencana tritmen untuk anak-anak nakal dan yang
serba kekurangan yang dirujuk oleh pengadilan dan lembaga-lembaga pelayanan.
Selama bekerja di klinik tersebut ia terekspos untuk sejumlah keragaman pendekatan
terapi termasuk psikoanalisis dan pendekatan fungsional.
Pandangan-padangan Rogers telah menemukan jalan ke bidang psikiatri, psikologi,
pekerjaan sosial dan konseling bimbingan. Kontribusinya terhadap psikoterapi adalah
mungkin sangat patut diperhatikan dalam menggambarkan tipe relasi diantara terapis
dan klien yang kondusif untuk perubahan-perubahan terapeutik yang positif.
Penekanannya pada konsep-konsep seperti sikap “ empati, tidak menghakimi,
penerimaan dan atmosfir tidak mengancam” adalah lazim dalam literatur pekerjaan
sosial.
Rogers adalah figur dunia dalam pendekaan-pendekatan humanistis terhadap
terapi. Karena ia terlibat dalam usaha untuk menginspirasikan perubahan dalam urusan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pendidikan dan perkawinan agar menjadi humanis. Aliran humanistik adalah suatu
filosofi yang menekankan pada harkat dan martabat dan kapasitas orang untuk
merealisasikan diri.
Meador dan Rogers (1979) dalam Zastrow (1999) mengatakan bahwa hipotesis
sentral dari terapi berpusat pada klien adalah:
“Potensi pertumbuhan dari individu manapun akan cenderung untuk
direalisasikan dalam suatu hubungan dimana pribadi penolong pada saat itu
mengalami dan mengkomunikasikan kenyataan, kepedulian, dan suatu
pemahaman yang sangat sensitif dan bersifat tidak menghakimi.
Selanjutnya, teori dasar dari terapi berpusat pada klien dapat dikemukakan
secara sederhana dalam bentuk hipotesa “ jika mereka” Bila kondisi
tertentu muncul dalam sikap-sikap seseorang yang menandakan “ terapis”
dalam suatu hubungan, yakni; harmoni, hal positif, pemahaman empatik,
kemudian perubahan pesat akan terjadi pada orang yang disebut “ klien.”

Untuk memahami terapi berpusat pada klien, maka penting untuk memahami
istilah-istilah tertentu yang digunakan oleh Rogers. Terapi berpusat pada klien benar-
benar didasarkan pada asumsi bahwa tiap orang mempunyai motif untuk
mengaktualisasikan diri. Motif ini didefinisikan sebagai tendensi/kecenderungan yang
melekat pada tiap orang dan organisma untuk mengembangkan kapasitas-kapasitas
dalam cara-cara yang memelihara atau meningkatkan seseorang (Rogers,1959 dalam
Zastrow,1999). Apabila motif yang dimaksud tidak muncul maka fokus utama terapi
berpusat pada klien adalah pada non-direktif yang akan diajukan dalam pertanyaan.
Rogers mempercayai bahwa seorang terapis tidak seharusnya membuat saran-saran
atau interpretasi-interpretasi dalam terapi, karena motif yang diaktualisasikan akan
menjadi petunjuk terbaik bagi klien. Jika motif ini tidak muncul maka tidak alasan bagi
seorang terapis untuk menjadi nondirektif.
Berbeda dengan Freud, yang memandang sifat dasar manusia sebagai kejahatan,
yaitu bersifat immoral, insting asosial, Rogers memandang sifat dasar manusia sebagai
sifat yang baik. Kemudian Rogers juga meyakini bahwa jika seseorang secara relatif
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
tetap bebas dari usaha-usaha orang lain untuk mempengaruhinya, maka motif
aktualisasi diri orang tersebut akan menuntunnya untuk menjadi orang yang memiliki
sifat sosial, kerjasama, kreatif, dan memimpin diri sendiri.
Berikut ini adalah definisi-definisi tentang konsep-konsep inti dalam terapi
berpusat pada klien.
Konsep diri (self concept) adalah konsepsi seseorang mengenai siapa dirinya
Diri ideal (ideal self) konsep diri yang seseorang ingin miliki, apa yang orang ingin
menjadi seperti.
Ketidaksesuaian antara diri dan pengalaman (Incongruence between self and
experience)-ketidakcocokan yang muncul diantara konsep diri seseorang dan apa ia
alami. Misalnya, seseorang mungkin memahami dirinya sendiri sebagai orang yang
ramah, menarik, dan berjiwa sosial, tetapi ketika ia bersama orang lain, ia mungkin
banyak kali merasa diabaikan. Ketika ketidakseuaian seperti ini muncul orang tersebut
merasa tertekan, bingung dengan diri sendiri, dan cemas.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri secara psikologis (psychological
maladjustment) adalah kondisi dimana seseorang menolak atau mengalami distorsi
kesadaran diri, pengalaman-pengalaman yang signifikan. Orang yang mengalami
ketidakmampuan menyesuaikan diri secara psikologis mempunyai ketidakharmonisan
antara diri sendiri dan pengalaman.
Kesesuaian. Kesesuaian diri dan pengalaman (congruence, congruence of self and
experience) adalah kondisi dimana konsep seseorang tentang dirinya konsisten dengan
apa yang ia alami.
Kebutuhan akan penghargaan yang positif (need for positive regards) adalah
kebutuhan untuk dihargai dan dihormati oleh orang lain.
Kebutuhan untuk diharagai oleh diri sendiri (need of self regard) adalah kebutuhan
untuk menghargai diri sendiri.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Syarat-syarat perasaan berharga (conditions of worth) berasal dari penyatuan ego
dari konsep mental seseorang dengan obyek pada tingkatan menjadi emosional
(introjection) terhadap nilai-nilai orang lain yang tidak konsisten dengan motif
aktualisasi diri seseorang. Seseorang memiliki syarat-syarat perasaan bernilai ketika ia
merasakan harga diri sebagai seseorang yang dinilai secara bersyarat pada perilaku-
perilaku tertentu. Perilaku-perilaku yang ia rasakan dinilai rendah akan dihindarinya.
Akibatnya, beberapa perilaku yang tidak dialami secara aktual secara memuaskan,
dihargai secara positif; sedangkan perilaku-perilaku lain yang dirasakan tidak
memuaskan dinilai secara negatif. Berbeda dengan istilah syarat-syarat untuk menjadi
berharga (conditions of worth) mungkin berkonotasi seperti apa yang disebut Rogers
bahwa secara psikologis adalah tidak sehat bagi seseorang untuk memiliki syarat-syarat
bagi perasaan berharga.
Empati (empathy) adalah kapasitas untuk memperoleh kerangka acuan internal tentang
orang lain dengan keakuratan seolah-olah seseorang telah menjadi orang lain.
Misalnya, untuk merasakan keperihan atau kepuasaan dari orang lain sebagaimana
orang tersebut merasakan. Juga melibatkan kapasitas untuk menyampaikan kepada
orang lain bahwa anda sedang merasakan apa yang orang tersebut sedang rasakan.
Penghargaan positif tanpa syarat – untuk merasakan penghargaan positif terhadap
orang lain tanpa syarat; untuk “ memuji” orang tersebut. Ini berarti untuk menilai
orang lain, irespektif akan perbedaan-perbedaan nilai-nilai yang seseorang mungkin
ditempatkan pada perilaku-perilaku spesifiknya. Dalam terapi sikap ini terlepas dari
keyakinan terapis dalam kearifan diri sendiri tentang motif aktualisasi diri, yang
mengungkapkan bahwa klien adalah pihak yang terbaik untuk memutuskan rangkaian
tindakan apa yang paling menguntungkan. Memperlihatkan penghargaan diri yang
positif tanpa syarat ditujukan untuk mengkomunikasikan respek kehangatan,

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
penerimaan, perasaan, kepedulian dan keprihatinan terhadap klien, semua yang tanpa
syarat pada apa yang klien ucapkan dan lakukan.
Ketulusan atau kesesuaian terapis (genuineness or congruence of therapist) –
seorang terapis menjadi dirinya sendiri dalam relasi terapeutik. Untuk menjadi tulus
dan harmoni, terapis harus melihat dirinya sendiri secara pribadi yang sedang
mengalami dan membiarkan kualitas pengalaman dalam diri untuk menjadi nyata
dalam relasi terapeutik. Meador dan Rogers (1979) dalam Zastrow (1999), menegaskan
bahwa :
“Harmoni dalam diri terapis sendiri adalah perasaannya dan laporan
tentang pengalaman yang dirasakan dirinya sendiri sebagaimana ia
berinteraksi dalam relasinya. Terapis mempercayai respon
organismiknya sendiri dalam situasi dan menyampaikan perasaan-
perasaannya yang secara intuitif percaya bahwa hal ini memiliki
relevansi dalam relasinya”

Menjadi tulus dan harmoni adalah menjadi “ nyata” dalam berelasi; adalah
ketiadaan kepura-puraan dan pembelaan diri (phoniness & defensiveness). Menjadi
tulus berarti terapi tidak memakai kedok profesional atau menyembunyikan
kelemahan.

Teori tentang terapi


Terapi berpusat pada klien mengatakan bahwa terdapat tiga sikap terapis dan
syarat-syarat yang memadai berikut ini adalah penting untuk mempengaruhi perubahan
dalam diri klien, yaitu; empati, penghargaan positif, dan ketulusan atau harmoni.
Diteoritisasikan bahwa apapun yang ditunjukan ahli terapi tentang tiga perilaku
terhadap seorang klien, potensi yang mengaktualisasi dalam klien akan berubah dan
bertumbuh.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Empati adalah sebuah kapasitas ahli terapi “ untuk menaruh dirinya sendiri dalam
posisi-posisi” klien sehingga ahli terapi yang bersangkutan mampu memahami apa
yang dirasakan dan dipikirkan klien. Empati juga meliputi pengkomunikasian
pemahaman ini pada klien.
Rujukan positif nonkondisional memiliki arti bahwa ahli terapi secara utuh
memahami klien dan menyatakan sebuah perhatian tulus bagi klien. Hal yang terliput
dalam rujukan positif adalah sebuah perilaku yang tidak menghakimi. Juga, ahli terapi
tidak mengekspresikan persetujuan atau ketidaksetujuan, tidak membuat penfasiran-
penfasiran, dan tidak mengamati hal-hal yang tidak dibutuhkan. Ahli terapi
menyatakan bahwa ia secara utuh mempercayai sumber-sumber daya klien untuk
meningkatkan pemahaman diri dan perubahan positif. Dengan perilaku ini klien yang
bersangkutan dapat membuat kesimpulan (Meador and Rogers, 1979, hal. 152): “ Di
sini ada seseorang yang berulang kali memberitahu saya dalam sebuah atau lain cara
dalam proses pertumbuhan. Mungkin saya bisa mulai mempercayai diri saya sendiri” .
Ketulusan atau kongruensi adalah kapasitas terapi untuk “ mempercayai reaksi-
reaksi tulang rusuknya” , dan kemudian menyatakan perasaan-perasaan atau reaksi-
reaksi tersebut yang diyakini ahli terapi untuk memiliki relevansi dalam hubungan.
Keinginan untuk menjadi nyata dan untuk mengungkapkan apa yang ia pikirkan dan
rasakan ini memberikan klien sebuah dasar realitas yang dapat dipercayai klien. Hal
tersebut juga menghilangkan beberapa resiko dalam membagikan resiko dengan orang
lain.
Bagi Rogers sifat alami hubungan antara klien dan ahli terapi tampak sebagai
variabel kunci dalam menghasilkan perubahan-perubahan positif. Rogers (1961)
menyatakan:
“ Semakin ahli terapi yang bersangkutan dianggap oleh klien untuk
bersikap tulus, memiliki pemahaman empatik, dan sebuah rujukan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
nonkondisional baginya, maka tingkat perubahan kepribadian akan semakin
tinggi dalam diri klien. (hal. 32).

Rogers mengindikasikan bahwa terdapat dua kondisi yang penting sebelum terapi
dapat terjadi. Pertama, klien harus merasa tidak nyaman atau gelisah karena
inkongruensi-inkongruensi antara diri dan pengalaman-pengalaman. (Terapi yang
berpusat pada klien tidak akan bekerja dengan baik dengan para klien yang menyangkal
bahwa ia memiliki masalah atau yang tidak termotivasi untuk berubah). Kedua, seorang
ahli terapi harus menciptakan sebuah atmosfir yang tidak mengancam di mana klien
yang bersangkutan merasa bahwa dirinya secara utuh diterima dan dipahami dan bahwa
ahli terapi secara tulus peduli dengan klien yang bersangkutan.
Dalam hubungan tersebut seorang klien merasa bebas (mungkin untuk pertama
kalinya) untuk mengeksplor inkongruensi-inkongruensi antara diri dan pengalaman-
pengalaman. (Contohnya, seorang klien mulai menguji inkonsistensi bahwa seks
merupakan sesuatu yang penuh dosa sementara secara alamiah pengalamannya
tidaklah demikian). Klien kemudian secara langsung menyadari bahwa terdapat
inkongruensi. Klien mulai menguji inkongruensi ini dan berpikir tentang makna apa
yang timbul jika nilai-nilai lain dipegang (contohnya, memiliki sebuah nilai bahwa
pengalaman-pengalaman seks yang bertanggungjawab adalah hal yang diinginkan).
Selama proses ini klien yang bersangkutan biasanya mengalami perasaan-perasaan
yang disangkal, ditekan, atau disimpan dari kesadaran pada masa lalu. (Serupa dengan
Freud, Rogers meyakini bahwa orang dalam terapi harus menjadi mawas akan
perasaan-perasaan dan ide-ide dan menghadapi mereka dalam bagian dari pikiran
sadar). Bahkan dan ketika hal ini terjadi, konsep diri diatur kembali untuk meliputi
pengalaman-pengalaman tersebut yang pada masa lalu telah disimpan dari kesadaran.
Sebagai tambahan, konsep seseorang akan diri menjadi semakin kongruen dengan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pengalaman-pengalaman seseorang dan juga lebih konsisten dengan proses-proses
aktualiasasi diri.
Peran ahli terapi secara terbaik dikarakterisasikan sebagai nondirektif. Ahli terapi
menciptakan sebuah atmosfir psikologis yang permisif, tidak mengancam di mana
klien merasa diterima dan merasa bebas untuk mengeksplor pembelaan-pembelaan
dirinya dan inkongruensi-inkongruensi antara diri dan pengalaman-pengalaman. Jika
pertumbuhan individu yang bersangkutan akan terjadi, maka dinyatakan bahwa setiap
orang harus mengasumsikan tanggungjawab bagi tindakan-tindakan, keputusan-
keputusan, dan perilakunya. Perubahan yang signifikan dan bertahan lama, seperti yang
dinyatakan Rogers, harus dimulai dari diri sendiri. Maka dari itu, tanggungjawab yang
sempurna bagi arah sesi-sesi tritmen berada dalam diri klien. Seorang ahli terapi yang
berpusat pada klien tidak membawa subjek-subjek apapun untuk dibahas, memberikan
nasihat, membuat penafsiran-penafsiran, atau memberikan saran-saran. Motif
aktualisasi diri seseorang secara terbaik mengetahui tindakan apa yang harus diambil
seseorang, dan maka dari itu fokus terapi yang berpusat pada klien adalah untuk
menolong klien mendapatkan pengamatan pada nilai-nilai yang tidak konsisten dengan
motif ini, dan kemudian untuk membiarkan proses-proses aktualisasi diri untuk
mengambil keputusan-keputusan dan menentukan arahan-arahan di masa depan.
Selama terapi seorang ahli terapi yang berpusat pada klien berusaha untuk
menolong klien yang bersangkutan mengklarifikasikan pikiran-pikiran dan perasaan-
perasaan personal. Tiga tipe pernyataan secara utama, dan secara berkelanjutan,
digunakan dalam wawancara: klarifikasi atau refleksi perasaan, pernyataan konten
kembali, dan penerimaan sederhana.

Klarifikasi atau Refleksi Perasaan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Contohnya, jika seorang klien memulai sebuah wawancara dengan membuat
pernyataan-pernyataan kritis tentang bosnya, istrinya, dan cuaca, ahli terapi dapat
menolong klien tersebut untuk memahami dengan lebih baik apa yang dirasakannya
dengan mengatakan sesuatu seperti “ Anda terlihat marah hari ini” atau “ Anda benar-
benar kesal terhadap sesuatu hari ini” .
Ketika para ahli terapi yang berpusat pada klien mencerminkan perasaan-perasaan,
terkadang mereka menambahkan pada refleksi mereka dengan mengungkapkan
perasaan-perasaan mereka sendiri pada saat itu, seperti yang diindikasikan pada kutipan
ini (Meador & Rogers, 1979, hal. 157):
Klien : Saya merasa bahwa saya tidak dapat ditolong.
Ahli terapi : Hah? Rasanya seperti anda tidak dapat ditolong. Saya tahu, Anda
merasa benar-benar tidak berpengharapan tentang diri anda sendiri. Saya bisa
memahami hal itu. Saya tidak merasa tidak berpengharapan, namun saya bisa
merasakan bahwa anda memang demikian. Hanya merasa bahwa tidak ada seorangpun
yang dapat menolong anda dan anda benar-benar tidak dapat ditolong.
Fokus seorang ahli terapi dalam merefleksikan perasaan-perasaan bukanlah untuk
mengulangi perasaan-perasaan yang diungkapkan oleh klien namun untuk
mencerminkan intensitas dan makna-makna mereka (yakni, bagaimana klien
merasakan) tentang perasaan-perasaan yang ia ungkapkan.

Pernyataan Kembali tentang Isi/konten


Contohnya, jika seorang istri mengomel selama 20 menit tentang bagaimana
suaminya tidak mendukung keluarga, tidak menunjukan afeksi, dan seringkali menjadi
terpengaruhi, ahli terapi dapat mengatakan, “ Anda merasa cukup tidak senang dengan
cara suami anda memperlakukan anda dan anak-anak” -di mana dirancang untuk
menolong sang istri mengambil sebuah sudut pandang secara keseluruhan pada

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pernikahannya. Fokus seorang ahli terapi dalam menyatakan konten kembali adalah
untuk mengungkapkan pada klien pandangan ahli terapi akan makna-makna konten
yang sedang diungkapkan oleh klien yang bersangkutan.

Penerimaan Sederhana
Contohnya, ahli terapi dapat menanggapi dengan menggunakan “ Saya mengerti”
atau “ M-hm” pada sesuatu yang telah dikatakan klien, dengan kata-kata ahli terapi
dalam sebuah nada yang menunjukan bahwa ahli terapi tersebut memahami dan secara
utuh menerima apa yang telah dikatakan klien.
Tujuan teoritis akan terapi tersebut adalah untuk klien berfungsi secara utuh.
Seseorang yang berfungsi secara keseluruhan adalah seorang individu yang telah
memiliki kedewasaan yang telah mencapai kongruensi, dan juga, mengalami
penyesuaian secara psikologis. Individu ini bukan berada dalam sebuah keadaan statis
namun adalah seseorang yang berada dalam proses, seseorang yang secara
berkelanjutan berubah (Rogers, 1959). Terapi membebaskan para klien dari
pembelajaran mereka yang keliru sehingga mereka dapat menjadi apa yang mereka
pahami secara mendalam. Ini bukanlah untuk mengatakan bahwa terapi akan
menghasilkan seseorang yang mengalami penyesuaian secara optimal
Rogers meyakini bahwa sebagian besar orang tidak sepenuhnya melaksanakan
keberfungsiannya secara ideal bahkan ketika sudah diberikan terapi ekstensifpun.
Karakteristik-karakteristik orang yang berfungsi secara utuh adalah:
 Terbuka bagi semua pengalaman
 Tidak menggunakan pembelaan-pembelaan untuk mendistorsi atau
menyangkal pengalaman-pengalaman
 Memiliki konsep diri yang kongruen dengan pengalaman-pengalaman

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
 Memiliki sebuah fokus evaluasi; bahwa ia menentukan pilihan-pilihan apa
yang baik, dan keputusan-keputusan ini didasarkan pada apa yang diinginkan dan yang
tidak diinginkan daripada pada apa yang dikatakan orang lain.
 Memiliki rujukan positif non kondisional bagi diri sendiri
 Menikmati orang lain karena rujukan diri positif yang resiprokaltimbal
balik
 Pada umumnya adalah efektif secara sosial dan disetujui oleh orang lain
yang penting

Evaluasi
Rogers dapat dipuji karena kontribusi yang diberikannya dalam mengartikulasi
komponen-komponen hubungan terapi. Ia telah menekankan pentingnya konsep-
konsep inti ini dalam membangun sebuah hubungan yang menolong: atmosfir yang
tidak mengancam, sikap yang tidak menghakimi, empati, ketulusan, rujukan positif non
kondisional, dan klien sebagai penyelesai masalah. Rogers juga telah mengembangkan
teknik-teknik meliputi tanggapan-tanggapan ahli terapi yang telah memfasilitasi
perkembangan sebuah hubungan konstruktif: klarifikasi (atau refleksi) perasaan,
pernyataan kembali konten, dan penerimaan sederhana. Hubungan antara pekerja sosial
dengan klien yang bersangkutan, secara parsial disebabkan oleh penekanan Rogers,
telah diatur kembali sebagai sebuah batu loncatan praktik pekerjaan sosial (Simon,
1970).
Zastrow (1999) mengulas tinjauan Fischer (1978:207), mengenai sejumlah besar
studi-studi yang dilakukan pada tiga perilaku yang dihipotesiskan oleh Rogers sebagai
hal yang penting dan merupakan kondisi-kondisi sufisien untuk menghasilkan
perubahan-perubahan positif dalam diri para klien terkait tiga sikap yaitu sikap akan
empati, ketulusan, dan rujukan positif atau kehangatan. Ia menyimpulkan:

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
“Penemuan-penemuan dari studi ini amat konsisten. Dengan ditanggapi
bersama, penelitian ini dengan kuat mendukung pandangan bahwa tingkat
empati, kehangatan, dan ketulusan dan keterampilan-keteranpilan pribadi ahli
terapi atau penolong yang berkaitan pada perubahan positif dalam
keberfungsian pribadi dan sosial klien. Para praktisi yang secara relatif
memiliki kemampuan tinggi pada kondisi-kondisi inti dari pertolongan
interpersonal cenderung menjadi para praktisi yang efektif. Penemuan-
penemuan ini cocok dengan berbagai tipe praktisi terlepas dari pelatihan, latar
belakang, atau orientasi teoritis.”

Penemuan-penemuan ini secara dramatis menyatakan bahwa, terlepas dari orientasi


teoritis seorang konselor, sebuah hasil konseling yang berhasil amat bergantung pada
pernyataan empati, kehangatan, dan ketulusan!
Rogers juga dipercaya untuk penekanan pentingnya studi-studi evaluasi. Terapi
yang berpusat pada klien adalah salah satu pendekatan yang paling ekstensif pada
konseling (Prochaska, 1979).
Di samping kekuatan-kekuatan ini terdapat beberapa batasan dalam terapi yang
berpusat pada klien:
1. Eysenck (1965) meninjau kembali hasil studi-studi yang dilakukan pada
keefektifan pendekatan-pendekatan psikoterapi kontemporer, termasuk terapi yang
berpusat pada klien. Hasil-hasil yang ada tidak mendorong terapi yang berpusat pada
klien, karena studi-studi pendekatan ini gagal untuk mendemonstrasikan bahwa para
klien yang menerima terapi ini akan mengalami perbaikan pada sebuah tingkat yang
lebih tinggi daripada kelompok-kelompok kendali yang berisi orang-orang yang
mengalami masalah serupa. Walaupun hasil-hasil yang ada bersifat kompleks dan
merupakan subjek pada penafsiran-penfasiran yang berbeda, studi-studi pada
umumnya menunjukan sekitar dua pertiga dari para klien menerima “ penglihatan”
terhadap perbaikan konseling, di mana tingkat yang sama akan perbaikan bagi orang-
orang dengan masalah-masalah personal yang tidak menerima konseling apapun.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
(terapi yang berpusat pada klien merupakan sebuah pendekatan “ penglihatan” pada
konseling. Pendekatan-pendekatan penglihatan berusaha untuk meningkatkan
kemawasan dan pemahaman klien akan masalah-masalahnya, tanpa berfokus pada
cara-cara untuk menyelesaikan masalah-masalah ini.
Mengapa hal-hal ini merupakan hasil-hasil yang tidak mendorong? Hal tersebut
akan tampak bahwa walaupun pengembangan sebuah hubungan yang menolong dan
pertolongan untuk para klien guna mendapatkan penglihatan ke dalam masalah-
masalah mereka merupakan bagian-bagian penting bagi konseling, elemen-elemen ini
tidak mengkonstitusikan proses konseling secara keseluruhan. Para klien harus
mendapatkan sebuah pemahaman akan sifat alami dan penyebab-penyebab dari
masalah-masalah mereka, namun mereka juga harus dibuat mawas bahwa terdapat
berbagai tindakan yang dapat mereka ambil untuk menyelesaikan masalah. Para ahli
terapi yang berpusat pada klien tidak memberitahukan kepada para klien tentang
strategi-strategi resolusi masalah, karena mereka meyakini bahwa hal tersebut
merupakan tanggungjawab para klien untuk memikirkannya demi diri mereka sendiri.
Banyak ahli terapi lainnya, seperti Glasser (1965), telah menunjukan pentingnya untuk
memiliki konselor yang mengusulkan berbagai alternatif, untuk menolong para klien
mengeksplor hasil-hasil dan konsekuensi-konsekuensi dari berbagai alternatif tersebut,
dan kemudian menyuruh para klien membuat komitmen-komitmen (kontrak-kontrak)
untuk mencoba salah satu dari alternatif-alternatif ini.
Contoh-contoh tentang pentingnya pengeksploran berbagai alternatif didaftarkan
dengan mudah. Orang-orang yang mengalami depresi akan memahami mengapa
mereka mengalami hal demikian contohnya, patah hati namun hal terpenting adalah
dapat tidaknya individu mengetahui bagaimana menyelesaikan depresi tersebut.
Seseorang yang mengetahui bahwa ia memiliki masalah dengan minuman keras, atau
kecanduan pada obat-obatan narkotik, atau ia adalah seorang perokok beruntun dapat

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
menjadi tidak mawas terhadap berbagai program dan pendekatan-pendekatan untuk
menyelesaikan kecanduan-kecanduan tersebut. Seorang ibu yang mawas bahwa ia
adalah seorang ibu yang tidak efektif dapat menjadi tidak mawas akan apa yang dapat
ia lakukan untuk menjadi efektif. Seseorang yang memahami bahwa ia malu atau
agresif dapat tidak memiliki informasi tentang teknik-teknik pelatihan keasertifan yang
dapat ia gunakan untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara lebih efektif. Seseorang
yang memiliki sebuah fobia (contohnya, kegelisahan tes yang tinggi) mengetahui
bahwa terdapat sebuah masalah namun seringkali tidak mawas akan bagaimana
menyelesaikan ketakutan dan kegelisahan.
Walaupun empati, kehangatan, dan ketulusan dapat menjadi bagian-bagian
konseling yang esensial, Prochaska (1979, hal. 137) menandai bahwa Rogers “ tampak
bersikap terlalu jauh dan menyimpulkan bahwa syarat-syarat apa yang penting bagi
terapi agar berlanjut juga adalah syarat-syarat sufisien bagi terapi agar berhasil” .

2. Rogers dinyatakan bersikap non-direktif. Ia mengindikasikan bahwa


seorang ahli terapi tidak boleh menentukan topik-topik untuk dibahas, atau membuat
usul-usul, atau juga membuat penfasiran-penafsiran. Rogers meyakini bahwa arah
dalam sebuah wawancara harus merupakan tanggungjawab murni dari klien. Truax
(1966) mengatakan bahwa walaupun demikian, menunjukan bahwa terapi yang
berpusat pada klien memang secara langsung mengarahkan para klien dengan
komunikasi nonverbal (contohnya, dengan menunjukan kertertarikan yang lebih besar
dalam topik-topik tertentu) dan dengan secara selektif memilih topik manakah untuk
menanggapi (contohnya, melemahkan komunikasi lebih lanjut dengan tidak
mengatakan apapun ketika seorang klien berbicara tentang pekerjaannya, dan
mendorong komunikasi yang lebih lanjut tentang apa perasaannya tentang pasangan
hidupnya).

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
3. Terapi yang berpusat pada klien tidak memberikan banyak materi yang
berguna pada perkembangan kepribadian, atau pada bagaimana masalah-masalah
emosional dan behavioral muncul. Contohnya, teori tersebut tidak banyak menolong
dalam menjelaskan mengapa depresi, kesedihan, dan rasa malu muncul, atau mengapa
seorang individu dapat menunjukan masalah-masalah perilaku tersebut seperti
enuresis, masalah minum, perilaku agresif, dan tindakan-tindakan kejahatan atau
kekerasan.

4. Rogers berasumsi dengan penekanannya pada para ahli terapi dengan


menjadi “ tulus” terhadap para klien, bahwa para ahli terapi akan menyukai semua
klien mereka. (Akan menjadi hal yang sangat tidak terapeutik bagi seorang ahli terapi
untuk mengatakan, “ Anda tahu, saya benar-benar tidak menyukai anda” ). Pada
kenyataannya, akan sangat tidak mungkin bahwa seorang ahli terapi akan menyukai
semua klien, sebagaimana secara praktis setiap orang mengenal setidaknya sedikit
orang yang tidak ia sukai.

5. Prochaska (1979) memberikan sebuah penafsiran yang menarik tentang


terapi yang berpusat pada klien dari sebuah perspektif teori pembelajaran. Prochaska
menyatakan bahwa pengaruh apapun yang terjadi dari terapi ini terjadi setelah
kepunahan-yakni, dengan secara perlahan mengurangi kekhawatiran-kekhawatiran
klien dengan membuat klien berulang kali berbicara tentang kekhawatiran-
kekhawatirannya dalam sebuah lingkungan yang bebas dari konsekuensi-konsekuensi
positif atau negatif. Prochaska (1979) menuliskan:
“ Di bawah semua pernyataan retorik, Rogers sedang mengadvokasikan
sebuah tritmen yang tampaknya didasarkan pada sebuah bentuk kepunahan
yang kabur. Secara teoritis, tanggapan-tanggapan yang bermasalah
diasumsikan telah dikondisikan oleh cinta kontingen dan rujukan orang tua.
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Ahli terapi seharusnya memundurkan kembali proses tersebut dengan
membangun sebuah lingkungan belajar sosial, di mana tidak terdapat
kontingensi-kontingensi, tidak ada kondisi-kondisi bagi rujukan positif. Klien
yang bersangkutan dizinkan untuk terus berbicara tentang perilaku bermasalah
tanpa didorong atau dihukum. Selannjutnya ketiadaan kontingensi-kontingensi
mengarah pada kepunahan akan berbicara tentang masalah-masalah. Tentu saja,
kita tidak dapat menentukan paradigma dari kepunahan verbal ini sendiri akan
apakah klien yang bersangkutan baru saja telah berhenti berbicara tentang
masalah-masalah tersebut.
Namun mengapa kita bergantung pada kepunahan ketika hal tersebut tidak
perlu panjang dan dapat mengarah pada komplikasi-komplikasi seperti
pemulihan spontan akan tanggapan-tanggapan yang dibedakan? Secara lebih
lanjut, ketika hanya kepunahan digunakan, tidak terdapat cara apapun untuk
memberitahukan perilaku-perilaku baru manakah yang akan dipelajari dalam
posisi tanggapan-tanggapan maladaptif yang dibedakan” . (hal. 136).

Rangkuman
Terapi yang berpusat pada klien terutama dirumuskan oleh Carl Rogers
menyatakan bahwa pendekatan tersebut meyakini bahwa setiap orang memiliki sebuah
motivasi untuk aktualisasi diri. Kekuatan yang mengendalikan dalam perkembangan
kepribadian diteorisasikan sebagai motivasi aktualiasi diri, yang berusaha untuk secara
optimal mengembangkan kapasitas-kapasitas seseorang. Masalah-masalah emosional
dan behavioral diperkirakan berkembang dalam masa kanak-kanak ketika si anak
mengambil (menanggapi) nilai-nilai orang lain yang tidak konsisten dengan motif
aktualisasi dirinya. Pengambilan nilai-nilai yang tidak konsisten dengan motif
aktualisasi dirinya menyebabkan “ inkongruensi-inkongruensi” antara konsep diri
seseorang dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang. Ketika seseorang
mengalami inkongruensi-inkongruensi antara konsep diri seseorang dan
pengalamannya, orang yang bersangkutan akan merasakan tekanan, kegelisahan, dan
kebingungan internal. Seseorang akan menanggapi “ inkongruensi ini” dalam
berbagai cara. Salah satu caranya adalah menggunakan berbagai mekanisme
pembelaan diri. Seseorang akan menyangkal bahwa pengalaman-pengalaman yang
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
dialami berkonflik dengan konsep dirinya. Atau orang tersebut akan mendistorsikan
atau merasionalisasikan pengalaman-pengalaman sehingga mereka dapat dianggap
konsisten dengan konsep dirinya. Jika seseorang tidak mampu mengurangi
inkonsistensi-inkonsistensi dengan mekanisme-mekanisme pembelaan tersebut, orang
yang bersangkutan secara langsung dipaksa untuk mengalami inkongruensi-
inkongruensi dalam diri dan pengalaman-pengalaman yang akan mengarahkan orang
yang bersangkutan pada emosi-emosi yang tidak diinginkan (seperti kegelisahan,
tekanan, depresi, rasa bersalah, atau merasa malu). Jika seseorang memiliki tingkat
inkongruensi antara diri dan pengalaman-pengalaman tinggi yang tidak dapat dihadapi,
“ disorganisasi diri” pada umumnya terjadi (contohnya, gangguan psikotik).
Fokus dalam terapi adalah untuk menolong para klien menjadi mawas akan
inkongruensi-inkongruensi antara konsep dan pengalaman-pengalaman diri mereka.
ketika pengelihatan ini tercapai, motif aktualisasi diri menumbuhkan sebuah konsep
reorganisasi diri agar menjadi lebih kongruen dengan pengalaman-pengalaman yang
ada. Karena motivasi aktualisasi diri ini, para ahli terapi yang berpusat pada klien
adalah bersifat non direktif. Mereka bahkan tidak mengatakan pendekatan-pendekatan
resolusi pada para klien.
Terapi yang berpusat pada klien menyatakan bahwa tiga sikap ahli terapi
dibutuhkan dan kondisi-kondisi sufisien untuk mempengaruhi perubahan-perubahan
positif dalam diri para klien: empati, rujukan positif, dan ketulusan atau kongruensi.
Diteoritisasikan bahwa kapanpun seorang ahli terapi menunjukan tiga sikap ini pada
seorang klien, potensi aktualisasi klien akan mulai berubah dan bertumbuh. Selama
terapi, seorang ahli terapi yang berpusat pada klien berusaha menolong klien
mengklarifikasikan pikirannya terutama dengan menggunakan tiga tipe pernyataan:
klarifikasi atau refleksi perasaan, pernyataan konten kembali, dan penerimaan
sederhana.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Terapi yang berpusat pada klien telah memberikan kontribusi yang luar biasa dalam
mengidentifikasikan komponen-komponen hubungan terapis. Sebuah hasil pendekatan
ini menampakan bahwa para ahli terapi yang berpusat pada klien tidak mengusulkan
alternatif-alternatif yang dapat digunakan ketika para klien tidak mawas akan strategi-
strategi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan mereka.

2. TERAPI PERILAKU
Tidak ada seorang pun yang mendapat kredit akan perkembangan pendekatan-
pendekatan perilaku pada psikoterapi. Para ahli terapi psikoterapi memiliki keragaman
baik dalam teori maupun teknik. Asumsi utama sistem terapi ini adalah bahwa perilaku-
perilaku maladaptif secara utama didapatkan melalui pembelajaran dan dapat
dimodifikasikan melalui pembelajaran tambahan

Para Penemu
Berdasarkan sejarah, teori pembelajaran telah menjadi dasar filosofis bagi terapi
perilaku Sejumlah pakar otoritas telah mengembangkan teori-teori yang berbeda
tentang bagaimana orang belajar. Pavlov, seorang Rusia yang hidup antara tahun 1849
dan 1936, merupakan salah satu ahli teori pembelajaran awal. Ahli-ahli teori
pembelajaran lainnya antara lain E. L. Thorndike (1913), E. R. Guthrie (1935), C. L
Hull (1943), E. C. Tolman (1932), dan B. F. Skinner (1938).
Sejumlah besar ahli terapi perilaku telah mendaoat perhatian internasional untuk
mengembangkan pendekatan-pendekatan terapi berdasarkan prinsip-prinsip
pembelajaran. Beberapa dari ahli-ahli terapi ini adalah R. E. Alberti dan M. L. Emmons
(1970), A. Bandura (1969). B. F. Skinner (1948), J. B. Watson dan R. Rayner (1920),
dan J. Wolpe (1958).

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Di samping banyakya ragam dalam pendekatan-pendekatan dan teknik-teknik
terapi perilaku, terdapat beberapa penekanan umum. Salah satunya adalah perilaku
maladaptif (seperti mengompol di kasur) merupakan sebuah masalah dan harus diubah.
Pendekatan ini secara tajam berlawanan dengan pendekaran psikoanalisis yang
memandang perilaku problematik sebagai sebuah gejala dari beberapa penyebab-
penyebab yang tidak disadari. Psikoanalisis menyatakan bahwa penyebab-penyebab
tersebut harus ditangani untuk mencegah pergantian gejala-gejala baru atau
kembalinya gejala-gejala lama, namun para ahli terapi perilaku menyatakan bahwa
menangani perilaku bermasalah tidak akan menimbulkan pergantian gejala.
Sebuah penekanan umum lainnya dari para ahli terapi perilaku adalah pernyataan
bahwa pendekatan-pendekatan terapi harus diuji dan divalidasi oleh prosedur-prosedur
eksperimental yang cermat. Fokus tersebut membutuhkan tujuan-tujuan terapi
diartikulasikan dalam kebutuhan-kebutuhan behavioral sehingga dapat diukur.
Tingkat-tingkat dasar perilaku-perilaku problematik dibangun sebelum terapi
dilakukan untuk mengukur apakah pendekatan yang diterapkan menghasilkan
perubahan yang diinginkan dalam tingkat atau intensitas untuk merespon.
Penggunaan pendekatan-pendekatan terapi perilaku dalam konseling telah
meningkat secara dramatis dalam 30 tahun belakangan ini. Teknik-teknik intervensi
terapi perilaku sekarang merupakan teknik-teknik yang digunakan secara luas dalam
konseling dan psikoterapi (Wilson, 1989).
Di antara ahli-ahli terapi perilaku terdapat hanya sebagian kecil yang memberikan
perhatian terhadap perkembangan model perilaku behavioral. Para ahli perilaku pada
umumnya meyakini bahwa kondisi-kondisi atau pengalaman-pengalaman lingkungan
merupakan pengaruh yang lebih besar dalam mengendalikan perilaku daripada
pembawaan-pembawaan kepribadian internal.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Tipe-Tipe Proses Pembelajaran
Sebelum menampilkan teknik-teknik terapi perilaku yang penting, tiga tipe proses
pembelajaran utama-pengkondisian operant, pengkondisian responden, dan modeling-
yang dinyatakan oleh teori pembelajaran akan digambarkan dengan singkat.

Pengkondisian operant
Menurut teori pembelajaran, banyak dari perilaku manusia ditentukan oleh
penguat-penguat positif dan negatif. Sebuah penguat positif adalah stimulus apapun
yang, ketika diaplikasikan mengikuti sebuah perilaku, meningkatkan atau memperkuat
perilaku tersebut. Contoh-contoh umum meliputi makanan, air, seks, perhatian, kasih
sayang, dan persetujuan. Daftar penguat-penguat positif tidak akan habis dan amat
terindividualisasikan. Pujian, contohnya, merupakan sebuah penguatan positif ketika
itu, dan hanya ketika itu, ia memelihara atau meningkatkan perilaku di mana ia
berasosisasi (contohnya, upaya-upaya untuk memperbaiki keterampilan-keterampilan
menulis seseorang).
Sebuah sinonim bagi penguatan negatif adalah stimulus aversif. Sebuah penguat
negatif (atau stimulus aversif) adalah sitimulus apapun bahwa seseorang akan
mengakhiri atau menghindari jika diberikan kesempatan. Contoh-contoh umum
termasuk menggerutu, sengatan listrik, dan kritisisme. (Stimulus yang sama-
contohnya, aroma keju Limburger-dapat menjadi penguatan negatif bagi seseorang dan
sebuah penguatan negatif bagi orang lainnya).
Terdapat empat prinsip pembelajaran dasar yang meliputi stimulus penguat-
penguat positif dan aversif:
1. Jika sebuah penguat positif (contohnya, makanan) ditampilkan pada
seseorang mengikuti sebuah tanggapan, maka hasilnya adalah penegakan positif.
Dengan penguatan positif, terjadinya sebuah perilaku diperkuat atau ditingkatkan.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
2. Jika sebuah penguat positif ditarik mengikuti tanggapan seseorang, maka
hasilnya adalah hukuman.
3. Jika sebuah stimulus aversif (contohnya, sebuah sengatan listrik) diberikan
pada seseorang mengikuti sebuah tanggapan, maka hasilnya adalah hukuman. (Seperti
yang tampak, terdapat dua tipe hukuman).
4. Jika sebuah stimulus aversif ditarik mengikuti tanggapan seseorang, maka
hasilnya adalah penguatan negatif. Dalam penguatan negatif, sebuah tanggapan
(perilaku) mengalami peningkatan melalui pemindahan sebuah stimulus aversif
(contohnya, mengencangkan sabuk untuk mematikan sebuah alat berbunyi yang
mengganggu).
Secara singkat, penguatan-penguatan positif dan negatif meningkatkan perilaku,
dan hukuman menurunkan perilaku. Prinsip-prinsip pengkondisian operant digunakan
dalam beberapa teknik behavioral yang digambarkan dalam bab ini, termasuk pelatihan
keasertifan, penghargaan ekonomi, kontrak kontingensi, dan teknik-teknik aversif.

Pengkondisian Responden
Pembelajaran responden juga disebut sebagai pengkondisian klasik atau Pavlovian.
Beragam perilaku-perilaku sehari-hari dianggap sebagai perilaku-perilaku responden-
bernafas, menghasilkan ludah, dan, yang lebih penting, banyak kegelisahan, ketakutan,
dan phobia. Sebuah konsep kunci dalam pembelajaran responden adalah
“ penjodohan” , yakni, perilaku-perilaku yang dipelajari dengan secara konsisten
menjodohkan dengan perilaku-perilaku atau kejadian-kejadian lain sepanjang waktu.
Untuk menjelaskan pengkondisian responden, kita akan mulai mendefinsikan istilah-
istilah kunci berikut:
 Stimulus netral (Neutral Stimulus-NS): Sebuah stimulus yang menyatakan
sedikit tanggapan atau tidak ada tanggapan sama sekali.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
 Stimulus yang tak terkondisikan (Unconditioned Stimulus-UCS): Sebuah
tanggapan yang mendalam; contohnya, tanggapan menghasilkan ludah untuk makanan
dalam mulut.
 Tanggapan kondisional (Conditioned Response-CR): Sebuah tanggapan
baru yang telah dipelajari.
 Stimulus kondisional (Conditioned Stimulus-CS): Sebuah stimulus netral
asli yang, melalui penjodohan dengan stimulus nonkondisional, sekarang mulai
menunjukan sebuah tanggapan yang terkondisikan.
 Respon yang tidak diplejari (Unlearned or Innate Response-UR)m yaitu
sebuah respon yang muncul sebagai pembawaan lahir/respon alamiah. Misalnya,
mengeluarkan liur pada saat makanan berada di daslam mulut.
Pembelajaran responden menyatakan bahwa ketika sebuah stimulus netral (NS)
dijodohkan dengan sebuah stimulus yang non kondisional (UCS), stimulus netral akan
juga menunjukan sebuah tanggapan yang serupa dengan tanggapan yang ditunjukan
oleh UCS. Tanggapan baru tersebut disebut sebagai tanggapan kondisional (CR)
karena tanggapan ini telah dipelajari; stimulus netral asli, ketika ia mulai menunjukan
tanggapan, menjadi stimulus yang terkondisikan (CS). Selanjutnya, memungkinkan
bagi sebuah kejadian yang secara asli menunjukan tidak ada ketakutan sama sekali
(contohnya, berada dalam gelap) untuk menunjukan ketakutan ketika dijodohkan
dengan sebuah stimulus yang memang menunjukan ketakutan (contohnya, cerita-cerita
menakutkan tentang berada dalam gelap). Proses pembelajaran ini terindikasikan
dalam paradigm berikut ini:
1. UCS (cerita-cerita menakutkan tentang berada dalam gelap)
menunjukan UR (ketakutan).
2. NS (berada dalam gelap)

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
(dijodohkan dengan)
UCS menunjukan CR (ketakutan)
3. NS menjadi CS menunjukan CR (ketakutan)
Ikatan CS CR dapat dipecah oleh penghilangan responden atau oleh
kontrapengkondisian. Penghilangan responden meliputi berlanjutnya presentasi
stimulus yang terkondisikan tanpa penjodohan dengan stimulus yang tidak
terkondisikan. Penghilangan responden secara perlahan melemah, dan selanjutnya
menghilangkan ikatan CS-CR. Terapi implosive, yang akan dibahas selanjutnya,
memiliki prinsip dasar ini.
Kontra pengkondisian didasarkan pada prinsip yang meyakini bahwa ikatan CS-
CR dapat dipecah dengan menggunakan tanggapan-tanggapan baru yang lebih kuat dan
cocok dengan tanggapan-tanggapan lama yang ditunjukan oleh stimulus yang sama.
Contohnya, memungkinkan untuk mengajari seseorang untuk rileks (tanggapan baru)
daripada menjadi gelisah (tanggapan lama) ketika berkonfrontasi dengan sebuah
stimulus tertentu (contohnya, prospek untuk terbang dalam sebuah pesawat kecil).
Disentisasi sistematik dan disentisasi in vivo (untuk dibahas selanjutnya dalam bab ini)
didasarkan pada kontrapengkondisian. Terdapat sebuah teknik lain yang akan dibahas,
disentisasi tersembunyi, didasarkan pada pengembangan hubungan-hubungan untuk
menghilangkan perilaku problematik.

Modeling
Modeling merujuk pada sebuah perubahan dalam perilaku sebagai sebuah hasil
pengamatan perilaku orang lain-yakni, belajar dengan pengalaman atau inisiasi yang
menyenangkan. Banyak dari pembelajaran harian diperkirakan terjadi melalui
modeling-menggunakan baik model-model kehidupan dan model simbolik (seperti

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
film-film). Modeling telah digunakan dalam modifikasi perilaku untuk
mengembangkan perilaku-perilaku baru yang tidak ada dalam riwayat hidup
seseorang-contohnya, menunjukan seorang muda bagaimana mengayunkan pemukul
bola kasti. Modeling juga telah digunakan untuk menghilangkan ketakutan dan
kegelisahan.Contohnya, menggunakan sebuah model dalam pelatihan berperilaku
asertif. Kegelisahan dan ketakutan dikurangi atau dihilangkan melalui modeling
dengan mengekspos para pengamat yang takut pada kejadian-kejadian yang dijadikan
model, di mana model (pengamat) tersebut melakukan kegiatan yang ditakuti tanpa
mengalami pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan dan bahkan menikmati proses
tersebut.

Teori Psikoterapi
Terapi perilaku didasarkan pada asumsi yang menyatakan bahwa semua perilaku
terjadi sebagai tanggapan pada stimulasi, internal maupun eksternal. Tugas pertama
ahli terapi perilaku adalah untuk mengidentifikasikan hubungan-hubungan tanggapan-
stimulus yang dapat terjadi (S-R) yang terjadi bagi klien. Bagian proses terapi ini
disebut sebagai analisa keberfungsian berhavioral. Berikut ini adalah sebuah ilustrasi
sebuah hubungan S-R: Untuk seseorang yang takut ketinggian, stimulus (S) akan
terbang dalam sebuah pesawat kecil akan memiliki tanggapan (R) akan kegelisahan
intens dan penghindaran stimulus.
Sebelum dan selama waktu di mana ahli terapi melakukan analisa bethavioral, ia
juga berusaha untuk membangun sebuah hubungan kerja. (Karakteristik-karakteristik
sebuah hubungan kerja telah digambarkan dalam Bab 5). Berkaitan pada penekanan
pada membangun sebuah hubungan pekerjaan ini, Chambless dan Goldstein (1979)
menyatakan bahwa:

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Walaupun para ahli perilaku sering digambarkan sebagai orang-orang yang
dingin dan mekanis, sebuah studi rekaman sesi-sesi terapi mendapatkan
gambaran yang berbeda. Ketika diukur pad variabel-variabel yang digunakan
dalam studi terapi yang berpusat pada klien, para ahli terapi perilaku
menunjukan kehangatan dan rujukan positif tinggi bagi para klien mereka
(setara dengan ahli-ahli psikoterapi lainnya dalam studi tersebut) dan empati
dan kongruensi diri yang tinggi daripada ahli-ahli terapi lainnya. (hal. 243).

Selama analisa perilaku, ahli terapi berupaya untuk menentukan stimuli yang
berkaitan dengan tanggapan-tanggapan maladaptif. Melalui analisa ini, baik klien
maupun ahli terapi menjadi paham akan masalah dan bagaimana ia pada umumnya
berkembang, berguna karena ia mengurangi beberapa kegelisahan klien, dan ia tidak
akan lama lagi merasa dirasuki atau pengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang tidak
dikenal dan misterius. Eror-eros mengenai hubungan-hubungan S-R yang
dihipotesiskan pada tahap diagnosa ini biasanya mengarah pada tritmen yang tidak
efektif karena tritmen selanjutnya akan berfokus pada penanganan hubungan-hubungan
S-R yang tidak termasuk dalam pencerminan perilaku maladaptif.
Sebuah analisa behavioral berawal dengan ahli terapi mengamati sejarah rinci
tentang presentasi masalah, kejadiannya, dan khususnya kaitannya dengan pengalaman
terakhir. Dalam membuat analisa tersebut, adalah hal yang krusial untuk mendapatkan
rincian spesifik, konkrit mengenai keadaan-keadaan di mana masalah yang ditampilkan
muncul. Jika, contohnya, seorang klien bersikap malu dalam beberapa situasi,
merupakan hal yang penting untuk mengidentifikasikan interaksi-interaksi spesifik di
mana klien yang bersangkutan bersikap malu. Secara lebih lanjut, merupakan hal
penting untuk menentukan alasan-alasan mengapa klien yang bersangkutan bersikap
malu. Apakah karena ia tidak tahu bagaimana mengekspresikan dirinya sendiri, atau
apakah karena ia memiliki ketakutan-ketakutan tertentu? Tritmen yang dipilih
bergantung pada informasi tersebut. Jika klien yang bersangkutan tidak mengetahui
bagaimana mengekspresikan dirinya sendiri, sebuah pendekatan modeling melalui
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
permainan peran dapat digunakan. Walaupun demikian, jika klien yang bersangkutan
memiliki tanggapan potensial namun dihalangi oleh ketakutan-ketakutan tertentu,
sebuah prosedur disentisasi (akan digambarkan selanjutnya dalam bab ini) untuk
mengurangi ketakutan-ketakutan ini dapat digunakan.
Tujuan dalam melakukan sebuah analisa perilaku adalah untuk
mengidentifikasikan stimuli yang muncul terlebih dahulu yang menciptakan
tanggapan-tanggapan maladaptif. Ketika ahli terapi mengidentifikasikan hubungan-
hubungan ini, ia membahas hal tersebut bersama klien untuk menolongnya
mendapatkan pengelihatan dan mendapatkan tanggapan kembali klien tentang
hubungan-hubungan yang tidak benar. Klien dan ahli terapi kemudian setuju pada
tujuan-tujuan bagi tritmen. Proses akan bagaimana terapi akan berlanjut (bersamaan
dengan teknik-teknik yang digunakan) digambarkan kepada klien. Hal ini memberikan
klien sebuah pemikiran akan perannya dalam tritmen. Ome dan Wender (1968)
menemukan bahwa pengetahuan ini menghasilkan hasil-hasil positif dan mengurangi
tingkat dropout.
Chambless dan Goldstein (1979) menggambarkan sumber-sumber informasi untuk
membuat analisa behavioral:
Ahli terapi perilaku dapat mendasarkan analisa fungsional pada wawancara-
wawancara dengan para klien dan orang penting dalam kehidupan klien atau
pada informasi yang didapatkan dengan meminta klien menyimpan sebuah
jurnal. Data kuisioner sering berguna. Masalah-masalah interpersonal dapat
secara jelas didefinisikan jika klien melapor bahwa ia mengalami kesulitan
dalam interaksi permainan peran terapis dank lien. ahli terapi dan klien
melakukan permainan peran interaksi-interaksi di mana klien melaporkan
kesulitan. Ketika ahli terapi telah memiliki waktu yang sulit dengan membuat
analisa, mengamati klien dalam situasi di mana masalah terjadi dapat mengarah
pada kazanah informasi. Secara amat jelas, terdapat saat-saat ketika hal ini akan
menjadi hal yang tidak mungkin atau berada dalam selera yang buruk, namun
pengamatan langsung digunakan kurang lebih secara frekuentif daripada yang
seharusnya. (hal. 244-245).

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Pelatihan Keasertifan
Pelatihan keasertifan telah menjadi metode yang paling sering digunakan dalam
memodifikasikan perilaku interpersonal yang tidak adaptif. Pelatihan tersebut secara
khusus efektif dalam mengubah baik perilaku lamban maupun perilaku agresif. Walpe
(1958) yang pada mulanya mengembangkan pendekatan ini, dan pendekatan ini telah
secara lebih lanjut dikembangkan oleh berbagai penulis, termasuk Alberti dan Emmons
(1970) dan Fensterheim dan Baer (1975).
Dalam tahun-tahun belakangan ini minat untuk pelatihan ini telah bekembang
dengan pesat, ditandai dengan pengenalan bahwa penstreotipan peran seks telah
mengarah pada sebuah kekurangan umum akan keasertifan dalam wanita. Kelompok-
kelompok pelatihan keasertifan sekarang telah secara luas diberikan. Selama beberapa
tahun belakangan ini sebuah peningkatan dalam jumlah pria juga terdapat dalam
pelatihan ini, baik secara individu maupun melalui kelompok-kelompok. Hasil
penelitian pada pelatihan keasertifan telah dinyatakan efektif dalam membantu para
partisipan untuk menjadi lebih asertif (Cormier & Cormier, 1991).

Peninjauan Kembali Pelatihan Keasertifan (1)


Apakah anda mampu menangani komentar-komentar yang menjatuhkan dengan
baik? Apakah anda enggan untuk mengungkapkan perasaan-perasaan dan pendapat-
pendapat anda secara terbuka dan jujur dalam sebuah kelompok? Apakah anda bersikap
lamban secara frekuentif dalam berinteraksi dengan orang-orang dalam otoritas?
Apakah anda bereaksi dengan baik pada kritik? Apakah anda terkadang meledak dalam
kemarahan ketika hal-hal menjadi salah, atau apakah anda mampu bersikap tenang?
Apakah anda menemukan kesulitan untuk memelihara kontak mata ketika berbicara?
Apakah anda tidak nyaman dengan seseorang yang merokok di dekat anda, apakah
anda mengungkapkan perasaan-perasaan anda? Apakah anda lamban dalam mengatur

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
acara-acara sosial? Jika anda memiliki masalah dari salah satu situasi-situasi ini, secara
beruntung, terdapat sebuah teknik yang berguna bagi pelatihan keasertifan yang
memudahkan orang-orang untuk menjadi lebih efektif dalam interaksi-interaksi
interpersonal tersebut.
Masalah-masalah keasertifan beragam dari rasa malu yang ekstrim, ketertutupan,
dan penarikan diri yang menimbulkan kemarahan yang mengakibatkan pengasingan
orang lain. Seseorang yang nonasertif akan setuju secara diam-diam, ketakutan, dan
takut untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya yang nyata secara spontan akan
berbagai situasi. Secara frekuentif, kekesalan dan kegelisahan terbangun, di mana dapat
menghasilkan ketidaknyamanan umum, perasaan-perasaan rendah diri, tekanan rasa
sakit kepala, fatig, dan mungkin sebuah ledakan destruktif akan tempramen,
kemarahan, dan agresi. Beberapa orang hamper dalam semua interaksi merasa malu
secara berlebihan dan lamban. Sebagian besar kita, walaupun demikian, kadang-
kadang menghadapi masalah-masalah dalam area-area terisolasi di mana hal tersebut
akan member manfaat bagi kita untuk menjadi lebih asertif. Contohnya, seorang
sarjana dapat bersikap efektif dan asertif dalam pekerjaannya sebagai manajer toko
namun canggung dan lambat ketika berusaha mengatur sebuah kencan.
Terdapat tiga gaya dasar dalam berinteraksi dengan orang lain, nonasertif, agresif,
dan asertif. Karakteristik-karakteristik gaya-gaya ini telah dirangkum oleh Alberti dan
Emmons (1975).

Dalam gaya nonasertif, anda cenderung untuk bersikap ragu, berbicara


dengan lembut, melihat ke arah lain, menghindari isu, setuju terlepas dari
perasaan-perasaan anda sendiri, tidak mengungkapkan pendapat-pendapat,
menilai diri anda berada ‘ di bawah’ orang lain, dan menyakiti diri anda
sendiri agar untuk mencegah menyakiti orang lain.
Dalam gaya agresif, anda biasanya menjawab sebelum orang lain selesai
bicara, berbicara dengan keras dan abusif, menantang kepada orang lain,
berbicara ‘ mengelak’ dari isu (menuduh, menyalahkan, kejam), secara
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
berlebihan menyatakan perasaan dan pendapat anda, menilai diri anda berada
“ di atas” orang lain, dan menyakiti orang lain agar tidak menyakiti diri anda
sendiri.
Dalam gaya asertif, anda akan menjawab secara spontan, berbicara dengan
nada dan volume suara yang konversasional, dan melihat ke lawan bicara,
berbicara tentang isu, secara terbuka mengungkapkan perasaan-perasaan anda
(kemarahan, cinta, ketidaksetujuan, penderitaan), menilai diri anda setara
dengan orang lain, dan tidak menyakiti diri anda sendiri maupun orang lain (hal.
24).

Secara sederhana, perilaku asertif adalah mampu untuk mengekspresikan diri anda
tanpa menyakiti atau melangkahi orang lain.
Pelatihan keasertifan dirancang untuk membawa seseorang untuk menyadari,
merasakan, dan bertindak berdasarkan asumsi bahwa ia memiliki hak untuk menjadi
dirinya sendiri dan untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya dengan bebas.
Perbedaan antara dua tipe interaksi ini adalah penting. Jika, contohnya, seorang istri
memiliki seorang ibu mertua yang terlalu kritis, tanggapan-tanggapan agresif oleh sang
istri akan meliputi meledek sang ibu mertua tersebut, dengan sengaja melakukan hal-
hal yang diketahuinya akan membuat kesal sang ibu mertua (tidak mengunjungi,
menyajikan tipe makanan yang tidak disukainya, tidak membersihkan rumah),
mendesak sang suami untuk memberitahu ibunya untuk “ diam” , dan terlibat dalam
adu mulut yang kuat dengan sang ibu mertua. Secara berlawanan, sebuah tanggapan
asertif yang efektif akan berupa balasan terhadap kritik seperti, “ Jane, kritik anda
benar-benar menyakiti saya. Saya tahu bahwa anda mencoba menolong saya ketika
anda memberikan nasihat, namun saya merasakan bahwa ketika anda melakukan hal
tersebut anda sedang mengkritik saya. Saya tahu bahwa anda tidak menginginkan saya
membuat kesalahan, namun setiap orang harus membuat kesalahan dan belajar dari
mereka. Jika anda benar-benar ingin menolong saya, biarkan saya melakukan hal
tersebut sendiri dan bertanggungjawab bagi konsekuensi-konsekuensinya. Tipe

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
hubungan yang ingin saya miliki dengan anda adalah hubungan yang dekat, dewasa,
bukan hubungan ibu-anak” .
Mari lihat pada dua contoh perilaku nonasertif, agresif, dan asertif. Anda seorang
pekerja sosial yang sedang mengemudi dalam sebuah mobil dengan seorang rekan
menuju sebuah konferensi di kota lain. Rekan tersebut menghidupkan sebuah cerutu;
tidak lama kemudian anda mengalami bahwa asap yang ditimbulkan cerutu tersebut
mengiritasi dan bau dalam mobil semakin keras. Apakah yang menjadi pilihan anda?
1. Tanggapan nonasertif: anda berusaha untuk melanjutkan obrolan
“ menyenangkan” selama perjalanan yang berlangsung 3 jam tanpa berkomentar
tentang asap yang ditimbulkan.
2. Tanggapan agresif: anda semakin menjadi teriritasi sampai meledak,
“ Lebih baik anda mematikan cerutu tersebut atau saya yang akan mematikannya untuk
anda-baunya memuakan” .
3. Tanggapan asertif: dalam sebuah nada suara yang lembut, konversasional,
anda melihat secara langsung pada rekan anda dan menyatakan, “ Asap cerutu anda
mengiritasi saya. Saya akan menghargainya jika anda mematikannya” .
Pada sebuah pesta dengan teman-teman, selama obrolan pendek, suami anda
memberikan sebuah pernyataan yang “ menjatuhkan” dengan mengatakan, “ Para istri
terlalu banyak bicara” . Apakah yang anda lakukan?
1. Tanggapan nonasertif: anda tidak mengatakan apapun, namun merasa sakit
hari dan menjadi diam.
2. Tanggapan agresif: anda memandangnya dan dengan marah bertanya,
“ John, mengapa kau selalu mengkritik saya?” .
3. Tanggapan asertif: anda bersikap seperti biasa. Pada saat menuju rumah,
anda dengan tenang melihat padanya dan berkata, “ Ketika kita di pesta tadi, kau
mengatakan bahwa istri-istri selalu terlalu banyak bicara. Saya merasa bahwa kau

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
menjatuhkanku ketika kau mengatakan hal tersebut. Apakah yang kau maksudkan
dengan komentar tersebut?” .

Langkah-Langkah dalam Pelatihan Keasertifan (1)


Pelatihan berperilaku asertif dilakukan dalam 12 langkah, yang oleh Zastrow
disebut sebagai pelatihan-diri, yakni:
Langkah 1 Menguji interaksi-interaksi anda.
Apakah terdapat situasi-situasi yang harus anda tangani secara lebih asertif?
Apakah anda terkadang menahan pendapat-pendapat dan perasaan-perasaan dalam diri
anda akan apa yang akan terjadi jika anda mengekspresikannya? Apakah terkadang
anda kehilangan kendali dan bersikap dengan marah kepada orang lain? Untuk
mempelajari interaksi-interaksi anda, simpanlah sebuah buku harian selama seminggu
atau lebih panjang, mencatat situasi-situasi di mana anda bersikap dengan lamban,
situasi-situasi di mana anda bersikap agresif, dan situasi-situasi yang anda tangani
secara asertif.

Langkah 2 Memilih interaksi yang bermanfaat


Memilih interaksi-interaksi di mana akan membawa manfaat bagi anda untuk
menjadi lebih asertif. Mereka dapat meliputi situasi-situasi di mana anda terlalu sopan,
terlalu apologetik, lamban, atau membiarkan orang lain untuk mengambil manfaat dari
anda sementara anda merasakan kekesalan, kemarahan, rasa malu, ketakutan akan
orang lain, atau kritisisme diri sendiri karena tidak memiliki keberanian untuk
mengekspreskan diri sendiri. Interaksi-interaksi yang secara berlebihan agresif di mana
anda meledak dalam kemarahan atau melangkahi orang lain juga harus dihadapi. Bagi
setiap tatanan interaksi-interaksi nonasertif atau agresif, anda dapat menjadi lebih
asertif, seperti yang ditunjukan dalam langkah-langkah selanjutnya.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Langkah 3 Fokuskan pada sikap-sikap non sertif dan agresif pada insiden
khusus.
Berkonsentrasi pada sebuah insiden spesifik di masa lalu di mana anda bersikap
nonasertif atau agresif ketika anda ingin menjadi asertif. Tutuplah mata anda untuk
beberapa menit dan bayangkanlah hal-hal rinci mengenai hal tersebut, termasuk apa
yang dikatakan anda dan orang lain, dan bagaimana anda merasakannya pada saat
tersebut dan setelahnya.

Langkah 4 Meninjau kembali reaksi-reaksi anda pada insiden tersebut


Tuliskanlah dan tinjaulah kembali tanggapan-tanggapan anda. Tanyakanlah pada
diri anda sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut untuk menentukan bagaimana anda
menampilkan diri anda sendiri:

1. K = kontak
Kontak mata, apakah anda menatap langsung kepada orang lain dalam sebuah
tatapan santai dan stabil? Melihat kebawah atau kearah lain menandakan kurangnya
kepercayaan diri. Sedangkan melotot merupakan sebuah tanggapan agresif

2. G= gesture
apakah gesture-gestur anda tepat, bebas mengalir, santai, dan digunakan secara
efektif untuk menekankan pesan-pesan anda? Kekauan yang canggung menyatakan
perasaan grogi: gesture-gestur lain (seperti sebuah kepalan kemarahan) menandakan
reaksi agrasif

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
3. P=Postur tubuh,apakah anda menunjukkan pentingnya pesan anda dengan
secara langsung menghadap orang lain dengan bersandar kepada orang tersebut, dan
secara terus menerus membuka tangan andas, dan duduk atau berdiri dengan jarak yang
tepat?
4. E= Ekspresi wajah, apakah ekspresi wajah anda menunjukkan sebuah pose
kokoh, stabil dengan tanggapan asertif
5. N=Nada dan volume suara , apakah tanggapan anda dinyatakan dengan
nada suara yang stabil dan konversasional? Berteriak dapat menyatakan kemarahan.
Berbicara dengan lembut menunjukkan rasa malu, dan suara bergetar menyatakan
perasaan grogi. Merekam dan mendengar suara seseorang adalah sebuah cara untuk
melatih peningkatan atau penurunan volume suara
6. K=Kelancaran ucapan, apakah ucapan anda mengalir dengan lembut, jelas,
dan lamban? Ucapan yang cepat atau keraguan dalam berbicara menyatakan perasaan
grogi. Merekam tanggapan-tanggapan asertif yang anda coba dalam situasi-situasi
bermasalah adalah sebuah cara untuk memperbaiki kelancaran ucapan.
7. P= Penetapan waktu, apakah reaksi-reaksi verbal anda pada sebuah situasi
bermasalah dinyatakan pada saat yang dekat dengan insiden yang dapat dengan tepat
memberikan waktu untuk meninjau kembali insiden yang terjadi? Pada umumnya,
ekspresi-ekspresi spontan merupakan hal terbaik, namun situasi-situsi tertentu harus
ditangani kemudian. Misalnya, pernyataan-pernyataan bos anda yang tidak
menyenangkan harus dihadapi dalam sebuah situasi pribadi bukan di depan sebuah
kelompok dimana bos anda sedang melakukan presentasi.
8. Mengatur konten-bagi sebuah situasi bermasalah. Manakah tanggapan anda
yang nonasertif atau agresif dan manakah yang asertif? Pelajarilah konten tersebut dan
pikirkanlah mengapa anda merespon dalam sebuah gaya nonasertif atau agresif. (Pada

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
poin ini merupakan hal yang sangat menolong untuk mengidentifikasikan pembicaraan
diri sendiri yang membuat anda bertindak secara nonasertif atau agresif.

Langkah 5
Amatilah salah satu atau lebih model-model efektif. Tontonlah pendekatan-
pendekatan verbal dan nonverbal yang secara asertif digunakan untuk menghadapi tipe-
tipe interaksi di mana anda mengalami masalah-masalah. Bandingkanlah konsekuensi-
konsekuensi antara pendekatan mereka dan pendekatan anda. Jika memungkinkan,
bahaslah pendekatan mereka dan perasaan mereka ketika menggunakannya.

Langkah 6
Buatlah sebuah daftar mengenai berbagai pendekatan-pendekatan alternatif agar
menjadi lebih asertif.

Langkah 7
Tutuplah mata anda dan bayangkanlah diri anda sendiri menggunakan setiap
pendekatan-pendekatan alternatif. Bagi setiap pendekatan, pikirkanlah secara
menyeluruh serangkaian interaksi apakah yang akan muncul, bersama dengan
konsekuensi-konsekuensinya. Pilihlah sebuah pendekatan, atau kombinasi pendekatan-
pendekatan tersebut, yang anda yakini akan menjadi pendekatan yang paling efektif
untuk digunakan. Melalui imajinasi, latihlah menggunakan pendekatan ini sampai anda
merasa nyaman bahwa hal tersebut akan bermanfaat bagi anda.

Langkah 8
Lakukanlah permainan peran pendekatan tersebut dengan orang lain, mungkin
seorang teman atau konselor. Jika segmen-segmen tertentu dari pendekatan anda

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
tampak konyol, canggung, lamban, atau agresif, latihlah modifikasi-modifikasi sampai
anda menjadi nyaman dengan pendekatan tersebut. Dapatkanlah umpan balik dari
orang lain seperti pada kekuatan-kekuatan dan hasil-hasil pendekatan anda.
Bandingkanlah interaksi-interaksi anda dengan pedoman-pedoman perilaku asertif
verbal dan nonverbal dalam Langkah 4. Perbandingan tersebut dapat berguna bagi
orang lain untuk memodelkannya melalui permainan peran akan satu atau lebih
strategi-strategi asertif, di mana anda kemudian akan bertukar peran untuk berlatih.

Langkah 9
Ulangi Langkah 7 dan 8 sampai anda mengembangkan sebuah pendekatan sensitif
yang anda yakini akan dengan baik bekerja bagi anda dan nyaman untuk anda.

Langkah 10
Gunakanlah pendekatan anda dalam situasi kehidupan nyata. Langkah-langkah
sebelumnya dirancang untuk mempersiapkan anda untuk menghadapi kejadian
sebenarnya. Dapat diduga bahwa anda akan gelisah ketika pertama kali mencoba
menjadi asertif. Jika anda masih terlalu takut untuk berusaha menjadi lebih asertif,
ulangi langkah 5 sampai 8. Bagi para individu yang gagal untuk mengembangkan
kepercayaan diri yang dibutuhkan untuk mencoba menjadi asertif, konseling
professional disarankan untuk mengekspresikan diri anda dan interaksi-interaksi efektif
dengan orang lain merupakan hal penting bagi kebahagiaan pribadi.

Langkah 11
Bercermin pada keefektifan usaha anda. Apakah anda tetap tenang? Dengan
mempertimbangkan pedoman-pedoman perilaku asertif nonverbal yang dibahas dalam
Langkah 4, komponen-komponen apa saja dari tanggapan-tanggapan anda yang asertif,

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
agresif, nonasertif? Konsekuensi-konsekuensi apa saja yang ditimbulkan usaha-usaha
anda? Bagaimanakah perasaan anda setelah mencoba serangkaian interaksi baru ini?
Jika memungkinkan, bahaslah bagaimana tindakan anda berkaitan dengan pertanyaan-
pertanyaan ini dengan seorang teman yang mungkin telah mengamati interaksi-
interaksi tersebut.

Langkah 12
Harapkanlah keberhasilan, namun bukan kepuasan pribadi yang utuh, dengan
usaha-usaha anda. Pertumbuhan pribadi dan berinteraksi secara lebih efektif dengan
orang lain adalah sebuah proses pembelajaran yang berkelanjutan. Berikanlah
penghargaan yang tepat pada perilakui yang telah dilakukan secara tepat dengan cara
menepuk punggung anda sendiri. Namun juga tandai area-area di mana anda harus
memperbaiki diri anda sendiri, dan gunakanlah langkah-langkah ini untuk
memperbaiki usaha-usaha asertif anda. Langkah-langkah ini secara sistematik masuk
akal namun tidak untuk diikuti dengan kaku. Setiap orang harus mengembangkan
sebuah proses yang dengan baik bekerja bagi dirinya sendiri.

