Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pemikiran-pemikiran kognitif dan behavioral datang dari dua aliran yang


berhubungan dalam literature psikologis. Berdasarkan sejarah, teori pembelajaran
muncul dahulu, dan berkembang menjadi psikologi klinis yang menggunakan sebuah
terapi perilaku berdasarkan penelitian psikologi. Sheldon (1995 dalam Payne,2005)
menunjukan pemikiran-pemikiran yang mendasarinya, yakni teori pembelajaran
sebagai sebuah bagian terpisah dari perilaku dan pikiran, totalitas identitas psikologis
seseorang. Namun, Teori Pembelajaran Sosial (Bandura, 1977 dalam Payne, 2005)
memperluas ide-ide ini dengan menyatakan bahwa sebagian besar pembelajaran
diperoleh oleh persepsi dan pikiran orang tentang apa yang mereka alami. Mereka
belajar dengan meniru orang lain di sekitar mereka, proses ini dapat meningkatkan
keberhasilan pertolongan dalam terapi.
Teori belajar Ivan Pavlov (1906;1927) seorang tokoh fisiologis berkebangsaan
Rusia merupakan akar kemunculan dari teori behavioral, yang kemudian teori
behavioral berkembang di Amerika (Hall & Lindzey,1993). Pavlov terkenal dengan
teori belajar “Classical Conditioning”. Ditangan sejumlah psikolog Amerika
“Classical Conditioning” menjadi sarana dalam membangun psikologi obyektif yang
menangani hal-hal yang dapat diamati yang kemudian dikenal dengan aliran
behaviorisme .
Behaviorisme merupakan kritik terhadap aliran strukturalisme yang
dikembangkan oleh Wilhelm Wundt pada pertengahan abad 20. Psikolog Amerika
yang mempelopori gerakan behaviorisme adalah John B. Watson (1916;1925)
.Watson berpegang pada prinsip pengkondisian Pavlov dan menggabungkannya
dengan ide-ide yang sudah dikembangkannya. John B. Watson sangat terkenal dengan
ucapannya “berikanlah kepada saya 10 orang anak (bayi), maka akan saya jadikan ke-
10 anak itu sesuai kehendak saya”. Artinya, Watson meyakini bahwa dengan
memberikan proses kondisioning tertentu dalam proses pendidikan, ia dapat membuat
seorang anak mempunyai sifat-sifat tertentu.
Pada waktu bersamaan penelitian Pavlov juga mempengaruhi peneliti Amerika
Edward L Thorndike (1911,1932). Thorndike melakukan penelitian pada kucing dan
menghasilkan teori yang dikenal dengan The Law of Effect atau S-R Bond Theory
yang menjadi dasar teori belajar modern. Theory Law Of Effect Thorndike kemudian
diperluas oleh B.F Skinner yang kemudian dikenal sebagai Behavioris Radikal.
Skinner memunculkan teori yang dikenal sebagai “Operant conditioning” atau
“Pengkondisian Operan”.
Berdasarkan hasil pemikiran-pemikiran dan penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh Edward L Thorndike, John B Watson, Edward C Tolman, Erwin R
Guthrie , Clark C Hull dan lainnya memunculkan minat teoritis yang dominan pada
proses belajar. Para Teoritikus tersebut melukiskan belajar sebagai proses yang
melibatkan hubungan asosiatif antara proses sensorik dan proses motorik. Kemudian
dalam 10 sampai 15 tahun terakhir minat para psikolog eksperimental mulai bergeser
untuk meneliti bahasa, ingatan dan proses-proses berpikir yang kompleks pada
manusia. Hal ini tercermin dari munculnya teori-teori kognitif dan pemprosesan
informasi canggih yang berbeda dengan teori asosiasi dalam teori belajar.
Teori Kognitif adalah bagian perkembangan teori dan terapi perilaku, baru-
baru ini diciptakan dalam teori pembelajaran sosial. Teori ini tumbuh dari
perkembangan-perkembangan terapis secara pragmatis, yang dikemukakan oleh
penulis seperti Beck (1989) dan Ellis (1962), mereka mengkaji kondisi-kondisi
psikiatris seperti kegelisahan dan depresi. Teori kognitif mengemukakan bahwa
perilaku dipengaruhi oleh persepsi atau penafsiran lingkungan selama proses
pembelajaran. Perilaku yang tidak tepat biasanya timbul sebagai hasil mispersepsi dan
kesalahpahaman. Oleh sebab itu, terapi dilakukan untuk memperbaiki
kesalahpahaman, sehingga perilaku kita sesuai dengan lingkungan sekitar kita.
Menurut Scott (1989 dalam Payne,2005), banyak pendekatan-pendekatan yang
berbeda termasuk anggapan Beck terhadap pikiran tentang diri kita sendiri yang
terganggu, kehidupan dan masa depan kita yang membuat kita depresi atau gelisah.
Sedangkan Ellis berfokus pada keyakinan-keyakinan yang tidak rasional tentang
dunia dan penekanan pada ancaman-ancaman yang kita alami. Pada
perkembangannya, Teori Kognitif kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh seorang
psikolog Swiss yaitu Jean Piaget (1896-1980). Teori-Teorinya memberikan banyak
konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap
perkembangan konsep kecerdasan. Konsep kecerdasan menurut Piaget, berarti
kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi
logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan.
Dalam dekade terakhir ada kecenderungan dari para penganut behaviorisme
yang mengarah pada pengakuan peran kognisi (proses-proses berfikir) dalam tingkah
laku manusia. Mengikuti observasi dari Albert Ellis (1962) dan Beck (1978), sehingga
banyak dari para terapis behioral menerima gagasan bahwa pikiran-pikan dan
perasaan-perasaan seringkali dapat mengubah tingkah laku. Oleh sebab itu, hal yang
mendasari munculnya teori kognitif behavior adalah banyaknya para psikolog yang
meyakini bahwa pikiran dan perilaku adalah dua komponen yang saling
mempengaruhi satu sama lain.

