Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Konseling Dengan Pendekatan Behaviorisme

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori dan Pendekatan Konseling
Dosen pengampu : Nuraini, M.Pd,

Disusun oleh :

Asri Widi Hartika 1701015011


Aprilia Castun 1701015040
Habibi Ahmad A 1701015129

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat dan rahmat,serta penyertaan-Nya, sehinggamakalah“Konseling Dengan
Pendekatan Behaviorisme” ini dapat kami selesaikan.
Kami ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliahTeori dan
Pendekatan Konseling, Ibu Nuraini, M.Pd yang telah membimbing kami.Dalam
penulisan makalah ini kami berusaha menyajikan bahan dan bahasa yang
sederhana, singkat serta mudah dipahami isinya oleh para pembaca.Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih terdapat
kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan proposal penelitian ini. Maka kami
berharap adanya masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan di masa yang akan
datang.

Jakarta, 11 Maret 2020

       
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Perkembangan Tokoh Behaviorisme


Konseling berkembang pertama kali di Amerika yang dipelopori oleh
Jesse B.Davis tahun 1898 yang bekerja sebagai konselor sekolah di Detroit
(Surya, 1988). Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan konseling,
salah satunyaadalah perkembangan yang terjadi pada kajian psikologis,
Menurut Surya (1988) mengungkapkan bahwa kekuatan-kekuatan tertentu
dalam lapangan psikologis telahmempengaruhi perkembangan konseling baik
dalam konsep maupun teknik. Aliran-aliran yang muncul dalam lapangan
psikologi memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan
konseling, diantara aliran-aliran psikologi yang cukup memberikan pengaruh
terhadap perkembangan konseling adalah sebagai berikut; aliran strukturalisme
(Wundt), Fungsionalisme (James), dan Behaviorisme (Watson).
Perkembangan konseling behavioral bertolak dari perkembanngan aliran
behavioristik dalam perkembangan psikologi yang menolak pendapat aliran
strukturalisme yang berpendapat bahwa mental, pikiran dan perasaan
hendaknyaditemukan terlebih dahulu bila perilaku manusia ingin dipahami,
maka munculah teori introspeksi.
Aliran Behaviorisme menolak metode introspeksi dari aliran
strukturalisme dengan sebuah keyakinan bahwa menurut para behaviorist
metode introspeksi tidak dapat menghasilkan data yang objektif, karena
kesadaran menurut para behaviorist adalah sesuatu yang Dubios, yaitu sesuatu
yang tidak dapat diobservasi secara langsung, secara nyata (Walgito, 2002).
Bagi aliran Behaviorisme yang menjadi fokus perhatian adalah perilaku yang
tampak, karena persoalan psikologi adalah tingkah laku, tanpa mengaitkan
konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran dan mentalitas. Pada awalnya
behaviorisme lahir di Rusia dengan tokohnya Ivan Pavlov, namun pada saat
yang hampir bersamaan di Amerika behaviorisme muncul dengan salah satu
tokoh utamanya John B. Watson. Di bawah ini merupakan beberapa tokoh
behaviorisme :
1. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia yang sangat dikenal dengan
teoripengkondisian klasik ( classical conditioning ) dengan eksperimennya
yang menggunakananjing sebagai obyek penelitian. Pengkondisian model
Pavlov ini menyatakan bahwarangsangan yang diberikan secara berulang-
ulang serta dipasangkan dengan unsurpenguat, akan menyebabkan suatu
reaksi (Chaplin, 2002).
Menurut Pavlov (dalam Walgito, 2002) aktivitas organisme dapat
dibedakan atas :
a. Aktivitas yang bersifat reflektif ; yaitu aktivitas organisme yang tidak
disadari oleh organisme yang bersangkutan. organisme membuat respons
tanpa disadari sebagai reaksi terhadap stimulus yang mengenainya.
b. Aktivitas yang disadari ; yaitu aktivitas atas dasar kesadaran organisme
yangbersangkutan. Ini merupakan respons atas dasar kemauan sebagai
suatu reaksiterhadap stimulus yang diterimanya. ini berarti bahwa
stimulus yang diterima oleh organisme itu sampai pada pusat kesadaran,
dan barulah terjadi suaturespons. Dengan demikian maka jalan yang
ditempuh oleh stimulus danrespons atas kesadaran yang lebih panjang
apabila dibandingkan dengan stimulus-respons yang tidak disadari
(respons reflektif). Psikologi yang digagas oleh Pavlov dikenal dengan
psikologi reflek (psychoreflexiologi), karena Pavlov lebih memfokuskan
perhatiannya pada aktivitas yangbersifat reflek.

