Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori dan Pendekatan Konseling
Dosen pengampu : Nuraini, M.Pd,
Disusun oleh :
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat dan rahmat,serta penyertaan-Nya, sehinggamakalah“Konseling Dengan
Pendekatan Behaviorisme” ini dapat kami selesaikan.
Kami ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliahTeori dan
Pendekatan Konseling, Ibu Nuraini, M.Pd yang telah membimbing kami.Dalam
penulisan makalah ini kami berusaha menyajikan bahan dan bahasa yang
sederhana, singkat serta mudah dipahami isinya oleh para pembaca.Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih terdapat
kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan proposal penelitian ini. Maka kami
berharap adanya masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
c. Latihan Asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas
adalah latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi-
situasi interpersonal di mana individu mengalami kesulitan untuk
menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah
tindakan yang layan atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi
orang-orang yang (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau
perasaan tersinggung, (2) menunjukkan kesopanan yang berlebihan
dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, (3) memiliki
kesulitan untuk mengatakan “tidak”, (4) mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya, (5)
merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran sendiri.
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur bermain peran.
Suatu masalah yang khas bisa dikemukakan sebagai contoh, yakni;
kesulitan klien dalam menghadapi atasannya dikantor. Misalnya, klien
mengeluh bahwa dia kerapkali merasa ditekan oleh atasannyauntuk
melakukan hal-hal yang menurut penilaiannya buuruk dan merugikan
serta mengalami hambatan untuk bersikap tegas di hadapan atasannya
itu. Pertama-tama klien memainkan peran sebagai atasan, memberi
contoh bagi terapis, sementara terapis mencontoh cara berpikir dan
cara klien menghadapi atasan. Kemudian, mereka saling menukar
peran sambil klien mencoba tingkah laku bardan terapis memainkan
peran sebagai atasan. Klien boleh memberikan pengarahan atasananya
secara realistis, sebaiknya terapis melatih klien bagaimana bersikap
tegas terhadap atasan. Proses pembentukan terjadi ketika tingkah laku
baru dicapai dengan penghampiran-penghampiran. Juga terjadi
penghapusan kecemasan dalam menghadapi atasan dan sikap klien
yang lebih tegas terhadap atasan menjadi lebih sempurna.
Shaffer dan Galinsky (1974) menerangkan bagaimana kelompok-
kelompok latihan asertif (latihan ekspresif) dibentuk dan berfungsi.
Kelompok yang dimaksud terdiri atas delapan sampai sepuluh anggota
yang memiliki latar belakang sama dan session terapi berlangsung
selama dua jam. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan
pengarah permainan peran, pelatih, pemberi perkuatan, dan sebagai
model peran. Dalam diskusi-diskusi kelompok, terapis bertindak
sebagai seorang ahli, membeikan bmbingan dalam situasi-situasi
bermain peran dan memberikan umpan balik kepada para anggota.
Terapi kelompok laihan asertif pada dasarnya merupakan
penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran
membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara
berhubungan yang langsung dalam situasi interpersonal. Fokusnya
adalah mempraktekkan, melalui bermain peran, kecakapan-kecakapan
bergaul yang baru diperoleh sehingga individu-individu diharapkan
mampu mengatasi ketidakmemadaianya dan belajar bagaimana
mengungkapkan perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran mereka
secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk
menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
d. Terapi Aversi
Teknik ini digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-
gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosian tingkah
laku simtoomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai
tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya.
Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan
listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual. Kendali aversi
bisa melibatkan penarikan peemerkuat positif atau penggunaan
berbagai bentuk hukuman. Contoh, penggunaan hukuman sebagai cara
pengendalian adalah pemberian kejutan listrik kepada anak autistik
ketika tingkah laku spesifik yang tidak diinginkan muncul.
Teknik aversi adalah metode yang paling kontroversial yang
dimiliki oleh behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai
metode-metode untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku
yang diinginkan. Kondisi yang diciptakan, sehingga orang-orang
melakukan apa yang diharapkan dari mereka dalam rangka
menghindari konsekuensi-konsekuensi aversi. Beberapa lembaga
besar sosial, menggunakan prosedur-prosedur aversif untuk
mengendalikan anggoatanya yang ditujukan untuk membentuk
tingkah laku individu agar sesuai dengan yang tellah digariskan.
Misal, gereja emnggunakan pengucilan, perusahaan menggunakan
pemecatan atau penangguhan pembayaran upah, sedangkan
pemerintah menggunakan hukum penjara dan denda.
Pengedalian aversi kerap kali ditandai dengan adanya hubungan
orangtua dengan anak. Kendal yang ada bisa bekerja secara kangsung
dan disadari, bisa ula secara tidak langsung atau terselubung. Baik
anak maupun orangtua bisa dikendalikan oleh apa yang terjadi dalam
situasi-situasi tertentu, dan boleh jadi situasi-situasi itu tidak dapat
dijelaskan. Misal, seorang anak yang diberikan hak istimewa jika dia
bisa menyelaraskan diri dengan bertingkah laku sebagaimana
mestinya. Dalam kondisi ini, aanak pun menggunakan kendali
pengkondisian aversif terhadap orangtuanya. Dia belajar bahwa
orangtuanya memiliki suatu taraf toleransi terhadap tangisan, teriakan,
permintaan dan rengekan anak serta anak dapat belajar bahwa pada
akhirnya orangtuanya akan memenuhi permintaannya.