B. TUJUAN PENYUSUNAN MAKALAH


1. Memenuhi tugas mata kuliah Teori-teori Pekerjaan Sosial semester III
2. Mengetahui sejarah teori behaviour – kognitif
3. Untuk mengetahui pengertian dari Teori Kognitif dan Perilaku secara umum
4. Untuk mengetahui proses pelatihan dan terapi behaviour-kognitif
5. Mengetahui hubungan-hubungan atau peran pekerjaan sosial

C. MANFAAT PENYUSUNAN MAKALAH


1. Sebagai bahan referensi Ilmu Pengetahuan
2. Sebagai bahan mengkaji Ilmu bersama (ada dalam proses pembuatan makalah ini)
3. Sebagai sarana untuk mengembangkan potensi daya fikir kita dalam mengembangkan
setiap peristiwa dan menghubungkan dengan keilmuwan lain
4. Sebagai sarana mempererat ukhuwah dalam belajar kelompok
5. Sebagai bahan penilaian bagi dosen mata kuliah Teori-Teori Pekerjaan Sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori-teori Behaviour

Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia, yang
mana dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang
dikendalikan dengan cermat akan menyingkap hukum-hukum yang mengendalikan
tingkah laku. Dalam pandangan behaviorisme manusia dipandang memiliki kecendrungan
positif dan negatif yang sama, manusia juga dibentuk dan ditentukan oleh faktor- faktor
genetis serta lingkungan sosial dan budayanya.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: Reinforcement and
Punishment, Primary and Secondary Reinforcement, Schedules of Reinforcement,
Contingency Management, Stimulus Control in Operant Learning, The Elimination of
Responses.
Beberapa tokoh dengan teori-teori yang dikembangkan teori behavioral, antara lain:
1. Teori Classical Conditioning / Pengkondisian Klasik Oleh Ivan Pavlov
Ivan Pavlov terkenal dengan eksperimennya terhadap anjing. Pavlov berhasil
membuktikan bahwa melalui penyajian serentak suatu stimulus tak terkondisi
(daging) dan stimulus terkondisi (bunyi garfu tala) lama kelamaan stimulus terkondisi
mampu membangkitkan respon (keluarnya air liur) (Hall & Lindzey,1993) Namun
dengan pemberian stimulus terkondisi yang berulang-ulang tanpa adanya penguatan
maka akan muncul extinction/pemusnahan terhadap respon terkondisi.
UCS (daging) :---------------------- R (keluar air liur)
UCS (daging) + CS (bunyi) :----------------------- R (Keluar Air liur)

CS (bunyi garfu tala) :----------------------- CR (Keluar Air Liur)


CS (bunyi garfu tala) :----------------------- CR (Keluar Air Liur)
CS (bunyi garfu tala) :----------------------- CR (Keluar Air Liur)

EXTINCTION

Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing


menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
2. John B Watson
John B Watson terkenal dengan eksperimennya terhadap Little Albert yaitu
eksperimen tentang pengkondisian kepada seorang anak sehingga memunculkan suatu
fobia. Berdasarkan eksperimen tersebut memunculkan beberapa pandangan seperti
berikut :
a. Tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu dari sebuah
perilaku, karena pada dasarnya perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga
unsur lingkungan sangat penting. Dengan demikian pandangan Watson bersifat
deterministik, perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan
berdasarkan free will.
b. Konsep learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan Watson, juga bagi
tokoh behaviorisme lainnya. Habits yang merupakan dasar perilaku adalah hasil
belajar yang ditentukan oleh dua hukum utama, yaitu recency dan frequency.
Watson mendukung conditioning respon Pavlov dan menolak law of effect dari
Thorndike. Maka kebiasaan merupakan proses conditioning yang cukup
kompleks, ia juga menerapkannya pada percobaan phobia (eksperimen little
Albert). Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson punya banyak kekurangan
dan pandangannya yang menolak Thorndike salah.
c. Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat
dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Pandangan ini dipegang terus oleh
banyak ahli dan diterapkan pada situasi praktis. Dengan penolakannya pada mind
dan kesadaran, Watson juga membangkitkan kembali semangat obyektivitas
dalam psikologi yang membuka jalan bagi riset-riset empiris pada eksperimen
terkontrol.