2. Edward Lee Thorndike (1874-1949)


Edward Lee Thorndike (psikolog amerika) lahir di Williamsburg pada
tahun1874 (Walgito, 2002). Karya-karyanya yang paling dikenal adalah
penelitian mengenaianimal psychology serta teori belajar Trial and error
learning.
Thorndike (dalam Walgito,2002) menitikberatkan perhatiannya pada aspek
fungsional perilaku yaitu ; bahwa proses mental dan perilaku berkaitan
dengan penyesuaian diri organisme terhadap lingkungannya. Karena
pendapatnya tersebut maka Thorndike diklasifikasikan sebagai behaviorist
yang fungsional, berbeda dengan Pavlov yang behaviorist asosiatif dari
hasil eksperimennya Thorndike menetapkan ada tiga macam hukum yang
sering disebut dengan hukum primer dalam hal belajar, tiga hukum tersebut
adalah :
a. Hukum Kesiapsediaan (The Law of readiness)
The law of readiness adalah salah satu faktor penting, karena dalam
proses belajaryang baik organisme harus mempunyai kesiapsediaan,
karena tanpa adanyakesiapsediaan dari organisme yang bersangkutan
maka hasil belajarnya tidak akanbaik.
b. Hukum Latihan (The Law of exercise)
Thorndike mengemukakan dua aspekyang terkandung di dalamnya yaitu;
1) The law of use adalah hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau
koneksi antara stimulus-respons akan menjadi kuat apabila sering
digunakan.
2) The law of disuse; adalah hokum yang menyatakan bahwa koneksi
antara stimulus-respons akan menjadi lemah apabilatidak latihan.
c. Hukum efek (The Law of effect)
Mengenai hukum efek Thorndike berpendapatkan bahwa memperkuat
atau memperlemah hubungan stimulus-respons, tergantung pada
bagaiman hasil darirespons yang bersangkutan (Walgito,2002).

3. Burrhus Frederic Skinner (1904-1990)


BF.Skinner dikenal sebagai tokoh dalam bidang pengkondisian operan
(operant condisioning). Untuk memahami konsep ini, kita harus memahami
dengan apa yangdimaksud perilaku operan dan perilaku respons (Walgito,
2002).
a. Perilaku respons; perilaku respons adalah perilaku alami, perilaku ini
merupakan respons langsung atas stimulus, perilaku ini bersifat reflektif.
Perilaku ini sama halnya dengan istilah aktivitas reflektif dalam
kondisioning klasik dari Pavlov.
b. Perilaku operan; perilaku ini lebih bersifat spontan, perilaku yang muncul
bukan ditimbulkan oleh stimulus, melainkan ditimbulkan oleh organisme
itu sendiri.
Terdapat dua prinsip umum dalam teori pengkondisian operan yang
dipaparkan oleh Skinner, dua prinsip tersebut adalah ; 1). Setiap respons
yang disertai dengan reward (sebagai reinforcement stimuli) akan
cenderung diulangi, dan 2). Reward atau reinforcement stimuli akan
meningkatkan kecepatan atau rate terjadinya respons (Walgito, 2002).
Chaplin (2002) memaparkan bahwa hukum dasar pengkondisian
operan adalah; apabila ada satu operan yang diikuti dengan satu penguatan
perangsang, maka kecepatan mereaksi akan bertambah pula. Percepatan
mereaksi tadi secara khas diukur selama satu pelaksanaan sampai terjadinya
pengakhiran. Penguatan perangsang reinforcement stimuli dapat bersifat
positif atau negatif.