Menolong Orang Lain Menjadi Lebih Asertif


Baik sebagai teman maupun sebagai seorang pekerja sosial, anda dapat amat
menolong dalam membantu orang lain untuk menjadi lebih asertif. Pedoman-pedoman
berikut ini disarankan.
1. Secara bersama-sama identifikasikanlah situasi atau interaksi di mana
seseorang harus menjadi lebih asertif. Carilah informasi mengenai interaksi-interaksi
dari obeservasi-observasi anda dan pengetahuan tentang orang tersebut, dan dari

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pembahasan mendalam tentang interaksi-interaksi di mana orang yang bersangkutan
merasa harus menjadi lebih asertif. Anda juga dapat meminta orang tersebut untuk
menyimpan sebuah buku harian yang mencatat tentang interaksi-interaksi di mana ia
merasa kesal karena bersikap tidak asertif, dan interaksi-interaksi di mana ia bersikap
agresif secara berlebihan.
2. Mengembangkan secara bersama beberapa strategi bagi seseorang untuk
menjadi lebih asertif. Tugas-tugas kecil dengan sebuah kemungkinan yang tinggi bagi
hasil-hasil yang memuaskan harus diberikan terlebih dahulu. Sejumlah besar diskusi
dan persiapan harus dilakukan antara anda berdua dalam bersiap bagi “ kejadian yang
sebenarnya” . Bagi seseorang yang pada umumnya pemalu, tertutup, dan nonasertif
dalam semua hubungan-hubungan interpersonal, maka hal tersebut akan menjadi
penting untuk mengeksplor dan menjelaskan secara rinci hubungan antara perilaku dan
perasaan nonasertif terhadap kekesalan atau rendah diri. Sebagai tambahan, bagi orang
yang amat pemalu, perilaku-perilaku tertentu, seperti “ jangan menimbulkan ombak”
atau “ orang lembut akan menguasai dunia” , dapat harus dihadapi dengan sebelumnya
mengembangkan strategi-strategi bagi orang yang bersangkutan untuk menjadi lebih
asertif.
3. Memainkan peran merupakan sebuah teknik yang berguna dalam
mempersiapkan diri agar menjadi asertif. Si penolong pada tahap pertama memodelkan
sebuah strategi asertif dengan memainkan peran orang yang pemalu. Orang yang
pemalu tersebut belakangan ini memainkan peran orang yang pihak di mana ia ingin
bersikap asertif. Kemudian permainan peran ditukar; orang tersebut memainkan
perannya sendiri dan si penolong memainkan peran orang lain. Sebuah contoh dapat
membuat hal ini semakin jelas. Dengan menggunakan ilustrasi yang disebutkan
sebelumnya di mana seorang istri memiliki masalah dengan seorang ibu mertua, si
penolong dapat memainkan peran sang istri pada tahap pertama, memodelkan sebuah

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
strategi asertif. Kemudian peran-peran yang ada ditukar, sang istri tersebut selanjutnya
akan memainkan peran sang ibu mertua. Teknik tersebut dilatih sampai sang istri
menjadi nyaman dengannya dan mengembangkan kepercayaan diri yang cukup bagi
“ kejadian yang sebenarnya” . Sebagai tambahan pada manfaat-manfaat yang
disebutkan di atas akan pemodelan dan pengalaman praktik, permainan peran telah
menambahkan manfaat untuk mengurangi kegelisahan di mana orang tersebut berusaha
untuk menjadi asertif. Bagi tujuan-tujuan tanggapan balik, jika memungkinkan,
rekamlah permainan peran dengan perekam suara atau perekam video.
4. Jelaskanlah 12 langkah yang digambarkan sebelumnya di mana orang yang
bersangkutan dapat menggunakan caranya sendiri untuk menangani situasi-situasi
masalah masa depan dengan melibatkan keasertifan. Jika memungkinkan, berikanlah
bahan bacaan pada langkah-langkah ini.
Walaupun setiap orang harus mampu mengekpresikan dirinya sendiri dalam sebuah
gaya individual, sebuah pedoman tambahan akan sering berguna. Sebuah peraturan
yang baik berupa memulai kalimat-kalimat dengan “ Saya merasa” daripada membuat
pernyataan-pernyataan mengancam dan agresif. Secara frekuentif, dalam masyarakat
kita yang cepat kita secara sederhana tidak mengambil waktu untuk mengungkapkan
perasaan-perasaan kita yang sebenarnya pada orang lain; sebagai sebuah hasil kita
akhirnya menciptakan kesalahpahaman-kesalahpahaman serius, perasaan-perasaan
sakit, dan pertengkaran-pertengkaran verbal yang menghabiskan sepuluh kali untuk
dikerjakan. Pikirkanlah contoh berikut tentang dua orang yang sibuk, seorang ibu yang
bekerja dan putranya yang berusia 15 tahun.
Ibu : John, tolong cuci piringnya malam ini.
John : Saya tidak bisa, saya akan mengerjakannya besok.
Ibu : (Menjadi marah) Kamu tidak pernah melakukan apapun untuk saya.
John : Saya bilang saya akan mengerjakannya besok.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Ibu : Dan kamu selalu lupa. Saya menyuruh kamu membersihkan ruangan kamu
dua minggu yang lalu, dan kamu masih belum melakukannya. (Sekarang marah) Saya
tidak tahu apa yang akan saya lakukan terhadapmu. Hanya untuk itu saja kamu tidak
boleh pergi berkemah akhir minggu ini.
Dan pertengkaran tersebut makin menjadi-jadi. Bandingkanlah dengan pendekatan
berikut ini:
Ibu : John, saya merasa lelah sore ini. Saya mengalami hari yang buruk di
kantor, dan saya masih harus mencuci dan menyetrika pakaian malam ini. Dapatkah
kamu menolong saya dengan mencuci piring?
John : Saya merasa turut sedih bahwa ibu mengalami hari yang buruk. Saya
seharusnya pergi ke latihan basket dalam lima menit. Saya akan kembali pada
setengah delapan, tidak apakah jika saya melakukannya nanti?
Ibu : Ya, jika kamu tidak lupa.
John : Tidak akan.
Struktur teknik dalam pelatihan keasertifan secara relatif sederhana untuk
dikomprehensifkan. Keterampilan yang dapat dipertimbangkan (akal sehat dan
ketidaktulusan), walaupun demikian, dibutuhkan untuk menentukan apakah yang
menjadi strategi efektif ketika situasi kehidupan nyata muncul. Sukacita dan
kebanggaan didapatkan dari kemampuan untuk secara utuh mengekspresikan diri
seseorang yang hampir tidak dapat disetarakan.

Latihan Perilaku

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Teknik ini dikembangkan untuk memperbesar pengalaman klien akan perilaku-
perilaku coping. Berbagai pendekatan telah dikembangkan yang meliputi latihan
perilaku, termasuk pelatihan keasertifan, psikodrama dan permainan peran.
Latihan perilaku memiliki empat tahap. Pertama, ahli terapi mempersiapkan klien
dengan menjelaskan pentingnya memperoleh perilaku-perilaku baru (contohnya, untuk
menyatakan kemarahan secara asertif daripada secara agresif), membuat klien
menerima latihan perilaku sebagai sebuah alat yang berguna, dan mengurangi
kegelisahan apapun atas prospek permainan peran. Tahap kedua meliputi seleksi
situasi-situasi sasaran. Secara bersama, ahli terapi dan klien memilih satu atau lebih
latihan situasi-situasi yang berhubungan secara langsung pada situasi-situasi tersebut
di mana klien mengalami kesulitan (contohnya, belajar untuk merespon secara asertif
daripada secara agresif ketika seorang klien dikritik oleh rekan-rekan kerjanya). Tahap
ketiga adalah latihan perilaku sebenarnya. Ahli terapi terkadang memodelkan sebuah
pola tanggapan pada awalnya. Contohnya, klien dapat mengambil peran untuk menjadi
seorang rekan kerja yang kritis sementara ahli terapi memainkan peran sebuah
tanggapan asertif untuk menerima kritisisme dari rekan kerja. Secara frekuentif,
kemudian, peran-peran tersebut ditukar dan klien memainkan peran tanggapan yang
diberikan secara asertif karena dikritik oleh seorang rekan kerja (dengan ahli terapi
yang menjadi seorang rekan kerja). Tahap keempat dan terakhir adalah penggunaan
keterampilan-keterampilan baru klien dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Setelah
pengalaman-pengalaman kehidupan nyata, klien dan ahli terapi meninjau kembali
kinerja dan perasaan klien tentang pengalaman-pengalaman. Terkadang para klien
diminta untuk menyimpan catatan-catatan yang menggambarkan situasi-situasi
kehidupan nyata yang mereka hadapi, perilaku mereka, konsekuensi-konsekuensinya,
dan lain sebagainya.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Token Ekonomi
Benda-benda kecil adalah penguat-penguat simbolik, seperti biji-biji kartu atau
titik-titik pada selembar kertas catatan keuangan, yang selanjutnya dapat ditukar
dengan barang-barang yang menciptakan bentuk-bentuk langsung penguatan, seperti
permen atau peningkatan hak-hak istimewa (contohnya, seorang remaja dalam sebuah
rumah kelompok diizinkan untuk pergi menonton film). Sebuah token ekonomi
melibatkan sebuah sistem pertukaran yang menspesifikasikan secara tepat dengan
barang apa benda-benda kecil tersebut yang dapat ditukar dengan berapa benda-benda
kecil yang dibutuhkan untuk mendapatkan barang-barang atau hak-hak istimewa
tertentu. Token ekonomi tersebut juga menspesifikasikan perilaku-perilaku sasaran
(seperti pergi ke sekolah atau merapikan tempat tidur) yang dapat menerima benda-
benda kecil dan tingkat tanggapan yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah
benda-benda kecil tertentu. Contohnya, pergi ke sekolah setiap hari selama dua minggu
akan mendapatkan sepuluh benda kecil pada sebuah rumah kelompok remaja, dan
sepuluh benda kecil dapat ditukar untuk menghadiri sebuah petandingan olah raga.
Token ekonomi telah secara berhasil digunakan dalam berbagai tatanan
institusional, termasuk rumah sakit-rumah sakit mental, sekolah-sekolah pelatihan bagi
orang yang mengalami penyimpangan perilaku, ruang-ruang kelas bagi para murid
dengan masalah-masalah emosional, sekolah-sekolah bagi para individu dengan
keterbatasan-keterbatasan kognitif, kegiatan-kegiatan workshop yang ternaungi, dan
rumah-rumah kelompok bagi para remaja.
Terdapat sebuah bukti yang patut dipertimbangkan untuk mendukung keefektifan
toke ekonomi (Kazdin, 1977b). Toke ekonomi telah digunakan untuk mempengaruhi
perubahan-perubahan positif dalam berbagai perilaku, termasuk kebersihan pribadi,
interaksi-interaksi sosial, kehadiran kerja dan kinerja, kinerja akademik, tugas-tugas
rumah tangga seperti membersihkan rumah, dan penampilan pribadi.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Terkadang, Toke ekonomi disusun sehingga klien tidak hanya untuk menerima
benda-benda kecil bagi perilaku-perilaku yang diinginkan namun juga kehilangan
benda-benda kecil bagi perilaku-perilaku yang tidak diinginkan (contohnya, memulai
sebuah perkelahian).
Token ekonomi yang efektif lebih sulit untuk dibangun daripada apa yang tampak
darinya sekilas. Prochaska (1979) merangkum beberapa faktor-faktor penting yang
harus diperhatikan dalam membangun sebuah token ekonomi:

“Beberapa pertimbangan penting meliputi kerjasama dan koordinasi staf,


karena staf tersebut harus bersikap mengamati dan lebih sistematis dalam
tanggapan-tanggapan mereka terhadap para klien daripada dalam sebuah sistem
yang nonkontingen. Berbagai upaya dalam membangun token ekonomi telah
gagal karena staf yang bersangkutan tidak cukup bekerjasama dalam
memonitor perilaku para penghuni. Token ekonomi yang efektif juga harus
memiliki kendali yang cukup atas penguatan-penguatan, karena sebuah token
ekonomi menjadi tidak efektif jika para penghuni memiliki akses pada
penguatan-penguatan dengan membawa uang dari rumah atau mampu
mematikan rokok dari rekan kerja yang kurang kooperatif. Masalah-masalah
harus didefinisikan dengan cepat dalam kebutuhan-kebutuhan perilaku spesifik
untuk diubah agar dapat menghindari konflik di antara staf atau para pasien.
Memperbaiki kebersihan diri, contohnya, terlalu terbuka untuk penfasiran oleh
para individu, dan para pasien harus memaksa bahwa mereka sedang
memperbaiki kebersihan mereka walaupun para anggota staf tidak setuju.
Terdapat ruang yang lebih sedikit bagi kesalahpahaman-kesalahpahaman jika
kebersihan pribadi didefinisikan sebagai kebersihan kuku, tidak ada sisa bau
badan, pakaian dalam bersih, dan aturan-aturan kebersihan lainnya.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Menspesifikasikan perilaku-perilaku adalah alternatif-alternatif positif pada
perilaku bermasalah merupakan hal kritis dalam mengajari para penghuni
tentang tindakan-tindakan positif apa yang dapat mereka ambil untuk menolong
diri mereka sendiri daripada hanya bergantung pada serangkaian penghapusan
tanggapan-tanggapan. Mungkin hal yang paling penting bagi keefektifan yang
bertahan lama. Token ekonomi adalah cara menghilangkan/mengurangi
perilaku-perilaku bermasalah dan mengubah tanggapan-tanggapan negative
menjadi menjadi tanggapan-tanggapan adaptif yang dibangun dengan baik.
Dengan amat jelas dunia luar tidak berlangsung selaras dengan mental ekonomi
institusi, dan merupakan hal penting bahwa para klien dipersiapkan untuk
melakukan transisi pada masyarakat yang lebih besar. Penggunaan penguatan-
penguatan sosial yang berlimpah bersama dengan penguatan-penguatan token
menolong mempersiapkan para klien untuk penghilangan benda-benda kecil
tersebut, sehingga perilaku-perilaku positif dapat dipelihara dengan memuji
atau daripada pengenalan terhadap benda-benda kecil/token. Juga mendorong
para pasien untuk memperkuat diri mereka sendiri, seperti dengan belajar untuk
berbangga akan penampilan mereka, merupakan sebuah langkah penting dalam
penghilangan benda-benda kecil. Beberapa institusi menggunakan kamar-
kamar transisional di mana para klien beranjak dari token ekonomi dan belajar
untuk memelihara perilaku-perilaku adaptif melalui kontingensi-kontingensi,
seperti pujian dari sesama pasien. Dalam tatanan transisional tersebut,
penguatan-penguatan cadangan ada jika dibutuhkan, namun mereka digunakan
lebih banyak secara berpasangan daripada token ekonomi. Tanpa penggunaan
penghilangan, token ekonomi dengan benda-benda kecil dapat menjadi hal
yang tidak lebih baik dari prosedur-prosedur manajemen rumah sakit yang
membuat penanganan pasien menjadi lebih efisien tanpa mempersiapkan para

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pasien untuk tinggal secara efektif dalam masyarakat yang lebih besar (James
O, Prochaska, Systems of Psychotherapy (Pacific Grove, CA, Brooks/Cole,
1979, hal. 324-325).

Kontrak Kontingensi
Hal yang berkaitan dengan dekat pada ekonomi benda-benda kecil adalah kontrak
kontingensi. Kontrak-kontrak kontingensi memberikan klien sekumpulan aturan yang
menguasai proses perubahan. Kontrak-kontrak dapat tidak bersifat unilateral, yakni,
seorang klien dapat membuat sebuah kontrak dengan dirinya sendiri. Contohnya,
seseorang dengan sebuah masalah berat badan dapat membatasi dirinya sendiri pada
sebuah pemasukan kalori, dengan sebuah sistem penghargaan-penghargaan yang
dibangun untuk tetap berada dalam batas kalori dan konsekuensi-konsekuensi negatif
karena terus melebihi batas kalori. Kontrak dapat bersifat bilateral dan
menspesifikasikan kewajiban-kewajiban dan penguatan-penguatan mutual bagi setiap
pihak.
Kanfer (1975, hal. 321) dalam zastrow (1999), menandai bahwa sebuah kontrak
kontingensi yang baik berisi tujuh elemen:
1. Sebuah deskripsi yang jelas dan terperinci akan perilaku instrumental yang
dibutuhkan yang harus dinyatakan.
2. Beberapa kriteria harus ditetapkan bagi waktu atau batasan-batasan
frekuensi yang memenuhi tujuan kontrak tersebut.
3. Kontrak tersebut harus menspesifikasikan penguatan-penguatan positif,
kontingen pada pemenuhan kriteria.
4. Provisi-provisi harus dibuat untuk beberapa konsekuensi aversif, kontingen
terhadap tidak adanya pemenuhan kontrak dalam waktu yang terspesifikasi atau dengan
frekuensi yang terspesifikasi.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
5. Sebuah klausa bonus harus mengindikasikan penguatan-penguatan positif
tambahan yang dapat diperoleh jika seseorang melebihi tuntutan-tuntutan kontrak
minimal.
6. Kontrak harus menspesifikasikan makna di mana tanggapan yang
terkontrak diamati, diukur, dan dicatat, dan sebuah prosedur harus dinyatakan untuk
menginformasikan pada klien yang bersangkutan tentang pencapaian-pencapaiannya
selama durasi kontrak.
7. Penetapan waktu bagi penyampaian kontingensi-kontingensi harus disusun
untuk mengikuti tanggapan sesegera mungkin.
Para penolong profesional makin menemukan bahwa langkah-langkah ini berguna
untuk mengembangkan kontrak-kontrak kontingensi (juga disebut sebagai kontrak-
kontrak perubahan behavioral) bagi para klien. Kontrak-kontrak tersebut
menspesifikasikan tujuan-tujuan yang diinginkan, tugas-tugas untuk dilakukan agar
dapat memenuhi tujuan-tujuan tersebut, tugas-tugas yang akan dilakukan oleh para
klien dan tugas-tugas yang akan dilakukan oleh ahli terapi, dan batas waktu pemenuhan
tugas-tugas ini.
Kanfer (1975) mengindikasikan bahwa konseling pernikahan adalah sebuah area di
mana kontrak-kontrak kontingensi makin banyak digunakan. Dalam kontrak demikian
setiap pasangan menikah setuju untuk mengubah perilaku-perilaku yang mengiritasi
perilaku yang lain, dengan sebuah sistem yang terspesifikasi akan penguatan dan
konsekuensi yang akan diterapkan menurut perihal di mana provisi-provisi kontrak
dipenuhi.
Perumusan kontrak-kontrak dengan para klien baik dalam tatanan perorangan
maupun tatanan kelompok memiliki sejumlah manfaat. Kontrak-kontrak tersebut
memandu para klien dalam hal tindakan-tindakan spesifik yang mereka butuhkan untuk
memperbaiki situasi-situasi problematik mereka. Kontrak-kontrak yang ada cenderung

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
memiliki pengaruh motivasional karena ketika orang berusaha untuk memenuhi syarat-
syarat kontrak, mereka biasanya merasakan sebuah obligasi/kewajiban moral untuk
diikuti. Sebagai tambahan, peninjauan kembali apakah komitmen-komitmen yang
dibuat dalam kontrak-kontrak yang dipenuhi memberikan kepada para ahli terapi dan
para klien sebuah metode untuk mengukur kemajuan. Jika komitmen-komitmen pada
umumnya dipenuhi, maka hal tersebut menyatakan bahwa perubahan-perubahan positif
sedang terjadi: jika komitmen-komitmen pada umumnya tidak dipenuhi, maka hal
tersebut menyatakan bahwa perubahan-perubahan positif sedang tidak terjadi.

Desentisasi Sistematik
Desentisisasi sistemik adalah sebuah teknik yang berguna bagi bagi seseorang yang
secara terus menerus gelisah tentang sebuah stimulus spesifik. Sebagian besar kita
memiliki reaksi-reaksi ekstrim (fobia-fobia) pada satu atau lebih dari stimuli-stimuli
berikut ini: mengikuti ujian-ujian, ular, tikus, bercinta, berada sendirian, api,
ketinggian, berjalan sendiri, suntikan, pengobatan, berada dalam sebuah tempat kecil
atau sebuah tempat penuh, pintu-pintu terkunci, tangga curam, hal-hal yang tidak
dikenal, kematian, mimpi-mimpi buruk, lalu lintas, petir dan kilat, berbicara pada figur-
figur yang berkuasa, disfungsi-disfungsi seksual, berbicara di depan umum, kritisisme,
dan seseorang yang mengalami kehilangan pikiran.
Desentiasasi sistematik dikembangkan oleh Joseph Wolpe (1969). Dasar bagi
pendekatan ini adalah fakta ilmiah yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa
mengalami kegelisahan secara simultan dan rileks. Wolpe menggunakan “ relaksasi”
sebagai sebuah kontrapengkondisian pada stimulus-stimulus yang ditakuti. Desentisasi
sistematik meliputi tiga fase: pelatihan dalam relaksasi otot yang dalam,
pengkonstruksian hirarki-hirarki kegelisahan, dan penetapan posisi yang berlawanan
melalui penggambaran stimuli dan relaksasi yang memicu kegelisahan.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Bagi pelatihan dalam relaksasi otot mendalam, sebuah modifikasi prosedur-
prosedur Jacobson (1934) digunakan. Sang klien, berada di bawah instruksi ahli terapi,
diajarkan mengenai bagaimana melakukan rileks dan kemudian membuat otot menjadi
rileks. Fase ini diselesaikan ketika klien yang bersangkutan mampu membuatotot-
ototnya menjadi rileks.
Fase kedua adalah konstruksi hirarki-hirarki kegelisahan. Dalam serangkaian
wawancara ahli terapi berusaha untuk menemukan situasi-situasi stimulus yang
menunjukan ketakutan atau kegelisahan. Bayangkanlah seorang wanita memiliki
ketakutan akan ketinggian yang tidak beralasan. Terdapat kecenderungan untuk
menjadi beberapa tema di mana ketakutan muncul: berada dalam gedung-gedung
tinggi, pengemudian dengan gelombang tinggi, terbang dalam pesawat kecil, menaiki
wahana-wahana taman hiburan. Bagi setiap tema, sekumpulan stimuli tentang tema
tersebut memiliki peringkat menuruti cara bagaimana mereka menghasilkan ketakutan,
dari yang paling kurang sampai yang amat menakutkan. Contohnya, peringkat-
peringkat stimuli tentang terbang dalam sebuah pesawat kecil dapat berupa:
 Berpikir tentang harus terbang dalam sebuah pesawat kecil pada waktu
tertentu di masa depan.
 Mengetahui bahwa dalam dua minggu anda harus terbang dalam pesawat
kecil.
 Mengetahui bahwa minggu depan anda harus terbang dalam sebuah
pesawat kecil.
 Berpikir tentang terbang dalam pesawat kecil besok.
 Mengetahui bahwa anda harus terbang dalam sebuah pesawat kecil hari ini.
 Mengemudi ke bandara untuk penerbangan.
 Membeli sebuah tiket di bandara untuk penerbangan.
 Melihat barang-barang bawaan anda ditaruh dalam pesawat.
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
 Berjalan menuju pesawat.
 Mengencangkan sabuk pengaman.
 Mendengar mesin pesawat mulai berjalan.
 Mendengarkan pilot mendapatkan aba-aba untuk terbang.
 Merasakan pesawat berjalan di landasan.
 Lepas landas.
 Merasakan pesawat mendapatkan getaran.
 Melihat ke arah luar jendela sementara mendapatkan getaran.
 Mencapai ketinggian puncak pesawat.
 Melihat ke arah luar jendela pada ketinggian puncak.
 Menghadapi badai sementara terbang.
 Melihat ke arah luar jendela selama badai berlangsung.
Wolpe mengindikasikan bahwa kontruksi hirarki kegelisahan merupakan fase
tersulit dalam teknik desentisasi.
Fase ketiga adalah penetapan posisi yang berlawanan, dengan penggambaran, akan
stimuli yang menimbulkan relaksasi dan kegelisahan. Tujuan fase ini adalah untuk
menggantikan ketakutan terhadap setiap stimulus dengan relaksasi. Hal ini dilakukan
dengan membuat klien membayangkan setiap stimulus yang menghasilkan ketakutan
sementara dalam sebuah keadaan rileks. Prosedur-prosedur dari fase ini adalah:
1. Klien diberitahukan bahwa ia akan diminta untuk membayangkan (berpikir
tentang) berbagai adegan dari hirarki-hirarki kegelisahannya. Tema-tema yang ada
dikerjakan secara terpisah, dimulai dengan situasi stimulus yang paling kurang
menakutkan dalam setiap tema.
2. Klien diberitahu bahwa jika ia menjadi gelisah sementara membayangkan
sebuah situasi stimulus, ia harus mengangkat jari telunjuk.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
3. Dengan mengambil sebuah tema, klien kemudian diminta untuk
membayangkan situasi stimulus yang paling kurang menakutkan dalam tema tersebut.
Klien yang bersangkutan diminta untuk memikirkannya, kemudian diberitahukan
untuk rileks, kemudian diminta untuk berpikir tentang hal tersebut, kemudian diminta
untuk rileks, dan selanjutnya. Adegan dan relaksasi mendapatkan posisi yang
berlawanan beberapa kali.
4. Jika klien mengindikasikan tidak ada kegelisahan yang muncul, adegan
selanjutnya dalam hirarki kegelisahan ditampilkan dan mendapatkan posisi yang
berlawanan dengan relaksasi. Secara perlahan klien dan ahli terapi mengerjakan hirarki
kegelisahan dengan cara ini. Jika klien yang bersangkutan mengindikasikan
kegelisahan dengan stimulus apapun, ahli terapi menginstruksikan klien yang
bersangkutan untuk rileks. Setelah klien rileks, sebuah adegan yang berada pada tingkat
lebih rendah dalam hirarki ditampilkan dan ahli terapi dan klien secara perlahan mulai
mengerjakan hirarki kegelisahannya lagi.
Manfaat desentisasi melalui imajinasi adalah bahwa penampilan stimulus yang
ditakuti dapat diatur. Klien yang bersangkutan, dengan menghadapi stimuli yang
ditakuti dalam hirarki yang bertahap dalam imajinasinya, akan tidak cenderung
menjadi gelisah secara berlebihan.
Sebagai sebuah teknik klinis, desentisasi sistematik telah dibuktikan amat efektif
dalam mengurangi kegelisahan, ketakutan, dan phobia secara substansial yang melekat
pada kondisi-kondisi spesifik (Paul, 1969).Terdapat juga beberapa bukti yang
menyatakan bahwa desentisasi dapat digunakan sebagai sebuah prosedur modifikasi
diri-yakni, oleh seseorang yang tidak berada di bawah superivisi seorang ahli terapi
(Kahn & Baker, 1968; Migler, 1968; Rardin, 1969). Watson dan Tharo (1972)
memperingatkan bahwa desentiasasi diri “ harus dihentikan jika penerapan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pengurangan kegelisahan tidak secara relatif mulus dan ia harus segera dihentikan jika
peningkatan kegelisahan terlihat (hal. 179).
Desentisasi diri meliputi tahap-tahap penerapan yang sama seperti desentisasi
sistematik: belajar untuk rileks melalui penggambaran setelah mempelajari sebuah
relaksasi otot, konstruksi hirarki-hirarki kegelisahan, dan memberikan posisi yang
berlawanan stimuli yang menimbulkan kegelisahan dengan relaksasi. Dalam
mengkonstruksikan hirarki-hirarki kegelisahan. Watson dan Tharp (1972) menyatakan
bahwa setiap situasi yang ditakuti didaftarkan pada sebuah kartu terpisah, dan
kemudian hirarki-hirarki sesuai dengan tema-tema dikonstruksikan. Contohnya, fobia-
fobia akan hewan tertentu dapat meliputi tema-tema ular, tikus, dan anjing. Dalam
mengkonstruksi tema-tema tersebut, berbagai tipe hirarki dapat digunakan. Contohnya,
jika seseorang memiliki sebuah ketakutan untuk menjalani ujian, tipe-tipe hirarkinya
dapat meliputi sejumlah waktu sebelum kejadian yang ditakuti terjadi, pentingnya ujian
tersebut, dan pengetahuan atau kenyamanan orang yang menjalani ujian dengan konten
ujian yang diantisipasikan.
Desentisasi terjadi melalui penempatan posisi yang berlawanan akan stimuli yang
menunjukan kegelisahan dengan relaksasi. Sebuah tema dipilih dan, sementara rileks
secara mendalam, anda menampilkan kepada diri anda sendiri barang yang paling
kurang menimbullkan ketakutan dalam tema dengan melihat pada kartu di mana hal
tersebut telah ditulis. Dengan terus menempatkan posisi yang berlawanan melalui
penggambaran barang dan relaksasi tersebut, ketika anda merasa rileks sepenuhnya
disaat membayangkan benda tersebut, anda akan siap beranjak ke tahap berikutnya.

Desentisasi In Vivo
Desentisasi In Vivo (dari bahasa Latin yakni “ dalam kehidupan”) merujuk pada
sebuah proses desentisasi kehidupan nyata di mana seseorang secara perlahan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
mendekati sebuah kejadian sesungguhnya atau stimulus yang ditakuti sementara berada
dalam keadaan rileks. Untuk melakukan desentisasi in vivo, tiga tahap berikut harus
dilakukan:
1. Buatlah sebuah daftar berperingkat tentang situasi-situasi yang
menghasilkan ketakutan, menyusun hal-hal dari yang paling kurang sampai yang
paling banyak menimbullkan kegelisahan. (Tahap ini identik dengan konstruksi
hirarki-hirarki kegelisahan dalam desentisasi sistematik).
2. Belajar untuk mencapai relaksasi, mungkin dengan meditasi, relaksasi otot,
relaksasi pernapasan mendalam, atau relaksasi penggambaran.
3. Secara perlahan mendekati sebuah kejadian sesungguhnya yang ditakuti
sementara tetap rileks.
Seorang mahasiswa berusia 22 tahun menggunakan pendekatan ini dalam
menghadapi beberapa situasi (tema-tema) yang berkaitan dengan ketakutan akan
ketinggian. Pada awalnya ia menjadi terampil pada menghasilkan tanggapan relaksasi
dengan penggambaran tentang tempat relaksasi idealnya. (Tempat relaksasi idealnya
adalah berbaring di pantai di Acapulco. Dengan praktik ia menjadi terampil pada
relaksasi dirinya sendiri dengan seutuhnya berfokus pada pemikirannya akan
berelaksasi di Acapulco). Selanjutnya ia secara perlahan mendekati situasi-situasi yang
ditakuti sementara tetap berada dalam keadaan rileks dengan bayangannya akan
Acapulco. Contohnya, ia menghadapi ketakutannya akan bangunan-bangunan tinggi
dengan melihat ke luar jendela dalam lantai-lantai bawah dan secara perlahan pindah
ke atas pada saat ia berpikir tentang ia berileks di Acapulco. Ia juga menggunakan
pendekatan ini untuk menghadapi ketakutan-ketakutannya akan mengendarai wahana-
wahana taman hiburan dan terbang dengan pesawat-pesawat kecil.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Watson dan Tharp (1972) mengindikasikan bahwa dalam desentisasi in vivo
terdapat sebuah metode efektif dalam menghilangkan reaksi-reaksi ketakutan dan
kegelisahan berkaitan dengan stimuli (kejadian-kejadian).

Terapi Implosif
Seperti desentisasi sistematik, terapi implosif membuat klien
membayangkan (berpikir tentang) materi yang memprovokasi kegelisahan. Tidak
seperti desentisasi sistematik, pelatihan relaksasi tidak diharuskan dalam terapi ini.
Terapi implosif dikembangkan oleh Stampfl dan Levis (1967). Pendekatan
didasarkan pada kepunahan. Seperti yang digunakan Stampfl dan Levis, kepunahan
merujuk pada pengurangan secara perlahan timbulnya tanggapan kegelisahan sebagai
sebuah hasil presentasi berkelanjutan terhadap timulus yang menghasilkan ketakutan
dalam ketidaadaan penguatan yang memicu ketakutan tersebut.
Dalam penggunaan terapi implosif, ahli terapi pertama-tama mengkonstruksikan
sebuah Hirarki Penghindaran Titik Tolak Serial. Pada awal wawancara-wawancara
dengan klien, ahli terapi mengembangkan sebuah peringkat akan tolak ukur-tolak ukur
yang berada dalam ketakutan klien. Contohnya, jika seseorang memiliki ketakutan
untuk terbang, sebuah titik tolak yang berada rendah pada hirarki adalah mengemudi
ke bandara, di mana sebuah titik tolak yang berada tinggi pada hirarki dapat berupa
terbang dalam pesawat selama badai. Dalam mengembangkan hirarki ahli terapi
terutama berupaya untuk memasukan tolak ukur-tolak ukur yang dianggap mampu
dalam menghasilkan sebuah tingkat maksimum kegelisahan dalam klien. Sebagai
contoh jenis hirarki ini digambarkan oleh Hogan dan Kirchner (1967).

“Ketakutan akan tikus


Bayangkanlah jika anda sedang menyentuh seekor tikus dalam
laboratorium…Tikus itu mulai mengecap jari anda…dan kemudian berlari di
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
atas lengan anda. Tikus tersebut tiba-tiba menggigit anda di lengan anda, dan
kemudian anda merasakannya berlari dengan kencang di atas tubuh anda…Ia
mulai menggigit leher anda dan mengibaskan ekornya di wajah anda…dan
kemudian ia berjalan di wajah anda menuju ke rambut…mencakar rambut
anda…anda mencoba memindahkannya dengan tangan anda, namun anda tidak
bisa. Kemudian ia pindah menuju mata anda…anda membuka mulut anda dan
ia melompat masuk dan anda menelannya…ia kemudian mulai memakan
berbagai organ internal-seperti perut dan saluran pengeluaran anda,
menyebabkan anda merasakan sangat tidak nyaman dan sakit…,dsb”. (hal. 109).

Setelah hirarki tersebut dikembangkan, ahli terapi menggambarkan terapi implosif


kepada klien. Klien kemudian klien melihat tampilan adegan-adegan dan diminta untuk
berusaha membayangkan adegan-adegan tersebut sebaik mungkin. Klien yang
bersangkutan didorong untuk “ menghidupi” adegan-adegan dengan emosi. Tujuan
terapi implosive adalah untuk menghilangkan ketakutan-ketakutan dengan membuat
klien menghasilkan dalam pikirannya pengalaman-pengalaman menakutkan dengan
ketertarikan tersebut bahwa, dalam ketiadaan penguatan, mereka akan mengurangi
ketakutan akan situasi tertentu. Selanjutnya, Stamplf dan Levis (1967) menyatakan:

“Sebuah upaya dilakukan oleh ahli terapi untuk mendapatkan sebuah


tingkat maksimal evokasi kegelisahan dari pasien. Ketika sebuah tingkat tinggi
kegelisahan dicapai, pasien ditahan pada tingkat ini sampai beberapa tanda
pengurangan spontan dalam nilai tolak-tolak ukur yang memicu kegelisahan
muncul…proses tersebut diulangi, dan lagi, pada tanda pertama pengurangan
spontan akan ketakutan, variasi-variasi yang baru diperkenalkan untuk
menunjukan sebuah tanggapan kegelisahan yang intens. Tanggapan ini diulangi
sampai sebuah pengurangan kegelisahan signifikan muncul”. (hal. 500).

Sesi berakhir setelah 30 sampai 60 menit, pada umumnya setelah klien mengalami
sebuah pengurangan dalam kegelisahan sampai adegan-adegan implosif. Antara sesi-
sesi tersebut klien yang bersangkutan didorong untuk mempraktikan pembayangan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
adegan-adegan implosif di rumah untuk menolongnya menyadari bahwa ia dapat secara
efektif menangani ketakutan-ketakutan yang ada.
Morris (1986) mengindikasikan bahwa sedikit studi-studi hasil telah dilakukan
pada terapi implosif, dengan studi-studi tersebut menunjukan hasil-hasil yang
bercampur. Terdapat sebuah bahaya yang dapat ditingkatkan terapi implosif, daripada
mengurangi bahaya tersebut, yakni ketakutan situasi tertentu (Morris, 1986). Karena
kemungkinan ini, teknik yang digunakan hanya boleh digunakan oleh para ahli klinik
yang menerima pelatihan ekstensif.

Terapi Pembukaan/Pembongkaran
Terapi pembukaan adalah sebuah penghalusan terapi implosif. Terapi
pembukaan/pembongkaran juga didasarkan pada prinsip kepunahan. Dalam terapi
pembukaan/pembongkaran para klien membuka diri mereka sendiri pada stimuli atau
situasi-situasi yang sebelumnya ditakuti atau dihindari. “ Pembukaan/pembongkaran”
dapat berada dalam kehidupan (in vivo) atau dalam fantasi (in imagino). Dalam kedua
kasus tersebut, para klien diminta untuk membayangkan diri mereka sendiri dalam
sebuah kehadiran stimulus yang ditakuti (contohnya, seekor ular) atau dalam situasi
yang menghasilkan kegelisahan (contohnya, memberikan sebuah persentasi dalam
sebuah kelas). Teori di balik terapi pembukaan/pembongkaran adalah akan terdapat
sebuah pengurangan perlahan dalam kejadian sebuah tanggapan kegelisahan sebagai
sebuah hasil presentasi berkelanjutan akan stimulus yang menghasilkan ketakutan
dalam ketiadaan penguat yang mengabadikan ketakutan tersebut.
Terapi pembukaan/pembongkaran telah ditemukan oleh para peneliti sebagai
efektif dalam tritmen-tritmen bagi disorder-disorder panic, fobia yang
terspesifikasikan, agoraphobia (ketakutan abnormal akan menyebrangi atau berada
dalam tempat-tempat terbuka), fobia sosial, disorder stress pascatrauma, disorder

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
obsesif-kompulsif (Emmelkamp, 1994). Terapi pembukaan/pembongkaran berbeda
dari terapi implosif dalam tiga cara:
1. Hirarki-hirarki kegelisahan yang dikonstruksikan dalam terapi
pembukaan/pembongkaran didasarkan pada tolak ukur-tolak ukur kegelisahan yang
sebenarnya yang menunjukan ketakutan bagi kegelisahan dalam diri klien (dalam terapi
implosif ahli terapi menciptakan sebuah hirarki kegelisahan dalam diri klien).
2. Dalam tritmen pembukaan/pembongkaran klien yang bersangkutan hanya
diekspos pada tolak ukur-tolak ukur yang pada masa lalu menunjukan kegelisahan atau
ketakutan (dalam terapi implosive klien dieksos pada tolak ukur-tolak ukur yang
dirancang untuk menghasilkan sebuah tingkat maksimal kegelisahan).
3. Terapi pembukaan/pembongkaran mengekspos klien pada tolak ukur-tolak
ukur kegelisahan dalam kehidupan nyata atau melalui visualisasi (hanya visualisasi
digunakan dalam terapi implosif).
Beberapa peneliti menyatakan bahwa ciri-ciri berikut harus tampak dalam tritmen-
tritmen pembukaan/pembongkaran bagi klien untuk mencapai manfaat-manfaat
maksimum (Barlow & Cerny, 1988):
1. Pembukaan harus dilakukan dalam durasi yang lama.
2. Pembukaan/pembongkaran harus diulangi sampai semua ketakutan dan
kegelisahan hilang.
3. Pembukaan/pembongkaran harus diakhiri; bermula dari stimuli atau
situasi-situasi kegelisahan rendah dan berlanjut ke stimuli atau situasi-situasi
kegelisahan tinggi.
4. Para klien harus menghadiri stimulus yang ditakuti dan berinteraksi
dengannya sebanyak mungkin.
5. Pembukaan/pembongkaran harus menghasilkan kegelisahan.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Terapi pembukaan/pembongkran menyatakan bahwa serangan-serangan panik atau
fobia secara esensial merupakan “ alarm-alarm palsu” yang diisukan oleh tubuh
sebagai tanggapan pada sebuah titik tolak atau sinyal yang telah dipelajari klien untuk
berasosiasikan dengan bahaya atau ancaman. Melalui proses kepunahan, diteorisasikan
bahwa kegelisahan atau ketakutan yang ditunjukan dalam reaksi pada alarm palsu akan
secara perlahan menghilang ketika klien mempelajari bahwa tidak ada alasan untuk
menjadi takut yang berasosiasi dengan alarm palsu.

Sensitisasi Tersembunyi/tersamar
Sensitisasi merupakan sebuah pendekatan kontrapengkondisian aversif yang
pertama kali dikembangkan oleh J. R. Cautela (1967). Daripada menhalangi
kegelisahan dengan relaksasi seperti dalam desentisasi sistematik, sensitisasi
tersembunyi digunakan untuk menunjukan kegelisahan dalam situasi-situasi
problematik tertentu. Teknik tersebut dinyatakan tepat secara khusus bagi penanganan
kelebihan-kelebihan perilaku seperti deviasi-deviasi seksual, alkoholisme, mencuri,
makan berlebihan, dan kecanduan obat-obatan (Anant, 1967, 1968; Ashem & Donner,
1968; Sundel & Sundel, 1975).
Langkah pertama dalam sensitisiasi tersembunyi/tersamar adalah untuk
menginstruksikan klien dalam bagaimana berileks-contohnya, dengan menggunakan
sebuah teknik relaksasi otot. (Teknik-teknik relaksasi digambarkan dalam Bab 17).
Langkah selanjutnya adalah untuk membuat klien membayangkan
(memvisualisasikan) tentang menjadi terlibat dalam perilaku problematisnya
sementara membayangkan konsekuensi-konsekuensi yang sangat tidak mengenakkan.
John (1972) menggambarkan bagaimana sensitisasi tersembunyi/tersamar
digunakan untuk orang-orang yang memiliki masalah dengan minuman keras:

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
“Pasien dirileksasikan dan diminta untuk membayangkan sebuah rangkaian
adegan-adegan yang mengarah kepada kinerja perilaku bermasalah, contohnya,
memandang pada sebuah gelas yang berisi minuman beralkohol kesukaannya
dan mendekatkannya ke bibirnya. Pada titik ini ia mensinyalkan dan ahli terapi
memberitahu pasien yang bersangkutan untuk membayangkan bahwa ia mulai
merasa mual dan memuntahkan minumannya pada dirinya sendiri dan teman-
temannya. Ia kemudian diminta untuk memvisualisasikan rangkaian tersebut
seutuhnya dan adegan terakhir oleh dirinya sendiri, dan untuk sesungguhnya
merasa mual ketika ia bersiap untuk minum. Adegan-adegan alternatif
ditampilkan di mana pasien yang bersangkutan membayangkan dirinya sendiri
mengabstainkan dirinya dari minum dan kemudian “ berlari menuju udara
segar atau rumah unutk membasuh dirinya” . Presentasi adegan-adegan
kelegaan tersebut menciptakan sebuah komponen pelatihan pelarian dan
pencegahan dalam prosedur. Setelah beberapa pencobaan dengan ahli terapi,
pasien yang bersangkutan diinstruksikan untuk mengulangi seluruh prosedur
pada tindakannya sendiri dan dengan segera membayangkan adegan muntah
tersebut kapanpun ia tergoda untuk minum minuman beralkohol. (hal. 57-58)”.

Prochaska (1979) menggambarkan menggunakan sensitisasi tersembunyi/tersamar


dengan seorang pria yang memiliki hubungan homoseksual dengan anak-anak:
Seorang pedofilia berusia tiga puluh tahun diminta untuk membayangkan
sedang mendekati seorang putra berusia sepuluh tahun yang menariknya.
Ketika ia mendekati anak laki-laki tersebut untuk memintanya datang ke
apartemennya, ia merasa perutnya mual. Ia merasakan makan siangnya naik ke
kerongkongannya, dan ketika ia ingin berbicara kepada anak tersebut ia muntah
kepada dirinya sendiri dan si anak. Orang-orang di jalan memandang padanya
dan ia berbalik dari anak tersebut dan mulai merasa lebih baik. Ia mulai berjalan
kembali ke apartemennya merasakan lebih baik dan lebih baik lagi dengan
setiap langkah yang ia ambil. Ia kembali ke apartemennya, mandi, dan merasa
lebih baik. Setelah mengajarkan pria ini tentang adegan tersembunyi Prochaska
membuatnya mempraktikannya secara berlebihan, termasuk membuat suara-
suara dan gesture muntah. Untuk membuat adegan tersebut menjadi lebih
mudah diingat Prochaska memintanya untuk duduk di jendela apartemen, dan
ketika ia melihat seorang anak laki-laki di jalan yang ingin didekatinya secara
seksual, kami membuatnya pergi ke kamar mandi dan mencolokan jarinya ke
kerongkongannya dan muntah ketika ia membayangkan menggantikan posisi
anak tersebut. Dalam dua bulan si pelanggar kronis ini tidak lagi merasakan
desakan untuk mendekati anak-anak laki-laki dan ia telah mengikuti teknik-
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
teknik keasertifan kami untuk membentuk hubungan-hubungan homoseksual
dewasa. (hal. 30).

Sebuah kata peringatan-sensitisasi tersembunyi/tersamar harus digunakan hanya


oleh para ahli terapi yang terampil dengan pelatihan ekstensif dalam teknik ini.
Terdapat sebuah bahaya yang menyatakan bahwa aplikasi yang tidak tepat akan
pendekatan ini dapat menciptakan reaksi-reaksi kegelisahan dalam diri para klien (dan
mungkin mengarah pada efek-efek samping yang berlawanan) tanpa mencapai tujuan
untuk mengeliminasi perilaku problematik yang dimaksud seperti makan berlebihan
dan deviasi seksual.

Teknik-Teknik Aversif
Stimulus aversif adalah stimulus apapun yang akan dihindari atau diterminasi suatu
organism (seseorang) jika memiliki kesempatan. Contoh-contoh stimuli tersebut
meliputi sengatan listrik, gambaran yang tidak enak, menahan nafas, rokok yang rusak,
zat-zat yang berbau tidak sedap, white noise, dan rasa malu. Sensitisasi tersembunyi
adalah sebuah contoh akan sebuah teknik aversif di mana klien membayangkan
konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan dalam kaitannya dengan perilaku
maladaptif. Sensitisasi tersembunyi menghasilkan berkurangnya ketertarikan dalam
stimuli yang telah digambarkan sebelumnya.
Dalam sebuah peninjauan kembali metode-metode aversif, Sandler (1986)
menemukan bahwa terapi aversif telah digunakan dalam menangani perilaku-perilaku
menciderai diri sendiri (seperti membanting kepala dan menggigit diri sendiri),
ketidaksanggupan mengatur kencing, bersin, gagap, alkoholisme, mengisap rokok,

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
makan berlebihan, berjudi, deviasi-deviasi seksual (contohnya fetis dan transvetisme),
dan perilaku agresif. Berikut ini adalah beberapa gambaran teknik-teknik aversif.
Vogler, Lunde, Johnson, dan Martin (1970) menyajikan cocktail pada klien
alkoholik dalam sebuah pengaturan ruangan stimulasi. Setiap kali seorang klien
minum, ia diberikan sengatan listrik, dan sengatan tersebut dipertahankan sampai klien
berhenti minum. Para penyelidik melakukan tindakan berkelanjutan dan
menyimpulkan bahwa tritmen yang dilakukan membawa pada penahanan nafsu. Para
klien alkoholik juga telah ditangani menggunakan terapi adversif dengan memberikan
mereka sebuah perangsang muntah seperti Antabus yang menyebab mual atau muntah
setelah para klien meminumnya. Terkadang obat-obatan perangsang muntah tersebut
dicampurkan dengan minuman. Kombinasi alkohol dan obat perangsang muntah ini
biasanya diberikan selama sepuluh hari dalam seminggu. Selanjutnya, hanya sedikit
minuman tersebut cukup untuk memicu mual dan ketidaknyamanan dalam diri banyak
klien (Phares & Trull, 1997, hal. 390).
Corte, Wolf, dan Locke (1971) menangani empat remaja dengan sebuah
keterbatasan kognitif yang menunjukan perilaku melukai diri sendiri (termasuk
menepuk mata, menampar diri sendiri, menggaruk kulit, dan menjambak rambut).
Setiap kali satu dari para remaja ini menunjukan sebuah tanggapan melukai diri sendiri,
ia diberikan sengatan listrik. Para penulis melaporkan pendekatan ini secara tajam
mengurangi perilaku-perilaku melukai diri sendiri tersebut.
Bancroft, Jones, dan Pullan (1966) menangani seorang pria pedofil (penyodom
anak) yang penyimpangan seksualnya amat serius sehingga ia dipertimbangkan untuk
menjalani operasi otak. Prosedur tritmen mensimulasikan kondisi-kondisi alami di
mana penyodoman anak terjadi. Dalam prosedur-prosedur tritmen sebuah instrument
disebut sebagai penil pleithysmograf, yang mengukur volume penil, telah digunakan
untuk menampung ereksi penis. Gambar-gambar anak-anak perempuan ditampilkan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pada klien, dan ketika sebuah ereksi terjadi, klien diberikan sengatan listrik di lengan.
Sengatan tersebut dilanjutkan sampai terdapat pengurangan dalam tanggapan
demikian. Tritmen tersebut bertahan selama delapan minggu dengan prosedur-prosedur
tritmen yang digunakan beberapa kali dalam sehari. Sebagai tambahan, pada setiap
pencobaan keempat alat-alat sengatan tersebut dilepaskan dan klien diminta untuk
melihat foto-foto wanita dewasa dan dianjurkan untuk terlibat dalam fantasi-fantasi
seksual normal. Walaupun hasilnya tidak sepenuhnya berhasil, terdapat sebuah
pengurangan yang ditandai dalam kegiatan-kegiatan penyodoman anak dan sebuah
peningkatan dalam perilaku-perilaku seksual antar orang dewasa.
Berkaitan dengan penggunaan teknik-teknik aversif. Chambless dan Goldstein
(1979) memperingatkan:

“Ketika melaporkan pada terapi perilaku, pers popular menekankan teknik-


teknik tersebut dan memberikan kesan bahwa hukuman adalah alat utama
behavioral. Secara berlawanan, hukuman agak jarang digunakan oleh para
pemodifikasi perilaku bahkan ketika banyak klien meminta pertolongan melalui
hukuman dalam menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Untuk
memulainya, tidak ada perilaku yang harus dihukum jika tidak ada perilaku
alternatif. Contohnya, seorang klien mengeluh tentang perilaku seksual yang
menyimpang, intervensi terapi yang pertama biasanya diarahkan pada
pengurangan halangan apapun tentang kontak seksual yang normal. Hal ini
dapat dicapai dengan sebuah kombinasi prosedur-prosedur dan pelatihan
desentisasi dalam ekspresi yang tepat. Pada umumnya desakan-desakan yang
tidak diinginkan berkurang ketika kegelisahan tentang seks “ normal” , yakni,
seks dengan pasangan yang sepakat, berkurang.
Pendekatan demikian didiktekan tidak hanya oleh imperatif moral untuk
menerapkan metode yang kurang menyakitkan ketika terdapat sebuah pilihan
namun juga dengan secara eksperimental mendemonstrasikan kegagalan akan
menghilangkan perilaku melalui hukuman ketika tidak ada mode kepuasan
alternatif. Pembukaan alternatif-alternatif merupakan hal penting dalam
sebagian besar kasus di mana hukuman digunakan”. (hal. 252).

Phates dan Trull (1997) menambahkan:


Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
“Banyak kritik, baik di dalam maupun tanpa gerakan terapi perilaku, amat
kritis pada terapi aversi. Konsentrasi hukuman dan penggunaan akan stimuli
yang menakutkan sering tampak benar-benar tidak cocok dengan martabat
manusia. Apakah para pasien sendiri secara sukarela menghadiri tritmen atau
tidak adalah hal yang mendampingi poin tersebut. Teknik-teknik demikian
seperti memicu muntah, menggunakan sebuah obat yang menyembuhkan
sehingga pasien akan mengalami sensasi sesak, atau menyuntikan asap rusak
pada lubang hidung tampak membuang status tersiksa daripada dihargai
sebagai tritmen”. (hal. 391).

Pendekatan-pendekatan penguatan positif (penghargaan) pada umumnya lebih


efektif daripada pendekatan yang didasarkan pada hukuman. Hukuman sering bersifat
kontraproduktif sebagaimana ia mengarah pada klien yang menjadi memusuhi
prosedur-prosedur tritmen. Juga, hukuman hanya dapat memberikan pengaruh
sementara. Ketika para klien menyadari mereka tidak lama lagi lepas dari pengawasan,
mereka dapat kembali terlibat dalam perilaku disfungsional. Teknik-teknik aversif
mungkin hanya boleh digunakan ketika semua pendekatan-pendekatan terapi gagal.
Pada umumnya, prosedur-prosedur aversif harus diterapkan hanya pada orang yang
memiliki masalah-masalah serius (seperti alkoholisme atau deviasi-deviasi seksual)
dan mereka yang berada dalam keputusasaan karena tidak ada hal lain yang dapat
menolongnya.

Teknik-Teknik Modifikasi-Kognitif Perilaku


Sebuah kecenderungan utama dalam terapi perilaku dalam tiga dekade belakangan
ini adalah menuju sebuah pengenalan akan peran kognisi (proses-proses berpikir)
dalam perilaku manusia. Mengikuti pengamatan-pengamatan ahli-ahli terapi kognitif
seperti Albert Ellis (1962) dan A. T. Beck (1976), para ahli terapi kognitif perilaku
telah menerima buah pemikiran bahwa perubahan pikiran-pikiran akan mengubah
perasaan-perasaan dan perilaku.
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Paradigma tradisional terapi perilaku adalah S (stimulus) R (respon), para ahli
terapi kognitif perilaku memasukan sebuah langkah tambahan dalam paradigm ini:

S (stimulus) O (kognisi-kognisi organisma)


R (respon)

Bagian ini merangkum teknik-teknik berikut yang telah dikembangkan untuk


mengubah kognisi-kognisi: penghentian pikiran dan pernyataan tersembunyi, teknik-
teknik pengalihan, dan pengkerangkaan kembali.

Penghentian Pikiran dan Pernyataan Tersembunyi


Penghentian pikiran digunakan bagi para klien yang masalah utamanya meliputi
pemikiran obesesif dan ruminasi-ruminasi tentang kejadian-kejadian yang sangat tidak
cenderung terjadi (seperti khawatir bahwa sebuah pesawat yang akan ditumpangi oleh
mereka dalam dua minggu akan mengalami tabrakan atau mereka akan menjadi sakit
secara mental).
Dalam penghentian pikiran, klien pertama-tama diminta untuk berkonsentrasi dan
mengungkapkan dengan keras pikiran-pikiran obsesif, memicu kegelisahannya. Ketika
ia mulai mengekspresikan pikiran-pikiran itu, ahli terapi tiba-tiba dan secara empatik
berteriak “ Stop” . Prosedur ini diulangi beberapa kali sampai klien melaporkan bahwa
pikiran-pikirannya berhasil diinterupsi. Kemudian tanggungjawab bagi intervensi
dialihkan pada klien, sehingga klien sekarang memberitahukan dirinya sendiri untuk
“ Berhenti” dengan suara keras ketika ia mulai berpikir tentang pikiran-pikiran yang
bermasalah. Ketika teriakan berlebihan adalah efektif dalam menghentikan pikiran-
pikiran bermasalah, klien yang bersangkutan mulai mempraktikan berkata “ Stop”
dengan tenang untuk dirinya sendiri kapanpun pikiran-pikiran bermasalah bermula.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Rimm dan Masters (1974) mensuplemenkan teknik penghentian dengan sebuah
prosedur pernyataan tersembunyi. Sebagai tambahan untuk membuat klien belajar
menginterupsi pikiran-pikiran obsesif dengan berkata “ Stop” , klien didorong untuk
menghasilkan sebuah pernyataan positif, asertif yang tidak cocok dengan konten
obsesi. Contohnya, seorang klien yang khawatir tentang menjadi sakit secara mental
(ketika tidak ada dasar bagi pemikiran tersebut) dapat didorong untuk menambahkan
pernyataan tersembunyi “ Kacaukan saja! Saya normal secara sempurna” kapanpun ia
menginterupsi pikiran obsesif dengan “ Stop” .
Mahoney (1973) dengan berhasil menggunakan penghentian pikiran dan
pernyataan tersembunyi sebagai bagian sebuah program komperhensif bagi para klien
dengan kelebihan berat badan. Mahoney pertama-tama menginstruksikan para klien
untuk bermawas akan pernyataan-pernyataan diri seperti “ Saya memang tidak
memiliki kekuatan kemauan” dan “ Saya yakin bahwa saya makan mencicipi es krim
stroberi” . Para klien kemudian dilatih untuk menggunakan penghentian pikiran dan
pernyataan tersembunyi untuk melawan pikiran-pikiran ini.

Teknik-Teknik Pengalihan
Teknik-teknik pengalihan digunakan untuk menangani para klien yang memiliki
emosi-emosi kuat yang tidak diinginkan seperti kesepian, kepahitan, depresi, frustasi,
dan kemarahan. Seperti yang diindikasikan dalam Bab 19, emosi-emosi yang tidak
diinginkan menjadi terlibat dalam kegiatan fisik, pekerjaan, interaksi-interaksi sosial,
atau permainan, mereka biasanya akan menggantikan kognisi-kognisi negatif pada
kognisi-kognisi yang berbeda berkaitan dengan kegiatan-kegiatan pengalihan baru.
Ketika mereka memfokuskan pikiran mereka pada kegiatan-kegiatan pengalihan yang
mereka ketahui sebagai kegiatan bermakna dan dinikmati, mereka akan mengalami
lebih banyak emosi-emosi yang memuaskan.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Teknik-teknik pengalihan digunakan baik dalam terapi rasional dan terapi kognitif
perilaku yang berkaitan secara dekat. Terapi rasional dan terapi kognitif perilaku sering
diklasifikasikan sebagai sebuah pendekatan kognitif behavioral.

Pengkerangkaan Kembali
Pengkerangkaan kembali meliputi pertolongan pada seorang klien untuk mengubah
kognisi-kognisi yang menyebabkan emosi-emosi yang tidak diinginkan atau perilaku-
perilaku disfungsional. Beberapa di antara kategori kognisi dapat dikerangkakan
kembali.
Salah satu fokus pengkerangkaan kembali adalah pikiran positif. Ketika kejadian-
kejadian yang tidak menyenangkan terjadi seperti menerima sebuah nilai rendah dalam
ujian, kita selalu memiliki pilihan untuk berpikir positif atau negatif. Jika kita
mengambil sebuah pandangan positif dan berfokus pada penyelesaian masalah, maka
kita akan cenderung untuk mengidentifikasikan dan memulai tindakan-tindakan untuk
memperbaiki keadaan. Walaupun demikian, jika kita berpikir secara negatif, kita akan
cenderung mengembangkan emosi-emosi yang tidak diinginkan (seperti depresi dan
frustasi) dan gagal untuk berfokus pada bagaimana menyelesaikan masalah. Dengan
pemikiran negatif, kita pada umumya tidak berpikir secara konstruktif dan bahkan
dapat terlibat dalam perilaku destruktif.
Ketika seorang klien sedang berpikir secara negatif, seorang ahli terapi dapat
menggunakan pengkerangkaan kembali untuk menolong klien menyadari bahwa ia
sedang berpikir negatif. Terkadang merupakan hal yang bersifat menolong untuk
mengingatkan klien yang bersangkutan bahwa baik pikiran negatif maupun positif
sering menjadi kenyataan. Kemudian, dengan meminta klien untuk

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
mengidentifikasikan beberapa aspek positif situasi yang ada, ahli terapi membantu
klien dalam berpikir secara lebih positif. Klien yang bersangkutan dapat didorong
untuk memberitahu dirinya sendiri “ Stop” kapanpun ia mulai berpikir secara negatif
dan daripada itu ia berfokus pada memberitahu dirinya sendiri tentang aspek-aspek
positif dari situasi yang ada. Beberapa orang mengambil sebuah pandangan negatif
terhadap sebagian besar kejadian yang terjadi pada mereka; bagi orang-orang tersebut,
pengkerangkaan kembali melalui kognisi-kognisi positif lebih sulit dan menghabiskan
waktu. Walaupun demikian, jika mereka berhasil dalam belajar untuk berpikir secara
positif, mereka cenderung mendapatkan perolehan-perolehan substansial.
Cara kedua yang berkaitan dekat di mana pengkerangkaan kembali digunakan
adalah menghilangkan perasaan buruk. Ketika kejadian-kejadian yang menyebabkan
tekanan terjadi, sebagian besar kita cenderung berperasaan buruk seperti melebih-
lebihkan hal-hal negatif. Pikirkan tentang reaksi-reaksi anda ketika seseorang dengan
siapa anda secara romantis berhubungan putus dengan anda, atau ketika anda menerima
peringatan pemarkiran atau percepatan kendaraan. Apakah anda berperasaan buruk dan
sebagai hasilnya merasa marah, sakit, atau tertekan? Ketika kita berperasaan buruk,
kita hanya berfokus pada hal-hal negatif dan tidak mengidentifikasikan tindakan-
tindakan konstruktif untuk memperbaiki situasi. Ketika seorang klien sedang
berperasaan buruk, seorang ahli terapi biasanya dapat menolong orang yang
bersangkutan mengidentifikasikan proses-proses pikiran tersebut dengan secara
sederhana menanyakan, “ Saya heran jika anda sedang berperasaan buruk?” . Ahli
terapi kemudian dapat membantu klien, seperti yang digambarkan dalam materi akan
pengkerangkaan kembali dengan pikiran positif, untuk memberikan dirinya sendiri
kognisi-kognisi yang lebih positif dan berorientasi pada penyelesaian masalah.
Ketika seorang klien sedang berperasaan buruk tentang kejadian-kejadian yang
menyebabkan stres, merupakan hal yang juga menolong bagi konselor untuk

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
mengkerangkakan kembali keberperasaan buruk tersebut dengan menghubungkan
cerita seperti “ Beruntung? Tidak Beruntung? Siapa yang Tahu?” . (De Mello, 1978).

“Terdapat sebuah cerita Cina tentang seorang petani tua yang memiliki
seekor kuda tua untuk membajak lahan-lahannya. Suatu hari kuda tersebut
kabur ke perbukitan dan ketika semua tetangga petani tersebut bersimpatisasi
dengan petani tua itu atas ketidakberuntungannya, petani tersebut menanggapi,
“ Beruntung? Tidak Beruntung? Siapa yang tahu?” . Kemudian, ketika anak
laki-laki petani tersebut berusaha menjinakkan salah satu kuda liar, ia jatuh dari
atas kuda tersebut dan mengalami patah kaki. Setiap orang berpikir bahwa ini
adalah sebuah ketidakberuntungan yang amat sangat. Bukan si petaninya yang
rekasinya hanya, “ Tidak Beruntung? Beruntung? Siapa yang tahu?” .
Beberapa minggu kemudian tentara datang ke desa mereka melakukan wajib
militer setiap remaja laki-laki yang sehat secara fisik di sana. Ketika mereka
melihat anak petani tersebut sedang mengalami patah kaki, mereka
membiarkannya. Sekarang apakah kejadian tersebut keberuntungan?
Ketidakberuntungan? Siapa yang tahu? (hal. 140)”.

Kejadian-kejadian yang menyebabkan stres sering berupa krisis-krisis, yang secara


frekuentif mengarah mereka yang terlibat untuk membuat perubahan-perubahan positif
dalam kehidupan mereka.
Sebuah fokus ketiga pengkerangkaan kembali meliputi dekatastrofi (Beck &
Weishaar, 1989). Teknik ini digunakan ketika para klien sedang mengkatastrofi
kejadian-kejadian menakutkan yang diantisipasi. Dekatastrofi meliputi tindakan
menanyakan para klien secara terus menerus “ apa jika” pada sebuah konsekuensi
yang diantisipasikan, tidak diinginkan terjadi. Berikut ini adalah percakapan dengan
seorang mahasiswa berusia 21 tahun yang takut mengekspresikan pikiran-pikiran dan
perasaan-perasaannya di kelas:
Ahli terapi :Apakah yang anda pikirkan akan terjadi jika anda mulai
mengekspresikan pandangan-pandangan anda dalam kelas?
Klien : Suara saya akan pecah dan yang lain akan menertawakan saya.
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Ahli terapi : Suara anda akan tidak cenderung pecah. Namun bahkan jika hal
tersebut terjadi, dan para murid tertawa sedikit, apakah hal tersebut amat buruk bahwa
kemarahan dan frustasi anda atas tindakan anda untuk membagikan pemikiran-
pemikiran anda?
Klien : Saya tidak tahu.
Ahli terapi : Yang lebih buruk ketika anda menanyakan sebuah pertanyaan di
kelas? Mengangkat bahu anda dan menampilkan diri dengan lidah terikat, atau
memberikan tanggapan walaupun suara anda pecah?
Klien : Saya mendengar apa yang anda katakan.
Ahli terapi : Konsekuensi-konsekuensi negatif lain apakah yang dapat terjadi
ketika anda mulai mengekspresikan diri anda sendiri di kelas?
Klien : (jeda) Saya tidak dapat memikirkan apapun mengenai hal tersebut.
Ahli terapi : Hal-hal positif apakah yang akan anda dapatkan dari tindakan anda
untuk bertanya dalam kelas?
Klien : Saya akan mendapatkan lebih banyak hal dari kelas dan merasa
lebih baik tentang diri saya sendiri. Cukup demikian. Saya mendapatkan pesan dengan
keras dan jelas. Saya akan mengkomitmenkan diri saya sendiri untuk berbicara
setidaknya sekali dalam seminggu dalam setiap kelas saya.
Orang-orang yang berkatastrofi biasanya melebih-lebihkan konsekuensi-
konsekuensi yang ditakuti. Dekatastrofi dirancang untuk mendemonstrasikan para
klien bahkan ketika konsekuensi-konsekuensi yang ditakuti terjadi (yang jarang
terjadi), konsekuensi-konsekuensi itu tidak seberat yang ditakuti.
Sebah fokus keempat akan pengekrangkaan kembali adalah untuk menolong para
klien pada pemisahan maksud-maksud positif dari perilaku-perilaku negatif sehingga
maksud-maksud positif kemudian menjadi terhubungkan dengan perilaku-perilaku
positif baru. Seseorang yang secara fisik bersifat abusif pada seorang anak memiliki

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
maksud positif dalam membesarkan anak dengan baik, namun ketika ia berada dalam
tekanan dan anak tersebut salah berperilaku, orang tua tersebut dapat bersikap kurang
mawas bahwa ia memiliki sejumlah pilihan akan pilihan-pilihan lain yang lebih
konstruktif daripada secara fisik memukul anak. Seorang ahli terapi dapat membantu
orang tua tersebut dengan menolongnya mengkerangkakan kembali pemikirannya
sehingga ketika anak tersebut dalah bertindak di masa depan ia memfokuskan proses-
proses berpikirnya pada tanggapan-tanggapan alternatif, seperti meminta suaminya
untuk menangani perilaku yang salah dari anak tersebut ketika ia sedang berada di
bawah tekanan atau dengan menghukum anak tersebut dengan time-out.
(Pengkerangkaan tipe ini digambarkan dalam Bab 24).
Pendefinisian kembali merupakan sebuah fokus kelima yang digunakan bagi para
klien yang meyakini bahwa sebuah masalah berada di luar kendali pribadinya (Beck &
Weishaar, 1989). Seseorang yang mengalami kebosanan yang meyakini bahwa
“ Hidup Itu Membosankan” dapat didorong untuk berpikir bahwa, “ Alasan satu-
satunya saya bosan adalah karena saya tidak memiliki ketertarikan spesial apapun dan
saya tidak memulai kegiatan. Bukanlah hidup saya yang membosankan; melainkan
proses-proses pemikiran saya yang membawa saya merasa bosan. Apa yang akan saya
lakukan adalah melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang saya nikmati dan
memulai interaksi-interaksi dengan orang-orang yang saya sukai” . Pendefinisian
kembali dicapai oleh ahli terapi dengan pertama-tama mendemonstrasikan emosi-
emosi, seperti merasa bosan, terutama berasal dari pikiran-pikiran (lihar Bab 19).
Selanjutnya, ahli terapi mendemonstrasikan bahwa jika klien berpikir secara lebih
positif dan realistik, ia akan merasa lebih baik. Secara bersama, klien dan ahli terapi
yang bersangkutan kemudian mengidentifikasikan pola-pola pikiran negatif klien yang
menyebabkan klien meyakini bahwa masalah yang terjadi berada di luar kendali
personalnya. Pada akhirnya, mereka mengidentifikasikan kognisi-kognisi di mana

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
klien membuat sebuah komitmen untuk digunakan sebagai alat untuk melawan kognisi-
kognisi yang (pada kenyataannya) menyebabkan emosi-emosi yang tidak diinginkan
dan perilaku-perilaku yang tidak efektif.
Desentralisasi merupakan sebuah fokus keenam dalam pengkerangkaan yang
digunakan dengan para klien yang mengalami kegelisahan yang secara keliru meyakini
bahwa mereka adalah fokus perhatian setiap orang (Beck & Weishaar, 1989).
Pengkerangkaan terjadi dengan membuat para klien tersebut mengamati perilaku-
perilaku orang lain daripada berfokus pada kegelisahan mereka; selanjutnya mereka
menjadi sadar bahwa mereka bukanlah pusat perhatian. Beck dan Weishaar (1989)
memberikan sebuah contoh:

“Salah seorang mahasiswa enggan untuk berbicara di kelas meyakini bahwa


teman-teman sekelasnya mengamati dia secara konstan dan menandai
kegelisahannya. Dengan dengan mengamati mereka ketimbang berfokus pada
ketidaknyamanannya, ia melihat beberapa mahasiswa lain mencatat, beberapa
melihat ke arah professor, dan beberapa lagi melamun. Ia menyimpulkan bahwa
teman-teman sekelasnya memiliki pertimbangan-pertimbangan lain” . (hal.
310).

Metode-metode perubahan kognitif tambahan sedang dikembangkan dan


memegang janji yang patut dipertimbangkan bagi para ahli terapi perilaku untuk
menjadi semakin terlibat dalam mengubah emsosi-emosi yang tidak diinginkan dan
perilaku-perilaku maladaptif para klien dengan mengubah pikiran-pikiran mereka yang
memberikan masalah (Hepworth & Larsen, 1986).
Merupakan hal yang sulit untuk menspesifikasikan mana yang memang dan yang
bukan sebuah teknik kognitif perilaku. Sebagai tambahan pada teknik-teknik yang
digambarkan di sini, Cormier dan Cormier (1991) mengidentifikasikan hal berikut
sebagai teknik-teknik kognitif behavioral: permainan peran, upaya-upaya penyelesaian
masalah, meditasi, relaksasi otot, dan saran-saran paradoksial (lihat Bab 17 untuk
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
sebuah deskripsi). Dalam Bab 19 dinyatakan bahwa mengubah kognisi-kognisi
irasional dan negatif dapat menjadi agen kunci perubahan psikoterapik. Karena secara
praktis semua teknik-teknik perubahan kognisi terapik, kemudian, dalam makna yang
lebih luas, secara praktis semua teknik-teknik psikoterapik dapat dianggap sebagai
teknik-teknik kognitif perilaku.