3. Teori Law Of Effect Edward L. Thorndike


Thorndike mengembangkan teori asosiasionisme yang sangat sistematis, dan salah
satu teori belajar yang paling sistematis. Ia membawa ide-ide asosiasi para filsuf ke
dalam level yang empiris dengan melakukn eksperimen terhadap ide-ide filosofis
tersebut. Thorndike juga mengakui pentingnya konsep reinforcement dan reward serta
menuliskan teorinya tentang ini dalam ‘law of effect’ tahun 1898.
Teori utama Thorndike :
a. Fenomena belajar :
1) Trial and error learning
2) Transfer of learning
b. Hukum-hukum belajar :
1) Law of Readiness : adanya kematangan fisiologis untuk proses belajar
tertentu, misalnya kesiapan belajar membaca. Isi teori ini sangat berorientasi
pada fisiologis
2) Law of Exercise : jumlah exercise (yang dapat berupa penggunaan atau
praktek) dapat memperkuat ikatan S-R. Contoh : mengulang, menghafal, dan
lain sebagainya. Belakangan teori ini dilengkapi dengan adanya unsur effect
belajar sehingga hanya pengulangan semata tidak lagi berpengaruh.
3) Law of Effect : menguat atau melemahnya sebuah connection dapat
dipengaruhi oleh konsekuensi dari connection tersebut. Konsekuensi positif
akan menguatkan connection, sementara konsekuensi negatif akan
melemahkannya. Belakangan teori ini disempurnakan dengan menambahkan
bahwa konsekuensi negatif tidak selalu melemahkan connections. Pemikiran
Thorndike tentang. Konsekuensi ini menjadi sumbangan penting bagi aliran
behaviorisme karena ia memperkenalkan konsep reinforcement.

B. Teori-teori Kognitif
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti.
Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan
pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi
populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang
mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang
berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan,
membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang
berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan)
yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku
seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau
memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu
sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari
itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan
persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk
perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Salah satu tokoh kognitivisme adalah Jean Piaget membagi proses belajar manusia
dalam tiga tahapan, yaitu :
1. Asimilasi. Yaitu, proses penggabungan informasi baru ke dalam struktur kognitif
yang sudah ada dan terekam dalam benak si pembelajar sebelumnya.
2. Akomodasi. Yaitu, penyelarasan struktur kognitif dalam situasi yang baru
diterimanya.
3. Equilibrasi. Yaitu,penyelarasan dalam pengkombinasian antara asimilasi dengan
akomodasi.

Contoh Penerapan Teori Kognitif Piaget

Untuk memudahkan Anda memahami teori kognitif Piaget berdasarkan ketiga tahapan di
atas, maka ditampilkan contohnya. Jika seorang siswa SD kelas satu sudah belajar dan
mengenal jenis-jenis huruf. lalu gurunya memperkenalkan cara menggabungkan huruf
hingga bisa dibaca dalam bunyi kata, Maka proses penyatuan antara jenis huruf yang ada
di benak si murid dengan proses penggabungan huruf hingga bisa dibaca dalam bentuk
(informasi baru). Inilah yang dinamakan dengan asimilasi.

Sedangkan akomodasinya, jika siswa diberi soal latihan membaca kata demi kata lalu
ia bisa menerapkan ilmu yang dimilikinya dan berhasil menjawabnya. Adapun
equilibrasinya terletak pada kemampuannya dengan proses penggabungan huruf hingga
bisa dibaca menjadi bunyi kata dan ia dapat terus mengembangkan dan menambah
ilmunya. Tak hanya itu, ia sekaligus dapat menjaga stabilitas mental di dalam dirinya.