4. John Broadus Watson (1878-1958)


Watson (Chaplin, 2002) mendefinisikan psikologi sebagai ilmu
pengetahuan tentang tingkah laku. Sasaran behaviorisme adalah mampu
meramalkan reaksi dari satu pengenalan mengenai kondisi perangsang,dan
sebaliknya, juga mengenali reaksi, agar bisa meramalkan kondisi
perangsang yang mendahuluinya. Inti dari behaviorisme adalah
memprediksi dan mengontrol perilaku. Karyanya diawali dengan artikelnya
psychology as the behaviorist views it pada tahun1913. Di dalam artikelnya
tersebut Watson mengemukakan pandangan behavioristiknya yang
membantah pandangan strukturalisme dan fungsionalis menentang
kesadaran. Menurut Watson (behaviorist view) yang dipelajari adalah
perilaku yang dapat diamati, bukan kesadaran, karna kesadaran adalah
sesuatu yang dubios Metode-metode obyektif Watson lebih banyak
menyukai studi mengenai binatang dan anak-anak, seperti sebuah studi yang
ia lakukan dalam pengkondisian rasa takut pada anak-anak.

B. Pandangan Teori Behaviorisme


Hidayat (2011) mengatakan, Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah
tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu
tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan
menyingkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku.
Behaviorisme ditandai oleh sikap membatasi metode-metode dan prosedur-
prosedur pada data yang dapat diamati.
Pendekatan behavioristik ini tidak mengurangi asumsi-asumsi filosofis
tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang dipandang memiliki
kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama. Manusia pada
dasarnya dibentuk dan ditentukam oleh lingkungan social budayanya. Segenap
tingkah laku manusia itu dipelajari. Meskipun berkeyakinan bahwa segenap
tingkah laku pada dasarnya merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan
lingkungan dan faktor-faktor genetik, para behaviorist memasukkan pembuatan
putusan sebagai salah satu tingkah laku.

C. Konsep Teori Behaviorisme


Dalam pembahasan sebelumnya telah dibahas tentang konsep dasar
konseling adalah membantu, sedangkan konsep dasar dari behaviorisme adalah
prediksi dan kontrol atas perilaku manusia yang tampak. Menurut Surya (1988)
memaparkan bahwa dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan
hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi
kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proseskonseling merupakan suatu
penataan proses atau pengalaman belajar untukmembantu individu untuk
mengubah perilakunya agar dapat memecahkanmasalahnya.Hal yang paling
mendasar dalam konseling behavioral adalah penggunaan konsep-konsep
behaviorisme dalam pelaksanaan konseling, seperti konsep reinforcement,
yang merupakan bentuk adaptasi dari teori pengkondisian klasik Pavlov,dan
pengkondisiaan operan dari Skinner. Menurut Surya (1988) menyatakan bahwa
ada tiga macam hal yang dapat memberi penguatan yaitu :
1). Positive reinforcer, 2). Negative reinforcer, 3). No consequence and
natural stimuli

D. Tujuan Terapi Behaviorisme


Menurut Gunarsa (2012) ujuan umum dari suatu terapi behavior
(perilaku) ialah membentuk kembali kondisi baru untuk belajar, karena melalui
proses belajar dapat mengatasi masalah yang ada. Sedangkan Corey (dalam
Gunarsa, 2012) meringkas tuuan dari terapi behavior (perilaku) sebagai
berikut: secara umum untuk menghilangkan perilaku malasuai dan belajar
berperilaku lebih efektif. Memusatkan perhatian pada faktor yang
mempengaruhi perilaku dan memahami apa yang bisa dilakukan terhadap
perilaku yang menjadi masalah.pasien atau klien memilki peran aktif dalam
menentukan tujuan terapi dan melakukan penilaian bagaimana tujuan-tujuan
dapat dicapai.
Menurut Ivey et al (dalam Gunarsa, 2012) meringkas tujuan terapi
perilaku sebagai berikut: untuk menghilangkan perilaku dan kesalahan yang
telah terjadi melalui proses belajar dan menggantikannya dengan pola perilaku
yang lebih sesuai. Arah perubahan perilaku secara khusus ditentukan oleh
pasien atau klien.
Tujuan terapi behavior (perilaku) dengan orientasi kearah kegiatan
konseling, menurut George dan Cristiani (dalam Gunarsa, 2012) adalah sebagai
berikut:
1. Mengubah perilaku malasuai pada klien
2. Membantu klien belajar dalam proses pengambilan keputusan secara lebih
efisien.
3. Mencegah munculnya masalah dikemudian hari,
4. Memecahkan masalah perilaku khusus yang diminta oleh klien.
5. Mencapai perubahan perilaku yang dapat dipakai dalam kegiatan
kehidupannya.