Evaluasi
Merupakan hal yang sulit untuk membuat evaluasi secara keseluruhan pada terapi
perilaku. Terapi perilaku terdiri dari beragam teknik terapi, beberapa di antaranya lebih
efektif dari yang lainnya. Juga, terapi perilaku didasarkan pada berbagai teori
pembelajaran yang berbeda, dan tidak pernah terdapat persetujuan di antara para ahli
terapi perilaku tentang teori pembelajaran mana yang harus menjadi fokus utama terapi
perilaku. Hal yang secara khusus bersifat kontroversial di antara para ahli terapi
perilaku adalah pendekatan pembelajaran yang diadvokasikan oleh para ahli terapi
kognitif yang menyatakan bahwa emosi-emosi dan tindakan-tindakan amat ditentukan
oleh pikiran-pikiran kita. Teknik-teknik kognitif tidak cocok dengan prinsip-prinsip
tradisional behaviorisme, di mana ia telah mengabaikan proses-proses kognitif karena
proses-proses pikiran ini tidak bisa diukur dan diuji. Behaviorisme tradisional telah
berusaha menjelaskan semua perilaku dalam hal hubungan-hubungan stimuli-respon.
Dalam 40 tahun belakangan ini terapi perilaku telah menimbulkan sebuah
pertumbuhan dramatis dalam perkembangan teknik-teknik tritmen baru dan dalam
pengadopsian teknik-teknik ini oleh para anggota profesi-profesi menolong. Dua buku
yanh telah menginspirasikan perkembangan ini adalah Science and Human Behavior
(Skinner, 1953) dan Psychotherapy by Reciprocal Inhibition (Wolpe, 1958). Sejumlah
buku pada terapi perilaku tekah diterbitkan sejak itu. Para ahli terapi perilaku telah
mengembangkan, dan sedang terus mengembangkan, lebih banyak teknik-teknik

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
tritmen daripada hadir dalam area psikoterapik manapun. Suatu area yang belum
pernah disebutkan namun yang amat dipengaruhi oleh teknik-teknik penggunaan terapi
perilaku adalah terapi seks (Bab 23 menggambarkan konseling seksual dan terapi seks
secara rinci).
Terapi perilaku dihargai karena penekanannya pada pengujian keefektifan teknik-
teknik tritmen yang dikembangkan. Sebuah penekanan tersebut adalah konsisten
dengan permintaan oleh masyarakat bagi pelayanan-pelayanan kemanusiaan yang
harus memiliki akuntabilitas. Dengan penekanan pada pengujiannya pada teknik-
teknik terapi yang keras, terapi perilaku telah membuang sejumlah teknik yang
diketahui tidak efektif. Pendekatan-pendekatan yang telah menunjukan keefektifan
pelatihan bagi orang-orang yang pemalu atau agresif, latihan perilaku, kontrak
kontingensi dengan para klien yang memiliki berbagai persoalan yang luas, ekonomi
benda-benda kecil untuk mengubah perilaku-perilaku maladaptif para penghuni dalam
tatanan institusional, dan desentisasi sistematik dan terapi pembukaan bagi para klien
yang memiliki ketakutan-ketakutan irasional.
Masa depan terapi perilaku memang cerah. Diantisipasikan bahwa para
professional yang menolong (para ahli psikologi, psikiatri, pekerja sosial, konselor
pemandu, perawat psikiatri) akan makin terlatih dalam menggunakan teknik-teknik
perilaku.
Beberapa kritisisme dapat dibuat dari terapi perilaku:
1. Penelitian yang dilakukan pada banyak teknik telah berfokus pada
penerapan teknik-teknik pada jenis-jenis masalah yang siap diuji dalam situasi-situasi
laboratorium. Seringkali hasil-hasil yang menunjukan keberhasilan ditemukan.
Walaupun demikian, jenis-jenis masalah yang telah ditangani dalam situasi-situasi
laboratorium bukanlah jenis-jenis masalah yang pada umumnya dihadapi para klien.
Prochaska (1979) telah secara elegan memfrasekan masalah ini:

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
“Jadi apakah jika desentisasi dapat mengurangi sebuah ketakutan seorang
mahasiswa akan tikus? Apakah hal tersebut berkaitan dengan masalah-masalah
yang membuat putus asa yang dihadapi para ahli terapi dalam praktik-praktik
klinis mereka sehari-hari? Siapa pun yang melihat seseorag yang fobia terhadap
ular dalam sebuah klinik? Sebagian besar ahli perilaku akan memberikan
keadilan pada diri mereka sendiri ketika merencanakan sebuah studi jika
mereka menanyakan pertanyaan klinis kunci bagi hasil penelitian apapun-
pertanyaan jadi-apa. Jadi apakah jika membuat para mahasiswa membayangkan
muntah pada makan siang mereka membawa pada kehilangan berat badan
dalam seminggu? Jadi apakah jika beberapa berat badan yang hilang bertahan
selama empat bulan? Terdapat banyak sekali bukti bahwa delapan puluh lima
persen orang yang kehilangan berat badan mereka dengan alasan apapun akan
mendapatkannya kembali dalam dua tahun. Bagaimana bisa sebagian kecil
bagian dalam studi-studi mereka menggunakan sebuah susulan dua tahun?
Apakah para penulis lebih terbeban dengan menyelesaikan sebuah thesis
dengan cepat atau terburu-buru menerbitkannya daripada dengan membangun
sebuah terapi yang benar-benar berguna?” . (hal. 354).

2. Banyak masalah yang dihadapi para klien dalam dunia nyata meliputi
pengambilan keputusan. Haruskah seorang remaja berusia 17 tahun melakukan aborsi
atau menuntaskan kehamilannya? Haruskah seorang suami dan seorang istri yang
menikah selama 21 tahun dan kehilangan cinta satu sama lain terus hidup bersama atau
mencari kehidupan baru masing-masing? Bagaimanakah seharusnya seorang ibu
dengan tiga anak yang baru bercerai mencoba mendukung keluarganya?
Bagaimanakah anda membuat seseorang dengan sebuah masalah minum untuk
mengakui bahwa ia memang memiliki masalah demikian dan membuat sebuah
keputusan untuk mencari pertolongan? Haruskah para anak laki-laki dan anak
perempuan dari orang tua mereka yang lanjut usia mencari panti bagi orang tua
tersebut? Bagaimanakah anda mencoba menolong seseorang yang mencoba bunuh
diri membuat sebuah keputusan untuk tidak mengakhiri hidupnya? Bagaimanakah anda
membuat seorang penyimpang membuat keputusan untuk menghentikan tindakan-
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
tindakan menyimpangnya? Bagaimanakah anda menolong seorang remaja yang telah
kabur dari rumah membuat rencana-rencana masa depan tentang tempat tinggal di masa
depan? Terapi perilaku tidak memiliki teknik-teknik untuk menolong dalam
pengambilan keputusan tersebut. Fokus terapi perilaku adalah pada perubahan perilaku
maladaptif, bukan pada pengambilan keputusan-keputusan.
3. Prinsip-prinsip hukuman behaviorisme pada saat tertentu digunakan dalam
pelayanan-pelayanan kemanusiaan untuk membenarkan tritmen yang kejam dan tidak
berkemanusiaan. Para tahanan dalam beberapa penjara telah ditempatkan dalam isolasi
selama beberapa minggu pada suatu saat dalam lingkungan-lingkungan yang
mengalami kekurangan stimulasi sensoris. Para remaja dalam pusat-pusat tritmen
residensial dan para pasien dalam rumah sakit-rumah sakit mental telah ditempatkan
dalam penahanan lengan dan kaki selama beberapa hari pada suatu saat. Memukul
dengan sebuah tongkat atau cambuk telah digunakan secara ekstensif dalam beberapa
situasi. Para penghuni yang agresif pada institusi-institusi bagi orang-orang yang
mengalami keterbatasan-keterbatasan mental telah ditempatkan dalam jaket-jaket
pengunci selama jam-jam bangun mereka selama beberapa bulan pada suatu saat.
Semua praktik-praktik ini telah dibenarkan oleh para direktur program sebagai bagian
program modifikasi perilaku. Walaupun demikian, para ahli perilaku yang terlatih
dengan baik amat kritis akan penggunaan-penggunaan hukuman yang tidak
berkemanusiaan tersebut.
4. Terapi perilaku baru-baru ini merupakan campuran dari teknik-teknik yang
ada, yang mengarah pada potensi kekacauan teoritis. Beberapa teknik ini didasarkan
pada pengkondisian operant, lainnya pada pengkondisian klasik, beberapa didasarkan
pada prinsip-prinsip modeling, dan yang lainnya masih didasarkan pada teori-teori
kognitif. Phares dan Trull (1997) menyatakan:

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
“Tanpa sebuah kerangka kerja teoritis yang dapat mengintegrasikan, para
ahli klinik individual dapat menemukan diri mereka sendiri berkecamuk dalam
sebuah kekacaubalauan teknik-teknik yang berkompetisi. Apa yang dibtuhkan
adalah sebuah posisi teoritikal sistematik yang akan menginkorperasikan
teknik-teknik tersebut, mengklasifikasikan mereka, dan menolong ahli klinis
memutuskan kapan dan dalam situasi apakah untuk menerapkan satu teknik di
atas yang lain. Kerangka kerja teoritis tersebut dapat secara tak terhingga lebih
efisien daripada banyak peraturan untuk keberhasilan”. (hal. 404).

Rangkuman
Asumsi utama terapi perilaku adalah perilaku-perilaku maladaptif secara utama di
dapatkan melalui pembelajaran dan dapat dimodifikasikan melalui pemblajaran
tambahan. Terapi perilaku didasarkan pada teori pembelajaran. Sejumlah teori-teori
pembelajaran yang berbeda telah dikembangkan, dan tidak pernah terdapat sebuah
kesepakatan di antara ahli perilaku tentang teori pembelajaran manakah yang harus
menjadi dasar terapi perilaku.
Tren utama dalam perilaku terapi dalam dua decade belakangan ini telah mengacu
pada sebuah pengenalan peran kognisi dalam perilaku manusia. Beberapa ahli terapi
perilaku sekarang sedang mengidentifikasikan diri mereka sendiri sebagai para ahli
terapi kognitif dan telah menerima buah pikiran bahwa perubahan-perubahan pikiran-
pikiran akan sering mengubah perasaan-perasaan dan perilaku-perilaku. Para ahli teori
ini mengembangkan teknik-teknik baru seperti penghentian pikiran, pernyataan
tersembunyi, dan pengkerangkaan kembali.
Terdapat beberapa fokus umum di antara para ahli perilaku. Salah satunya adalah
perilaku maladaptif harus diarahkan pada perubahan perikaku daripada berfokus pada
penyebab-penyebab mendasar yang tidak diketahui. Para ahli terapi perilaku
menyatakan bahwa menangani perilaku maladaptif tidak akan menghasilkan
substituasi gejala. Fokus lainnya adalah pengujian teknik-teknik terapi dengan
prosedur-prosedur eksperimental yang keras. Tingkat-tingkat dasar perilaku-perilaku
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
maladaptif dibangun sebelum terapi dilakukan untuk menentukan apakah pendekatan
terapi sedang menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam tingkat atau intensitas
penanggapan.
Terapi perilaku didasarkan pada asumsi bahwa semua perilaku terjadi sebagai
tanggapan pada stimulasi, baik internal maupun eksternal. Tugas pertama dalam proses
terapi adalah bagi ahli terapi untuk melakukan analisa behavioral, yang meliputi
pengidentifikasian hubungan-hubungan stimulus-respon perilaku maladaptif yang
sedang terjadi bagi klien. Sebelum dan selama ahli terapi sedang melakukan analisa
behavioral, ahli terapi juga berusaha untuk membangun sebuah hubungan kerja. Ketika
analisa behavioral terselesaikan, penemuan-penemuan dibahas dengan klien, dan klien
beserta ahli terapi setuju pada tujuan-tujuan tritmen. Prosedur-prosedur dan teknik-
teknik kemudian digambarkan pada klien.
Bab ini merangkum beberapa teknik terapi perilaku yang digunakan secara umum:
pelatihan keasertifan, pelatihan behavioral, ekonomi benda kecil, kontrak kontingensi,
desentisasi sistematik, desentisasi in vivo, terapi implosif, terapi pembukaan,
sensitisasi tersembunyi, teknik-teknik aversif, dan teknik-teknik modifikasi perilaku.
Sebagian besar teknik-teknik ini (khususnya desentisasi sistematik, desentisasi in vivo,
terapi implosif, sensitisasi tersembunyi, dan teknik-teknik aversif) hanya boleh
digunakan oleh ahli terapi yang terampil dengan pelatihan ekstensif karena penerapan
yang tidak tepat dapat mengintensifikasikan perilaku problematik atau menciptakan
efek-efek samping yang tidak diinginkan.
3. SEBUAH PERSPEKTIF FEMINIS PADA TERAPI
Sebuah Sejarah Peran-Peran Seks dan Seksisme
Dalam setiap masyarakat yang dikenal wanita telah memiliki sebuah status yang
rendah daripada pria. Wanita telah terikat oleh lebih banyak restriksi-restriksi sosial
dan telah secara konsisten menerima lebih sedikit pengenalan bagi pekerjaan mereka.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Mereka juga dikenal secara berbeda, tidak hanya secara biologis, tapi juga secara
emosional, secara intelektual, dan secara psikologis. Standar-standar ganda telah ada
bagi berpacaran, pernikahan, dan kegiatan sosial dan seksual.
Doktrin-doktrin sebagian besar agama (termasuk Judeo Kristen, Hindu, dan Islam)
mengenakan status inferior pada wanita. Tradisi ini terus ada sampai sekarang dalam
sebagian besar negara, bahkan walaupun wanita lebih banyak datang ke gereja, lebih
kuat memegang keyakinan-keyakinan agama, lebih sering berdoa, dan lebih aktif
dalam program-program gereja (Kornblum & Julian, 1995). Banyak masyarakat telah
menyimpulkan bahwa sudah menjadi hal yang ditahbiskan bahwa wanita akan
memainkan peran sekunder dan suportif pada pria. Dalam banyak agama Kristen,
wanita tidak dapat menjadi pendeta atau imam. Beberapa pria Yahudi ortodoks
memanjatkan doa harian akan ucapan syukur kepada Tuhan karena tidak menciptakan
mereka sebagai wanita. Dalam sebagian besar gereja, Tuhan dirujuk sebagai “ dia laki-
laki” .
Berdasarkan sejarah, dalam masyarakat yang berburu dan mengumpulkan wanita
menghabiskan banyak masa dewasa mereka dengan kehamilan, merawat bayi, dan
membesarkan anak. Karena mereka dipaksa untuk tetap berada di dekat rumah, wanita
juga ditugaskan untuk mengerjakan “ pekerjaan-pekerjaan rumah tangga” yang lebih
kurang prestisius seperti memasak, menyajikan, dan mencuci. Ketika peran seks ini
dibangun, perbedaan-perbedaan ini dikenal tidak hanya sebagai makna-makna praktis
akan melakukan pekerjaan penting namun juga cara “ alami” bagi pria dan wanita
untuk berperilaku.
Sebelum Revolusi Industri secara praktis semua masyarakat diberikan peran-peran
distrik pada pria dan wanita. Wanita pada umumnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan
rumah tangga dan mengurus anak, di mana para pria terlibat dalam apa yang telah
dipertimbangkan sebagai fungsi-fungsi produktif dan protektif bagi keluarga. Dalam

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
masyarakat-masyarakat pra industrial wantia juga terlibat dalam produksi makanan dan
dukungan ekonomi, seperti membuat pakaian-pakaian, menumbuhkan dan menuai
benih-benih tanaman, dan menolong dalam pertanian. Namun tanggunjawab-
tanggungjawab spesifik mereka sering dipandang sebagai inferior dan membutuhkan
lebih sedikit keterampilan.
Revolusi Industrial abad ke-19 membawa perubahan-perubahan dramatis dalam
peran-peran seks. Daripada bekerja pada sebuah pertanian kecil, para pria pergi ke luar
rumah untuk bekerja dan tatanan-tatanan lain. Peran ekonomi wanita menurun ketika
mereka kurang cenderung melakukan tugas-tugas yang produktif secara ekonomi.
Peran-peran wanita semakin didefinisikan sebagai pengasuh anak dan pekerjaan
rumah, di samping fakta bahwa jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menjalani peran-
peran ini menutun untuk beberapa alasan. Keluarga-keluarga memiliki lebih sedikit
anak. Dengan pendidikan masal, anak-anak yang lebih tua pergi ke sekolah. Secara
perlahan, alat-alat penghemat pekerjaan mengurangi kebutuhan bagi wanita untuk
melakukan tugas-tugas rumah tangga yang menyita waktu seperti memanggang roti,
mengalengi sayuran, dan mencuci pakaian dengan tangan. Ketika peran-peran
tradisional mulai berubah, beberapa wanita mulai mengejar kegiatan-kegiatan
(contohnya, pekerjaan di luar rumah) yang secara tradisional dibatasi pada pria. Dengan
perubahan-perubahan ini, peran-peran seks mulai kabur dan menjadi lebih longgar.
Perjuangan bagi hak-hak wanita di Amerika Serikat telah berlangsung selama dua
abad. Pada awal abad ke 19, wanita yang bekerja bagi penghilangan perbudakan
menjadi mawas mereka juga tidak memiliki hak untuk memilih. (Sebuah konferensi
antiperbudakan 18-40 bahkan menolak untuk menempatkan wanita dalam parlemen
semntara delegasi-delegasi pria memberikan pidato-pidato yang tidak bersemangat
tentang hak moral untuk mengakhiri perbudakan).

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Pada tahun 1848 dua orang feminis, Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Stanton,
mengatur rapat hak-hak wanita pertama, yang diadakan di Seneca Falls, New York.
Pemimimpin-pemimpin awal ini menuntut hak pilih wanita dan reformasi akan banyak
hokum yang secara terbuka bersifat diskriminatori terhadap wanita. Hal tersebut terjadi
selama 70 tahun (sampai tahun 1920) untuk menyerahkan Amandemen ke 19 kepada
Konstitusi, yang memberikan pemilihan untuk wanita. Pergerakan hak pilih wanita
ditandai dengan pemenjaraan para feminis dan kontroversi yang keras. Perjuangan-
perjuangan besar dan sejumlah tahun yang dihabiskan dalam berlalunya amandemen
ini membawa banyak pemimpin-pemimpin wanita untuk meyakini bahwa hak pilih
berkaitan dengan kesetaraan seksual. Setelah berlalunya tahun 1920, “ gerakan
wanita” hampir tertutup selama 40 tahun ke depan.
Pada tahun 1912, teknik-teknik pengendali kelahiran modern hadir. Margaret
Sanger menolong wanita dengan memberikan mereka informasi tentang metode-
metode pengendali kelahiran yang efektif, aman. Melalui kemajuan ini, wanita
mendapatkan kebebasan yang lebih besar dari peran-peran tradisional akan pengasuhan
anak dan pekerjaan rumah tangga.
Selama Perang Dunia II, sejumlah besar wanita dipekerjakan di luar rumah untuk
pertama kalinya, mengambil posisi-posisi pria yang telah direncanakan menuju bidang
militer. Pada saat itu lebih dari 38 persen dari semua wanita yang berusia 16 tahun dan
selebihnya dipekerjakan, mengaburkan peran-peran seks tradisional (Blaire, 1979, hal.
272).
Era 1960an menyaksikan sebuah kebangkitan kembali akan minat dalam
ketidaksetaraan peran seks bagi berbagai alasan. Gerakan hak sipil memiliki pengaruh
yang membangkitkan kesadaran, dan orang-orang akan menjadi mawas dan terbeban
akan ketidaksetaraan-ketidaksetaraan. Gerakan hak sipil untuk mengurangi
diskriminasi rasial juga berperan sebagai sebuah model, menyatakan pada sejumlah

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
wanita yang dibebani bahwa diskriminasi seksual dapat diatasi melalui tindakan sosial.
Lebih banyak wanita pergi ke perguruan tinggi dan selanjutnya mendapat lebih banyak
informasi tentang ketidaksetaraan-ketidaksetaraan. Ketika wanita berpindah kepada
pekerjaan-pekerjaan baru, mereka menjadi semakin mawas akan praktik-praktik
diskriminasi. Pada akhirnya, terdapat sebuah ledakan penelitian yang menyatakan
bahwa perbedaan-perbedaan peran seks tidak ditentukan namun merupakan hasil pola-
pola peradaban dan pengaruh peran-peran seks tersebut sering bersifat diskriminatif
terhadap wanita.
Betty Friedan, dalam bukunya yang berjudul The Feminine Mystique yang
diterbitkan pada tahun 1963, memberikan sebuah dasar ideologis bagi kebangkitan
gerakan wanita. Dengan istilah mistisme feminism, Friedan merujuk pada konsep diri
negatif, kurangnya arahan, dan citra rendah diri di antara wanita. Buku tersebut
berperan sebagai titik balap bagi wanita dan membawa Friedan dan lainnya untuk
membentuk National Organization for Women (NOW) pada tahun 1966. Sekarang
NOW adalah kelompok pembela hak wanita terbesar dalam negara yang bersangkutan
dan sebuah kekuatan politik yang berpengaruh. NOW dan kelompok-kelompok wanita
lainnya telah bekerja untuk mengakhiri standar-standar ganda seksual, dan untuk
memperbaiki identitas diri bagi wanita.
Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964, secara umum bermaksud untuk mengakhiri
diskriminasi rasial, juga melarang diskriminasi seksual. Berbagai statuta-statuta
dirancang untuk mencegah diskriminasi seksual telah diserahkan. Equal Pay Act
federal tahun 1963 dan sejumlah hukum negara bagian serupa membutuhkan bayaran
yang setara dengan pekerjaan yang setara pula. Seperti yang disebutkan sebelumnya,
Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964 memberantas diskriminasi pada dasar ras, warna
kulit, seks, dan agama. Executive Order 11246, seperti yang diamandemenkan oleh
Orde Eksekutif 11375 pada Oktober, 1967, melarang diskrminasi seks oleh para

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
penyedia federal dan para kontraktor dan memberikan prosedur-prosedur bagi
penguatan. Sebagai tambahan, sejumlah keputusan-keputusan telah menetapkan
teladan dalam membangun ilegalitas diskriminasi seks dalam mempekerjakan,
mempromosikan, dan tingkat-tingkat pembayaran. The Equal Credit Act of 1974
membatasi diskriminasi pada dasar status pernikahan atau seks dalam operasi kredit.
Sejumlah negara-negara bagian telah menyerahkan hukum-hukum yang melarang
diskriminasi terhadap wanita hamil dalam mempekerjakan, pelatihan, dan promosi.
Program-program tindakan afirmatif yang diterapkan pada wanita juga diterapkan
pada minoritas-minoritas etnis. Wanita dianggap sebagai sebuah kelompok minoritas
karena dari generasi ke generasi mereka telah menjadi subjek diskriminasi dan telah
mengalami penyangkalan kesempatan-kesempatan yang setara. Para atasan harus
mendemonstrasikan upaya-upaya aktif untuk melokasikan dan merekrut pelamar-
pelamar minoritas (didefinisikan meliputi wanita) dan mendemonstrasikan upaya-
upaya positif untuk meningkatkan jumlah pelamar-pelamar yang berkualifikasi
(contohnya, program-program pelatihan istimewa bagi golongan minoritas). The
Federal Glass Ceiling Commission (sebuah badan bipartisan yang berisi 21 anggota
ditunjuk oleh mantan presiden Bush dan para pimpinan kongresional dan diduduki oleh
Secretary of Labor) yang secara sistematis mengumpulkan informasi pada halangan-
halangan, kesempatan-kesempatan, kebijakan-kebijakan, persepsi-persepsi, dan
praktik-praktik yang mempengaruhi lima kelompok sasaran yang secara historis telah
mengalami kurangnya presentasi dalam manajemen swasta tingkat tinggi: wanita dari
semua ras dan suku, dan pria Afrika Amerika, Amerika asli, Asia Amerika, dan
Hispanik Amerika. Data tersebut mengungkapkan bahwa wanita hanya memegang 3
sampai 5 persen dari pekerjaan tingkat senior dalam perusahaan-perusahaan besar.
Lebih lanjut, hanya 5 persen wanita yang memegang pekerjaan-pekerjaan tingkat
senior adalah wanita minoritas. The Federal Glass Ceiling Commission menemukan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
bahwa wanita berkulit putih mengalami kemajuan yang lebih cepat, setelah tindakan
afirmatif, daripada minoritas-minoritas lainnya (Federal Register, 1992, hal. 102-166).

Isu-Isu Wanita Kontemporer


Wanita telah menjadi korban seksisme dalam sejumlah cara. Di antara isu-
isu yang telah memiliki sebuah pengaruh pada wanita adalah reformasi kesejahteraan,
ketidaksetaraan ekonomi, wanita yang dipukul, pemerkosaan, dan konseling-konseling
khusus bagi wanita.

Reformasi Kesejahteraan
Dalam Bab 2, saya mengindikasikan bahwa sebuah “ devolusi revolusi”
sedang terjadi di Amerika Serikat dengan kaitannya dengan layanan-layanan sosial
provisional. Banyak pimpinan politik sekarang memandang pelarangan-pelarangan
beasiswa memiliki makna akan pemindahan kekuatan pengambilan keputusan tentang
program-program sosial dari pemerintah federal pada tingkat-tingkat negara bagian dan
lokal. Mungkin contoh yang paling penting akan hal ini adalah penempatan kembali
program AFDC (yang memberikan bantuan finansial pada para orang tua miskin,
terutama para ibu yang menjadi orang tua tunggal, sampai anak termudan berusian18
tahun) dengan Reform Act 1996, yang memindahkan sebagian besar keputusan tentang
bantuan finansial pada para keluarga dan anak miskin dari pemerintah ke negara bagian
dan lokal. (Para resipien manfaat-manfaat finansial akan menerima tidak lebih dari dua
tahun bantuan finansial tanpa bekerja, dan terdapat batasan lima tahun kehidupan akan
manfaat-manfaat bagi orang-orang dewasa). Pertimbangan-pertimbangan utama
sekarang telah meningkat berkaitan dengan apakah yang akan terjadi pada para orang
tua yang miskin itu (dan anak mereka) yang tidak mampu secara finansial mendukung

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
anak-anak mereka setelah batas waktu tersebut pada akhir manfaat-manfaat finansial.
Akankah beberapa dari mereka akan kehilangan tempat tinggal?

Ketidaksetaraan Ekonomi dan Harga yang Dapat Dibandingkan. Wanita pada


umumnya menerima lebih sedikit daripada pria; wanita yang bekerja penuh waktu
menerima sekitar 70 persen dari yang diterima pria (Rotella, 1995). Berbagai
penjelasan telah diberikan bagi perbedaan-perbedaan gaji yang didasarkan pada
gender. Salah satu penjelasan penting adalah bahwa pria dan wanita cenderung
dikelompokkan dalam pekerjaan yang berbeda-beda, dengan pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan oleh para pria pada umumnya memainkan gaji dan upah yang lebih tinggi.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul tentang mengapa pria harus dibayar lebih
tinggi daripada wanita yang melakukan pekerjaan yang membutuhkan tingkat
persiapan dan keterampilan yang serupa. Mengapa, sebagai contoh, para pembantu pria
dibayar lebih tinggi daripada sekretaris-sekretaris wanita? Konsep harga yang dapat
dibandingkan telah terangkat, yang menuntut “ bayaran setara bagi para pria dan para
wanita melakukan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan, upaya, dan
tanggungjawab yang dapat dibandingkan di bawah kondisi-kondisi kerja serupa”
(Bellak, 1984, hal. 75). Harga yang dapat dibandingkan menyatakan bahw wanita
memiliki hak untuk menerima bayaran setara untuk melakukan pekerjaan yang dapat
dibandingkan dengan pekerjaan yang secara tradsional dilakukan pria. Harga yang
dapat dibandingkan semakin banyak digunakan sebagai sebuah dasar untuk membayar
tuntutan-tuntutan hukum diskriminasi.
Harga yang dapat dibandingkan bukanlah sebuah konsep yang sederhana.
Proponen-proponen pada kedua sisi isu tersebut telah mengembangkan landasan-
landasan rasional bagi perspektif-perspektif mereka. Argument-argumen berkaitan
dengan harga yang dapat dibandingkan menyatakan kebutuhan bagi pembayaran setara

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
bagi pekerjaan yang dapat dibandingkan. Argument-argumen melawan harga yang
dapat dibandingkan berfokus pada biaya implementasi dan kompleksitas dari
penentuan “ apakah itu pekerjaan yang dapat dibandingkan” .

Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual berbeda dari penggodaan, penyanjungan, permintaan untuk
kencan, dan perilaku yang dapat diterima yang terjadi dalam tempat kerja atau ruang
kelas. Hal tersebut juga berbeda dari bentuk-bentuk pelecehan lain yang tidak terjadi
pada sifat alami seksual. Pelecehan seksual adalah sebuah tipe koersi seksual yang
bergantung pada kekuatan si pelaku untuk mempengaruhi status ekonomi atau
akademik status dan tidak selalu melibatkan paksaan fisik. Menurut hukum Amerika
Serikat, pelecehan seksual adalah sebuah bentuk diskriminasi seksual dalam pekerjaan
dan pendidikan yang dilarang oleh Pasal VII tentang Hak-Hak Sipil tahun 1964.
Pelecehan seksual didefinsikan sebagai:

“Tindakan-tindakan seksual yang tidak menghargai, permintaan layanan-


layanan seksual, dan tindakan verbal atau fisik akan sebuah sifat alami seksual
menjadi pelecehan seksual ketika 1.) penundukan pada tindakan tersebut
dilakukan baik secara eksplisit maupun implisit sebagai syarat bagi pekerjaan
individu; 2.) penundukan pada atau penolakan pada tindakan tersebut oleh
seorang individu digunakan sebagai sebuah dasar keputusan-keputusan
pekerjaan yang mempengaruhi individu tersebut, atau 3.) tindakan tersebut
memiliki tujuan atau pengaruh akan tindakan mencampuri dengan kinerja
individu secara tidak beralasan atau menciptakan lingkungan kerja yang
mengintimidasi, bermusuhan, atau ofensif”. (Charney & Russel, 1994, hal. 11).

Pelecehan seksual seringkali meliputi elemen-elemen kekuatan dan kursi yang


tidak setara. Walaupun sebagian besar korban adalah wanita, pelecehan seksual juga
dapat diarahkan baik pada pria maupun wanita. Insiden-insiden yang berulang akan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
menghasilkan lingkungan kerja atau pendidikan yang bermusuhan, berintimidasi, atau
menghasilkan kegelisahan.
Bahasa Seksis
Kata-kata yang kita pilih amat mempengaruhi penafsiran kita akan kenyataan.
Penggunaan bahasa seksis dalam masyarakat kita telah menjadi faktor signifikan dalam
mendefinisikan dan memelihara posisi dominan para pria dalam masyarakat kita,
dengan para wanita yang diberikan peran suportif atau submisif. Di sini ada beberapa
kata dan frase yang menggambarkan pria memiliki posisi dominan: chairman,
policeman, congressman, best man of the job, mankind, dan man and wife.
Terdapat contoh-contoh lain akan bagaimana seksisme telah menginfiltrasi
bahasa Inggris. Di masa lalu (terdapat sebuah perbaikan yang patut dipertimbangkan
dalam beberapa tahun belakangan ini), buku-buku yang ada cenderung menggunakan
kata ganti “ dia laki-laki” untuk merujuk pada, dalam sebuah citra umum, seseorang
ketika gender tidak terspesifikasikan. Dalam mencari masa dewasa, seorang laki-laki
menjadi “ Pak” , selama sisa hidupnya: ini adalah sebuah istilah sopan yang tidak
memiliki rujukan manapun pada status kehidupan pribadi pria tersebut. Seorang
perempuan, walaupun demikian, akan mulai dengan “ Nona” namun menjadi
“ Nyonya” setelah menikah, menggunakan nama belakang suaminya daripada nama
lahirnya sendiri. Bahasa dapat menjadi sebuah alat kuat untuk membentuk persepsi-
persepsi kita tentang dunia, dan bahasa seksis telah dengan jelas memainkan sebuah
peran dalam mendefinsikan wanita dalam masyarakat kita.

Wanita yang Dipukuli


Abuse pasangan hidup, terutama pemukulan istri, telah menjadi sebuah isu
pertimbangan nasional yang baru saja muncul. Sebelum rekognisi ini, abuse pasangan
hidup ditoleransi, secara tidak menguntungkan. Abuse pasangan hidup menerima

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
perhatian nasional secara ekstensif pada tahun 1994 setelah kematian Nicole Simpson,
Nicole ditikam sampai mati, dan mantan suaminya (O. J. Simpson) mendapat tuduhan
sebagai pembunuh. Setidaknya delapan kali sebelum kematiannya, polisi dipanggil
kepada rumah keluarga Simpson ketika Nicole menyatakan bahwa ia sedang dipukul
oleh O. J. (Roberts, 1994). O. J. dibuktikan tidak bersalah karena membunuh Nicole
Simpson dan Ron Goldman dalam sebuah siding kriminal, namun ia dibuktikan
bersalah akan pembunuhan-pembunuhan ini dalam sebuah sidang sipil.
Hampir 11 persen semua korban pembunuhan dibunuh oleh pasangan-pasangan
hidup mereka (Kornblum & Julian, 1995). Wanita cenderung bertahan dari kekejaman
dan penyalahgunaan lebih lama dari pria, pada saat-saat tertentu ketika mereka merasa
terperangkap karena pengangguran dan ketidakamanan finansial. Tema dominan dalam
penyalahgunaan pasangan hidup Amerika adalah penggunaan kekerasan secara
sistematik dan ancaman kekerasan oleh beberapa pria untuk “ menertibkan istri-istri
mereka” . yakni untuk mengatakan, terdapat sebuah keyakinan tradisional yang
menyatakan bahwa bagian-bagian masyarakat kita di mana para suami memiliki sebuah
hak untuk mengendalikan apa yang dilakukan istri mereka dan untuk memaksa mereka
bersikap submisif.
Kekerasan rumah tangga dari para suami, rekan-rekan pria, atau anggota-anggota
keluarga amat sering terjadi ketika kekerasan merupakan sebuah penyebab utama
cidera pada wanita (Kornblum & Julian, 1995). Cidera-cidera pada wanita dari
pemukulan adalah kejadian yang lebih umum daripada pemerkosaan, perampokan, atau
bahkan kecelakaan yang disebabkan oleh mesin. Setiap 15 menit seorang wanita
Amerika menjadi korban kekerasan rumah tangga (Kornblum & Julian, 1995). Insiden-
insiden penyalahgunaan fisik antara pasangan hidup tidak terisolasi secara luas namun
cenderung terjadi dalam pernikahan secara frekuentif. Penyalahgunaan pasangan hidup
sering terjadi antara mereka yang kurang berpendidikan. Beberapa baik pria maupun

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
wanita meyakini bahwa merupakan hal yang tepat bagi suami untuk memukul istrinya
“ setiap sekarang dan kemudian” (Kornblum & Julian, 1995).
Terdapat berbagai alasan lain mengapa pria memukul wanita. Banyak dari mereka
memiliki citra diri rendah akan nilai diri mereka sebagai para pencari nafkah, para ayah,
dan para partner seksual. Mereka cenderung memiliki sebuah pandangan stereotip
bahwa istri-istri mereka memainkan sebuah peran submisif dan butuh dikendalikan.
Banyak dari mereka menggunakan alkohol dan obat-obatan lain secara berlebihan dan
lebih cenderung banyak menjadi keras ketika dipengaruhi oleh alkohol atau mabuk.
Dalam keluarga-keluarga dengan sebuah siklus kekerasan cenderung terulangi
menurut pola berikut. Sebuah insiden pemukulan terjadi, dan sang istri bertahan dari
cidera. Sang suami merasa menyesal, namun ia juga takut jika istrinya akan pergi atau
setidaknya melaporkan penyalahgunaan tersebut kepada polisi, jadi ia berusaha
“ membulan madu” istrinya dalam berpikir bahwa ia adalah seorang suami yang baik
yang tidak akan menyalahgunakannya lagi. (Ia bahkan akan mengiriminya bunga,
membeli hadiah-hadiah mahal, atau memberikan perhatian yang berlebihan). Secara
perlahan kegiatan “ bulan madu” menggeser perlakuan masa lalunya, dan tekanan-
tekanan tentang pekerjaan atau masalah-masalah keluarga mulai muncul lagi dalam
dirinya. Ketika tekanan muncul, sebuah insiden minor memicu emosinya, sering pada
saat ia dipengaruhi, dan ia memukul istrinya lagi. Siklus pemukulan-bulan madu-
kemunculan tekanan-pemukulan cenderung terulangi lagi dan lagi.
Para suami yang abusif cenderung mengisolasi pasangan mereka dan membuat
mereka bergantung dengan memberatkan ikatan-ikatan berat pada para kerabat dan
teman mereka, dan biasanya mereka menciptakan sebuah adegan yang memalukan
ketika sang istri sedang berada dengan teman beserta relatif mereka. Sang suami
berupaya untuk membuat istrinya mengakhiri kontak dengan mereka untuk “ menjaga
kedamaian” . Para suami yang abusif juga membuat para istri mereka bergantung pada

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
mereka dengan terus mempermalukan mereka, yang merendahkan harga diri wanita
dan membawa mereka kepada peran submisif. Ketergantungan finansial seringkali
diciptakan dengan membuat anak-anak dan dengan menciptakan halangan-halangan
yang mencegah para istri dari mencari pekerjaan dengan gaji tinggi.
Sejumlah wanita yang dipukuli mengejutkan tidak secara permanen meninggalkan
para suami mereka. Banyak dari mereka tersosialisasi untuk memainkan sebuah peran
subordinat pada para suami mereka, dan para suami mereka menggunakan kekerasan
dan penyalahgunaan psikologis untuk membuat mereka merasa tidak cukup untuk
hidup sendiri. Beberapa wanita meyakini bahwa hal tersebut merupakan kewajiban
moral mereka untuk bertahan sampai akhir-bahwa pernikahan adalah selamanya, untuk
masa depan yang lebih baik atau buruk. Banyak harapan (di samping melanjutkan
kekerasan) bahwa suami mereka akan berubah. Beberapa di antara mereka takut bahwa
ketika mereka mencoba meninggalkan suami mereka hal tersebut akan menimbulkan
pemukulan yang lebih banyak. Beberapa lainnya tidak memandang meninggalkan
suaminya sebagai sebuah alternatif karena mereka bergantung secara finansial pada
suami mereka. Banyak di antara para istri ini memiliki anak-anak yang masih muda
dan tidak meyakini bahwa mereka memiliki sumber-sumber daya untuk membesarkan
anak mereka sendiri. Beberapa di antaranya meyakini bahwa pemukulan yang kadang
terjadi lebih baik daripada kesepian dan ketidakamanan berkaitan dengan
meninggalkan suami. Beberapa lagi menakuti stigma yang berkaitan dengan pemisahan
atau perceraian. Para wanita ini adalah para tahanan dalam rumah tinggal mereka
sendiri.
Untungnya, dalam beberapa tahun belakangan ini pelayanan-pelayanan baru telah
dikembangkan untuk para wanita yang dipukuli. Rumah-rumah penampungan bagi
para wanita yang dipukuli telah dibangun dalam banyak komunitas. Rumah-rumah
penampungan ini memberikan para wanita yang disalahgunakan sebuah kesempatan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
untuk kabur dari situasi abusif, dengan penampungan yang diberikan bagi para wanita
dan anak-anak mereka. wanita-wanita tersebut juga pada umumnya menerima
konseling, bantuan dalam mencari pekerjaan, dan pertolongan legal. Dalam beberapa
area program-program juga dibuat untuk para suami. Program-program ini meliputi
terapi kelompok bagi para pemukul, konseling pernikahan bagi kedua pasangan hidup,
dan “ hot lines” 24 jam yang mendorong para penyalahguna pasangan hidup potensial
untuk dipanggil saat mereka marah. (Secara tidak beruntung, banyak pemukul menolak
berpartisipasi dalam program-program tersebut). Banyak komunitas juga memiliki
program-program informasi publik (contohnya, pengumuman-pengumuman televisie
pendek) untuk memberitahukan para wanita yang dipukuli bahwa mereka memiliki hak
legal agar tidak mengalami penyalahgunaan dan terdapat sumber-sumber daya
(contohnya, rumah-rumah penampungan dan layanan-layanan konseling) untuk
menghentikan penyalahgunaan.

Pemerkosaan
Penetrasi yang dipaksakan merupakan kejahatan kekerasan yang dilakukan secara
umum di Amerika Serikat. Lebih dari 90.000 kasus dilaporkan setiap umum, dan lebih
banyak kasus tidak dilaporkan (Kornblum & Julian, 1995). Para korban pemerkosaan
ragu untuk melaporkan kasus-kasus karena berbagai alasan. Mereka merasa bahwa
melaporkan kasus tersebut tidak akan membawa manfaat apapun karena mereka telah
menjadi korban. Mereka takut bahwa mereka akan dihina oleh pertanyaan-pertanyaan
yang akan ditanyakan petugas kepolisian. Mereka ragu untuk menyebarluaskan
tuntutan karena mereka takut terhadap reaksi-reaksi masyarakat umum dan orang yang
dekat dengan mereka, termasuk suami atau partner mereka. banyak di antara mereka
takut bahwa jika mereka melakukan pelanggaran tersebut, si penyerang akan cenderung
menyerang mereka lagi. Beberapa di antara mereka mencoba melupakan tentang hal

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
tersebut dengan tidak memikirkannya atau melakukan apapun tentang hal tersebut.
Yang lainnya gagal melaporkan hal tersebut karena mereka tidak ingin bersaksi di
pengadilan. Namun mungkin alasan umum mengapa wanita gagal melaporkan
viktimisasi serangan seksual adalah karena mereka merasa-bisanya secara keliru-
bahwa mereka berkontribusi pada terjadinya pemerkosaan. Hal ini terutama benar
dalam tipe pemerkosaan yang sering terjadi yakni yang terjadi antara orang yang saling
mengenal.
Tidak ada profil yang memuat semua pemerkosa. Para pemerkosa memiliki
beragam motivasi untuk melakukan pemerkosaan, catatan kriminal yang buruk,
pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan lain sebagainya. Sebagian besar kasus
pemerkosa dan korbannya mengenal satu sama lain dengan dasar nama pertama.
Sebuah proporsi signifikan akan pemerkosaan-pemerkosaan adalah kencan
pemerkosaan.
Pemerkosaan adalah pertama, yakni sebuah tindakan agresif dan kedua yakni
sebuah tindakan seksual. Pemerkosaan adalah ekspresi agresi seksual, bukan ekspresi
seksualitas yang agresif. Banyak orang secara keliru meyakini pemerkosaan terjadi
karena pemerkosa tidak mampu mengatur hasrat seksualnya atau karena ia mengalami
“ seksualitas yang berlebihan” . Pemerkosaan, daripada demikian, adalah pengaturan
agresi yang keliru di mana gratifikasi si pemerkosa (jika ada) muncul tidak hanya dari
tindakan seksual namun berasal dari ekspresi kemarahan atau kendali melalui
pelanggaran ekstrim akan tubuh orang lain. Sebagian besar pemerkosaan terjadi antara
orang-orang yang mengenal satu sama lain, berlawanan dengan mitos pemerkosa
adalah orang asing.
Terdapat sejumlah tipologi untuk mengklasifikasikan para pemerkosa, bergantung
pada sejumlah variabel. Salah satu model yang langsung dikembangkan oleh A.
Nicholas Groth (1979), yang menggambarkan para pemerkosa dikelompokan ke dalam

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
salah satu kategori ini: pemerkosa marah, pemerkosa kekuatan, dan pemerkosa
sadistik.
Pemerkosa marah melakukan tindakannya untuk mengeluarkan perasaan-perasaan
kemarahan dan murkanya yang terpendam. Ia adalah brutal akan komisi serangan yang
dilakukannya, menggunakan lebih banyak kekuatan yang dibutuhkan untuk menyakiti
dan merendahkan derajat korbannya; seks yang penuh paksaan merupakan senjata
utamanya dalam merendahkan korbannya.
Pemerkosa kekuatan tertarik dalam memproses korbannya secara seksual, bukan
untuk menganiayanya. Ia menunjukan perasaan-perasaannya yang terpendam akan
ketidakcukupan dan tertarik dalam mengendalikan korbannya. Ia hanya menggunakan
sejumlah kekuatan untuk mendapatkan keturutannya. Terkadang ia akan menculik
korbannya dan menempatkan si korban dalam kendalinya untuk jangka waktu yang
lama, mungkin terlibat dalam sejumlah hubungan seksual dengannya.
Pemerkosa sadistik mengerotisi agresi, yakni, kekuatan agresif yang menciptakan
rangsangan seksual dalam dirinya. Ia amat tergratifikasikan oleh siksaan, rasa sakit,
dan penderitaan korbannya. Serangan-serangannya sering bersifat ritualistik dan
meliputi ikatan dan siksaan, terutama pada organ-organ seksual.
Kita tinggal dalam sebuah masyarakat yang mempromosikan agresi dan menekan
seksualitas. Di Amerika Serikat para pria disosialisasikan agar menjadi agresif,
termasuk mencari gratifikasi seksual. Laki-laki, contohnya, sering diharapkan untuk
memainkan peran “ agresif” dalam seks. Dalam kebudayaan kita seks dan agresi
sering membingungkan dan mengkombinasikan. Dalam kebudayaan Swedia, di mana
informasi seksual secara siap tersedia dalam media namun pengangkatan-
pengangkatan agresi tidak, tingkat tindakan-tindakan pemerkosaan rendah. Menurut
Janet Hyde (1994), kebingungan akan seks dan agresi dalam praktik-praktik sosialisasi
dapat membawa para pria pada pemerkosaan:

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
“Mungkin saja, selanjutnya, bahwa pemerkosaan adalah sebuah makna
akan membuktikan maskulinitas bagi pria yang tidak nyaman dengan perannya.
Untuk alasan ini, statistik-statistik akan kepermudaan para pemerkosa masuk
akal; para pemerkosa muda dapat berupa seorang pria muda yang berusaha
memainkan peran pria dewasa, yang merasa nyaman melakukan hal demikian,
dan yang melakukan sebuah pemerkosaan sebagai bukti kepriaan mereka.
secara lebih lanjut, heteroseksualitas adalah sebuah bagian penting kepriaan.
Memperkosa seorang wanita merupakan sebuah cara yang mencolok untuk
membuktikan bahwa ia adalah seorang heteroseksual”. (hal. 49).

Pemerkosaan Kencan
Pemerkosaan kencan bukanlah merupakan kejadian yang jarang terjadi. Dalam
beberapa kasus pemerkosaan kencan tampak merupakan hasil dari keyakinan yang
keliru pada bagian laki-laki di mana jika ia menghabiskan uang pada wanita yang ia
libatkan dalam (atau si wanita yang memberikan kesepakatan untuk) perilaku seksual.
Pandangan tradisional dalam hubungan-hubungan kencan telah menyatakan jika
seorang wanita berkata “ tidak” maka ia bermaksud berkata “ ya” . Secara tidak
beruntung, pernyataan-pernyataan media akan kesalahan informasi yang terikat, dari
film-film John Wayne sampai film-film klasik seperti Last Tango in Paris dan Gone
With the Wind. Contohnya, terdapat sebuah film John Wayne, The Quiet Man, di mana
Wayne peran seorang pria Irlandia yang macho. Ia mengejar seorang wanita cantik
yang dimainkan oleh Maureen O’ Hara, namun tidak berfaedah. Hanya setelah
memukul seorang pesaing yang jahat, memukul wanita di bagian bokong di depan
penduduk kota, dan secara harafiah menyeretnya ke rumah apakah ia akan
memenangkan kepenurutannya dan kerjasamanya. Pesan yang tersimpan dapat berupa
bahwa “ pria sejati” mendapatkan kekuatan, status, dam gratifikasi seksual dengan
melanggar hak wanita secara seksual-memang merupakan pesan yang sangat
berbahaya!

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Sejumlah besar kasus pemerkosaan kencan tidak dilaporkan. Sebagai faktanya,
banyak korban wanita serangan seksual tidak menafsirkan serangan tersebut
sebagaimana yang seharusnya (Hyde, 1994). Karena banyak korban memandang diri
mereka sendiri sebagai orang yang “ jatuh cinta” dengan si pelaku, terdapat sebuah
kecenderungan untuk memandang pemerkosaan yang terjadi berada dalam dunia
perilaku yang dapat diterima.
Kanin (1985) mempelajari 71 orang mahasiswa yang tidak menikah yang
merupakan para pemerkosa yang memiliki pribadi tertutup dan membandingkan
mereka kepada sebuah kelompok kendali yang berisi pria yang tidak menikah. Para
pemerkosa kencan cenderung bersifat predatoris secara seksual. Ketika diminta
seberapa sering mereka mencoba menggoda teman kencan baru, 62 persen para
pemerkosa kencan mengatakan bahwa “ hampir setiap waktu” , dibandingkan dengan
19 persen kendali-kendali. Para pemerkosa kencan juga amat cenderung melaporkan
dengan menggunakan berbagai teknik-teknik manipulatif pada kencan-kencan mereka,
termasuk menyatakan cinta secara keliru, membuat mereka mabuk dengan alkohol atau
obat-obatan lain, dan secara keliru menjanjikan hubungan yang stabil atau bertunangan.
Para pria harus belajar bahwa “ tidak” adalah “ tidak” . Program-program
pendidikan pemerkosaan kencan dibutuhkan dalam tatanan-tatanan pendidikan dasar,
menengah, dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hukum-hukum yang melawan
pemerkosaan kencan harus diperkuat dengan lebih keras. Industri hiburan dan
masyarakat kita harus berhenti mengglamorisasikan pemerkosaan dan daripada
demikian menyatakan bahwa hal tersebut adalah kejahatan serius yang memberikan
pengaruh yang membuat korban-korbannya putus asa.

Pengaruh-Pengaruh pada Korban

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Pemerkosaan pada umumnya adalah sebuah krisis berat bagi korban, dan pengaruh-
pengaruh penyesuaian sering berlangsung selama enam bulan atau lebih. Para korban
mengalami serangkaian perubahan-perubahan emosi yang telah diidentifikasikan
sebagai sindrom trauma pemerkosaan (Burgess & Holmstorm, 1974, Hyde, 1994).
Sindrom ini terjadi dalam dua fase: sebuah fase akut dan fase reorganisasi jangka
panjang. Fase akut dengan cepat bermula setelah pemerkosaan (atau pemerkosaan yang
direncanakan) dan dapat bertahan selama beberapa minggu. Para korban memiliki
reaksi ekspresif di mana mereka cenderung menangis dan memiliki perasaan akan
amarah, ketakutan, keterhinaan, tekanan, kegelisahan, dan sebuah hasrat untuk balas
dendam. Selama fase ini para korban juga biasanya memiliki periode-periode akan
tindakan yang dikendalikan di mana mereka menutupi atau menyangkal perasaan-
perasaan mereka dan tampak tenang, tersusun, atau lembut. Para korban juga
mengalami banyak reaksi-reaksi fisik selama fase ini, seperti rasa sakit-rasa sakit di
perut, mual, pusing, insomnia, dan terlompat-lompat. Sebagai tambahan, beberapa
wanita yang dipaksa untuk melakukan seks oral melaporkan mengalami iritasi atau
kerusakan di tenggorokan. Beberapa dia antaranya dipaksa untuk melakukan seks anal
melaporkan rasa sakit dan berdarah di dubur. Terdapat dua perasaan yang umum:
ketakutan dan menyalahkan diri sendiri. Banyak wanita takut pada kekerasan fisik di
masa depan atau terus menderita dari ketakutan jika mereka terbunuh dalam serangan.
Penyalahan diri sendiri berkaitan pada kecenderungan pada bagian si korban dan orang
lain untuk “ menyalahkan di korban” . Para korban sering menghabiskan berjam-jam
menyesali tindakan apa yang membuat serangan terjadi atas mereka atau pada apa yang
dapat mereka lakukan untuk melawan si penyerang. Kritisisme diri umum adalah,
“ Jika saya tidak berjalan sendirian” , “ Jika saya mengkunci grendel pintu” , “ Jika
saya tidak mengenakan jaket ketat tersebut” , “ Jika saya tidak cukup bodoh untuk
mempercayai orang itu” .

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Fase reorganisasi jangka panjang mengikuti fase akut. Selama fase ini para korban
dapat mengalami berbagai disrupsi mayor. Disrupsi-disrupsi ini beragam di antara para
korban. Beberapa wanita yang telah diperkosa di luar ruangan dapat memiliki
ketakutan untuk pergi ke luar rumah; lainnya yang telah diperkosa di dalam ruangan
dapat memiliki ketakutan untuk berada dalam ruangan. Beberapa di antaranya tidak
mampu untuk kembali ke pekerjaan, terutama jika pemerkosaan terjadi di tempat kerja.
Beberapa menghentikan pekerjaan mereka dan tetap menganggur untuk waktu yang
lama. Banyak yang takut bahwa si pemerkosa akan menemukan mereka dan menyerang
mereka lagi. Untuk berusaha menghindari sebuah serangan oleh pemerkosa yang sama,
beberapa gerakan (terkadang beberapa kali), seperti mengubah nomor telepon mereka,
atau memakai nomor yang tidak terdaftar. Beberapa di antaranya mengembangkan
fobia-fobia seksual dan memiliki kesulitan-kesulitan yang berat untuk kembali pada
gaya hidup seksual reguler mereka. Dalam beberapa kasus dibutuhkan beberapa tahun
bagi si korban untuk kembali kepada gaya hidup yang ia jalani sebelumnya.
Sebagai tambahan, jika si korban melaporkan pemerkosaan tersebut, penyelidikan
polisi dan pengadilan (jika terjadi) adalah krisis-krisis lebih jauh yang dialami. Polisi
dan pengadilan-pengadilan memiliki sebuah sejarah penyalahgunaan dan tritmen yang
tidak berperasaan bagi para korban pemerkosaan. Terkadang polisi telah
mengungkapkan pemikiran bahwa si korban akan memalsukan peristiwa serangan
tersebut atau menyatakan bahwa ia setuju untuk berhubungan seks namun mengubah
pikirannya. Polisi sering menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang memalukan tentang
hal-hal rinci tentang serangan yang terjadi, tanpa menunjukan pemahaman dan simpati
yang banyak. Dalam pengadilan merupakan hal yang umum bagi pengacara pembela
untuk mengimplikasikan bahwa si korban menggoda si pelaku yang menjadi pihak
yang dibela, dan memutuskan untuk menyebutnya sebagai pemerkosaan. Para korban
terkadang dibuat untuk merasakan bahwa merekalah yang sedang disidang.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Belakangan ini, secara beruntung, banyak departemen-departemen kepolisian telah
mengembangkan unit-unit kejahatan sensitif dengan para petugas yang dilatih secara
khusus untuk mencampuri kasus-kasus serangan pemerkosaan dan seksual anak.
Dengan unit-unit tersebut, para korban tidak akan memiliki kecenderungan untuk
dijadikan korban oleh pihak-pihak otoritas secara lebih lanjut. Juga, sejumlah negara
bagian telah mengaktifkan hukum-hukum “ perlindungan” bukti, tanpa melarang para
pengacara pembela dari menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang pengalaman-
pengalaman seksual korban sebelumnya (termasuk dengan pihak yang dituduh
memperkosa) selama sebuah siding pemerkosaan. (Di masa lalu, para pengacara
pembela terkadang mengimplikasikan bahwa korban yang bersangkutan dan
selanjutnya menggoda di tersangka).
Karena pemerkosaan dan pengaruh-pengaruh setelahnya cenderung bersifat
traumatis secara ekstrim, konseling harus diadakan untuk para korban (1) memberikan
dukungan dan membiarkan korban mengeluarkan perasaan-perasaan mereka, (2)
memberikan dukungan dan bimbingan selama ujian-ujian medis sementara polisi
sedang bertanya pada mereka, (3) untuk secara serupa bersikap suportif selama
pengadilan berlangsung, dan (4) untuk memberikan konseling susulan bagi reaksi-
reaksi emosional bagi pemerkosaan.
Karena sebagian besar pemerkosaan tidak dilaporkan, banyak korban yang tidak
melapor memiliki sebuah reaksi pemerkosaan yang diam. Para korban yang tidak
melaporkan ini tidak hanya gagal untuk melaporkan pemerkosaan pada polisi namun
banyak di antara mereka yang tidak memberitahu sama sekali. Para korban yang tidak
melaporkan cenderung mengalami masalah-masalah penyesuaian serupa sebagaimana
dengan para korban yang melaporkan pengalaman pemerkosaan. Walaupun demikian,
trauma yang dialami para korban yang tidak melaporkan sering diidentifikasikan
karena mereka tidak memiliki cara untuk mengekspresikan atau mengeluarkan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
perasaan-perasaan mereka. beberapa korban yang tidak melaporkan selanjutnya
mencari konseling profesional untuk masalah-masalah lain seperti depresi,
kegelisahan, atau ketidakmampuan untuk berorgasme. Seringkali, masalah-masalah
tersebut kemudian diketahui berasal dari pemerkosaan. Para wanita yang memiliki
pengalaman-pengalaman rahasia pemerkosaan harus ditolong untuk berbicara tentang
pengalaman pemerkosaan sehingga secara perlahan mereka dapat belajar bagaimana
menghadapinya. Sejumlah komunitas sekarang memiliki pusat-pusat penanganan
pemerkosaan yang memberikan konseling, pelayanan-pelayanan medis, dan
pelayanan-pelayanan legal pada para korban.

Kebutuhan-Kebutuhan Konseling Spesial bagi Wanita


Collier (1982, hal 57-77) telah mengidentifikasikan delapan isu personal
yang sering dibawa wanita pada situasi-situasi konseling:
1. Rasa akan ketidakberdayaan: para wanita yang telah disosialisasikan untuk
bersikap pasif dan bergantung sering merasakan bahwa apapun yang mereka lakukan
tidak dapat memperbaiki situasi kehidupan mereka.
2. Pilihan-pilihan behavioral dan emosional yang terbatas: karena ekspektasi-
ekspektasi peran gender, para wanita tidak melihat beragam alternatif yang terbuka
bagi mereka. contohya, seorang istri yang dipukul telah dibesarkan dengan pemikiran
bahwa pernikahan merupakan sebuah komitmen permanen di mana meninggalkan
suami bukan suatu pilihan.
3. Kemarahan: banyak wanita mengalami kemarahan yang terpendam karena
cara mereka diperlakukan di tempat kerja dan di rumah. Beberapa wanita mengalihkan
kemarahan mereka ke dalam, menyalahkan diri mereka sendiri karena keadaan sulit
mereka; hal ini adalah hasil depresi.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
4. Kegagalan untuk merawat diri sendiri: para wanita yang mengabdi pada diri
mereka sendiri untuk merawat dan mempedulikan orang lain dapat merasa tidak utuh
dan yakin akan siapa diri mereka.
5. Ketidakmampuan untuk menyeimbangkan idependensi dengan
interdependensi: banyak wanita berjuang dengan menjadi amat bergantung pada orang
lain. Para wanita lain berjuang dengan menemukan sebuah keseimbangan antara
menjadi independen (tidak membutuhkan orang lain untuk apapun, termasuk dukungan
emosional) dan interdependen (merasa cukup percaya diri untuk berfungsi dengan
otonomi, juga mengakui bahwa interaksi-interaksi dengan orang lain adalah penting).
6. Kurangnya kepercayaan dalam arahan diri. Wanita yang rendah diri dan
pengalaman kecil dalam melakukan tindakan independen pada umumnya memiliki
kesulitan mempercayai penilaian mereka sendiri pada bagaimana melanjutkan hidup.
7. Keterampilan-keterampilan komunikasi yang tidak mencukupi: beberapa
wanita merasakan bahwa mereka tidak memiliki hak untuk mengungkapkan pikiran-
pikiran dan perasaan-perasaan mereka, karena keterkaitan pada ekspektasi-ekspektasi
peran gender tradisional. Wanita lain yang telah dibesarkan untuk bersikap pasif dan
tidak asertif tidak dapat mengetahui bagaimana mengekspresikan diri mereka sendiri
secara asertif.
8. Peran dan ekspektasi lama: seorang wanita yang mencari sebuah hubungan
egalitarian dengan seorang pria akan menghadapi konflik jika ia menjadi secara
romantis berhubungan dengan seorang pria yang memiliki ekspektasi-ekspektasi peran
tradisional. Konflik-konflik cenderung muncul dalam berbagai area, termasuk pilihan-
pilihan karirnya, pembagian tugas-tugas domestik, dan pengambilan keputusan (seperti
tipe mobil apa yang akan dibeli dan bagaimana menggunakan waktu luang).

Perspektif Feminis

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Para wanita telah menjadi amat terlibat dalam perkembangan program-program
pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial. Salah satu penemu pekerjaan sosial modern
adalah Jane Adams. Sekitar dua pertiga para pekerja sosial baru adalah wanita (Bureau
of Census, 1996). Para pekerja sosial wanita telah memegang sejumlah posisi
kepemimpinan sebagai para dekan strata satu, para pejabat program-program pekerjaan
sosial strata dua, dan para direktris agensi. Para wanita juga menuliskan sejumlah besar
tulisan-tulisan pekerjaan sosial dan artikel-artikel pekerjaan sosial professional.
Perspektif feminis pada intervensi pekerjaan sosial telah dikembangkan oleh
sejumlah penulis; tidak ada satupun yang secara khusus dikenal sebagai penemunya.
Miller dan Stiver (1993, hal. 421-431) menampilkan sejumlah tema-tema inti untuk
bekerja dengan wanita:
1. Para pekerja sosial harus mengenali pengaruh kuat dari konteks kebudayaan
pada kehidupan wanita. Dalam sebuah kebudayaan patriakis di mana wanita memiliki
kekuatan yang lebih rendah daripada pria, para wanita cenderung berusaha mengadopsi
hubungan-hubungan yang tidak setara, terutama tidak mutual. Sebagai sebuah hasil,
para wanita merasa tidak cukup diberdayakan untuk memiliki sebuah pengaruh dalam
hubungan-hubungan penting dalam kehidupan mereka atau, secara luas, pada
masyarakat. Dalam tatanan-tatanan tersebut, cara-cara di mana kelompok yang lebih
lemah (contohnya, wanita) beradaptasi dan berbeda dari kelompok dominan
(contohnya, pria) yang cenderung tidak diperhatikan dan disalahpahami. Dinamika ini
memicu status kelompok subordinat yang tidak berkekuatan.
2. Merupakan hal penting bahwa para pekerja sosial memiliki sebuah
pemahaman akan pentingnya hubungan-hubungan sebagai ciri pengatur inti dalam
perkembangan wanita. Daripada berjuang menuju kemandirian dan otonomi, di mana
model-model developmental pertumbuhan dan kedewasaan dikarakterisasikan, para
wanita sering mencari hubungan-hubungan dengan orang-orang lain tentu saja anak-

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
anak tapi juga orang dewasa. Gaya rasional wanita tampak makin jelas dalam arena-
arena lain. Contohnya, dalam tempat kerja pendekatan kolaboratif para manajer wanita
sedang mendapatkan perhatian yang patut dipertimbangkan.
3. Sebuah apresiasi terhadap kualitas-kualitas dan kegiatan rasional wanita
sebagai kekuatan-kekuatan potensial dan memberikan sebuah jalan baru bagi
pertumbuhan dan perkembangan adalah penting ketika bekerja dengan para wanita. Hal
ini berlawanan pada pandangan bertahan yang telah menyalahtafsirkan banyak
kualitas-kualitas bernilai wanita sebagai kecacatan atau kekurangan. Dalam teori
tradisional, kemampuan wanita untuk mengekspresikan emosi-emosi secara lebih
bebas dan perhatian mereka pada hubungan-hubungan sering mengarah pada pelabelan
patologis seperti “ histeris” atau “ terlalu bergantung” .
Feminisme adalah sebuah konsep dengan banyak wajah yang sulit untuk
didefinisikan secara akurat. Dalam The Social Work Dictionary Barker (1995)
mendefinisikan feminsime sebagai “ gerakan dan doktrin sosial yang
mengadvokasikan kesetaraan legal dan sosioekonomik bagi wanita. Gerakan tersebut
berasal dari Inggris Raya pada abad ke-18” (hal. 135). Selanjutnya ia mendefinsikan
pekerjaan sosial feminis sebagai “ integrasi nilai, keterampilan, dan pengetahuan
pekerjaan sosial dengan sebuah orientasi feminis untuk menolong para individu dan
masyarakat menghadapi masalah-masalah sosial dan emosional yang merupakan hasil
dari diskriminasi seks” (hal. 135). Secara lebih lanjut ia mendefinsikan terapi feminis
sebagai:

“Sebuah orientasi tritmen psikososial di mana professional (biasanya


seorang wanita) menolong klien (biasanya seorang wanita) dalam sebuah
tatanan indvidu atau kelompok untuk menghadapi masalah-masalah psikologis
dan sosial yang sebagian besar dihadapi sebagai hasil diskriminasi seks dan
penstereotipan peran seksual. Para ahli terapi feminis menolong para klien
memaksimalkan potensi, terutama melalui pembangkitan kesadaran,
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
menghilangkan pensterotipan seks, dan menolong mereka menjadi mawas akan
persamaan-persamaan yang dimiliki oleh semua wanita. (hal. 135)”.

Collins (1986) mendefinsikan teori feminis sebagai sebuah “ perspektif filosofis


atau cara memvisualisasikan dan berpikir tentang situasi-situasi dan sebuah tatanan
teori-teori yang berubah berupaya untuk menjelaskan berbagai fenomena opresi
wanita” (hal. 217). Kirst-Ashman dan Hull (1993) mendefinsikan feminism sebagai:

“Filosofi kesetaraan antara wanita dan pria yang meliputi baik sikap
maupun tindakan, yang secara virtual menginfiltrasi semua aspek kehidupan,
yang seringkali mewajibkan penyediaan pendidikan dan advokasi berkaitan
dengan wanita, dan yang mengapresiasi keberadaan perbedaan-perbedaan
individual dan pencapaian-pencapaian pribadi terlepas dari gender” . (hal. 427).

Mari kita membahas lima komponen definisi ini yang telah ditekankan. Filosofi
kesetaraan antara pria dan wanita tidak berarti bahwa wanita harus mengadopsi
perilaku-perilaku yang biasanya maskulin. Hal tersebut berarti bahwa wanita dan pria
harus memiliki hak-hak setara atau identik pada kesempatan dan pilihan dan bahwa
baik wanita maupun pria harus didiskriminasikan berdasarkan gender.
Komponen kedua meliputi baik sikap maupun tindakan. Dengan sikap-sikap,
feminisme menekankan pentingnya memandang orang lain dalam perspektif yang adil,
objektif dan pencegahan penstereotipan. Dengan tindakan-tindakan, feminisme
meliputi sebuah komitmen untuk bertindak pada keyakinan seseorang yang meliputi
kesetaraan gender. Contohnya, seorang pembimbing yang menyatakan bahwa ia
meyakini feminisme memiliki sebuah kewajiban untuk mengkonfrontasikan seorang
yang sedang berada di bawah bimbingan yang memberitahu candaan-candaan seksis
atau yang memperlakukan wanita menurut stereotip-stereotip berbasis gender
(contohnya, dengan membuat komentar-komentar kejam tentang para pekerja sosial
wanita yang terlibat secara terlalu emosional dengan para klien mereka).
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Dalam komponen ketiga, semua aspek kehidupan, kesetaraan tidak hanya
mengaplikasikan kesempatan setara untuk mendapatkan sebuah pekerjaan atau
promosi spesifik, ia juga meliputi banyak aspek kehidupan lain: kebebasan untuk
memiliki pendapat pada isu-isu politik, sosial, dan agama; kebebasan untuk mengajak
orang lain untuk kencan; kebebasan untuk memutuskan apa yang harus dikerjakan pada
waktu senggang; kebebasan untuk berkuliah atau tidak berkuliah; kebebasan untuk
memilih untuk terlibat dalam olahraga-olahraga kompetitif; dan kebebasan untuk
memilih sebuah hubungan seksual.
Komponen keempat adalah kebutuhan yang sering muncul untuk memberikan
pendidikan dan advokasi untuk wanita. Feminsime meliputi pemberian nilai pada
kesempatan-kesempatan yang setara baik bagi wanita maupun pria. Karena wanita
telah menjadi subjek penstereotipan diskriminasi berbasis gender, seseorang yang
menilai feminisme memiliki sebuah kewajiban untuk memberikan pendidikan dan
advokasi berkaitan dengan wanita. Contohnya, pegawai pria yang memberitahukan
candaan-candaan seksis pada pekerjaan harus dididik tentang pelecehan-pelecehan
seksual. Ia juga harus diinformasikan tentang pengaruh negatif yang diberikan
candaan-candaan tersebut pada para wanita dan konskuensi-konsekuensi buruk jika ia
terus membuat komentar-komentar seksis. Advokasi feminis meliputi berbicara untuk
(atau membela hak-hak) wanita-wanita tersebut yang membutuhkan pertolongan.
Wanita-wanita ini biasanya berada dalam posisi dengan kekuatan dan kesempatan yang
lebih kecil.
Komponen kelima adalah apresiasi perbedaan-perbedaan individual. Perspektif
feminis menempatkan sebuah nilai yang tinggi pada pemberdayaan wanita dengan
menekankan kualitas dan kekuatan individu.

Prinsip-Prinsip Terapi Feminis

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Berdasarkan sejarah, wanita telah ditempatkan dalam peran-peran
subordinat pada pria dalam masyarakat-masyarakat Barat yang patriakis. Selanjutnya,
penekanan terapi feminis adalah pada kesetaraan bagi wanita. Para ahli terapi feminis
berjuang untuk bersikap dengan cara-cara yang mencerminkan nilai-nilai ini dengan
para klien, dalam hubungan-hubungan professional, dan dalam kehidupan sehari-hari
mereka. terdapat sebuah perbedaan besar di antara para ahli terapi feminis dalam
pengaruh dan pilihan filosofis mereka, pelatihan, latar belakang, dan implementasi
dalam praktik. Para ahli terapi feminis cenderung bersifat liberal, kultural, dan radikal.
Dalam membahas opresi Kanuha (1990, hal. 30-33) menggambarkan komponen-
komponen filosofi dan praktik etis feminis. Ia mendaftarkan empat komponen penting.
1. Pembahasan dan perkembangan filosofi dan praktik prinsip-prinsip terapi
feminis harus secara langsung menemukan konsep “ analisa opresi yang terintegrasi”
(yang memiliki arti konseptualisasi terapi feminis harus menemukan dan
mengintegrasikan banyak wajah opresi berkaitan dengan wanita).
2. Semua dokumen kebijakan dan posisi yang menggambarkan jejak terapi
feminis harus meliputi sebuah analisa opresi yang terintegrasi.
3. Semua ahli terapi feminis harus memiliki pendidikan dan pelatihan dalam
antirasisme, isu-isu kelas, anti Semitisme, dan semua bentuk opresi yang
mempengaruhi kehidupan para wanita tidak hanya di Amerika Serikat namun juga
secara internasional.
4. Strategi-strategi spesifik harus dikembangkan untuk secara aktif merekrut
dan mendukung wanita yang bukan berkulit putih, yang bukan berasal dari kelas
menengah, dan bukan heteroseksual.
Van Den Bergh dan Cooper (1987), Van Den Bergh (1992), dan Kirst-Ashman dan
Hull (1993) telah mengidentifikasikan Sembilan prinsip intervensi feminis.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
a. Masalah-masalah seorang klien harus dipandang “ dalam sebuah kerangka
sosiopolitik” (Kirst-Ashman & Hull, 1993, hal. 613). Intervensi feminis dibebani
dengan hubungan kekuatan yang tidak dapat diimbangi antara pria dan wanita dan
berlawanan dengan semua hubungan-hubungan yang “ berkekuatan atas” , terlepas
dari gender, ras, umur, dan lain sebagainya. Hubungan-hubungan demikian mengarah
pada opresi dan dominasi. Feminisme dibebani untuk mengubah semua struktur sosial
berdasarkan pada hubungan-hubungan antara orang yang sudah mengalami dengan
yang belum mengalami. Masalah-masalah orang yang belum mengalami sering berakar
dalam sebuah struktur seksis dan politik. Cara lain dalam menyatakan prinsip ini adalah
bahwa “ personal adalah politik” . Menurut Van Den Bergh (1992):

“Prinsip ini memelihara pemahaman bahwa apa yang dialami seorang


wanita dalam kehidupan pribadinya secara langsung berkaitan dengan
dinamika-dinamika sosial yang mempengaruhi para wanita lain. Dengan kata
lain, sebuah pengalaman pribadi wanita akan komentar-komentar peyoratif
berdasarkan pada seks dan kesempatan-kesempatan yang dihalangi secara
langsung berkaitan dengan seksisme sosial. Bagi wanita yang berasal dari etnis
minoritas, rasisme dan klasisme juga adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
keberadaan”. (hal. 103).