C. Proses Pelatihan Kognitif-Behaviour


Beberapa ide dasar dari teori pembelajaran dan penanganan behavioral merupakan hal
penting untuk memahami pendekatan. Sheldon (1998) mengidentifikasikan beberapa ide-
ide penting yang mendasari terapi behavioral:
1. Pengkondisian responden atau klasik (pendekatan stimulus-respon-Jackson & King,
1982).
2. Pengkondisian operasional.
3. Ketidakberdayaan yang dipelajari.
4. Pembelajaran dan modeling sosial.
5. Faktor-faktor kognitif seperti disorder persepsi atau atribusi (mengarah pada
kejadian dan pengalaman) dan pemikiran yang gawat.
Semuanya dapat diterapkan dalam pekerjaan sosial. Perhitungan tersebut bergantung
pada Sheldon (1998), Fischer & Gochros (1975).
Pengkondisian responden berkaitan dengan perilaku (apapun yang kita lakukan) yang
menanggapi (dihasilkan oleh) sebuah stimulus (seseorang, situasi, kejadian, atau hal lain
di lingkungan kita). Pengkondisian adalah sebuah proses di mana perilaku dipelajari,
berkaitan kurang atau lebih dengan stimulus. Ketika kita telah mempelajari sebuah
tanggapan/respon pada sebuah stimulus. Kita telah memodifiksi perilaku kita.
Contohnya, jika seorang anak sering mendapat masalah karena ia bermain lumpur di
taman, ia dapat berpikir bahwa ia pergi ke taman tanpa persetujuan, daripada berpikir
bermain lumpur. Pengkondisian responden juga dikenal sebagai pengkondisian klasik
karena ia berasal dari eksperimen-eksperimen pertama di lapangan oleh Pavlov; ia
melatih anjing untuk meludah (reaksi alami ketika melihat makanan) ketika mendengar
bunyi bel, bahkan jika tidak ada makanan sedikitpun, karena anjing tersebut
mengasosiasikan bunyi bel dengan adanya makanan.
Banyak perilaku tidak dikondisikan. Mereka terjadi secara alamiah. Sebuah stimulus
yang tidak dikondisikan menghasilkan respon yang tidak dikondisikan pula, contohnya
mata orang berair jika tertiup angin kencang, mereka menghasilkan ludah ketika melihat
makanan, mereka menarik tangan mereka dengan tajam ketika terkena api, mereka sakit
ketika memakan makanan yang mengandung zat berbahaya.
Perilaku dikondisikan ketika respon terasosiasikan atau terpasangkan dengan stimulus
yang tidak secara alamiah menghasilkan respon tersebut. Sebuah contoh adalah jika
mata kita mencari air minum ketika kita diberikan makanan. Kita menyebut ini
conditioned stimuli dan conditioned responses. Respon yang dikondisikan mengalami
generalisasi, yakni orang memberlakukannya pada situasi-situsi serupa. Jadi, anak yang
menghindari pergi ke taman memang disebabkan karena ia dilarang, sehingga ia tidak
pergi ke taman sama sekali. Respon-respon seperti itu merupakan mekanisme dari
banyak phobia-phobia sosial dan disorder stress post-trauma. Orang mengembangkan
sebuah respon terhadap satu stimulus dan respon tersebut n mulai mempengaruhi
mereka dalam situasi-situasi lainnya.
Penghilangan terjadi ketika asosiasi antara respon-respon yang dikondisikan dan
stimulusnya tidak diteruskan. Respon yang dikondisikan menghilang dan kehilangan
koneksinya dengan stimulus. Ini memberikan sebuah dasar penanganan yang penting.
Karena keduanya, yakni hubungan antara stimulus dan respon serta generalisasi dapat
dihilangkan. Contohnya, seorang anak dapat dibawa ke taman dengan mudah, sesuai
pengalaman bahwa tidak ada larangan untuk itu.
Beberapa jenis perilaku tidak cocok dengan perilaku lainnya. Contohnya, orang yang
benar-benar rileks tidak mungkin menjadi gelisah dank eras. Counter-conditioning
berupaya mengasosiasikan respon-respon yang diinginkan dengan stimuli tertentu,
dalam perasingannya dengan respon yang tidak diinginkan.
Teknik conter-conditioning yang paling sering digunakan adalah systematic
desensitivisation atau desensitivitasi sistematis. Klien diajarkan teknik-teknik praktis
relaksasi atau diberikan dukungan personal lainnya. Mereka dapat secara perlahan
diperkenalkan dengan stimulus-stimulus yang tidak diinginkan, menggunakan relaksasi
atau dukungan untuk melawan kegelisahan mereka. Teknik ini sering digunakan dengan
orang yang mengalami phobia sekolah atau agoraphobia. Kita telah melihat contoh
sederhana masalah ini, yakni kasus Knowles di Bab 5. Di sini, relaksasi dan kehadiran
Mr. Knowles mengcounterkondisikan kegelisahan agrophobianya. Pelatihan keasertifan
merupakan sebuah teknik lain yang digunakan ketika orang tidak cukup percaya diri.
Pekerja sosial menolong mereka menunjukan sikap-sikap yang tepat dalam sebuah
lingkungan yang mendukung, sehingga mereka dapat menggunakannya secara ideal