E. Metode dan Teknik Konseling


1. Metode atau langkah-langkah konseling
a. Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi
dinamika perkembangan klien (untuk mengungkap kesuksesan atau
kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan
interpersonal). Konselor sebagai terapis mendorong klien untuk
mengemukakn keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu.
Asessment diperlukan untuk mengidentifikasi metode atau teknik
mana yang akan digunakan sesuai dengan tingkah laku yang ingin
diubah.
b. Goal setting, yakni langkah untuk merumuskan tujuan konseling
c. Tecnique implementation, menentukan dan melaksanakan teknik
konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang
diinginkan yang menjadi tujuan konseling
d. Evaluation termination, yaitu melakukan kegiiatan penilaian apakah
kegiatan konseling yang telah diaksanakan mengarah dan mencapai
hasil sesuatu dengan tujuan konseling
e. Feedback, yaitu memebrikan dan menganalisis umpan balik untuk
memperbaiki dan meningkatkan proses konseling

2. Teknik-Teknik Konseling Behaviorisme


a. Desensitiasi sistemik
Desensitisasi sistemik adalah salah satu teknikk yang paling luas
digunakan dalam terapi tingkah laku. Desentisasi sistemik digunakan
untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia
menyertakan pemunculan tingkah laku atau respons yang berlawanan
dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan.
Wolpe dalam kdsnjngja (2018), pengembang teknik desensitisasi
mengajukan argumen bahwa segenap tingkah laku neurotik adalah
ungkapan dari kecemasan bahwa respon trsebut bisa dihapus oleh
penemuan respons-respons yang secara inheren berlawanan dengan
respon tersebut. Dengan pengkondisian klasik, kekuatan stimulus
penghasil kecemasann bisa dilemahkan dan gejala kecemasan bisa
dikendalikan dan dihapus melalui penggantian stimulus.
Desensitisasi sistemik juga melibatkan teknik-teknik relaksasi.
Klien dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan
pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan
atau yang divisualisasikan. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu
rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat
mengancam.
Dalam teknik ini (desensitisasi sistemik), Wolpe mengembangkan
suatu respon, yakni relaksasi yang secara fisiologis bertentangan
dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-
aspek dari situasi yang mengancam.
Desensitisasi sistemik adalah teknik yang cocok untuk menangani
fobia-fobia, tetapi keliru apabila mengangap teknik ini hanya bisa
diterapkan pada penanganan ketakutan-ketakutan. Desensitisasi
sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi
penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan
menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi,
kecemasan-kecemasam neurotik, serta impotensi dan frigiditas
seksual.
Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan dalam
pelaksanaan desensitisasi sistematik: (1) kesulitan-kesulitan dalam
relaksasi, yang bisa jadi menunjuk pada kesulitan-kesulitan dalam
komunikasi antara terapis dan klien atau kepada keterhambatan yang
ekstrem yang dialami oleh klien, (2) tingkatan-tingkatan yang
menyesatkan atau tidak relevan, yang ada kemungkinan melibatkan
penanganan tingkatan yang keliru, dan (3) ketidakmemadaian dalam
membayangkan.

b. Terapi implosif dan pembanjiran


Terapi implosif adalah suatu metode langsung yang menantang
pasien untuk menatap mimpi buruknya. Teknik ini berlandaskan
paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri
atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa
pemberian perkuatan. Teknik ini berbeda dengan teknik desensitisasi
sistematik dalam arti teknik ini tidak menggunakan agem
pengkondisian balik maupun tingkatan kecemasan. Konselor sebagai
terapis memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan, yakni
klien membayangkan situasi, dan terapis berusahaa mempertahankan
kecemasan klien.
Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan
teknik pembanjiran, yang disebut “terapi implosif”; seperti halnya
dengan desensitisasi sitematik, terapi implosif berasumsi bahwa
tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas
stimulus-stimulus penghasil kecemasan. Terapi implosif berbeda
dengan desensitisasi sistematik dalam usaha terapis untuk
megnhasilkan luapan emosi yang masif. Teknik ini beranggapan
bahwa jika seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu
situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi kecemasan
tidak akan muncul, maka kecemasan tereduksi atau terhapus. Klien
diarahkan untuk membayangkan situasi-situasi (syimulus-stimulus)
yang mengcncam. Dengan secara berulang-ylang dan memunculkan
dala setting terapi dimana konsekuensi-lkonsekuensi muncul
diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimlus-stimulus yang
mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan
penghindaran neurotik pun terhapus.
Stampfl (1975) juga mencatat sejumlah studi yang membuktikan
kemanjuran terapi implosif dalam menangani pasien gangguan jiwa
yang dirumah sakitkan, para pasien neurotik, para pasien psikotik, dan
orang-orang yang menderita fobia. Stampfl menyatakan bahwa terapi
implosif berbeda dengan terapi –terapi konvensional dalam arti terapi
implosif tidak menekankan pemahaman sebagai agen terapeutik.