Sebuah ciri utama yang membedakan dari tritmen feminis adalah untuk menolong
klien menganalisa bagaimana masalah-masalahnya berkaitan dengan kesulitan-
kesulitan sistematik yang dialami oleh wanita dalam sebuah masyarakat seksis, klasis,
dan rasis.
b. Peran-peran seks tradisional bersifat patologis, dan para klien harus
didorong untuk membebaskan diri mereka dari ikatan-ikatan peran gender tradisional.
Secara tradisional, para wanita Amerika diharapkan untuk bersikap penuh afektif,
pasif, lembut, sensitif, intuitif, berkebergantungan; dengan kata lain, “ gula dan bumbu
dan segala sesuatu yang enak” . Mereka seharusnya menjadi terbebani tentang
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
penampilan personal mereka dan untuk mengorbankan diri mereka sendiri untuk
keluarga mereka. mereka dibesarkan agar tidak tampak ambisius, agresif, kompetitif,
atau lebih pintar daripada pria. Mereka diharapkan untuk mengabaikan dan tidak
tertarik dalam olahraga, ekonomi, atau politik. Mereka tidak seharusnya memulai
hubungan-hubungan dengan pria dan diharapkan untuk bersikap lembut, feminim,
emosional, dan apresiatif dalam hubungan-hubungan ini.
Para wanita ditaruh dalam sebuah ikatan ganda karena ketidakcocokan pencapaian
feminitas; terdapat sebuah pandangan tradisional dalam masyarakat kita yang
menyatakan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi baik seorang feminim maupun
seorang pencapai. Pencapaian diperkirakan dapat mengurangi feminitas seorang
wanita, dan seorang wanita yang benar-benar feminisme diperkirakan berupa seseorang
yang tidak berusaha untuk menjadi seorang pencapai. Secara tradisional, para wanita
telah disosialisasikan untuk mengisi sebuah peran “ ketidakberdayaan yang
dipelajari” . Van Den Bergh (1992) menggambarkan pengaruh-pengaruh pensterotipan
peran seks tersebut:
“Streotip peran seks menyarankan bahwa perempuan harus menjadi
submisif, patuh, menerima apa adanya dan tidak mandiri. Pesan ini bersifat
pesimistik dimana perempuan tidak mampu mengurus dirinya sendiri dan
bergantung pada orang lain untuk memenuhi kesejahteraannya. Hal ini
membentuk suatu dinamika dimana ‘ locus of controlnya’ bersifat eksternak
terhadap dirinya sendiri, mencegahnya untuk mempercayai bahwa ia dapat
memperoleh apa yang dibutuhkannya dalam rangka perkembangan dan
aktualisasi diri. Dengan kata lain oversubscription terhadap streotip peran seks
menimbulkan situasi ketidakberdayaan dimana seorang perempuan sepertinya
terlibat dalam situasi-situasi dimana ia dikorbankan. Misalnya, karena gadis-
gadis muda disosialisasikan untuk menjadi pesimistik, ketika mereka menjadi
perempuan dewasa mereka cenderung untuk memiliki suatu acuan respon-
respon yang terbatas pada saat mengalami tekanan.”

Dalam tritmen feminis para klien ditolong untuk melihat bagaimana kesulitan-
kesulitan mungkin terhubungkan dengan gambaran berlebihan terhadap streotip tradisi
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
peran seks. Mereka terlihat bahwa bahwa melalui internalisasi tradisi peran seks tidak
terelakan bahwa perempuan memaminkan peran pasif & submisif, dan mengalami
harga diri yang rendah dan kebencian terhadap diri sendiri. Pendekatan feminis
menegaskan bahwa para klien membutuhkan dorongan untuk membuat pilihan sendiri
dan mengejar pelaksanaan tugas-tugas dan pencapaian-pencapaian yang mereka
inginkan daripada menjadi tertekan oleh tradisi peran seks.
c. Intervensi harus berfokus pada pemberdayaan klien
Van Den Bergh (1992) dalam Zastrow (1999), menggambarkan proses
pemberdayaan sebagai berikut:
“Komponen krusial dalam praktik feminis adalah menolong para
perempuan untuk memperoleh perasaan kuat, atau kemampuan untuk
mempengaruhi kehidupan mereka sendiri. Pemberdayaan mengandung arti
perolehan pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan sumber-sumber yang
memperkuat kemampuan individu untuk mengontrol kehidupannya dan
mempengaruhi orang lain” .

d. Harga diri klien harus ditingkatkan


Harga diri dan kepercayaan diri adalah esensial bagi pemberdayaan. Harga diri
dapat dikuatkan atau ditingkatkan dalam berbagai cara. Pekerja sosial harus mencoba
untuk menjadi seorang pendorong. Karena itu ia harus menolong klien untuk
mengidentifikasi dan memahami kualitas keunikan dan kekuatannya. Banyak klien
yang memiliki harga diri yang rendah cenderung menyalahkan diri sendiri dalam
segala hal yang salah. Misalnya, seorang wanita yang mengalami kekerasan secara
tipikal menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab timbulnya kekerasan terhadap
dirinya sendiri.Para klien seperti ini perlu melihat area-area kekerasan terhadap dirinya
dimana mereka menyalahkan dirinya sendiri dan perasaan bersalahnya secara lebih
realistik. Mereka perlu untuk membedakan mana tanggung jawab mereka dalam
kedisfungsian interaksi dan mana tanggung jawab orang lain.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
e. Klien harus didorong untuk mengembangkan identitasnya atau perasaan
terhadap diri sendiri yang didasarkan pada kekuatan, atribusi, kualitas dan pencapaian
dirinya sendiri. Adalah suatu kesalahan bagi seorang perempuan untuk
mengembangkan identitas dirinya dalam kaitannya dengan pasangan atau patner
kencannya. Perempuan membutuhkan pengembangan identitas yang mandiri
berdasarkan relasi-relasinya dengan orang lain.
f. Klien butuh untuk dihargai dan mengembangkan sistem dukungan sosial
dengan perempuan lain. Dalam masyarakat yang tidak menghargai perempuan, mudah
bagi perempuan lainnya dalam masyarakat itu untuk melihat perempuan lainnya
sebagai pihak yang tidak signifikan. Melalui sistem dukungan sosial perempuan dapat
melontarkan keprihatinan-keprihatinan dan berbagi pengalaman-pengalaman dan
solusi-solusi yang mereka temukan untuk persoalan-persoalan yang mirip. Mereka
dapat melayani sebagai perantara (broker) dalam pengidentifikasian sumber-sumber
dan dapat menyediakan dukungan emosional dan pengasuhan bagi satu sama lainnya.
g. Klien butuh untuk menemukan keseimbangan yang efektif antara
hubungan kerja dengan personal/pribadi. Intervensi feminis mendorong baik
perempuan maupun laki-laki untuk berbagi dalam aspek-aspek yang bersifat mengasuh
dan memelihara dalam kehidupan mereka dan dalam penyediaan sumber-sumber
ekonomi.
h. Sifat dasar dari relasi antara praktisi dengan klien harus sedapat mungkin
dilakukan secara berimbang. Praktisi feminis tidak memandang diri mereka sendiri
sebagai ahli/ekspert dalam pemecahan masalah-masalah klien tetapi sebagai katalisator
yang berperan untuk menolong klien memberdayakan dirinya sendiri. Praktisi feminis
mencoba untuk mengeliminasi hubungan-hubungan submisif yang dominan. Dalam
hubungannya dengan relasi egalitarian, Van Den Berg (1992) mencatat:
“ Secara nyata, terdapat perbedaan kekuatan sejak lahir antara praktisi dan
klien karena sebelumnya sudah memiliki keahlian dan pelatihan sebagai
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
seorang ‘ ahli.’ Akan tetapi, peringatan kaum feminis adalah untuk
menghindari perlakuan salah terhadap status; “ perlakuan salah/abuse “ dalam
hal ini mungkin berupa penghargaan terhadap perubahan, atau penggunaan
terminology dan nomenklatur yang sulit untuk dipahami klien”.

i. Banyak klien dapat memperoleh manfaat dari pembelajaran untuk


mengekspresikan dirinya sendiri secara asertif. Sebagaimana terindikasi bahwa banyak
perempuan tersosialisasikan untuk menjadi pasif dan tidak asertif. Sebagai akibatnya,
mereka mengalami kesulitan untuk mengekspresikan dirinya secara asertif. Klien dapat
ditolong melalui konseling individual dan kelompok. Para klien yang belajar
mengekspresikan dirinya secara asertif akan mengalami kemampuan yang lebih baik
untuk mengkomunikasikan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan opini-opini mereka.
Juga, pembelajaran untuk mengekspresikan diri sendiri secara asertif adalah suatu
komponen penting dalam pemberdayaan.
Banyak perempuan merasakan kemarahan yang wajar setelah menjadi korban
diskriminasi seks dan stereotip jender. Beberapa dari perempuan-perempuan ini
menyimpan kemarahan ini dalam hati mereka. Akibatya, mereka mengalami depresi.
Pelatihan berperilaku asertif dapat membantu mereka untuk mengenali hak-hak mereka
untuk marah dan juga membantu mereka untuk mengidentifikasi dan mempraktikan
cara-cara konstruktif untuk mengekspresikan kemarahan mereka daripada bersikap
atau bertindak agresif.

Evaluasi
Perspektif feminis terapi dapat (biasanya) digunakan dalam hubungannya dengan
pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Para ahli terapi yang memiliki perspektif
feminis hampir selalu memiliki pelatihan dalam dan menggunakan pendekatan-
pendekatan psikoterapik seperti terapi perilaku, terapi realitas, terapi rasional, dan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
analisa transaksional. Mereka juga menggunakan sejumlah pendekatan tritmen spesifik
seperti pelatihan keasertifan, mediasi, meditasi, terapi seks, dan teknik-teknik relaksasi.
Karena perspektif feminis hampir selalu digunakan dalam hubungannya dengan
pendekatan-pendekatan terapi lainnya, merupakan hal yang amat sulit untuk
melakukan studi-studi evaluatif yang menguji keefektifannya.
Van Den Bergh dan Cooper (1987) menekankan bahwa perspektif feminis adalah
konsisten dengan nilai-nilai inti praktik pekerjaan sosial, termasuk kesetaraan,
penghargaan bagi para individu, dan promosi bagi keadilan sosial dan ekonomi bagi
populasi yang sedang berada dalam resiko. Mereka menyimpulkan bahwa “ sebuah
praktik pekerjaan sosial feminis merupakan sebuah cara yang dapat diandalkan untuk
mencapai misi unik pekerjaan sosial untuk memperbaiki kualitas hidup dengan
memfasilitasi perubahan sosial” (hal. 617).
Sebagian besar pendekatan pendekatan kontemporer pada psikoterapi mencari bagi
penyebab-penyebab masalah yang berasal dari diri klien. Misalnya konflik internal,
perasaan-perasaan tertekan, dan trauma-trauma pada masa kanak-kanak. Tetapi
pekerjaan sosial dengan perspektif feminis menekankan permasalahan klien pada
individu dalam lingkungan sosialnya atau ‘ person in envinronment’ , pendekatan
sistem dan ekologi.
Perspektif feminis juga telah sangat membantu dalam pengidentifikasian dan
konseptualisasi sejumlah permasalahan struktural dalam masyarakat. Contohnya, para
pengikut pandangan feminis yang berpraktik dalam bidang kesehatan mental pada awal
tahun 1970an mulai memandang psikoterapi tradisional sebagai agen kontrol sosial
yang memelihara peran seks tradisional dengan cara mendorong para perempuan untuk
beradaptasi (Van Den Bergh, 1992 dalan Zastrow, 1999). Para pengikut pandangan
feminis menegaskan bahwa para perempuan perlu untuk diakui haknya terhadap
kapasitas reproduksinya termasuk hak untuk menghentikan kehamilan. Jika tidak

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
kehidupan mereka akan sangat dikuasai oleh para laki-laki. Para pengikut aliran ini
juga telah memberikan perhatian mereka pada tekanan-tekanan sosial politik yang telah
mengakibatkan peningkatan feminisasi kemiskinan dalam masyarakat.
Satu perspektif positif yang ekstrim dari pendekatan feminis adalah pandangan
bahwa seluruh pekerja sosial memiliki obligasi/kewajiban untuk mengidentifikasi
ketidakseimbangan dalam sistem sosial, ekonomi dan politik, kemudian menggunakan
teknik prektik makro untuk menghadapi ketidakseimbangan ini.

TERAPI REALITAS
Penemu terapi realitas adalah William Glasser (1925-1995). Glasser adalah seorang
psikiatris yang lulus dari Western Reserve Medical School di Cleveland, Ohio, pada
tahun 1953. Pada tahun 1956 ia menjadi seorang psikiatris konseling di Ventura School
for Girls, sebuah institusi negara California untuk tritmen anak-anak perempuan yang
menyimpang.
Glasser telah menjadi skeptik akan nilai psikoanalisis ortodoks yang diterimanya
selama mengikuti pelatihan. Di Ventura School for Girls, ia menciptakan sebuah
program tritmen berdasarkan pada prinsip-prinsip sebuah pendekatan baru, di mana ia
mengembangkan dan menamainya terapi realitas. Dalam mengembangkan pendekatan
ini, ia telah amat dipengaruhi oleh Dr. Helmuth Kaiser, seorang ahli psikologi
eksistensial, dan oleh Dr. G. L. Harrington, seorang psikiatris yang menjadi
pembimbingnya selama residensi psikiatrisnya di University of California di Los
Angeles. Pendekatan terapi realitas menunjukan janji di Ventura; para anak perempuan
mulai menikmati dan mengekspresikan antuasiasme bagi program tersebut .
Glasser juga menerapkan pendekatan baru ini dalam pekerjaannya di sebuah klinik
pasian swasta dengan para pasien yang memiliki berbagai masalah. Pada tahun 1962
Dr. Harrington ditempatkan untuk bertugas dalam sebuah ruang perawatan bagi para

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pasien psikotik di sebuah Veterans Hospital di Los Angeles. Mengikuti sebuah
konsultasi dengan Glasser, Harrington secara berhasil menerapkan pendekatan terapi
realitas di rumah sakit ini, yang mengarah pada peningkatan-peningkatan dramatis
dalam tingkat discharge (Glasser & Zunin, 1979).
Keberhasilan-keberhasilan ini mengarah pada publikasi pendekatan baru ini dalam
Terapi Realitas (Glasser, 1965). Pada tahun 1966 Glasser mulai berkonsultasi di sistem-
sistem sekolah California dan menerapkan konsep-konsep terapi realitas pada
pendidikan. Penekanannya pada kebutuhan bagi pendidikan untuk menggarisbawahi
keterlibatan, relevansi, dan berpikir telah menciptakan pengaruh yang kuat dalam
mengubah sistem pendidikan. Pada tahun 1969 ia menerbitkan Schools Without
Failure, yang menampilkan saran-saran untuk membuat pendidikan menjadi relevan
bagi para pelajar, menekankan berkembangnya kapasitas-kapasitas berpikir bagi para
siswa, dan memberikan saran-saran untuk membuat para siswa menjadi semakin
terlibat dan berminat dalam mendapatkan sebuah pendidikan kualitas.
Pada tahun 1990 Glasser menerbitkan The Quality School, yang
mengkombinasikan prinsip-prinsip terapi realitas dengan manajeman kualitas total
(lihat Bab 9) untuk memperbaiki kualitas pendidikan secara internasional.
Pada tahun 1969 Institusi Terapi Realitas dibentuk, dengan Glasser sebagai direktur
utamanya. Prinsip-prinsip dasar terapi realitas semakin diadopsi oleh para konselor dan
para ahli terapi dan sedang digunakan dengan para klien yang memiliki berbagai
macam masalah.

William Glasser: Teori-Teori Perkembangan Kepribadian dan Psikopatologi


Glasser mengembangkan dua teori yang berbeda dalam perkembangan
kepribadian dan psikopatologi: sebuah teori identitas, yang dikembangkannya pada
tahun 1960an, dan sebuah teori kendali, yang dikembangnya pada tahun 1980an.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Keduanya dirangkum di sini, sebagaimana setiap perpaduan dalam
pengkonseptualisasian perilaku manusia. Kami mulai dengan teori yang lebih baru.
(Dua teori ini agak berbeda dan terpisah dari satu sama lain; Glasser meninggal
sebelum ia mengintegrasikan dua konseptualisasi ini).

Teori Kendali
Glasser (1984) mengembangkan sebuah penjelasan teori kendali akan perilaku
manusia. Sebuah pengaruh utama teori tersebut adalah bahwa kita memiliki gambaran-
gambaran dalam pikiran-pikiran kita akan seperti apakah teori realitas dan gambaran-
gambaran akan dunia seperti apa yang kita inginkan. Glasser (1984, hal: 32)
menyatakan: “ Semua perilaku kita adalah usaha konstan kita untuk mengurangi
perbedaan antara apa yang kita inginkan (gambaran-gambaran dalam pikiran-pikiran
kita) dan apakah yang kita miliki (cara kita memandang situasi-situasi di dunia)” .
Beberapa contoh dapat menolong mengilustrasikan apa yang diteorisasikan
Glasser. Setiap kita memiliki gambaran-gambaran dalam pikiran kita dalam
karakteristik-karakteristik fisik dan kepribadian akan tipe orang yang ingin kita kencani
atau yang kita ingin membangun hubungan dengan; ketika kita menemukan seseorang
yang secara dekat cocok dengan katakteristik-karakteristik tersebut, kita berusaha
untuk membentuk sebuah hubungan. Setiap kita memiliki gambaran-gambaran di
kepala kita tentang makanan-makanan favorit kita, ketika kita lapar, kita memilih salah
satu dari gambaran-gambaran tersebut dan berusaha mendapatkan makanan tersebut.
Setiap kita memiliki gambaran-gambaran dalam kepala kita tentang apa yang suka kita
lakukan untuk mengisi waktu luang; ketika kita memiliki waktu luang, kita memilih
salah satu dari gambaran-gambaran tersebut dan berupaya untuk melibatkan diri dalam
kegiatan yang kita pilih.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Bagaimanakah kita mengembangkan gambaran-gambaran dalam kepala kita yang
kita yakini akan memuaskan kebutuhan-kebutuhan kita? Glasser menyatakan bahwa
kita mulai menciptakan album-album gambaran kita pada usia awal (mungkin bahkan
sebelum kelahiran) dan bahwa kita menghabiskan waktu untuk memperbesar album-
album ini. Secara esensial, kapanpun sesuatu yang kita lakukan memberikan sesuatu
yang memuaskan sebuah kebutuhan, kita menyimpan gambaran akan apa yang
memuaskan kita dalam album-album gambaran pribadi kita. Glasser (1984)
memberikan contoh berikut akan proses ini dengan menggambarkan bagaimana
seorang anak yang lapar menambahkan biskuit chip coklat pada album gambarannya:
“ Bayangkanlah jika anda memiliki seorang cucu laki-laki dan putri anda
meninggalkan anda ketika cucu anda sedang tidur siang. Ia mengatakan bahwa
ia akan langsung kembali, karena anak itu akan menjadi sangat lapar ketika
bangun dari tidurnya dan putri anda mengetahui bahwa anda tidak tahu cara
memberi makan bayi yang baru berusia sebelas bulan. Putri anda benar. Segera
setelah ia pergi, bayi tersebut bangun dan menangis dengan keras, lapar dengan
jelas. Anda mencoba sebuah botol, namun ia menolaknya ia memikirkan
sesuatu yang lebih substansial dalam pikirannya. Namun apa? Karena tidak
terbiasa dengan bayi yang bersuara keras, dan putus asa, anda mencoba biskuit
biji coklat dan makanan tersebut memberikan pertanyaan-pertanyaan: pertama,
ia tampak tidak mengetahui benda apa itu, namun ia merupakan seorang
pembelajar yang cepat. Dengan cepat bayi itu menjilat tiga biskuit. Bayi
tersebut kembali dan hampir menjilat anda karena anda bersikap bodoh dengan
memberikan bayi tersebut biskuit coklat. “ Sekarang” , ia berkata, “ ia akan
rewel sepanjang hari untuk biskuit-biskuit itu” . Ia benar. Jika ia seperti
sebagian besar kita, ia mungkin akan membayangkan coklat dalam pikirannya
untuk sisa hidupnya” . (hal. 19).

Ketika anak ini belajar bagaimana memusakannya biskuit biji coklat itu, ia
menempatkan gambar biskuit-biskuit ini dalam album gambar pribadinya.
Dengan istilah gambaran-gambaran, Glasser memiliki maksud persepsi-persepsi
dari kelima indra akan pengelihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman, dan
pencicipan. Ketika kita menjadi lapar atau haus atau memiliki kebutuhan atau

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
keinginan lain, kita memilih satu atau lebih banyak gambaran-gambaran akan menu
makan malam iga (atau lobster, atau dua hamburger) dari album kita dan kemudin
berupaya mendapatkan apa yang ditampilkan gambar yang kita miliki.
Gambar-gambar dalam album-album kita tidak harus rasional. Para penderita
anoreksik memiliki sebuah gambaran di mana mereka terlalu gemuk dan mengalami
kelaparan untuk mendekati gambaran irasional mereka akan kekurusan yang tidak
sehat. Para alkoholik memiliki sebuah gambaran tentang diri mereka sendiri di mana
mereka memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka. para penyodom anak memiliki
gambaran tentang pemuasan kebutuhan seksual mereka melalui kegiatan-kegiatan
seksual yang memuaskan dengan anak-anak. Para pemerkosa memiliki gambaran akan
pemuasan kebutuhan-kebutuhan kekuatan mereka dan mungkin kebutuhan-kebutuhan
seksual melalui serangan seksual. Untuk mengubah sebuah gambar, kita harus
menggantikannya dengan sebuah gambar lain yang paling sedikit secara masuk akal
memuaskan kebutuhan yang dipertanyakan tersebut. Orang-orang yang tidak mampu
untuk menggantikan sebuah gambar dapat bertahan dari penderitaan kehidupan.
Beberapa wanita yang dipukuli, contohnya, akan bertahan dari pemukulan-pemukulan
brutal dan penghinaan-penghinaan dalam pernikahan mereka karena mereka tidak
dapat menggantikan para suami mereka dalam album-album kehidupan mereka.
Glasser menuliskan bahwa kapanpun terdapat sebuah perbedaan antara gambar
yang kita lihat sekarang dan gambar yang kita inginkan, sebuah sinyal diciptakan oleh
perbedaan ini yang membuat kita untuk bersikap dalam sebuah cara untuk
mendapatkan gambar yang kita inginkan. Kita menguji sistem-sistem behavioral kita
dan memilih satu atau lebih yang kita anggap sebagai perilaku yang tersedia untuk
mengurangi perbedaan dari perilaku-perilaku tersebut. Perilaku-perilaku ini tidak
hanya meliputi upaya-upaya penyelesaian masalah secara langsung namun juga
strategi-strategi manipulatif seperti menjadi marah, mengomel, dan mencoba membuat

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
orang lain merasa bersalah. Orang-orang yang bersikap secara tidak bertanggungjawab
atau secara tidak efektif gagal untuk memilih perilaku-perilaku bertanggungjawab
dalam laporan-laporan behavioral mereka atau sebagaimana juga mereka tidak
mempelajari tindakan-tindakan yang bertanggungjawab untuk situasi tertentu yang
mereka hadapi.
Glasser meyakini bahwa manusia-manusia dikendalikan oleh lima kebutuhan dasat,
mendalam. Segera setelah seseorang mengalami kepuasan, kebutuhan lain (atau
mungkin lebih dari satu bertindak bersama) mendorong bagi kepuasan. Kebutuhan
dasar pertama adalah untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Hal yang termasuk
dalam kebutuhan ini adalah fungsi-fungsi vital seperti bernapas, pencernaan makanan,
berkeringat, pengaturan tekanan darah, dan memenuhi tuntutan-tuntutan akan
kelaparan, haus, dan seks.
Sebuah kebutuhan kedua adalah keinginan untuk menetap-mencintai, berbagi, dan
bekerjasama. Kebutuhan ini pada umumnya dipenuhi melalui keluarga, teman-teman,
hewan-hewan piaraan, tanaman-tanaman, dan kepemilikan-kepemilikan material
seperti mobil atau perahu kesayangan.
Sebuah kebutuhan ketiga adalah kekuatan. Glasser mengatakan kebutuhan ini
meliputi orang lain untuk mematuhi kita dan kemudin menerima rasa penghargaan diri
dan pengenalan yang menyertai kekuatan. Hasrat untuk kekuatan terkadang berkonflik
dengan kebutuhan untuk menetap. Contohnya, kedua orang dalam sebuah hubungan
dapat berjuang untuk mengambil kendali atas hubungan tersebut daripada
mengupayakan hubungan yang setara.
Sebuah sistem keempat adalah kebebasan. Orang menginginkan kebebasan untuk
memilih bagaimana mereka menjalani kehidupan mereka, untuk mengekspresikan diri
mereka sendiri, untuk membaca dan menuliskan apa yang mereka pilih, untuk

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
berhubungan dengan siapa yang mereka pilih, dan untuk menyembah atau tidak seperti
apa yang mereka yakini.
Sebuah kebutuhan kelima adalah kesenangan. Glasser meyakini bahwa belajar
seringkali menyenangkan, yang kemudian merupakan sebuah insentif untuk
mengasimilasikan apa yang kita butuhkan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan
kita. Kelas-kelas tanpa kesenangan (yang suram dan membosankan) merupakan
kegagalan-kegagalan utama sistem pendidikan kita. Tertawaan dan humor menolong
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk kesenangan. Kesenangan merupakan
sebuah bagian vital kehidupan di mana sebagian besar kita memiliki masalah dalam
bagaimana kehidupan berjalan tanpa kesenangan tersebut.
Glasser menambahkan bahwa terdapat kebutuhan-kebutuhan sebagai tambahan
pada lima kebutuhan dasar ini (yang juga tidak teridentifikasikan). Ia juga menuliskan
bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di antara para individu dalam intensitas akan
kebutuhan-kebutuhan ini. Sedikit orang, contohnya, memiliki kebutuhan akan
kekuatan yang intens seperti Adolf Hitler, yang ingin mengendalikan dunia.
Glasser menyatakan bahwa teori apapun yang menyaingi perilaku kita merupakan
sebuah satu-satunya tanggapan pada stimuli luar atau kejadian-kejadian yang salah. Ia
menolak sistem stimulus-respon (S-R) behaviorisme. Ia menyatakan bahwa orang-
orang yang berada dalam kendali akan apa yang mereka lakukan. Ketika seseorang
haus dan mencari air (karena segelas air adalah gambar pemuas dahaga yang ada dalam
pikirannya), maka perilaku seseorang berada dalam sistem kendali yang berfungsi
dengan baik. Sebuah teori S-R, secara berlawanan, akan menyatakan bahwa seseorang
akan terus minum (mungkin minum sampai mati) setiap waktu ia diberikan segelas air.

Teori Identitas

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Teori Glasser yang lebih awal akan perkembangan kepribadian dan
psikopatologi telah disebut sebagai teori identitas. Terapi realitas didasarkan pada
sebuah premis yang menyatakan bahwa terdapat sebuah kebutuhan psikologis dasar
yang harus dihadapi setiap orang: kebutuhan untuk sebuah identitas. Glasser dan Zunin
(1979, hal. 302) mendefinisikan kebutuhan untuk kebutuhan akan identitas sebagai
“ kebutuhan untuk merasakan bahwa setiap kita terpisah dan berbeda dari setiap
makhluk hidup di permukaan bumi ini dan tidak ada seorangpun yang berpikir,
bertindak, dan berbicara persis seperti yang kita lakukan” .
Walaupun identitas dapat dipandang dari beberapa sudut pandang, Glasser
meyakini bahwa dari sebuah sudut pandang terapi lama maka merupakan hal yang
paling berguna untuk mengkonseptualiasasikan identitas dalam persyaratan orang-
orang yang mengembangkan sebuah identitas keberhasilan versus mereka yang
mengembangkan identitas kegagalan.
Orang-orang yang mengembangkan sebuah identitas keberhasilan melakukannya
melalui jalan-jalan akan cinta dan penghargaan. Orang-orang yang memandang diri
mereka sebagai sebuah keberhasilan harus merasakan bahwa setidaknya salah satu dari
antara orang-orang yang ada mencintai mereka, dan mereka juga mencintai setidaknya
salah seorang dari orang-orang tersebut. Mereka juga harus merasakan bahwa
setidaknya seseorang yang lain merasakan bahwa mereka berharga.
Untuk mengembangkan sebuah identitas keberhasilan, seseorang harus mengalami
baik cinta maupun harga diri. Glasser dan Zunin (1979) menyatakan:
“ Dalam terapi realtias, kita melihat penghargaan dan cinta sebagai dua
elemen yang berbeda, pikirkanlah, contohnya, kasus ekstrim akan anak yang
dimanjakan. Seseorang dapat memfantasikan bahwa seorang anak, jika dihujani
dengan “ cinta murni” , yang tujuan orang tuanya adalah untuk tidak pernah
mefrustasikan atau menekankan atau menegangkan dengan cara apapun, dan
ketika ia dihadapkan dengan sebuah tugas atau kesulitan selalu membuat orang
tuanya melakukan pekerjaan tersebut untuknya, anak ini yang selalu merasa
lega akan tanggungjawabnya akan berkembang menjadi seorang individu yang
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
akan merasa dicintai namun tidak merasakan penghargaan. Penghargaan datang
dari penyelesaian tugas-tugas dan mencapai keberhasilan dalam penyelesaian
tugas-tugas tersebut” . (hal. 312).

Seseorang juga dapat merasa dihargai melalui penyelesaian tugas-tugas


(contohnya, seorang pebisnis yang berhasil), namun ia tidak dicintai karena orang yang
bersangkutan tidak bisa menyebutkan nama orang yang ia cintai dan yang mencintai
dirinya. Dengan mengalami hanya satu dari elemen-elemen ini (penghargaan dan cinta)
tanpa yang lain dapat mengarah pada identitas yang gagal.
Sebuah identitas yang gagal cenderung berkembang ketika seorang anak telah
menerima cinta yang tidak cukup atau dibuat untuk merasa tidak dihargai. Orang-orang
dengan identitas gagal mengungkapkan rasa gagal mereka dengan menjadi cacat seara
mental, dengan penyimpangan, atau dengan penarikan diri. Hampir setiap orang
dengan identitas gagal adalah orang yang kesepian.
Mengapa beberapa orang menjadi “ cacat secara mental” ? Glasser
mengindikasikan bahwa orang-orang yang dilabeli cacat secara mental adalah mereka
yang menyangkal atau mendistorsi realitas. Mereka mengubah dunia dalam pikiran-
ikiran mereka untuk merasa penting, signifikan, dan berarti. Dengan memiliki sebuah
indentitas gagal dialami oleh seseorang seperti menjadi tidak nyaman secara intens, dan
mengubah realitas melalui berfantasi adalah sebuah cara menghadapi ketidaknyamanan
ini. Glasser dan Zunin (1979) secara lebih jauh mengelaborasi:
“ Orang yang cacat secara mental telah mendistorsi dunia nyata dalam
fantasinya sendiri untuk membuat dirinya sendiri lebih nyaman. Ia menyangkal
realitas untuk melindungi dirinya sendiri dari menghadapi perasaan akan
ketidakberartian dan tidak signifikan dalam dunia sekitarnya. Contohnya, baik
delusi besar dan delusi prosekutoris akan yang disebut sebagai shizoprenik
mendukung atau menghiburnya” . (hal. 313).

Glasser (1976) menggambarkan aspek pilihan akan mereka yang memutuskan


untuk menjadi “ gila” :
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
“ Gila, psikotis, edan, sinting, schizoprenik. Terdapat sejumlah kata-kata
popular, sebagaimana kata-kata yang pseudeosaintifik untuk kondisi ini. Saya
secara tidak sengaja untuk memilih kata “ gila” karena kata tersebut dapat
dipahami; ia tidak memiliki konotasi pseudosaintifik dari schzoprenia, kata
tersebut tidak bersifat teknis, dan ia menekankan secara lebih baik daripada
istilah-istilah aspek pilihan lain dalam kategori ini. Kata schizophrenia lebih
terdengar seperti sebuah penyakit di mana para ahli sains memperdayakan diri
mereka sendiri untuk mencari penangkalnya, ketika “ penangkal” terdapat
dalam diri setiap orang gila maka ia akan membatalkan pilihannya-sebuah
pernyataan “ kalau” yang besar, akan saya akui, namun ratusan orang tersebut
melakukannya setiap hari ketika mereka ditarik dari rumah-rumah sakit dan
klinik-klinik. Dengan tritmen yang cukup mereka belajar untuk menjadi cukup
kuat untuk berhenti memilih menjadi gila. Menjadi gila pada kenyataannya
merupakan sebuah pilihan yang dapat dirasakan secara masuk akal dari orang
yang lemah karena tidak ada seorangpun yang mengharapkan orang gila untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam dunia nyata untuk alasan yang
paling jelas bahwa dirinya tidak lama lagi akan keluar dari dalamnya. Sekarang
ia tinggal dalam dunia pikirannya sendiri, dan berada di sana dalam pikirannya
sendiri, gila seperti pada tampaknya, ia mencoba menemukan, sebuah
pengganti akan ketidakcukupan yang tidak dapat ia temukan dalam kenyataan.
Dalam pikirannya sendiri, dalam imajinasinya sendiri, di luar dari proses-proses
berpikirnya, ia akan mampu untuk mengurangi rasa sakit dari kegagalannya dan
menemukan sebuah pemulihan kecil. Untuk ketidakcukupan ia memberikan
delusi-delusi untuk masalah besar; untuk kesepian, halusinasi-halusinasi untuk
menemaninya. Ia dapat memiliki sebuah delusi yang menyatakan bahwa setiap
orang menyayanginya atau dirinya adalah pribadi omnipoten yang amat
berpengaruh, yang tidak memulihkan rasa sakitnya. Setiap rumah sakit mental
memiliki satu atau dua orang Yesus Kristus, pusat dari omnipotensi dan
kekuatan. Ketika semua hal ini diciptakan di dalam pikiran orang tersebut kita
menyebutnya gila, namun hal tersebut masuk akal baginya karena hal tersebut
tidak menyakitkan pada saat-saat yang cerah namun amat tidak mencukupi” .
(hal. 19-20).

Para individu lain mencoba menangani ketidaknyamanan akan sebuah identitas


gagal melalui penarikan atau dengan mengabaikan realitas, bahkan jika mereka mawas
akan dunia nyata. Glasser dan Zunin (1979, hal. 313) menggambarkan orang-orang ini:
“ Para individu ini dirujuk sebagai para penyimpang, para kriminal, para ‘ sosipatik’ ,

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
para penderita ‘ disorder kepribadian’ , dan lain sebagainya. Mereka pada dasarnya
adalah para individu anti sosial yang memilih untuk melanggar peraturan-peraturan dan
regulasi-regulasi masyarakat pada sebuah basis reguler, yang mengabaikan
kenyataan” .
Sebuah identitas berhasil atau sebuah identitas gagal tidaklah diukur dengan
keuangan-keuangan atau label-label namun dalam persyaratan-persyaratan akan
bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri. Merupakan sebuah kemungkinan
bagi para individu untuk merujuk diri mereka sendiri sebagai kegagalan-kegagalan
sementara orang lain memandang mereka sebagai orang yang berhasil. Pembentukan
sebuah identitas gagal biasanya berawal dari tahun-tahun ketika anak pertama kali
didaftarkan di sekolah. Sekitar usia ini (5 atau 6) anak-anak mengembangkan
keterampilan-keterampilan sosial dan verbal dan kapasitas-kapasitas berpikir untuk
mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai orang yang berhasil atau tidak berhasil.
Ketika mereka makin tua, anak-anak kemudian cenderung untuk berasosiasi dengan
orang lain yang memiliki identitas yang mirip; mereka yang memiliki identitas gagal
berhubungan dengan orang lain yang juga memiliki identitas gagal, dan orang yang
memiliki identitas yang berhasil berhubungan dengan orang berhasil lainnya. Ketika
tahun-tahun berlalu kedua kelompok yang ada mengalami penurunan interaksi satu
sama lain. Glasser dan Zunin (1979, hal. 312) menuliskan, “ contohnya, merupakan hal
yang memang jarang bagi seseorang dengan identitas yang berhasil untuk memiliki,
teman yang dekat dan personal, yang adalah seorang yang dikenal sebagai kriminal,
nara pidana, pecandu obat terlarang, dan lain sebagainya. “ Orang-orang dengan
identitas yang berhasil cenderung untuk bersaing secara konstruktif, menghadapi dan
mencari tantangan-tantangan baru. Juga, mereka cenderung memperkuat keberhasilan
satu sama lain. Secara berlawanan, orang-orang dengan identitas gagal menemukan
bahwa menghadapi dunia nyata merupakan hal yang tidak nyaman dan menghasilkan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
kegelisahan dan selanjutnya mereka memilih untuk menarik diri, mendistorsi
kenyataan, atau untuk mengabaikan kenyataan.

Teori Terapi
Dalam mengkonselingkan para klien, terapi realitas mengembangkan 14 prinsip.

1. Memperkuat Perilaku Bertanggungjawab


Tujuan utama terapi realitas adalah untuk menolong para klien menolak perilaku
yang tidak bertanggugjawab dan untuk mempelajari cara-cara keberfungsian yang telah
diperbaiki. Seseorang yang bertanggungjawab adalah seseorang yang memiliki
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan personal dengan cara yang tidak
merugikan orang lain dalam kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka. (Glasser mengindikasikan bahwa deskripsi akan seseorang yang
bertanggungjawab adalah juga seorang yang pemberi pedoman yang luar biasa untuk
menentukan apakah tindakan-tindakan yang dilakukan adalah bermoral atau tidak
bermoral).
Salah tugas ahli terapi adalah untuk mengkonfrontasikan para klien dengan
penolakan-penolakan mereka. Para ahli terapi realitas tidak mengizinkan perilaku klien
yang tidak bertanggungjawab melalui penafsiran-penafsiran teoritis yang menyalahkan
persoalan-persoalan personal pada tindakan-tindakan masa lalu yang dilakukan orang
tua atau alasan-alasan lain. Tanggungjawab ditekankan, karena bagi para klien untuk
merasa berharga mereka harus merasakan bahwa mereka sedang memelihara standar
perilaku yang memuaskan.

2. Mengenali Label-Label Kecacatan Mental sebagai Hal yang Destruktif

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Glasser setuju dengan Szasz (1961) bahwa kecacatan-kecacatan mental merupakan
sebuah mitos. Glasser (1965) menunjukan pandangannya:
“ Dalam kosonansinya pada tanggungjawab dan
ketidakbertanggungjawaban, kami yang mempraktikan terapi realitas yang
mengadvokasikan penyaluran label-label psikiatrik umum, seperti neurosis dan
psikosis, yang cenderung mengkategorikan dan menstereotipkan orang-orang.
Membatasi deskripsi-deskripsi kita pada perilaku di mana sang pasien
memanifestasikan, kita akan, contohnya, menggambarkan seorang pria yang
meyakini bahwa dirinya adalah President Johnson yang tidak
bertanggungjawab, diikuti dengan deskripsi singkat akan perilaku dan
pemikirannya yang tidak realistis. Menyebutnya sebagai seorang psikotis atau
schizoprenik akan secara langsung menempatkannya dalam sebuah kategori
keterbatasan mental yang memisahkan dirinya dari sebagian besar kita, label
yang selanjutnya menambah masalahnya. Melalui deskripsi kita hal tersebut
dapat segera dipahami bahwa ia tidak berhasil dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya. Ia telah menyerah dalam melakukan hal-hal seperti hal-hal yang
dilakukan John Jones dan sekarang berusaha mencoba melakukan hal-hal yang
dilakukan Presiden Johnson, sebuah delusi logis bagi seorang pria yang merasa
terisolosi dan tidak berkecukupan. Deskripsi ketidakbertaggungjawaban lebih
persis, mengindikasikan bahwa pekerjaan kita adalah untuk menolongnya
menjadi pribadi yang lebih bertanggungjawab sehingga ia akan mampu
memuaskan kebutuhan-kebutuhannya sendiri” . (hal. 15-16).

Glasser mendesak bahwa kata ketidakbertanggungjawab digunakan dalam posisi


label-label model medis dari neurotic, psikotik, schizoprenik, dan lain sebagainya.
Glasser mengangkat pertanyaan, “ Jika kita berhubungan dengan orang-orang yang
memiliki masalah-masalah emosional seperti ketika mereka tidak waras dan mengunci
mereka dalam sebuah institusi mental, bagaimana kita dapat mengharapkan mereka
untuk bertanggungjawab dan produktif?” . Mereka yang menyesuaikan diri dengan
kegiatan rutin dalam sebuah rumah sakit mental tidak mungkin belajar tentang
bagaimana berhasil dalam dunia nyata, karena sebuah institusi mental merupakan
sebuah lingkungan buatan di mana perilaku disfungsional diharapkan dan diizinkan
muncul. Glasser menyatakan bahwa melabeli orang-orang sebagai orang-orang yang

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
memiliki keterbatasan mental meminggirkan mereka dalam berdiam dalam pola pikir
yang besar bahwa mereka memiliki “ penyakit pikiran” , di mana belum seorangpun
mengetahui bagaimana cara menanganinya. Daripada itu, akan merupakan yang hal
jauh lebih baik untuk berhubungan dengan orang-orang dengan masalah-masalah
behavioral seperti menjadi orang-orang dengan potensi yang luar biasa (seperti setiap
orang) untuk memperbaiki dan menyelesaikan masalah-masalah personal mereka.
merupakan hal yang dikenal dengan baik bahwa cara orang-orang diperlakukan adalah
cara di mana mereka memandang diri mereka sendiri. Jika orang-orang diperlakukan
sebagai orang-orang yang berpenyakit mental, maka mereka cenderung memainkan
peran tersebut (mungkin untuk sisa hidupnya). Walaupun demikian, jika orang-orang
dengan masalah-masalah emosional dianggap waras, dengan sebuah potensi tinggi
untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka, maka mereka akan cenderung menjadi
lebih bertanggungjawab dan produktif.

3. Menjaga Hubungan-Hubungan yang Terlibat


Identitas yang kita kembangkan secara garis besar bergantung pada keterlibatan
kita dengan orang-orang lain. Dalam terapi merupakan hal penting bagi ahli terapi
untuk menolong para klien mengklarifikasikan dan memahami diri mereka sendiri,
termasuk keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, pendapat-pendapat, dan konsep-konsep diri
mereka.
Untuk seorang ahli terapi untuk menjadi terlibat juga merupakan hal penting,
sebagaimana setiap orang pada setiap saat harus setidaknya memiliki seseorang yang
mempedulikannya. Ketidakterlekatan yang dingin dan ketersedirian dianggap tidak
menolong. Ahli terapi realitas menjadi terlibat dalam menyatakan kehangatan,
pemahaman, dan pertimbangan.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Para ahli terapi realitas adalah personal dalam terapi: yakni, mereka menampilkan
diri mereka sendiri sebagai orang-orang yang nyata. Mereka tidak memproyeksikan
sebuah gambaran akan omnipotensi namun menyatakan diri mereka sendiri, termasuk
kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan mereka. Ketika melakukan demikian
secara tepat dan konstruktif, para ahli terapi realitas akan mempersonalisasikan
konseling yang dilakukan dengan membuka pengalaman-pengalaman mereka sendiri.
Glasser dan Zunin (1979) secara lebih jauh mengelaborasikan pada bersikap
personal dan terlibat:
“ Tujuan untuk bersikap personal dalam terapi realitas adalah untuk
menolong orang-orang menjadi terlibat dengan seseorang yang dapat menolong
mereka memahami bahwa terdapat lebih banyak hal dalam kehidupan daripada
berfokus pada penderitaan atau gejala-gejala atau perilaku yang tidak
bertanggungjawab. Walaupun demikian, merupakan sebuah bagian penting
dalam hubungan yang mempedulikan untuk mendefinsikan batas-batas
keterlibatan. Bukanlah hal yang memungkinkan bagi ahli terapi untuk menjadi
amat terlibat dengan setiap orang yang datang mencari pertolongan. Ia menjadi
terlibat hanya dalam konteks lingkungan kantor. Ahli terapi harus bersikap jujur
tentang hal ini.
Ahli terapi harus mendefinsikan situasi sehingga pasien memahami dengan
benar hubungan apa yang dijalaninya, di mana hubungan tersebut berlangsung,
dan kemana arah hubungan tersebut” . (hal. 317).

4. Berfokus pada Masa Kini dan Masa Depan


Para ahli terapi realitas meyakini bahwa apa yang kita inginkan sekarang dan di
masa depan, bersama dengan motivasi kita untuk mencapai apa yang kita inginkan,
lebih penting daripada pengalaman-pengalaman kita dalam menentukan seperti apa
masa depan kita. Masa lalu tetap ada sebagaimana apa adanya; tidak dapat diubah.
Yang dapat diubah adalah masa kini dan masa depan. Pengalaman-pengalaman masa
lalu membawa kita ke masa kini namun tidak dapat digunakan sebagai pembenaran
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
untuk perilaku masa kini yang tidak bertanggungjawab dan di masa depan.
Mengizinkan seseorang untuk berlarut dalam masa lalu merupakan sebuah
pembuangan waktu. Jika masa lalu dibahas, maka ia akan selalu berkaitan dengan
perilaku yang muncul belakangan ini. Contohnya, jika seseorang menggambarkan
sebuah patah hati yang terjadi beberapa tahun lalu, ahli terapi yang menanganinya akan
menanyakan bagaimana kejadian tersebut berkaitan dengan perilaku klien belakangan
ini.

5. Berfokus pada Perilaku Daripada pada Perasaan-Perasaan


Perasaan-perasaan dan tindakan-tindakan dianggap sebagai hal-hal yang
berhubungan satu sama lain dan saling menguatkan. Para ahli terapi realitas berasumsi
bahwa para manusia hanya memiliki kendali yang terbatas atas perasaan-perasaan
mereka. Mengubah perilaku-perilaku para klien dianggap sebagai cara yang paling
produktif untuk menolong mereka merasa lebih baik. Glasser dan Zunin (1979, hal.
317) menuliskan, “ Kita tidak dapat mengatur diri kita sendiri untuk merasa lebih baik
namun kita dapat selalu mengatur diri kita sendiri untuk melakukan lebih baik, dan
melakukan lebih baik membuat kita merasa lebih baik pula” .
Para ahli terapi realitas meyakini bahwa merupakan hal penting bagi para klien
untuk menjadi mawas akan apa yang mereka lakukan yang sedang membawa mereka
kepada kesulitan. Jika seorang klien menyatakan, “ Saya telah merasa sedih dan kacau
selama beberapa minggu belakangan ini” , seorang ahli terapi realitas akan
mengatakan, “ Apa yang anda lakukan untuk membuat diri anda sendiri merasa
tertekan?” . Atau jika seorang klien mengindikasikan pada beberapa saat bahwa ia
tidak menikah dengan bahagia, ahli terapi realitas akan menanyakan pertanyaan-
pertanyaan seperti “ Apa yang anda lakukan yang berkontribusi pada ketidakbahagiaan
tersebut?” dan “ Apa yang anda ingin lakukan tenang ketidakbahagiaan tersebut?” .

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
6. Mendorong Penilaian-Penilaian atas Nilai
Para ahli terapi realitas meyakini bahwa orang-orang harus belajar untuk
mengevaluasi perilaku mereka sendiri dan menilai apa yang sedang mereka lakukan
yang berkontribusi pada kegagalan-kegagalan mereka sebelum mereka dapat ditolong.
Terapi ini persisten dalam membimbing para klien untuk mengeksplor tindakan-
tindakan mereka untuk tanda-tanda perilaku yang tidak bertanggungjawab. Para ahli
terapi secara berulang kali menanyakan para klien apakah yang dicapai perilaku terbaru
mereka dan apakah perilaku tersebut memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. para
ahli terapi realitas meyakini bahwa orang-orang tidak akan mengubah perilaku yang
tidak bertanggungjawab setidaknya mereka pertama-tama memahami apa yang sedang
mereka lakukan.
Sebuah tugas utama bagi para ahli terapi realitas adalah untuk menolong para klien
menghadapi moralitas perilaku mereka. Para ahli terapi realitas berusaha untuk
menolong para klien menilai apakah perilaku mereka bertanggungjawab. Para klien
dibantu dalam memandang bahwa perilaku mereka tidak bertanggungjawab kapanpun
ketika mereka menyakiti diri mereka sendiri atau menyakiti orang lain-dan penilaian
ini dibuat oleh para klien. Para ahli terapi pada umumnya tidak membuat penilaian-
penilaian atas nilai bagi para klien sebagaimana hal ini dapat melepaskan mereka akan
tanggungjawab bagi perilaku mereka.
Dengan mempertanyakan apakah yang sedang dilakukan orang yang bersangkutan
sekarang dan apa yang dapat dilakukannya secara berbeda; ahli terapi yang
bersangkutan menyatakan sebuah keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk
berperilaku secara bertanggungjawab

7. Mendorong Perencanaan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Para ahli terapi realitas mengeksplor masalah-masalah secara mendalam dengan
para klien dan kemudian mengeksplor solusi-solusi alternatif dan konsekuensi-
konsekuensi mereka. Jika seorang klien tidak mengembangkan sebuah rencana pribadi
bagi tindakan di masa depan, ahli terapi akan menolong mengembangkan salah satu di
antaranya. Ketika rencana yang ada dilakukan, sebuah kontrak dibuat dan
ditandatangani oleh klien dan ahli terapi. Rencana yang dibuat biasanya adalah sebuah
rencana realistis untuk berperilaku secara berbeda dalam masalah-masalah di mana
klien mengakui untuk bertindak secara bertanggungjawab. Jika kontrak tersebut
dilanggar, kontrak yang baru dirancangkan dan disepakati. Rencana-rencana pada
umumnya dibuat bagi kontrak untuk ditinjau ulang secara periodik.
Komitmen adalah sebuah batu loncatan dalam terapi realitas. Hanya dari membuat
dan mengikuti rencana-rencana orang akan mendapatkan sebuah penghargaan diri dan
kedewasaan.

8. Menolak Alasan-Alasan
Glasser menyadari bahwa tidak semua rencana dan komitmen yang dibuat oleh para
klien akan dicapai. Namun ia tidak mendorong pencarian bagi alasan-alasan untuk
membenarkan perilaku yang tidak bertanggungjawab; untuk melakukannya akan
mendukung sebuah keyakinan bahwa para klien memiliki alasan-alasan yang dapat
diterima untuk tidak melakukan apa yang mereka sepakati yang berada dalam
kapabilitas-kapabilitas mereka. Alasan-alasan menggiring orang ke luar dari jalur yang
seharusnya; mereka memberikan pemulihan sementara, namun mereka selanjutnya
akan mengarah pada lebih banyak kegagalan dan pada sebuah identitas gagal.
Ketika seorang klien gagal untuk memenuhi sebuah komitmen, ahli terapi akan
secara sederhana bertanya, “ Apakah anda berencana untuk memenuhi komitmen
anda?” . Jika jawabannya adalah berupa afirmasi, ahli terapi akan bertanya,

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
“ Kapan?” . Jika klien mengatakan bahwa ia mengubah pikirannya dan
mengindikasikan bahwa ia tidak ingin memenuhi komitmen tersebut, ahli terapi akan
mengusulkan untuk bekerja bersama untuk mengembangkan sebuah kontrak baru.
Dalam menolak alasan-alasan, ahli terapi tidak berupaya untuk menurunkan atau
mengurangi makna diri klien karena gagal namun berupaya untuk menyatakan bahwa
sebuah rencana yang masuk akal untuk perbaikan selalu memungkinkan.
9. Menghilangkan Hukuman
Menghukum orang-orang ketika mereka gagal untuk memenuhi komitmen
memperkuat identitas gagal. Hal tersebut biasanya mengarah pada permusuhan yang
lebih tinggi tanpa menghasilkan perubahan-perubahan positif, bertahan lama. Ia
berperan hanya sebagai sebuah makna pemaksaan perilaku berbeda sementara. Ketika
para klien tidak lagi meyakini bahwa mereka berada dalam pengawasan, mereka akan
biasanya kembali menunjukan perilaku yang tidak bertanggungjawab.
Menghilangkan hukuman merupakan hal yang agak berbeda, menurut Glasser, dari
mengikuti melalui konsekuensi-konsekuensi alamiah yang tercakup dalam
perencanaan kontraktual. Contohnya, jika seorang remaja yang kabur berkontrak untuk
menerima penampungan pada pusat orang kabur pada syarat bahwa ia akan tetap bebas
dari obat-obatan terlarang dan tertangkap basah menghisap ganja, pusat tersebut harus
mengikuti konsekuensi-konsekuensi yang tercantum dalam kontrak, yang dapat
meliputi pemindahan dari tempat penampungan tersebut. Tidak mengikuti konsekuensi
tersebut hanya akan memperkuat perilaku yang tidak bertanggungjawab.

10. Tidak Menawarkan Simpati


Simpati hanya melakukan sedikit daripada menyatakan kurangnya kepercayaan diri
ahli terapi dalam kemampuan klien untuk bertindak secara lebih bertanggungjawab.
Mendengarkan pada cerita-cerita panjang, menyedihkan tentang masa lalu klien atau

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
mensimpatisasikan penderitaan orang tidak akan melakukan apapun untuk
memperbaiki kemampuan orang tersebut untuk mengarah pada kehidupan
bertanggungjawab.

11. Jarang Menanyakan Mengapa


Menanyakan seorang klien alasan-alasan bagi tindakan-tindakan yang tidak
bertanggungjawab mengimplikasikan bahwa penjelasan-penjelasan demikian
menimbulkan sebuah perbedaan. Ahli terapi realitas meyakini bahwa perilaku yang
tidak bertanggungjawab hanyalah berupa tindakan itu sendiri, terlepas dari alasan-
alasannya. Mendengarkan pada penjelasan-penjelasan untuk perilaku yang tidak
bertanggungjawab tidak hanya memakan waktu namun juga kontraproduktif
sebagaimana hal tersebut membawa klien untuk menyimpulkan bahwa perilaku yang
tidak bertanggungjawab dapat berlanjut jika ia terus memberikan penjelasan-
penjelasan (yang sering dibuat-buat). Dengan memberikan sedikit perhatian pada
penjelasan-penjelasan tersebut, ahli terapi realitas menyatakan bahwa perilaku yang
bertanggungjawab diharapkan muncul.

12. Memuji Perilaku Bertanggungjawab


Orang-orang membutuhkan rekognisi untuk pencapaian-pencapaian positif dan
untuk upaya-upaya positif mereka dalam mencoba menyelesaikan sesuatu bahkan
walaupun mereka tidak berhasil. Para ahli terapi realitas memperkuat dan memuji
perilaku yang bertanggungjawab tersebut.
Mereka juga berupaya untuk menyatakan bahwa mereka meyakini orang-orang
mampu untuk mengubah perilaku mereka yang tidak bertanggungjawab. Merupakan
hal yang lebih mudah untuk melakukan berbagai hal dengan baik ketika orang lain
bersikap menguatkan dan optimistik secara realistik.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
13. Pertanyaan-Pertanyaan Sejarah-Sejarah Kasus Tradisional
Sejarah-sejarah kasus tradisional menekankan kegagalan, hasil-hasil, masalah-
masalah, dan trauma-trauma yang harus dihadapi klien. Sejarah-sejarah kasus tersebut
seringkali tragis dan merupakan penafsiran-penafsiran keliru yang dikenal orang
banyak. Mereka biasanya lebih banyak memberitahu tentang orientasi teoritis akan
penulis daripada klien, ketika mereka mencoba menafsirkan kembali perilaku-perilaku
dan perasaan-perasaan klien dalam persyaratan label-label diagnostik. Jarang sejarah-
sejarah kasus memberikan sebuah penilaian akan keberhasilan seseorang dan kekuatan-
kekuatan kepribadian, yang setidaknya sama pentingnya dalam memahami seseorang
dengan hasil-hasil dan kegagalan orang tersebut.

14. Menumbuhkan Pengalaman-Pengalaman Berhasil


Dalam menolong para klien mengembangkan rencana-rencana untuk memperbaiki
keadaan-keadaan mereka, ahli terapi realitas berjuang untuk menolong mereka
mencapai tujuan-tujuan realistis dan untuk memahami dan menguasai tugas-tugas
(makna-makna) yang tercakup dalam mencapai tujuan-tujuan ini. Untuk melawan
identitas-identitas gagal, para klien harus mulai mengambil resiko-resiko dan
mengalami keberhasilan-keberhasilan. Secara perlahan, keberhasilan-keberhasilan
tersebut membawa para klien menerima diri mereka sendiri secara lebih positif.

Evaluasi
Terapi realitas merupakan sebuah pendekatan akal sehat pada terapi yang sensibel
dan rasional. Ia mengafirmasi sebuah keyakinan yang kuat dalam martabat manusia
dan kemampuan mereka untuk memperbaiki situasi-situasi mereka. konsep
tanggungjawab personal bagi perilaku seseorang memiliki aplikasi yang luas. Melalui

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
sebuah citra tanggungjawab individulah pertumbuhan pribadi yang bermakna akan
terjadi. Tujuan terapi adalah untuk menolong para klien mengidentifikasikan perilaku
mereka yang tidak bertanggungjawab dan kemudian belajar untuk bersikap lebih
bertanggungjawab. Tujuan ini memberikan sebuah fokus yang amat berguna untuk
mengkonselingkan orang-orang. Dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan terapi
lainnya, konsep-konsep pendekatan ini secara relatif sederhana untuk dipelajari dan
diterapkan, di mana hal ini adalah sebuah manfaat yang berbeda.
Terapi realitas secara substansial berbeda dari psikoanalisis. Glasser (1965)
membahas perbedaan-perbedaan ini.
Studi-studi penelitian telah menemukan bahwa terapi realitas secara substansial
lebih efektif daripada psikoanalisis dalam menghasilkan perubahan-perubahan terapik
positif (Eyesenck, 1965, Glasser & Wubbolding, 1995, Stuart, 1970).
Terapi realitas telah secara berhasil diterapkan dalam berbagai tatanan, termasuk
koreksi-koreksi, kesehatan mental, pendidikan, pengangguran, kesejahteraan umum,
dan dalam menangani kenakalan.
Beberapa kritisisme terapi realitas dapat juga dibuat:
1. Glasser menyatakan bahwa cara untuk mengubah emosi-emosi yang tidak
diinginkan (seperti depresi, rasa bersalah) adalah pertama-tama mengubah tindakan-
tindakan bagi para klien. Walaupun terlibat dalam kegiatan yang bermakna dapat
menjadi salah satu cara untuk mengangkat emosi-emosi, cara tersebut bukanlah cara
satu-satunya. Ellis (1962) mendemonstrasikan bahwa semua emosi, termasuk emosi-
emosi yang tidak diinginkan, secara utama disebabkan oleh apa yang orang pikirkan.
Ellis telah menunjukan bahwa mengubah pikiran-pikiran para klien dalam sebuah cara
yang lebih positif dan arah yang lebih rasional juga merupakan sebuah pendekatan yang
lebih berguna untuk menghilangkan emosi-emosi yang tidak diinginkan. (Konsep ini

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
akan secara lebih jauh diperluas dalam bab berikutnya ketika terapi rasional
digambakan).
2. Glasser menyatakan bahwa memiliki sebuah identitas gagal merupakan
sebuah penentu utama akan memiliki masalah-masalah emosional dan akan menjadi
terlibat dalam perilaku yang tidak bertanggungjawab. Juga, teorinya gagal untuk
menjelaskan mengapa beberapa orang menjadi depresi ketika orang lain menjadi amat
gelisah, atau meledak dalam kemarahan, atau malu, atau mengalami rasa bersalah dan
dipermalukan. Juga, teorinya tidak menjelaskan mengapa beberapa orang bersikap
dengan tidak bertanggungjawab dengan menjadi terlibat dalam pencurian, di mana
orang-orang lain melakukan pembunuhan atau pemerkosaan atau kejahatan-kejahatan
kerah putih atau menelantarakan anak-anak mereka dan lain sebagainya. Terapi realitas
pada saat terbaiknya, memberikan hanya sebuah penjelasan terpisah bagi penyebab-
penyebab masalah-masalah emosi dan perilaku yang tidak bertanggungjawab.
3. Glasser mengembangkan dua teori perkembangan kepribadian dan
psikopatologi. Pertama-tama ia mengembangkan sebuah teori identitas, dan dalam
beberapa tahun belakangan ini ia mengembangkan sebuah teori kendali. Sebelum
kematiannya pada tahun 1993, Glasser tidak menspesifikasikan bagaimana dua teori
ini berhubungan satu sama lain. Tidaklah jelas apakah dalam tulisan-tulisan selanjutnya
ia menolak beberapa komponen teori identitasnya. Jika ia menolak beberapa
komponen, maka juga tidaklah jelas bagaimana penolakan tersebut akan
mempengaruhi terapi realitas, sebagaimana terapi realitas pada asalnya didasarkan
pada teori identitas. Dalam Control Theory in the Practice of Reality Therapy: Case
Studies, Glasser (1989) melakukan sebuah upaya untuk menemukan isu ini. Walaupun
demikian, ia menampilkan ilustrasi-ilustrasi aplikasi baik teori kendali maupun teori
identitas pada studi-studi kasus, tanpa memberikan sebuah penjelasan tentang
bagaimana teori-teori ini berhubungan satu sama lain.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Rangkuman
Pengembang utama terapi realitas adalah William Glasser. Glasser
mengembangkan dua teori perkembangan pribadi dan psikopatologi sebuah teori
kendali dan sebuah teori identitas. Teori kendali menyatakan bahwa semua perilaku
manusia adalah sebuah upaya untuk mengurangi perbedaan-perbedaan antara gambar-
gambar dalam pikiran kita akan apa yang kita inginkan dan cara kita memandang
situasi-situasi di dunia.
Teori identitas menyatakan bahwa kebutuhan tunggal, mendasar yang dimiliki
setiap orang adalah kebutuhan untuk identitas. Orang-orang yang mengembangkan
sebuah identitas yang berhasil melakukannya melalui jalan cinta kasih dan
penghargaan. Sebuah identitas gagal cenderung berkembang ketika seorang anak telah
menerima cinta kasih yang tidak cukup atau telah dibuat untuk merasa tidak berharga.
Orang-orang dengan identitas gagal mengungkapkan ketidaknyamanan mereka dalam
menghadapi kenyataan dengan cara mendistorsikannya (menjadi “ cacat mental” ),
dengan penarikan diri atau dengan mengabaikan kenyataan (menjadi terlibat dalam
kegiatan-kegiatan antisosial).
Tujuan utama terapi realitas adalah untuk menolong para klien menolak perilaku
yang tidak bertanggungjawab dan mempelajari cara-cara untuk berfungsi yang telah
diperbaiki. Prinsip-prinsip terapi realitas meliputi: (1) penyakit mental adalah sebuah
mitos; (2) ahli terapi harus berupaya bersikap personal dan terlibat dalam terapi; (3)
fokus dalam terapi harus tertuju pada masa kini dan masa depan sebagaimana masa lalu
tidak dapat diubah. (4) fokus dalam terapi harus tertuju pada perilaku daripada pada
perasaan-perasaan; (5) para klien harus membuat penilaian-penilaian atas nilai tentang
apa yang sedang mereka lakukan yang berkontribusi pada kegagalan-kegagalan
mereka; (6) para klien harus dibantu dalam mengembangkan sebuah rencana untuk

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
mengubah perilaku mereka yang tidak bertanggungjawab; (7) alasan-alasan tidak
diterima ketika seorang klien gagal untuk memenuhi sebuah komitmen, (8) ahli terapi
tidak menghukum seorang klien karena ia gagal memenuhi sebuah komitmen; dan (9)
ahli terapi memuji perilaku yang bertanggungjawab dan menolong para klien mencapai
tujuan-tujuan realistis.
Pertanyaan berkaitan dengan apakah penyakit mental benar-benar ada diuji. Szasz
(1961) dan otoritas-otoritas lainnya menyatakan bahwa label-label penyakit mental
tidak memiliki nilai diagnostik atau tritmen dan dapat mengkomplikasikan upaya-
upaya terapi karena pengaruh pelabelan. Otoritas-otoritas ini menyatakan bahwa orang-
orang dengan pasti memiliki masalah-masalah emosional dan behavioral, namun
mereka tidak memiliki sebuah penyakit pikiran seperti yang diimplikasikan dengan
istilah penyakit mental.
Teori Scheff (1966) menghipotesiskan bahwa pelabelan merupakan penentu
tunggal yang paling penting dalam penyakit mental jangka panjang. Jika teori yang ada
adalah akurat, perubahan-perubahan signifikan dinyatakan dalam praktik-praktik
diagnostik dan tritmen-contohnya, berupaya untuk memelihara orang-orang dengan
masalah dalam komunitas lokal mereka tanpa melabeli mereka sebagai cacat atau
mengirimkan mereka pada sebuah rumah sakit mental.
Terapi realitas semakin banyak digunakan oleh para pekerja sosial dalam berbagai
tatanan. Ia merupakan sebuah pendekatan akal sehat pada terapi di mana telah
ditemukan efektif oleh penelitian.

TERAPI RASIONAL
Penemu terapi rasional adalah Albert Ellis (1913- ). Ellis menerima sebuah
gelar Ph.D dalam psikologi klinis di Columbia University pada tahun 1947, di mana ia
menerima pelatihan dalam psikoanalisis. Selama akhir tahun 1940an dan awal tahun

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
1950an, ia mempraktikan pendekatan-pendekatan psikoanalisis pada terapi namun
menjadi tidak menarik karena hasil dan pendekatan. Ellis mengamati bahwa bahkan
ketika para pasien menerima penglihatan yang luar biasa ke dalam masa kanak-kanak
dan proses-proses alam bawah sadar mereka, mereka terus mempertahankan kesulitan-
kesulitan emosional mereka.
Ellis kemudian mulai mengembangkan sebuah pendekatan baru, yang
dinamakannya terapi rasional (juga disebut sebagai terapi rasional-emotif), yang
memperlakukan para klien dengan menantang dan mengubah keyakinan-keyakinan
irasional mereka. Ellis pertama-tama menampilkan pendekatan baru ini pada tahun
1957 di konvensi tahunan American Psychological Association. Tidak lama
setelahnya, Ellis (1957) mampu mendemonstrasikan secara signifikan keefektifan yang
lebih besar dengan pendekatan ini daripada menggunakan pendekatan-pendekatan
psikoanalisis.
Pada tahun 1959 Ellis membangun Institute for Rational Living di New York City,
yang memberikan kursus-kursus pendidikan dewasa dalam kehidupan rasional dan
sebuah klinik psikoterapi dengan biaya rendah bagi para klien. Pada tahun 1968 Ellis
mendirikan Institute dor Advanced Study in Rational Psychoterapy, yang memberikan
professional-profesional menolong dengan pelatihan ekstensif dalam terapi rasional
dan juga memberikan seminar-seminar dan workshop-workshop di negara yang
bersangkutan. Ellis juga dikenal secara nasional sebagai sebuah otoritas pada
seksualitas. Sebagai tambahan untuk menjalankan workshop-workshop dan seminar-
seminar dan menjadi ahli psikoterapi yang berpraktik, ia telah menulis hampir
sebanyak 40 buku dan 400 artikel.
Mempertimbangkan keterbaruan relatifnya dalam bidang psikoterapi, terapi
rasional telah memberikan pengaruh yang amat besar baik pada para professional
maupun umum dalam beberapa tahun belakangan ini. Sekitar lebih dari 100 buku telah

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
diterbitkan oleh berbagai penulis yang menerapkan prinsip-prinsip terapi rasional pada
area-area seperti pelatihan keasertifan, seksualitas, remaja, hukum dan kriminalitas,
agama, kepemimpinan eksekutif, literature anak, musik, feminism, filosofi, masalah-
masalah pribadi, alkoholisme, pernikahan dan keluarga, dan penyesuaian seks dan
terapi.
Para penulis terbaru pada terapi rasional (Dyer, 1976; Lembo, 1974; Maultsby,
1975; Zastrow, 1979, 1993) telah memodifikasikan teori-teori Ellis pada
perkembangan kepribadian, psikopatologi, dan terapi. Karena modifikasi-modifikasi
ini memudahkan pendekatan untuk dipahami dan untuk diterapkan dalam terapi,
presentasi terapi rasional ini akan menginkorperasikan revisi-revisi ini.

Albert Ellis: Teori Perkembangan Kepribadian dan Psikopatologi


 Pembicaraan Diri Sendiri Menentukan Perasaan-Perasaan dan
Tindakan-Tindakan Kita
Sebagian besar orang secara keliru meyakini bahwa emosi-emosi dan tindakan-
tindakan kita ditentukan secara utama oleh pengalaman-pengalaman kita (yakni, oleh
kejadian-kejadian yang terjadi pada diri kita). Secara berlawanan, terapi rasional
menyatakan dan telah mendemonstrasikan bahwa (Ellis 1979) penyebab utama dari
semua emosi-emosi dan tindakan-tindakan kita adalah kita memberitahukan kepada
diri kita sendiri mengenai kejadian-kejadian yang terjadi pada kita.
Semua perasaan dan tindakan terjadi menurut format berikut ini:
Kejadian : (Atau pengalaman-pengalaman)

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Pembicaraan diri sendiri : (Pembicaraan diri sendiri adalah sekumpulan
pikiran-pikiran yang mengevaluasi yang kita berikan pada diri sendiri tentang fakta-
fakta dan kejadian-kejadian yang terjadi pada kita)

Emosi : (Dapat termasuk bersikap tetap tenang)

Tindakan-Tindakan
Prinsip dasar ini bukanlah merupakan hal baru. Ahli filosofi yang mampu
mengendalikan diri Epictetus menuliskan dalam The Enchiridion pada abad pertama.
“ Manusia tidak diganggu oleh hal-hal, namun oleh cara pandang mereka atas hal-hal
tersebut” . (Ellis, 1979).

Sebuah contoh akan menggambarkan proses ini:


Kejadian : Seorang suami secara tidak diharapkan tiba di rumah lebih awal
dan berjalan ke arah ruang keluarga melihat istrinya dan seorang kenalannya sedang
saling merangkul
Pembicaraan diri sendiri : “ Istri saya dan orang ini sedang berseligkuh ini
adalah hal buruk” .
“ Orang ini sedang mengancam kehidupan pribadi saya” .

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
“ Hal ini salah secara moral-ini adalah hal terburuk yang dapat terjadi pada
saya” .
“ Orang ini sedang melanggar hak-hak saya-Saya secara terpaksa harus
melindungi hak-hak saya” .
Emosi : “ Kemarahan, murka, dan sebuah perasaan penuh dendam” .

Tindakan-Tindakan : Lari menuju orang tersebut dan secara fisik terlibat dalam
perkelahian.
Jika, walaupun demikian, suami tersebut mengingat bahwa istrinya dan kenalannya
tersebut sedang mempersiapkan sebuah drama romantis pada sebuah kampus terdekat,
maka hal berikut ini akan terjadi :
Kejadian : Seorang suami secara tidak diharapkan tiba di rumah lebih
awal dan berjalan ke arah ruang keluarga melihat istrinya dan seorang kenalannya
sedang saling merangkul
Pembicaraan diri sendiri : “ Tampaknya mereka hanya berlatih untuk sebuah
drama” .
“ Saya akan melihat dari dekat, namun saya tidak berpikir bahwa sesuatu
yang romantis sedang terjadi” .
“ Tidak ada alasan bagi saya untuk kesal dan membuat diri saya bodoh” .
Emosi : Lebih tenang dan rileks secara emosional, walaupun kadang bercampur
dengan perasaan lain.

Tindakan-Tindakan : Secara santai membuat pembicaraan kecil


dengan istrinya dan kenalan tersebut sementara mengamati interaksi-interaksi mereka.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Poin penting tentang proses ini adalah bahwa pembicaraan diri kita menentukan
bagaimana kita merasakan dan bertindak; dengan mengubah pembicaraan diri kita, kita
dapat mengubah bagaimana kita merasakan dan bertindak. Pada umumnya kita tidak
dapat mengendalikan kejadian-kejadian yang terjadi pada kita, namun kita memiliki
kekuatan untuk berpikir secara rasional dan kemudian mengubah semua emosi-emosi
kita yang tidak diinginkan dan tindakan-tindakan yang tidak efektif.
Maultsby (1977) mengindikasikan bahwa pikiran dan perilaku akan dianggap
rasional jika ia:
 Berdasarkan pada realitas objektif (yakni, cocok dengan fakta).
 Menolong kita untuk melindungi kehidupan kita.
 Menolong kita untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek- jangka
panjang lebih cepat.
 Menolong kita mencegah masalah signifikan dengan orang lain.
 Menolong kita merasakan emosi-emosi yang kita ingin rasakan.
Jika pikiran-pikiran atau tindakan-tindakan kita berkonflik satu sama lain atau lebih
dengan kriteria ini, mereka akan dianggap irasional.
Secara frekuentif kita tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan kejadian-
kejadian yang kita hadapi. Walaupun demikian, kita selalu memiliki kapasitas untuk
memberitahu diri kita sendiri pikiran-pikiran rasional tentang setiap pengalaman kita.
John Lembo (1974) menuliskan:
“ Kita dapat berpikir secara rasional tentang hal-hal yang dapat terjadi pada
kita dan bersikukuh bahwa kita tidak akan gagal jika bos kita memecat kita atau
bahwa kita akan menjadi orang yang tidak berharga jika kita dipecat dari
pekerjaan kita; bahwa tidak ada sesuatupun yang parah akan terjadi jika para
orang tua kita meninggal atau bahwa akan menjadi hal yang amat buruk dan
tidak dapat diterima jika mereka memang meninggal” . (hal. 9).