dalam situasi-situasi hidup yang bertambah sulit.
Counter-conditioning digunakan dalam terapi seksual. Respon-respon seksual yang
baik dipelajari dalam lingkungan yang mendukung dan perlahan memperkenalkan
mereka pada situasi-situasi yang lebih lazim yang sebelumnya menyebabkan
kegelisahan. Contohnya, seorang pria yang berejakulasi secara premature belajar
mengendalikan ejakulasinya ketika menerima stimulasi dari pasangannya, pada saat
hubungan seks yang utuh tidak diizinkan, sampai ia merasa percaya diri akan
pengendaliannya. Peralihan ke hubungan seks yang utuh terjadi berikutnya.
Salah satu contoh teknik ini adalah pengkondisian anak yang suka mengompol, yakni
mereka yang mengompol di tempat tidur di mana mereka dilarang melakukannya.
Sebuah bel yang berbunyi keras dihubungkan dengan kontak listrik yang ditaruh di
bawah kasur anak. Bel tersebut berbunyi ketika air kencing anak membasahi kasur, dan
anak dapat bangun dan melanjutkan kencing di kamar mandi. Proses ini memberikan
dua pengaruh, pertama, anak dikondisikan agar bangun jika saluran kencingnya penuh,
untuk mencegah mengompol di kasur. Kedua, muatan saluran kencing diperbaiki,
memperkuat kapasitas melewati malam tanpa mengompol. Respon-respon ini dibuat
sebagai sebuah bentuk counter-conditioning pada proses alami kencing ketika saluran
kencing penuh (Morgan & Young, 1972).
Sebagian besar perilaku tidak berkembang dari stimuli yang tidak dikondisikan, dan
operant conditioning berhubungan dengan sejumlah besar perilaku. Ia dihubungkan
dengan perilaku yang terjadi di lingkungan tertentu, dan dapat digunakan dengan
perilaku kompleks yang sudah dipikirkan. Secara berlawanan, pengkondisian responden
sering dihubungkan dengan respon yang dipelajari secara otomatis.
Operant conditioning merupakan bentuk asli dari pelatihan behavioral yang berfokus
pada perubahan pemicu yang mempengaruhi perilaku, mengarah pada konsekuensi yang
baru, telah tampak pada Gambar 6.1. Sesuatu terjadi (pemikiran-A-yang menghasilkan
perilaku-B-yang berusaha menghadapi kejadian, dan karena perilaku tersebut,
konsekuensi-C-timbul). Pekerja sosial mengatur pemciu yang mempengaruhi hubungan-
hubungan antara perilaku dan konsekuensinya, memperkuat atau memperlemah perilaku
dengan pendorongan atau hukuman. Pendorongan, apakah positif atau negatif,
mengurangi perilaku. Dorongan positif selalu memiliki arti melakukan sesuatu;
sedangkan negatif sering memiliki arti mengambil sesuatu. Keduanya dapat digunakan
bersama. Informasi lebih lanjut akan diberikan selanjutnya, dalam membahas
perhitungan pekerjaan kognitif-behavioral Sheldon (1995).
Penghilangan juga merupakan teknik pembelajaran operant. Ia memiliki prinsip yang
berbeda dengan penghilangan dalam pengkondisian responden. Ia memiliki arti
menghilangkan hubungan-hubungan antara perilaku dan konsekuensinya. Dalam
hukuman negatif, kita dapat menghilangkan sebuah konsekuensi yang sama sekali tidak
memiliki hubungan dengan perilaku, sebagaimana dengan contoh sebelumnya.
Penghilangan dapat digunakan ketika menghindari pengerjaan PR membuat anak
bertengkar dengan orang tuanya. Pendapat dalam pertengkaran tersebut jelas
menyatakan agar anak tidak mengerjakan PR, karena mereka menghabiskan waktu dan
emosi yang tidak akan berlaku bagi PR yang ada. Daripada bertengkar, orang tua
membawa anak dan PRnya di sebuah ruangan, kemudian menghilangkan perilaku anak
tersebut. Tidak seperti penghilangan dalam pengkondisian responden, ia tidak dengan
sendirinya mencegah timbulnya respon. Ia secara positif menghilangkan hubungan
antara konsekuensi dan perilaku yang mengarah padanya.
Pendorongan positif biasanya sering digunakan dengan teknik-teknik lainnya.
Contohnya, penghilangan tidak memberikan kendali atas perilaku yang dapat
menggantikan perilaku yang tidak diinginkan; yakni perilaku tersebut juga tidak
diinginkan. Pendorongan positif memudahkan timbulnya perilaku yang diinginkan
bersama penghilangan. Juga, perilaku yang tidak diinginkan dapat meningkat sementara
untuk menguji respon baru dan hal ini sulit dihadapi, sehingga mendorong perilaku yang
diinginkan akan memudahkan proses yang berlangsung.
Proses utama dalam pembelajaran sosial adalah modeling. Hudson dan MacDonald
(1986) menggambarkannya sebagai berikut:
1. Seseorang yang melihat orang lain melakukan sebuah tindakan dan tidak peduli.
2. Para pengamat membuat kode atau tanda dalam pikiran mereka tentang bagimana