Dalam setting yang lebih formal dan terapeutik, teknik aversif
sering digunakan dalam penanganan berbagai tingkah laku yang mal-
adaptif, mencakup minum alkohol secara berlebihan, kebergantungan
pada obat bius, merokok, obsesi-obsesi, kompulsi-kompulsi, fetisisme,
berjudi, homoseksualitas dan penyimpangan seksual seperti pedofilia.
Teknik merupakan metode yang utama dalam penanganann
alkoholisme, seorang alkoholik tidak dipaksa untuk menjauhikan diri
dari alkohol, tetapi justru disuruh minum alkohol. Akan tetapi, setiap
tegukan alkohol disertai pemberian ramuan yang membuat si
alkoholik merasa mual bahkan muntah. Sialkoholik lambat laun akan
merasa sakit bahkan meskipun hanya melihat botol alkohol.
Bagian terpentingnya adalah maksud dari prosedur teknik ini
menyajikan cara-cara menahan respons-respons mal-adaptif dalam
suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh untuk
memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang akan
terbukti memperkuat dirinya sendiri. Maka, apabila ada cara-cara yang
dapat dijadikan alternatif bagi hukuman tersedia, maka hendaknya
hukuman jangan lagi digunakan. Cara-cara yang positif yang
mengarah pada tingkah laku yang baru dan lebih layak harus dicari
dan digunakan sebelum dipaksa menggunakan pemerkuat-pemerkuat
negatif. Tingkah laku bisa diubah hanya dengan menggunakan
penguatan positif untuk mengurangi kemungkinan terbentuknya efek
samping yang merusak. Yang perlu digarisbawahi oleh klien adalah
klien dibantuagar ia mengetahui bahwa konsekuensi-konsekuensi
aversif diasosiakan hanya dengan tingkah laku mal-adaptif yang
spesifik.
Skinner (1971) mengemukakan bahwa seorang tokoh yang terang-
terangan menentang penggunaan hukuman sebagai cara untuk
mengendalikan hubungan manusia ataupun untuk mencapai maksud
atau tujuan-tujuan tertentu. Menurut Skinner perkuatan positif jauh
lebih efektif dalam mengendalikan tingkah laku karena hasilnya dapat
diramalkan serta kumingkinan-kemungkinan timbulnya tingkah laku
yang tidak diinginkan lebih kecil. Skinner juga berpeendapat bahwa
hukuman adalah sesuatu yang buruk meskipun bisa menekan tingkah
laku yang diinginkan, namun disisi lain tidak melemahkan
kecenderungan untuk merespons bahkan kalaupun untuk sementara
menekan tingkah laku tertentu. Jadi pada dasarnya, pendapat yang
dikemukakan oleh Skinner akibat yang diinginkan berkaitan dengan
penggunaan pengendalian aversif maupun penggunaan hukuman.
Apabila hukuman masih tetap ingin digunakan, maka akan ada
kemungkinan munculnya efek sampingemosional tambahan seperti:
(1) tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi akan
ditekan hanya apabila penghukum hadir, (2) jika tidak ada tinglkah
laku yang menjadi alternatif bagi tingkah laku yang dihukum, maka
individu akan ada kemungkinan menarik diri secara berlebihan, (3)
pengaruh hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku
lain yang berkaitan dengan tingkah laku lain, yang berkaitan dengan
tingkah laku yang dihukum.
e. Pengkondisian operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang
menjadi ciri organisme aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi di
lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan
merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-
hari, yang mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dengan
alat-alat makan, bermain dan sebagainya. Menurut Skinner (1971),
jika suatu tingkah laku dilakukan, maka probabilitas kemunculan
kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Prinsip
perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau
penghapusan pola-pola tingkah laku. Berikut ini uraian ringkas dari
metode-metode pengondisian operan yang mencakup perkuatan
positif, pembentukan respons, perkuatan intermiten, penghapusan,
pencontohan dan token economy.
1) Perkuatan positif
Dalam metode ini, perkuatan positif diartikan sebagai
pembentukan pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau
perkatan sgera setelah tinglaku yang diharapkan muncul, hal
tersebut merupakan salah satu cara yang ampuh mengubah tingkah
laku. Pemerkuat baik primer ataupun sekunder, diberikan untuk
rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat primer memuaskan
kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Contoh, makan, tidur atau
istirahat. Pemerkuat sekunder yakni pemuasan kebutuhan
psikologis dan sosial yang memiliki nilai-nilai karena berasosiasi
dengan pemerkuat-pemerkuat primer. Contoh, pemerkuat
sekunder yang bisa menjadi alat ampuh untuk membentuk tingkah
laku yang diharapkan adalah senyuman, persetujuan, pujian,
medali atau penghargaan, uang dan hadiah-hadiah lainnya.