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Karena kita menentukan perasaan-perasaan kita dan perilaku-perilaku kita melalui
pembicaraan diri sendiri, kita secara harfiah mengendalikan kehidupan kita. Jika kita
tidak bahagia, tidak terpenuhi, tidak puas, frustasi, depresi, berlarut dalam kesedihan,
atau apapun, hal tersebut merupakan hal yang kita lakukan. Lembo (1974, hal. 10)
menuliskan, “ Kita memiliki kemampuan untuk menciptakan sebuah kehidupan yang
memuaskan bagi diri kita sendiri, dan kita akan berhasil dalam melakukannya jika
secaa rasional kita mengatur pikiran-pikiran yang kita beritahukan pada diri kita
sendiri” .

 Perkembangan Kepribadian dan Formasi-formasi Konsep Diri


Webster’ s Tenth Collegiate Dictionary (1993) mendefinsikan kepribadian sebagai
“ totalitas karakteristik-karakteristik behavioral dan emosional” .
Menurut definisi ini, kepribadian kita terdiri dari emosi-emosi dan perilaku-
perilaku kita. Menerima definisi ini mengarah pada kesimpulan bahwa pembicaraan
diri kitalah yang secara utama mengendalikan kepribadian kita, seperti yang kita lihat
lebih awal bahwa pembicaraan diri kita menentukan emosi-emosi dan perilaku-
perilaku kita.
Sebagian besar ahli teori kepribadian telah berfokus pada kejadian-kejadian luar
dalam menggambarkan bagaimana kepribadian kita berkembang. Sigmund Freud,
contohnya, berfokus pada pengalaman-pengalaman awal masa kecil traumatis, dan
pada sifat alami hubungan-hubungan antara orang tua dan anak. Secara relatif para ahli
teori kepribadian telah berfokus pada perkembangan proses-proses berpikir kita, yang
telah kita lihat terutama menentukan emosi dan perilaku kita.
Citra identitas kita (citra diri kita akan siapa dan apa diri kita) merujuk pada
kumpulan-kumpulan pembicaraan diri umum, berkelanjutan berkaitan dengan jenis
pribadi setiap kita. (Para penulis lain telah merujukan pada citra identitas diri sebagai

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
konsep diri dan gambaran diri kita). Citra identitas kita adalah elemen kunci
kepribadian kita dan merujuk pada kumpulan-kumpulan pembicaraan diri biasa yang
mengendalikan sekitar 90 persen emosi dan tindakan kita.
Pertanyaan akan bagaimana kepribadian kita berkembang secara esensial
melibatkan bagaimana konsep diri kita berkembang. Perkembangan identitas
merupakan sebuah proses seumur hidup. Ia bermula selama tahun-tahun awal dan terus
berubah melalui kehidupan kita. Selama tahun-tahun awal, citra identitas kita sebagian
besar ditentukan oleh reaksi-reaksi orang lain.
Pada waktu yang lampau, Cooley (1902) membahas proses pelabelan awal ini
menghasilkan “ melihat diri di kaca” , yakni, orang-orang yang mengembangkan
konsep diri mereka (citra akan siapa dan apa diri mereka) dalam hal bagaimana mereka
menerima bahwa orang lain berkaitan dengan mereka, ketika jika orang lain sedang
melihat melalui kaca atau cermin. Contohnya, jika seseorang menerima penghargaan
dari orang lain dan dipuji karena kualitas-kualitas positifnya, orang tersebut akan
cenderung merasa baik tentang dirinya sendiri, akan secara perlahan mengembangkan
citra penghargaan diri positif, akan secara umum merasa bahagia, dan akan
mengupayakan cara-cara yang bertanggungjawab dan dapat diterima secara sosial
untuk terus memelihara penghargaan orang lain. Secara berlawanan, jika orang lain
berhubungan dengan orang yang bersangkutan sebagaimana orang tersebut tidak
bertanggungjawab, maka ia akan cenderung mulai memandang dirinya sendiri sebagai
orang yang tidak bertanggungjawab dan secara perlahan mengembangkan sebuah
konsep diri negatif; dengan pandangannya pada dirinya sendiri tersebut, ia mengurangi
upaya-upayanya untuk bertindak secara bertanggungjawab. Dalam kedua contoh ini,
cara-cara yang digunakan orang lain untuk berhubungan dengan seseorang (secara
positif maupun negatif) akan menjadi ramalan yang dipenuhi oleh diri sendiri.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Proses pelabelan secara tidak diragukan memiliki pengaruh substansial dalam
membentuk perilaku. Juga ia gagal menjelaskan mengapa anak-anak dapat
diperlakukan secara esensial sama dan juga terlibat dalam perilaku berbeda dan
mengembangkan konsep-konsep diri yang secara substansial berbeda. Kita semua telah
mendengar cerita-cerita tentang anak-anak, secara esensial dibesarkan di lingkungan
yang sama (dalam sebuah lingkungan dalam kota atau dalam sebuah daerah pinggiran
kelas atas), yang mengembangkan gaya-gaya hidup yang amat berbeda, dengan salah
satunya terlibat dalam sebuah kehidupan akan kejahatan dan yang lainnya menjadi
pemimpin komunitas yang mematuhi hukum, produktif. Mengapa demikian? Terapi
rasional memberikan beberapa jawaban untuk pertanyaan ini.
Berikut ini adalah teori akan perkembangan konsep diri dari pekerjaan dengan para
ahi psikologi Soviet Luria (1961) dan Vygotsky (1962).
Fase I
Pada awalnya perilaku anak ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan fisik
internal (seperti kelaparan) dan kejadian-kejadian di luar dirinya (seperti tindakan-
tindakan asuhan orang tua).

Fase II
Anak tersebut mulai belajar mengendalikan perilakunya sejajar dengan
instruksi-instruksi verbal dan reaksi-reaksi agen-agen eksternal (seperti para orang
tua).

Fase III
Instruksi-instruksi verbal dan reaksi orang-orang eksternal mengarah pada
perkembangan keyakinan-keyakinan elemental. Berdasarkan keyakinan-keyakinan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
elemental ini, si anak mulai mengatur beberapa tindakannya sendiri melalui
pembicaraan diri sendiri.

Fase IV
Pola-pola perilaku masa depan kemudian dikembangkan melalui sebuah
interaksi kejadian-kejadian dan pembicaraan diri mengenai kejadian-kejadian tersebut.
Sekumpulan pembicaraan yang berulang-ulang akan menjadi tertutupi (yakni, melalui
bawah tanah, dengan menggunakan istilah Vygotsky) dan menjadi sikap-sikap,
keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai.

Fase V
Sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai ini membentuk citra kita
akan siapa dan apa diri kita. Pembicaraan diri kita (berdasarkan keyakinan-keyakinan,
sikap-sikap, dan nilai-nilai) tentang kejadian-kejadian yang terjadi pada kita kemudian
sebagian besar mengendalikan emosi-emosi dan tindakan-tindakan kita.
Dengan materi teoritis ini, mari kita kembali pada pertanyaan mengapa, ketika dua
orang anak telah secara esensial memiliki pengalaman-pengalaman yang sama, mereka
dapat mengembangkan kepribadian-kepribadian yang berbeda (yakni, emosi-emosi
dan perilaku-perilaku). Alasannya adalah pembicaraan diri tentang pengalaman-
pengalaman mereka dapat beragam.
Contohnya, jika seorang anak berusia 8 tahun dipergoki sedang mencuri permen
dan dipukul oleh orang tuanya, beragam pembicaraan diri sendiri mungkin akan
muncul. Jika si anak mengatakan, “ Saya telah melakukan hal yang salah. Mencuri
adalah salah. Bagaimanapun juga saya harus mengembalikan kepercayaan orang tua
saya ke dalam diri saya” , inklinasi-inklinasi si anak untuk mencuri akan dikurangi
secara tajam. Walaupun demikian, jika si anak mengatakan kalimat berikut pada

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
dirinya sendiri, mencuri di toko akan cenderung berlanjut: “ mencuri di toko adalah hal
yang menyenangkan. Ini adalah cara saya untuk mendapatkan apa yang saya inginkan.
Ini adalah saat pertama saya tertangkap. Bayangkan saya ceroboh. Saya harus lebih
berhati-hati lain kali” . Dalam situasi yang ada, pembicaraan dari orang-orang akan
berbeda karena (1) nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan hasrat di mana
pembicaraan diri didasarkan akan beragam di antara para individu; dan (2) setiap orang
memiliki ribuan nilai dan keyakinan yang berbeda, dan dalam situasi tertentu, setiap
orang akan secara sembarangan hanya memilih sebagian kecil keyakinan-keyakinan
dan nilai-nilai ini untuk dijadikan dasar pembicaraan dirinya.
Secara singkat, dua komponen secara garis besar menentukan kepribadian individu
manapun: (1) pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang, dan (2) pembicaraan
yang diberikan seseorang pada dirinya sendiri tentang pengalaman-pengalamannya.
Dari dua komponen ini, pembicaraan diri merupakan elemen kunci dalam
mengembangkan dan mengabadikan kepribadian setiap orang.

 Aspek-Aspek Tambahan Pembicaraan Diri


Dengan terjadinya sebuah kejadian secara berulang kali, reaksi emosi seseorang
pada kejadian tersebut menjadi hampir bersifat otomatis karena orang yang
bersangkutan dengan cepat memberikan dirinya sendiri akan tanggapan-tanggapan
pembicaraan diri, yang didapatkan melalui pengalaman-pengalaman masa lalu.
Contohnya, beberapa tahun yang lalu saya mengkonselingkan seorang wanita yang
menjadi amat kesal secara emosional setiap saat suaminya (yang memiliki masalah
minum) pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Dalam menguji situasi ini, menjadi
jelas bahwa karena kejadian yang terjadi secara berulang-ulang ia memberikan dirinya

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
sendiri sekumpulan pembicaraan diri yang ekstensif ketika melihat suaminya yang
mabuk:
Pembicaraan diri sendiri : “ Ia dengan bodoh menghabiskan uang yang amat
kita butuhkan dalam keluarga ini” .
“ Ia membodohi dirinya sendiri dan saya dalam kondisi itu” .
“ Ia memberikan sebuah contoh buruk bagi anak-anak kami” .
“ Salah satu dari hari-hari yang kami lalui ketika ia mabuk ia akan
mendapatkan sebuah kecelakaan serius, menjadi cacat, dan kemudian apa yang akan
kami lakukan?” .
Emosi : Marah, frustasi, depresi, ketidakbahagiaan umum.
Seseorang mungkin akan mawas, atau tidak mawas, akan pembicaraan diri yang ia
berikan kepada dirinya sendiri tentang sebuah fakta atau sebuah kejadian. Jika
seseorang sedang memiliki sebuah emosi yang tidak membuatnya nyaman dan tidak
mawas akan pembicaraan diri yang mendasari perasaan tersebut, kemudian fokus
konseling secara inisial harus dibahas untuk mengungkapkan pembicaraan diri ini.
Beberapa tahun lalu saya mengkonselingkan seorang wanita yang telah menikah yang
mengekspresikan sebuah hasrat yang kuat untuk melanjutkan hubungan-hubungan di
luar pernikahannya namun takut suaminya akan mengetahui perselingkuhan tersebut
dan mengakhiri pernikahan mereka.Walapun secara utuh ia mawas akan hasrat
emosional untuk menjalani hubungan perselingkuhan tersebut, ia tidak mawas akan
pembicaraan diri yang menciptakan perasaan ini. Saya melihat pada area ini dan
memintanya untuk ikut melihat (secara tidak diragukan merupakan kali pertama dalam
hidupnya) pada pembicaraan diri yang menciptakan hasrat emosional untuk melakukan
hubungan seks di luar pernikahan yang sudah ia miliki. Setelah memfokuskan
perhatiannya pada hal ini, ia secara perlahan mengekspresikan dan menjadi mawas
akan pembicaraan diri berikut yang mendasari, “ Saya menikmati perasaan akan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
mampu menggoda seseorang yang membuat saya tertarik” , “ Orang-orang yang saya
goda kemudian merasa bertanggungjawab pada saya” , dan “ Penaklukan akan
seseorang yang amat menarik adalah tiga perempat dari kenikmatan yang ada” .
Aspek lain pembicaraan diri telah dilabeli sebagai layering di mana reaksi
emosional <C> menjadi sebuah kejadian baru <A> oleh seseorang yang memberikan
dirinya sendiri pembicaraan diri <B> tentang memiliki emosi mula-mula. Ellis (1973)
menggambarkan layering sebagai berikut:
“ Ketika individu yang bersangkutan menjadi kesal secara emosional-atau,
daripada itu membuat dirinya sendiri kesal-hal manusiawi lain aneh yang
terjadi. Hampir setiap waktu, ia mengetahui bahwa ia gelisah, depresi, atau yang
lainnya seperti bergoyang, dan juga pada umumnya mengetahui bahwa gejala-
gejalanya tidak diinginkan dan (dalam kebudayaan kita) tidak disetujui secara
sosial. Siapa yang menyetujui atau menghargai orang-orang yang mengalami
goncangan atau ‘ gila’ ? Ia selanjutnya membuat Konsekuensi <C> emosi atau
gejala dalam kejadian yang mengaktifkan <A>.
Juga, ia pada aslinya memulai sesuatu seperti <A> Ia melakukan dengan
buruk pada pekerjaan saya hari ini; <B> Bukankah hal tersebut mengerikan!
Saya gagal untuk sesuatu yang percuma!” dan ia melanjutkannya dengan <C>
merasakan kegelisahan, ketidakberhargaan, dan depresi. Sekarang ia memulai
dari awal lagi. “ <A> Saya merasa gelisah dan depresi, dan tidak berharga, <B>
Bukankah hal tersebut menakutkan! Merupakan sebuah kegagalan yang
percuma untuk merasa gelisah, depresi, dan tidak berharga!” . Sekarang ia
melanjutkannya dengan <C> perasaan yang lebih besar akan kegelisahan,
ketidakberhargaan, dan depresi. Atau, dengan kata lain, ketika ia menjadi
gelisah, ia secara frekuentif membuat dirinya sendiri gelisah karena merasa
gelisah. Ketika ia menjadi depresi, ia membuat dirinya sendiri depresi karena
mengalami depresi. Dan lain sebagainya! Sekarang ia memiliki dua
konsekuensi atau gejala-gejala untuk harga salah satunya, dan ia sering berputar
dan berputar dalam lingkaran jahat akan (1) menghakimi dirinya sendiri karena
melakukan dengan buruk pada beberapa tugas; (2) merasa bersalah atau
mengalami depresi karena penghakiman diri sendiri; (3) menghakimi dirinya
sendiri karena merasa bersalah dan mengalami depresi; (4) menghakimi dirinya
sendiri karena menghakimi dirinya sendiri; (5) menghakimi dirinya sendiri
karena melihat bahwa ia menghakimi dirinya sendiri dan tidak berhenti
menghakimi dirinya sendiri; (6) menghakimi dirinya sendiri karena mencari
pertolongan psikoterapik dan tidak merasa lebih baik; (7) menghakimi dirinya
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
sendiri karena merasa lebih terganggu dibandingkan dengan para individu lain;
(8) menyimpulkan bahwa ia merasa terganggu secara tidak berpengharapan dan
bahwa tidak ada satu hal pun yang dapat dilakukan untuk menanggulangi hal
tersebut; dan demikian dengan selanjutnya” . (hal. 178).

Pembicaraan diri berkaitan dengan sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, dan nilai-


nilai. Walaupun pembicaraan diri sering didasarkan pada sikap-sikap, keyakinan-
keyakinan, dan nilai-nilai kita, pembicaraan diri berbeda dari istilah-istilah ini.
Pembicaraan diri memiliki kualitas kini dan kemudian; ia menampilkan pikiran-pikiran
itu yang kita berikan pada diri kita sendiri pada masa kini. Pada titik manapun pada
saat kita memegang ribuan keyakinan, sikap, dan nilai, namun pembicaraan diri kita
hanya didasarkan pada sebuah bagian dari kumpulan-kumpulan sikap dan keyakinan
kita kapanpun kita berpikir tentang sebuah fakta atau kejadian. Pembicaraan diri kita
dapat juga diciptalan oleh kebutuhan, keinginan, hasrat, dorongan, dan motivasi kita.

 Memahami Perilaku Menyimpang


Terapi rasional memelihara pemikiran yang menyatakan bahwa alasan-alasan bagi
tindakan menyimpang apapun (termasuk kejahatan) dapat ditentukan dengan menguji
apa yang diberiahukan oleh si pelanggar kepada dirinya sendiri sebelum dan selama
tindakan tersebut dilakukan.
Kasus Charles Manson akan digunakan untuk mengilustrasikan konsep ini. Pada
bulan Agustus tanggal 9, tahun 1969 aktris Sharon Tate dibantai disrumahnya sendiri,
bersama dengan empat orang lainnya. Malam berikutnya Leno LaBianca (seorang
presdir kaya raya dari sebuah rantai perdagangan sayuran) dan istrinya secara brutal
ditikam sampai mati. Dalam minggu-minggu setelahnya, Charles Manson dan
beberapa pengikutnya ditahan dan selanjutnya dihukum karena pembunuhan-
pembunuhan ini. Charles Manson merupakan pemimpin sebuah komunitas, “ The
Family” , tinggal di Death Valley, California.
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Mengapa Manson dan para pengikutnya melakukan pembunuhan-pembunuhan
tidak wajar ini? Pengacara prosekusi negara bagian California, Vincent Bugliosi,
mampu mendokumentasikan alasan-alasan berikut (Bugliosi dan Gentry, 1974).
Manson berharap bahwa para pembunuh brutal ini dari kalangan penting dan kaya ini
akan menciptakan ketakutan dan panik di antara orang kulit putih. Manson berpikir
bahwa para kulit putih, tidak mampu menentukan siapa yang sebenarnya melakukan
pembunuhan, namun dapat menyimpulkan bahwa pembunuhan-pembunuhan ini
dilakukan oleh orang-orang Afrika Amerika. Ia menteorisasikan bahwa, di luar
ketakutan, orang-orang kulit putih akan pergi ke bagian-bagian dalam kota dan mulai
membunuh orang-orang Afrika Amerika, menyebabkan perang rasial. Perang
demikian, diperkirakan, akan mengarah pada pembagian antara kaum liberal dan kaum
konservatif, yang akan mulai membunuh satu sama lain. Selama waktu itu Manson
berpikir bahwa “ ras hitam sejati” (pada saat yang berbeda-beda diidentifikasikan oleh
Manson sebagai “ Black Panthers” atau “ Black Muslims” ) akan bersembunyi dan
tidak akan dipengaruhi. Setelah hampir sebagian besar orang-orang kulit putih sirnah,
“ ras hitam sejati” akan keluar dan membunuh orang-orang kulit putih yang tersisa,
kecuali Manson dan para pengikutnya akan bersembunyi di Death Valley. Manson
secara lebih jauh memperkirakan bahwa para Afrika Amerika tidak akan memiliki
kapasitas untuk memerintah bangsa tersebut, dan bahwa setelah gagal untuk
memerintah mereka akan memilih dia untuk menjadi pemimpin bangsa tersebut.
Selanjutnya, tampak bahwa sistem keyakinan yang tidak realistis ini membawa
Manson dan para pengikutnya untuk membunuh tujuh orang. Semua pembela dalam
kasus ini dinilai oleh pengadilan sebagai para pihak yang waras. Sementara tinggal
bersama dalam sebuah perkumpulan yang terisolir, para anggota tampaknya
memberikan dukungan satu sama lain bagi keakuratan keyakinan-keyakinan Manson,
mungkin per bagian karena bukti objektif tidak tersedia untuk menolak penafsiran-

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
penafsiran Manson. (Sepanjang sejarah, berbagai keyakinan yang keliru telah dipegang
pada saat tertentu: planet bumi diyakini datar adanya sampai Columbus melakukan
pelayaran, membiarkan pendarahan terjadi adalah hal yang terapis, petir diperkirakan
sebagai seorang dewa dengan kekuatan-kekuatan supernatural, orang-orang yang
melakukan tindakan-tindakan kriminal yang tidak masuk akal diyakini kerasukan
setan. Mungkin semua kita sekarang memegang keyakinan-keyakinan yang suatu hari
akan terbukti keliru. Walaupun demikian, memiliki sebuah sistem keyakinan tidak
membuat seseorang “ gila” ).

Teori Terapi
Fokus terapi mula-mula adalah untuk menolong para klien menjadi mawas
akan pembicaraan diri yang irasional dan negatif yang secara utama merupakan sumber
emosi-emosi mereka yang tidak diinginkan dan perilaku-perilaku yang tidak
bertanggungjawab. (emosi-emosi yang tidak diinginkan didefinisikan sebagai emosi-
emosi yang ingin diubah oleh klien). Setelah para klien menjadi mawas akan
pembicaraan diri mereka yang irasional, mereka diminta dan didorong untuk
menantang pembicaraan diri mereka yang irasional dengan sekumpulan pembicaraan
diri berbeda yang lebih rasional dan positif. Mengembangkan tantangan-tantangan diri
pada pembicaraan diri yang irasional yang dilakukan oleh klien, baik melalui diskusi
dengan ahli terapi maupun dengan menulis sebuah “ analisa diri-rasional” .

 Analisa Diri-Rasional
Maultsby (1977) mengembangkan sebuah pendekatan yang dinamakan Analisa
Diri-Rasional (RSA), yang amat berguna dalam menanggulangi emosi manapun yang
tidak diinginkan.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Tujuan dalam melakukan RSA adalah untuk mengubah emosi-emosi yang tidak
diinginkan (seperti amarah, rasa bersalah, depresi, dan kebermaluan). Sebuah RSA
dilakukan dengan mencatat kejadian dan berbicara pada diri sendiri dengan bantuan
catatan di atas kertas.
Di bawah bagian A (fakta-fakta dan kejadian-kejadian), secara sederhana
menyatakan fakta-fakta atau kejadian-kejadian yang terjadi.
Di bawah bagian B (pembicaraan diri), tuliskanlah semua pikiran-pikiran anda
tentang A. nomorilah setiap pernyataan sesuai urutan (1, 2, 3, 4, dan seterusnya). Juga
tuliskanlah “ baik” , “ buruk” , atau “ netral” setelah setiap pernyataan diri sendiri
untuk menunjukan diri anda sendiri bagaimana anda meyakini setiap bagian pernyataan
B mencerminkan diri anda sebagai orang.
Di bawah bagian C (konsekuensi-konsekuensi emosional), tuliskanlah pernyataan-
pernyataan sederhana yang menggambarkan reaksi-reaksi/emosi-emosi anda yang
berasal dari pembicaraan diri anda dalam B.
Bagian D(a) adalah untuk dituliskan hanya setelah anda menulis bagian-bagian A,
B, dan C, dan hanya setelah anda telah meninjau kembali lima pedoman bagi pemikiran
rasional (telah digambarkan pada bagian awal bab ini). Bagian D(a) adalah sebuah
“ pemeriksaan kamera” akan bagian A. Bacalah kembali bagian A dan tanyakanlah
diri anda sendiri, “ Jika saya telah mengambil sebuah gambar bergerak akan apa yang
saya tuliskan sedang terjadi, akankah kamera memverifikasi apa yang saya tuliskan
sebagai fakta?” . Sebuah gambar bergerak mungkin akan telah merekam fakta-fakta
namun bukan keyakinan-keyakinan atau pendapat-pendapat pribadi. Keyakinan atau
pendapat pribadi berada pada bagian B. sebuah contoh umum akan pendapat personal
yang salah dianggap sebagai fakta adalah, “ Karen membuat saya terlihat seperti orang
bodoh ketika ia menertawakan saya sementara saya mencoba membuat poin serius” .
Di bawah D(a) (pemeriksaan kamera akan A), mengkoreksi bagian pendapat akan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pernyataan ini dengan hanya menuliskan bagian faktual: “ Saya sedang berusaha untuk
membuat poin serius ketika Karen mulai menertawakan apa yang saya katakan” .
Kemudian menambahkan bagian pendapat pribadi pada pernyataan B (yakni, “ Karen
membuat saya terlihat seperti orang bodoh” ).
Bagian D(b) adalah bagian yang dirancang untuk menantang dan mengubah
pemikiran negatif dan irasional. Ambilah setiap pernyataan B secara terpisah. Bacalah
B-1 pertama-tama dan tanyakanlah diri anda sendiri apakah hal tersebut tidak konsisten
dengan lima pertanyaan untuk pemikiran rasional. Akan menjadi irasional jika ia
melakukan salah satu atau lebih akan:
1. Bukan didasarkan pada realitas objektif.
2. Menghalangi anda dalam melindungi kehidupan anda.
3. Menghalangi anda dalam mencapai tujuan-tujuan jangka pendek-jangka
panjang.
4. Menimbulkan masalah-masalah signifikan dengan orang lain.
5. Membawa anda merasakan emosi-emosi yang tidak ingin anda rasakan.
Jika pernyataan pembicaraan diri konsisten dengan lima pertanyaan untuk
pemikran rasional, yang hanya menuliskan “ itu rasional” . Jika, walaupun demikian,
pernyataan pembicaraan diri memenuhi satu atau lebih dari pedoman-pedoman untuk
pemikiran irasional, kemudian pikirkanlah sebuah “ pembicaraan diri alternatif” pada
pernyataan B tersebut. Pernyataan pembicaraan diri ini merupakan sebuah hal yang
penting secara krusial dalam mengubah emosi dan kebutuhan-kebutuhan anda untuk
(1) bersikap rasional dan (2) menjadi pernyataan pembicaraan diri yang ingin anda
terima sebagai pendapat baru bagi diri anda sendiri. Setelah menuliskan pernyataan
D(b-1) dalam bagian D(b), kemudian pikirkanlah B-2, B-3, dan selanjutnya, dengan
cara yang sama.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Di bawah bagian E, tuliskanlah emosi-emosi baru yang ingin anda miliki dalam
situasi-situasi A di masa depan yang serupa. Dalam menuliskan emosi-emosi yang anda
inginkan, ingatlah bahwa mereka akan mengikuti pernyataan-pernytaaan pembicaraan
diri dalam bagian D(b). Bagian ini juga dapat berisi sebuah deskripsi akan tindakan-
tindakan tertentu yang anda ingin lakukan agar menolong anda mencapai tujuan-tujuan
emosional anda ketika anda menghadapi situasi-situasi A.
Karena perilaku yang tidak bertanggungjawab (seperti makan berlebihan, minum
berlebihan, melakukan tindakan kriminal, dan penyimpangan seksual) juga sebagian
besar ditentukan oleh pemikiran irasional kita, tantangan diri rasional (termasuk
melakukan RSA) dapat digunakan secara efektif untuk mengubah tindakan-tindakan
yang tidak bertanggungjawab (Lembo, 1974, Maultsby, 1978; Zastrow, 1979, 1993).
Tantangan-tantangan diri rasional hanya akan bekerja jika klien secara aktif
mempraktikannya dengan menggunakan tantangan-tantangan diri rasional yang
dikembangkannya. Mereka bekerja dengan baik ketika mereka digunakan oleh klien
setiap waktu ia memulai pembicaraan diri asli yang negatif, irasional.

 Terapi Merupakan Sebuah Proses Edukasional


Mempelajari bagaimana cara berpikir secara rasional dan untuk menghadapi
pembicaraan negatif dan irasional merupakan sebuah proses edukasioal. Para klien
dapat mempelajari bagaimana menganalisa dan mengubah pembicaraan diri yang
irasional dalam berbagai cara: instruksi oleh ahli terapi; menonton rekaman-rekaman
video dan film tentang terapi rasional; membaca buku-buku dan pamphlet-pamflet pada
terapi rasional; dan menghadiri workshop-workshop atau seminar-seminar pada terapi
rasional. Ellis telah mendemonstrasikan bahwa prinsip-prinsp dasar akan bagaimana
menganalisa pembicaraan diri yang irasional dan untuk berpikir secara rasional dapat
secara berhasil diajarkan baik pada para dewasa maupun anak-anak SD dan SMP.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Dalam terapi, peran ahli terapi adalah untuk menginstruksikan para klien pada
bagaimana menganalisa pembicaraan diri irasional yang mendasari emosi-emosi
mereka yang tidak diinginkan dan perilaku yang tidak bertanggungjawab. Ahli terapi
menggunakan pengawasan, konfrontasi, penjelasan, penafsiran-penafsiran, humor, dan
saran-saran untuk menolong para klien mencari tahu pemikiran irasional mereka.
Ketika para klien menjadi mawas akan pembicaraan diri mereka yang irasional,
seorang ahli terapi rasional menggunakan berbagai teknik untuk menolong mereka
mengubah emosi-emosi yang tidak diinginkan dan perilaku mereka yang tidak
bertanggungjawab.

 Sebuah Pendekatan yang Ekletik


Untuk mengubah emosi-emosi yang tidak diinginkan, tantangan-tantangan diri
rasional (termasuk menuliskan sebuah RSA) sering digunakan. Untuk emosi-emosi
yang tidak diinginkan tertentu, seperti depresi, para ahli terapi rasional dapat berupaya
untuk melibatkan para klien dalam sebuah kegiatan yang bermakna dan dapat dinikmati
(contohnya bermain golf, bergabung dalam klub sosial). (Para ahli terapi realitas,
seperti yang digambarkan dalam Bab 18, menggunakan pendekatan ini untuk
mengubah emosi-emosi yang tidak diinginkan). Para ahli terapi rasional
menteorisasikan bahwa membuat para klien terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang
dapat dinikmati rupanya bekerja karena kegiatan tersebut menggantikan pikiran negatif
mereka (yang menjadi penyebab munculnya emosi-emosi mereka yang tidak
diinginkan) dengan pikiran-pikiran positif tentang kegiatan yang dapat dinikmati, yang
kemudian mengubah emosi-emosi mereka.
Bagi orang-orang yang malu atau rentan pada ledakan emosi, para ahli terapi
rasional cenderung menggunakan teknik-teknik pelatihan keasertifan. Bagi para klien
yang memiliki masalah kebiasaan minum, para ahli terapi rasional dapat

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
mensuplemenkan terapi yang ada dengan membuat para klien terlibat dalam Alcoholics
Anynomous. Bagi para klien dengan disfungsi-disfungsi seksual, para ahli terapi
rasional cenderung menggunakan teknik-teknik seperti sebuah fokus sensasi dan
teknik-teknik lain yang dikembangkan oleh Masters dan Johnson (Belliveau & Ritcher,
1970). Para ahli terapi rasional menggunakan pendekatan apapun yang menjanjikan
pertolongan perubahan pembicaraan diri irasional. Ellis (1979, hal. 186) menuliskan,
“ Para ahli terapi rasional menggunakan permainan peran, pelatihan asersi, desentisasi,
humor, pengkondisian operan, saran, dukungan, dan sebagian besar trik-trik lainnya.
Tugas-tugas rumah secara frekuentif diberikan pada para klien. Para klien yang
pemalu, contohnya, dapat diberikan tugas untuk mencoba pendekatan-pendekatan
asertif yang dipraktikan dalam terapi melalui permainan peran. Para klien yang pemalu
dapat juga diberikan tugas rumah seperti menuliskan sebuah RSA di mana mereka
mengidentifikasikan dan menantang pembicaraan negatif dan irasional yang membawa
mereka merasa malu. Jika seorang klien laki-laki menyatakan bahwa ia tidak dapat
betahan ditolak oleh lawan jenis, ia dapat ditugaskan untuk mengajak tiga perempuan
yang berbeda untuk berkencan agar dapat mencoba hipotesis yang memang dapat
bertahan dari penolakan. Sebuah tugas rumah yang umum adalah menginstruksikan
para klien untuk membaca buku-buku tentang terapi rasional untuk menolong mereka
belajar dan menerapkan konsep-konsep dasar.
Para ahli terapi rasional memiliki kemauan untuk membuka beberapa kekurangan
mereka sendiri untuk melawan keyakinan irasional klien yang menyatakan bahwa
setiap orang, bahkan seorang ahli terapi, dapat lebih menjadi seorang manusia.

 Keyakinan-Keyakinan Umum yang Keliru


Terapi rasional secara frekuentif berupaya untuk melawan keyakinan-keyakinan
irasional para klien. Dalam terapi, para klien dikonfrontasikan dengan keyakinan-

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
keyakinan irasional mereka. Ahli terapi menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti
“ Tunjukan pada saya di mana tertulis bahwa anda harus berhasil pada setiap hal yang
anda coba untuk membuat anda merasa baik tentang diri anda sendiri?” atau “ Bukti
apakah yang anda miliki yang menyatakan bahwa pacar anda harus memperlakukan
anda dengan adil?” .
Beberapa penulis (Criddle, 1974, Ellis, 1998, Ellis & Harper. 1977, Hauck, 1972,
Raimy, 1977, Zastrow, 1979, 1993) telag mengidentifikasikan keyakinan-keyakinan
umum keliru yang seringkali menciptakan pembicaraan diri yang negatif atau irasional.
Dalam konseling sering ditemukan bahwa pembicaraan diri yang didasarkan pada
keyakinan-keyakinan umum yang keliru mengarah pada emosi-emosi yang tidak
diinginkan dan tindakan-tindakan yang tidak efektif. Sejumlah keyakinan-keyakinan
yang keliru ini dirangkum secara singkat:
1. Keyakinan yang menyatakan bahwa merupakan sebuah kebutuhan mutlak
untuk dicintai atau disetujui oleh setiap orang atas setiap hal yang anda lakukan. Sebuah
ide yang lebih rasional adalah untuk melakukan hal-hal yang anda inginkan selama
anda tidak menghambat orang lain. Terlepas dari seberapa keras anda mencoba, anda
tidak akan pernah membuat setiap orang menyukai anda sebagaimana apa yang dapat
memuaskan seseorang dapat tidak membuat orang lain puas. Pendapat anda tentang
diri anda sendiri adalah lebih penting daripada pandangan-pandangan orang lain
tentang diri anda.
2. Keyakinan yang menyatakan bahwa anda harus secara keseluruhan
kompeten, terampil, dan penuh pencapaian dalam semua hal yang memungkinkan jika
anda menganggap diri anda sendiri adalah berharga. Ide ini menampilkan sebuah
tuntutan untuk kesempurnaan yang secara sederhana sulit untuk dicapai. Semua
manusia dapata gagal. Kita semua membuat kesalahan-kesalahan. Mencapai sesuatu
tidak membuat anda “ orang yang lebih baik” . Kita semua memiliki harga diri intrinsik

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
karena kita ada. Jika anda gagal pada sesuatu, maka hal tersebut tidak membuat diri
anda sebagai kegagalan namun hanya sebagai orang yang hanya gagal pada sesuatu.
3. Keyakinan yang menyatakan bahwa merupakan hal yang buruk dan
mencelakakan ketika hal-hal tidak muncul sesuai cara yang anda sukai. Dalam
kenyataannya, tidak ada yang buruk. Buruk memiliki makna bahwa situasi-situasi
tertentu lebih dari “ 100 persen” negatif. Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan
terkadang tidak nyaman, namun mereka bukanlah “ buruk” . Dengan memberitahu diri
kita sendiri bahwa kejadian-kejadian tidak nyaman tertentu (seperti pertunangan yang
gagal) adalah buruk, kita menyebabkan diri kita sendiri untuk secara emosional
bereaksi berlebihan. Dalam kenyataan kita telah membatasi kendali atas kejadian-
kejadian yang terjadi pada kita. Anda dapat mencoba mengubah kenyataan, namun
anda lebih baik berhenti menuntut seperti apa yang anda katakan-terdapat sejumlah
besar bukti yang menyatakan bahwa baik anda maupun saya menguasai dunia ini.
Terapi rasional berupaya untuk “ menghilangkan buruknya” pikiran.
4. Keyakinan yang menyatakan bahwa akan terdapat keadilan di dunia dan
dalam hubungan-hubungan interpersonal. Manusia adalah makhluk yang dapat gagal,
dan ketidakadilan-ketidakadilan dalam semua interaksi adalah tidak realistis dan akan
membawa anda untuk bereaksi dengan kemarahan atau frutasi ketika sebuah
ketidakadilan terjadi. “ Keadilan yang sempurna” tidak ada, dan memang tidak akan
pernah ada. Sebuah filosofi yang lebih rasional adalah untuk berusaha mengubah
kondisi-kondisi sehingga mereka menjadi lebih adil. Namun jika anda menyadari
bahwa adalah mustahil untuk mengubah sebuah situasi yang “ tidak adil” , maka
sebaiknya anda mundur dari keberadaannya dan berhenti memberitahu diri anda sendiri
seberapa buruknya hal tersebut.
5. Keyakinan yang menyatakan bahwa ketidakbahagiaan manusia (dan
kebahagiaan manusia) secara eksternal diciptakan dan bahwa anda memiliki sedikit

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
atau tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosi-emosi anda yang tidak
diinginkan. Lingkungan eksternal hanya dapat menyebabkan rasa sakit secara fisik bagi
anda, tidak pernah menimbulkan rasa sakit emosional. Anda menimbulkan semua
emosi anda dengan pembicaraan diri anda, dan selanjutnya anda dapat mengendalikan
dan memulihkan emosi manapun yang tidak nyaman dengan mengubah pembicaraan
negatif atau irasional anda.
6. Keyakinan bahwa sesuatu dapat adalah atau mungkin berbahaya atau
menakutkan sehingga anda harus terbebani dengan hal tersebut dan harus tetap diam
dalam kemungkinan akan hal tersebut untuk terjadi. Kekhawatiran-kekhawatiran
secara frekuentif meyakini tindakan akan mengkhawatirkan memiliki sebuah nilai
“ magis” akan mencegah hal paling buruk untuk terjadi. Tentu saja, mengkhawatirkan
sesuatu tidak memiliki kekuatan magis. Mengkhawatirkan sesuatu secara kronis jarang
mencapai hasil-hasil yang dicapai oleh pertimbangan tenang dan studi yang cermat.
Kekhawatiran yang berlebihan sering menghilangkan kemampuan seseorang pada titik
di mana kejadian yang ditakuti tidak dicegah namun sering ditimbulkan. Jika anda
adalah seorang yang memiliki kekhawatiran secara kronis, analisalah pembicaraan diri
anda untuk menemukan yang manakah yang merupakan ketakutan rasional dan
manakah yang merupakan ketakutan irasional. Kekhawatiran-kekhawatiran akan
menemukan sebagian besar ketakutan-ketakutan mereka sebagai irasional dan dapat
dilawan dengan tantangan-tantangan diri rasional.
7. Keyakinan yang menyatakan bahwa anda harus bergantung pada orang lain
dan bahwa anda membutuhkan seseorang yang lebih kuat daripada diri anda sendiri
untuk menjadi tempat bergantung anda. Setiap saat anda masuk ke dalam sebuah
dependen, anda menjadi peka pada keluhan-keluhan orang yang menjadi tempat
bergantung anda. Biasanya merupakan hal yang lebih baik untuk berdiri di atas kaki
anda sendiri dan mendapatkan kepercayaan dalam diri anda sendiri dengan melakukan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
apa yang bisa anda lakukan kepada diri anda sendiri dan orang lain. Tidak terdapat
jaminan bahwa penilaian orang lain adalah benar-dalam kenyataannya, semua manusia
adalah makhluk yang dapat gagal. Cara satu-satunya yang akan membuat anda menjadi
efisien dalam bersikap atas penilaian anda sendiri adalah melatih diri dalam
melakukannya.
8. Keyakinan yang menyatakan bahwa masa lalu anda merupakan penentu
perilaku masa kini anda yang penting secara keseluruhan dan bahwa sesuatu telah
secara kuat mempengaruhi kehidupan anda akan mungkin memiliki pengaruh yang
mirip. Dalam kenyataannya, apa yang anda inginkan dalam kehidupan, sekarang dan
di masa depan (bersama dengan motivasi anda untuk mencapai apa yang anda
inginkan), adalah penentu yang jauh lebih kuat bagi kehidupan anda selanjutnya.
9. Keyakinan yang menyatakan bahwa orang lain secara vital penting bagi
keberadaan anda dan anda harus melakukan upaya-upaya besar untuk mengubah
mereka dalam arah yang anda inginkan. Memaksa orang lain untuk berperilaku dalam
sebuah cara tertentu secara frekuentif membuat mereka memberontak. Dalam
kenyataannya, anda memiliki sebuah hak untuk hidup dengan cara yang anda inginkan
selama anda tidak menghalangi orang lain untuk hidup sesuai dengan cara mereka. anda
memiliki kehidupan anda sendiri dan demikian juga dengan yang lainnya, dan anda
harus menghargai hak mereka untuk menjalani hidup sesuai dengan cara mereka.
10. Keyakinan yang menyatakan bahwa masalah-masalah orang lain juga
adalah masalah-masalah anda dan bahwa anda harus secara emosional dalam masalah-
masalah orang lain tersebut. Anda hanya dapat melakukan sedikit dalam
mengendalikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku orang lain, walaupun anda dapat
melakukan hal besar dalam mengendalikan diri emosi dan perilaku anda sendiri. Ketika
orang lain memiliki masalah-masalah, mereka memilikinya; anda tidak. Menjadi
terlibat secara emosional dengan secara psikologis mengambil kepemilikian gabungan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
biasanya lebih destruktif daripada menolong. Cara terbaik untuk menolong orang lain
adalah untuk mengenali masalah-masalah mereka adalah di bawah kepemilikan mereka
dan menjadi orang yang tenang secara emosional yang ada untuk menolong dalam
mengantisipasi sebuah serangan pada masalah-masalah.
11. Keyakinan yang menyatakan bahwa orang-orang dengan sebuah label yang
terstereotipkan (contohnya, mantan narapidana, cacat mental, mengalami
keterbelakangan mental, pelacur, remaja menyimpang, ibu sejahtera) merupakan hal
yang berbeda dari orang-orang “ normal” dan harus dipandang dengan kecurigaan dan
dihindari. Dalam kenyataannya, label tersebut (pada saat terbaiknya) merujuk hanya
pada proporsi kecil akan perilaku masa lalu dan masa kini. Setiap orang adalah unik.
Stereotips-stereotip yang berdasarkan pada label-label secara frekuentif mitos-mitos
tentang sebuah dasar faktual. Kita akan mengenal orang lain lebih realistis jika kita
berinteraksi dengan mereka sebagai “ orang-orang unik” daripada dalam hal
ekspektasi-ekspektasi berdasarkan pada label-label. Pendekatan yang sama dapat
diaplikasikan pada penginteraksian dengan orang-orang yang memiliki label-label
dengan stereotip-stereotip yang lebih positif; contohnya, para pendeta, para profesor,
para direktur eksekutif, para petugas kepolisian, para konselor, para kepala sekolah,
dan para hakim.
12. Keyakinan yang menyatakan bahwa kebahagiaan manusia dapat dicapai
dengan kelambanan. Tidak ada cara magis di mana kebahagiaan akan terjadi pada anda
secara tiba-tiba. Kita menuai apa yang kita tanam dalam kehidupan ini. Jika kita bosan
atau tidak bahagia, terdapat dua cara untuk menghadapi masalah-masalah ini;
menantang pembicaraan diri irasional, atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang
bermakna. Orang-orang adalah pihak yang paling bahagia ketika mereka secara
keseluruhan terhisap dalam kegiatan-kegiatan yang memuaskan.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
13. Keyakinan yang menyatakan bahwa keinginan anda adalah kebutuhan-
kebutuhan anda yang harus dipenuhi. Dalam kenyataannya, anda hanya memiliki
sedikit kebutuhan-anda membutuhkan makanan, air, dan tempat tinggal untuk bertahan
hidup. Konsekuensi-konsekuensi akan berpikir dalam hal kebutuhan-kebutuhan sering
bersifat mengalahkan diri sendiri. Berpikir dalam hal kebutuhan-kebutuhan
mengimplikasikan konsekuensi-konsekuensi hidup dan mati. Dihadapkan pada
konsekuensi-konsekuensi demikian, anda akan cenderung panik dan berpikir dan
berperilaku secara irasional, dan kemudian mengalahkan diri sendiri. Ellis (1963)
menetapkan istilah ‘ pengharusan’ bagi orang-orang yang bersikap irasional karena
secara keliru mereka menganggap keinginan-keinginan mereka sebagai kebutuhan-
kebutuhan yang harus dipenuhi.
14. Keyakinan yang menyatakan bahwa orang-orang dan kehidupan harus
selalu memuaskan, dan bahkan ketika mereka tidak demikian, mereka adalah buruk
dan tidak dapat diterima. Keyakinan keliru ini sedang beroperasi ketika anda
memberikan diri anda sendiri pembicaraan diri berikut tentang pengalaman yang tidak
memuaskan: "Saya harus diperlakukan dalam cara yang secara total memuaskan;
merupakan hal yang buruk ketika saya tidak mengalami demikian” . Namun di
manakah bukti bahwa orang dan kehidupan harus memperlakukan setiap orang dengan
cara yang amat menggratifikasi? Segala sesuatu dalam kehidupan tidaklah sempurna.
Tidak ada yang secara utuh bertahan atau memuaskan secara utuh. Semua orang dapat
melakukan kegagalan. Dengan menuntut “ Saya harus diperlakukan dengan sebuah
cara tertentu” mengharuskan orang lain bertindak dan bahwa kejadian-kejadian timbul
sesuai dengan harapan-harapan pribadi anda. Anda tidak memiliki kendali atas orang
lain atau anda (atau untuk masalah tersebut, setiap orang) adalah seseorang yang amat
dangkal di mana dunia harus berputar di sekitar anda.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Memikirkan secara psikologis dalam istilah-istilah akan “ kebutuhan-kebutuhan” ,
“ keharusan-keharusan” , “ keharusan-keharusan mutlak” , “ buruk” , dan “ tidak
dapat diterima” merupakan sebuah distorsi akan kenyataan dan secara frekuentif
membuat kita untuk bereaksi secara berlebihan. Daripada menggunakan “ harus” dan
“ benar-benar harus” dalam interaksi-interaksi kita dengan orang lain, sebuah filosofi
yang lebih rasional adalah “ Saya ingin diperlakukan secara masuk akal oleh orang dan
kehidupan” .

Apakah yang Benar-Benar Menyebabkan Perubahan Psikoterapi?


Terapi yang berpusat pada klien, psikoanalisis, terapi rasional, intervensi feminis,
terapi perilaku, analisa transaksional, terapi realitas, hypnosis, meditasi, dan intervensi
krisis semuanya telah digunakan untuk menangani berbagai masalah emosional dan
behavioral. Secara praktis semua pendekatan ini telah digunakan untuk menangani
orang-orang yang mengalami depersi, kesepian, atau masalah-masalah pernikahan atau
hubungan-hubungan interpersonal lainnya, atau yang memiliki ketakutan-ketakutan
atau fobia yang menghilangkan kemampuan orang, atau yang agresif secara berlebihan,
atau memiliki masalah minum, atau yang mengalami dukacita, malu, atau merasa
bersalah. Setiap terapi ini berbeda secara substansial dari setiap teknik penanganan lain
dan dalam hal menjelaskan mengapa perubahan terapi terjadi. Juga setiap pendekatan
digunakan oleh berbagai praktisi yang mampu memberikan contoh-contoh kasus di
mana pendekatan-pendekatan mengarah pada perubahan-perubahan positif.
Bagaimana semua pendekatan psikoterapi berbeda dan beragam ini dapat
menghasilkan perubahan-perubahan positif dalam diri para klien? Apakah yang
menghasilkan perubahan-perubahan positif dalam terapi? Apakah terdapat sebuah
penjelasan tunggal yang akan menggambarkan perubahan-perubahan psikoterapi?

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
(Penjelasan yang ditampilkan di sini dikembangkan oleh ahli terapi rasional, namun
hal tersebut belum diterima secara universal).
Bab-bab sebelumnya menggambarkan pendekatan-pendekatan ini dan
menampilkan penjelasan-penjelasan yang dikembangkan oleh setiap bab tentang
mengapa perubahan-perubahan positif terjadi dalam konseling. Secara praktis setiap
teori menyatakan sebuah pandangan berbeda untuk mengapa perubahan-perubahan
positif terjadi. Dalam meninjau kembali dilema ini, Raimy (1977) menyatakan:
“ Para ahli psikoterapi sekarang ini dihadapkan pada sebuah masalah
insisten, mengganjal: karena berbagai metode tritmen untuk masalah-masalah
yang sama memiliki keberhasilan-keberhasilan mereka sebagaimana juga
dengan kegagalan-kegagalan mereka, bagaimana seseorang membela
sekumpulan prosedur tritmen sebagai hal yang superior bagi yang lainnya?
Dengan jelas, karena agak berbeda, bahkan berlawanan, metode-metode
tritmen menghasilkan hasil yang mirip, penjelasan-penjelasan bagi
keberhasilan tritmen harus dilihat di luar bidang metode atau teknik” . (hal. 1).

 Apakah yang Menyebabkan Emosi-Emosi yang Mengganggu dan


Tindakan-Tindakan yang Tidak Efektif?
Sebelum berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan tentang apa saja yang
menghasilkan perubahan-perubahan positif dalam terapi, merupakan hal penting untuk
mengidentifikasikan penentu-penentu utama akan masalah-masalah emosional dan
perilaku.
Seperti yang diindikasikan lebih awal dalam bab ini, semua perasaan dan tindakan
terjadi menurut format berikut ini:

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Kejadian : (Atau pengalaman-pengalaman)

Pembicaraan diri sendiri : (Pembicaraan diri sendiri adalah sekumpulan


pikiran-pikiran yang mengevaluasi yang kita berikan pada diri sendiri tentang fakta-
fakta dan kejadian-kejadian yang terjadi pada kita)

Emosi : (Dapat termasuk bersikap tetap tenang)

Tindakan-Tindakan
Poin paling penting tentang perumusan ini adalah pembicaraan diri menentukan
bagaimana kita berperasaan dan bertindak; dengan mengubah pembicaraan diri kita,
kita dapat mengubah bagaimana kita berperasaan dan bertindak. Pada umumnya kita
tidak dapat mengendalikan kejadian-kejadian yang terjadi pada kita, namun kita
memiliki kekuatan untuk berpikir secara rasional dan selanjutnya mengubah semua
emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang disfungsional.
Perumusan ini menunjukan bahwa pembicaraan diri adalah penentu utama semua
tindakan dan semua emosi, termasuk cinta, ketakutan, kemarahan, kesedihan, depresi,

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
kegelisahan, rasa malu, kebahagiaan, kebencian, dan frustasi. Zastrow (1979, 1993)
juga telah menunjukan bahwa pembicaraan diri adalah penentu utama konsep diri, citra
keberhasilan atau kegagalan, kepribadian, dan penyakit-penyakit berkaitan dengan
stres kita.

 Apakah Restrukturasi Pemikiran Dapat Menjadi Agen Kunci


Psikoterapi?
Terapi rasional menyatakan bahwa emosi-emosi yang tidak nyaman dan tindakan-
tindakan disfungsional terutama muncul dari pembicaraan diri kita, pada umumnya
pembicaraan diri negatif atau irasional. Jika konseptualisasi ini adalah akurat, sebuah
akibat wajar yang penting adalah teknik terapi manapun yang berhasil dalam mengubah
emosi-emosi atau tindakan-tindakan adalah efektif terutama karena ia mengubah
pikiran orang dari pembicaraan diri yang negatif atau irasional pada pembicaraan diri
yang lebih positif dan lebih rasional. Dengan kata lain, pembicaraan diri tampak
menjadi agen kunci terapis dalam semua pendekatan pada psikoterapi dapat ditafsirkan
kembali sebagai konsisten dengan prinsip terapi dasar dari menghasilkan perubahan
psikoterapi dengan restrukturasi pikiran. Sedikit contoh-contoh ditampilkan dalam
paragraph-paragraf berikut ini.

Psikoanalisis
Freud (1924) memandang tujuan dasar terapi membawa ide-ide dan emosi-emosi
yang mengganggu, tertekan pada bagian sadar dari pikiran sehingga ide-ide (sekarang
sadar) dapat dihadapi dengan dan emosi alam bawah sadar (energi) harus
diekspresikan. Bukanlah Freud, secara esensial, berupaya untuk menolong para klien
menjadi mawas akan ide-ide mengganggu mereka (pembicaraan diri) sehingga mereka
kemudian mengubah pembicaraan diri yang mengganggu ini? Ketika pembicaraan diri

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
ini diubah, format yang ditampilkan di sini menyatakan bahwa emosi-emosi yang tidak
diinginkan yang ditimbulkan oleh pembicaraan diri asli (sekarang berubah) akan
diangkat.
Psikoanalisis menyatakan bahwa ide-ide mengganggu ini biasanya bersifat tidak
dapat disadari. Para ahli terapi rasional secara terpisah menyetujui ketika hal tersebut
tampak bahwa para klien terkadang tidak dapat secara utuh menyadari “ ide-ide yang
mengganggu” yang membawa mereka ke dalam masalah. Terkadang pengamatan
yang dipertimbangkan dibutuhkan untuk mengidentifikasikan “ pembicaraan diri”
tersebut.

Terapi Perilaku
Pada asalnya, para ahli terapi modifikasi perilaku mengkonseptualisasikan upaya-
upaya mereka sebagai S (stimulus)-R (respon) secara alamiah. Upaya-upaya mereka
berfokus pada mengidentifikasikan dan mengaplikasikan stimuli yang akan mengubah
respon-respon yang tidak diinginkan (perilaku-perilaku). Dalam 30 tahun belakangan
ini, terdapat sebuah kelompok yang semakin besar akan para ahli terapi perilaku yang
menekankan pentingnya perubahan-perubahan kognisi untuk memodifikasikan
perilaku manusia (Beck, 1976; Cautela & Upper, 1975, Craighead, Mahoney, &
Kazdin, 1976; Goldfried & Merbaum, 1973; Lazarus, 1971; Mahoney, 1974;
Meichenbaum, 1975). Otoritas-otoritas pada terapi perilaku ini sekarang menyebut diri
mereka sendiri para ahli perilaku kognitif. Pendekatan mereka berfokus pada
mengubah pikiran seseorang untuk mengubah perilaku. Daripada konseptualisasi S-R
lama, mereka menekankan bahwa perubahan-perubahan perilaku akan amat baik jika
dikonseptualisasikan sebagai sesuatu yang melibatkan sebuah perubahan dalam pola
pikir seseorang, seperti yang diilustrasikan dalam format berikut: S-O (pemikiran
organisme)-R. Penghentian pikiran dan pengkerangkaan kembali, merupakan contoh-

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
contoh teknik yang digunakan untuk mengubah pikiran-pikiran irasional untuk
menghilangkan emosi-emosi yang tidak diinginkan dan untuk mengubah perilaku-
perilaku disfungsional.
Salah satu aplikasi-aplikasi terkenal terapi perilaku adalah pelatihan keasertifan.
Semua kita adalah pemalu atau lambat dalam beberapa situasi, mungkin dalam
merencanakan sebuah kencan, dalam berbicara pada sebuah tokoh otoritas, atau dalam
meminta seseorang untuk mematikan rokoknya. Otoritas-otoritas pada pelatihan
keasertifan telah menunjukan bahwa kita adalah pemalu, atau agresif, karena akan apa
yang kita beritahukan pada diri kita sendiri tentang situasi-situasi ini dan bahwa
merupakan hal penting untuk mengubah kognisi-kognisi kita agar mampu
mengekspresikan diri kita secara asertif (Allberti & Emmons, 1975).

Terapi yang Berpusat pada Tugas


Tujuan pendekatan ini adalah untuk menolong para klien mendapatkan
pengelihatan ke dalam ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan antara ide-ide mereka
tentang diri dan pengalaman-pengalaman mereka, sehingga mereka dapat mengatur
kembali konsep diri mereka untuk menjadi lebih konsisten dengan apa yang mereka
alami. Tidakkah Carl Rogers berkata bahwa para klien harus mengidentifikasikan
pikiran-pikiran (pembicaraan diri) tentang diri mereka sendiri yang tidak konsisten
dengan kenyataan dan kemudian mengatur kembali pikiran-pikiran ini untuk menjadi
lebih konsisten dengan kenyataan.

Pendekatan-Pendekatan Terapi Komperhensif Lainnya


Dalam Misunderstanding of the Self , Raimy (1977) mengusulkan sebuah teori
untuk menjelaskan perubahan-perubahan positif dalam konseling yang hampir identik

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pada pendekatan pembicaraan diri yang ditampilkan di sini. Hipotesis utama Raimy
adalah “ Jika ide-ide atau konsepsi-konsepsi seorang klien atau pasien yang relevan
pada masalah-masalah psikologisnya dapat diubah dalam arahan akan akurasi yang
lebih baik di mana kenyataannya dipertimbangkan, kesalahan-kesalahan dalam
penyesuaian dirinya cenderung dihilangkan” . Raimy menyebutkan hipotesisnya
sebagai hipotesis miskonsepsi (Raimy, 1977, hal. 7). Ia kemudian memberikan sebuah
pemikiran rasional bahwa perubahan-perubahan positif didapatkan melalui
pengkoreksian perhitungan “ miskonsepsi-miskonsepsi” bagi perubahan-perubahan
dalam terapi-terapi berikut: Adlerian, emosi-rasional, psikoanalisis, analisis
transaksional, terapi Gestalt, terapi yang berpusat pada klien, dan teknik-teknik
modifikasi perilaku tertentu.

 Teknik-Teknik Psikoterapi Non Tradisional


Zastrow (1979, 1993) menampilkan sebuah pemikiran rasional bahwa mengubah
pembicaraan diri terutama memperhitungkan perubahan-perubahan positif yang
dihasilkan dengan hypnosis, desentisasi sistematik, tanggapan biologis, meditasi,
relaksasi otot, relaksasi pernapasan mendalam, relaksasi penggambaran, desentisasi in
vivo, sensitisasi tersembunyi, terapi seks bagi disfungsi-disfungsi seksual, pelatihan
keasertifan, konseling diet, dan terapi bagi para alkoholik (Zastrow, 1979). Pemikiran
rasional bagi sebagian kecil pendekatan-pendekatan ini dirangkum sebagai berikut:

Meditasi
Daniel Coleman (1977) merangkum pendekatan-pendekata kontemporer pada
meditasi dan menggambarkan bagaimana setiapnya berupaya mencapai tujuannya.
Secara praktis semua pendekatan berupaya mencapai sebuah status meditatif dengan
membuat seseorang berkonsentrasi pada sebuah objek (seperti pernapasan atau tempat

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
relaksasi ideal) atau mengulangi sebuah mantra (seperti sebuah suara, sebuah kata,
sebuah frase, sebuah senandung, sebuah doa; atau sebuah nilai spiritual).
Herbert Benson (1975) menuliskan bahwa elemen kunci dalam menimbulkan
tanggapan melalui meditasi adalah memiliki sebuah perilaku pasif di mana sang
mediator melepaskan pikiran-pikiran yan mendasari kehawatiran-kekhawatiran sehari-
hari. Maultsby (1975) menunjukan bahwa perasaan-perasaan akan stres dan
kegelisahan terutama muncul dari pembicaraan diri yang negatif dan irasional tentang
masalah-masalah sehari-hari. Meditasi, seperti yang dihipotesiskan di sini, mengurangi
perasaan-perasaan stres dan kegelisahan dengan membuat si mediator menggantikan
pemikirannya dari berfokus pada masalah-masalah sehari-hari kepada berfokus pada
mantra atau objek meditatif. Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Kejadian : Berkonsentrasi dan mengulangi sebuah
mantra sementara
penanganan yang besar dilakukan untuk mencegah interupsi-interupsi atau
gangguan-gangguan.
Pembicaraan diri sendiri : “ Ini membuat rileks” (pada saat yang sama orang
tersebut berhenti berpikir tentang kehawatiran-kekhawatiran sehari-hari).

Emosi : merasa rileks

Hipnosis
Hipnosis secara esensial meliputi dua proses: (1) menjadi rileks sehingga orang
tersebut dapat mengalami apa yang disebut sebagai trance hipnotik, dan (2) sementara
dalam trance tersebut, memberikan saran-saran hipnotik. Trance atau keadaan hipnotik
tidak sadar dapat ditimbulkan oleh berbagai teknik-teknik relaksasi, termasuk relaksasi
pernapasan mendalam, relaksasi pembayangan, dan bentuk-bentuk meditasi lainnya.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Keadaan tidak sadar hipnotik dapat secara terbaik diamati sebagai sebuah keadaan
relaksasi mendalam. Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya tentang meditasi,
keadaan rileks ini ditimbulkan oleh pelepasan pikiran si meditator tentang
kekhawatiran-kekhawatirannya setiap hari.
Proses kedua hypnosis meliputi saran-saran hipnotik. Kekuatan terapik akan
pembicaraan diri secara dramatis didemonstrasikan oleh saran-saran hipnotik.
Sementara dalam sebuah keadaan tidak sadar, seseorang dapat diberikan berbagai
instruksi atau saran-saran, banyak di antara mereka semakin banyak digunakan untuk
alasan-alasan terapis. Hampir semua saran-saran hipnotis adalah, dalam kenyataannya,
pernyataan-pernyataan pembicaraan diri, seperti yang digambarkan sebagai berikut:
“ Saya tidak merasa sakit” , bagi mereka yang mengalami antritis atau menjalani
operasi, bagi mereka yang mengalami kanker yang tidak dapat disembuhkan, untuk
kelahiran anak, dan untuk secara praktis rasa sakit apapun.
“ Saya akan rileks” , bagi mereka yang amat gelisah atau tegang.
“ Saya akan tertidur setelah pergi ke kamar dan berhitung sampai sepuluh” , bagi
mereka yang mengalami insomnia.
“ Periode menstruasi saya sekarang akan menjadi teratur” , bagi mereka yang
memiliki periode menstruasi yang tidak teratur.

Relaksasi Otot
Relaksasi otot mendalam adalah sebuah teknik yang dapat digunakan orang-orang
untuk menjadi lebih rileks ketika mereka merasa tegang atau gelisah (Paul, 1966).
Teknik tersebut dipelajari dengan meminta seseorang pertama-tama mengencangkan
dan merenggangkan jaringan otot. Ketika merenggangkan otot-otot, orang yang
bersangkutan diinstruksikan untuk berpikir tentang perasaan yang rileks, sementara
memperhatikan bahwa otot sekarang lebih rileks daripada ketika mereka tegang.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Kutipan berikut ini (Watson & Tharp, 1972) memberikan sebuah ilustrasi singkat akan
prosedur tersebut:
“ Kepalkan tangan anda yang dominan (biasanya tangan kanan). Kepalkan
tangan anda dan kencangkanlah otot-otot tangan (kanan) dan lengan telapak
lengan, kencangkanlah sampai bergetar. Rasakan otot-otot tertarik melewati
jari-jari anda dan bagian bawah telapak lengan anda…Lakukanlah posisi ini
selama 5-7 detik, kemudian…rileks…Renggangkanlah tangan anda.
Perhatikanlah pada otot tangan (kanan) dan telapak lengan anda ketika mereka
renggang. Perhatikanlah bagaimana otot-otot itu terasa ketika relaksasi
mengalir dalam mereka (selama 20 sampai 30 detik)” . (hal. 152-183).

Setelah seseorang belajar untuk merenggangkan sekumpulan otot, ia belajar untuk


merenggangkan sekumpulan otot lainnya (contohnya, otot-otot lengan, leher, bahu,
dada, perut, punggung bagian bawah, pinggang, pinggul, dan selanjutnya).
Dengan menerapkan prinsip-prinsip terapi rasional, tampak bahwa pembicaraan
diri adalah sebuah kunci untuk mencapai sebuah keadaan yang rileks:
Kejadian : Seseorang merenggangkan sekumpulan otot setelah
mengencangkannya.
Pembicaraan diri sendiri : “ Ini membuat rileks” . “ Terasa baik” . “ Ini
menenangkan” .

Konsekuensi emosi : relaksasi


Para advokat relaksasi otot menunjukan bahwa, dengan praktik, seseorang dapat
mencapai relaksasi mendalam tanpa harus menegangkan otot-otot-yakni, dengan
penmbayangan (Watson & Tharp, 1972). Secara jelas hal berikut inilah yang terjadi:
Kejadian : Saya sedang membayangkan otot-otot lengan saya
(pinggul, dan selanjutnya) pertama-tama menegang dan kemudian menjadi renggang.
Pembicaraan diri sendiri : “ Ini terasa baik, merilekskan” .

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Konsekuensi Emosi : relaksasi.

Relaksasi otot, seperti yang dihipotesiskan di sini, juga mengurangi perasaan-


perasaan stres dan kegelisahan dengan menolong seseorang memindahkan pikirannya
dari berfokus pada masalah-masalah sehari-hari pada latihan-latihan relaksasi.
Konsisten dengan keyakinan sejumlah ototitas, dinyatakan bahwa emosi-emosi
yang tidak nyaman dan tindakan-tindakan disfungsional terutama muncul dari
pembicaraan diri kita, umumnya pembicaraan diri yang negatif atau irasional. Jika
konseptualisasi ini akurat, sebuah akibat wajar yang penting adalah bahwa teknik terapi
apapun yang berhasil dalam mengubah emosi-emosi atau tindakan-tindakan terutama
adalah efektif karena ia mengubah pikiran seseorang dari pembicaraan diri negatif atau
irasional pada pembicaraan positif dan rasional.
Pada titik ini terdapat dukungan (walaupun penelitian lebih lanjut dibutuhkan) bagi
buah pemikiran yang menyatakan bahwa mengubah pembicaraan diri negatif atau
irasional adalah agen kunci terapi dalam pendekatan-pendekatan psikoterapi. Jika
akurat, argument lama yang menyatakan manakah pendekatan-pendekatan psikoterapi
yang efektif dan manakah yang tidak (Eysenck, 1952; Stuart, 1970) dapat difokuskan
kembali pada “ Pendekatan-pendekatan terapi manakah yang paling efektif dalam
mengubah pembicaraan negatif dan irasional?” dan “ Bagaimanakah pendekatan-
pendekatan terapi masa kini dapat diperhalus, dan pendekatan-pendekatan baru
dikembangkan, untuk mengubah pembicaraan negatif dan irasional secara lebih
efektif?” .

Menjelaskan Kecacatan Mental dari Sebuah Perspektif Terapi Rasional

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Sementara bekerja pada sebuah rumah sakit mental, saya ditugaskan untuk
menangani kasus seorang pria berusia 22 tahun yang memenggal kepala teman
wanitanya yang berusia 17 tahun. Dua ahli psikiatri mendiagnosanya sebagai penderita
schizoprenik, dan sebuah pengadilan membuktikan dirinya sebagai pihak yang “ tidak
bersalah karena tidak waras” . Ia kemudian diserahkan pada sebuah rumah sakit
mental. Mengapa ia melakukannya? Melabeli dirinya sebagai orang yang tidak waras
memberikan sebuah penjelasan pada masyarakat umum bahwa ia menunjukan perilaku
aneh ini karena ia “ gila” . Namun apakah sebuah label tersebut menjelaskan mengapa
ia membunuh gadis itu daripada membunuh orang lain atau melakukan sesuatu lainnya
yang aneh? Apakah label yang ada menjelaskan apa yang akan mencegahnya dari
melakukan pembantaian ini? Jawaban untuk semua pertanyaan ini tentu saja adalah,
“ tidak” .

 Apa Itu Schizophrenia?


Sebuah definisi umum akan schizophrenia adalah sebuah kondisi psikotis yang
biasanya terjadi selama atau tidak lama setelah masa remaja dan dikarakterisasikan oleh
disorientasi, hilangnya kontak dengan kenyataan, dan terdapat pola-pola pikiran dan
perasaan yang tidak teratur. Mari kita menguji definisi ini. Orang-orang yang mabuk,
atau terpaku pada obat-obatan, atau siapa saja yang tertidur, atau siapa yang tidak tidur
selama pengalaman seharian akan kehilangan kontak dengan kenyataan dan pola-pola
perasaan dan pikiran yang menjadi tidak teratur. Apakah mereka adalah schizophrenik?
Tidak. Bagaimana dengan orang-orang dewasa yang memiliki keterbatasan kognitif
yang berat di mana usia mental mereka kurang dari 2 tahun? Mereka memiliki gejala-
gejala schizophrenik namun tidak dianggap sebagai penderita schizophrenia.
Bagaimana dengan orang-orang dewasa yang mengalami koma setelah mengalami
sebuah kecelakaan serius? Mereka juga termasuk dalam definisi tersebut namun tidak

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
dianggap sebagai penderita schizophrenic. Pria berusia 22 tahun yang melakukan
pembunuhan aneh mengetahui bahwa tindakannya adalah salah, mawas akan apa yang
ia lakukan, berkontak dengan kenyataan, dan memberitahu saya alasan-alasan untuk
melakukan apa yang ia lakukan. Namun mengapa ia dilabeli sebagai seorang
schizphrenik? Apakah mungkin bahwa tidak terdapat definisi akan gejala-gejala yang
memisahkan orang-orang yang memiliki “ penyakit” daripada mereka yang tidak
sakit? Bab 18 menampilkan model interaksional, yang menyatakan bahwa kecacatan
mental adalah sebuah mitos.

 Sebuah Perpektif dari Terapi Rasional


Orang-orang dilabeli sebagai pihak yang menderita cacat mental dalam masyarakat
kita karena mereka menunjukan perilaku aneh atau memiliki emosi-emosi yang
membuat tidak nyaman. Mengapa tindakan-tindakan aneh dan emosi-emosi tersebut
terjadi?
Terapi rasional menyatakan bahwa tindakan aneh apapun dapat dipahami dengan
menyingkapkan pembicaraan diri yang mengarahkan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang “ aneh” . Dalam hampir sebagian kasus alasan-alasan bagi terjadinya
tindakan menyimpang apapun dapat ditentukan dengan menguji apa yang
diberitahukan si pelanggar kepada dirinya sendiri sebelum saat di mana tindakan
menyimpang dilakukan. Alasan-alasan bagi terjadinya tindakan menyimpang (mirip
dengan tindakan apapun) mengikuti formula yang dinyatakan oleh terapi rasional:
Kejadian (atau pengalaman-pengalaman)

Pembicaraan diri sendiri

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Emosi

Tindakan-Tindakan (dalam hal ini adalah tindakan-tindakan menyimpang)


Secara lebih lanjut, pengidentifikasian pembicaraan diri sendiri mengarahkan
seseorang untuk melakukan sesuatu yang menyimpang dengan secara umum
memberikan informasi tentang jenis-jenis pelayanan yang dibutuhkan untuk mencegah
terjadinya perilaku (sebuah contoh disertai).
Melakukan sebuah tindakan menyimpang (atau terus menunjukan perilaku
menyimpang) bukanlah hanya alasan bagi beberapa orang yang dilabeli sebagai
penyadang cacat mental. Label-label cacat mental terkadang dikenakan pada orang-
orang yang memiliki emosi-emosi yang secara serius membuat tidak nyaman seperti
depresi berat atau kronis, kegelisahan, rasa sedih, atau perasaan-perasaan akan
inferioritas.
Emosi-emosi yang membuat tidak nyaman beragam pada sebuah keberlanjutan
beratnya emosi tersebut dari yang ringan sampai ke yang ekstrim. Para pemberi label
yang berpatokan pada model medis dipakasa untuk menggambarkan sebuah garis di
sepanjang keberlanjutan ini untuk memisahkan “ yang tidak waras” dari “ yang
waras” . Semua emosi-emosi berat yang menimbulkan ketidaknyaman, mirip dengan
emosi manapun, merupakan hasil dari pembicaraan diri menurut format berikut:
Kejadian

Pembicaraan diri sendiri

Emosi

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Terapi rasional menyatakan bahwa tidak terdapat kebutuhan untuk melekatkan
sebuah label medis yang tidak memiliki deskripsi (seperti pelabelan sebuah depresi
berat sebagai “ psikotis” ) pada sebuah emosi berat, yang menimbulkan
ketidaknyamanan. Label-label medis tersebut tidak memiliki nilai diagnostik atau
tritmen dan dapat mengkompliasikan upaya-upaya terapi karena pengaruh-pengaruh
pelabelan.