perilaku tersebut terjadi, termasuk beberapa latihan dalam tindakan atau pikiran
mereka.
3. Para pengamat mengidentifikasikan keadaan di mana perilaku tersebut terjadi dan
memiliki konsekuensi.
4. Ketika situasi yang tepat muncul, para pengamat mengulangi perilaku tersebut
menurut tanda atau kode yang telah mereka bentuk.
Melihat perilaku yang tidak diinginkan, dilakukan oleh seseorang yang memberikan
contoh menolong banyak orang memahami bahwa tidak ada konsekuensi lain. Sheldon
(1998; 20) menekankan bahwa sebagian besar orang tidak mempelajarinya melalui buku
atau pemberitahuan, melihat contoh tentang apa yanh harus dilakukan, mencobanya
sementara berada dalam lingkungan yang mendukung dan menerima tanggapan dan
pendorongan adalah hal penting. Pekerjaan ini telah mengarah pada program pelatihan
keterampilan, manajemen emosi dan cara-cara serupa dalam menolong orang
mempelajari perilaku yang baru. Priestley dan McGuire (1978, 1983) menggambarkan
contoh-contoh praktis untuk menolong para pelanggar mempelajari keterampilan sosial
yang lebih baik untuk mencegah mereka berada dalam situasi-situasi sulit dan bagaimana
merespon konflik serta masalah-masalah dalam hubungan, juga menggambarkan latihan
yang dapat digunakan pekerja sosial dengan klien menggunakan pelatihan keterampilan.
Sheldon (1998:23) merangkum faktor-faktor penting dalam pelatihan keterampilan sosial
sebagai berikut:
1. Menspesifikasikan masalah di mana terdapat kesenjangan dalam laporan perilaku
klien dan cara-cara di mana perilaku-perilaku baru dapat menolong menghilangkan
kesenjangan tersebut.
2. Membagi masalah menjadi komponen-komponen atau tahap kecil.
3. Menolong klien mengidentifikasikan pemikiran-pemikiran keliru yang dapat
menghambat kemajuan mereka.
4. Mendemonstrasikan perilaku yang diinginkan, dan meminta klien melatihnya.
5. Menghubungkan rantai-rantai perilaku kecil agar tercipta perilaku yang kompleks.
6. Menolong klien memahami bagaimana membedakan situasi yang baik dan tidak agar
dapat menggunakan perilaku tersebut.
7. Memperkenalkan kesulitan hidup sehari-hari.
8. Menetapkan tugas harian praktis dan meninta klien untuk memberikan laporan.
Scott dan Dryden (1996) mengklasifikasikan terapi-terapi kognitif behavioral dalam
empat kategori:
1. Keterampilan menghadapi masalah berisi dua elemen, verbalisasi diri, yakni sebuah
instruksi bagi diri kita sendiri, dan perilaku yang dihasilkannya. Kesulitan dalam
menghadapi situasi dapat timbul dari ketidakmampuan untuk melakukan verbalisasi
diri atau bagaimana bertindak berdasarkan instruksi kita sendiri. Penekanan
Meichenbaum (1995) terhadap pelatihan inokulasi (SIT) bertujuan untuk mengurangi
dan mencegah stress dengan mengajari klien apa yang harus dikatakan dalam situasi
sulit. Ronen (1998) menyatakan bahwa berfokus pada keterampilan-keterampilan
pengendalian diri dapat menolong dalam pekerjaan langsung dengan anak-anak. Kita
juga membawa perubahan untuk mengurangi stress dalam lingkungan klien.
2. Problem solving berbeda dengan teori pekerjaan sosial psikodinamik Perlman (1957a)
(Bab 4). Ini dibebani dengan memandang kehidupan manusia sebagai sebuah proses
menyelesaikan masalah-masalah hidup. Di sini, problem solving lebih bersifat
terpusat pada pekerjaan, membuat solusi baginya, memilih yang terbaik,
merencanakan cara-cara bertindak dan meninjau kembali kemajuannya.
3. Restrukturisasi koginitif tentu saja bentuk terapi yang dikenal dan meliputi terapi
kognitif Beck (CT) dan terapi perilaku rasional-emotif Ellis (REBT, dahulu RET).
Dalam CT, klien mengumpulkan informasi tentang bagaimana mereka menafsirkan
situasi-situasi, dan pekerja sosial menanyakan dan menguji bagaimana hal ini bekerja.
Dalam REBT, keyakinan-keyakinan yang tidak rasional mendominasi pemikiran klien
di mana memperparahnya, yakni memandang sesuatu negatif tanpa alasan yang jelas;
toleransi frustasi yang rendah, yakni perasaan yang menyatakan bahwa kita tidak
mungkin menerima situasi yang tidak nyaman; dan ‘pembuangan’, yakni perasaan
bahwa anda merasa buruk dan telah gagal melakukan sesuatu. Pekerja-pekerja sosial
mempertanyakan dan menyerang keyakinan-keyakinan tidak rasional, yang mendasari
reaksi-reaksi ini. Sheldon (1998, 2000) menekankan penetapan disorder dalam
persepsi dan atribusi. Persepsi mempengaruhi bagaimana seseorang meninjau apa
yang telah mereka alami; atribusi adalah penilaian-penilaian yang mereka buat
tentanh makna-makna pengalaman. Seorang pengemudi lori yang telah diancam