c. Latihan Asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas
adalah latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi-
situasi interpersonal di mana individu mengalami kesulitan untuk
menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah
tindakan yang layan atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi
orang-orang yang (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau
perasaan tersinggung, (2) menunjukkan kesopanan yang berlebihan
dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, (3) memiliki
kesulitan untuk mengatakan “tidak”, (4) mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya, (5)
merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran sendiri.
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur bermain peran.
Suatu masalah yang khas bisa dikemukakan sebagai contoh, yakni;
kesulitan klien dalam menghadapi atasannya dikantor. Misalnya, klien
mengeluh bahwa dia kerapkali merasa ditekan oleh atasannyauntuk
melakukan hal-hal yang menurut penilaiannya buuruk dan merugikan
serta mengalami hambatan untuk bersikap tegas di hadapan atasannya
itu. Pertama-tama klien memainkan peran sebagai atasan, memberi
contoh bagi terapis, sementara terapis mencontoh cara berpikir dan
cara klien menghadapi atasan. Kemudian, mereka saling menukar
peran sambil klien mencoba tingkah laku bardan terapis memainkan
peran sebagai atasan. Klien boleh memberikan pengarahan atasananya
secara realistis, sebaiknya terapis melatih klien bagaimana bersikap
tegas terhadap atasan. Proses pembentukan terjadi ketika tingkah laku
baru dicapai dengan penghampiran-penghampiran. Juga terjadi
penghapusan kecemasan dalam menghadapi atasan dan sikap klien
yang lebih tegas terhadap atasan menjadi lebih sempurna.
Shaffer dan Galinsky (1974) menerangkan bagaimana kelompok-
kelompok latihan asertif (latihan ekspresif) dibentuk dan berfungsi.
Kelompok yang dimaksud terdiri atas delapan sampai sepuluh anggota
yang memiliki latar belakang sama dan session terapi berlangsung
selama dua jam. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan
pengarah permainan peran, pelatih, pemberi perkuatan, dan sebagai
model peran. Dalam diskusi-diskusi kelompok, terapis bertindak
sebagai seorang ahli, membeikan bmbingan dalam situasi-situasi
bermain peran dan memberikan umpan balik kepada para anggota.
Terapi kelompok laihan asertif pada dasarnya merupakan
penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran
membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara
berhubungan yang langsung dalam situasi interpersonal. Fokusnya
adalah mempraktekkan, melalui bermain peran, kecakapan-kecakapan
bergaul yang baru diperoleh sehingga individu-individu diharapkan
mampu mengatasi ketidakmemadaianya dan belajar bagaimana
mengungkapkan perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran mereka
secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk
menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.