 Sebuah Pembunuhan Tidak Wajar


Marilah kita kembali pada seorang pria berusia 22 tahun yang dilabeli schizoprenik
karena membunuh teman wanitanya. Sebuah diagnosa medis harus
mengidentifikasikan penyebab-penyebab umum akan kondisi medis dan mengusulkan
sebuah pendekatan tritmen. Dalam kasus ini label tersebut tidak memberitahu kita
mengapa pembunuhan tersebut terjadi, juga ia tidak menyatakan jenis rehabilitasi yang
dibutuhkan. (Secara insiden, pria ini dikunjungi oleh ahli psikiatri beberapa bulan
sebelum pembantaian ini dan dianggap waras).
Walaupun demikian, setelah ia menggambarkan apa yang terjadi, rupanya dapat
dipahami (walaupun tidak wajar) mengapa ia melakukannya, dan data dirinya juga
mengidentifikasikan masalah-masalah spesifik yang harus mendapatkan pertolongan
secara spesifik. Ia menggambarkan dirinya sendiri sebagai orang yang amat terisolasi
yang, kecuali bagi teman wanitanya, tidak memiliki kerabat atau teman dekat. Ia
berasal dari keluarga yang hancur dan dibesarkan oleh berbagai kerabat dan orang tua
asuh. Karena perpindahan yang sering ia alami, ia bersekolah di sejumlah sekolah yang
berbeda-beda dan tidak memiliki teman yang tahan lama. Pada usia ke 20 ia bertemu
dengan korban dan memacarinya secara periodik selama dua tahun. Ia memberikan
makna hidup satu-satunya dalam kehidupannya. Ia memegang visi tradisional tentang
menikahinya dan hidup bersama dengan bahagia selamanya.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Walaupun demikian, beberapa bulan sebelum hari yang naas itu, ia menjadi amat
mawas bahwa ia akan “ kehilangan pacarnya” . Pacarnya mendorongnya untuk
berkencan dengan wanita lain, menyebutkan bahwa ia pun ingin berkencan dengan pria
lain, dan mengusulkan bahwa mereka tidak akan bertemu satu sama lain lebih lama
lagi.
Ia berpikir secara intens bagaimana ia dapat menjaga hubungan tersebut. Ia juga
menyadari bahwa ia juga memiliki hasrat seksual yang tidak memiliki penyaluran.
Dengan menggabungkan dua pola pikir ini secara naïf ia menyimpulkan, “ Jika saya
adalah orang pertama yang berhubungan seks dengannya, maka ia akan selamanya
merasa terikat dengan saya” . Selanjutnya ia mencoba pada beberapa waktu untuk
melakukan persetubuhan, namun teman wanita tersebut selalu menolaknya. Pada
akhirnya, di suatu sore selama musim panas ketika ia tahu bahwa mereka akan hanya
berdua saja, ia melakukan keputusan melalui pembicaraan dirinya, “ Saya akan
berhubungan seks dengannya sore ini, bahkan jika saya harus memukulnya sampai
tidak sadar” . Ia menyatakan bahwa tindakan tersebut salah, namun berkata, “ Itu
merupakan harapan terakhir saya untuk menyelamatkan hubungan kami. Tanpanya
kehidupan saya tidak akan berarti” .
Selanjutnya ia mencoba lagi untuk berhubungan seks dengannya sore itu, namun ia
terus menolaknya. Dengan senang secara emosional, ia kemudian mengambil sebuah
botol soda dan memukulnya sampai teman wanita tersebut tidak menyadarkan diri.
Lagi ia berusaha untuk berhubungan seks, namun masih tidak berhasil karena struktur
tubuh si wanita tersebut. Dalam sebuah keadaan emosional dan kesenangan seksual
yang intens, ia tidak mampu mempertimbangkan konsekuensi tindakannya secara
rasional. (Semua kita, terkadang, telah bersikap secara disfungsional selagi marah atau
berada dalam kesenangan intens). Pada poin ini ia merasakan bahwa dunianya
menelannya. Ketika ditanyakan selama wawancara apa yang ia pikirkan pada saat ini,

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
ia menyatakan, “ Saya merasa bahwa saya tidak dapat memilikinya, jadi orang lain pun
tidak dapat memilikinya” . Ia mencari dan menemukan sebuah pisau, menjadi
terhanyut lebih jauh dalam emosi, dan berakhir dengan membantainya. Ia mengetahui
bahwa hal tersebut salah adanya, dan ia mawas akan apa yang ia lakukan.
Obrolan-obrolan dengan orang ini (dan identifikasi akan pembicaraan diri sebelum
dan selama pembunuhan tidak wajar ini) menetapkan faktor-faktor tertentu yang
menolong menjelaskan mengapa pembunuhan terjadi, termasuk kesepian dan
isolasinya, keyakinannya bahwa melanjutkan sebuah hubungan romantis dengan
wanita muda ini adalah sumber makna kehidupan satu-satunya, pemikiran naifnya yang
menyatakan bahwa melakukan hubungan seksual secara paksa akan membuat wanita
muda ini merasa terikat dan tertarik padanya, kurangnya penyaluran bagi hasrat
seksualnya, dan hasrat-hasrat kecemburuan dan posesifnya untuk melakukan hal
ekstrim untuk mencegah wanita muda ini dari mengembangkan sebuah hubungan
romantis dengan pria lain. Alasan-alasan tersebut menolong menjelaskan mengapa
perilaku tidak wajar ini terjadi; di mana label schizophrenia tidak.
Jika masalah-masalah di atas telah diketahui sebelum pembunuhan tersebut terjadu,
maka pembantaian tersebut akan dapat dicegah. Apa yang ia butuhkan adalah
menemukan sumber-sumber kepentingan dan hubungan-hubungan berarti lain dalam
kehidupannya. Bergabung dengan kelompok-kelompok tertentu atau mengembangkan
hobi-hobi akan dapat menolong. Sebuah saluran seksual yang tepat bagi hasrat-
hasratnya juga mungkin akan menolong. Kendali atas hasrat-hasratnya yang lebih baik
dan sumber-sumber lain akan pencarian makna dapat mencegahnya kehilangan kendali
atas emosi-emosinya sore itu. Mengurangi intensitas perasaan-perasaan cemburu dan
posesifnya, bersama dengan mengembangkan sikap-sikap yang lebih dewasa terhadap
asmara dan seksualitas, juga dapat dicegah. Masalah-masalah spesifik ini adalah area-
area di mana pria tersebut membutuhkan pertolongan sementara berada dalam sebuah

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
rumah sakit mental daripada menemukan penyembuh bagi schizophrenia. Tidak ada
cara apapun saya merasakan bahwa ia harus diizinkan untuk tindakan-tindakannya,
seperti yang diimplikasikan dengan istilah tidak bersalah karena tidak waras. Namun
ia memang membutuhkan pertolongan bagi masalah spesifik yang diidentifikasikan.
(Dalam waktu 10 sampai 15 tahun, ia mungkin akan dilepaskan dan kembali ke
masyarakat).
Secara singkat, ketika sebuah tindakan menyimpang terjadi, menyatakan bahwa
perilaku tersebut disebabkan pada sebuah “ kecacatan mental” tidak memberikan
sebuah penjelasan yang berguna untuk mengapa perilaku tersebut muncul. Semua
perilaku menyimpang dapat dipahami, walaupun demikian, ketika dipandang dari
perspektif actor yang bersangkutan.
Jika anda heran bagaimana seseorang dapat tiba pada sebuah titik akan melakukan
sesuatu yang tidak wajar seperti menghilangkan nyawa orang yang ia cintai, ingatlah
bahwa merupakan hal penting untuk berupaya memandang situasi yang ada dari
perspektif orang yang menyimpang tersebut. Untuk memahami perspektif tersebut,
merupakan hal esensial untuk mencoba mempertimbangkan semua alasan-alasan,
tekanan-tekanan, nilai-nilai, dan sistem-sistem keyakinan orang menyimpang yang
bersangkutan. Sebuah contoh yang aneh tapi nyata dapat menolong anda menjadi
mawas bahwa secara praktis setiap orang akan melakukan sesuatu yang tidak wajar
ketika situasi yang ada membuatnya putus asa. Beberapa tahun yang lalu sebuah
pesawat penumpang jatuh di pegunungan Andes pada musim dingin. Sejumlah
penumpang tewas, namun terdapat hampir 30 orang yang bertahan, yang berteduh di
reruntuhan pesawat dari dinginnya cuaca. Para penumpang yang bertahan tidak
memiliki makanan selama lebih dari 40 hari sampai mereka diselamatkan. Selama
waktu ini para penumpang yang bertahan dihadapkan pada pilihan untuk mati karena
kelaparan atau kanibalisme akan mereka yang telah mati. Saat tersebut merupakan saat

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
yang penuh keputusasaan, dan merupakan pilihan yang sulit. (Secara psikologis,
banyak orang yang melakukan tindakan yang tidak masuk akal merasa bahwa diri
mereka menghadapi sebuah keputusan yang dapat dibandingkan). Dalam situasi ini,
semuanya namun salah seorang penumpang yang bertahan memilih kanibalisme.
Mereka yang menolak kanibalisme mati karen kelaparan.

Evaluasi
Karena pembentukannya pada tahun 1950an, terapi rasional telah menjadi salah
satu pendekatan terapi yang digunakan secara luas. DiGuiseppe, Miller, dan Tresler
(1977) merangkum sejumlah besar studi-studi hasil yang dilakukan pada terapi rasional
dan menemukan lebih dari 90 persen studi-studi ini mendukung pernyataan-
pernyataannya. Ellis (1989) menuliskan:
“ Lebih dari 200 studi hasil telah diterbitkan, menunjukan bahwa terapi
emosi-rasional adalah efektif dalam mengubah pikiran-pikiran, perasaan-
perasaan, dan perilaku-perilaku sekelompok individu dengan berbagai jenis
gangguan” . (hal. 233).

Silverman, McCarthy, dan McGovern (1992) meninjau kembali sejumlah studi


hasil pada terapi rasional dan menyimpulkan bahwa terapi tersebut lebih efektif
daripada metode-metode psikoterapi lain. (Metode-metode psikoterapi lain memiliki
dokumentasi akan keberhasilan ini).
Terapi rasional telah secara berhasil digunakan untuk menangani para klien dengan
beragam masalah, termasuk emosi-emosi yang tidak diinginkan (depresi, kegelisahan,
ketakutan-ketakutan dan fobia-fobia, rasa bersalah, dan rasa malu), masalah-masalah
seksual dan disfungsi-disfungsi seksual, kekhawatiran, masalah-masalah pernikahan,
masalah-masalah interaksional, alkoholisme, kebermaluan, prokastinasi, dan tindakan-
tindakan kecemburuan. Hipotesis utamanya juga berguna dalam pengasuhan anak,
pendidikan, manajemen eksekutif, dan hubungan-hubungan sosial serta politik.
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Dengan menyatakan bahwa kita terutama menimbulkan emosi-emosi kita yang
tidak diinginkan dan perilaku-perilaku yang tidak bertanggungjawab bahwa kita akan
mengerti. Pembicaraan diri, contohnya, memainkan sebuah peran utama dalam
mengarahkan seseorang untuk mengalami stres kronis yang disebabkan oleh beragam
penyakit-penyakit yang berkaitan dengan stress, termasuk borok, sakit kepala migrain,
insomnia, diare, masalah-masalah hati, masalah-masalah pencernaan, kanker,
hipertensi, dan obesitas. Zastrow menyatakan bahwa mengubah pembicaraan diri
irasional yang mendasari tindakan-tindakan adalah sebuah kunci untuk menangani
masalah-masalah tersebut. Juga dihiptesiskan bahwa keberhasilan pada permainan
kompetitif apapun secara substansial ditentukan oleh jenis pembicaraan diri yang kita
berikan kepada diri kita sendiri.
Terapi rasional telah memberikan kontribusi substansial pada psikoterapi. Juga
terdapat beberapa pertanyaan-pertanyaan penting yang tidak terjawab:
1. Fisiologi pembicaraan diri dan emosi-emosi. kita belum mengetahui secara
persis komponen-komponen psikologis dalam berpikir atau dalam emosi-emosi. Otak
kita, tentu saja, adalah penting dalam memampukan kita untuk berpikir. Namun apa
yang secara persis terjadi dalam otak yang membuat kita mengkonseptualisasikan
setiap pikiran yang kita miliki? Apakah terdapat bagian tubuh lain yang terlibat dalam
berpikir? Berpikir berhubungan dengan memori. Namun apakah memori itu secara
persis, dan bagaimana kita “ menyimpan” dan “ mengingat” pengalaman-
pengalaman yang kita miliki? Dan bagaimana memori dan berpikir berhubungan secara
psikologis?
Terapi rasional menteorisasikan bahwa pembicaraan diri kita terutama
menimbulkan emosi-emosi kita. Namun, lagi, sejumlah pertanyaan-pertanyaan
psikologis muncul: Proses psikologis apakah yang terlibat dalam emosi yang dihasilkan
diri? Proses-proses psikologis berbeda apakah yang terjadi bagi emosi-emosi yang

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
beragam seperti cinta, depresi, kesedihan, kebahagiaan, kemarahan, frustasi,
penderitaan, relaksasi, permusuhan, ketakutan, dan lain sebagainya? Dan bagaimana,
secara psikologis, tipe-tipe pembicaraan diri dan keadaan-keadaan emosi tertentu
mempengaruhi kesehatan kita? Dalam sebuah cara umum, kita mengetahui bahwa
pembicaraan diri tertentu mengarah pada reaksi stres dan bahwa stres yang
berkepanjangan dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
stres. Namun proses-proses psikologia apa yang terlibat?
2. Memisahkan pengaruh-pengaruh pembicaraan diri dari pengaruh-pengaruh
faktor psikologis. Bagi orang-orang dengan cidera atau kondisi otak abnormal,
terkadang amat sulit untuk memisahkan pengaruh-pengaruh kondisi-kondisi medis
mereka dari pengaruh-pengaruh pembicaraan diri pada emosi-emosi dan perilaku-
perilaku mereka. Cidera-cidera pada area-area berbeda dalam otak terkadang akan
menimbulkan perubahan dalam emosi-emosi dan perilaku-perilaku orang yang
bersangkutan (Rosenhan & Seligman, 1995). Kondisi-kondisi abnormal dalam otak
dapat dihasilkan oleh berbagai faktor, termasuk tumor otak, kelumpuhan saraf otak,
kemabukan alkohol yang kronis, penyakit Alzheimer, paresis, AIDS, dan
arteriosklerosis otak. Kondisi-kondisi medis tersebut merupkan sebuah faktor dalam
menumbulkan kebingungan, inkoherensi, pengaburan kesadaran, kehilangan memori
terbaru dan masa lalu, pengurangan dalam kapasitas-kapasitas penguraian,
ketidakbergairahan, apati, pengurangan dalam kapasitas-kapasitas intelektual, dan
terkadang perubahan-perubahan perseptual. Orang-orang dengan kondisi medis
demikian terkadang mawas dan terkadang bingung. Walaupun kondisi-kondisi ini
cenderung memiliki pengaruh-pengaruh permanen dan bertahan lama pada pola-pola
pikir dan reaksi-reaksi emosional, faktor-faktor lain dapat mengarah pada perubahan-
perubahan sementara dalam kegiatan mental-seperti demam tinggi, keracunan, dan
pemasukan obat-obatan dan alkohol.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Bahkan dengan adanya faktor-faktor ini, pembicaraan diri bahwa seseorang
memberikan dirinya sendiri tentang kondisi-kondisi ini akan juga mempengaruhi
emosi-emosi dan perilaku-perilaku orang tersebut. Pemisahan pengaruh-pengaruh
mana yang dihasilkan dari faktor-faktor lain ini dan mana yang dihasilkan dari
pembicaraan diri sering menjadi hal yang sulit.
3. Alamiah versus perawatan. Perawatan dapat didefinisikan sebagai rata-rata
pengaruh yang memodifikasikan ekspresi potensi-potensi genetik seseorang. Teori
perilaku manusia yang ditampilkan dalam bab ini berfokus pada penentu-penentu
perawatan, sebagaimana ia menyatakan perilaku manusia ditentukan oleh kejadian-
kejadian dan pembicaraan diri. Teori ini gagal untuk memasukan faktor-faktor generik,
yang dengan amat jelas memberikam beberapa pengaruh dalam menentukan perilaku
manusia.
4. Pentingnya pengalaman-pengalaman atau kejadian-kejadian itu sendiri.
Beberapa kritik terapi rasional menyatakan bahwa pengalaman-pengalaman atau
kejadian-kejadian yang terjadi pada seseorang sama pentingnya (dan mungkin bahkan
lebih penting) dalam menentukan perilaku daripada pembicaraan diri yang diberikan
orang-orang kepada diri mereka sendiri tentang pengalaman-pengalaman tersebut.
Kritik-kritik ini menunjukan bahwa kejadian-kejadian seperti kemiskinan,
diskriminasi, penyalahgunaan anak, para orang tua yang overprotektif, pendidikan
yang tidak mencukupi, dan menjadi korban kejahatan merupakan penentu-penentu
utama perilaku manusia.
5.Batas-batas pembicaraan diri. Terapi rasional menteorisasikan bahwa
pembicaraan diri memiliki pengaruh-pengaruh yang amat besar pada kehidupan kita,
dan banyak dari pengaruh-pengaruh tersebut telah dirangkum dalam bab ini. Namun
batas-batas apakah yang terdapat dalam pembicaraan diri? Dalam rujukannya pada
pertanyaan ini, Zastrow (1979) menampilkan contoh berikut ini:

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
“ Seorang mahasiswa perguruan tinggi menanyakan jika kekhawatiran
jangka panjang ibunya tentang melahirkan seorang anak dengan lengan
“ kurcaci” akan membuat anak paling muda tersebut lahir dengan sebuah
lengan yang berbentuk cacat.
Mahasiswa tersebut menyebutkan bahwa ibunya telah secara halus
mengkhawatirkan selama beberapa tahun bahwa ia akan melahirkan seorang
anak dengan lengan yang cacat. Walaupun demikian, tidak lama setelah sang
ibu hamil ketiga kalinya, seorang tetangga perempuan melahirkan seorang anak
dengan lengan yang cacat. Hal ini membawa sang ibu untuk memiliki
kekhawatiran-kehawatiran intens yang menyatakan bahwa anak yang sedang
dirawatnya akan lahir dengan lengan “ kurcaci” .
Setelah saya memberikan beberapa kuliah pada pengaruh-pengaruh
pembicaraan diri dalam salah satu kelas saya, mahasiswa tersebut menanyakan
apakah saya memperkirakan malformasi ini secara terpisah disebabkan oleh
pembicaraan diri atau hanya sebuah kebetulan.
Sebenarnya, saya menjawab bahwa saya tidak tahu-dan saya masih tidak
mengetahui mengapa demikian. Kita mengetahui obat-obatan tertentu (seperti
thalidomide dan minum secara berlebihan) dapat menyebabkan malformasi-
malformasi. Sehingga bisa juga orang yang bersangkutan mengalami penyakit-
penyakit tertentu, seperti cacar Jerman, selama wanita yang bersangkutan
sedang hamil. Terdapat juga sebuah spekulasi bahwa keadaan emosional dan
psikologis sang ibu hamil dapat mempengaruhi keadaan emosional dan
psikologis anak yang belum lahir (Ainsworth, 1966, Dunn, 1977). Merupakan
sebuah kemungkinan bahwa pikiran-pikiran dan ketakutan-ketakutan ibu ini
tentang memiliki anak dengan bentuk yang cacat telah menjadi sebuah faktor
dalam keberadaan anak tersebut dengan lengan yang cacat?...
Sehari-hari saya menjadi mawas akan cara-cara baru di mana kehidupan
saya, dan juga kehidupan orang lain, dipengaruhi oleh pembicaraan diri. Dan,
ketika saya membahas konsep ini dengan orang lain, pembahasan tersebut
biasanya meningkat dalam hal rekan-rekan saya menghubungkan pada saya
insiden-insiden spesifik pada di mana pembicaraan diri mereka memiliki
pengaruh yang kuat pada diri mereka.
Pada titik ini sejujurnya saya tidak mengetahui batasan-batasan apa yang
berlaku bagi pengaruh-pengaruh pembicaraan diri. Dapat dipahami dengan baik
bahwa kita berada “ di ujung bongkahan es” dalam memahami semua
pengaruh-pengaruh ini” . (hal. 327-328).

Rangkuman

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Albert Ellis dikenal sebagai pengembang utama terapi rasional. Terapi rasional
menyatakan bahwa penyebab utama semua emosi dan tindakan kita bukanlah
pengalaman-pengalaman kita melainkan apa yang kita beritahu pada diri kita sendiri
tentang kejadian-kejadian yang terjadi pada kita. Pada umumnya kita tidak bisa
mengendalikan kejadian-kejadian yang terjadi, namun kita memiliki kekuatan untuk
berpikir secara rasional dan selanjutnya mengubah semua emosi yang tidak diinginkan
dan tindakan-tindakan disfungsional kita. Pembicaraan diri memiliki kualitas kini-dan-
sekarang karena ia mewakili pemikikiran-pemikiran tersebut yang kita berikan pada
diri kita sendiri pada waktu sekarang. Pembicaraan diri kita secara frekuentif
didasarkan pada sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, keinginan-keinginan, dorongan-
dorongan, dan motif-motif kita.
Terapi rasional memelihara pemikiran yang menyatakan bahwa alasan-alasan bagi
tindakan menyimpang (termasuk kriminalitas) dapat ditentukan dengan menentukan
apa yang sedang diberitahukan si pelanggar pada dirinya sendiri sebelum atau selama
waktu tindakan tersebut dilakukan.
Fokus awal terapi ini adalah untuk menolong para klien menjadi mawas akan
pembicaraan diri irasional dan negatif yang merupakan sumber utama emosi-emosi
yang tidak diinginkan dan tindakan-tindakan disfungsional. Ketika pembicaraan diri
irasional diidentifikasikan, beragam teknik-tekniknya digunakan untuk mengubah
pembicaraan diri yang irasional, selanjutnya menghilangkan emosi-emosi yang tidak
diinginkan dan mengubah tindakan-tindakan yang tidak bertanggungjawab. Sebuah
teknik yang digunakan secara frekuentif adalah membuat klien mengembangkan (dan
berlatih menggunakan) tantangan-tantangan diri rasional untuk melawan pembicaraan
diri irasional. Seringkali para klien diminta untuk menuliskan sebuah analisa-diri
rasional.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Belajar bagaimana berpikir secara rasional dan bagaimana melawan pembicaraan
diri irasional dan negatif merupakan sebuah proses edukasional. Terapi rasional
memiliki berbagai aplikasi sebagai tambahan untuk mengubah emosi-emosi yang tidak
diinginkan dan tindakan-tindakan disfungsional. Terapi ini dapat digunakan untuk
mengurangi stres, mengubah konse-konsep diri negatif, memperbaiki aspek-aspek
kepribadian negatif, menolong para klien menjadi lebih asertif, dan menangani
disfungsi-disfungsi seksual.
Pertanyaan “ Apakah yang menyebabkan perubahan psikoterapi?” , muncul. Saya
berspekulasi bahwa teknik terapi manapun yang berhasil dalam mengubah emosi-
emosi atau tindakan-tindakan adalah efektif terutama karena ia mengubah pemikiran
seseorang dari pembicaraan diri yang negatif atau irasional menjadi pembicaraan yang
lebih rasional dan positif.
Beberapa pertanyaan yang tidak terjawab masih ada tentang terapi rasional,
termasuk bagaimana pembicaraan diri secara psikologis mengarah pada emosi-emosi,
dan apakah yang menjadi batas-batas dari pengaruh-pengaruh pembicaraan diri?

Latihan
1. Mengubah Emosi-Emosi yang Tidak Diinginkan
Tujuan : Latihan ini dirancang untuk menggambarkan banyak
prinsip terapi rasional dan untuk mendemonstrasikan pada para mahasiswa bagaimana
mengubah emosi-emosi yang tidak diinginkan.
Langkah 1 : Mulailah dengan menanyakan para mahasiswa untuk
berpikir tentang saat terakhir ketika mereka “ sedih” atau “ marah” . Tanyakanlah apa
yang membuat mereka sedih atau marah. Daftarkanlah tiga atau empat tanggapan pada
papan tulis di bawah setiap judul. Para mahasiswa dalam semua kemungkinan akan
memberikan anda “ kejadian-kejadian” sebagai sumber emosi-emosi ini.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Langkah 2 : Indikasikanlah pada para mahasiswa bahwa apa yang
beritahukan pada anda bukanlah sumber utama emosi-emosi mereka. Indikasikanlah
daripada demikian bahwa emosi-emosi ditentukan terutama oleh pembicaraan diri
daripada kejadian-kejadian. Bagi setiap tanggapan “ kejadian” yang diberikan oleh
seorang mahasiswa, buatlah mahasiswa tersebut memberitahu anda pembicaraan diri
pribadi yang mengarah pada emosi tersebut, atau tebaklah apa yang menjadi
pembicaraan dirinya. Contohnya, jika seorang mahasiswa berkata, “ Saya menjadi
sedih karena saya menerima sebuah tiket secara terburu-buru” , anda dapat menebak
bahwa pembicaraan diri yang tercipta adalah sesuatu seperti, “ Ini buruk, saya yakin
bahwa saya bodoh untuk mengemudi dengan begitu cepat. Sekarang rate asuransi saya
akan meningkat. Saya memang sial. Saya tidak memiliki uang untuk membayar tiket-
tiket ini dan untuk meningkatnya pembayaran-pembayaran asuransi. Saya adalah orang
yang buruk untuk mendapatkan tiket tersebut” .
Langkah 3 : Secara lebih jauh demonstrasikan prinsip-prinsip terapi
rasional dengan meminta para mahasiswa, “ Apakah yang menjadi pembicaraan diri
anda jika seseorang yang sedang anda kencani selama empat tahun belakangan ini
memberitahukan anda bahwa ia sudah tidak ingin lagi berkencan dengan anda?” .
Tulislah kejadian ini pada papan tulis. Tanyakanlah pada para mahasiswa apa yang
menjadi pembicaraan diri mereka, dan emosi-emosi apa yang akan muncul dari setiap
pernyataan pembicaraan diri? Tuliskanlah pernyataan-pernyataan pembicaraan diri dan
emosi-emosi yang dihasilkannya ini pada papan tulis. Dengan menggunakan lima
kriteria untuk menentukan pemikiran rasional, mintalah pada mahasiswa untuk
mengidentifikasikan mana dari pernyataan-pernyataan pembicaraan diri yang irasional
dan untuk memberikan alasan-alasan mengapa mereka adalah irasional. Bagi setiap
pernyataan pembicaraan diri irasional, mintalah kelas anda untuk menciptakan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
tantangan-tantangan diri-rasional untuk menantang dan mengubah pernyataan
pembicaraan diri yang irasional.
Langkah 4 : Jelaskanlah pada para mahasiswa bagaimana menuliskan
sebuah analisa-diri rasional.
Langkah 5 : Indikasikanlah bahwa hanya terdapat tiga cara konstruktif untuk
mengubah sebuah emosi yang tidak diinginkan:
a. Tantanglah pemikiran negatif dan irasional dengan tantangan-tantangan
diri-rasional.
b. Terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna dan dapat dinikmati, yang
menghentikan seseorang dari berpikir secara negatif dan irasional.
c. Ubahlah kejadian-kejadian yang menyebabkan stress; jika anda berhasil
dalam melakukan ini, anda cenderung untuk merasa lebih baik karena anda akan
memberikan diri anda sendiri pembicaraan diri yang lebih positif.
Langkah 6 : Sebagai sebuah pekerjaan rumah, mintalah para mahasiswa
untuk menuliskan sebuah analisa diri-rasional pada sebuah emosi yang tidak diinginkan
yang mereka miliki. Mintalah para mahasiswa untuk memberitahukan pikiran-pikiran
mereka pada hasil-hasil terapi rasional.

2. Afirmasi-Afirmasi Positif
Tujuan : Latihan ini dirancang untuk memberikan para mahasiswa pendekatan lain
untuk mengubah pemikiran negatif dan irasional.
Langkah 1 : Indikasikanlah bahwa beberapa orang menyadari bahwa
menuliskan sebuah analisa-diri rasional adalah hal yang memakan waktu dan
merepotkan. Sebuah alternatif adalah untuk menggunakan afirmasi-afirmasi positif.
Sebuah afirmasi positif adalah sebuah pernyataan positif yang menolong dalam
mencapai tujuan-tujuan emosional dan behavioral. Proses menuliskan sebuah afirmasi

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
positif juga memampukan seseorang untuk mengidentifikasikan pemikiran negatif dan
irasional yang tidak diwaspadainya.
Langkah 2 : Instruksikanlah para mahasiswa dalam proses penulisan afirmasi
positif berikut. Buatlah setiap mahasiswa memilih sebuah tujuan pribadi emosional
atau behavioral yang realistik yang diperjuangkannya. Berikut ini adalah contoh-
contoh:
“ Saya yakin bahwa saya adalah seseorang yang berharga”
“ Saya tidak akan lama lagi tidak menjadi depresi tentang.........”
“ Saya tidak akan lama tidak menjadi marah dan agresif
ketika………terjadi”
“ Saya akan kehilangan lima pon dalam dua bulan”
“ Saya akan berhenti merokok hari ini”
“ Saya akan membatasi kebiasaan minum saya akan minuman-minuman
berkalkohol menjadi dua gelas ketika saya keluar”
“ Saya tidak lama lagi akan berhenti merasa bersalah tentang………”
“ Saya meyakini bahwa saya adalah orang yang menarik”
“ Saya akan secara asertif mengekspresikan diri saya ketika………terjadi”
Langkah 3 : Buatlah setiap mahasiswa mulai menuliskan pada sebuah
kertas tentang afirmasi positif yang dipilih. Ketika pikiran-pikiran negatif memasuki
pikiran mereka, buatlah mereka mencatat pikiran-pikiran tersebut dan kemudian
berlanjut menuliskan afirmasi positif menurut format berikut ini:
Afirmasi Positif Pikiran-Pikiran Negatif
“ Saya akan kehilangan “ Saya makan berlebihan
lima pon dalam dua bulan” . ketika saya merasa bosan, atau
“ Saya akan kehilangan kesepian” .
lima pon dalam dua bulan” .

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
“ Saya akan kehilangan
lima pon dalam dua bulan” .
“ Saya akan kehilangan “ Saya akan harus
lima pon dalam dua bulan” . mengembangkan sebuah program
“ Saya akan kehilangan latihan, yang saya benci” .
lima pon dalam dua bulan” .
“ Saya akan kehilangan “ Salah satu alasan mengapa
lima pon dalam dua bulan” . saya gemuk adalah saya selalu
memakan camilan di antara waktu
makan” .
“ Saya akan kehilangan “ Saya harus membatasi
lima pon dalam dua bulan” . jumlah gelas bir yang saya minum
ketika saya keluar-bir memberikan
saya berat badan lebih” .
“ Saya akan kehilangan “ Saya penasaran jika saya
lima pon dalam dua bulan” . benar-benar menginginkan untuk
“ Saya akan kehilangan membuat semua perubahan di
lima pon dalam dua bulan” . mana saya harus menghilangkan
“ Saya akan kehilangan lima pon” .
lima pon dalam dua bulan” .
“ Saya akan kehilangan
lima pon dalam dua bulan” .

Langkah 4 : Mintalah para mahasiswa untuk menuliskan ini selama 10


sampai 15 menit. Mintalah para sukarelawan untuk membagikan apa yang mereka
tuliskan, buatlah kelas membahas hasil-hasil dari menuliskan afirmasi-afirmasi positif.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Salah satu manfaat untuk mengulangi penulisan afirmasi adalah hal tersebut melatih
pikiran untuk menerima afirmasi positif dengan lebih siap.

3. Menilai dan Mengubah Perilaku-Perilaku Disfungsional


Tujuan : Latihan ini dirancang untuk membuat para mahasiswa mengevaluasi hasil-
hasil dari berfokus pada kognisi-kognisi dalam menilai dan mengubah perilaku-
perilaku disfungsional.
Langkah 1 : Jelaskanlah teori, yang digambarkan dalam bab ini, bahwa proses-
proses berpikir merupakan hal yang secara terutama menentukan perilaku. Teori
tersebut menyatakan bahwa alasan-alasan bagi perilaku yang tidak wajar atau
disfungsional dapat selalu diientifikasikan dengan menentukan apa yang sedang
dipikirkan oleh si pelaku saat itu sebelum dan selama tindakan dilakukan.
Langkah 2 : Bagikanlah kelas anda menjadi beberapa kelompok (beragam dari
ukuran dari tiga ke enam). Berikanlah setiap kelompok sebuah perilaku problematis
atau disfungsional. Contoh-contoh meliputi: (a) alkoholisme, (b) penyalahgunaan anak,
(c) bulimia, (d) pemerkosaan kencan, (d) upaya bunuh diri, dan (f) perjudian kompulsif.
Langkah 3 : Instruksikanlah setiap kelompok untuk (a) mengidentifikasikan
proses-proses berpikir yang membuat seseorang untuk terlibat dalam perilaku
disfungsional yang ditugaskan pada kelompoknya, dan (b) mengidentifikasikan
intervensi-intervensi yang akan menjadi paling efektif dalam mengubah pola-pola pikir
si pelaku untuk “ mengobati” perilaku disfungsional. Instruksikanlah setiap kelompok
untuk mengidentifikasikan beberapa strategi atau pilihan intervensi, seperti (dalam
sebuah citra) yang diliputi pekerjaan sosial yakni “ perencanaan pilihan-pilihan” .
Berikanlah kelompok-kelompok yang ada 10 menit atau lebih untuk menuliskan
jawaban-jawaban mereka.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Langkah 4 : Mintalah setiap kelompok untuk memilih seorang perwakilan
untuk membagikan dengan apa kelas apa yang didapatkan kelompok baik proses-
proses berpikir maupun intervensi. Mintalah seorang perwakilan untuk membagikan
apa yang didapatkan kelompok. Kemudian mintalah kelas untuk membahas apakah
proses-proses yang diidentifikasikan oleh perwakilan tersebut (seperti yang
diinstruksikan latihan) atau berfokus pada menjelaskan kejadian-kejadian dan
karakteristik-karakteristik pribadi yang dipikirkan oleh kelompok sebagai hal yang
berkaitan pada perilaku disfungsional. Juga mintalah kelas atau kelompok untuk
memberitahu strategi dan intervensi penting yang telah dilupakan. Lanjutkanlah proses
ini bagi setiap kelompok: seorang perwakilan kelompok menampilkan penemuan-
penemuan kelompok, kemudian dibahas oleh kelas.
Langkah 5 : Setelah presentasi-presentasi dan pembahasan berakhir, mintalah
kelas untuk memberikan pemikiran-pemikiran tentang hasil-hasil dan kesulitan-
kesulitan dalam berfokus pada kognisi-kognisi untuk menilai dan mengubah perilaku-
perilaku disfungsional.

NEURO-LINGUISTIC PROGRAMMING
Neuro-Linguistic Programming (NLP) adalah sebuah model komunikasi yang
dikembangkan baru-baru ini yang menjanjikan untuk memiliki aplikasi substansial
dalam menilai perilaku manusia, dan mengembangkan laporan, dan dalam
mempengaruhi orang lain (dalam pendidikan, berbicara di depan umum, dan
penjualan), dan dalam mengubah perilaku (psikoterapi). NLP dikembangkan oleh John
Grinder, Richard Bandler, dan beberapa ototitas lainnya (Lankton, 1980).
Secara praktis semua tritmen psikoterapis yang digambarkan dalam tulisan ini
dikembangkan oleh para ahli psikiatri dan para ahli psikologi klinis. Secara
berlawanan, NLP dikembangkan secara utama oleh spesialis-spesialis dalam bidang

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
komunikasi dan bahasa. Akar-akar NLP dapat ditelusuri kembali kepada Gregory
Bateson, seorang ahli antropologi. Bateson melakukan beragam proyek penelitian,
termasuk studi-studi dalam antropologi, psikiatri, dan pola-pola komunikasi lumba-
lumba. Salah satu minat Bateson adalah mensintesiskan ide-ide cybernetic dengan
antropologi. Cybernetic adalah pengetahuan tentang teori komunikasi dan kendali, ia
berfokus terutama pada studi komparatif sistem-sistem kendali otomatis-seperti
membandingkan sistem-sistem saraf manusia umum dengan sistem-sistem elektrik-
mekanik.
Pada tahun 1952 Gregory Bateson menerima sebuah beasiswa dari Rockefeller
Foundation untuk menyelidiki komunikasi dalam hipnosis, permainan boneka,
pelatihan binatang, gambar-gambar bergerak popular, dan sifat alami permainan,
humor, schizophrenia, komunikasi neurotis, psikoterapi, sistem-sistem keluarga, dan
terapi keluarga. Staf dalam proyek ini sebagian besar meliputi para ahli analisa
komunikasi dan konsultan-konsultan psikiatri. Ketika penelitian komunikasi ini
berlanjut, sumber-sumber pendanaan lainnya memberikan uang: Macy Foundation,
Foundation Fund for Research in Psychiatry, dan National Institute of Mental Health
(Haley, 1963).
Pada tahun 1970an John Grinder dan Richard Bandler, para spesialis dalam
komunikasi dan linguistik, menjadi terlibat dalam proyek-proyek penelitian ini.
Dengan menggunakan sebuah pendekatan yang mirip dengan yang digunakan Bateson
dan rekan-rekannya, Grinder dan Bandler mempelajari pola-pola komunikasi verbal
dan nonverbal antara para ahli terapi dengan para klien mereka. para ahli terapi meliputi
Salvador Minuchin (lihat Bab 8), Virginia Satir (lihat Bab 8), dan Milton Erickson
(seorang praktisi hipnosis medis terdepan, yang digambarkan dalam Bab 17).
Keunggulan Grinder dan Bandler adalah kemampuan mereka untuk mengamati
pola-pola komunikasi para ahli psikoterapi dan kemudian untuk menggambarkan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
secara rinci apa yang mereka lakukan, patokan-patokan apa saja yang ditanggapi, dan
bagaimana mereka menolong para klien membuat perubahan-perubahan positif.
Deskripsi-deskripsi demikian, secara teoritis, memungkinkan orang lain untuk
mempelajari bagaimana mengulangi prosedur-prosedur yang sama dan mendapatkan
hasil-hasil yang mirip.
Sejumlah tulisan telah diterbitkan menggambarkan aplikasi model komunikasi
NLP untuk bisnis, penjualan, pendidikan, dan psikoterapi (Bandler & Grinder, 1975,
1976b,1979, 1982; Haley, 1973; Laborde, 1984; Lankton, 1980). NLP secara utama
merupakan sebuah model komunikasi. NLP tidak memberikan sebuah teori
perkembangan kepribadian atau psikopatologi. Pengingat dalam bab ini akan berfokus
terutama pada aplikasi-aplikasi NLP pada konseling dan psikoterapi.

Definisi NLP
Neuro-Linguistic Programming adalah studi struktur pengalaman subjektif
(Lankton, 1980, hal. 13). Ia membuat pola-pola eksplisit perilaku dan perubahan yang
sebelumnya hanya dapat dipahami secara intuitif. Komponen-komponen isilah neuro-
linguistic programming merujuk pada:
 Neuro: sistem saraf yang menjadi saluran penerimaan pengalaman dan
diproses melalui lima panca indra.
 lingusitic: sistem-sistem bahasa dan komunikasi nonverbal melalui di mana
representasi-representasi neural mendapat kode, perintah, dan makna.
 Programming: kemampuan untuk mengenali sistem-sistem komunikasi dan
neurologis kita untuk mencapai hasil-hasil spesifik yang diinginkan.
NLP adalah sebuah model daripada sebuah teori perilaku manusia. Sebuah teori
adalah sebuah hipotesis yang berupaya menjelasakan atau menafsirkan alasan-alasan
mengenai hubungan hal-hal sebagaimana adanya. Sebuah model, secara berlawanan,

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
adalah sebuah duplikat atau pola akan fenomena yang sudah ada, di mana, seperti yang
dirancang, dapat ditiru atau diciptakan kembali. Sebuah model hanya menghadapi
dengan apa yang dapat diamati. Contohnya, sebuah teori tentang penyebab-penyebab
apa saja yang menyebabkan perubahan-perubahan terapi yang berupaya
menspesifikasikan variabel-variabel kunci yang mengarah pada perubahan-perubahan
positif dalam para klien (seperti klien yang teromotivasi untuk berubah). Sebuah
modek, secara berlawanan, berfokus pada perumusan sebuah kerangka kerja. Kerangka
kerja yang digambarkan oleh NLP menampilkan komunikasi verbal dan nonverbal
antara orang-orang. Faktor-faktor yang terspesifikasikan dalam kerangka kerja dapat
kemudian diamati untuk menentukan jenis-jenis pesan nonverbal dari seorang ahli
terapi yang mengarah pada respon-respon yang membaik atau diinginkan dari para
klien.

Sistem-Sistem Representasional
Sebelum membaca lebih lanjut, ambillah beberapa menit untuk
mengidentifikasikan apa yang anda paling ingat tentang:
Toko sayuran terakhir yang anda kunjungi.
Apa yang anda lakukan pada ulang tahun terakhir anda.
Hari-hari anda di SMA.
Pengalaman seksual yang paling anda nikmati.
Liburan yang paling anda nikmati.
Setiap orang memiliki, setidaknya, lima sistem sensoris melalui di mana mereka
berhubungan dengan realitas fisik. Lima panca indra ini adalah mata (visual), telinga
(auditori), kulit (kinestetik), hidung (penciuman), dan lidah (rasa). Bagi setiap situasi
ini anda mungkin merespon dengan ingatan-ingatan yang meliputi hanya dua panca
indra. Dalam contoh toko sayuran anda dapat mengingat sebuah gambaran buah-buah

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
dan sayuran segar, atau anda dapat mendengar kebisingan kegiatan di tempat tersebut,
atau mengingat merasakan tisu kamar mandi Charmin, atau mengingat mencium aroma
bunga segar, atau mengingat mencicipi sampel-sampel pizza gratis.
Kapanpun seseorang berinteraksi dengan dunia eksternal, ia melakukannya melalui
representasi-respresentasi sensoris. Hubungan sensoris anda dengan sebuah toko
sayuran cenderung agak berbeda dengan hubungan sensoris teman terdekat anda. Hal
yang sama berlaku bagi setiap orang. Pengalaman seksual yang paling anda nikmati
adalah pengalaman visual, di mana partner anda dapat bersifat auditoria tau
kinestetik.Kita mengoperasikan reprsentasi-representasi sensoris kita akan dunia, dan
bukan dalam “ kenyataan” dalam dirinya sendiri. Representasi-representasi sensoris
kita memberikan kita sebuah peta teritori. Namun peta tersebut bukanlah teritori.
Menurut NLP, untuk menilai tindakan-tindakan orang lain secara akurat,
merupakan hal penting untuk mengidentifikasikan sistem representasi sensoris yang
digunakan oleh orang tersebut. Jika kita mampu mengidentifikasikan sistem
representasional orang lain dan ‘ bergabung dengan’ sistem tersebut dalam interkasi-
interaksi kita dengan orang tersebut, komunikasi cenderung mengalir dengan halus dan
laporan akan meningkat. Secara berlawanan, jika dua orang tidak mampu untuk
“ bergabung” bersama dengan sistem representasi yang sama, komunikasi cenderung
bersifat tangensial, dan laporan akan mendapat pengaruh buruk. Muatan penting poin
ini amat besar. Para penjual, para pendidik, dan para ahli terapi yang berhasil mampu
mengidentifikasikan dan “ bergabung” dengan sistem-sistem representasional orang-
orang yang mereka coba pengaruhi. Ketika seseorang (pembeli, pelajar, atau klien)
telah bergabung dengan pembawa pengaruh, pembawa pengaruh tersebut mampu
mengarahkan orang yang bersangkutan kepada arah yang dipilihnya. Untuk sebuah
cakupan terapi yang luas, pendidikan, dan penjualan dapat didefinisikan meliputi dua
tahap: (1) penemuan cara pembawa pengaruh untuk bergabung dengan orang yang akan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
dipengaruhi, dan (2) pembawa pengaruh kemudian membawa orang yang
dipengaruhinya pada sebuah arah yang baru (dan, seseorang berharap, positif).
Merupakan sebuah hal yang harus diperhatikan bahwa terdapat beberapa kemiripan-
kemiripan menonjol antara para pekerja sosial dan orang-orang bagian penjualan (lihat
Exhibit 24.1).
Terdapat beberapa cara bagi seorang pembawa pengaruh untuk bergabung dengan
orang yang akan dipengaruhi. Cara-cara tersebut meliputi (1) bergabung dengan
sistem-sistem representasional seseorang, (2) mengetahui subjek-subjek yang menjadi
minat orang tersebut, dan (3) mencermini (tanpa kesadaran orang tersebut akan
pencerminan) komunikasi nonverbal-seperti postur, gesture, dan pola-pola pernapasan.

CONTOH KASUS
Sistem-Sistem Representasional Sensoris
Sebuah pasangan yang telah menikah mencari konseling ketika mereka merasakan
bahwa hubungan seksual mereka mengalami gangguan dengan amat cepat. Setelah
laporan telah dibuat, konselor menanyakan setiap anggota pasangan, “ Apakah yang
merangsang anda secara seksual?” . Sang suami menyebutkan bahwa ia terangsang
ketika mendengar hal-hal romantis yang dikatakan kepadanya, di mana sang istri
menyebutkan bahwa ia terangsang ketika ia mengalami sentuhan lembut dalam
berbagai area. Secara tidak mengejutkan, sang suami mencoba menyenangkan sang
istri dengan mengatakan hal-hal romantis (tanpa banyak menyentuh istrinya), dan sang
istri berupaya menyenangkan suaminya dengan menyentuhnya dalam keadaan tidak
bersuara. Sebuah deskripsi sederhana pentingnya “ bergabung” dengan sistem
representasional orang lain secara cepat meningkatkan kehidupan asmara mereka
dengan sang suami menghabiskan waktu mencumbui istrinya dengan lembut dan sang
istri secara romantis berbicara pada suaminya.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Predikat-Predikat Sistem Representasional
Kata-kata keterangan, sifat, dan kerja yang dipilih orang sementara berbicara
mengungkapkan sistem sensoris yang paling mereka sadari pada saat tersebut. NLP
menyebut kata-kata ini sebagai predikat. Dalam kebudayaan kita sebagian besar orang
menggunakan sistem-sistem visual, auditori, dan kinestetik. (sedikit kebudayaan lain
dalam negara-negara lain menempatkan penekanan lebih besar pada penciuman dan
pencicipan). Jika setidaknya si pendengar mawas akan sistem representasional yang
digunakan si pembicara, si pendengar dapat salah menafsirkan apa yang dimaksud oleh
si pembicara. Contohnya, ketika seorang klien mangatakan, “ Saya memahami anda” ,
pesan yang dimaksudkan bergantung pada sistem representasional yang digunakannya:
Visual : “ Ini terlihat bagus pada saya” .
Auditori : “ Saya mendengarkan anda dengan jelas” .
Kinestetik : “ Apa yang anda katakan terasa benar pada saya” .
Dalam pertumbuhan, orang belajar menyukai sistem-sistem representasional untuk
kejadian-kejadian tertentu. Orang-orang tidak secara keseluruhan bersifat visual,
auditori, atau kinestetik. Citra yang digunakan bergantung pada situasi, konteks. Ia
tampak, walaupun demikian, bahwa orang-orang cenderung memiliki mode utama, di
mana mereka cenderung menggunakan salah satu mode daripada yang lain (Laborde,
1984, hal. 57).
Exhibit 24.2 mengidentifikasikan sejumlah “ predikat-predikat” visual, auditori,
dan kinestetik. Predikat-predikat yang dijodohkan secara salah mencampuri dengan
komunikasi dan laporan, seperti yang diindikasikan oleh contoh berikut:
Klien: Saya merasa sangat buruk! IRS telah mengaudit saya, dan saya tidak dapat
menghadapinya!

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Konselor: Saya mendengarkan anda. Hal itu terdengar buruk, namun beritahu saya
apa yang begitu buruk.
Klien: Saya tidak dapat mengangkat perasaan ini. Perasaan ini begitu berat!
Konselor: Ya, namun saya tidak mendengar apa yang menjadi masalah. Dengarkan
saya, dan beritahu saya apa yang begitu buruk!
Dalam ilustrasi ini, klien cenderung memandang konselor sebagai orang yang tidak
sensitif. Sebuah contoh predikat-predikat yang terjodohkan dalam situasi ini adalah:
Klien: Saya merasa amat buruk! IRS telah mengaudit saya dan saya tidak dapat
menanganinya!
Konselor: Anda merasa jika anda hancur karena beratnya audit yang dilakukan.
Klien: Itulah yang menjadi masalah. Saya terjatuh, namun sedang mencoba
bertahan.
Konselor: Apa yang membuat anda merasa harus bertahan?
Klien: dukungan dan pemahaman dari istri saya, akuntan pajak saya, dan anda.
Dalam contoh ini konselor memfrasekan tanggapan-tanggapannya agar dapat
konsisten dengan sistem representasional klien, yang mengarahkan pada pemahaman
yang lebih baik dan meningkatkan kepercayaan dan laporan.

EXHIBIT 24.1
Pekerja Sosial dan Karyawan Penjualan: Persamaan dan Perbedaan
Terdapat beberapa persamaan menonjol dalam karakteristik esensial pekerja sosial
dan karyawan penjualan yang berhasil. Saya mawas bahwa beberapa orang-orang suci
dalam pekerjaan sosial akan menganggap ini sebagai hal yang merendahkan untuk
membandingkan karakteristik-karakteristik para pekerja sosial (yang berupaya
memberdayakan orang-orang untuk mencapai pemenuhan diri dan keberadaan sosial
yang baik) dengan karakteristik-karakteristik para karyawan penjualan (yang

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
dipandang sebagai pihak yang pada umumnya menjual lebih untuk pendapatan
pribadi). Sebagai tanggapan bagi kritisisme ini, saya mendesak bahwa para orang suci
tersebut mencerminkan pada persamaan dan perbedaan antara dua pekerjaan tersebut.
Terdapat sebuah bukti yang dipertimbangkan bahwa para pekerja sosial secara sering
harus “ menjual” diri mereka sendiri dan pelayanan-pelayanan yang mereka berikan
(Linkton, 1980). Tampak bahwa para pekerja sosial kompeten harus memiliki
keterampilan-keterampilan penjualan.
Tujuan-Tujuan yang Berlawanan antara Pekerjaan Penjualan dan Sosial
Terdapat perbedaan-perbedaan luas antara tujuan-tujuan para karyawan penjualan
dan para pekerja sosial. Tujuan utama karyawan penjualan adalah menjual produk dan
pelayanan. Seorang karyawan penjualan yang berhasil menerima gaji tinggi dan komisi
besar karena ia amat berhasil dalam menjual produk dan pelayanan. Seorang pekerja
sosial adalah seorang “ agen perubahan” -seorang penolong yang dipekerjakan secara
spesifik bagi tujuan penciptaan perubahan yang direncanakan. Sebagai seorang agen
perubahan, seorang pekerja sosial diharapkan untuk terampil pada bekerja dengan para
individu, kelompok, organisasi, dan keluarga untuk membawa perubahan-perubahan
komunitas.
Di samping perbedaan-perbedaan luas dalam tujuan-tujuan, beberapa karakteristik
yang dibutuhkan oleh seorang pekerja sosial untuk mencapai tujuan-tujuan mereka
memiliki persamaan-persamaan menonjol dengan karakteristik-karakteristik yang
dibutuhkan oleh para karyawan penjualan untuk mencapai tujuan mereka. Para ahli
teori yang mengembangkan neuro-linguistic programming telah mengidentifikasikan
karakteristik berikut ini.
Kapasitas untuk Mempengaruhi adalah Sebuah Keterampilan Kunci. Para ahli teori
NLP menyatakan bahwa sebuah kapasitas esensial yang dibutuhkan oleh para pekerja

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
sosial, karyawan penjualan, ahli psikoterapi, pendidik, dan pembicara di muka umum
adalah kapasitas untuk mempengaruhi orang lain.
NLP memperhatikan bahwa proses mempengaruhi orang lain meliputi dua langkah:
(1) si pembawa pengaruh menemukan cara untuk “ bergabung” dengan orang yang
akan dipengaruhi, dan (2) si pembawa pengaruh kemudian membawa orang tersebut
dalam sebuah arah (dan dipilih sebagai positif) baru. Ketika pengaruh (pembeli, klien,
atau pelajar) telah tergabung dengan si pembawa pengaruh, si pembawa pengaruh lebih
baik mampu membawa orang yang dipengaruhi ke dalam arah yang diinginkan.
Konsep-konsep yang dikembangkan oleh NLP memiliki kekuatan yang patut
dipertimbangkan dalam memudahkan para pembawa pengaruh untuk mempengaruhi
orang secara lebih efektif.

Proses “ Penggabungan” Meliputi Pembangunan Sebuah Hubungan


Menurut NLP, langkah pertama untuk mempengaruhi seseorang meliputi
pembangunan hubungan si pembawa pengaruh dengan orang yang akan dipengaruhi.
Proses ini juga telah disebut sebagai pembangunan laporan.
Sejumlah pedoman telah dikembangkan bagi para pekerja sosial untuk digunakan
dalam membangun laporan dengan para klien. Banyak pedoman-pedoman tersebut
dirangkum di sini.
1. Pekerja sosial harus berupaya membangun sebuah atmosfir yang tidak
mengancam, nyaman di mana klien merasa aman untuk mengkomunikasikan
kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginannya sementara diterima sebagai
seseorang.
2. Untuk lebih baik mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-
keinginan para klien, pekerja sosial harus mengamati secara seksama komunikasi
verbal dan nonverbalnya.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
3. Dalam kontak-kontak awal dengan klien pekerja sosial harus “ menjual”
dirinya sendiri-tidak sebagai orang yang arogan namun sebagai seorang yang
berwawasan luas, penuh pemahaman yang akan mampu menolong dan yang berusaha
menemukan cara-cara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-
keinginan klien.
4. Pekerja sosial tidak tertawa atau terkejut ketika klien mulai berbicara
tentang kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginannya. Ledakan emosional,
bahkan jika halus, akan membawa klien untuk meyakini bahwa pekerja sosial tidak
akan memahami masalah-masalahnya.
5. Pekerja sosial harus secara umum bersifat tidak menghakimi, tidak
moralistik. Pekerja sosial harus menunjukan penghargaan bagi nilai-nilai klien dan
tidak boleh menjual nilai-nilai pribadinya kepada klien.
6. Pekerja sosial tidak boleh berupaya membangun sebuah hubungan superior-
inferior dengan klien. Daripada itu, pekerja sosial harus menyatakan bahwa klien
adalah seorang yang berharga, “ setara” dalam hubungan. Jika klien merasakan bahwa
diperlakukan sebagai pihak yang inferior, ia akan kurang termotivasi untuk
mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginannya.
7. Pekerja sosial secara umum tidak boleh menggunakan teknik-teknik
bertekanan tinggi yang dirancang untuk memaksa klien memilih sebuah pilihan yang
tidak diinginkannya. Daripada itu, pekerja sosial harus membuat variasi pilihan,
menolong klien menilai apa saja yang timbul dan hasil-hasil setiap pilihan, dan
menyatakan bahwa klien memiliki hak dan tanggungjawab untuk mengambil
keputusannya sendiri.
8. Pekerja sosial harus menggunakan sebuah “ kosakata bersama” dengan
klien. Hal ini tidak berarti bahwa pekerja sosial harus menggunakan kata-kata slang
dan aksen yang sama dengan klien. Jika klien menganggap ucapan pekerja sosial

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
sebagai artifisial, maka ia akan secara serius tersinggung. Pekerja sosial harus
menggunakan kata-kata yang dapat benar-benar dipahami oleh klien dan tidak ofensif.
9. Nada suara pekerja sosial dan komunikasi nonverbalnya harus menyatakan
bahwa pekerja sosial secara empatik memahami keinginan-keinginan dan kebutuhan-
kebutuhan klien dan peduli akan perasaan-perasaan klien.
10. Pekerja sosial harus menyatakan bahwa klien adalah seorang penting,
bergharga.
11. Pekerja sosial adalah seorang pendengar yang baik yang memiliki
keterampilan-keterampilan untuk mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan dan
keinginan-keinginan klien
Persamaan-persamaan antara karakteristik-karakteristik esensial yang dibutuhkan
oleh para pekerja sosial dan para karyawan penjualan dapat didemonstrasikan dengan
memperhatikan bahwa para karyawan penjualan juga harus “ bergabung dengan” para
pembeli. Merupakan hal yang menarik bahwa pedoman-pedoman bagi para karyawan
penjualan secara menonjol mirip dengan pedoman-pedoman bagi pekerja sosial dalam
membuat raport dengan para klien. Hal ini dengan mudah didemonstrasikan dengan
memperhatikan pertukaran kata-kata “ pekerja sosial” untuk “ karyawan penjualan”
dan “ klien” untuk “ pembeli” dalam pedoman-pedoman di atas akan memberikan
pedoman-pedoman yang dapat digunakan para karyawan penjualan untuk membuat
raport dengan para pembeli.
Seperti yang diperhatikan sebelumnya, para pekerja sosial memiliki keterampilan
dalam bekerja dengan para individu, kelompok, keluarga, organisasi, dan komunitas.
Mereka berfungsi dalam peran-peran yang meliputi konselor, perantara, advokat, dan
konsultan. Mereka juga bekerja dengan para administrator, pegawai publik, para
anggota dewan sumber-sumber pendanaan, dan professional-profesional menolong di
agensi-agensi lain. Secara praktis semua pekerjaan ini, esensi pembawaan perubahan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
positif yang meliputi pembuatan raport pekerja sosial dan berupaya untuk mengarahkan
orang tersebut untuk dipengaruhi dalam arah-arah yang baru.

Perbedaan-Perbedaan antara Para Pekerja Sosial dan Para Karyawan


Penjualan
Akan menjadi kesalahan yang serius, walaupun demikian, untuk menyimpulkan
bahwa karena persamaan-persamaan ini para pekerja sosial juga dapat dipandang
sebagai para karyawan penjualan. Perbedaan-perbedaan ini meliputi:
1. Para pekerja sosial memiliki tanggungjawab untuk menolong orang
menemukan cara-cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, finansial, rekreasional,
dan kesehatan. Para karyawan penjualan berfokus pada menjual produk atau pelayanan.
Para karyawan penjualan lebih banyak termotivasi oleh keuntungan.
2. Para pekerja sosial secara substansial menerima lebih banyak pelatihan
dalam area-area berikut: perilaku manusia, teknik-teknik intervensi, penelitian,
kebijakan sosial, masalah-masalah sosial, dan pelayanan-pelayanan sosial. Para
karyawan penjualan menerima lebih banyak pelatihan dalam pengetahuan produk dan
dalam teknik-teknik penjualan. Beberapa teknik penjualan secara praktis tidak pernah
digunakan oleh para pekerja sosial, seperti menghibur pembeli (klien) secara
berlebihan dalam harapan-harapan bahwa ia akan lebih mampu untuk melakukan
pembelian yang lebih besar.
3. Para pekerja sosial berfokus pada perbaikan kehidupan orang. Salah satu
penghargaan dan kepuasan tertinggi dalam pekerjaan sosial berasal dari melihat orang-
orang bertumbuh dan berkembang dari pelayanan-pelayanan yang diberikan. Para
karyawan penjualan berfokus pada penjualan produk dan layanan-layanan. Sebuah
penghargaan utama bagi para karyawan penjualan adalah menjual lebih banyak lagi
dan mendapatkan lebih banyak uang.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
4. Laborde (1984), dalam Mempengaruhi dengan Integritas, membuat sebuah
perbedaan penting antara “ mempengaruhi dengan integritas” dengan memanipulasi.
Dala, manipulasi, si pembawa pengaruh mengarahkan orang yang bersangkutan dalam
sebuah arah yang merupakan minat diri si pembawa pengaruh. “ Mempengaruhi
dengan integritas” meliputi pengarahan seorang yang akan dipengaruhi kepada sebuah
arah yang merupakan minat terbaik orang tersebut. Beberapa karyawan penjualan telah
memiliki gambaran untuk berusaha mempengaruhi para pembeli dalam minat diri
karyawan penjualan (yakni, menjual produk dan pelayanan sehingga karyawan
penjualan mendapatkan manfaat finansial). Para pekerja sosial telah memiliki obligasi
etis yang kuat untuk mempengaruhi dengan integritas.
5. Para pekerja sosial berfokus pada menolong para klien menilai dan
mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan personal, sosial, emosional, kesehatan, dan
finansial. Ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut diidentifikasikan, peran pekerja sosial
adalah untuk menolong para klien mengeksplor alternatif-alternatif untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Para karyawan penjualan pada umumnya tidak menjadi
terlibat dalam menilai dan mengidentifikasikan keinginan-keinginan membeli para
pembeli, dan kemudian memberitahu para pembeli tentang produk-produk atau
pelayanan-pelayanan yang mereka jual untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut.
Terkadang para karyawan penjualan berupaya menstimulasikan sebuah keinginan
membeli dalam diri para pembeli.
6. Fokus hubungan seorang pekerja sosial dan klien adalah untuk menciptakan
sebuah atmosfir yang tidak mengancam di mana klien diharapkan untuk
mengkomunikasikan kekhawatiran-kekhawatiran pribadinya, yang beberapa di
antaranya penuh dengan muatan emosi. Dalam sebuah hubungan karyawan penjualan-
pembeli, pembeli diharapkan untuk membagikan keinginan-keinginan pembeliannya.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Pada umumnya hal tersebut dianggap tidak sesuai bagi pembeli untuk membagikan
kekhawatiran-kekhawatiran yang penuh dengan muatan pribadi.

Kebergunaan Perbandingan Para Pekerja Sosial dan Para Karyawan


Penjualan
Mengapa penting untuk membandingkan sifat alami pekerjaan yang dilakukan oleh
para pekerja sosial dengan pekerjaan yang dilakukan oleh para karyawan penjualan?
Manfaat utama perbandingan ini adalah untuk menekankan bahwa dalam membangun
hubungan-hubungan dengan para klien seorang pekerja sosial harus secara tidak arogan
“ menjual dirinya sendiri” sebagai seseorang yang hangat dan penuh kepedulian yang
memiliki keahlian dan yang mampu membantu para klien dengan kesulitan-kesulitan
yang mereka alami. Dalam proses pembangunan sebuah hubungan, para pekerja sosial
harus menampilkan diri mereka sendiri dalam sebuah cara yang memiliki persamaan-
persamaan dengan cara-cara di mana para karyawan penjualan yang berhasil
menampilkan diri mereka sendiri kepada para pembeli.
Perbandingan ini juga menekankan konseptualisasi (yang ditingkatkan oleh NLP)
bahwa sebuah karakteristik esensial tidak hanya dibutuhkan oleh para pekerja sosial
dan para karyawan penjualan tetapi juga dengan para pendidik dan para pembicara di
depan umum adalah sebuah kapasitas untuk mempengaruhi orang lain. Proses
pemberian pengaruh ini meliputi dua langkah: “ bergabung dengan” orang yang akan
dipengaruhi, dan “ membawa” orang yang akan dipengaruhi dalam arah baru (yang
dipilih konstruktif). Dalam proses pemberian pengaruh ini si pembawa pengaruh harus
memperhatikan tidak hanya pada komunikasi verbal tetapi juga pada komunikasi
nonverbal sehingga kondisi-kondisi optimal diciptakan bagi prospektif orang yang
akan dipengaruhi agar mau “ bergabung dengan” si pembawa pengaruh. Aspek-aspek

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
komunikasi nonverbal yang harus diperhatikan si pembawa pengaruh meliputi postur,
orientasi tubuh (perihal di mana si pembawa pengaruh menghadap atau tidak
menghadap orang yang akan dipengaruhi dengan kepala, tubuh, dan kaki), ekspresi-
ekspresi wajah, kontak mata, gestur-gestur, penampilan pakaian dan pribadi, dan
penampilan kantor (Mehrabian, 1981).
Para pekerja sosial memiliki sebuah kewajiban etis untuk mempengaruhi para klien
dengan integritas daripada bagi pendapatan pribadi. Beberapa di antara anda dapat
tidak menyukai memandang para pekerja sosial sebagai para pembawa pengaruh dan
dapat menyatakan bahwa para klien memiliki sebuah hak untuk determinasi diri dan
bahwa para pekerja sosial selanjutnya tidak berupaya untuk mempengaruhi mereka.
Dalam kenyataannya, para pekerja sosial harus berupaya mempengaruhi para klien
dalam arahan-arahan konstruktif. Jika hal tersebut bukan merupakan tujuan mereka,
maka kemudian peran-peran mereka akan kosong dan tidak bermakna.
Mengkonseptualisasikan para pekerja sosial sebagai para pembawa pengaruh tidak
konsisten dengan hak-hak para klien pada determinasi diri sendiri. Hak determinasi diri
sendiri meyakini bahwa para klien memiliki sebuah hak untuk mengungkapkan
pendapat-pendapat pribadi mereka dan bersikap atas mereka, selama mereka tidak
mengganggu hak-hak orang lain. Dalam hubungan karyawan penjualan-pembeli
dengan jelas dikenali bahwa pembeli mempertahankan hak untuk memutuskan apa
yang akan ia beli, bahkan walaupun karyawan penjualan berperan sebagai pembawa
pengaruh. Secara serupa, dalam hubungan pekerja sosial-klien klien yang bersangkutan
mempertahankan hak untuk mengungkapkan pendapat-pendapatnya, dan membuat
keputusan-keputusannya sendiri. Seorang pekerja sosial bertindak sebagai pembawa
pengaruh dengan menggunakan proses penyelesaian masalah. Langkah-langkah dalam
proses ini adalah:
1. Menolong para klien mengidentifikasikan masalah dan kebutuhan mereka.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
2. Menolong para klien mengidentifikasikan alternatif-alternatif untuk
memenuhi kesulitan dan kebutuhan ini.
3. Menolong para klien menilai akibat dan hasil dari alternatif-alternatif ini.
4. Mendesak para klien memilih dan mengimplementasikan satu atau lebih
dari alternatif-alternatif ini.
5. Menolong para klien mengevaluasi hasil-hasil strategi-strategi yang
diimplementasikan ini untuk jangka waktu yang masuk akal.

Sumber: Materi ini diadaptasikan dari Charles Zastrow, “ Para Pekerja Sosial dan
Para Karyawan Penjualan: Persamaan dan Perbedaan” , Journal of Independent Social
Work, 4, no. 3, 1990, hal. 7-16.

Patokan-Patokan Akses Mata


Mendengarkan predikat-predikat dalam ucapan orang lain merupakan salah satu
cara yang dapat diandalkan untuk menentukan sistem representasional mana yang
dominan pada waktu yang diberikan. Patokan-patokan akses mata adalah cara lainnya.
Pada umumnya sistem sensoris dapat diifentifikasikan dengan patokan-patokan akses
mata, seperti yang digambarkan dalam Gambar 24.1.
Sebagaimana dengan aturan-aturan, terdapat pengecualian-pengecualian:
contohnya, beberapa sistem representasional kinestetik orang-orang kidal adalah sorot
mata yang mengarah ke bawah dank e kiri, dengan mata ke bawah dan ke kanan
menjadi sistem representasional auditori mereka. Untuk menguji informasi ini,
tanyakan teman-teman atau kenalan anda pertanyaan-pertanyaan seperti “ Apa yang
anda paling ingat tentang liburan terakhir anda?” untuk melihat bagaimana patokan-
patokan akses mata cenderung konsisten dengan tanggapan-tanggapan yang berupa
visual, kinestetik, atau auditori.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Sebuah contoh sederhana akan mengilustrasikan pentingnya mengenali patokan-
patokan akses mata. Ketika para orang tua sedang menghukum anak-anak mereka,
merupakan hal yang umum dalam masyarakat kita bagi para orang tua untuk menjadi
marah ketika anak melihat ke bawah. Para orang tua tersebut yang menjadi kesal
berasumsi bahwa anak-anak mereka sedang mengabaikan apa yang mereka katakan
ketika mereka melihat ke bawah. Mereka bahkan dapat berteriak, “ Lihat saya ketika
saya berbicara dengan kamu!” . Dalam kenyataannya, mata yang melihat ke bawah
adalah sebuah tanda bahwa anak-anak tersebut merasa buruk tentang tindakan mereka
yang salah-di mana merupakan perasaan yang diinginkan para orang tua dalam anak
mereka dalam situasi-situasi demikian.

EXHIBIT 24.2
Predikat-Predikat untuk Mengidentifikasikan Sistem-Sistem
Representasional Sensoris
Visual Auditori Kinestetik
Tampak Audibel Mundur
Jelas Buzz Runtuh
Warna-warni Berbicara Memantul
ganda
Rabun dekat Kejutan Mencumb
telinga u
Menduga Gema Menangka
p
Melirik Mendengar Dingin

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Rabun jauh Mendengar Menggali
dari ke dalam
Horizon Senada Merasaka
dengan n
Mengilustrasi Mendengark Lunak
kan an
Citra Keras Berpegan
gan
Dalam gelap Keluar dari Menangan
hidung i
Menatap Bising Keras
Mengamati Dieja Memegan
g
Meninjau Diam Menyetrik
a
Gambar Menyuarkan Menekan
kembali
Melambangka Membunyik Menata
n an bel otak anda
Memindai Meraung Berlari
melalui
Melihat Menderu Sensitif
Menunjukan Berkerat Dapat
dirasakan
Titik Suara Terjatuh
pada
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Samar-samar Menghilang Melempar
kan suara
Visi Bergemuruh Menyentu
h
Menonton Membisikan Rasa
sentuhan

3. KETERAMPILAN KONSELING UNTUK BERKOMUNIKASI DAN


MELIBATKAN DIRI
Seden Janet (2003), membuktikan bahwa:
a. Hubungan-hubungan tetap pada jantung praktik yang efektif
b. Kode etik penghargaan dan penghormatan terhadap orang lain mendasari
konseling dan praktik pekerjaan sosial
c. Masih terdapat kebutuhan akan pekerjaan sosial berdasarkan proses dan
difasilitasi oleh keterampilan-keterampilan pekerjaan sosial yang baik
d. Pekerjaan yang dilakukan dalam hubungannya dengan transisi kehidupan
dan krisis mengandung arti bahwa para pekerja sosial perlu untuk dilengkapi dengan
peran-peran pendukung konseling.
e. Para paktisi menunjukkan betapa pentingnya keterampilan-keterampilan
konseling dalam praktik sehari-hari mereka
f. Penelitian kedalam praktik efektif mendukung pesan-pesan ini.
Keterampilan yang dibutuhkan untuk melepaskan interaksi-interaksi manusia
berasal dari praktik casework sosial (Richmond 1922; Perlman 1957; Hollis 1964) dan
telah secara subsekuen dikembangkan oleh yang lainnya. (Coulshed 1991). Casework
sosial memiliki asal-usulnya dalam literatur psikoanalisis dan berkaitan yang telah

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
melekatkan profesi-profesi menolong meliputi penanganan pengobatan, konseling,
pendidikan, dan pastoral. Sebuah inti dari kegiatan mendengar secara derivatif,
mengunjungi dan keterampilan-keterampilan konseling lainnya telah terbukti berguna
dalam sebuah ragam tugas-tugas komunikasi dan hubungan. Komunikasi dalam praktik
pekerjaan sosial meliputi lebih banyak dari sekedar membagi informasi. Ia adalah
sebuah proses di mana pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, ide-ide dan harapan-harapan
tidak hanya ditukar antar orang, namun juga harus dipahami bersama. Komunikasi-
komunikasi verbal dan non verbal juga digunakan untuk:
 Memindahkan dan membagi informasi
 Membangun hubungan-hubungan
 Menukar ide-ide dan persepsi
 Membuat perubahan
 Menukar sikap-sikap, nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan
 Mencapai tujuan-tujuan pengguna layanan dan praktisioner

Mengenali komunikasi cara lain


Komunikasi tidak terjadi dalam sebuah kondisi vakum. Para pekerja sosial harus
menjadi sensitif pada setiap orang dan konteks-konteks mereka yang lebih luas untuk
sebuah pertukaran pemahaman-pemahaman yang berhasil. Interaksi-interaksi setiap
orang dengan lingkungan sosial mereka sendiri telah membentuk cara mereka
memandang dan menafsirkan dunia. Tantangannya adalah untuk belajar membuat
masuk akal akan apa yang dibawa orang untuk setiap penghadapan, sebagaimana
contoh praktik pertama yang digambarkan dalam babini. Para praktisioner harus
menghargai nilai-nilai dan keyakinan orang-orang lain sekonsisten mungkin dengan
otoritas profesional dan otoritas mereka.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Makna-makna harus dengan cermat diperiksa dan dalam setiap pertukaran
penanaganan harus ditanggapi dengan mawas, dan mengurangi, halangan-halangan
pada komunikasi yang dapat datang dari banyak perbedaan antara para individu seperti:
otoritas dan kekuatan; bahasa; kemampuan dan ketidakmampuan; kepribadian; latar
belakang; gender; kesehatan; usia; ras; dan kelas. Halangan-halangan lain yang dapat
menghambat komunikasi, seperti: lingkungan; tekanan waktu terbatas yang ada;
keterlibatan orang lain; lingkungan fisik; atau interupsi-interupsi. Komunikasi yang
tulus hanya dicapai jika halangan-halangan tersebut dipertimbangkan dan dikerjakan
atau dihilangkan. Ini adalah sebuah bagian perkembangan pendekatan anti opresif dan
anti diskriminasi pada komunikasi.
Seden Janet (2005) mengutip Lago dan Thompson tentang halangan-halangan
kultural pada komunikasi dalam konseling, menyatakan sebuah ragam dimensi yang
memungkinkan untuk dipertimbangkan:

“Bahasa, waktu, konteks, tujuan pertemuan, masing-masing membawa


prasangka dan sikap mereka terhadap satu sama lain, lokasi pertemuan,
adat/ritual, bau, usia, sentuhan, ketidakmampuan, dekorasi, pakaian, perhiasan,
kekuatan institusional pribadi, ekspektasi-ekspektasi, persepsi-persepsi sejarah
pribadi sebelumnya, konteks pertemuan, mengapa mereka melakukan
pertemuan, kebiasaan-kebiasaan perilaku menyapa dan bertemu, gender, buah-
buah pikiran akan perilaku yang dapat diterima/tidak dapat diterima, sistem-
sistem etika/moral, proyeksi-proyeksi, perbedaan-perbedaan politik, teori-teori
komunikasi pribadi, penampilan fisik, tinggi, berat badan, perilaku non
verbal.” (1996:40).