dengan pemecatan agar dapat menyimpan uang, juga pengatribusian penjelasan-
penjelasan pada perilaku yang sebelumnya tidak dinyatakan dan dianggap oleh
manajer.
4. Terapi struktural kognitif berhubungan dengan ‘struktur-struktur’ keyakinan yang
ada didalam pikiran klien: keyakinan-keyakinan inti yang merupakan asumsi tentang
diri kita sendiri; keyakinan-keyakinan menengah yang merupakan deskripsi eksplisit
yang dibuat orang tentang dunia; keyakinan paling luar yang merupakan rencana-
rencana dan strategi penyelesaian masalah yang digunakan sehari-hari. Pekerja-
pekerja sosial berfokus pada keyakinan-keyakinan paling luar yang menyebabkan
maasalah, namun menggunakan proses perubahan untuk mengeksplor asal keyakinan-
keyakinan ini dalam pemikiran yang lebih dalam.
D. Penerapan Terapi Kognitif Behavioral
(Sheldon) Prinsip dan metode dasar pekerjaan behavioral telah digambarkan di atas.
Metode-metode ini semuanya berlaku dalam situasi terapis. Perubahan-perubahan besar
harus dibagikan menjadi langkah-langkah kecil. Sebuah jadwal pendorongan harus
dikerjakan, sebagai berikut:
1. Pendorongan berkelanjutan setiap contoh perilaku yang diinginkan akan bekerja
dengan cepat.
2. Pembentukan memiliki arti penguatan langkah-langkah kecil terhadap perilaku yang
diinginkan. Contohnya, Joe adalah pria yang mengalami keterbelakangan mental yang
sering berbicara keras dan mengancam orang di lingkungannya. Kita mulai dengan
memperkuat atau mendorong perilaku yang kurang keras, dan diam selama jangka
waktu tertentu, kemudian mengurangi ancaman, kemudian menjadi ramah dst. Secara
lebih lanjut, kita dapat mencapai perubahan perilaku yang agak kompleks.
3. Penghilangan yakni mengurangi jumlah atau jenis pendorongan ketika perilaku yang
diinginkan muncul, sehingga perilaku tersebut dapat dipindahkan pada sebuah tatanan
baru. Contohnya, Joe dapat didorong oleh rokok, kemudian oleh dorongan verbal.
Secara lebih lanjut, kita menginginkannya merespon orang-orang yang tidak
menyukai sifatnya. Setidaknya jika kita melakukan ini, kita sedang ‘berlatih dan
berharap’ dan kita akan cenderung berubah ke perilaku terdahulu ketika kita berhenti
melakukan pendorongan. Ini mengapa orang dalam penanganan residential tampak
menjalani penanganan dengan baik, namun gagal ketika pendorongan dihentikan.
4. Pendorongan intermittent digunakan ketika sebuah perilaku tidak selalu didorong.
5. Jadwal rasio pendorongan intermittent dilakukan setelah sejumlah kemunculan
perilaku yang diinginkan.
6. Jadwal interval dilakukan setelah periode munculnya perilaku yang diinginkan.
Jadwal interval atau rasio dapat ditetapkan secara regular atau dapat disesuaikan
berdasarkan sejumlah perilaku tertentu. Jadwal variable merupakan jadwal yang paling
resisten terhadap penghilangan (terutama jadwal variable interval) dan lebih praktis,
karena tidak terdapat pendorongan yang paling konsisten.
Modelling atau pembelajaran melalui pengamatan keduanya memperkuat respon-
respon yang sudah ada dan menciptakan peluang menggunakan respon baru atau yang
tidak digunakan dengan cara mengamati bagaimana orang lain bersikap dan bagaimana
berhasilnya perilaku tersebut. Kita melakukannya secara keseluruhan, dan pada tahap-
tahap tertentu hidup kita, contohnya dalam masa-masa remaja atau ketika terdapat banyak
perubahan, kita memilih orang-orang tertentu sebagai contoh. Kemudian kita
mengkombinasikan pengamatan dari sumber-sumber yang berbeda untuk menciptakan
identitas kita sendiri. Pekerja-pekerja sosial dapat memberikan masukan pada setiap tahap
modeling (lihat di atas). Bandura (1977) menekankan pentingnya penerimaan diri sendiri,
yakni pandangan kita sendiri tentang bagaimana baiknya kita melakukan hal-hal ini. Hal
ini dibentuk oleh dua aspek: hasil yang kita harapkan dari perilaku tertentu, dan
keunggulan yang kita miliki dalam melakukan hal-hal tersebut. Contohnya, seseorang
yang menyalahgunakan obat-obatan terlarang tidak akan melihat hasil baik ketika ia
berhenti menggunakannya (ekspektasi hasil). Walaupun demikian, bahkan jika mereka
ingin kembali di jalan yang ‘lurus’, mereka dapat merasa bahwa mereka tidak memiliki
kekuatan yang cukup untuk berubah (ekspektasi keunggulan). Terdapat krtisisime
terhadap teori Bandura. Mereka kurang bersifat operant, yang menjelaskan semua hal ini
secara lebih sederhana. Walaupun demikian, mereka memang memberikan sebuah cara
pemahaman aspek yang lebih kompleks perilaku yang cenderung dihadapi pekerja-
pekerja sosial.