d. Terapi Aversi
Teknik ini digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-
gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosian tingkah
laku simtoomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai
tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya.
Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan
listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual. Kendali aversi
bisa melibatkan penarikan peemerkuat positif atau penggunaan
berbagai bentuk hukuman. Contoh, penggunaan hukuman sebagai cara
pengendalian adalah pemberian kejutan listrik kepada anak autistik
ketika tingkah laku spesifik yang tidak diinginkan muncul.
Teknik aversi adalah metode yang paling kontroversial yang
dimiliki oleh behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai
metode-metode untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku
yang diinginkan. Kondisi yang diciptakan, sehingga orang-orang
melakukan apa yang diharapkan dari mereka dalam rangka
menghindari konsekuensi-konsekuensi aversi. Beberapa lembaga
besar sosial, menggunakan prosedur-prosedur aversif untuk
mengendalikan anggoatanya yang ditujukan untuk membentuk
tingkah laku individu agar sesuai dengan yang tellah digariskan.
Misal, gereja emnggunakan pengucilan, perusahaan menggunakan
pemecatan atau penangguhan pembayaran upah, sedangkan
pemerintah menggunakan hukum penjara dan denda.
Pengedalian aversi kerap kali ditandai dengan adanya hubungan
orangtua dengan anak. Kendal yang ada bisa bekerja secara kangsung
dan disadari, bisa ula secara tidak langsung atau terselubung. Baik
anak maupun orangtua bisa dikendalikan oleh apa yang terjadi dalam
situasi-situasi tertentu, dan boleh jadi situasi-situasi itu tidak dapat
dijelaskan. Misal, seorang anak yang diberikan hak istimewa jika dia
bisa menyelaraskan diri dengan bertingkah laku sebagaimana
mestinya. Dalam kondisi ini, aanak pun menggunakan kendali
pengkondisian aversif terhadap orangtuanya. Dia belajar bahwa
orangtuanya memiliki suatu taraf toleransi terhadap tangisan, teriakan,
permintaan dan rengekan anak serta anak dapat belajar bahwa pada
akhirnya orangtuanya akan memenuhi permintaannya.
Dalam setting yang lebih formal dan terapeutik, teknik aversif
sering digunakan dalam penanganan berbagai tingkah laku yang mal-
adaptif, mencakup minum alkohol secara berlebihan, kebergantungan
pada obat bius, merokok, obsesi-obsesi, kompulsi-kompulsi, fetisisme,
berjudi, homoseksualitas dan penyimpangan seksual seperti pedofilia.
Teknik merupakan metode yang utama dalam penanganann
alkoholisme, seorang alkoholik tidak dipaksa untuk menjauhikan diri
dari alkohol, tetapi justru disuruh minum alkohol. Akan tetapi, setiap
tegukan alkohol disertai pemberian ramuan yang membuat si
alkoholik merasa mual bahkan muntah. Sialkoholik lambat laun akan
merasa sakit bahkan meskipun hanya melihat botol alkohol.
Bagian terpentingnya adalah maksud dari prosedur teknik ini
menyajikan cara-cara menahan respons-respons mal-adaptif dalam
suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh untuk
memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang akan
terbukti memperkuat dirinya sendiri. Maka, apabila ada cara-cara yang
dapat dijadikan alternatif bagi hukuman tersedia, maka hendaknya
hukuman jangan lagi digunakan. Cara-cara yang positif yang
mengarah pada tingkah laku yang baru dan lebih layak harus dicari
dan digunakan sebelum dipaksa menggunakan pemerkuat-pemerkuat
negatif. Tingkah laku bisa diubah hanya dengan menggunakan
penguatan positif untuk mengurangi kemungkinan terbentuknya efek
samping yang merusak. Yang perlu digarisbawahi oleh klien adalah
klien dibantuagar ia mengetahui bahwa konsekuensi-konsekuensi
aversif diasosiakan hanya dengan tingkah laku mal-adaptif yang
spesifik.
Skinner (1971) mengemukakan bahwa seorang tokoh yang terang-
terangan menentang penggunaan hukuman sebagai cara untuk
mengendalikan hubungan manusia ataupun untuk mencapai maksud
atau tujuan-tujuan tertentu. Menurut Skinner perkuatan positif jauh
lebih efektif dalam mengendalikan tingkah laku karena hasilnya dapat
diramalkan serta kumingkinan-kemungkinan timbulnya tingkah laku
yang tidak diinginkan lebih kecil. Skinner juga berpeendapat bahwa
hukuman adalah sesuatu yang buruk meskipun bisa menekan tingkah
laku yang diinginkan, namun disisi lain tidak melemahkan
kecenderungan untuk merespons bahkan kalaupun untuk sementara
menekan tingkah laku tertentu. Jadi pada dasarnya, pendapat yang
dikemukakan oleh Skinner akibat yang diinginkan berkaitan dengan
penggunaan pengendalian aversif maupun penggunaan hukuman.
Apabila hukuman masih tetap ingin digunakan, maka akan ada
kemungkinan munculnya efek sampingemosional tambahan seperti:
(1) tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi akan
ditekan hanya apabila penghukum hadir, (2) jika tidak ada tinglkah
laku yang menjadi alternatif bagi tingkah laku yang dihukum, maka
individu akan ada kemungkinan menarik diri secara berlebihan, (3)
pengaruh hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku
lain yang berkaitan dengan tingkah laku lain, yang berkaitan dengan
tingkah laku yang dihukum.