Setiap pertemuan antara dua manusia, setiap mereka membawa prasangka,


pengkondisian dan agenda-agenda kultural, dapat tampak memiliki dimensi-dimensi
kompleks. Lago dan Thompson (1996:41) menyatakan bahwa konselor dapat memiliki
kesulitan yang dipertimbangkan dalam memberikan secara utuh memberikan inti
kondisi-kondisi terapik seperti yang didefinisikan oleh Rogers (1961) bagi terjadinya
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
terapi yang berhasil, yakni penerimaan atau paham akan tidak menghakimi dan
berpendapat bahwa kemawasan dimensi-dimensi kultural akan konseling tidak boleh
digunakan untuk menutup prasangka atau rasisme dalam diri konselor.
Dimensi-dimensi perbedaan ini memiliki arti bahwa para pekerja sosial harus
bersikap fleksibel dalam praktik mereka. tambahan otoritas pekerjaan sosial melalui
peran dan hukum menambahkan sebuah dimensi kritik pada penghadapan-
penghadapan manusia yang terjadi dalam sebuah ragam tatanan kantor dan rumah.
Pertimbangan para pekerja sosial untuk menghindari diskriminasi dalam melakukan
peran-peran mereka membuatnya penting secara khusus untuk mengurangi halangan-
halangan komunikasi sejauh mungkin. Walaupun demikian, hal ini harus diimbangi
dengan kemawasan akan peran dan fungsi, sebagaimana dengan peringatan tentang
kekuatan yang tertupi atau tidak disadari pada bagian pekerja sosial. Aspek-aspek hal
ini akan dipertimbangkan selanjutnya.
Pertama, para pekerja sosial bekerja setiap hari dengan orang yang dibuat rentan
akan usia atau keterbatasan (anak-anak yang disalahgunakan; orang tua yang bingung;
orang yang sakit mental) atau melalui keadaan-keadaan (penyangkalan hak-hak; eviksi;
bereavement; pencarian asylum). Hal ini membuatnya penting untuk menggunakan
keterampilan-keterampilan komunikasi untuk cajole, memanipulasi atau membujuk
seseorang ke dalam sebuah tindakan di mana mereka tidak ingin atau untuk
mendamaikan seseorang yang mengalami negasi hak. Pada saat yang sama jika
kewajiban seorang pekerja sosial pada masyarakat atau keamanan seseorang yang lain,
contohnya seorang anak, memiliki makna keterampilan-keterampilan mengucapkan
hal-hal yang sulit dibutuhkan untuk mengkomunikasikan kejujuran ini sehingga
realitas dan konsekuensi akan tindakan-tindakan yang diberikan sanksi secara legal
dipahami. Kemungkinan untuk penyalahgunaan kekuatan yang didelegasikan melalui
kemampuan-kemampuan verbal merupakan sebuah pertimbangan etis akan aspek yang

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
terpenting. Contohnya, jika pandangan pengguna layanan akan kebutuhan-kebutuhan
mereka tidak cocok dengan sumber-sumber daya yang tersedia, sebuah appraisal akan
ketidakcocokan dan apa yang akan dilakukan berbeda dari mencoba membujuk orang
yang bersangkutan ke dalam sumber yang tersedia.
Kedua, terkadang orang meminta layanan-layanan pekerjaan sosial secara sukarela
namun seringkali terdapat elemen kompulsi atau kendali sosial. Hal ini berarti bahwa
para pekerja sosial tidak dapat, di mana konselor dapat, memilih hanya untuk bekerja
dengan orang-orang yang termotivasi menuju proses di mana mereka terlibat. Hal ini
menambahkan halangan-halangan akan keengganan, permusuhan dan penolakan pada
banyak penghadapan-penghadapan. Kemampuan untuk mengkomunikasikan dan
membangun hubungan-hubungan, untuk membangun tujuan dan untuk melibatkan
orang-orang dalam pekerjaan efektif dalam situasi-situasi ini membutuhkan
keterampilan-keterampilan yang secara akurat dikembangkan, terutama ketika
kegelisahan dan kemarahan amat cenderung menjadi bukti. Komunikasi tentang sifat
alami hubungan, ketidakberdayaan pengguna pelayanan dan kurangnya pilihan mereka
tentang siapa pekerja sosial yang bersangkutan akan dibutuhkan, jika hal tersebut tidak
bermaksud untuk menghalangi hubungan.
Ketiga, para pekerja sosial harus mengembangkan keterampilan-keterampilan bagi
komunikasi dengan orang yang kemampun komunukasi verbalnya dikurangi atau tidak
seutuhnya dikembangkan. Hal ini meliputi orang-orang dengan dementia, para orang
dewasa dengan keterbatasan-keterbatasan belajar dan para orang dewasa dengan
beragam kecacatan seperti kehilangan pendengaran. Para pekerja sosial harus mampu
untuk secara efektif berkomunikasi dengan anak-anak dan orang muda. Belajar untuk
memwawancarai anak-anak secara terapis dan ketika dibutuhkan untuk membangun
bukti video bagi pendengaran pengadilan, merupakan sebuah keterampilan spesifik.
Para pekerja sosial juga membutuhkan kemampuan-kemampuan dalam menggunakan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
metode-metode komunikasi yang terfasilitasi seperti Makaton dan, setidaknya, harus
mengetahui bagaimana memastikan komunikasi berlangsung secara dua arah dengan
cara terbaik.
Keempat, konsultasi pengguna layanan merupakan hal inti pada praktik pekerjaan
sosial. Mengunjungi dan mendengarkan pada apa yang dikatakan dan menemukan
cara-cara kreatif dan memberdayakan untuk memastikan bahwa tindakan dilakukan
adalah hal penting. Merupakan tanggungjawab pekerja sosialah untuk
mengembangkan keterampilan-keterampilan bagi sebuah tingkat komunikasi yang
memberdayakan pengguna pelayanan untuk membuat pandangan-pandangan mereka
dikenal. Hal ini berarti mencari tahu bagaimana seseorang berkomunikasi, bersiap bagi
pertemuan dan membawa masuk sumber-sumber apapun yang akan menolong para
penafsir tersebut (Chand 2000; French dan Swain 2004).
Komunikasi selanjutnya adalah sebuah proses interaktif yang meliputi tindakan
memberikan, menerima, dan memeriksa makna. Ia terjadi pada banyak tingkat dan
penanganan harus dilakukan untuk memastikan bahwa hal tersebut benar-benar terjadi.
Merupakan hal krusial bahwa para pewawancara menyesuaikan diri pada halangan-
halangan potensial yang diciptakan oleh faktor-faktor seperti usia, kelas dan etnisitas.
Komunikasi adalah sebuah proses di mana hasil yang muncul adalah keterlibatan,
permulaan sebuah proses lebih lanjut di mana pihak-pihak mampu bekerja sama, untuk
dilibatkan, untuk mencapai pemahaman mutual, untuk mempertahankan perhatian dan
untuk berkontrak pada sebuah tujuan.
Keterampilan-keterampilan komunikasi merupakan hal fundamental pada semua
kegiatan professional dan kegagalan para doktor untuk berkomunikasi dengan baik
berada pada akar dari banyak keluhan dalam NHS (East 1995; Moore 1997; Smith dan
Norton 1999). Secara konsekuen lebih banyak perhatian diberikan pada keterampilan-
keterampilan komunikasi dalam pelatihan doktor dan perawat. Para pekerja sosial

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
dalam rumah sakit seringkali menemukan diri mereka sendiri menggunakan
keterampilan-keterampilan konseling mereka sendiri dalam komunikasi untuk
mengklarifikasi kesalahan komunikasi dan kurangnya keterlibatan yang subsekuen.
Para pekerja sosial bertujuan bagi keterlibatan aktif orang yang bersangkutan, sehingga
mereka dapat diberdayakan untuk mengubah situasi mereka atau memiliki kendali yang
lebih besar dan pengetahuan di dalamnya.

Mewawancarai
Sebagian besar komunikasi pekerjaan sosial terjadi melalui wawancara, baik dalam
kantor, pada telepon atau dalam rumah orang yang bersangkutan. Wawancara pekeja
sosial telah digambarkan dalam berbagai cara. Davies (1985) menyebutnya sebuah
“ pembicaraan dengan tujuan” , sementara Hughman (1977) berpendapat bagi para
pekerja sosial untuk ‘ bersikap alami’ . Atribut-atribut personal seperti kehangatan,
fleksibilitas dan kreatifitas telah dianggap sebagai sebuah dasar yang baik untuk
memulai. Literatur pekerjaan sosial pada komunikasi dan hubungan berpendapat bagi
kombinasi kehangatan, empati, dan rujukan positif dengan keterampilan-keterampilan
yang telah dikembangkan melalui praktik yang dibimbing (terstimulasi atau nyata).
Compton dan Galaway (1989: 334) memberikan sebuah kerangka kerja,
menggambarkan wawancara pekerjaan sosial sebagai, ‘ sekumpulan komunikasi
dengan empat karakteristik: (1) ia memiliki konteks atau tatanan; (2) ia bertujuan dan
terarah; (3) ia terbatas dan kontraktual; (4) ia meliputi hubungan-hubungan
terspesialisasi’ .
Terdapat banyak buku yang berguna untuk menolong para mahasiswa dengan
penstrukturan dan tujuan teoritis proses ini (Breakwell 1990; Heron 1997; Nelson-
Jones 1981; Rollnick 1996; Trevithick 2000). Program-program pekerjaan sosial
diharapkan untuk mengajari keterampilan-keterampilan dasar dan penempatan praktik

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
untuk menilai mereka. bagian yang sulit bagi para trainee adalah untuk mentransfer
pembelajaran pada praktik dalam tahap-tahap awal, walaupun teknik-teknik
pewawancaraan tetap menjadi subjek praktik dan perkembangan seumur hidup.
Penelitian memang menunjukan bahwa keterampilan-keterampilan wawancara dapat
diajarkan dan dikembangkan melalui praktik dan latihan keterampilan-keterampilan
mikro (Dickson dan Bamford 1995) dapat dipindahkan ke dalam tempat kerja (Ryan,
Fook dan Hawkins 1995). Bagian selanjutnya mengeksplor keterampilan-keterampilan
konseling dasar secara lebih detil bagi para pekerja sosial yang berusaha untuk
mengembangkan jenis keterampilan-keterampilan komunikasi yang menfasilitasi
praktik yang baik.
Mengeksplor Keterampilan-Keterampilan Konseling secara lebih jauh
Mendengarkan
Dalam pekerjaan sosial ini adalah sebuah proses aktif, dan bukan hanya
serangkaian ‘ anggukan’ dan penggunaan berlebihan ‘ mms’ yang dapat
memprovokasikan permusuhan dan ketidaksabaran dalam diri pengguna layanan.
Pedoman-pedoman yang diberikan oleh Jacobs (1985:13) pada hal-hal rinci akan
bagaimana mendengarkan dengan baik amat menolong di sini:
 Mendengarkan dengan perhatian yang tidak terbagi, tanpa menginterupsi;
 Mengingat apa yang telah dikatakan, termasuk hal-hal rinci (semakin anda
mendengar dan semakin sedikit yang anda katakan semakin baik memori anda);
 Mendengarkan pada garis dasar (apa yang tidak dikatakan secara terbuka
namun mungkin saja dirasakan);
 Mendengarkan diri anda sendiri dan bagaimana anda dapat merasakan
dalam sebuah situasi yang digambarkan, sebagai cara pemahaman lebih jauh (empati);

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
 Mencoba mentoleransi jeda dan saat-saat diam yang sedikit lebih lama
daripada pembicaraan-pembicaraan. Menghindari menanyakan banyak pertanyaan
untuk memecah keheningan;
 Menolong diri anda sendiri dan orang lain untuk merasak nyaman dan rileks
dengan orang lain. Tetap tenang walaupun anda tidak merasa tenang.
Poin-poin tersebut membantu dalam memedomani tindakan-tindakan dan
dikombinasikan dengan praktik nyata dapat secara substansial memperbaiki
keterampilan-keterampilan praktisioner. Walaupun demikian, banyak orang berpikir
ketika mereka membaca pedoman-pedoman tersebut bahwa inilah yang telah mereka
lakukan, hanya untuk merasa kagum untuk menemukan dalam praktik yang
terstimulasi bahwa, contohnya, mereka lebih sulit menemukan ketenangan untuk
mentoleransi daripada yang mereka pikirkan, atau tidak jelas akan bagaimana
memparafrasekan dengan baik atau enggan untuk mengatakan sesuatu hanya untuk
mengisi celah-celah dalam pembicaraan. Kemampuan untuk mendengarkan dengan
baik ini, dan mendengar secara akurat dengan berfokus pada cara orang lain merupakan
sebuah keterampilan dasar esensial untuk bekerja dengan orang.
Cornwell (1990) menuliskan tentang tindakan mendengarkan sebagai bagian
konteks praktik pemberdayaan. Ia berpendapat bahwa “ jika mendengarkan bersifat
selektif maka ia tidak membiarkan pilihan orang dalam menjual agenda tersebut…jika
mendengarkan adalah terbuka dengan rujukan non kondisional positif dan kurangnya
penilaian negatif, hal ini memberikan pemberian akan lowongan dan hilangnya rasa
sakit internal mengarah pada sebuah citra kendali atas diri yang memberdayakan” .
Pentingnya “ pendengaran aktif” dan “ menghadiri” menjadi “ terfokus” dan
“ benar-benar mendengarkan” apa yang dikomunikasikan orang lain tidak dapat
ditekankan secara berlebihan. Juga cara satu-satunya untuk menjadi yakin bahwa anda
telah mendengarkan dan memahami adalah untuk memeriksa kembali dengan orang

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
lain. Bukanlah hal cukup untuk berasumsi bahwa karena anda mendengar secara fisik
anda juga mengerti.
Merupakan hal yang berguna untuk mengidentifikasi beberapa ciri pembicaraan
biasan yang tidak begitu menolong dalam wawancara-wawancara professional. Sebuah
perumusan menarik akan hal ini digambarkan oleh Townsend (1987:21). Mereka
adalah:
 Melamun (kehilangan perhatian, pikiran yang berkeliaran);
 Pelabelan (menaruh orang lain dalam sebuah kategori sebelum
mendengarkan bukti);
 Mencetak poin (menghubungkan setiap hal yang anda dengar pada
pengalaman pribadi anda);
 Berlatih (melatih kalimat-kalimat berikutnya dalam pikiran anda);
 Memungut buah cherry (mendengarkan bagi sebuah bagian kunci informasi
dan kemudian mematikannya);
 Menginterupsi (menjadi tidak mampu untuk menolak memberikan nasihat);
 Berduel (melawan kemajuan-kemajuan verbal si pembicara dengan parries
dan tusukan anda sendiri);
 Sentimen langkah menyamping (melawan ekspresi-ekspresi emosi dengan
lelucon atau klise).
Jika anda berpikir kembali dengan jujur pada pembicaraan-pembicaraan sehari-hari
anda maka anda cenderung menemukan contoh-contoh akan saat-saat di mana anda
telah melakukan semua ini. Dalam pembicaraan sehari-hari hal ini terjadi setiap saat
namun dalam kehidupan professional anda penanganan lebih dibutuhkan karena
kekuatan peran anda. Pendengaran akurat dan baik dalam sebuah konteks wawancara
harus berbeda. Ia mencoba memahami dan mendengar pengalaman orang lain; menjaga
sebuah pemikiran terbuka tentang apa yang dikatakan selanjutnya; menunggu sampai
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
orang lain telah selesai berbicara dan bercermin padanya sebelum menanggapi; tidak
memilih apa yang akan menjadi penting dalam kemajuan; terus berfokus pada agenda
orang lain; tidak melabeli atau menstereotip; tidak menasihati sampai nasihat diminta
dan sebuah gambaran menyeluruh didapatkan; tidak membuat komentar-komentar
yang menantang dan provokatif tanpa dipikirkan; membuat lowongan bagi orang lain
untuk mengekspresikan dan mengklarifikasikan perasaan.
Memungkinkan untuk membayangkan penilaian yang terdistorsi pada
penganiayaan pada seorang anak; atau secara tidak akurat mengkonstruksikan
perencanaan penanganan bagi seorang dewasa yang datang dari sebuah wawancara di
mana pekerja sosial telah “ memungut cherry” atau “ melabeli” . Semuanya
merupakan hal yang lebih penting bahwa orang-orang didengar secara akurat oleh para
pekerja sosial karena pada saat mereka mencapai agensi, mereka sering marah atau
frustasi oleh pelabelan atau permusuhan yang mereka temui di tempat lain. Terdapat
saat-saat kemudian, setelah mendengarkan secara cermat pada cerita orang tersebut,
pekerja sosial tidak dapat memberikan sebuah pelayanan, atau harus membuat sebuah
rujukan. Walaupun demikian, orang yang bersangkutan telah terdengar menemukan hal
ini lebih dapat diterima daripada orang yang merasa diacuhkan dan ‘ disingkirkan’ .
Keterampilan-keterampilan dapat menolong pekerja sosial untuk memberikan sebuah
tanggapan personal dan nonbirokratik tanpa mengkompromisasikan remit agensi.
Informasi yang sulit dapat didengar secara lebih baik dalam sebuah atmosfir yang
ketenangannya dijaga dan bersifat konstruktif oleh pekerja sosial yang bersangkutan.
Sedihnya, kegagalan untuk berkomunikasi dengan baik, dengan para individu atau
antara agensi, semuanya terlalu sering diidentifikasikan sebagai sebuah sebab
timbulnya kesalahan pada banyak hal, sebagaimana dalam inkuiri Climbie (Laming
2003) di antara orang lain.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Menanggapi
Para pekerja sosial juga harus mampu memberikan tanggapan-tanggapan yang
terampil dan akurat. Secara inisial tanggapan-tanggapan yang ada dapat bersifat
nonverbal, namun merupakan hal yang krusial untuk mulai memberikan lebih daripada
monosilabel-monosilabel benda kecil untuk mengindikasikan bahwa si pembicara
sedang didengarkan dan dipahami. Keterampilan-keterampilan konseling seperti
merangkum, merefleksikan dan memparafrasekan merupakan hal yang memang amat
berguna untuk memeriksa bahwa informasi dipahami dengan benar dan direkam dan
untuk meyakinkan bahwa pelayanan-pelayanan yang diberikan memenuhi kebutuhan
yang diekspresikan dan bahwa anda telah memahami maksud orang lain. Belajar
melakukan hal ini secara akurat membutuhkan waktu dan latihan. Keterampilan-
keterampilan yang didaftarkan oleh Jacob (1985) dapat digunakan untuk mulai
menggerakan wawancara maju, untuk mengklarifikasikan atau mengeksplor secara
lebih menyeluruh:
 Bersikaplah seakurat mungkin dalam menggambarkan perasaan-
perasaan/ide-ide yang anda miliki (tidak hanya depresi atau marah).
 Gunakanlah pemahaman empatik anda untuk membuat hal ini akurat,
walaupun secara tentatif, anda dapat menjadi salah.
 Tetapkanlah pertanyaan-pertanyaan pada sebuah tingkat rendah sampai
setidaknya anda membutuhkan informasi persis (di mana kasus yang ada meminta
pertanyaan-pertanyaan persis); jika anda ingin membuka sebuah area maka gunakanlah
pertanyaan-pertanyaan terbuka; jika anda ingin menggunakan pertanyaan-pertanyaan
retoris; hindari pertanyaan yang diawali kata mengapa;

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
 Gunakanlah penekanan minimal (mm, ya, atau mengulangi sedikit kata
terakhir);
 Jika memungkinkan hubungkanlah pengalaman-pengalaman, kejadian-
kejadian, reaksi-reaksi dan ide-ide;
 Cegahlah mengubah subjek atau menginterupsi jika tidak dibutuhkan;
 Cegahlah berbicara terlalu cepat, terlalu sering atau untuk terlalu lama.
Keterampilan-keterampilan konseling dasar ini dapat digunakan dalam wawancara-
wawancara kerja agar dapat mengumpulkan informasi, untuk memudahkan orang
mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan dan kekhawatiran-kekhawatiran mereka,
untuk menilai agensi apakah yang dapat memberikan dan untuk membuka jalan bagi
tindakan atau penyelesaian masalah. Ingatlah bahwa peran profesional anda memiliki
makna bahwa tanggapan-tanggapan anda akan diberikan lebih banyak beban daripada
dalam pembicaraan biasa. Manfaat menggunakan teknik-teknik ini adalah bahwa
mereka akan memudahkan anda menetapkan sebuah fokus pada orang lain dan
kelebihan-kelebihan mereka. Sebuah fokus pada refleksi akurat dan pemparafrasean
mencegah anda dari ‘ menaruh kata-kata ke dalam mulut seseorang’ atau membuat
asumsi-asumsi anda sendiri. Sebuah kemampuan untuk memfasiltasi orang untuk
memberitahu cerita-cerita mereka sendiri merupakan hal esensial bagi pekerjaan
sensitif penutupan diri karena penyalahgunaan.

Mempertanyakan
Banyak pekerjaan sosial meliputi informasi awal dari membuat sebuah penilaian
dan/atau memberikan sebuah pelayanan dan/atau melakukan beberapa tindakan.
Banyak wawancara muncul dari sebuah krisis pribadi dalam kehidupan orang yang
bersangkutan di mana pekerja sosial harus menanggapi dengan cepat. Hal ini membuat
semua itu lebih penting untuk mengkultivasikan pewawancaraan suara dan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
keterampilan-keterampilan interpersonal. Beberapa bentuk di mana para pekerja sosial
harus menyelesaikan dengan orang-orang lain adalah lama dan memakan waktu.
Wawancara-wawancara selanjutnya harus dibentuk untuk mengungkapkan informasi
penting seefisien mungkin. Dalam situasi-situasi ini, kejujuran tentang kebutuhan
untuk menanyakan serangkaian pertanyaan adalah fasilitatif, karena mendapatkan
informasi akan menjadi terlalu lama. Beberapa area pekerjaan seperti nasihat-nasihat
bemanfaat membutuhkan tindakan mempertanyakan dan pengumpulan informasi yang
lebih detil. Penjelasan tujuan-tujuan dan hasil-hasil akan informasi yang diberikan,
seperti siapa yang akan melihatnya atau dengan siapa hal tersebut dapat dibagikan,
merupakan hal yang sangat penting.
Para pekerja sosial secara tidak terelakkan harus berbicara lebih banyak dan
menjadi lebih aktif dalam wawancara-wawancara mereka daripada kebanyakan
konselor. Agar dapat mengingat informasi detil para pekerja sosial sering membuat
catatan-catatan dan mengisi formulir-formulir dengan orang-orang yang hadir.
Refrensi eksplisit pada proses dan mendapatkan kerjasama ini dalam memeriksa dan
menyetujui hal-hal rinci merupakan hal yang bernilai. Hal tersebut juga adalah praktik
yang baik untuk mengundang orang lain untuk mengisi formulir-formulir dengan anda,
sehingga mereka dapat melihat apa yang dicatat dan area-area kesepakatan dan
ketidaksepakatan dapat diidentifikasikan seiring dengan perjalanan anda.
Keterampilan-keterampilan konseling seperti penggunaan paraphrase, rangkuman dan
kesegeraan dapat diterapkan dalam proses ini. Hal ini memfasilitasi sebuah wawancara
dan dapat terasa lebih konversasional jika ikatan-ikatan pernyataan yang bersifat
introgatif dan intrusif dicegah. Pertanyaan-pertanyaan yang difrasekan dengan hati-hati
atau alternatif-alternatif pada pertanyaan-pertanyaan dapat digunakan untuk
mendapatkan informasi spesifik. Contohnya si pewawancara dapat mengatakan,
“ Apakah anda dapat memberitahu saya tentang” atau “ Akan menolong bagi anda

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
untuk lebih banyak mengetahui tentang” daripada menembakan pertanyaan-
pertanyaan tumpul untuk mendapatkan informasi.
Merupakan hal penting untuk mampu membedakan antara pertanyaan tertutup dan
terbuka. Pertanyaan-pertanyaan tertutup dibutuhkan untuk menanyakan topik-topik
spesifik. Contohnya, “ Apakah anda sedang bekerja saat ini?” mengundang jawaban
Ya atau Tidak. Sebuah pertanyaan seperti “ Apakah anda sedang menjalani masa
pengobatan?” mengalir lebih baik ketika difrasekan kembali menjadi “ Apakah anda
dapat memberitahu saya pengobatan apa yang sedang anda jalani saat ini?” . Ini
merupakan sebuah pertanyaan yang kurang tertutup dan kurang introgatif dalam
pemfraseannya. Hal tersebut juga memiliki makna bahwa anda tidak harus
menanyakan dua pertanyaan, orang yang bersangkutan dapat mengatakan baik tidak
maupun jika jawabannya adalah ya memberikan hal-hal detil. Mereka juga dapat
mengindikasikan jika mereka tidak akan memberikan informasi atau menanyakan
mengapa hal tersebut dibutuhkan.
Para pewawancara yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka
membuktikan bahwa kemajuan wawancara menjadi lebih baik jika pertanyaan-
pertanyaan dimulai dengan “ Bagaimana?” “ Apa?” “ Kapan?” daripada
“ Mengapa?” . Pertanyaan-pertanyaan yang dimulai “ Mengapa?” dapat terdengar
baik menuduh maupun otoriter, dengan gema-gema hari-hari sekolah dan masa kecil
(Mengapa kamu terlambat? Mengapa kamu tidak mengerjakan PR?). Hal ini secara
khusus penting untuk diingat ketika bekerja dengan anak-anak dan orang muda dalam
usia remaja. Orang-orang sering tidak yakin akan alasan-alasan langsung bagi
tindakan-tindakan mereka. mereka dapat menjawab sebuah pertanyaan seperti
“ Mengapa” lebih mudah jika sebuah undangan yang bersifat kurang langsung untuk
berbicara seperti “ Beritahu saya tentang hari ketika insiden tersebut terjadi”
digunakan untuk memudahkan mereka mengeksplor motivasi-motivasi.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Teknik-teknik ini berpusat pada penggunaan bahasa dan frase yang hati-hati.
Mereka masih mempromosikan pewawancara eksplisit, namun pertanyaan-pertanyaan
frase dalam cara-cara yang dapat mengurangi permusuhan dan kegelisahan.
Penghakiman-penghakiman, pertanda-pertanda dan ekspresi-ekspresi yang
memoralisasikan akan dihindari karena mereka menciptakan kedefensifan. Para
pekerja sosial tidak berkonfrontasi dengan orang yang memiliki aspek-aspek akan diri
mereka sendiri seperti melanggar atau mempersalahlakukan anak-anak dengan cara
yang konyol dan tidak terencanakan, baik kontraproduktif. Ketidaksetujuan pribadi
atau ketidaksukaan akan pengguna layanan adalah sesuatu yang harus ditangani pada
pembimbingan, tidak secara terbuka diekspresikan pada klien. Penggunaan wawancara
terbuka merupakan hal esensial dalam situasi-situasi di mana bukti bagi sebuah
pengadilan atau informasi untuk pertemuan konferensi kasus tersebut dibutuhkan.
Penanganan tertentu harus dilakukan dengan tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan
yang menggiring atau menaruh kata-kata ke dalam mulut pengguna pelayanan.

Bahasa Tubuh
Sementara perbedaan kebudayaan tentang apa yang dapat diterima dan yang tidak
dapat diterima dalam hal kontak mata, sentuhan, pakaian dan lain sebagainya harus
dipertimbangkan setiap saat. Terdapat beberapa area dasar untuk diingat. Contohnya,
akan merupakan hal terbaik untuk memastikan bahwa sebuah jarak yang nyaman
diperhatikan antara pewawancara dengan klien. Susunlah agar tidak terinterupsi.
Pertimbangkanlah informalitas atau formalitas dalam ruangan. Terlihat terganggu,
menguap, melihat jam tangan anda, dan lain sebagainya memberikan pesan-pesan
negatif. Ekspresi wajah adalah penting, karena kerutan atau senyuman pada saat-saat
yang tidak tepat memberikan pesan yang keliru. Nada suara yang lebih rendah pada
umumnya lebih baik dan menenangkan. Bebicara dengan tenang dan amat jelas pada

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
anak-anak kecil lebih efektif daripada berbicara terlalu banyak, terlalu cepat, dengan
nada yang tidak enak didengar. Pedoman-pedoman dari literatur konseling ini berguna
ketika ditransferkan pada tatanan-tatanan pekerjaan sosial. Keasertifan, perhatian pada
postur tubuh, ekspresi-ekspresi wajah, bernafas dan duduk adalah semua faktor yang
dapat memfasilitasi lingkungan dan mengurangi kemarahan, permusuhan, kegelisahan
atau tekanan. Melakukan wawancara di rumah-rumah orang lain berarti melakukan
negosiasi pada gangguan-gangguan seperti radio, TV, binatang-binatang peliharaan,
dan para tetangga. Para pekerja sosial harus memperhatikan bahwa iklim yang ada
cocok bagi sebuah wawancara efektif dan harus dipersiapkan untuk menemukan
gangguan-gangguan dalam sebuah cara yang asertif namun sensitif.

4. PROSES KONSELING
Zastrow (1999) mengemukakan proses konseling dari sudut pandang klien yang
dalam terlihat pada 8 tahap sebagai berikut:
Tahap I Kesadaran tentang masalah
“ Saya memiliki masalah”
Pada tahap awal ini, para klien harus mengatakan pada diri mereka sendiri, “ Saya
memiliki sebuah masalah-Saya harus melakukan sesuatu terhadap situasi saya” . Jika
orang-orang dengan masalah menolak mengetahui bahwa mereka memiliki masalah,
mereka tidak akan termotivasi untuk melakukan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk
perubahan. Dalam beberapa area konseling (contohnya, bekerja dengan para peminum
yang bermasalah), terkadang sulit untuk membuat orang mengetahui bahwa mereka
memiliki masalah. Para klien non sukarela secara khusus cenderung menyangkal
bahwa ada sebuah masalah. Mereka adalah para klien yang dipaksa untuk melakukan
konseling. Para pekerja sosial menghadapi dalam berbagai tatanan: pelayanan-
pelayanan perlindungan, tatanan koreksional, tatanan sekolah umum tertentu, rumah-

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
rumah kelompok, fasilitas-fasiltas kesehatan mental, rumah-rumah perawatan, dan
rumah sakit.
Bagi orang-orang yang menyangkal bahwa mereka bermasalah, perubahan-
perubahan konstruktif cenderung tidak terjadi ketika konselor menemukan cara untuk
meyakinkan bahwa mereka bermasalah. Ketika seseorang menyangkal sebuah
masalah, konseling harus berfokus pada penyangkalan ini dengan cara mengeksplorasi
mengapa klien meyakini sebuah masalah tidak ada dan dengan mengumpulkan bukti
untuk mendokumentasikan keberadaan masalah kepada klien. Selanjutnya, klien harus
dikonfrontasikan (secara taktis) dengan bukti ini. Jika setelah konfrontasi tersebut klien
masih menyangkal ada sebuah masalah, konselor harus mawas diri bahwa klien
memiliki masalah, dan hanya terdapat sedikit hal yang dapat dilakukan konselor secara
konstruktif pada saat itu, kecuali jika mungkin klien tersebut ingin untuk bicara, nada
suaranya akan mengindikasikan bahwa ia bermasalah.
Terkadang seseorang yang mengetahui bahwa ia memiliki sebuah masalah dapat
memilih untuk mencoba menyelesaikannya tanpa mendapatkan pertolongan dari orang
lain. Seseorang dengan masalah adalah “ pemilik” masalah tersebut, dan selanjutnya
memiliki hak untuk memutuskan bagaimana ia akan menanganinya. Jika seseorang
memutuskan untuk bekerja dengan sendirinya, konselor harus menghargai keputusan
ini. Namun juga menunjukkan bahwa ia akan ada nanti dengan mengatakan sesuatu
seperti, “ Jika anda memang memutuskan bahwa nanti anda akan berbicara lebih jauh
tentang hal ini, pintu saya akan selalu terbuka” .

Tahap II Relasi dengan konselor


“ Saya berpikir konseling ini memiliki apa yang dapat menolong saya”
Tahap ini bertumpang tindih dengan tahap pertama, dan semua tahap-tahap lainnya
dalam proses konseling. Agar konseling menjadi efektif, klien harus berada dalam

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
sebuah titik di mana pembicaraan tentang dirinya adalah, “ Saya berpikir bahwa
konselor memiliki apa yang dapat menolong saya” . Jika klien memiliki pembicaraan
diri yakni, “ Konselor ini tidak dapat menolong saya. Saya tidak membutuhkan
pengecil kepala. Saya hanya tidak mempercayai konselor ini” , konseling akan gagal
jika sebuah hubungan yang lebih positif tidak dibangun. Melalui proses konseling,
konselor harus bermawas diri pada dan memberikan perhatian pada jenis hubungan
yang mengembangkan klien.
Eriksen (1979) menekankan bahwa pentingnya sebuah hubungan yang menolong
dibentuk dengan para klien:
Hubungan yang berkembangkan antara pekerja sosial dan klien adalah
sebuah batu loncatan pertolongan. Melalui hubungan yang menolong, klien dan
pekerja sosial datang bersama untuk membebaskan komunikasi yang mencegah
penyelesaian masalah….
Melalui alat dalam hubungan yang menolong, klien dapat
mengkomunikasikan dengan pekerja sosial apa yang ia pikirkan, ketahui dan
rasakan tentang masalahnya. Tipe komunikasi mendalam ini, ketika diperkuat
oleh respon-respon efektif oleh pekerja sosialnya, akan memperkuat hubungan
menolong itu sendiri dan tidak lama kemudian akan membuka pintu untuk
penyelesaian masalah (hal. 54).

Pedoman-pedoman berikut berfokus pada bagaimana membangun sebuah


hubungan konstruktif.
1. Cobalah untuk membangun sebuah atmosfir yang tidak mengancam,
nyaman di mana klien merasa aman untuk secara keseluruhan berkomunikasi tentang
masalah-masalahnya ketika merasa diterima sebagai seseorang.
2. Dalam kontak-kontak awal dengan klien, anda harus “ menjual” diri anda
sendiri, tidak secara arogan, namun sebagai seseorang berwawasan, berkepahaman
yang dapat menolong dan yang ingin mencoba.
3. Bersikap tenanglah, jangan tertawa atau mengungkapkan keterkejutan
ketika klien mulai membuka masalah-masalahnya. Percikan-percikan emosi, bahkan
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
jika halus, akan membuat klien meyakini bahwa anda tidak akan memahami kesulitan-
kesulitan yang dialaminya, dan klien biasanya akan berhenti membahas mereka.
bersikap tetap tenang tidak selalu mudah. Saya mengingat salah satu wawancara
dengan seorang klien yang telah secara brutal membunuh teman wanitanya yang
tercekik dengan memenggal kepalanya. Dibutuhkan waktu 45 menit bagi klien yang
bersangkutan untuk menjelaskan alasan-alasan mengapa ia membunuh teman
wanitanya dan memperhitungkan kembali bagaimana ia merencanakan dan melakukan
pembunuhan tersebut. Banyak hal-hal rinci ceritanya mengejutkan, namun saya harus
terus memberitahukan diri sendiri saya sendiri untuk mengambil pendekatan
professional, tetap tenang, dan terus memelihara atmosfir yang tidak mengancam
sehingga ia dapat merasa bebas untuk berhubungan dengan apa yang terjadi.
4. Bersikaplah tidak menghakimi, tidak moralistik. Tunjukanlah penghargaan
bagi nilai-nilai klien dan janganlah untuk membawa nilai anda. Nilai-nilai yang bekerja
untuk anda tidak akan bekerja dengan baik bagi orang lain dalam situasi berbeda.
Contohnya, jika seorang klien hamil di luar nikah, janganlah berusaha memaksakan
nilai-nilai anda terhadap adopsi atau aborsi. Biarkan klien memutuskan pada tindakan
setelah pengujian masalah keseluruhan dan sebuah eksplorasi soluasi-solusi alternatif.
5. Pandanglah klien sebagai setara. Para konselor “ junior” terkadang
membuat kesalahan dengan berpikir bahwa karena klien membagikan rahasia-rahasia
intim maka konselor akan merasa amat penting, dan mereka berakhir dengan menyusun
hubungan superior-inferior. Jika para klien merasakan bahwa mereka diperlakukan
secara inferior, mereka akan merasa kurang termotivasi untuk membuka dan membahas
kesulitan-kesulitan pribadi mereka.
6. Gunakanlah kosakata bersama. Hal ini tidak berarti menggunakan kata-kata
slang dan aksen yang sama seperti yang digunakan klien. Jika klien memandang

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
konselor secara artifisial menggunakan slang atau aksen, maka hal tersebut akan secara
serius menyinggungnya. Gunakalnlah kata-kata yang dipahami klien dan tidak ofensif.
7. Nada suara anda harus menyatakan pesan bahwa anda secara empatik
memahami dan peduli dengan perasaan-perasaan klien.
8. Rahasiakanlah apa yang telah dikatakan klien. Orang-orang secara tidak
beruntung memiliki desakan-desakan tidak tertahankan untuk membagikan “ rahasia-
rahasia segar” dengan orang lain. Jika klien menemukan bahwa kerahasiaan telah
dilanggar, sebuah hubungan yang bekerja akan dengan cepat terhancurkan. (Lihat
materi tentang kerahasiaan dalam Bab 2).
9. Jika anda sedang mengkonselingkan kerabat atau teman dekat, terdapat
bahaya bahwa, anda akan menjadi kesal atau memasuki pertengkaran dengan orang
lain. Jika hal tersebut terjadi, maka akan lebih baik untuk berhenti membahas subjek
tersebut dengan segera, dengan setaktis mungkin. Mungkin setelah tempramen mereda
subjek tersebut dapat dibahas kembali, atau mungkin akan lebih baik merujukkan
individu tersebut kepada orang lain. Ketika sedang mengkonselingkan seorang teman
atau kerabat, anda harus bermawas bahwa ketika anda menyadari bahwa anda kesal,
pembahasan lebih lanjut tidak akan produktif. Banyak konselor profesional menolak
mengkonselingkan teman atau kerabat karena mereka sadar bahwa mereka terlibat
secara emosional. Keterlibatan emosional mencampuri dengan perspektif tenang, dan
tidak melekat yang dibutuhkan untuk menolong klien secara objektif mengeksplor
masalah-masalah dan solusi-solusi alternatif.

Tahap III Motivasi


“ Saya ingin memperbaiki situasi saya dan saya berniat untuk mengupayakannya”
Agar konseling menjadi efektif, seorang klien harus (cepat atau lambat)
menyimpulkan, “ Saya ingin memperbaiki situasi saya dan saya berniat untuk

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
mengupayakannya” . Jika setidaknya seorang klien menjadi termotivasi untuk berubah,
perubahan-perubahan konstruktif akan cenderung terjadi. Dalam konseling, variabel
kunci dalam menentukan apakah seorang klien akan memperbaiki keadaan-keadaannya
adalah motivasi klien untuk menginginkan perbaikan dan melakukan upaya-upaya
yang dibutuhkan (Losoncy, 1977 dalam Zastrow, 1999).
Seorang konselor sebaiknya dapat berupaya untuk memotivasi orang-orang yang
tidak berani atau apatis dengan menjadi orang yang mendorong. Menurut Losoncy
(1977), seorang yang mendorong memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki penerimaan utuh pada orang yang tidak berani, namun bukan pada
perilaku disfungsional yang harus diubah. Ia menyatakan “ Saya menerima persis apa
adanya, tanpa persyaratan apapun” .
2. Sebuah sikap yang tidak menyalahkan, sehingga orang yang tidak berani
tidak akan perlu lebih lama lagi merasa harus berbohong, berpura-pura, atau memakai
topeng.
3. Empati. Konselor mawas diri dan untuk beberapa hal dapat merasakan apa
yang dirasakan orang tersebut. Empati terjadi, seperti yang digambarkan oleh Kadushin
(1972), ketika seorang konselor
“Merasakan dengan klien daripada untuk dirinya sendiri. Merasakan untuk
klien akan menjadi simpatetik daripada respon empati. Seseorang pernah
mengatakan bahwa jika anda memiliki sebuah kapasitas untuk berempati anda
akan merasa pendek ketika anda melihat sebuah vas pendek dan merasa tinggi
ketika anda melihat sebuah vas tinggi. Empati sedang masuk secara imajinatif
dalam kehidupan bagian dalam orang lain. Tidaklah cukup untuk secara
sederhana menjadi paham secara empatik: seseorang harus
mengkomunikasikan pada klien bahwa seseorang secara akurat menerima dan
merasakan situasinya”. (hal. 52).

4. Ketertarikan murni pada kemajuan klien, menyatakan bahwa klien adalah


orang penting, yang berharga.
5. Kepercayaan diri dalam kapasitas orang tersebut untuk membaik.
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
6. Antusiasme tulus tentang minat-minat, ide-ide, dan tindakan-tindakan
pengambilan resiko orang yang tidak berani tersebut. Bagi orang-orang tersebut untuk
mempercayai dirinya sendiri, secara umum mereka membutuhkan seseorang yang
dapat memberanikan yang dapat menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang
penting, yang berharga.
7. Kapasitas untuk tidak menjadi pendengar yang menghakimi, sehingga
pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan sebenarnya orang yang tidak berani tersebut
dapat diekspresikan dengan bebas, tanpa takut disensor.
8. Kemampuan untuk memperhatikan (memberikan penghargaan) pada setiap
kemajuan kecil (terutama selama awal hubungan), dan untuk memperhatikan
(memberikan penghargaan) hal-hal positif klien. Contohnya, jika seseorang memakai
suatu barang baru, katakanlah “ Itu baru ya? Itu terlihat bagus pada anda” .
9. Kemampuan memotivasi. Memotivasi orang yang tidak berani memerlukan waktu
yang lama. Orang-orang yang tidak memiliki keberanian tersebut pada umumnya
memiliki sejarah panjang kegagalan. Untuk mengulur kembali trend ini membutuhkan
waktu untuk mendengarkan dan memahami orang ini seutuh mungkin.
10. Sebuah keyakinan tulus dalam kemampuan orang yang tidak berani tersebut untuk
menemukan sebuah tujuan dalam hidup.
11. Kemampuan untuk membiarkan orang tersebut untuk mengambil resiko tanpa
membuat penilaian.
12. Kemampuan untuk menegakan upaya-upaya yang dibuat oleh orang tersebut. Hal
yang penting adalah seseorang mencoba, namun tidak selalu akan berhasil. Dengan
melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki.
13. Kemampuan untuk menolong orang teresebut untuk melihat konsekuensi-
konsekuensi salah dan pernyataan-pernyataan negatif yang mengalahkan diri sendiri

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
(seperti “ Saya adalah sebuah kegagalan” ). Setiap orang harus didorong untuk
memperbaiki kekuatan maupun kelemahannya.
14. Kapasitas untuk mengenali bahwa semua yang dapat dilakukan adalah memberikan
upaya-upaya terbaik seseorang dalam mencoba untuk memotivasi orang yang tidak
memiliki keberanian. Keberhasilan dalam mendorong orang tersebut tidak terjamin.
Untuk menyerah dalam memotivasi memiliki makna bahwa pekerjaan dengan orang
tersebut tidak lama lagi akan menjadi tidak efektif.
15. Keterampilan untuk melihat keunikan-keunikan dan kekuatan-kekuatan dalam
seorang individu. Keunikan-keunikan ini harus dikomunikasikan pada orang yang
bersangkutan sehingga ia dapat mulai menyadari bahwa dirinya istimewa dan berharga.
Proses tersebut mengarah pada sebuah citra harga diri yang membaik dan memperkuat
keberanian untuk mengambil resiko dan berubah.
16. Kemawasan konsekuensi-konsekuensi negatif kebergantungan yang berlebihan
dalam sebuah hubungan. Ketika seseorang yang tidak memiliki keberanian untuk
mengambil resiko-resiko dan membuat perubahan-perubahan konstruktif, konselor
tersebut harus mulai menolong klien mengembangkan keberanian diri sendiri, di mana
klien yang bersangkutan didorong untuk membuat dan mempercayai keputusan-
keputusannya sendiri dan mengambil lebih banyak resiko.
(Catatan: pedoman-pedoman pada pemotivasian para klien juga berguna dalam
membangun hubungan dengan mereka).

Tahap IV Konseptualisasi Masalah


“ Masalah saya tidak mempengaruhi namun memiliki komponen-komponen
spesifik yang dapat diubah” .
Agar konseling menjadi efektif, seorang klien harus mengenali, “ Masalah saya
tidak mempengaruhi namun memiliki komponen-komponen spesifik yang dapat

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
diubah” . Banyak klien cenderung memandang situasi mereka pada awalnya sebagai
sesuatu yang amat kompleks di mana mereka menjadi amat gelisah dan emosional, dan
selanjutnya tidak bisa melihat bahwa masalah mereka tidak mempengaruhi namun
dapat dipecah dalam sub-sub masalah yang dapat diselesaikan dengan cara langkah
demi langkah (bertahap). Beberapa tahun yang lalu saya mengkonselingkan seorang
remaja yang telah kehilangan periode menstrualnya selama tiga bulan dan amat takut
untuk menjadi hamil dan ia tidak mampu memikirkan secara mandiri langkah utama
melakukan tes kehamilan. (Ketika akhirnya ia mengambil tersebut, hasil tes
menunjukan bahwa ia tidak hamil). Untuk menolong para klien
mengkonseptualisasikan masalah-masalah mereka, konselor harus mengeksplor
masalah-masalah bersama secara mendalam dengan para klien. Pedoman-pedoman
berikut ini berfokus pada bagaimana mengeksplor masalah secara mendalam:
1. Banyak konselor “ tingkat bawah” membuat kesalahan dengan
menyarankan solusi-solusi seketika masalah diidentifikasikan, tanpa mengeksplor area
masalah secara mendalam. Contohnya, seorang advokat aborsi dapat memberikan
solusi ini seketika seorang wanita lajang menyatakan bahwa dirinya hamil,

Tahap V Eksplorasi Strategi-Strategi Solusi


“ Saya melihat terdapat beberapa tindakan yang saya dapat coba agar dapat
melakukan sesuatu tentang situasi saya” .
Setelah (atau terkadang sementara) sebuah submasalah dieksplor secara mendalam,
langkah selanjutnya adalah bagi konselor dan klien mempertimbangkan solusi-solusi
alternatif. Dalam mengeksplor solusi-solusi alternatif, akan hampir selalu menjadi hal
yang terbaik bagi konselor untuk mulai menanyakan sesuatu seperti “ Apakah anda

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
sudah memikirkan cara-cara untuk menyelesaikan ini?” klien pada umumnya telah
mawas untuk beberapa waktu bahwa dirinya memiliki sebuah masalah pribadi. Dalam
sebagian besar kasus klien yang bersangkutan telah mencoba beberapa pendekatan
untuk menyelesaikan masalah. Selanjutnya, pertanyaan ini sering mengungkapkan
beberapa alternatif yang dapat diabaikan dengan cepat dari pertimbangan dan
pembahasan lebih jauh. Sebagai tambahan, pertanyaan ini juga menyatakan alternatif-
alternatif berkualitas tinggi dari klien di mana alternatif tersebut tidak dipikirkan
konselor dan dapat bekerja dengan baik bagi klien. Hasil-hasil, kejadian-kejadian
selanjutnya, dan konsekuensi-konsekuensi alternatif yang dipikirkan oleh klien harus
diuji secara taktis dan menyeluruh. Jika klien tidak memikirkan alternatif-alteranatif
tertentu, konselor harus menyebutkan alterantif-alternatif tersebut, dan hasil-hasil dan
kejadian-kejadian selanjutnya dari alternatif-alternatif tersebut juga harus diuji.
Setiap klien adalah unik, demikian juga masalah-masalahnya. Apa yang dapat
bekerja dengan seorang klien dapat menjadi bukan yang terbaik bagi klien lain. Sebuah
aborsi, contohnya, dapat cocok dengan nilai-nilai dan keadaan salah seorang klien
namun dapat menjadi hal yang tidak diinginkan oleh seorang wanita hamil di luar nikah
lainnya yang memiliki nilai-nilai dan tujuan yang berbeda. Jika konseling akan menjadi
efektif, klien harus berkata, “ Saya melihat ada beberapa tindakan yang dapat saya
lakukan tentang situasi saya” . Jika setidaknya seorang klien menyadari terdapat
beberapa strategi-strategi resolusi, konseling akan gagal.

Tahap VI: Pemilihan Sebuah Strategi


“ Saya berpikir pendekatan ini dapat menolong, dan saya ingin mencobanya” .

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Setelah konselor dan klien membahas pengaruh dan konsekuensi-konsekuensi
strategi resolusi, penting bagi klien untuk menyimpulkan, “ Saya berpikir pendekatan
ini dapat menolong, dan saya ingin mencobanya” . Jika seorang klien tidak mampu
memutuskan atau menolak membuat komitmen secara jujur untuk mencoba sebuah
tindakan, perubahan konstruktif tidak akan terjadi. Contohnya, jika seorang klien
mengatakan pada dirinya sendiri, “ Saya mengetahui bahwa saya memiliki masalah
minum, namun saya tidak ingin melakukan tindakan apapun untuk menghentikan
kebiasaan minum saya” , maka konseling tidak akan berhasil.
Klien yang bersangkutan biasanya memiliki hak untuk menentukan bagi dirinya
sendiri yakni, untuk memilih tindakan di antara alternatif-alternatif yang dapat diambil.
Peran konselor adalah untuk menolong klien mengklarifikasikan dan memahami
konsekuensi-konsekuensi dari setiap alternatif-alternatif yang dapat diambil. Pada
umumnya bukanlah peran konselor untuk memberikan nasihat atau memilih alternatif
bagi klien. Jika konselor memilihkan alternatif, maka terdapat dua hasil yang akan
timbul: (1) alternatif dapat menjadi sesuatu yang tidak diinginkan bagi klien, di mana
klien mungkin akan menyalahkan konselor bagi nasihat dan hubungan masa depan
yang akan terganggu secara serius, dan (2) alternatif yang diambil dapat menjadi
bermanfaat bagi klien. Hasil ini akan menjadi sesuatu yang diinginkan, namun
bahayanya adalah klien akan menjadi amat bergantung pada konselor, meminta nasihat
konselor untuk hampir setiap keputusan yang akan diambil di masa depan dan pada
umumnya akan enggan untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Dalam
praktik yang sebenarnya, sebagian besar tindakan memiliki konsekuensi-konsekuensi
yang diinginkan atau tidak diinginkan. Contohnya, jika seorang ibu yang tidak menikah
dinasihatkan untuk menjaga anaknya, ia akan menerima gratifikasi karena menjaga dan
membesarkan anak tersebut, namun pada saat yang sama ia akan menyalahkan konselor

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
bagi konsekuensi-konsekuensi negatif sebagai kesulitan-kesulitan finansial jangka
panjang dan kehidupan sosial yang terislolasi.
Pedoman akan tidak memberikan nasihat tidak berarti bahwa seorang konselor
tidak boleh memberikan alternatif-alternatif yang tidak dipikirkan klien. Secara
berlawanan, adalah tanggung jawab konselor untuk mengusulkan dan mengeksplor
sebuah alternatif-alternatif dengan seorang klien. Sebuah aturan yang baik untuk diikuti
adalah ketika seorang konselor meyakini seorang klien harus mengambil sebuah
tindakan tertentu, hal tersebut harus dikemukakan sebagai sebuah usul, “ Apakah anda
telah berpikir tentang…?” daripada memberikan nasihat, “ Saya berpikir anda
harus…”
Hak-hak para klien untuk determinasi diri sendiri harus diambil hanya jika tindakan
yang dipilih memiliki kemungkinan tinggi untuk menyakiti orang lain atau diri mereka
sendiri. Contohnya, merupakan suatu hal yang sangat mungkin bahwa seorang tua akan
terus menyalahgunakan anaknya, atau jika klien berupaya mengakhiri hidupnya
sendiri, intervensi oleh konselor disarankan. Bagi sebagian besar situasi, walaupun
demikian, klien harus memiliki hak untuk memilih alternatifnya sendiri, bahkan jika
konselor meyakini bahwa alternatif lain merupakan sebuah tindakan yang lebih baik.
Secara frekuentif, klien sering berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengetahui
apa yang terbaik bagi dirinya sendiri, dan jika alternatif bukanlah yang terbaik, klien
mungkin akan belajar dari masalah.

Tahap VII: Implementasi


“ Pendekatan ini menolong saya” .
Konseling akan berhasil hanya jika klien mengikuti melalui komitmennya untuk
mencoba sebuah pendekatan resolusi dan kemudian menyimpulkan “ Pendekatan ini
menolong saya” . Jika klien mengikuti melalui komitmen tersebut, namun

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
menyimpulkan “ Saya tidak yakin bahwa pendekatan ini menolong saya” , maka
konseling akan gagal sekali lagi. Jika hal ini terjadi, alasan-alasan bagi tidak adanya
pencapaian harus diuji, dan mungkin strategi resolusi lain harus dicoba. Berikut ini ada
beberapa pedoman akan bagaimana mengimplementasikan sebuah pendekatan
resolusi:
1. Berupayalah untuk membentuk “ kontrak” eksplisit, realistik dengan klien. Jika
klien tidak memilih sebuah alternatif, maka klien harus dengan jelas memahami tujuan-
tujuan apa saja yang dicapai, tugas-tugas apa saja yang harus dilakukan, bagaimana
melakukan tugas-tugas tersebut, dan siapa yang akan melakukan setiap tugas yang ada.
Secara frekuentif, merupakan hal yang diinginkan untuk menulis “ kontrak” tersebut
pada sebuah kertas bagi perujukan di masa depan, dengan batas waktu untuk
menyelesaikan setiap tugas. Contohnya, jika seorang ibu yang tidak menikah
memutuskan untuk menjaga anaknya dan sekarang harus membuat rencana-rencana
finansial jangka panjang, tujuan ini harus dipahami dan tindakan-tindakan spesifik
tertentu yang menjadi landasan keputusan-mencari bantuan publik, mencari dukungan
dari sang ayah, mengamankan sebuah apartemen dalam anggarannya, dan seterusnya.
Secara lebih jauh, siapa yang akan melakukan tugas dalam jangka waktu tertentu harus
dispesifikasikan.
Ketika sebuah kontrak dinegosiasikan (dan mungkin dinegosiasikan dalam
wawancara-wawancara selanjutnya), ia menolong membawa sebuah fokus pada
wawancara. Klien dan konselor akan cenderung kurang terbawa oleh isu-isu tambahan,
dan produkifitas wawancara dapat dipertahankan.
Jika klien dan konselor yang bersangkutan memiliki perbedaan dalam ekspektasi-
ekspektasi mereka akan tujuan-tujuan yang diinginkan, atau dalam ekspektasi-
ekspektasi akan siapa yang akan melakukan tugas, proses menegosiasikan sebuah
kontrak akan memaksa klien dan konselor yang bersangkutan untuk membahas dan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
diharapkan akan menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka. Bagi bahan tambahan
kontrak lihat Exhibit 5.1.
2. Konseling dilakukan dengan klien, bukan pada atau bagi klien. Klien yang
bersangkutan harus memiliki tanggungjawab untuk melakukan banyak tugas yang
penting untuk memperbaiki keadaan. Sebuah aturan yang baik untuk diikuti adalah
klien harus mengambil tanggungjawab bagi tugas-tugas tersebut di mana ia memiliki
kapasitas untuk melakukannya, sementara konselor harus berupaya melakukan tugas
yang berada di luar kapasitas klien. Melakukan hal-hal bagi klien, mirip dengan
memberikan nasihat, memiliki resiko menciptakan hubungan yang berkebergantungan.
Secara lebih jauh, pencapaian berhasil tugas-tugas oleh para klien mengarah pada
pertumbuhan pribadi dan menolong mempersiapkan mereka untuk melakukan
tanggungjawab-tanggungjawab mendatang.
3. “ Memainkan peran” tugas-tugas tertentu di mana klien kurang memiliki
kepercayaan diri, atau pengalaman, dalam melakukannya. Contohnya, seorang wanita
lajang yang sedang hamil ingin ditolong dalam mengetahui bagaimana ia harus
memberitahukan teman prianya tentang kehamilannya tersebut, memainkan peran
situasi tersebut akan menolong wanita tersebut dalam memilih kata-kata dan
mengembangkan sebuah strategi untuk memberitahukannya hal tersebut. Konselor
dapat memainkan peran wanita tersebut dan memodelkan sebuah pendekatan, dengan
klien wanita tersebut memainkan peran pria. Kemudian peran tersebut harus ditukar
sehingga klien wanita tersebut mendapatkan latihan dalam memberitahukan teman
prianya tersebut.

Tahap VIII: Evaluasi


“ Walaupun pendekatan ini mengambil banyak usaha dan waktu saya, pendekatan
ini memang berguna” .

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Jika perubahan konstruktif akan bertahan lama atau permanen, klien harus
menyimpulkan, “ Walaupun pendekatan ini mengambil banyak usaha dan waktu saya,
pendekatan ini memang berguna” . Jika ia menyimpulkan, “ Pendekatan ini telah
menolong saya sedikit, namun tidak sesuai dengan apa yang saya korbankan” , maka
konselor adalah tidak efektif, atau sebuah tindakan alternatif harus dikembangkan dan
diimplementasikan.
Ketika para klien memenuhi komitmen-komitmen, berikanlah penghargaan secara
verbal atau dengan cara-cara lain. Memberikan penghargaan pada para klien
menambah kepercayaan diri dan penghargaan dan memotivasi mereka untuk terus
bekerja pada perbaikan keadaan-keadaan mereka.
Salah satu kejutan realitas yang dialami para junior yang memasuki profesi-profesi
pertolongan adalah banyak klien, bahkan setelah membuat komitmen-komitmen untuk
memperbaiki situasi-situasi mereka, tidak melakukan langkah-langkah yang sudah
dijelaskan sebelumnya.

BAB IV
TUJUAN DAN TIPE-TIPE PERUBAHAN DALAM TERAPI PSIKOSOSIAL

A. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus


B. Perubahan Kognitif
Dari semua perubahan-perubahan yang ada, baik tajam maupun dramatis, yang
dapat terjadi selama proses pertolongan, pentingnya perubahan kognitif seringkali
diremehkan oleh para ahli terapi. Tampaknya bahwa persepsi kita akan diri kita sendiri
sebagai ahli-ahli terapi lebih sering berfokus pada kehidupan emosional klien daripada
bagian intelektualnya. Juga, kita telah mengalami dalam kehidupan kita seberapa

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pentingnya untuk mengetahui dan memahami apa yang sedang terjadi pada kita dan
pada orang-orang di sekitar kita. Sebagai tambahan, kita mawas bahwa pengetahuan
atau informasi dapat mempeluas perspektif-perspektif kita, membuka kesempatan-
kesempatan baru, dan meningkatkan potensi kita bagi meningkatnya otonomi atas
nasib kita. Di sisi lain, kita semua mengalami kegelisahan, kebingungan, dan frustasi
ketika kita tidak memiliki informasi seutuhnya dan memahami tentang pilihan-pilihan,
sumber-sumber daya, atau prosedur-prosedur.
Disamping itu, dalam praktik psikososial, sebuah bagian signifikan dari terapi
terjadi dalam keberfungsian psikososial akan menjadi hasil dari perubahan-perubahan
kognitif. Para klien akan mendapatkan pengetahuan baru tentang diri mereka sendiri,
motif, perasaan-perasaan, reaksi-reaksi, dan sikap-sikap. Mereka akan memperluas
pengetahuan mereka tentang perilaku mereka dan pengaruhnya pada orang lain.
Mereka akan belajar lebih lagi tentang orang-orang signifikan lain dalam kehidupan
mereka, tentang subsistem-subsistem yang menjadi tempat keberadaan mereka dan
yang paling penting adalah sumber-sunber daya barang-barang, pelayanan-pelayanan,
kesempatan-kesempatan dan orang-orang yang dapat menolong mereka mencapai
tujuan-tujuan yang menjadi komitmen mereka. pengetahuan dalam dirinya sendiri
adalah sebuah bentuk pertumbuhan, apakah ia berupa pertumbuhan yang terjadi dalam
diri seorang wanita yang mengetahui bahwa ia dapat terus bekerja karena informasi
baru tentang pelayanan-pelayanan perawatan harian yang ia dapatkan atau
pertumbuhan lebih mendasar yang terjadi dalam diri seorang pria di mana agresi jangka
panjangnya telah menciptakan masalah-masalah bagi dirinya dan bahwa pola ini dapat
berubah.

C. Perubahan Emotif

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Sebuah komponen penting terapi psikososial, bentuk psikoterapi manapun, adalah
modifikasi kehidupan emosi klien. Ragam perasaan yang meliputi keberfungsian
seseorang, dapat kaya dan memuaskan, namun kita juga mengetahui perasaan-perasaan
ini dapat membatasi, menyakitkan, dan membingungkan. Penyingkapan, pengarahan
kembali, pembebasan dan pemfokusan kembali perasaan-perasaan tentu saja telah
berada di antara pembedaan tujuan-tujuan psikoterapi.
Seperti manusia yang rasional, dan memampukan seperti rasionalitasnya, kita
mengetahui bahwa kehidupan emosinya, baik sadar maupun tidak sadar, juga adalah
dasar motivasi dan pertumbuhan pribadinya seperti dengan kehidupan emosionalnya
yang sama dapat membatasi dan menghalangi. Tanpa berusaha menggambarkan
jumlah total kompleksitas-kompleksitas emosional yang dapat menghalang
keberfungsian dan pertumbuhan, terdapat beberapa situasi utama yang dapat
ditekankan.
Semua ahli terapi, terlepas dari orientasi mereka, menyadari hal di mana banyak
klien yang kita temukan dalam praktik amat terhalangi karena citra diri yang terdistorsi,
rusak atau terluka. Negatifisme yang terarahkan oleh diri ini, yang dapat mengambil
banyak bentuk, mengarah pada sebuah peremehan potensi seseorang, sebuah
ketidakmampuan pada lingkungan-lingkungan signifikan seseorang.
Sebagai tambahan pada citra individu akan dirinya sendiri, kemampuannya untuk
menggunakan potensinya juga dapat dibatasi karena bertambahnya perasaan-perasaan
marah, takut, gelisah, tidak tentu dan sakit. Setiap orang mengembangkan sebuah pola
idiosinkretik mekanisme-mekanisme mental, baik sadar maupun tidak sadar, untuk
menghadapi kehidupan emosionalnya. Merupakan hal penting bagi ahli terapi untuk
memahami kedua pola ini dan pola perilaku kompromi, batasan-batasan, dan restriksi-
restriksi bahwa sebuah pola perilaku membawa pada sebuah pencarian individu bagi
perkembangan. Banyak perubahan perasaan yang terjadi meliputi citra diri klien

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
bermula dalam pengalaman akan merasa diterima, dipahami, didukung, dan didorong
dalam hubungan klien dan ahli terapi. Seringkali, tipe perubahan ini kemudian
membebaskan klien untuk mengalami perubahan-perubahan serupa dalam dirinya
sendiri dan orang lain baik masa kininya dan juga masa lalunya.

D. Perubahan Perilaku
Tampaknya bahwa dalam dekade-dekade sebelumnya perubahan-perubahan
perilaku tidak tampak sebagai sebuah tujuan utama tritmen namun tampak sebagai
sebuah hasil tritmen. Ketika seorang klien memahami dirinya sendiri dan merespon
secara lebih jelas, ia dapat mengubah perilakunya. Dengan bertumbuhnya penghargaan
pengaruh-pengaruh intersistemik yang merupakan hasil dari kontak yang berkelanjutan
dengan teori sistem, terdapat sebuah penghargaan yang diperkaya di mana perubahan-
perubahan perasaan pun dapat merupakan hasil dalam perilaku yang berubah, jadi
perilaku yang berubah dapat membawa sikap-sikap dan pemahaman akan diri sendiri
yang berubah. Seringkali, kita mendorong mereka untuk mengambil resiko melibatkan
diri dalam beberapa perilaku baru dan mengamati kepuasan mereka yang meningkat
dalam diri mereka sendiri dan otonomi mereka. Apa yang belum kita lakukan adalah
menggunakan pengetahuan yang sama ini secara sufisien dalam terapi bagi manfaat-
manfaat para klien kita.
Terdapat dua cara prinsipil di mana terapi bertujuan membawa tipe perubahan ini.
Pertama, terdapat sebuah perubahan yang terjadi secara tidak langsung, tanpa medium
hubungan. Di sini klien dapat mempelajari pola-pola tanggapan baru, keterampilan-
keterampilan baru dalam berkomunikasi, dan pendekatan-pendekatan baru pada
penyelesaian masalah melalui proses interaksi dengan ahli terapi. Tipe pengaruh
perilaku pada para klien ini seringkali diremehkan oleh para ahli terapi, seringkali
karena kita tidak memandang perilaku yang berubah di mana para klien belajar dari

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
kita dan tidak memasukan hal tersebut ke dalam penilaian intervensi-intervensi kita.
Memang, para klien sendiri tidak mawas bahwa mereka berubah namun hanya dapat
mawas bahwa beberapa situasi-situasi yang sebelumnya menciptakan tekanan telah
diubah.
Perubahan-perubahan juga secara langsung dan terencana tampak dalam terapi
psikososial. Dengan jelas, minat dalam dan perhatian rinci pada komponen terapi ini
telah secara pesat meluas dengan perkembangan dramatis terapi behavioral dalam
decade yang lalu. Banyak ahli terapi dalam tradisi psikososial telah memperluas
laporan teknik-teknik mereka dengan secara hati-hati menggunakan metode-metode
yang telah dipelajari dan diteliti untuk membawa perubahan-perubahan behavioral
yang spesifik. Lainnya telah menggambarkan pada dasar teori pembelajaran akan
teknik-teknik ini untuk memahami secara lebih baik bagaimana perilaku dipelajari dan
dimodifikasi dengan cara yang kurang terstruktur. Apakah dalam tradisi pemodifikasi
perilaku atau dalam peran konvensional ahli terapi sebagai guru dan penasihat, banyak
praktik psikososial secara sadar bertujuan pada pemodifikasian perilaku klien. Hal ini
dapat menjadi serupa dengan mengajari seorang ibu cara-cara baru menghadapi anak
yang amat aktif atau seperti dengan menolong sebuah pasangan mempelajari pola-pola
baru dalam menghadapi ketidaksetujuan-ketidaksetujuan melalui sebuah program
penegakan resiprokal yang dirancang dengan cermat. Ia dapat bersifat dasar seperti
mengajari seorang dewasa muda bagaimana untuk secara lebih baik merawat dirinya
sendiri untuk mencari pekerjaan atau seperti menolong seorang ibu untuk mengenali
dan mengubah gejala-gejala depresi yang muncul yang sebelumnya membuatnya tidak
mampu.
Sebuah ajaran inti terapi psikososial adalah untuk menekankan pentingnya
keberpengaruhan kekuatan pada lingkungan-lingkungan individu signifikan pada
perkembangan dan modifikasi kepribadian. Juga, ia menyatakan, bahwa dalam tritmen

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
perubahan yang direncanakan juga akan tampak dalam aspek-aspek lingkungan
kehidupan klien ini. Seperti yang disebutkan sebelumnya dalam pembahasan
perubahan perilaku, dasar teoritis perubahan lingkungan adalah keyakinan yang
menyatakan bahwa perubahan-perubahan dalam dunia luar klien dapat membawa
perubahan-perubahan dalam perilaku, tanggapan-tanggapan dan pemahaman
emosional, seperti dengan perubahan-perubahan dalam tanggapan-tanggapan
emosional dapat menolong klien memodifikasikan dunia eksternalnya.
Terdapat dua area prinsipil di mana tipe perubahan ini terjadi. Yang pertama
mengarahkan kegiatan-kegiatan tersebut dengan maksud untuk meningkatkan akses
klien pada sumber-sumber daya material. Kegiatan-kegiatan ini, sepanjang pengalaman
pekerja sosial, meliputi sumber-sumber daya yang meluas dan mengalami peningkatan
ragam kompleksitas di mana seorang pekerja sosial harus beralih dalam sebuah praktik
yang sibuk. Tidak ada satupun dari kita harus pergi ke luar pengalaman hidup kita untuk
menjadi mawas akan batasan-batasan keberfungsian, yang menguras emosi-emosi kita
dan penyeranan pada identitas-identitas kita yang dapat menjadi hasil dari dan batasan-
batasan yang berpindah akan sumber-sumber daya. Kita juga mengetahui secara
resiprokal bagaimana pendapatan sumber-sumber daya atau akses dapat menolong
mereka dalam sebuah situasi tertentu.
Bersamaan dengan provisi bantuan material langsung, perubahan-perubahan dalam
lingkungan klien juga dibawa oleh provisi pelayanan-pelayanan. Daftar pelayanan
yang dikembangkan amat banyak. Kita mengetahui bahwa dalam sebuah masyarakat
seperti masyarakat kita tidak sufisien untuk ingin mencapai tujuan-tujuan kita dan
untuk memiliki kemampuan pribadi untuk melakukannya. Sebagai tambahan, kita
semua membutuhkan sebuah jaringan kerja yang rapi akan pelayanan-pelayanan untuk
membantu kita. Pengasuhan harian untuk anak, pengganti pengasuhan bagi sumber-
sumber daya orang tua, pendidikan, dan rekreasional adalah sedikit dari pelayanan-

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
pelayanan yang penting bagi cukupnya keberfungsian orang-orang, para keluarga, dan
para kelompok. Ahli terapi psikososial menggunakan keterampilan-keterampilannya
baik untuk memastikan bahwa pelayanan-pelayanan tersebut ada maupun untuk
memahami potensi mereka dalam sebuah cara yang mengizikannya untuk menggambar
bagi dirinya untuk kebaikan klien ketika ia mengenal dan memahami klien tersebut.
Cara di mana kita membawa perubahan-perubahan dalam lingkungan signifikan
klien tentu saja merupakan sebuah topik kompleks dan terliput. Ia membutuhkan
pengetahuan yang banyak tentang klien dan orang-orang, sumber-sumber daya, dan
pelayanan-pelayanan dalam masyarakat. Tidak lebih kurang, ia membutuhkan
sejumlah keterampilan yang penting untuk membawa klien, orang, pelayanan, dan
sumber daya bersama dalam sebuah cara yang dengan tentu menghasilkan perubahan
yang telah tampak. Hal yang penting adalah komponen praktik ini dalam sistem ini
yang akan menjadi topik dalam bab berikutnya.