Penerapan tersebut pada psikoterapi membutuhkan spesifikasi
tingkah laku yang diharapkan, penemuan tentang apa agen yang
memperkuat bagi individu dan penggunaan penguatan positif
secara sitematis guna memunculkan tingkah laku yang diinginkan.
2) Pembentukan respons
Dalam metode pembentukan respons, tingkah laku
sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur
kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut
sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respons
terwujud dari pengembangan suatu respons yang awalnya tidak
terdapat dalam pembendaharaan tingkah laku individu.
3) Perkuatan intermiten
Perkuatan intermiten diberikan secara bervariasi kepada
tingkah laku yang spesifik. Tingkah laku yang dimaksud
dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan
terhadap penghapusan dibandaing dengan tingkah laku yang
dikondisikan melalui pembrian perkuatan yang terus-menerus.
Dalam tahap pemberian perkuatan pada pengubahan
tingkah laku, pada tahap-tahap permulaan terapis harus
mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang
diinginkan. Jika mungkin perkuatan-perkuatan diberikan segera
setelah tingkah laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini,
penerima perkuatan akan belajar. Bagaimanapun, setelah tingkah
laku yang diinginkan meningkat frekuensi kemunculannya,
frekuensi pemberian perkuatan bisa dikurangi.
4) Penghapusan
Apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa
perkuatan, maka respons tersebut cenderung menghilang. Dengan
demikian, cara untuk menghapus tingkah laku yang mal-adaptif
adalah dengan menarik perkuatan dari tingkah laku yang mal-
adaptif itu. Penghapusan dalam kasus ini boleh jadi berlangsung
lambat karena tingkah laku yang akan dihapus telah dipelihara
oleh perkuatan intermiten dalam jangka waktu lama. Wolpe
(1969) menekankan bahwa penghentian pemberian perkuatan
harus serentak dan penuh. Misal, jika ada seorang anak
menunjukkan kenakalan dirumah dan disekolah, orangtua dan
guru bisa menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk
menghapus kenakalan anak tersebut. Pada saat yang sama
perkuatan positif bisa diberikan kepada si anak agar belajar
tingkah laku yang diinginkan.
5) Pencontohan
Dalam metode pencontohan, individu mengamati seorang
model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku san
model. Bandura (1969) menyatakan bahwa belajar yangbisa
diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara
tidak langsung dengan mengamati tingkah laku oranglain berikut
dengan konsekuensinya. Jadi, kecakapan sosial bisa diperoleh
dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model
yang ada. Reaksi-reaksi emosional yang menggganggu yang
dimiliki seseorang bisa saja dihapus dengan cara orang itu
mengamati orang lain yang mendekati objek-objek atau situasi-
situasi yang ditakuti tanpa mengalami akibat-akibat yang
menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya.
6) Token economy
Metode token ekonomi dapat digunakan untuk membentuk
tingkah laku apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang
tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh. Dalam
metode ini, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan
perkuatan-perkuatan yang bisa diraba (tanda-tanda seperti
kepingan logam) yang nantinya bisa ditukar dengan objek-objek
atau hak istimewa yang diingini. Metode token ekonomi sangat
mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata. Metode ini
memiliki beberapa keuntungan, yakni : (1) tidak kehilangan nilai
sensitifnya, (2) bisa mengurangi oenundaan yang ada diantara
tingkah laku yang layak dengan ganjarannya, (3) dapat digunakan
sebagai mengukur yang konkret bagi motivasi individu untuk
mengubah tingkah laku tertentu, (4) bentuk dari perkuatan positif,
(5) individu memiliki kesempatan untuk memutuskan bagaimana
menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya, dan (6) tanda-tanda
cenderung menjembatani kesenjangan yang sering muncul
diantara lembaga dan kehidupan sehari-hari.
3. Peran Konselor
Dalam pendekatan behavioristic konselor memiliki peran yang sangat
penting dalam membantu konseli. Wolpe mengemukakan peran yang
harus dilakukan konselor, yaitu bersikap menerima, mencoba memahami
konseli dan apa yang dikemukakan tanpa menilai atau mengeritik.
Dalam hal ini menciptakan iklim baik adalah sangat penting untuk
mempermudah melakukan modifikasi perilaku. Konselor lebih berperan
sebagai guru yang membantu konseli melakukan teknik-teknik modifikasi
perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan yang hendak dicapai.
Sedangkan Corey (2013), menjelaskan bahwa konselor behavior
memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment yakni
konselor menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan
permasalahan konseli.
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Surya, Muhamad. 1988. Dasar-dasar Konseling Pendidikan (Teori&Konsep).
Chaplin, JP. 2002. Kamus Lengkap Psikologi (terj. Kartono, Kartini). Jakarta:
Raja Grapindo