e. Pengkondisian operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang
menjadi ciri organisme aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi di
lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan
merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-
hari, yang mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dengan
alat-alat makan, bermain dan sebagainya. Menurut Skinner (1971),
jika suatu tingkah laku dilakukan, maka probabilitas kemunculan
kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Prinsip
perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau
penghapusan pola-pola tingkah laku. Berikut ini uraian ringkas dari
metode-metode pengondisian operan yang mencakup perkuatan
positif, pembentukan respons, perkuatan intermiten, penghapusan,
pencontohan dan token economy.
1) Perkuatan positif
Dalam metode ini, perkuatan positif diartikan sebagai
pembentukan pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau
perkatan sgera setelah tinglaku yang diharapkan muncul, hal
tersebut merupakan salah satu cara yang ampuh mengubah tingkah
laku. Pemerkuat baik primer ataupun sekunder, diberikan untuk
rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat primer memuaskan
kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Contoh, makan, tidur atau
istirahat. Pemerkuat sekunder yakni pemuasan kebutuhan
psikologis dan sosial yang memiliki nilai-nilai karena berasosiasi
dengan pemerkuat-pemerkuat primer. Contoh, pemerkuat
sekunder yang bisa menjadi alat ampuh untuk membentuk tingkah
laku yang diharapkan adalah senyuman, persetujuan, pujian,
medali atau penghargaan, uang dan hadiah-hadiah lainnya.
Penerapan tersebut pada psikoterapi membutuhkan spesifikasi
tingkah laku yang diharapkan, penemuan tentang apa agen yang
memperkuat bagi individu dan penggunaan penguatan positif
secara sitematis guna memunculkan tingkah laku yang diinginkan.

2) Pembentukan respons
Dalam metode pembentukan respons, tingkah laku
sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur
kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut
sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respons
terwujud dari pengembangan suatu respons yang awalnya tidak
terdapat dalam pembendaharaan tingkah laku individu.

3) Perkuatan intermiten
Perkuatan intermiten diberikan secara bervariasi kepada
tingkah laku yang spesifik. Tingkah laku yang dimaksud
dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan
terhadap penghapusan dibandaing dengan tingkah laku yang
dikondisikan melalui pembrian perkuatan yang terus-menerus.
Dalam tahap pemberian perkuatan pada pengubahan
tingkah laku, pada tahap-tahap permulaan terapis harus
mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang
diinginkan. Jika mungkin perkuatan-perkuatan diberikan segera
setelah tingkah laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini,
penerima perkuatan akan belajar. Bagaimanapun, setelah tingkah
laku yang diinginkan meningkat frekuensi kemunculannya,
frekuensi pemberian perkuatan bisa dikurangi.

4) Penghapusan
Apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa
perkuatan, maka respons tersebut cenderung menghilang. Dengan
demikian, cara untuk menghapus tingkah laku yang mal-adaptif
adalah dengan menarik perkuatan dari tingkah laku yang mal-
adaptif itu. Penghapusan dalam kasus ini boleh jadi berlangsung
lambat karena tingkah laku yang akan dihapus telah dipelihara
oleh perkuatan intermiten dalam jangka waktu lama. Wolpe
(1969) menekankan bahwa penghentian pemberian perkuatan
harus serentak dan penuh. Misal, jika ada seorang anak
menunjukkan kenakalan dirumah dan disekolah, orangtua dan
guru bisa menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk
menghapus kenakalan anak tersebut. Pada saat yang sama
perkuatan positif bisa diberikan kepada si anak agar belajar
tingkah laku yang diinginkan.

5) Pencontohan
Dalam metode pencontohan, individu mengamati seorang
model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku san
model. Bandura (1969) menyatakan bahwa belajar yangbisa
diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara
tidak langsung dengan mengamati tingkah laku oranglain berikut
dengan konsekuensinya. Jadi, kecakapan sosial bisa diperoleh
dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model
yang ada. Reaksi-reaksi emosional yang menggganggu yang
dimiliki seseorang bisa saja dihapus dengan cara orang itu
mengamati orang lain yang mendekati objek-objek atau situasi-
situasi yang ditakuti tanpa mengalami akibat-akibat yang
menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya.