E. Perubahan Lingkungan
Tampaknya bahwa dalam dekade-dekade sebelumnya perubahan-perubahan
perilaku tidak tampak sebagai sebuah tujuan utama tritmen namun tampak sebagai
sebuah hasil tritmen. Ketika seorang klien memahami dirinya sendiri dan merespon
secara lebih jelas, ia dapat mengubah perilakunya. Dengan bertumbuhnya penghargaan
pengaruh-pengaruh intersistemik yang merupakan hasil dari kontak yang berkelanjutan
dengan teori sistem, terdapat sebuah penghargaan yang diperkaya di mana perubahan-
perubahan perasaan pun dapat merupakan hasil dalam perilaku yang berubah, jadi
perilaku yang berubah dapat membawa sikap-sikap dan pemahaman akan diri sendiri
yang berubah. Seringkali, kita mendorong mereka untuk mengambil resiko melibatkan
diri dalam beberapa perilaku baru dan mengamati kepuasan mereka yang meningkat
dalam diri mereka sendiri dan otonomi mereka. Apa yang belum kita lakukan adalah

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
menggunakan pengetahuan yang sama ini secara sufisien dalam terapi bagi manfaat-
manfaat para klien kita.
Terdapat dua cara prinsipil di mana terapi bertujuan membawa tipe perubahan ini.
Pertama, terdapat sebuah perubahan yang terjadi secara tidak langsung, tanpa medium
hubungan. Di sini klien dapat mempelajari pola-pola tanggapan baru, keterampilan-
keterampilan baru dalam berkomunikasi, dan pendekatan-pendekatan baru pada
penyelesaian masalah melalui proses interaksi dengan ahli terapi. Tipe pengaruh
perilaku pada para klien ini seringkali diremehkan oleh para ahli terapi, seringkali
karena kita tidak memandang perilaku yang berubah di mana para klien belajar dari
kita dan tidak memasukkan hal tersebut ke dalam penilaian intervensi-intervensi kita.
Memang, para klien sendiri tidak mawas bahwa mereka berubah namun hanya dapat
mawas bahwa beberapa situasi-situasi yang sebelumnya menciptakan tekanan telah
diubah.
Perubahan-perubahan juga secara langsung dan terencana tampak dalam terapi
psikososial. Dengan jelas, minat dalam dan perhatian rinci pada komponen terapi ini
telah secara pesat meluas dengan perkembangan dramatis terapi behavioral dalam
dekade yang lalu. Banyak ahli terapi dalam tradisi psikososial telah memperluas
laporan teknik-teknik mereka dengan secara hati-hati menggunakan metode-metode
yang telah dipelajari dan diteliti untuk membawa perubahan-perubahan behavioral
yang spesifik. Lainnya telah menggambarkan pada dasar teori pembelajaran akan
teknik-teknik ini untuk memahami secara lebih baik bagaimana perilaku dipelajari dan
dimodifikasi dengan cara yang kurang terstruktur. Apakah dalam tradisi pemodifikasi
perilaku atau dalam peran konvensional ahli terapi sebagai guru dan penasihat, banyak
praktik psikososial secara sadar bertujuan pada pemodifikasian perilaku klien. Hal ini
dapat menjadi serupa dengan mengajari seorang ibu cara-cara baru menghadapi anak
yang amat aktif atau seperti dengan menolong sebuah pasangan mempelajari pola-pola

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
baru dalam menghadapi ketidaksetujuan-ketidaksetujuan melalui sebuah program
penegakan resiprokal yang dirancang dengan cermat. Ia dapat bersifat dasar seperti
mengajari seorang dewasa muda bagaimana untuk secara lebih baik merawat dirinya
sendiri untuk mencari pekerjaan atau seperti menolong seorang ibu untuk mengenali
dan mengubah gejala-gejala depresi yang muncul yang sebelumnya membuatnya tidak
mampu.

F. Bebas dari Penderitaan


Banyak klien yang datang melakukan kontak profesional terlukai dalam banyak
cara. Mungkin luka yang dialami yang disebabkan oleh rasa kehilangan yang dialami
pertama kalinya atau kecemasan eksistensial pada pencarian makna. Hal ini mungkin
merupakan kepedihan dari rasa frustrasi, beratnya depresi, saluran kecemasan, teror
atau halusinasi atau kebingungan terhadap suatu keadaan struktur kepribadian yang
memburuk. Bisa juga karena penderitaan yang disebabkan oleh kelaparan atau
keinginan yang tidak terwujudkan. Semua ini melukai manusia dan akibat dari tidak
terpenuhinya keinginan dan kebutuhan, serta saluran potensi yang menjadi tekanan
terhadap motivasi. Sehingga dalam praktik, beberapa perubahan seperti yang
dijelaskan diatas ditujukan untuk membebaskan klien dari keperihan atau penderitaan
yang dialami klien.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
BAB VI
SUMBER-SUMBER PENYEMBUHAN PSIKOSOSIAL

Turner Francis J (1978) dalam terjemahan Tungga Y.E.M (2008), mengemukakan


bahwa penyembuhan psikososial yang dicapai, bersumber dari:

A. Relasi (Relationship)
Sumber tritmen psikososial yang pertama dan utama adalah relasi antara terapis dan
klien. Sejak awalnya dalam tulisan Mary Richmond, terapi psikososial telah
menekankan kekuatan dari orang perorangan, kemampuan dari satu orang manusia
untuk mengubah ide-ide, persepsi-persepsi, perasaan-perasaan, tindakan-tindakan dan
gaya hidup orang lain. Relasi pertolongan pernah dianggap memiliki kekuatan
sehingga pada saat itu hampir diberikan identitas mistik dan dipandang sebagai
kekuatan magis dan misterius. Sekarang persepsi ini telah berubah dan pada dekade
lalu sudah tumbuh minat untuk mencoba memahami dan menjelaskan tentang
bagaimana orang-orang saling mempengaruhi, baik berkaitan dengan keadaan dan
durasinya. Kecenderungan ini mengandung makna bahwa tidak berkurangnya respek
terhadap kekuatan dari komponen inti dari sumber daya manusia .
Pengaruh satu sama lain, adalah hal yang signifikan dan juga bukan sesuatu yang
positif perlu. Pengaruh dari satu pribadi terhadap pribadi lain telah sejak lama di
pahami sebagai salah satu dari agen yang terkuat dalam perkembangan manusia, sehat,

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
tidak sehat, pertumbuhan manusia, berkarakter jelek, atau merasa puas. Kesadaran akan
kekuatan relasi dan bagaimana memanipulasinya agar bermanfaat bagi klien telah lama
menjadi komponen esensial dalam tradisi psikoterapi.
Dalam tradisi psikososial, relasi terapeutik tidak dianggap sebagai satu-satunya
variable dalam tritmen. Terapis dapat dengan mudah beralih kepada suatu situasi
dimana relasi pertolongan menjadi komponen utama atau bahkan satu-satunya
komponen tritmen ketika komponen tersebut menjadi begitu kuat dan berpengaruh.
Banyak orang yang ditemui dalam praktik kontemporer telah tercabut dari signfikan
(orang-orang terdekatnya), relasi-relasi penyembuhan yang mereka responi terhadap
seorang profesional menggunakan relasi dramatik. Seringkali dalam praktik pekerja
sosial lupa bahwa ada banyak orang dalam masyarakat luas yang tidak pernah memiliki
pengalaman: tidak diinterupsi, prihatin, penuh respek, didengarkan. Para pekerja sosial
juga kagum pada bagaimana hal ini dapat bebas dan memungkinkan. Disamping itu,
para pekerjapun seingkali meremehkan keluasan pengaruhnya dalam memperkuat
pertumbuhan para klien sebagai akibat dari kontak singkat dengan mereka (para klien).
Kepentingan equal adalah kesadaran tentang bagaimana berbahayanya jika
penannganan dilakukan secara buruk.

B. Terapis (Therapist)
Terapis adalah sama pentingnya dengan relasi. Karena itu, pengetahuan dan
ketrampilan terapis yang diperoleh melalui pelatihan-pelatihan profesional, keunikan
terapis sebagai seseorang juga tidak kalah penting sebagai komponen proses
penyembuhan. Siapa yang menjadi terapis, akan mempengaruhi cara klien memandang
terapisnya, orang macam apa yang dapat ia bantu, dalam setting seperti apa ia dapat
praktek secara efektif, dan jenis masalah apa yang dapat ia tangani dengan efisien?

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Secara jelas, komitmen dan tujuan pelatihan profesional adalah untuk mengurangi
sifat aneh dari praktik sebisa mungkin namun tidak dapat menghapuskan secara
menyeluruh. Sebab individualisasi akan selalu ada mengingat keunikan pribadi tiap
terapis. Jadi keunikan pribadi seorang terapis akan menjadi faktor kunci yang
membantu perkembangan positif atau negatif dalam suatu cara yang penting pada kasus
tertentu. Keunikan ini harusnya membuat para praktisi menjadi rendah hati.
Karena pentingnya pribadi dalam proses terapi maka pertanyaan tentang
akuntabilitas adalah hal yang sangat serius dan penting. Di masyarakat Amerika Utara
terdapat dua fenomena yang menarik terkait dengan profesi-profesi yang untuk
sementara cenderung menetralisir satu sama lain. Pada tahun 1960an dan awal 1970an
terdapat suatu bias individualistik yang kuat dan bias anti profesional yang
menekankan pada praktik individu dengan caranya sendiri. Profesi dipandang sebagai
proteksi diri sendiri, resktriktif, dan pelayanan terhadap diri sendiri, sehingga oleh
terapis. Jumlah pencari bantuan profesional makin meningkat secara nyata sehingga
prtanyaan-pertanyaan terhadap lisensi, kontrol dan pertanggung jawaban profesional
diminimalkan. Pandangan ini diperkuat oleh pandangan antiterapi yang menekankan
pada gaya praktik yang dipandang sangat sulit berdasarkan sebuah model relasi dengan
kualitas pertemanan. Dalam gaya ini reaksi-reaksi pertama, impresi-impresi dan
respon-respon langsung merupakan dasar pemberian pertolongan.
Pada waktu itu juga, terdapat perubahan yang lain terhadap nilai
yang mendukung kelayakan untuk mencari bantuan dan kembali pada pertolongan
profesional. Jumlah orang-orang yang mencari bantuan profesional meningkat, namun
pada suatu waktu peningkatan permintaan hampir tidak kelihatan karena pengaruh dari
trend antiprofesional. Hal ini telah berubah saat ini, dan dengan perhatian dalam
pemberian pertolongan resmi, permintaan-permintaan masyarakat yang belum pernah
terjadi sebelumnya di buat pada kelompok-kelompok profesional untuk akuntabilitas.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Pada waktu yang bersamaan terjadi kekecewaan terhadap orang-orang yang tidak
mengidentifikasi diri mereka sendiri dengan kelompok profesi yang diakui dan
memiliki sanksi yang membuat mereka menjadi akuntabel terhadap pengetahuan dan
keterampilan-keterampilan mereka. Dengan meningkatnya permintaan-permintaan
bantuan profesional dan akuntabilitas maka muncul apresiasi terhadap potensi bahaya
dari bantuan tidak etis, tidak dapat diterima dan kebutuhan untuk membuat standar-
standar, kontrol-kontrol, dan sanksi-sanksi untuk melindungi klien dari bahaya.
Selanjutnya, telah memberi penekanan berat pada tubuh profesi untuk menemukan
hubungan esensial antara otonomi yang penting dan individualitas tiap praktisi dan
kebutuhan untuk membuat standarisasi tingkat-tingkat praktik dan etika perilaku yang
akuntabel.
Dalam pengakuan akan kebutuhan otonomi dan akuntibilitas yang
memperhitungkan desakan kuat dari dalam tradisi psikososial bagi terapis untuk
menerima beberapa supervisi dan konsultasi. Penelitian Shah dalam Shwartz Orit
Nuttman dan Kleinberg Jeffrey (2012) mempertanyakan etika dan kualitas intervensi,
demikian juga pertanyaan tentang kemampuan untuk mendeskripsikan kesalahan-
kesalahan terapi dan serangkaian standar etika.

C. Jejaring pelayanan (Service Network)


Dua hal penting dalam penetapan jejaring pelayanan yaitu; pertama, berkaitan
dengan struktur dimana pertolongan diberikan, seperti lembaga atau klinik. Kedua,
lingkungan fisik yang actual dimana proses dilakukan, seperti rumah atau kantor.
Kita sering meremehkan keberadaan sistem pertolongan yang berbentuk aktivitas-
aktivitas pertolongan secara tidak langsung. Bentuk pertolongan tidak langsung tidak
dapat diabaikan meskipun terlalu menekankan kemanjurannya juga tidak benar. Ketika
seorang individu, keluarga atau kelompok menyadari bahwa orang-orang dan tempat-

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
tempat yang akan mereka tuju ada, maka ini merupakan suatu proses pertolongan .
harapan bahwa pertolongan itu ada atau tersedia dan akan manjur akan menciptakan
iklim keterlibatan yang produktif.

D. Tempat (Locale)
Tempat merupakan variabel penting yang perlu mendapat perhatian dalam proses
pertolongan. Interaksi dan kontak antara terapis dan klien dapat terjadi di lokal/tempat
seperti kantor, rumah, latar kerja atau beberapa tempat informal.
Dalam beberapa dekade, anggota-anggota profesi pertolongan telah bekerja dengan
klien dalam seting yang luas. Sering pilihan seting yang akan digunakan bersifat
fragmatis berdasarkan urgensi waktu yang tersedia pada tempat yang berbeda untuk
proses terapeutik.
Pada tahun 1950an, kunjungan rumah diasumsikan sebagai kepentingan utama
dalam penemuan tentang pengaruh-pengaruh sosio-kultural dan gelombang antusiasme
terhadap terapi keluarga. Tetapi sayangnya aspek tritmen ini lama terpisah dari praktik
pekerjaan sosial dibidang kesejahteraan anak, asistensi publik, dan praktik pekerjaan
sosial di pedesaan. Aspek ini hanya dipandang sebagai suatu penyebab masalah yang
tidak dipertimbangkan dan diujicoba dalam praktik. Perlu ditegaskan bahwa diperlukan
lebih banyak data untuk mengklarifikasi efek dan tempat praktik yang berbeda. Tanpa
berpaling jauh dari kehidupan psikososial, dikertahui bahwa kita bereaksi secara
berbeda terhadap situasi-situasi dan orang-orang, tergantung pada tempat dimana kita
bertemu atau berinteraksi dengan mereka. Misalnya, persepsi dan kepercayaan orang
terhadap pengacara,dokter/perawat atau pemimpin agama sangat besar dipengaruhi
oleh fleksibilitas ketersediaan mereka dalam situasi kebutuhan khusus.

E. Waktu (Time)

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Seperti seting dan tempat, faktor waktu belum diungkapkan/dipahami sepantasnya
sebagai suatu komponen empiris dari proses pertolongan. Memang, salah satu nilai
tradisional yang menghubungkan waktu dan tritmen, dan merefleksikan pengaruh kuat
dari sekolah psikoanalitik adalah sering tidak ditetapkannya keyakinan bahwa proses
pertolongan adalah lebih efektif bila diperpanjang waktunya. Hal ini tercermin dalam
pandangan banyak orang bahwa tritmen jangka panjang lebih bernilai daripada tritmen
jangka pendek. Karena tritmen jangka panjang dapat mempengaruhi perubahan-
perubahan fundamental dalam kepribadian, sedangkan tritmen jangka pendek bersifat
temporer dan memiliki keadaan yang lazim. Tritmen jangka pendek disamakan dengan
pertolongan pertama pada kecelakaan.
Pandangan ini sedang berubah. Penelitian dan pengalaman bahwa tritmen jangka
pendek dapat menjadi efektif dan pada waktunya lebih bermanfaat daripada tritmen
jangka panjang menumbuhkan kesadaran yang mengubah pandangan sebelumnya.
Bersamaan dengan minat baru dalam tritmen jangka pendek, muncul intervensi krisis
dan satu kesadaran bahwa pertolongan yang diberikan dalam takaran dan waktu yang
tepat adalah hal fundamental yang penting. Kontrasnya, Shwartz Orit Nuttman dan
Kleinberg Jeffrey (2012), mencatat Peled, Perel dan Huss, dkk. bahwa populasi-
populasi tidak beruntung mendapat manfaat dari terapi kelompok analitik jangka
panjang dan menjelaskan tentang konsep waktu, dan durasi terapi, dan aspek lain
termasuk memperkenalkan tritmen analitik jangka panjang.
Membandingkan dinamika pandangan terhadap tritmen jangka panjang dan jangka
pendek, maka dapat dikatakan bahwa dinamika kontekstual termasuk kerangka waktu,
tempat dan kebutuhan klien menentukan efektifitas dari suatu tritmen. Pada konteks
tertentu seperti pada masa Turner Francis J tritmen jangka panjang bisa lebih efektif
yang kemudian pilihan beralih pada tritmen jangka pendek. Kini, Tritmen jangka
panjang mulai diperkenalkan lagi dalam terapi kelompok analitik.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Variabel-variabel penting yang perlu diperhatikan berkenaan dengan waktu adalah:
1. Kebutuhan
Intervensi yang efektif menekankan pada kebutuhan. Hal penting dalam variabel ini
adalah klien membuat permohonan pertama untuk mendapatkan pelayanan. Ketika
klien telah membuat permohonan maka itu berarti bahwa pekerja sosial dan kliennya
telah beranjak dari satu titik dimana klien memiliki kemampuan untuk mentolerir masa
penantian akan pertolongan sebagai suatu ujian terhadap motivasinya ke titik lain yang
menekankan pada kebutuhannya akan pertolongan. Respon cepat dan baik terhadap
pelayanan ditentukan oleh pribadi-pribadi dan situasi-situasi. Sebab itu pertanyaan-
pertanyaan; orang macam apa dan situasi seperti apa? Yang mampu menghasilkan
solusi yang sangat sesuai.
2. Durasi proses pertolongan.
Terdapat anggapan bahwa semakin pendek waktu kontak, semakin bernilai proses
pertolongan (the shorter the contact, the more valuable the process). Ini menunjukkan
bahwa para praktisi pada masa Turner Francis J telah beralih dari penghargaan kepada
tritmen jangka panjang ke tritmen jangka pendek. Meski demikian bukan berarti bahwa
mereka mengabaikan kualitas terapi bagi klien. Karena menurut Turner, mereka
memperhitungkan resiko-resiko dari tritmen jangka panjang yaitu ketergantungan klien
pada praktisi. Dalam tritmen jangka pendekpun diakui bahwa indikator dari suatu
pertolongan yang efektif adalah keberlanjutan terapi bagi klien dan terminasi yang
tidak terencana merupakan suatu kegagalan.
3. Lamanya satu interview berlangsung dan dan seberapa sering interview dapat
dilakukan?
Artinya bahwa interview yang baik adalah yang interview yang bersifat convenient and
manageable. Tiap praktisi yang berpengalaman telah mengalami dua pilihan yaitu
kebutuhan dan variasi dalam jarak interview. Tidak semua klien dapat mentolerir satu

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
jam interview. Beberapa orang membutuhkan jarak satu minggu untuk tiap interview
agar dapat memaksimalkan manfaat dari interview itu sendiri sementara orang lain
lebih dapat memanfaatkan interview yang lebih jarang. Durasi dan frekuensi interveiew
ini disesuaikan dengan tingkat stressinternal, toleransi terhadap frustasi, kemampuan
intelektual, kondisi fisik, jenis dan sifat dari pelayanan dan permasalahan. Jenis
perkembangan atau perubahan tertentu yang diperlukan atau diinginkan oleh klien
terjadi sebagai bagian dari proses pendewasaan yang sehat. Proses pendewasaan tidak
bisa dilakukan secara terburu-buru.Tanggungjawab praktisi dalam hal ini adalah
menjamin bahwa prosesnya terstruktur sedemikian rupa sehingga klien memiliki waktu
untuk mengembangkan potensi dirinya sendiri. Misalnya, seorang dewasa muda yang
kewalahan oleh realitas keberfungsian otonomi, mungkin hanya memerlukan
pengalaman tinggal selama beberapa bulan dan mendemonstrasikan potensi untuk
berfungsi pada dirinya sendiri agar mencapai suatu identitas yang kuat dan sehat.
Tindakan mendorong lebih keras, atau memaksakan pelibatan diri secara berlebihan
dan melakukan terminasi lebih cepat akan menimbulkan dampak negatif bahkan
membatalkan proses pendewasaan. Aplikasi waktu sebagai suatu sumber tritmen atau
penyembuhan dapat bervariasi. Praktisi mungkin hanya menghabiskan waktu beberapa
menit untuk menelpon klien dengan cara menunjukkan sikap menerima dan
mendukung klien agar tetap aktif selama bertahun-tahun akan memfasilitasi dukungan
yang meadai bagi pertumbuhan potensi organ dan sistem sosialnya yang signifikan.
The article shows how disadvantaged populations can benefit from long-term analytical group
therapy, and reveals how the concepts of time, duration of therapy, and other aspects differ from
those proposed in the models presented by Peled and Perel and Huss et al. , including the
introduction of long-term analytic treatment

F. Sumberdaya Lingkungan (Environmental Resources)


Seperti telah dikemukakkan bahwa praktek psikososial didasarkan pada keyakinan
kuat akan banyaknya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan meningkatkan
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
perkembangan. Juga bahwa terapi bertujuan untuk memahami faktor-faktor ini dan
menghasilkan pengaruhnya untuk bertahan secara layak demi mencapai tujuan terapi
yang telah ditetapkan. Jadi seorang terapis psikososial yang sensitif dan imajinatif
memiliki sejumlah besar sumberdaya eksternal yang dapat digunakan. Satu hal yang
paling penting adalah pandangan/spektrum diluar individu dan kelompok secara umum
disebut sebagai significant others dalam kehidupan klien. Terdapat tiga komponen
utama yang masuk dalam sumberdaya lingkungan ini adalah informasi, pelayanan-
pelayanan dan sumber-sumber material. Berikut ini adalah beberapa contoh significant
others, yaitu; suami dari wanita yang mengalami kecemasan, teman dari siswa yang
mengalami depresi. Guru dari seorang anak murid yang terganggu, boss dari seorang
pria pecandu, keluarga dari seorang pemuda yang mengalami skizoprenia, atau anak
dari seorang lanjut usia. Para signifikcan orhers ini dapat menjadi kunci keberhasilan
intervensi. Dalam bekerja dengan mereka, diperlukan keterampilan-keterampilan yang
sama seperti dalam asesmen, diagnose dan intervensi terhadap klien utama.
Lebih dari itu, pengembangan relasi terencana dengan orang-orang lain terdapat
tiga komponen utama dari sumber lingkungan yang tersedia bagi terapis yaitu
informasi, pelayanan dan sumber-sumber material ditambah dengan teknologi
1. Informasi
Terapis menyadari bahwa ketersediaan informasi merupakan potensi untuk
menolong. Seringkali kita melupakan betapa kewalahannya dan mudah melemahkan
kompleksitas kehidupan. Perasaan kewalahan dapat mengakibatkan kecemasan bahkan
langsung menyebabkan imobilitas. Pada tingkatan yang lebih besar imobilitas dapat
bersumber dari ketidaktahuan tentang cara enemukan pelayanan-pelayanan yang
dibutuhkan, dan sumber-sumber atau ketidakpahaman tentang prosedur-prosedur,
alternative-alternatif, persyaratan-persyaratan, harapan-harapan dan keterbatasan-
keterbatasan. Kita semua telah mengalami bagaimana tegangnya berada dalam situasi-

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
situasi baru. Misalnya, ketika bepindah ke kota lain. Kita juga tahu bagaimana cepat
meningkat dan berakumulasinya ketegangan dan kecemasan dalam mengumpulkani
sumber-sumber yang dibutuhkan. Banyak orang yang dijumpai Turner dan kawan-
kawannya dalam praktik mengalami kekurangan informasi dan keterampilan dan
pembelajaran dalam kedua hal tersebut. Karena itu Turner menegaskan bahwa salah
satu dari kebanyak fungsi kritis/penting profesional adalah menjadi penyelia informasi.
Penyediaan informasi ini perlu untuk mencegah efek buruk terhadap para klien ketika
mereka sadar akan pelayanan-pelayanan pertolongan yang muncul bahkan ketika
mereka tidak membutuhkan pelayanan-pelayanan tersebut

2. Pelayanan
Terapis psikososial juga mempertimbangkan fungsi menolong seorang klien untuk
memperoleh akses terhadap sumber-sumber yang tersedia. Fungsi ini merupakan
variabel penting dalam tritmen, termasuk proses membuat ketersedian informasi
tentang terapi yang lebih kompleks. Sebagai contoh, seorang ibu yang memiliki anak
cacat tidak hanya perlu mengetahui tentang fasilitas ‘ day care’ untuk anaknya
tersebut, tetapi juga perlu mengetahui tentang hal-hal lain seperti cara-cara memperoleh
akses terhadap sumber pelayanan tersebut. Apabila proses tersebut difasilitasi dengan
cara yang sangat menolong maka hasilnya akan berdampak positif terhadap konsep diri
klien dan kemampuannya untuk berfungsi. Kita lupa tentang berapa banyak
pengetahuan yang telah kita dapatkan menjamin ketersediaan sumber-sumber dalam
komunitas. Kitapun lupa terhadap cara mengakses sumber-sumber tersebut. Kita
mengabaikan bagaimana terbatasnya kehidupan beberapa klien yang disebabkan oleh
kekurangan akses terhadap sumber-sumber. Dalam pengalaman kerja Turner dengan
kelompok ibu-ibu dari kelas pekerja (working class) di kota Canada yang merasa puas

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
dengan tamasya yang diikutinya dan ingin mengajak anak-anaknya untuk melakukan
tamasya serupa menemukan bahwa salah seorang dari ibu-ibu tersebut mengalami
masalah identitas diri yang terkait erat dengan keadaan dirinya sebagai orangtua
tunggal. Kasus ini menunjukkan bahwa tindakan yang lebih membantu ibu tersebut
adalah menemukan suber-sumber yang tersedia baginya untuk mengatasi masalah
identitasnya dibandingkan dengan relasi sebelumnya dengan terapis. Secara singkat,
faktor relasi dengan terapis bukanlah hal terpenting dalam kasus ibu ini. Disamping itu,
pertolongan ini hanya menggunakan sebagian kecil dari sumber-sumber tetapi yang
penting adalah menekankan pada cara memperoleh akses yang dapat meningkatkan
kehidupan klien.
Pengalaman Turner lainnya adalah sangat mudah untuk mengabaikan situasi klien.
Seorang kliennya membicarakan tentang keprihatinannya pada ibunya yang telah
pindah ke sebuah panti werdha yang jauh darinya. Turner mengajukan pertanyaan
apakah tidak lebih baik kalau ia menyurati ibunya, klien terebut terlihat resisten
terhadap pertanyaan saran tersebut. Turner berusaha untuk menemukan factor
penyebab resistensi dan tersandung pada fakta bahwa sang klien buta huruf tetapi malu
untuk mengakuinya. Selama beberapa waktu ia menolong kliennya untuk mengatasi
perasaan tidak seimbang antara malu dan fakta bahwa sang klien buta huruf. Secara
bersama-sama mereka mengusahakan sistem sumber dan memperoleh bantuan dari
satu sistem pendidikan yang menolong klien kembali ke bangku sekolah. Pada saat
bersamaan dengan klien bersekolah, klien juga dapat melakukan kontak dengan
keluarganya. Jadi fokus masalah dalam kasus ini adalah kontak dengan keluarga (sang
ibu). Tetapi untuk mengatasi masalah ini klien perlu belajar membaca dan menulis
lewat bangku pendidikan.

3. Sumber-sumber material

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Komponen utama yang terakhir dari sumber penyembuhan dari lingkungan adalah
sumber-sumber material yang pada intinya adalah penyediaan materi-materi bantuan.
Hal ini adalah subyek sensitive dalam profesi-profesi pertolongan. Stereotip mengenai
‘ Lady bountiful’ yang membawa sekeranjang makanan untuk membantu keluarga
miskin tidak sesuai dengan gambaran terbaru tentang diri terapis dalam relasi
pertolongan. Dalam relasi pertolongan, terapis menggunakan keterampilan-
keterampilan profesionalnya untuk merekonstruksi kepribadian klien sehingga klien
mengalami pertumbuhan yang sehat. Tetapi bila pertumbuhan merupakan tujuan
intervensi maka apapun yang dapat memfasilitasi pertumbuhan harus dipertimbangkan
secara seksama agar tidak memperburuk siatuasi klien. Jadi pekerja sosial sebagai
terapis adalah pengguna berbagai sumber yang berbeda. Maka pekerja sosial perlu
menggunakan bantuan material dalam melaksanakan perannya sebagai fasilitator bagi
para kliennya sehingga ia juga harus berusaha untuk memaksimalkan penggunaan
sumber-sumber material.

G. Teknologi
Komponen terakhir dari spectrum sumber-sumber terapi adalah penggunaan
teknologi. Komponen ini merupakan aspek yang relative baru dalam terapi. Namun
telah menghasilkan beberapa literature yang menarik.Termasuk penggunaan audiotape,
videotape dan alat-alat teknik lainnya dan sumber-sumber yang tersedia dalam
masyarakat. Dalam kaitannya dengan komitmen terhadap keragaman dalam praktik
pendekatan psikososial, sumber-sumber tersebut harus dilihat dengan cara yang netral.
Beberapa klien dari Turner mendapatkan manfaat dari penggunaan audiotape, dimana
mereka mampu mendengarkan ucapan-ucapan mereka sendiri tentang argument-
argumen interpersonal mereka melalui audiotape. Banyak juga keluarga yang telah
tertolong dengan menonton fungsi mereka sendiri melalui video tape. Individu lainnya

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
telah mempelajari tentang pengurangan stress melalui penggunaan berbagai instrument
untuk memonitor perubahan-perubahan psikologis yang terjadi pada dirinya.
Kelompok-kelompok telah belajar menggunakan film-film dengan sangat baik sebagai
basis diskusi dan interaksi kelompok. Seperti kita belum menyadari sepenuhnya
tentang seting fisik bagi klien, juga belum mulai menghargai sampai sejauh apa banyak
komponen teknolgi dapat membantu dalam proses terapi.

BAB VII
PRAKTEK TERAPI PSIKOSOSIAL

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Pada bab ini penulis akan membahas tentang proses terapi psikososial, dan
beberapa tehnik psikososial.

A. KETERAMPILAN-KETERAMPILAN TERAPEUTIK
Menurut Turner Francis J (1978) dalam terjemahan Tungga Y.E.M (2008), adalah
sulit untuk melakukan kategorisasi terhadap rentang keterampilan yang di persyaratkan
dalam kompetensi sebagai seorang terapis secara tepat. Terdapat dua ekstrim yang
dihindari, yaitu di satu sisi ada identifikasi terhadap sejumlah keterampilan yang terlalu
generalis. Karena itu, hanya sedikit membantu untuk menggambarkan tentang terapis
psikososial sebagai seseorang yang terampil dalam menetapkan dan memelihara
hubungan-hubungan dan penggunaan sumber-sumber lingkungan. Disisi lain, suatu
daftar tentang keterampilan-keterampilan, yang berusaha untuk mengidentifikasinya
dari tiap komponen asesmen, diagnosis, dan tahap-tahap dari proses intervensi akan
membosankan dan membingungkan. Dalam daftar itu seseorang harus menyebutkan
bahwa seorang terapis harus mengkhususkan untuk mampu mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, memfokuskan diskusi, berurusan dengan keheningan dan seterusnya secara
jelas melalui membuat sejumlah besar kegiatan-kegiatan pertemuan manusia secara
terencana.
Selanjutnya, menurut Turner Francis J (1978) bahwa dalam upaya mengidentifikasi
serangkaian keterampilan-keterampilan klinis yang dipersyaratkan oleh seorang
terapis, keempat topik berikut ini dapat diidentifikasikan:
1. Keterampilan-keterampilan melibatkan diri (Involvement skills)
Serangkaian kegiatan yang kompleks mengharuskan pelibatan individu-individu,
keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok dalam suatu proses yang menghasilkan
pemberian dan penerimaan informasi, pelayanan-pelayanan, atau sumber-sumber.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Termasuk dalam proses pelibatan ini adalah aktifitas-aktifitas mendengarkan,
memungkinkan, mengkomunikasikan empati, kompetensi dan kepercayaan, verbalisasi
dan merefleksikan pikiran.
2. Keterampilan-keterampilan organisasi dan manajemen (organization and
management skills)
Terapis psikososial harus mampu berurusan dengan sejumah besar
informasi,kesan-kesan, pandangan-pandangan dan sikap-sikap yang berasal dari
banyak sumber, dan aturan serta mengelolahnya dengan cara-cara yang bermanfaat
bagi proses. Dalam masyarakat saat ini (tahun 1978), keterampilan-keterampilan ini
dibutuhkan oleh semua orang pada level tertentu.Tetapi pada kepentingan khusus para
terapis memiliki keterampilan-keterampilan ini pada suatu tingkatan yang tinggi
sebagaimana dikembangkan melalui pelatihan dan praktik. Kekurangan keterampilan-
keterampilan ini mengakibatkan terjadinya fragmentasi, diorganisasi dan kurangnya
petunjuk/arah dalam proses tritmen.

3. Keterampilan-keterampilan membuat sintesa dan abstrak (synthesizing and


abstracting skills)
Material-material/bahan-bahan yang diperoleh harus dikelola disusun dan juga
disintesa, disusun berdasarkan tingkatan dalam cara yang dapat diuji dari perspektif
teori untuk memberi fokus dan arah pada proses intervensi. Keahlian dalam bidang ini
memberikan formulasi-formulasi yang akurat dan berguna dalam kasus-kasus spesifik.
Dengan kata lain, terapis psikososial harus memiliki kemampun untuk menyimpulkan
informasi yang telah diperoleh dan ditata-urutkan sedemikian rupa sehingga dapat diuji
dari sisi perspektif teoritiknya untuk memberikan fokus dan arah pada proses
intervensi.
4. Keterampilan-keterampilan implementasi ( Implementation skills)

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Terapis psikososial harus mampu untuk merencanakan dan mengimplementasikan
suatu strategi terapi yang spesifik untuk setiap kasus. Hal ini mempersyaratkan
sejumlah besar teknik-teknik interpersonal, melalui pengetahuan tentang suber-sumber
kemasyarakatan, akses terhadap sumber, dan fleksibilitas tinggi yang diperlukan untuk
menetapkan, memelihara, dan menciptakan beragam program intervensi.

B. PROSES TERAPI PSIKOSOSIAL


Proses intervensi atau terapi psikososial menurut Turner Francis J (1978), secara
tradisional digambarkan sebagai struktur tripartit yang terdiri dari pengumpulan
informasi (data gathering), penilaian yang diagnosis, dan akhirnya pengobatan
(treatment). Telah ditekankan bahwa komponen ini tidak boleh dilihat sebagai hal yang
terpisah, tetapi saling terikat sebagai tiga kegiatan yang berlangsung secara serentak di
seluruh proses meskipun masing-masing mungkin akan ditekankan berbeda pada
waktu yang berbeda dalam pengobatan. Dapat juga dilakukan bahwa dalam setiap
tahap proses adalah tanggung jawab orang yang berbeda. Penting bahwa terdapat
kecukupan informasi yang tersedia, penilaian yang tepat dalam perumusan jenis
intervensi yang sesuai.
Komponen sistem psikososial adalah proses rasionalisasi didasarkan pada
pemahaman yang jelas tentang klien dan motivasinya, situasi sumber daya yang
tersedia, penentuan tujuan yang tepat, dan menghasilkan rencana untuk proses
intervensi. Tahapan dalam proses terapi psikososial dapat meliputi langkah-langkah
berikut :

Data Gathering
Komitmen untuk memahami orang dalam situasi yang spesifik, pengumpulan data
dan penilaian informasi adalah bagian penting dari proses terapi psikososial.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Keterampilan yang paling penting dalam pengumpulan data adalah selektivitas.
Kesalahan-kesalahan yang sering dibuat, yaitu para terapis memiliki kecenderungan
besar untuk mengumpulkan data tentang semua komponen dari kehidupan klien
sebelum memulai proses terapeutik. Proses mengumpulkan data tersebut terlalu luas,
misalnya terapis menghabiskan banyak waktu untuk mengumpulkan dan menyusun
sejumlah informasi yang luas tentang seorang klien. Informasi ini dikumpulkan dari
sejumlah besar orang lain. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mencari tahu segala
sesuatu tentang klien. Walaupun ini disinyalir dilakukan karena khawatir tidak
mendapatkan gambaran lengkap, atau karena tidak tahu apa yang harus dilakukan dan
apa yang perlukan.
Perlu jauh lebih selektif dalam mengumpulkan fakta. Salah satu fenomena menarik
dalam praktek psikoterapi saat ini, bahwa kita berorientasi tidak dalam mendapatkan
informasi yang banyak tetapi untuk menjadi selektif dari informasi yang tersedia baik
dari klien dan juga lingkungannya. Praktek yang bertanggung jawab menyatakan
bahwa sifat dan jumlah informasi yang diperlukan atau dibutuhkan harus dinyatakan
oleh klien atau sumber data tentang klien adalah dari klien sendiri. Pendekatan
yangdigunakan untuk membangun komitmen klien untuk melibatkan dirinya dalam
proses dan nasibnya sendiri. Bagaimana klien melihat dirinya, sejarahnya, dunianya,
tujuannya, perhatiannya, dan aspirasi masa depannya, memberitahu kita banyak
tentang siapa dia, apa yang ia inginkan, apa yang dapat dilakukannya dan bagaimana
ia bisa melakukannya. Kecuali bila klien di bawah stress yang berat, sehingga dalam
kasus tersebut perlu untuk memiliki informasi dari berbagai sumber dan orang lain.
Cara klien bisa merasakan dirinya sendiri dan lingkungan yang signifikan dan
bagaimana persepsi klien sesuai dengan persepsi-persepsi kita tentang dia, juga
merupakan titik penting dalam pengumpulan informasi. Ketika kedua set pengamatan
berbeda adalah penting bagi terapis untuk mempertimbangkan alasan perbedaan dan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
untuk menanyakan apakah informasi lebih lanjut diperlukan. Sering bahwa tugas untuk
dapat memperjelas dan meninjau kembali dengan klien dalam bidang pemahaman dan
persepsi adalah bagian dari proses terapeutik dan bahkan mungkin akan menjadi isi
proses itu sendiri.
Mungkin juga diperlukan bagi terapis untuk mencari informasi di luar diri klien
sendiri. Sering sistem pertama dibahas adalah bahwa ada orang lain yang penting dalam
kehidupan klien. Orang dekat seperti keluarga atau teman-teman sering dapat memberi
informasi dan persepsi tentang seorang klien sehingga dapat memperluas pemahaman
kita. Termasuk dalam konsep penting lain adalah orang-orang yang dapat
mempengaruhi kehidupan klien atau dipengaruhi oleh klien, seperti atasan, guru,
profesional lain, teman tetangga dan rekan. Semua ini dapat memberikan kontribusi
beberapa pemahaman tentang klien.
Praktisi harus siap untuk memahami sejauh mana klien dibantu serta terhambat oleh
berbagai orang yang berpengaruh (significant others). Orang-orang tersebut dapat
menjadi sumber informasi tapi juga sumber ketegangan. Selain orang-orang yang
berpengaruh dalam kehidupan klien, ada profesional lain yang mungkin menjadi
sumber informasi tentang kekuatan dan keterbatasan dalam keadaan psikososial klien.
Psikolog, pekerja sosial, dokter, perawat kesehatan, guru mungkin dapat memberikan
informasi tentang klien sebelum muncul kontak, atau kita mungkin ingin
memanfaatkan keahlian dan pengalaman mereka untuk memberikan kita informasi
lebih lanjut.
Fenomena sosiologis yang menarik yang berasal dari pekerja sosial yang tertarik
pada orang yang berpengaruh dalam subsistem klien, dan juga yang signifikan diluar
klien memiliki kecenderungan untuk melihat bidang ini sebagai tanggung jawab utama
para pekerja sosial yang tergabung dalam tim yang terdiri dari berbagai disiplin.
Catatan yang ditinggalkan oleh para profesional lain dapat menjadi sumber informasi

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
penting tentang klien. Namun demikian terkadang bahwa terapis yang membaca
catatan tersebut akan berprasangka terhadap klien dan terkunci ke dalam persepsi
mereka sebelum wawancara pertama.
Tambahan dari profesional lain dan laporan-laporan mereka sebagai sumber
informasi, catatan lembaga yang atau catatan profesional kadang-kadang diperlukan.
Terlepas dari sudut pandang saat ini yang cenderung meremehkan catatan yang
berkelanjutan sebagai sumber data yang akurat tentang klien, Sesungguhnya sangat
cerdas dan bertanggung jawab menggunakan catatan tersebut dan dapat sangat
membantu. Penggunaan catatan yang tepat dapat menyelamatkan klien dari keharusan
untuk mengulangi data yang mungkin sensitif dan dapat membantu terapis memahami
sejarah dahulu.
Sumber data selanjutnya sering disalahpahami atau diremehkan mengenai
informasi yang kami miliki tentang klien berdasarkan pengamatan kita sendiri.
Mengamati klien dalam interaksi dengan kita atau orang lain dalam lingkungannya.
Ini adalah sumber yang sangat kuat dari informasi dan bahwa kita harus menggunakan
sebagai bagian dari keseluruhan penilaian.
Di samping sumber-sumber informasi lain, pengetahuan terapis tentang aspek-
aspek penting dari kehidupan klien dapat berkontribusi pada data yang diperlukan.
Dengan demikian, pengetahuan mengenai suatu lingkungan, nilai-nilai dan tradisi atau
tuntutan pekerjaan tertentu, aturan di sekolah atau etnis atau kelompok budaya tertentu,
dapat memperkaya dan memperluas semua pemahaman terapis, persepsi dari klien dan
interaksi timbal balik dari komponen penting dari realitas psikososial.
Sebuah keterampilan yang diperlukan oleh terapis psikososial adalah kemampuan
untuk memilih dan menggunakan sumber data yang luas. Keputusan untuk mencari
data yang lebih luas tentang klien harus didasarkan pada penilaian profesional. Artinya
sejauh mungkin, kita kurang puas dan mencari lebih rinci tentang sifat masalah dan

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
cobalah untuk melihat klien sebagai penyedia informasi yang diperlukan. Ketika
membuat keputusan untuk melangkah lebih jauh dengan klien, maka kegiatan terapis
harus selektif dan terarah. Aktivitas dibuat untuk mencari data lebih lanjut dalam suatu
cara yang direncanakan dengan hati-hati, profesional dan sensitif. Klien tidak boleh
mengalami serangkaian tes, wawancara dan prosedur penilaian yang tidak terarah
dengan harapan bahwa kita dapat menemukan sesuatu yang kita tidak tahu.
Kesempatan yang paling penting bagi kita untuk datang ke dalam kontak langsung
dengan klien. Bagian penting ini ada dalam kunjungan ke rumah klien. Pekerja sosial
telah lama memahami keuntungan dari kunjungan rumah sebagai sumber utama
pemahaman klien. Kegiatan tersebut dapat melihat klien dalam lingkungannya, tempat
kerja, lingkungan di mana dia tinggal, sekolah, dan jenis tempat-tempat di mana dia
menghabiskan waktu luang adalah aspek penting dari tradisi psikososial, bagian
pertama dari proses intervensi dalam pengumpulan data.

Asesmen (penilaian)
Penggunaan data yang tersedia adalah bagian proses terapeutik yang bertanggung
jawab. Berbagai pertimbangan profesional yang kita buat mengenai data sangat penting
dalam membentuk arah di mana terapis dan klien akan bergerak bersama-sama.
Tujuan dari komponen asesmen atau penilaian adalah untuk memahami klien,
dengan potensi dan keterbatasan, sumber kekuatan dan stres, sumberdaya perubahan
dan hambatan terhadap perubahan yang diinginkan. Asesmen membentuk formulasi
dari penilaian profesional tentang data yang diperoleh, dari sudut pandang yang
alamiah dan objektif .
Proses asesmen terdiri dari dua elemen. Pertama adalah keputusan tentang data
tambahan apa yang diperlukan dari suatu kasus dan di mana data tersebut akan
diperoleh. Elemen kedua adalah asesmen atau penilaian terhadap data yang diperoleh
tersebut. Tidak cukup hanya memperoleh gambaran kondisi kehidupan fisik klien,
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
tetapi bagaimana dia berfungsi dalam kehidupannya. Tidak cukup untuk mengetahui
dan menggambarkan situasi keluarga klien, juga diperlukan untuk mengevaluasi sejauh
mana interaksi keluarga menyumbang atau mengganggu klien dalam pertumbuhan dan
pengembangan psikososial. Sehingga dalam setiap kasus, masing-masing orang
penting, sebagai bagian sistem dan komponen dari kehidupan klien. Asesmen harus
pula melingkupi sudut pandang kekuatan potensi klien, sudut pandang kebutuhan klien
dan aspirasinya dan juga dari sudut pandang peran klien dalam situasi problematis.
Sensitivitas dan akurasi terapis psikososial dalam beragam asesmen yang akan
dilakukan sangat bergantung pada pengetahuan dan kepekaan terhadap bagian penting
dari kepribadian dan lingkungan klien.

Diagnosis
Proses asesmen terletak di tengah antara tahap pengumpulan data dan diagnosis.
Konsep diagnosis telah lama menjadi bagian dari kerangka psikososial. Seperti konsep-
konsep atau istilah yang disebutkan dalam bab sebelumnya, kata diagnosis telah
menjadi bermuatan emotifistilah yang sering menimbulkan diskusi. Beberapa kritik
terhadap penggunaan istilah diagnosis, dan ini membuat diskusi dan proses sulit.
Dikatakan oleh beberapa orang bahwa diagnosis yang merupakan hak
prerogatif profesi medis, di mana memiliki arti yang tepat.
Istilah diagnosis seperti yang telah digunakan dalam tradisi psikososial,
mempunyai arti yang sama yang diberikan dalam profesi lain: yaitu, proses
membedakan, atau seni mengetahui, tanda dari sebuah fenomena. Diagnosis telah lebih
dekat melekat untuk tentu saja membantu profesi medis, di mana ia memiliki
kecenderungan untuk ditafsirkan sebagai proses memahami proses penyakit dari tanda-
tanda yang diamati.
Keterampilan dari ahli diagnosis bukan hanya mengenali apa yang salah dan
mengapa, tetapi juga dalam mengenali apa yang benar dan sehat, bahkan lebih penting,
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
mampu menilai bahwa tidak ada yang salah. Dalam tradisi psikososial, diagnosis telah
digunakan dalam arti luas. Oleh karena itu sebuah proses di mana terapis berusaha
untuk menyatukan jumlah total dari informasi, kesan dan pengalaman sehingga sampai
pada suatu kesimpulan, meski bersifat tentatif sebagai sifat orang, situasi dan
permintaan. Hal ini merupakan hasil dari proses sintesis, restrukturisasi, memfokuskan
kembali dan pengorganisasian tujuan yang ditetapkan dan pola intervensi yang akan
dikembangkan. Ini adalah keterampilan, kecermatan dan ketepatan proses diagnostik
yang menyebabkan kegiatan psikoterapis bertanggung jawab, sensitif, fleksibel dan
efektif.
Proses diagnostik menyiratkan untuk mencari dan komitmen untuk mengatur
secara menyeluruh berbagai data, fakta, kesan, pengakuan kesenjangan pengetahuan,
penghapusan apa yang tidak relevan, dan usaha untuk mencapai kesimpulan. Sifat
alamiah, isi dan intensitas diagnosa akan berkaitan dengan sifat klien, tempat dan titik
dalam kehidupan kasus.
Diagnosis memiliki sifat ganda, baik sebagai sebuah proses dan fakta. Sebagai
sebuah proses, hal ini berkaitan dengan suatu kegiatan yang sedang berlangsung dan
hampir intuitif untuk setiap terapis. Sebagai sebuah fakta diagnosis adalah hasil dari
kegiata terapis mengklarifikasi, menolak dan melakukan reformulasi yang terus-
menerus dari fenomena
Seperti yang digunakan dalam profesi medis, istilah diagnosis mengacu pada suatu
penggalian suatu penyakit dan dengan demikian menyiratkan adanya patologi.
Diagnosis dianggap sebagai label untuk menggambarkan kesulitan yang ditemukan.
Penggunaan istilah diagnosis juga berasal dari mereka yang melihat konsep sebagai
klasifikasi dari suatu situasi. Diagnosis dilihat sebagai proses mencari dari daftar
masalah-masalah dari patologi atau penyakit, dan dari daftar ini dipilih yang terdekat
dengan situasi yang muncul. Seleksi dan aplikasi semacam ini dinamakan diagnosis.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Konsep diagnosis juga berkaitan dengan persepsi bahwa diagnosis hanya ada dalam
penghakiman para profesional yang terlibat, dan dimana klien atau pasien tidak
mempunyai suara. Artinya diagnosis untuk diberikan kepada klien sebagai sebuah label
yang didasari oleh praduga profesional.
Diagnosis adalah istilah yang lebih disukai untuk menggambarkan proses sintesa
intelektual, ciri khas profesional yang bertanggung jawab, dimana sebuah usaha untuk
membuat formalisasi dan menerima persepsi dari klien, tentang situasi psikososial dari
sudut pandang situasi yang muncul. Jika kita tidak mendiagnosis, kita tidak dapat
mengatakan diri kita profesional yang bertanggungjawab.
Terlepas dari orientasi teoritis, setiap kita memformulasikan keputusan tentang
relevan atau tidak relevan dari berbagai komponen dari kehidupan klien. Kita harus
memutuskan bagaimana saling hubungan diantara sistem. Kita harus mencoba untuk
mengidentifikasi, mengecek dan menyeimbangkan area yang bervariasi dari stres dan
kekuatan dan untuk mengidentifikasi apa kebutuhan untuk dirubah dan apa yang dapat
dirubah.
Kejelasan komitmen untuk konsepsi yang akurat tentang proses diagnostik,
membantu kita untuk menghormati tanggungjawab sikap kita dan menumbuhkan rasa
kerendahan hati. Penekanan pada komponen faktual, membantu kita untuk
menekankan pada pencarian yang tepat tentang persepsi kita, penilaian dan kesimpulan
tentang klien.
Dalam melaksanakan diagnosis penting untuk menggambarkan situasi psikososial
klien saat ini seperti yang kita lihat dan pahami. Mengidentifikasi aspek-aspek dari
klien, sejarah klien yang kita anggap signifikan mempengaruhi situasi yang muncul,
fungsi psikologis klien saat ini, mengidentifikasi antara stress dan kekuatan yang
sedang bekerja. Selain itu aspek khusus dari bagian diagnosis adalah asesmen dari sikap
klien tentang proses terapeutik, termasuk motivasinya, atau persepsi klien tentang

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
proses pertolongan. Lebih jauh lagi kita harus mengidentifikasi pihak lain yang penting
dalam kehidupan klien, serta lingkungan yang signifikan, dimana klien tinggal. Dalam
kaitannya dengan ini kita harus berusaha untuk menilai interaksi yang terjadi antara
sistem dan mengidentifikasi area-area yang kita anggap sangat penting untuk tugas
terapeutik. Kita harus bisa menentukan apakah klien masuk kedalam klasifikasi
masalah atau kepribadian. Pada saat yang sama kita harus mengindividualisasi klien,
untuk fokus pada perbedaan tertentu yang membuat kasus ini berbeda dari yang lain.
Tentu saja obyektifitas juga akan memungkinkan kita untuk mengetahui kapan
sesungguhnya kita telah mencapai tujuan yang telah kita sepakati dengan klien.

Kontrak atau Setting Goals


Penentuan tujuan yang jelas adalah komponen dari proses pertolongan berkutnya
setelah diagnosis. Seringkali situasi kehidupan klien merupakan spektrum yang luas
dari kekurangan, banyaknya masalah yang tak terduga, kurangnya sumber daya,
sehingga sangatlah sulit untuk menetapkan tujuan tetap. Namun penting untuk tetap
merumuskan tujuan, walaupun harus sering didefinisikan ulang selama kasus tersebut
ditangani.
Sebuah komitmen untuk tujuan merupakan konsep penting dari merealisasikan dan
memikirkan kembali tentang perubahan situasi. Penting untuk mempertimbangkan
tujuan tidak ditetapkan kepada klien oleh terapis, tetapi klien dilibatkan untuk
penentuan tujuan. Praktik ini tidak selalu diikuti, klien sering tidak sepenuhnya sadar
terhadap tujuan ketika terapis bekerja. Dalam sebuah kontrak, tujuan dari proses
teurapeutik dan harapan bersama antara klien dan terapis ditetapkan, kadang-kadang
informal dan kadang dalam sebuah form kontrak tertulis yang
ditandatangani.Keuntungan dari bentuk kontrak formal, tertulis formulasi diagnosis
yang tepat dan juga tujuan yang realistik yang telah ditetapkan bersama klien. Kontrak
perlu dilakukan sebagai dasar proses terapeutik yang akan dilakukan.
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Hubungan Teurapeutik
Komponen berikutnya dari proses teurapeutik adalah memantapkan dan
menetapkan hubungan teurapeutik. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa terapi
psikososial dibentuk dari alasan bahwa seseorang yang memiliki pengaruh antara orang
perorang dalam ketentuan hubungan teurapeutik. Relasi atau hubungan yang efektif
dalam teurapeutik dapat dipelajari, diperoleh dan ditingkatkan. Sehingga klien merasa
diterima, diperhatikan, dipahami dan didengar sebelum masuk ke proses teurapeutik.
Proses dapat dilihat sebagai proses yang aman bagi klien, dan terapis harus kompeten,
terbuka.
Bagian cukup penting dari hubungan teurapeutik dimana terapis memberikan fakta-
fakta dari fenomena pemindahan atau perubahan (Tranference). Tranference adalah
sebuah konsep yang orisinal dalam pandangan psikodinamik, menunjuk kepada proses
hubungan interpersonal seseorang yang memiliki relasi dengan seseorang yang penting
dari masa lalu.Tranference tidak selalu dilakukan dalam gagasan psikososial sekarang
ini tidak seperti 20 tahun yang lalu. Namun demikian transference tetap merupakan
konsep penting. Perspektif ini memberikan kita basis untuk memahami banyak kejutan
dan respon yang tidak tepat yang kita temukan dari klien selama proses terapi. Karena
banyak kontak kita dengan klien berkaitan dengan perasaan, pengalaman dan persepsi
klien, dan karena investasi emosional yang telah dimiliki klien.

Permulaan
Awal dari proses terapi adalah masa sulit bagi terapis serta untuk klien karena
berbagai tugas yang harus dicapai dengan minimal data. Klien harus dengan cepat
terlibat dalam proses teurapeutik dengan merasakan bahwa proses yang akan dilalui
aman dan bermanfaat, proses yang menghormati haknya untuk berada disana,
menghargai martabat pribadi.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Ada beberapa faktor yang membantu kepada terapis pada tahap awal. Biasanya
klien berada dalam situasi bahwa dirinya ingin dibantu, dan terapis ingin membantu
dan di mana antusiasme dan rasa ingin tahu baik dari klien maupun terapis tentang
situasi baru dapat menjadi produktif. Terapis harus meyakinkan bahwa dirinya tersedia
untuk klien melalui ketertarikan komunikasi, kepedulian dan
penghormatan.Selanjutnya, klien harus menemukan pembebasan dari kegelisahan dan
keprihatinan dalam kontak pertama sehingga proses teurapeutik dapat dimulai. Pada
tahap permulaan ini harus dicapai kondisi yang menenangkan sebagai komponen
penting dari awal terapi.

Pertengahan
Fase ini adalah proses yang paling menuntut dan membutuhkan tingkat terbesar
keterampilan terapis. Tantangan terhadap terapis dan klien berasal dari meningkatnya
risiko kekecewaan selama periode ini. Pada diri klien antusiasme awal selesai, dampak
pertama dari karisma profesional telah berlalu. Klien dapat mengalami kekecewaan
ketika menyadari bahwa perubahan secara pribadi dan situasi memang tidak mudah,
ada banyak pekerjaan keras ke depan. Keraguan mulai muncul tentang kompetensi
terapis, kegunaan sumber daya dan kemampuan atau keinginan untuk berubah. Di sisi
terapis reaksi yang sama terjadi, keingintahuan awal dan antusiasme tentang situasi
baru telah berlalu. Kesamaan banyak kasus lain namun ternyata klien berbeda. Banyak
kejutan muncul, kesulitan membuat kemajuan yang jelas. Keadaan tersebut sangat
mudah untuk membuat terapis menjadi bosan dan kondisi ini menggangu klien yang
sedang berjuang.
Terapis yang terampil harus menyadari risiko dalam fase ini. Pentingnya proses
teurapeutik harus diperkuat, rasa sakit dan ambivalensi klien harus segera ditanggapi
dan dihilangkan.Terapis perlu juga menekankan keterlibatan orang lain yang signifikan
dan sumber daya di sekitar klien.Titik berat pada terapis bahwa pada fase ini harus
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
menggunakan segenap keterampilan untuk merubah kondisi dan keadaan klien. Perlu
diingat terapis harus selalu melibatkan peran aktif klien, tidak melakukan monopoli
terhadap klien. Apabila terapis terlalu dominasi akan semakin menghilangkan klien
dari kemampuan sendiri untuk mengubah dirinya atau kehidupannya. Kesulitan pada
tahap ini juga bias berasal dari tidak mampu mempertahankan proses dengan
membangun kekuatan dari tahap awal

Terminasi
Kebanyakan tulisan di terminasi telah cukup negatif, mungkin karena banyak dari
penghentian yang terjadi lapangan kami tidak direncanakan dari sudut pandang terapis.
Klien seringkali orang yang memutuskan kapan proses selesai. Hal ini jelas menjadi
perhatian profesi karena bertentangan dengan citra terapis sebagai orang yang
mengendalikan situasi terapeutik.
Dari sisi positif, pengakhiran adalah komponen yang paling penting dalam
pengobatan. Proses teurapeutik sebagai suatu proses yang direncanakan, maka
terminasi menandai puncak dari keseluruhan proses. Titik arah dimana seluruh proses
telah bekerja. Terminasi yang baik apabila klien dan terapis telah memutuskan bahwa
proses telah mencapai puncaknya dan ke arah mana proses telah ditujukan telah
tercapai. Terminasi berkaitan pula tentang keputusan yang telah dibuat bahwa tidak
dapat dicapai tujuan atau proses tidak diinginkan untuk dilanjutkan.
Tahapan ending bahwa klien sekarang dapat berfungsi tanpa terapis, dengan
demikian dapat mewakili pencapaian untuk klien yang dengan sendirinya
meningkatkan ego. Ending ini juga memberikan kesempatan kepada klien dan terapis
untuk meninjau, untuk memeriksa apa yang terjadi dan bahkan lebih penting untuk
memahami mengapa. Ini memberikan kesempatan bagi klien untuk merenungkan
bagaimana hubungan telah membantu, untuk melihat apa perannya setelah bermain di
dalamnya, untuk mengakui kemajuan yang telah terjadi. Fenomena ini adalah
Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
komponen lebih lanjut dari proses meningkatkan perkembangan klien.Sisi lain dari
proses akhir adalah untuk memeriksa komponen dari proses yang belum berjalan
seperti yang diharapkan. Terapis yang sensitif akan menyadari kemungkinan ini dan
menanggapinya.
Aspek terakhir dari proses terminasi untuk kepentingan terapis. Ketika proses telah
dilakukan secara disiplin, terapis juga dapat memeriksa dengan dirinya sendiri apakah
tujuan telah tercapai dengan baik. Dan sama pentingnya adalah pertimbangan mengapa
tujuan itu tercapai atau tidak tercapai. Kajian tersebut dapat membantu terapis untuk
memperluas dan meningkatkan keterampilan dengan menjadi sadar akan apa yang telah
membantu dan mengapa. Sama pentingnya dengan identifikasi improvisasi apa yang
telah dibuat dalam teknik dan prosedur seperti apa. Hal ini dapat menjadi pembelajaran
penting bagi terapis.

Interview Pertama (Initial Interview)

1. Asesmen Diagnostik
2. Proses Treatmen

C. TEKNIK TEKNIK TERAPI PSIKOSOSIAL


Dari banyak tehnik terapi psikososial, penulis hanya membahas beberapa teknik
pada bab ini

D. RESIKO PRAKTIK TERAPI


Penulis berusaha mengartikulasi uraian Turner Francis J (1978) bahwa klien,
masyarakat dan terapis merupakan tiga komponen yang beresiko atau juga menjadi
sumber resiko dalam praktik terapi psikososial.
1. Klien (the client)

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Dalam suatu cara yang umum, semua klien yang melibatkan diri mereka sendiri
dalam suatu relasi terapeutik menimbulkan resiko bagi dirinya sendiri dalam suatu
spekulasi. Resiko yang dimaksud adalah klien tersebut tidak mendapatkan bantuan
yang kompeten dimana dia akan dipahami. Bahkan klien tersebut dibahayakan.
Siapapun yang telah berada dalam praktik adalah sangat baik untuk menyadari akan
resiko ini.

2. Masyarakat (society)
Resiko dari terapi yang tidak kompeten tidak hanya berasal dari klien secara
individual dan keluarganya saja, tetapi juga berasal dari masyarakat. Bertahun-tahun
para pekerja sosial dibidang kesejahteraan anak telah terlibat dalam perencanaan dan
seringkali melakukan berbagai pemisahan dan pengintergasian kembali keluarga. Tiap
anak yang dipindahkan dari satu rumah dan ditempatkan pada sebuah rumah
pengasuhan baik untuk sementara ataupun seara permanen telah memiliki kehidupan
tersendiri dan secara esensial diubah oleh lingkungan. Banyak dari pekerjaan ini telah
berhasil tetapi banyak dari mereka yang terlibat tidak menyadari tentang bahaya yang
telah ditimbulkan oleh ketidakompeten. Pertanyaan-pertanyaan yang sangat
menakutkan dari diagnosis akurat dalam kasus kesejahteraan anak telah terbawa dalam
pikiran secara dramatis pada tahun-tahun terakhir ini dalam kass-kasus perlakuan salah
terhadap anak. Disinilah pekerja sosial dan anggota-anggota dari disiplin terkait harus
secara sering menghadapi pilihan tentang meninggalkan seorang anak beresiko untuk
diperlakukan salah dirumahnya atau bahkan mati atau memindahkan anak tersebut
berserta dengan masalah-masalah perpisahan dan trauma yang bersifat permanen.
Tipe lain dari resko societal terkait dengan kompetensi diagnosis yang terlibat
dalam pengambilan keputusan tentang klien yang secara permanen berbahaya bagi
masyarakat. Misalnya, ada seorang yang sangat marah, sangat terganggu, dan sangat

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
tertekan yang dapat membahayakan atau bahkan membunuh orang lain. Sekali lahi,
kita tidak seharusnya selalu bertanggung jawab secara penuh ketika bahaya-bahaya
terbut muncul; situasi pengetahuan kita tidak cukup menekankan pada prediksi hasil.
Tetapi buruk sekali tanggung jawab kita bila kita tidak menggunakan pengetahuan,
keterampilan dan sumber-sumber yang tersedia bagi kita.

3. Terapis (the therapist)


Disamping, resiko-resiko dari para klien yang suka menyerang, membunuh diri
atau paranoid terdapat juga orang – orang yang marah kepada terapi. Contohnya,
pasangan menikah yang meninggalkan perkawinannya karena terapis telah membantu
proses perceraiannya. Orangtua pasangan ini juga marah kepada terapis karena usaha
terapis untuk membantu perkembangan kemandirian kliennya yang bisa saja salah satu
dari pasangan ini dianggap sebagai penyebab perceraian atau masalah lain. Beberapa
resiko hanyalah bersifat emosional, kehilangan afeksi atau respek; orang lain lebih
serius dalam hal kemungkinan adanya pembalasan atau penyerangan dari pasangan
klien, orangtua atau mertua.
Perkembangan permintaan masyarakat terhadap professional yang kompeten
adalah fenomena baru dalam praktik pekerjaan sosial di zaman Turner dan para terapis
pada masa itu. Mereka pernah secara hukum mengajukan perkara para kliennya yang
mereka yakin bahwa para klien tersebut pernah mengalami perlakukan salah. Penulis
menafsirkan bahwa Turner dan para terapis pada ketika itu berhati-hati terhadap resiko
pembalasan atau penyerangan dari pelaku perlakuan salah (perpetrator) sebagai efek
dari tindakan mereka memproses kasus-kasus klien secara hukum. Karena itu, Turner
menyimpulkan pengalaman-pengalamannya dalam resiko-resiko membuat mereka
lebih efektif, spesifik, berhati-hati dan rendah hati. Semua sifat-sifat tersebut oleh

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Turner disebut sebagai atribut-atribut yang diinginkan dalam pribadi siapapun yang
profesional.

5. TERAPI JANGKA PENDEK (SHORT TERM THERAPY)


Penulis mengupas konsep tentang terapi jangka pendek menurut Bloom (1997),
Wells (1994), Eckert,(1993), Bakham,(1989) Howard,Kopta,Krause, &
Orlinsky,(1986) dan Lambert & Ogles,2004;Nochp;as & Berman,(1983)dalam
Knapp Herschel (2007:160).
Terapi jangka pendek ditandai dengan sejumlah sesi yaitu sebanyak 1 sampai 20
sesi, yang secara rata-rata dapat dilaksanakan sebanyak 6 kali. Menurut Bloom (1997)
dalam Knapp Herschel (2007:160), terapi ini muncul pada awal tahun 1960an sebagai
suatu terapi alternatif bagi metoda-metoda psioanalitik yang lebih panjang pada saat
itu. Terapi ini jangan dibingungkan dengan terapi intervensi krisis. Karena tujuan
utama dari terapi krisis adalah untuk menyembuhkan klien dari situasi pre-krisisnya,
sedangkan terapi dengan waktu yang lebih lama mempromosikan pengembangan dan
implementasi keterampilan-keterampilan yang memampukan klien untuk
mengungkapkan masalahnya dan meningkat pada situasi baseline (Wells, 1994)
Terapi jangka pendek menurut Eckert, 1993, dapat di tandai dengan empat
komponen, yaitu:
1. Perencanaan (planning)-mengidentifikasi masalah--masalah yang spesifik dan
tujuan-tujuan yang berkaitan (identifying specific problems and their
corresponding goals)
2. Kolaborasi (collaboration)— Membantu mengembangkan suatu aliansi/gabungan
terapi (fostering a therapeutik alliance)

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
3. Waktu (timing)— mendorong dan memfokuskan usaha-usaha terapi untuk di
laksanakan selama dan diantara sesi-sesi (prompt and focused therapeutic efforts
to be executed during and between sessions)
4. Pemberdayaan (empowerment) —secara proaktif melibatkan klien untuk memasuki
pemecahan masalah atau usaha-usaha pertumbuhan (proactively enganging the
client to embark on solving or growth efforts)
Sehubungan dengan efikasi, penelitian telah mengungkapkan bahwa kemajuan
signifikan dapat dijadikan sebagai sangat sedikit seperti 3 sesi pertama. Perbaikan
cenderung untuk lebih besar pada sesi-sesi awal terapi (Bakham,1989). Telah
ditunjukkan juga bahwa terapi yang lebih lama menghasilkan perbaikan yang lebih
besar, tetapi dengan mengurangi hasil bekerja lembur (Howard,Kopta,Krause, &
Orlinsky,1986) dan perolehan terapi tersebut cenderung untuk bertahan lama terlepas
dari durasi terapi (Lambert & Ogles,2004;Nochp;as & Berman,1983)
Penulis mengidentifikasi 5 hal pokok dalam konsep terapi jangka pendek
berdasarkan berdasarkan pernyataan Knapp yaitu: Pertama, terapi jangka pendek
merupakan alternatif dari metode psikoanalitik yang sangat panjang dan memerlukan
jam kerja yang panjang bahkan lembur. Kedua, diakui bahwa terapi jangka panjang
menghasilkan perbaikan yang lebih baik dan bertahan lama. Ketiga, tujuan terapi
jangka pendek berbeda dengan intervensi krisis. Keempat, terdapat 4 kompenen dalam
terapi jangka pendek yaitu perencanaan, kolaborasi, penetapan waktu dan
pemberdayaan. Kelima, terlihat perbedaan nyata dalam tujuan, yaitu intervensi/terapi
krisis bertujuan untuk memulihkan situasi pra krisis atau katakanlah bahwa terapi krisis
merupakan pertolongan kedaruratan sementara terapi jangka pendek adalah intervensi
berjangka waktu lebih panjang daripada terapi krisis yaitu memiliki 1-20 sesi dengan
kurang lebih 6 kali sesi pemadatan yang memiliki tujuan pemberdayaan terhadap klien
agar ia mampu mengungkapkan masalahnya.

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Cakupan Terapi
Dalam mengklarifikasi komponen-komponen penting proses terapi tujuan proses
tersebut harus tetap dijadikan sesuatu yang terpenting. Bagi ahli terapi psikososial,
tujuannya adalah pencapaian keberfungsian psikososial optimal dalam potensi klien
dan dalam sebuah cara yang mengenali dan menghargai sistem-sistem nilainya.
Tujuan ini tampak dalam tiga konteks luas: media hubungan-hubungan manusia,
materi dan pelayanan sumber daya yang tersedia, dan sumber-sumber daya manusia
lingkungan-lingkungan signifikan klien. Dengan parameter-parameter ini, lima tipe
perubahan dapat diidentifikasikan bahwa ia dapat merupakan hasil dari sebuah
pengalaman terapis dengan seorang ahli terapi psikososial: kognitif, emotif, material,
dan pemulihan dari penderitaan. Merupakan hal yang dipahami bahwa klasifikasinya
dimaksudkan untuk menyatakan bukan menutupi kategori-kategori namun, daripada
demikian, berupa pengelompokan yang berguna untuk memudahkan sebuah
pemahaman yang lebih jelas proses tersebut. Dengan jarang perubahan yang berada
dalam sebuah kasus terjadi hanya pada satu kategori. Secara lebih umum perubahan
tersebut menyentuh beberapa area. Secara lebih penting, perubahan tersebut dapat
dipahami bahwa berbagai bentuk perubahan ini tidak mencerminkan sebuah hirarki;
tidak satupun tipe perubahan lebih besar daripada yang lainnya. Kebutuhan-kebutuhan
klien harus tetap diutamakan, daripada pilihan ahli terapi atau peringkat profesi akan
tipe-tipe perubahan.
Salah satu poin harus dibuat. Lima klasifikasi ini menggambarkan ragam
perubahan-perubahan yang dapat terjadi. Tentunya ia tidak menyatakan bahwa ahli
terapi psikososial manapun harus memiliki ragam keterampilan, pengetahuan dan
sumber-sumber daya untuk menolong semua klien dalam semua situasi. Daripada
demikian, jenis-jenis perubahan dapat tampak terjadi; apakah perubahan-perubahan ini

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
terjadi atau tidak dalam sebuah kasus spesifik akan bergantung pada keterampilan-
keterampilan ahli terapi, potensi-potensi klien dan intensitas masalah-masalah yang
ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

Kartini Kartono. 2009. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual.Bandung.


CV. Mandar Maju

Knapp Herschel. 2007. Therapeutic Communication. Developing Professional


Skills . Los Angeles. Sage Publications.

Maguire, Lambert. 2002. Clinical Social Work : Beyond Generalist Practice with
Individual, Group and Families. Canada : Brooks/Cole Thomson Learning.

Newman Barbara M dan Newman Philip R.2006. Developmen Through Life; A


psychosocial Approach. Australia. Thomson/Wadsworth

Nevid Jeffrey S, Rathus Spencer A dan Greene Beverly. 2005. Psikolog


Abnormal. Indonesia. Erlangga

Payne Malcolm. 1997.Modern Sosial Work Theory. London. Macmillan Press.


LTD

Seden Janet.2005.Conselling Skills in Social Work. New York. Open University


Press

Supiadi, Epi. 2004. Nilai dan Etika Profesi Pekerjaan Sosial. Bandung : STKS

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si
Thomas Martin dan Pierson John. 1999. Dictionary of Social Work.
London.Collins Educational.Ltd

Tungga Y.E.M. 2008. Terapi Psikososal ;Terjemahan dari Turner Francis J.1978.
Untuk Kalangan Terbatas.

Turner, J. Francis. 1978. Psychosocial Therapy. A Social Work Perspective. New


York : The Free Press - London : Mac Millan

------------------------ (Editor). 2005. Canadian Encyclopedia of Social Work.


Canada : Wilfrid Laurier University Press.

Zastrow, Charles. 1982. Introduction to Social Welfare Institutions : Social


Problem, Services, and Current Issues. Illinois : The Dorsey Press.

-----------------------.1999. The Practice of Social Work.USA. Brooks/Cole


Publishing Company

Sumber Lain

Shwartz Orit Nuttman dan Kleinberg Jeffrey . 2012. Clinical Social Work Journal
40:387– 390 DOI 10.1007/s10615-012-0421-2 INTRODUCTION to Special Issue on
International Group Work and Psychotherapy
Published online: 30 October 2012

Terapi Psikososial Suatu Pengantar

Pengarang :

Dra. Yeane EM. Tungga, MSW


Dr. Uke Hani Rasalwati, M.Si
Dra. Rini Hartini RA, M.Pd
Dr. Epi Supiadi, M.Si

Anda mungkin juga menyukai