E. Terapi Prilaku Kelompok dan Masyarakat

memperbaiki dan meningkatkan fungsi sosial individu melalui pengalaman-pengalaman


kelompok yang disusun secara sadar dan bertujuan. Burgess dan kawan-kawan
mendeskripsikan bahwa penggunaan latihan keterampilan social dengan suatu kelompok
pelaku kejahatan seksual di penjara. Yang mana menberikan berbagai contoh teknik yang
baik yang dapat diterapkan. Tiga tehnik yang digunakan dengan berbagai macam kombinasi :
1. Pembelajaran – mikro dengan menggunakan sedikit unsur interaksi dengan orang lain,
seperti menggunakan suara, kontak mata, dan sikap.
2. Menegaskan kepada pelaku kejahatantujuan pelatihan untuk menolong mereka
mengekspresikan pendapat dan agar mereka dapat menggapai minat secara mandiri
3. Bermain peran untuk pristiwa yang kompleks yang mungkin terjadi pada mereka.

F. Hubungan Pekerja Sosial

Tujuan-tujuan utama pekerjaan sosial behavioral adalah meningkatkan perilaku yang


diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan, sehingga orang merespon
kejadian-kejadian sosial dengan tepat. Hal ini meningkatkan kapasitas mereka menjalani
kehidupan yang bahagia. Pengamatan masalah-masalah orang sering menolong karena ia
mempercepat pembelajaran, namun tidak terdapat bukti bahwa hal tersebut dibutuhkan
atau cukup dalam mengubah orang. Hubungan-hubungan personal yang hangat antara
pekerja sosial dank klien amat menolong pekerjaan behavioral sebagaiman dengan
pekerjaan sosial lainnya. Pekerjaan sosial behavioral dapat digunakan dalam banyak
situasi-situasi pekerjaan sosial. Para penulis dalam buku Cigno dan Bourn (1998)
menggambarkan pekerjaan dengan anak langsung dan perlindungan anak, orang dengan
keterbatasan belajar, pelanggar, pemberi pelayanan, kecanduan, kesehatan mental, dan
penanganan residential bagi orang tua.
Thyer dan Hudson (1978:1) menggambarkan hubungan-hubungan antara
pekerjaan behavioral umum dan pekerjaan sosial behavioral sebagai berikut:
“Pekerjaan sosial adalah penggunaan yang dinformasikan, oleh pekerja sosial
profesional, dalam teknik-teknik interventif berdasarkan teori-teori pembelajaran yang
teruji secara empiris yang meliputi namun tidak terbatas pada pengkondisian operant,
pengkondisian responden, dan pembelajaran observasional. Para pekerja sosial
behavioral mungkin atau tidak memasukan filosofi behaviorisme”.
Implikasi pandangan ini menyatakan bahwa pekerja-pekerja sosial tidak harus
melibatkan seluruh model dalam pekerjaan mereka. Mereka dapat menggunakan
aspek model ketika dibutuhkan. Walaupun demikian, pendekatan ini menyatakan
bahwa tidak ada aspek pekerjaan sosial lain yang berkaitan pada model tersebut
sebagaimana ia digunakan dalam pekerjaan sosial. Dalam perumusan inilah,
penggunaan menggunakan berbagi teknik. Hal ini menyatakan bahwa pendekatan
behavioral dapat tidak berperan dengan baik dalam beberapa tujuan-tujuan sosial yang
lebih luas dan masalah-masalah dalam pekerjaan sosial. Thomas (1968, 1971) di AS
dan Jehu (1967, 1972) di Inggris merupakan penerjemah-penerjemah penting
literature psikologi dalam pekerjaan sosial.
Teori-teori kognitif menciptakan sebuah posisi dalam teori pekerjaan sosial
selama era 1980an terutama melalui pekerjaan Goldstein (1981, 1984), yang
menginkorperasikan ide-ide humanistik dalam mereka. Hal ini mungkin dinyatakan
oleh pemikiran ide-ide behavioral dengan sifat alami pikiran. Ide-ide humanis (Bab 9)
menyatakan bahwa persepsi dan pemrosesan mereka beragam dan hanya kenayataan
yang diterima dan dipahami. Berhubungan ide-ide kognitif, hal ini memudahkan
sebuah penerimaan akurasi pemahaman klien tentang dunia. Kita tidak harus
memandang persepsi-persepsi klien sebagai sesuatu kesalahan dan menyerangnya.
Elemen penerimaan ini mengubah cara-cara dilakukannya terapi-terapi kognitif dan
behavioris menjadi lebih alami pada konvensionalitas pekerjaan sosial. Yang
termasuk dalam elemen humanistic adalah pekerjaan Goldstein yang amat penting dan
literatur Werner (1982, 1986) yang muncul kemudian.
Teori-teori kognitif behavioral biasanya merupakan bentuk pelatihan Barat,
karena mereka menekankan perubahan psikologis individu, daripada tujuan-tujuan
sosial yang lebih luas yang dapat menjadi lebih relevan dalam negara-negara
berkembang, dan menggunakan model metode ilmiah Barat, yang kurang
berpengaruh di negara-negara Timur. Contohnya, kelompok-kelompok teori ini tidak
termasuk dalam tinjauan Kumar (1995) tentang teori pekerjaan sosial. Sebuah
kepentingan Timur dalam pelatihan berdasarkan bukti dinyatakan dalam literatur
Thyer dan Kazi (2004) tentang pelatihan berdasarkan bukti, yang meliputi bab-bab
dari Hong Kong dan Afrika Selatan. Walaupun demikian, bab-bab ini biasanya
membahas evaluasi proyek-proyek dan perkembangan sosial, daripada pelatihan
kognitif-behavioral.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pemikiran-pemikiran kognitif dan behavioral datang dari dua aliran yang
berhubungan dalam literature psikologis, yakni teori pembelajaran dan teori kognitif.
Teori pembelajaran menyatakan bahwa sebagian besar pembelajaran
diperoleh oleh persepsi dan pikiran orang tentang apa yang mereka alami. Mereka
belajar dengan meniru orang lain di sekitar mereka, proses ini dapat meningkatkan
keberhasilan pertolongan dalam terapi.
Teori kognitif adalah Teori kognitif mengemukakan bahwa perilaku
dipengaruhi oleh persepsi atau penafsiran lingkungan selama proses pembelajaran.
Perilaku yang tidak tepat biasanya timbul sebagai hasil mispersepsi dan
kesalahpahaman. Oleh sebab itu, terapi dilakukan untuk memperbaiki
kesalahpahaman, sehingga perilaku kita sesuai dengan lingkungan sekitar kita.
Menurut Sheldon tahap-tahap terapi behaviour- kognitif terdiri dari tahap yang
perlu diperhatikan yaitu Pendorongan berkelanjutan, Pembentukan, Penghilangan,
Pendorongan intermittent, Jadwal rasio dan Jadwal interval.
Unsur-unsur praktek kognitif dan prilaku terutama teori pembelajaran sosial
memiliki bermacam-macam pengaruh terhadap Pekerja Sosial. Praktek prilaku yang
sederhana terbatas untuk digunakan, sebagian dari masalah yang praktis dibutuhkan
untuk mengawasi prilaku yang husus dengan spesifikasi masalah yang jelas. Waktu
yang terbatas difokuskan dan dengan pendekatan yang terencana dari praktek kognitif
prilaku sangat penting.
Banyak unsur-unsur dari praktek berdasarkan pengalaman yang akurat.
Prakteknya banyak digunakan dalam banyak berbagai macam profesi kesehatan dan
kejiwaan. Terutama praktek pekerjaan yang sesuai untuk kemuraman, kegelisahan
dan reaksi kejiwaan terhadap tekanan sosial. Dari seluruh praktek tersebut diharapkan
dapat menghasilkan kelayakan dan kepekaan tanpa keragu-raguanu untuk
mengembangkan pendekatan yang rasional kepda semua manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson Rita L, Atkinson Richard C, dkk. Pengantar Psikologi Edisi kesebelas. Batam:
Interaksa
Payne Malcom. 2005. Modern Social Work Theory 3r Edition. New York: Palgrave
Macmillan.
http://fauzistks.blogspot.com/2011/08/teori-perilaku-dan-kognitif.html
http://hanifrahm.wordpress.com/2012/06/01/teori-behavioral-dan-kognitif/

Anda mungkin juga menyukai