6) Token economy
Metode token ekonomi dapat digunakan untuk membentuk
tingkah laku apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang
tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh. Dalam
metode ini, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan
perkuatan-perkuatan yang bisa diraba (tanda-tanda seperti
kepingan logam) yang nantinya bisa ditukar dengan objek-objek
atau hak istimewa yang diingini. Metode token ekonomi sangat
mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata. Metode ini
memiliki beberapa keuntungan, yakni : (1) tidak kehilangan nilai
sensitifnya, (2) bisa mengurangi oenundaan yang ada diantara
tingkah laku yang layak dengan ganjarannya, (3) dapat digunakan
sebagai mengukur yang konkret bagi motivasi individu untuk
mengubah tingkah laku tertentu, (4) bentuk dari perkuatan positif,
(5) individu memiliki kesempatan untuk memutuskan bagaimana
menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya, dan (6) tanda-tanda
cenderung menjembatani kesenjangan yang sering muncul
diantara lembaga dan kehidupan sehari-hari.

3. Peran Konselor
Dalam pendekatan behavioristic konselor memiliki peran yang sangat
penting dalam membantu konseli. Wolpe mengemukakan peran yang
harus dilakukan konselor, yaitu bersikap menerima, mencoba memahami
konseli dan apa yang dikemukakan tanpa menilai atau mengeritik.
Dalam hal ini menciptakan iklim baik adalah sangat penting untuk
mempermudah melakukan modifikasi perilaku. Konselor lebih berperan
sebagai guru yang membantu konseli melakukan teknik-teknik modifikasi
perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan yang hendak dicapai.
Sedangkan Corey (2013), menjelaskan bahwa konselor behavior
memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment yakni
konselor menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan
permasalahan konseli.

F. Kelebihan dan Kekurangan Konseling Behaviorisme


Didalam buku Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Corey (2013),
menyatakan :
1. Kelebihan pendekatan behavioristik
a. Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti
kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflex dan daya tahan.
b. Mampu mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif
dan tidak produktif.
c. Membawa siswa menuju atau mancapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik untuk bias bebas berkreasi dan berimajinasi.
2. Kekurangan pendekatan behavioristik
a. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning),
bersifat meanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan
diukur.
b. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan
menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar
yang efektif.
c. Tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak
variable atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan.

G. Implementasi Dalam Layanan BK di Sekolah


Corey (2013) menjelaskan bahwa proses konseling yang trbangun dalam
pendekatan behavioristic terdiri dari empat hal yaitu; (1) tujuan
konselor/terapis diarakhkan pada memformulasikan tujuan secara spesifik,
jelas, konkrit, dimengerti dan diterima oleh konseli dan konselor, (2) peran dan
fungsi konselor/terapis adalah mengembangkan keterampilan menyimpulkan,
reflection, clarification, danopenended questioning, (3) kesadaran konseli
dalam melakukan terapi dan partisipasi konselor ketika proses terapi
berlangsung akan memberikan pengalaman positif pada konseli dalam terapi,
dan (4) memberikan kesempatan pada konseli.
Terapi behaviorisme dapat diterapkan untuk metode pembelajaran bagi
anak yang belum dewasa. Karena hasil eksperimen behavioristic cenderung
mengesampingkan aspek-aspek potensial dan kemampuan yang dibawa sejak
lahir. Bahkan behaviorisme cenderung menerapkan system pendidikan yang
berpusat pada manusia baik sebagai subjek maupun objek pendidikan yang
netraletik dan melupakan dimensi-dimensi spiritualitas sebagai fitrah manusia.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Surya, Muhamad. 1988. Dasar-dasar Konseling Pendidikan (Teori&Konsep).

Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang.

Chaplin, JP. 2002. Kamus Lengkap Psikologi (terj. Kartono, Kartini). Jakarta:
Raja Grapindo

Walgito,Bimo. 2002. Pengantar Psikologi. Yogyakarta : Penerbit Andi

Anda mungkin juga menyukai